Sie sind auf Seite 1von 66

ANIMAL PRODUCTION, Januari 2008, hlm. 1 4 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.

56/DIKTI/Kep/2005

Vol.10 No.1

Keragaman Genetik Gen Penyandi Protein (-Cn) pada Sapi Friesian Holstein Menggunakan Teknik Restriction Fragment Length Polymorphism
(Genetic Diversity of -Casein Gene of Friesian-Holstein Dairy Cattle using Restriction Fragment Length Polymorphism Technique)
Rini Widayanti1*, Wayan Tunas Artama1, Slamet Subagyo1 dan Djoko Winarso2
1 2

Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Sekolah Tinggi Penyuluh Pertanian, Magelang

ABSTRACT: The objective of the research was to evaluate the genetic varieties of -casein gene of Holstein Friesian (HF) in Koperasi Unit Desa (KUD) Karangploso, Dau, Ngantang and Pujon, Malang, East Java by Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism Analysis (PCR-RFLP) used Pst-l. The research used Holstein Friesian dairy cows raised by farmers of KUD Karangploso, Dau, Ngantang and Pujon, Malang, East Java. The blood samples were collected from 29 cows. The research activities were carried out by collecting cows blood, DNA extraction, and DNA amplification with PCR. PCR products were digested with Pst-l enzyme restrictions, then allele gene of casein were identified. The frequency of allele and genotype of casein gene were calculated by Hardy-Weinberg. The results showed that cows raised by farmers of KUD Karangploso, Dau, Ngantang and Pujon, Malang, East Java had two alleles -casein polymorphism, i.e. allele A (0.74) and B (0.26); therefore, two genotypes existed including AA (0.55) and AB (0.38). It can be concluded that genetic diversity -casein gene existed in Holstein-Friesian dairy cows raised by farmers of KUD Ngantang, Pujon, Dau and Karangploso, Malang, East Java. Key Words: Pst-1, -casein gene, PCR-RFLP

Pendahuluan
Gen -casein sudah banyak diteliti pada sapisapi perah di luar negeri untuk tujuan mengetahui kandungan protein casein dalam susu. Sampai saat ini, sudah ditemukan 6 varian gen -casein, yaitu A, B, C, E, F dan G (Kaminski, 1996). Banyak penelitian menunjukkan bahwa adanya variasi genetik gene -casein sangat dirasakan pengaruhnya oleh pabrik-pabrik pengolahan susu, terutama untuk pabrik yang memproduksi keju. Menurut Rahali dan Menard (1991) dan Tsiaras et al. (2005), susu dari sapi yang memiliki varian B terlihat memiliki kandungan dan jumlah protein yang lebih tinggi daripada sapi dengan varian A. Varian yang ada pada gen -casein disebabkan oleh adanya point mutation (mutasi titik) sehingga bisa dikembangkan uji diagnostik diantara varian yang ada, salah satunya yaitu dengan teknik Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) (Denicourt et al., 1990; Schlee dan Rotman, 1992).
* Korespondensi penulis : e-mail riniwida@yahoo.co.uk

Enzim restriksi yang dapat digunakan untuk evaluasi menggunakan teknik PCR-RFLP antara lain Hind-lll, Hinf-I, Hae-lll, Mae-ll dan Pst-l (Barroso et al., 1998). Berdasarkan penemuan-penemuan tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai berbagai polimorfisme genetik pada sapi perah rakyat. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat sebagai dasar seleksi atau perbaikan mutu genetik, secara lebih efisien dan efektif dalam meningkatkan kinerja sapi perah rakyat melalui pemilihan genotip yang sesuai. Tujuan penelitian adalah mengkaji keragaman genetik gen penyandi protein susu kappa-Cn sapi perah FH di KUD Ngantang, Pujon, Dau dan Karang Ploso Malang - Jawa Timur dengan teknik Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP).

Metode Penelitian
Pada penelitian ini digunakan 29 sampel darah sapi perah berasal dari peternakan rakyat milik KUD Ngantang, KUD Pujon, KUD Dau, KUD Karang Ploso Malang-Jawa Timur.
1

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 1 - 4

Primer untuk amplifikasi gen -casein yaitu kappafo (5 CGCTGTGAGAAAGATGAAAGAT TC 3) dan kappare (5 AGATTCAAGGAGTA TACCAATTGTTG 3) (Chikuni et al., 1991). Enzim restriksi untuk digesti menggunakan Pst-l.

Analisis Data.
Hasil elektroforesis dianalisis secara manual dan alel-alel yang diperoleh kemudian dihitung frekuensi alel dan genotipnya, dengan metode Hardy-Weinberg (Dorak, 2007)) sebagai berikut:

Ekstraksi DNA
Preparasi sampel darah mengikuti metode Duryadi (1993). Darah sebanyak 500-750l ditambah 1X volume larutan lisis {0,32M Sucrose, 1% (V/V) Triton X-100, 5 mM MgCl2 dan 10 mM Tris-HCl, pH 7,4}. Organel sel dalam larutan diendapkan dengan sentrifugasi 6500 rpm selama 1 menit. Endapan ditambah dengan 1X volume larutan pencuci (75 mM NaCl, 50 mM EDTA, pH 8,0). Darah selanjutnya ditambah dengan digestion buffer (larutan STES + 0,5 mg/ml Proteinase K), kemudian diinkubasi pada penangas air suhu 55oC selama +16 jam atau semalam. Purifikasi DNA Total mengikuti Sambrook et al. (1989) dimodifikasi Duryadi (1993), yaitu dengan penambahan fenol; kloroform/isoamil alkohol (24:1). Setelah itu DNA dipresipitasi dengan etanol absolut dan dicuci menggunakan alkohol 70%. DNA dilarutkan dalam larutan TE (10 mM Tris-HCl; 1 mM EDTA, pH 8,0), kemudian disimpan pada suhu 20oC.

Frekuensi Alel
Frekuensi alel A = p = (AA) + (AB) Frekuensi alel B = q = (BB) + (AB) Frekuensi Genotip Frekuensi AA = (AA) = p2 Frekuensi AB = (AB) = 2pq Frekuensi BB = (BB) = q2 p2+2pq +q2 = 1

Hasil dan Pembahasan


Amplifikasi daerah gen -casein pada sapi perah menggunakan primer Kappare dan Kappafo menghasilkan fragmen DNA berukuran sekitar 779 pb pada semua sampel DNA. Profil DNA hasil amplifikasi primer tersebut disajikan pada Gambar 1. Ukuran fragmen DNA yang diperoleh sesuai dengan data sekuen DNA sapi Friesian Holstein (GenBank, AY380228).

Amplifikasi Gen Casein

Amplifikasi Fragmen DNA dengan PCR.


Komposisi 50 l campuran pereaksi PCR terdiri dari 2,5 mM MgCl2, 10 mM dNTPs, 100-300 ng DNA cetakan, 20-100 pmol masing-masing primer dan 2 U Taq polimerase (Generay) beserta bufernya. Amplifikasi fragmen DNA pada penelitian ini menggunakan mesin GeneAmpRPCR system 2400 (Perkin Elmer). Amplifikasi PCR gen -casein dilakukan dengan kondisi sebagai berikut: denaturasi awal selama 2 menit pada suhu 94oC selanjutnya diikuti dengan 94oC selama 30 detik untuk denaturasi, 56oC selama 45 detik untuk penempelan primer (annealing), 72oC selama 1 menit untuk pemanjangan (elongation) sebanyak 35 siklus kemudian diakhiri dengan penambahan pemanjangan (extension) selama 5 menit pada 72oC.

Digesti Produk PCR.


Produk PCR didigesti dengan enzim restriksi PstI (Chikuni et al., 1991; Yamamoto et al., 1994). Penentuan genotip sampel DNA dilakukan dengan menganalisis fragmen DNA hasil digesti yaitu dengan metode elektroforesis gel agarose 1,5% yang mengandung etidium bromide dengan bantuan sinar UV.

DNA hasil amplifikasi (Gen -Cn) selanjutnya didigesti menggunakan enzim restriksi Pst-1. Profil DNA hasil digesti menggunakan enzim restriksi Pst-l disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan sekuen DNA sapi Friesian Holstein (GenBank, AY380228) enzim Pst-1 akan memotong fragmen DNA menjadi 171 pb dan 608 pb untuk sapi yang memliki alel B, dan terpotong menjadi 171 pb, 302 pb dan 306 pb untuk sapi dengan alel A. Skema letak pemotongan enzim restriksi Pst-l disajikan pada Gambar 3. Hasil PCR-RFLP menggunakan enzim restriksi Pst-l ditemukan alel A dan B. Hal ini terlihat dari hasil elektroforesis pada gel agarose seperti terlihat pada Gambar 2. Alel A pada PCR-RFLP yang menggunakan enzim Pst-l (sama dengan genotip AA) DNA terpotong menjadi fragmen berukuran 306 pb, 302 pb dan 171 pb, alel B DNA terpotong menjadi 608 pb dan 171 pb. Genotip AB, DNA terpotong menjadi 608 pb, 306 pb, 302 pb dan 171 pb.

Digesti Gen -Cn dengan Pst-1

Keragaman Genetik Gen (Widayanti et al.)

800 pb 700 pb 779 pb 500 pb

Pada penelitian ini, dari masing-masing KUD terdapat keragaman genetik pada sampel sapi PFH yang digunakan. Adapun polimorfisme genotip dan jumlah alel yang ditemukan dapat dilihat berturutturut pada Tabel 1 dan Tabel 2. Hasil PCR-RFLP menggunakan enzim restriksi Pst-l pada semua sampel penelitian ini terlihat adanya polimorfisme pola pemotongan, hal ini menunjukkan bahwa terdapat polimorfisme alel pada sapi tersebut. Alel A dan B yang diperoleh sesuai dengan yang telah dilakukan Schellander et al. (1993). Frekuensi dari masing-masing alel A dan B dan frekuensi harapan genotip AA, AB dan BB pada sapi di KUD Karangploso, Dau, Pujon dan Ngantang disajikan pada Tabel 3.

Gambar 1. Profil DNA sapi perah PFH hasil amplifikasi menggunakan pasangan primer Kappafo dan Kappare Keterangan: Lajur 1. DNA penanda 100 pb (Generay), lajur 2-5 DNA hasil amplifikasi menggunakan primer Kappafo dan Kappare

Tabel 1. Polimorfisme genotip yang ditemukan Genotip (Pst-1) aktual AA BB AB 0,80 0 0,20 0,33 0 0,67 0,50 0 0,50 0,14 0 0,86 14 0 15

KUD Karang Ploso Dau Ngantang Pujon Total

Jml

Total

1 1 1 1

608 pb 306 pb 302 pb

779 pb 500 pb

10 6 6 7 29

171 pb

Tabel 2. Jumlah alel yang ditemukan Alel (Pst-1) B 2 4 3 6 15

1(AA) 2(AA) 3(AB) 4(AA) 5(AB)

8(AB)

Gambar 2. Hasil PCR-RFLP DNA sapi perah PFH menggunakan enzim restriksi Pst-l pada gel agarose 1,5% Keterangan: Lajur 1-2,3,4,8. Hasil PCR-RFLP dengan Pstl, Lajur 6.DNA penanda 100 pb (Generay), Lajur 7. Hasil PCR

KUD Karang Ploso Dau Ngantang Pujon Total

A 18 8 9 8 43

Total 20 12 12 14 58

171 pb Pstl 53 Alel B

608 pb

Tabel 3. Frekuensi alel A dan B; Frekuensi harapan genotip AA, AB dan BB


Frekuensi Alel A B 0,90 0,10 Frekuensi harapan genotip AA AB BB 0,81 0,18 0,01

KUD

Jml

Jml*

171 p Pstl 53

306 pb Pstl 302 pb

Alel A Gambar 3. Skema letak pemotongan enzim restriksi Pst-1 pada fragmen DNA hasil amplifikasi menggunakan sepasang primer Kappafo dan Kappare

Karang 1 0,99 Ploso Dau 0,67 0,33 0,32 0,49 0,18 1 0,81 Ngantang 0,57 0,43 0,56 0,38 0,06 1 0,94 Pujon 0,75 0,25 0,45 0,44 0,11 1 0,89 * jumlah frekuensi genotip AA + AB + BB yang sebenarnya pada masing-masing KUD karena pada penelitian ini tidak ditemukan adanya genotip BB.

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 1 - 4

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa frekuensi alel A lebih besar daripada frekuensi alel B, berarti bahwa kebanyakan induk maupun pejantan PFH memiliki alel A. Data yang disajikan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa semua sapi betina PFH dari keempat KUD tersebut tidak ada yang bergenotip BB dan hanya bergenotip AA dan AB. Secara keseluruhan dari ke empat KUD tersebut frekuensi alel A sebesar 0,74 dan frekuensi alel B sebesar 0,26, sedangkan frekuensi genotip AA sebesar 0,55, genotip AB sebesar 0,38 dan frekuensi genotip BB sebesar 0,00. Menurut perhitungan hukum Hardy-Weinberg frekuensi genotip BB adalah sebesar 0,07, tetapi pada penelitian ini tidak ditemukan sapi yang bergenotip BB. Hal ini kemungkinan disebabkan jumlah data yang sedikit atau mungkin disebabkan karena asal-usul sapi yang dipelihara di ke empat KUD tersebut bukan merupakan perkawinan di dalam populasi sehingga tidak ditemukan genotip BB di dalam populasi. Menurut Hukum Hardy-Weinberg jumlah frekuensi genotip AA + AB + BB adalah 1, tetapi pada penelitian ini untuk masing-masing KUD adalah < 1 (Tabel 3.). Hal ini diduga karena tidak ditemukan adanya genotip BB, meskipun hasil yang diperoleh masih mendekati hukum Hardy-Weinberg. Menurut Rahali dan Menard (1991) serta Tsiaras et al. (2005), susu dari sapi yang bervarian B memiliki kandungan dan jumlah protein yang lebih tinggi daripada sapi dengan varian A. Oleh karena itu, upaya untuk memperbaiki kualitas protein susu pada peternakan sapi rakyat di KUD Malang - Jawa Timur perlu dipertimbangkan melakukan seleksi terhadap induk betina maupun pejantan yang memiliki alel B atau memiliki genotip BB.

B, C, and E by means of polymerase chain reactionsingle strand conformation polymorphism (PCRSSCP). Journal of Animal Science 76: 1535-1538. Chikuni, K., S. Kageyama, T. Koishikawa, S. Kao and K. Ozutzumi, 1991. Identification of bovine -casein genotype using polymerase chain reaction method. Animal Science and Technology (Jpn) 62: 654-659. Denicourt, G., M.P. Sabour and A.J. McAllister, 1990. Detection of bovine k-casein genomic variants by the polymerase chain reaction method. Animal Genetic 21: 215-216. Dorak, M.T, 2007. Basic Population Genetics. http://www. dorakmt.tripod.com/evolution/popgen.html (Diakses tanggal 19 Juli 2007). Duryadi, D., 1993. Rle Possible du Comportement dans Ivolution de Deux Souris Mus macedonicus et Mus spicilequs en Europe Centrale. [Thse Doctorat]. Univ. Montpellier II, France. Kaminski, S., 1996. Bovine kappa-casein (CASK) genemolecular nature and application in dairy cattle breeding. Journal of Applied Genetic 37: 179-196. Rahali, V. and J.L. Menard, 1991. Influence of genetic variants of -lactoglobulin and -casein on milk composition and cheesemaking properties. Lait 71: 275-297. Sambrook, F.J. and T. Maniatis, 1989. Molecular Cloning. A Laboratory Manual. 2nd ed. Vol 3. Cold Spring Harbor Laboratory. Schlee, P. and O. Rotmann, 1992. Identification of bovine kappa-casein C by using the polymerase chain reaction. Journal of Animal Breeding & Genetics 109: 153-155. Schellander, K., B. Mayr, K. Ertl and J. Peli, 1993. Simultaneous genotyping of sex and kappa-casein of bovine in vitro fertilized embryos by the PCR technique. Zentralbl Veterinarmed A.40(4): 307-309. Tsiaras, A.M., G.G. Bargouli, G. Banos and C.M. Boscos, 2005. Effect of kappa-casein and beta-lactoglobulin loci on milk production traits and reproductive performance of holstein cows. Journal of Dairy Science 88: 327-334. Yamamoto, T., K. Shimada, M. Takahashi, and M. Kosugiyama, 1994. Genotype effect of -Casein on milk performance in Japanese Black Cows. Journal of Animal Science of Technology (Jpn) 65(12): 11191121.

Kesimpulan
Terdapat keragaman genetik pada sapi PFH di empat KUD dengan frekuensi alel A sebesar 0,74 dan frekuensi alel B sebesar 0,26. Frekuensi genotip AA sebesar 0,55; AB sebesar 0,38 dan frekuensi genotip BB sebesar 0,00. Teknik PCR-RFLP menggunakan enzim restriksi Pst-l dapat digunakan untuk mendeteksi adanya alel A dan B pada gen casein sapi perah.

Daftar Pustaka
Barroso, A., S. Dunner and J. Canon, 1998. Technical note: Detection of bovine kappa-casein variants A,

ANIMAL PRODUCTION, Januari 2008, hlm. 5 11 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol.10 No.1

A Controlled Intra-Vaginal Device Releasing Hormone for Superovulation Program in Buffalo


(Controlled Intra-Vaginal Device Releasing Hormon dalam Program Superovulasi Kerbau)
Polmer Situmorang
National Research Institute for Animal Production, Ciawi Bogor PO Box 221

ABSTRAK : Dua penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi hubungan antara konsentrasi progesteron dan respon superovulasi serta penggunaan CIDR pada program superovulasi kerbau. Penelitian pertama, sebelas kerbau disuperovulasi dengan hormon gonadotropin (Folltropin) yang disuntikkan intra muscular selama empat hari dengan dosis menurun dan penyuntikan dua kali sehari (jarak penyuntikan 12 jam). Penyuntikan pertama dilakukan pada hari ke 10 dari siklus berahi, diikuti dengan pemberian prostaglandin pada hari ke 12, dua hari kemudian diinseminasi buatan (IB). Penampungan embrio dilakukan dengan cara menguras setiap tanduk uterus pada hari ke enam setelah IB. Penelitian kedua, 10 ekor kerbau dibagi secara acak ke dalam dua grup (kontrol dan perlakuan CIDR). Pemberian pertama hormon pada grup kontrol dilakukan pada hari ke 10 dari siklus berahi dan 6 hari setelah pemberian CIDR untuk perlakuan CIDR. Dosis dan metode pemberian hormon gonadotropin mengikuti penelitian pertama. Tujuh kerbau memberikan respon positif terhadap superovulasi sedangkan empat ekor tidak memberikan respon. Didapat hubungan nyata antara konsentrasi progesteron pada waktu pemberian pertama hormon dengan respon donor terhadap superovulasi. Rataan konsentrasi progesteron grup yang tidak memberi respon (1,15 ng/ml) nyata (P<0,05) lebih rendah dibanding grup yang memberikan respon (2,51 ng/ml). Rataan konsentrasi progesteron setelah superovulasi, total corpus luteum (TCL), total embrio (TE) dan total embrio dengan kualitas baik (TVE) adalah 1,64; 1,0; 0,0; 0,0 dan 6,86; 5,9; 4,0; 2,9 berturut-turut untuk grup yang tidak memberi respon dan yang memberi respon. CIDR nyata meningkatkan (P<0,05) rataan diameter ovari (DO) dan konsentrasi progesteron setelah superovulasi yaitu 4,5; 4,84 dan 7,0; 7,85 berturut-turut untuk kontrol dan CIDR. Rataan TCL, TE dan TVE cenderung lebih tinggi pada perlakuan CIDR dibanding kontrol adalah 6,0; 2,8 dan 2,0 dan 9,0; 4,0 dan 3,3 untuk kontrol dan CIDR. Kata Kunci : Superovulasi, embrio, progesteron, CIDR

Introduction
Although effort given to buffalo for increasing their production were minor comparing to cattle, the world buffalo population in the last decade increased significantly and now is approximately 172.6 million spreads over in 129 countries (FAO, 2004). The most of these farm animals are found in Asia (97.1%) and play an important role in livestock economy by providing meat, milk and draught power. Now in a country that traditionally non buffalo regions such as Australia, has reared the buffalo for producing carabao beef with quality comparable to beef cattle and moreover the milk of buffalo contains higher fat and protein than those cattle but with low cholesterol. There are two major types of domestic buffalo which is the river buffalo with 50 pairs of chromosome which is mostly found in Indian continental for producing milk and the swamp types of the Southeast Asia region with 48 pairs of chromosome for meat and drought power. In Indonesia the population of
5

this farm animal was reported slightly decreased in the last 10 years and now the population in the year 2004 is around 2.572 million (Statistik Pertanian, 2005). Almost all the Indonesian buffaloes are of the swamp type (Bubalus bubalis), a few hundreds of the river buffalo are found in North Sumatera (Situmorang et al., 1990a, 1990b, 2005). Low reproductive efficiency of the buffalo is thought to be due to delayed puberty, low conception rate, silent heat, long calving interval periods, higher gestation periods, etc. Therefore the biotechnology of reproduction of embryo transfer (ET) may become a key element of the effort to increase the production of the buffalo. As the integrated part of ET in vivo embryo production become very necessary to provide an embryo. Embryos are recovered by a superovulation technique in which the genetically superior female is treated with hormones to induce her to produce many eggs simultaneously. These eggs can be fertilized with sperm in vivo or in vitro and the embryo produced then implanted/transferred into

ANIMAL ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 5 - 11

surrogate mothers (recipients). A technology of embryo transfer (ET) in cattle has been established since 1970`s (Seidel and Seidel, 1982) but in buffalo is just recently reported by a number of researchers. The first success results of ET in river buffalo was reported by Drost et al. (1983) and followed in Bulgaria (Karaivanov, 1986; Alexiev et al., 1988), in India (Kurup, 1988). For swamp buffalo was reported by Parnpai et al., (1985) in Thailand and their crosses (Swamp x River) by Situmorang (2005) in Indonesia. Until today the technology of superovulation has achieved a certain progress however the number of embryos collected was still limited. In isolated trials up to mean 5.9 transferable have been recovered (Misra et al., 1999). Baruselli and Carvalho (2005) in their trials since 1990 reported acceptable follicular response during superovulation (10-15 follicles 8 mm) moderate ovulate rate (60%) but in contrast a low embryo recovery rate is observed. Treatment with recombinant bovine somatropin (rBST) significantly increased the superovulation efficiency (Lucy, 2000; Baruselli et al.,2003) Recently, Hesheng et al., (2006) also reported recovery of over 4 transferable embryos in buffalo in China. A major obstacle of the application of superovulation program is still the variability and the unpredictability of donor response to gonadotropin hormone. Most studies conducted that the first injection of hormone is initiated in midluteal phase (Drost et al., 1983; Parnpai et al., 1985; Misra, 1993; Kurup,1998; Situmorang, 2005) where the corpus luteum (CL) is present. It is well documented that there is correlation between CL quality and size and its progesterone production (Kastelic et al., 1990; Assey et al., 1993). The objective of this present study is to evaluate a relation of progesterone level and donor response to superovulation and the using of CIDR in the method of superovulation in buffalo.

Superovulation
The first trial was conducted to evaluate the relationship between plasma blood progesterone level and the response of donor to superovulation. Eleven (11) buffaloes were given two intra muscular injections of 2 ml (500 g chloprostenol) estrumate, Troy Lab. Pty. Ltd, NSW, Australia, 11 days interval to synchronize of estrus. When animals are in estrus, it is designated to be day 0 of cycle. The buffaloes were superovulated using Folltropin, V and the first injection was initiated on day of 10 of estrus cycle and administrated twice daily (12 hours interval) intramuscularly in decreasing doses for 4 days (2.5; 2.5; 2.0; 2.0; 1.0; 1.0 and 0.5; 0.5 ml Folltropin). In the morning of day 12 of estrus cycle (after the fifth injection), 2 ml estrumate was injected intra muscularly and again repeated after 12 hours with similar doses. After detection of estrus in the morning of day 14 of estrus cycle, all buffaloes were inseminated artificially using frozen semen and again repeated on the evening (12 hours from the first insemination) and the next day (Day 15 of estrus cycle). The schedule of treatments is shown in Fig 1. Flushing was performed early in the morning of day 20 of estrus cycle (6 days after insemination) and all buffaloes from which the embryo collected were defined as responsive group while the unresponsive group was those buffalo failed in producing an embryo. In the second trials 10 buffaloes were divided randomly into 2 groups with 5 buffaloes in each group. The first group (control) was superovulated following the method of superovulation in the first trials. The second group (treatment group) CIDR, Douglas Phar. Ltd. Aukland, NZ containing 1.9 g progesterone was inserted in any days of cycle and it is designated to be day 0 of treatment. The superovulation was initiated on day 6 and the method of superovulation following the methods for the control group. In day 8 (after the fifth injection of folltropin), the CIDR was withdrawn from all buffaloes and 2 ml estrumate was injected intramuscularly. The estrumate were repeated injected after 12 hours with similar doses. Following estrus detection, all buffaloes were artificially inseminated on day 10 by using frozen semen and again repeated 12 and 24 hours from the first of insemination. The schedule of treatments is shown in Figure 1.

Research Methods
The experiment were conducted at Indonesian National Research Institute for Animal Production (INRIAP) Ciawi using twenty one (21) of mature buffaloes with a live weight between 350 to 420 kg. The buffalo cows were housed individually in 2 x 3 m pens, drinking water and elephant grass were offered ad lib. Each cow was offered a concentrate (containing 14 % crude protein) 4 kg/day as a supplementation.

Using a CIDR (Situmorang)

Day Treatment

0 6 7 8 9 10 11 16 _|______|______|_____________|_____________|______|______|_______|______ CIDR FSH FSH FSH+Estr + WD CIDR FSH AI AI FUSHING

Day Control

-13 -3 10 11 12 13 14 15 20 _|______|_______|_______|__________|________|_______|_______|_______|______ Estr Estr FSH FSH FSH+Estr FSH AI AI FLUSHING

Figure 1. Methods of superovulation using FSH and CIDR in buffalo

Technique of Embryo Collection


The embryos were collected by non-surgical technique on day 20 of estrus cycle. All buffaloes were fasted for 24 hours prior to collection to reduce bowel. Buffalo was confined in a chute and 2 ml 2% Xylocaine Hydrochloride to prevent straining and defecation was given. Through rectal palpation, a preliminary observation of the ovary diameter and number of CL was determined by skilled technician. A Foley catheter was used to collect the embryo by non-surgically technique. Each horn of uterus was flushed with a 500 ml of Dulbeccos Phosphate Buffered Saline (DBPS, Sigma Aldrich Chemical Co., Inc. Milwankee, USA) containing 0.04 % Bovine Serum Albumin (BSA, Sigma Chemical Co, Inc. Milwaukee St. Louis, USA). Immediately after flushing, the embryo was searched in collected media. The embryos collected were then transferred to fresh DPBS containing 0.4 % BSA for evaluation. Two (2) ml estrumate was given 2 days after flushing in avoiding the pregnancy due to the failure of embryo collection

(TNE), total number of valuable embryo (TVE) which is the embryo graded as a good and transferable embryo, the percentage of recovery rate (%RR) calculated by dividing no of embryo to number of CL and progesterone level (Pr). Buffalo was categorized as a responsive donor if at least one embryo was able to be collected. In the first trial the mean value of each parameter recorded of each group (responsive and unresponsive group) was analyzed by t-test. Experimental designed was complete randomly designed with two treatments (control and CIDR) and 5 replications for the second trial. All data was statistically analyzed according to Steel and Torrie (1993).

Results and Discussion


Seven out of eleven buffaloes in this study gave a positive response to superovulation treatment and the mean DO, TCL, TNE, TVE and peak progesterone level is shown in Table 1. The un-responded group (4 buffaloes) has the mean concentration of progesterone before superovulation significantly (P<0.05) lower than those responded group. The mean DO,TCL, TNE, TVE and peak progesterone was also significantly lower in un-responded (P<0.05) than those responded group This present result proven the significant relationship between the level of progesterone at the initiation of superovulation and superovulatory response (Fig.2).

Blood Collection.
Blood was collected from jugulars vein 3 times a week to measure progesterone level. Concentration of plasma progesterone was analyzed by radio immunoassay technique (RIA).

Parameter Recorded
Parameter recorded was diameter of ovary (DO), total number of CL (TCL), total number of embryo

ANIMAL ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 5 - 11

Table 1. Mean of DO,TCL,TNE, TVE and peak progesterone level before and after superovulation treatment of unresponded and responded group Parameter DO, cm TCL TNE TVE Peak Prog1, ng/ml Peak Prog2, ng/ml
a,b,

Un-responded (n=4) 3.00 0.70 1.00a 0.81 0.00a 0.00 0.00a 0.00 1.15a 0.67 1.64a 1.01
a

Responded (n=7) 5.50b 1.15 5.90b 2.27 4.00b 1.29 2.90b 0.90 2.51b 1.10 6.86b 2.02

Means in the same line with different superscript are significantly different (P<0.05). DO: diameter of ovary, TCL: total number of corpus luteum, TNE: total number of embryo, and TVE: total number of valuable embryo.

7 6
Progesteron (ng/ml)

5 4 3 2 1 0 0 2 4 6 8 11 13 0 3 5 7 10 12
Day of estrous cycle

Responded Unresponded

Fig 2: Progesterone level of responded and unresponded donor

There was evident that the presence of good CL both quality and quantity will significantly increase superovulatory response. In general, the superovulation is conducted during mid-luteal phase and the first administration of hormone normally initiated on day 10 of the cycle. Superovulatory response of buffalo which is superovulated either on day 9-12 or days 13-15 of the cycle did not differ (Misra et al., 1990). Bulgarian worker reported that better superovulation rate was obtained when PMSG was administrated on day 10 than those on day 6 or 14 of cycle. The necessary of the initiation of superovulation in mid-luteal phase is related to the nature of the condition of ovary where the CL is present. In nature, many intrinsic factors influenced the results of superovulation. But on the time of the

initiation of superovulation treatment, at least there are three major factors which are CL, dominant follicle and follicular population play a significant role for the success of recovered embryo. The presence of CL is necessary in producing progesterone to avoid the releasing of the premature LH as the consequence of the elevating of estrogen level due to superovulation treatment. Early LH surge will result the premature ovulation and decreasing superovulatory rate. Moreover there was a significant role of LH in superovulatory response (Greve et al., 1984). The number of study showed that the presence of CL on the time of initiation of superovulation which is observed by ultrasonography was critical to ensure the success of collecting

Using a CIDR (Situmorang)

embryo in cattle (Purwantara, 1995) and in buffalo (Singh et al., 2003). A similar results was reported by Misra et al., (2002) who found that progesterone level at the time of initiation of the superovulation treatment in buffalo can be a good criteria for further selection for the day of superovulation. It is well documented that there is correlation between CL quality and size and its progesterone production (Kastelic et al., 1990; Assey et al, 1993). The effect of CIDR for superovulation protocol in buffalo is shown in Table 2. The mean DO, TCL and peak progesterone level were significantly higher (P<0.05) in CIDR treatment than those in control. There was evidence that the mean of TNE and TVE was also higher in CIDR treatment but this difference was not statistically different. The non significant of treatment in this present study due to partly by a big variation between buffalo for both within and between group and the small number of buffalo for replication (only 5 buffaloes for each group). Future study using a big number of buffalo will be granted to evaluate of CIDR treatment. An increasing of TNE and TVE in CIDR treatment make the application of using CIDR for superovulation program in buffalo become more applicable and worthy. The presence of CIDR which contain 1.9 g natural progesterone during FSH treatment will guarantee the blood progesterone at a level around 4 to 5 ng/ml. These level of progesterone will be increased by the addition of progesterone produced by the presence of CL will suppress the frequency and amplitude of the LH surge without preventing the follicular waves development. The higher level of progesterone in CIDR group ensure the response of donor to superovulation treatments where the embryos was success recovered from all of buffaloes (100%) while one out of 5 buffalo was failed to response to superovulation treatment in control groups ( 80 %). The result was comparable to the report that significantly reduced diameter of CL is an indication of premature regression and concomitant decrease progesterone level is usually associated with a poor response (Callesen et al., 1986). The results in this study was comparable to result early reported by Barusseli et al., (2002) cited by Vale (2004) who found that treatment with CIDR combined with prostaglandin, eCG (equine chorionic gonadotropin) and hCG (human chorionic gonadotropin) gave percentage of conception rates higher than those GnRH (gonadotropin releasing hormone) and prostaglandin.

The ovulation rate and the mean TCL,TNE and TVE collected in this study was higher than those reported earlier (Drost et al., 1983; Karaivanov, 1986; Alexiev et al., 1988; Kurup, 1988; Parnpai et al., 1985) and comparable to results obtained in the previous studies (Misra, 1993; Situmorang, 2003; Situmorang 2005; Baruselli et al., 2003; Hesheng et al., 2006) but much lower than those in cattle. This is very logic since in a nature the number of primordial follicle in those both species was different. Total number of follicles with diameter more than 1 mm is only 30% in buffalo than those in cattle (Dannel, 1987). Misra et al., (1999) in isolated study found the mean 5.9 valuable embryo in river buffalo. The lower results obtained in this study due to a different type of buffalo used where in the previous study using river buffalo but in this study using swamp type. Although there was no statistically different of response of different buffalo genotype to superovulation treatment but there was a tendency that TNE in river type higher than those swamp type (Situmorang 2003). Most of the embryo collected has been well developed to morula and blastocyst stage with only one found in hatch blastocyst stage. This result is in an agreement to the previous study who stated that buffalo embryo development in female tract was faster than those in cattle (Chantaraprateep et al., 1989; Drost and Eldsen, 1985; Misra et al., 1990; Osman and Shehata, 2002). Therefore flushing embryo in buffalo was earlier (day 6 of estrus cycle) than those normally practiced in cattle is day 7. Delaying of flushing to day 7 will result a difficulty of collecting of embryo as in this stage most of embryo has developed to hatch blastocyst stages which is very past to be disintegrated. Therefore in this study it might be the embryo has been developed to hatch blastocyst stage resulting a difficulty to recovery. This hypothesis was supported by a low percentage of recovery rates which was only 46 and 44 for control and treatment group respectively. There was evidence that the increasing TCL will result a lower % RR its mean an increasing number of embryo uncollected. The explanation can be drawn from this evidence is the increasing DO ovary is might not be followed by the increasing of female tract resulted the failure of fimbriae to catch the ovulated oocytes. Baruselli et al. (2000} found a strong evidence that low embryos recovery in buffalo due to a high proportion of oocyte fail to enter the oviduct after superovulation treatment. However these fact needs to be further investigated.

ANIMAL ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 5 - 11

Table 2. Effect of CIDR in superovulation of buffalo using Folltropin Treatment Parameter Control (n=5) DO, cm TCL TNE TVE Peak prog1, ng/ml Recovery rate, % 4.50 0.95 6.00a 2.28 2.80 2.53 2.00 1.67 4.84a 2.11 46.00 32.00
a

CIDR (n=5) 7.00b 2.38 9.00b 2.71 4.00 2.71 3.33 1.89 7.85b 1.16 44.00 17.00

a,b, Means in the same line with different superscript are significantly different (P<0.05). DO: diameter of ovary, TCL: total number of corpus luteum, TNE: total number of embryo, and TVE: total number of valuable embryo.

Conclusion
Seven out of eleven buffalo gave a positive responses to superovulation treatment using gonadotropin hormone (Folltropin). There was evidence that concentration of progesterone at the time of initiation of superovulation play an important role and the high concentration of progesterone become a significant indication of the success of obtaining a valuable embryo and therefore selection of donor for superovulation program in buffalo could be firstly based on the presence of good corpus luteum (CL). CIDR used in superovulation program in buffalo significantly increased DO,TCL and peak concentration of progesterone after superovulation. The mean of TNE and TVE was also increased but it was not statistically different. The superovulatory response of donor was increased from 80% in control to 100% in CIDR treatment. Therefore it can be conclude that application of CIDR in superovulation program in buffalo become applicable and worthy.

Zicarelli, 2000. Failure oocyte entry into oviduct in superovulated buffalo. Theriogenology 53: 491. Baruselli, P.S., N.A.T Carvalho, A.K.S Cavalcante, M. Nichi and L. Zicarelli, 2003. Use of rBST associated to a protocol for multiple ovulation and embryo transfer in buffalo (Bubalus bubalis). Proc. 2nd Congresso Nazionale SullAllevamento Del Buffalo, Roma. Vol 1 : 269-273. Baruselli, P.S. and N.A.T Carvalho, 2005. Responses to hormonal manipulations aimed to achieving higher reproductive efficiencies in water buffaloes. Proc. 7th Buffalo Congress, Vol 1: 131-139. Callesen, H., T. Greve and P. Hyttel, 1986. Preovulatory endrocrinology and oocyte maturation in superovulated cattle. Therionology 25: 71-86. Chantaraprateep,P., C. Lohachit, G. Gobayashi, M. Techkumphu, P. Virakul, A. Kunavongkrit and P. Prateep, 1988. Ovarian response to gonadotrophistimulation in swamp buffalioes. Buffalo Bulletin 7: 82-86. . Chantaraprateep, P., C. Lohachit, M. Techkumphu, G. Gobayashi, P. Virakul, A. Kunayongkrit, P. Prateep and A. Limskul, 1989. Early embryonic development in Thai Swamp buffalo (Bubalus bubalis). Theriogenology 31: 1131-1139. Dannel, E., 1987. Estrus Behaviour, Ovarian Morphology and Cyclical Variation in Follicular System and Endocrin Patern in Water Buffalo Heifers. [Doctoral Thesis]. Uppsala, Sweden. Drost, M., J.R. Wright, W.S. Cripe and A.R. Richter, 1983. Successful non-surgical embryo transfer in buffaloes in Bulgaria. Theriogenology 30: 659-668. Drost, M. and R.P. Elsden, 1985. Blastocyst development in the water buffalo (Bubalus bubalis). Theriogenology 23: 191.

References
Alexiev, A., K. Vlakhov, C. Karaivanov, D. Kacheva, O. Polikhronov, M. Petrov, N. Nicolov, A. Droegev and P. Padev, 1988. Embryo transfer in buffalo in Bulgaria. Proc. 2nd World Buff. Congr. Vol II: 591595. Assey, R.J., B Purwantara, T. Grev, P. Hyttel and M. Schmidt, 1993. Corpus luteum size and plasma progesterone level incattle after coprostenol-induced luteolysis. Theriogenology 39: 1321-1330. Baruselli, P.S., E.H Madureira, J.A. Visintin, R.M Porto Filho, N.A.T Carvalho, G. Campanile and L.

Using a CIDR (Situmorang)

[FAO] Food and Agriculture Organization, 2003. Agriculture data, http:/apps.fao.org/cgi-bin/nph-db.pl subset=agriculture/. Greve, T., H. Callesen and P. Hyttel, 1984. Characterization of plasma LH profile in superovulated dairy cows. Theriogenology 21: 237 (Abstract) Hesheng, J., W. Yingming, J. Quinyang, W. Jingwei, W. Zhijian, W. Peijun. X. Bingkun, H. Haipeng and H. Xiao, 2006. Pregnancies resulted from transfer of invivo embryos derived from nonsurgical recovery in superovulatted buffalo. Proc. 5th Asian Buffalo Congress, Nanning. Pp 53-58. Karaivanov, C, 1986. Comparative study on the superovulatory effects of PMSG and FSH in water buffalo (Bubalus bubalis). Theriogenology 26: 5161. Kastelic,J.P., D.R Bergfeld and O.J Ginther, 1990. Relationship between ultrasonic assessment of the corpus luteum and plasma progesterone concentration in heifers. Theriogenology 33: 12691278. Kurup, M.P.G., 1988. Present status of embryo transfer in buffaloes and future expection. Proc. 2nd World Buffaloes Congress. Vol II: 587-590 Lucy, M.C., 2000. Regulation of ovarian follicular growth by somatropin and insulin-like growth factors in cattle. J Dairy Sci. 83: 1635-1647. Misra, A.K., 1993. Superovulation and embryo transfer in buffalo: progress, problems and future prospects in India. Buffalo j. 1:13-24 Misra, A.K., B.V Joshi, P.L Agrawala, R. Kasiraj, S. Sivalah, N.S Rangareddi and M.U Siddiqul, 1990. Multiple ovulation and embryo transfer in Indian buffaloes (Bubalus bubalis). Theriogenology 33: 1131-1142. Misra, A.K., R. Kasiraj, M Mutha Rao and H.C. Pant. 1999. Embryo transfer technology in the buffalo: Our experience and future rospect. Bubalus Bubalis 4: 63-74. Misra, A.K., R. Hasiraj, N.S. Ranga Reddy, H.C. Pant and M Mutharao, 2002.. Effect of Gn-RH treatment on superovulatory response and embryo recovery in the buffalo (Bubalus bubalis). Buffalo J. 3: 331-338. Osman, A.M. and S.H Shehata. 2002. Transport of preimplantation embryos in the genitalia of buffalo

heifer superovulated with pFSH and variable doses of LH. Journal of Animal Science 80: 388 Parnpai, R., P. Timsrad, M. Kamonpatana, C. Pausin, S. Shopon, T. Jetana, A. Limsakui and C.P. Austin. 1985. Recovery of swamp buffaloes embryo using non-surgical technique. Buffalo Journal 1: 77-82. Purwantara, B.1995. Ultrasonography of donor and recipient in bovine embryo transfer program. Symposium on Biotechnology of Animal Reproduction., Bogor,Indonesia : 13-18. Seidel, G.E. and S.M. Seidel. 1982. The Embryos Transfer Industry. In: New Technologies in Animal Breeding. B.G. Brackett, G.E. Seidel,Jr and S.M. Seidel (Eds). Academic Press, N.Y Singh, J., M Dominguez, R Jaiswal And G P Adams. 2003. A simple ultrasound test to predict superstimulatory response in cattle. Theriogenology 59:534 Situmorang. P., P. Sitepu, and S. Purba .1990.a Observation on the performance of riverine buffaloes in North Sumatera. Jurnal Ilmu dan Peternakan 4 : 14-17. Situmorang. P., P. Sitepu, and A. Bamualim. 1990b. Preliminary observation on the performance of swamp and crossbred Riverine x Swamp buffaloes in Indonesia. Buffalo Journal 1: 89-92. Situmorang, P. 2003. Sperovulation in different buffalo genotypes. Jurnal Ilmu Peternakan dan Veteriner 8: 40-45 Situmorang, P. 2005. Effect the administration of human chorionic gonadotropin(hCG) hormone following superovulation in buffalo. Jurnal Ilmu Peternakan dan Veteriner 10: 286-292 Situmorang, P., E. Triwulaningsih, T. Sugiarti, R. Sianturi Dan D.A. Kusumaningrum. 2005. Plasma Nuftah Kerbau Sungai di Sumatera Utara. Laporan Tahunan Penelitian Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. Steel, R.G.D, and J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: Bambang Sumantri. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Vale, W.G.(1997). News on reproductive biotechnology in males. Proc. 5th World Buffalo Congress Casetra Italy, Vol 1:103-123.

ANIMAL PRODUCTION, Januari 2008, hlm. 12 15 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol.10 No.1

Uji Konsistensi, Akurasi dan Sensitivitas Deteksi Kebuntingan Ternak DEEA GestDect pada Sapi
(Consistency, Accuracy and Sensitivity of DEEA GestDect Pregnancy Test in Cows)
Daud Samsudewa*, Akhmad Lukman, Eko Sugiyanto dan Enny Tantini Setiatin
Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Kampus Tembalang, Semarang

ABSTRACT: The aim of the research was to know the consistency, accuracy and sensitivity of DEEA GestDect pregnancy test. The materials used in this research were urine samples from 322 cows, DEEA GestDect pregnancy test kit, sticker, stop watch, colour list, harness, reaction tube and pipette. DEEA GestDect pregnancy test was compared to palpation method. Descriptive and chi-square analysis was used in this research. The results showed that consistency, accuracy and sensitivity of DEEA GestDect pregnancy test were 87.27%; 87.58% and 2 weeks of gestation period, respectively. It was concluded that DEEA GestDect is a reliable pregnancy test in term of its consistency, accuracy and sensitivity. Key Words: Pregnancy test, DEEA GestDect, cow

Pendahuluan
Deteksi kebuntingan dini adalah aspek penting dalam manajemen reproduksi. Deteksi kebuntingan yang lebih dini akan lebih cepat memberikan informasi tentang keberhasilan perkawinan sehingga dapat segera dilakukan evaluasi kegagalan. Evaluasi yang lebih cepat akan dapat meningkatkan efisiensi reproduksi (Karen et al., 2004). Oleh karena itu sangat diperlukan metode deteksi kebuntingan dini yang akurat, mudah digunakan, murah dan tidak berbahaya bagi ternak. Berbagai metode deteksi kebuntingan ternak yang telah ada saat ini antara lain adalah (1) Palpasi rektal/abdomen, yang membutuhkan tenaga ahli dalam pelaksanaannya dan memiliki kelemahan yang lain yaitu dapat mengakibatkan kematian pada embrio jika pelaksanaannya tidak tepat; (2) Hormonal, antara lain dengan pengukuran kadar progesteron dan estrogen yang ada dalam darah (Hafez, 1993). Metode yang digunakan dalam pengukuran kadar hormon di atas adalah dengan ELISA dan RIA, yang memiliki akurasi tinggi tetapi memerlukan penanganan dalam laboratorium yang cukup lama dan mahal. Selain itu metode deteksi kebuntingan ini menggunakan semacam bahan radioaktif sehingga memiliki resiko yang tinggi terhadap radiasinya (Hunter, 1981).

Hasil penelitian lain metode deteksi kebuntingan ternak yang dilakukan oleh Samsudewa et al. (2003) dengan menggunakan metode identifikasi ikatan fenol pada estradiol 17- yang terekskresikan lewat urine menunjukkan hasil yang lebih baik, karena mudah digunakan, tidak berbahaya bagi ternak dan murah. Namun hasil penelitian ini masih dalam skala laboratorium yang hanya menggunakan 6 ekor kambing betina, 4 ekor domba betina dan 2 ekor sapi betina sehingga tingkat akurasi, konsistensi dan umur kebuntingan paling dini yang dapat dideteksi (sensitivitas) oleh bahan deteksi kebuntingan ini belum dapat diketahui. Oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut tentang penentuan konsistensi, akurasi dan sensitivitas deteksi kebuntingan ternak DEEA GestDect. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsistensi, akurasi dan sensitivitas deteksi kebuntingan ternak DEEA GestDect. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diketahui konsistensi, akurasi dan sensitifitas deteksi kebuntingan ternak DEEA GestDect sehingga dapat membantu efisiensi penanganan ternak bunting/tidak bunting, mengurangi pemotongan betina produktif, membantu peternak yang akan menjual ternaknya jika mengetahui ternak tersebut dalam keadaan bunting sehingga harga jualnya bisa ditingkatkan dan mendukung program percepatan swasembada daging 2010.

* Korespondensi penulis : e-mail tyas_dewa@yahoo.com

12

Uji Konsistensi, Akurasi (Samsudewa (et al.)

13

Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada beberapa Kelompok Tani Ternak di Kecamatan Brekisan, Berbah, Nglengis dan Pagerjurang, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah urine dari 322 ekor sapi betina dengan beberapa syarat yaitu kondisi berahi normal dan dikawinkan antara 2 minggu sampai dengan 6 bulan sebelum pengujian. Penentuan kondisi berahi dan status perkawinan dilakukan melalui rekording ternak. Selain itu juga digunakan bahan deteksi kebuntingan ternak DEEA GestDect (produksi CV. Bina Satwa Mandiri), stiker, stop watch, tabel warna, kantung harness, tabung reaksi dan pipet tetes. Prosedur penggunaan bahan deteksi kebuntingan ternak DEEA GestDect adalah: urin sapi yang diduga bunting dimasukan dalam tabung reaksi sebanyak bagian tabung reaksi, kemudian ditambah 2 tetes larutan pendahuluan. Apabila terbentuk suspensi coklat kekuningan berarti ternak kemungkinan positif bunting, namun apabila terbentuk larutan homogen berarti ternak kemungkinan negatif bunting. Hasil pengujian dipastikan dengan meneteskan 5 tetes larutan penegas, dan apabila terbentuk endapan berarti ternak positif bunting, namun apabila larutan tetap menunjukkan hasil homogen maka ternak negatif bunting. Penelitian dilakukan dalam 2 tahapan. Penelitian tahap I dilakukan dengan cara mengumpulkan urine ternak dan dilanjutkan dengan pengujian menggunakan deteksi kebuntingan ternak DEEA GestDect, selanjutnya pada penelitian tahap II dilakukan 3 bulan setelah penelitian tahap I dengan metode dan ternak yang sama. Variabel yang diamati adalah konsistensi, akurasi dan sensitivitas bahan deteksi kebuntingan DEEA GestDect. Untuk menilai konsistensi bahan dilakukan dengan

pembandingan hasil pengujian tahap I dan tahap II. Pembandingan selanjutnya dilakukan antara hasil pengujian deteksi kebuntingan ternak DEEA GestDect dengan hasil palpasi rektal (100% dianggap benar) yang digunakan untuk menilai akurasi deteksi kebuntingan ternak DEEA GestDect, sedangkan untuk penentuan sensitivitas bahan deteksi kebuntingan ternak DEEA GestDect dilakukan dengan melihat umur kebuntingan paling dini yang dapat dideteksi dengan hasil akurat. Data dianalisis secara deskriptif dan uji pembanding chi square.

Hasil dan Pembahasan


Tabel 1 menunjukkan konsistensi bahan deteksi kebuntingan ternak DEEA GestDect pada pengujian I dan II sebesar 87,27%, secara statistik konsistensi bahan deteksi kebuntingan DEEA GestDect menunjukkan hasil yang konsisten dengan angka 2 hitung = 178,882 (P<0,05). Sedangkan akurasi deteksi kebuntingan ternak DEEA GestDect dibandingkan dengan palpasi rektal (dianggap 100% benar) adalah 87,58%, secara statistik akurasi bahan deteksi kebuntingan DEEA GestDect menunjukkan hasil yang akurat dengan angka 2 hitung = 181,876 (P<0,05). Angka penyimpangan antara 12-13% disebabkan oleh beberapa hal antara lain pengujian ternak pada kondisi bunting tua (7 bulan keatas) ataupun bunting yang terlalu muda (13 hari kebawah) dan pemeliharaan ternak yang kurang baik. Pemeliharaan ternak yang kurang baik juga dapat berimbas kegagalan kebuntingan sebagai contoh di Desa Kaliadem, Kecamatan Cangkringan, pemeriksaan dengan menggunakan deteksi kebuntingan ternak DEEA GestDect pada usia kebuntingan 2 minggu hingga 1 bulan menunjukkan hasil positif tetapi 3 bulan kemudian pemeriksaan kebuntingan dengan PKB memperoleh hasil negatif, setelah ditelusuri diperoleh fakta pemeliharaan yang

Tabel 1. Konsistensi, Akurasi dan Sensitifitas Deteksi Kebuntingan Ternak DEEA GestDect No 1. 2. 3. Pengamatan Konsistensi Akurasi Sensitivitas (2 minggu) Jumlah Data (Ekor) 322 322 26 Data Sahih (Ekor) 281 282 24 Data Galat (Ekor) 41 40 2 Persentase (%) 87,27 87,58 92,31

14

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 12 - 15

kurang baik seperti ternak sering jatuh dan pemberian pakan kualitas rendah yang mempunyai resiko kegagalan kebuntingan tinggi. Wijono et al. (2001) dalam penelitiannya tentang pengaruh perbaikan pakan sapi potong induk bunting dan menyusui menunjukkan adanya 20% kematian embrional akibat pakan jerami dengan kualitas rendah. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Yulistiani et al. (2001) pada upaya perbaikan pakan induk domba komposit menunjukkan keberhasilan induk mempertahankan kebuntingan 15% lebih tinggi dibandingkan induk yang tidak mendapat perbaikan pakan. Oleh karena itu dengan adanya pendeteksian kebuntingan dini diharapkan pemeliharaan ternak dapat ditingkatkan dari segi manajemen pakan dan pemeliharaan. Fenomena lain yang terjadi adalah adanya corpus luteum persisten (CLP). Menurut Hafez (1993) corpus luteum persisten adalah corpus luteum semi permanen akibat adanya kegagalan kebuntingan pada periode sebelumnya. Gil et al., (2004) dalam penelitiannya tentang penggunaan metode inseminasi buatan cervical menunjukkan adanya kegagalan perkawinan sebesar 5% akibat adanya corpus luteum persisten. Adanya corpus luteum persisten ini berakibat progesteron mempunyai kadar yang tetap tinggi dalam darah dan estrogen tetap terekskresi. Pada pemeriksaan menggunakan DEEA GestDect fenomena ini akan menunjukkan hasil positif negatif, sehingga saat terjadi hasil positif negatif pada kebuntingan antara 1 bulan hingga 6 bulan disarankan segera dilakukan palpasi rektal untuk mengamati kondisi kesehatan organ reproduksi. Jadi selain digunakan untuk melakukan pengamatan kebuntingan dini deteksi kebuntingan ternak DEEA GestDect ini juga dapat digunakan sebagai pendukung pemeliharaan kesehatan reproduksi. Hasil penelitian selanjutnya adalah sensitifitas bahan deteksi kebuntingan ternak DEEA GestDect. Hasil yang diperoleh dari 26 ekor yang mempunyai kisaran kebuntingan 2 minggu, 24 ekor menunjukkan hasil yang sesuai dengan hasil pemeriksaan dengan palpasi rektal 3 bulan berikutnya dengan angka sensitifitas bahan deteksi kebuntingan DEEA GestDect 92,31%, secara statistik sensitifitas bahan deteksi kebuntingan DEEA GestDect pada umur kebuntingan 2 minggu menunjukkan hasil yang sensitif dengan angka 2 hitung = 18,615 (P<0,05). Jadi pemeriksaan kebuntingan DEEA GestDect mempunyai kemampuan untuk mendeteksi

kebuntingan 2 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa deteksi kebuntingan ternak DEEA GestDect mempunyai akurasi dan sensitifitas lebih baik apabila dibandingkan metode deteksi kebuntingan yang lain. Hasil penelitian Windsor et al. (1994) dengan menggunakan ultrasonografi baru dapat dideteksi pada umur 65 hari. Sedangkan hasil penelitian Karen et al. (2004) menunjukkan bahwa sensitifitas transrectal ultrasonography adalah 41 hari umur kebuntingan. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Gonzalez et al. (2004) menunjukkan bahwa metode deteksi kebuntingan transrectal dengan pengukuran konsentrasi PAG mempunyai akurasi 82,8% dan sensitifitas 24 hari, sedangkan metode deteksi kebuntingan P4 Assay mempunyai akurasi 87,5% dengan sensitifitas 22 hari. Metode deteksi kebuntingan ternak DEEA GestDect didasarkan pada saat terjadinya konsepsi akan terbentuk corpus luteum yang mensekresikan progesteron yang diperlukan untuk peningkatan vascullarisasi, pertumbuhan serta percabangan kelenjar-kelenjar uterus, dan infiltrasi leukosit sehingga dapat menjaga kebuntingan (Toelihere, 1981). Pada saat kebuntingan menurut Gonzalez et al. (2004) terjadi peningkatan kadar progesteron dalam darah hingga mencapai angka 8,42 0,23 ng/ml. Peningkatan kadar progesteron dalam darah mengakibatkan estrogen yang dihasilkan oleh plasenta hanya sedikit digunakan dalam fisiologis kebuntingan. Hal ini sesuai dengan pendapat Skidmore et al. (1994) yang menyatakan bahwa pada saat kebuntingan jumlah estrogen menurun sampai dengan 50% dibandingkan saat tidak bunting. Selanjutnya, estrogen yang tidak digunakan tersebut akan terekskresi melalui urine. Wasser et al. (1994) dalam penelitiannya pada baboon menyatakan bahwa pada saat kebuntingan ekskresi estrogen melalui urine mempunyai grafik yang meningkat mulai dari kebuntingan awal hingga mendekati kelahiran akan kembali mengalami penurunan. Selanjutnya ditambahkan oleh Edwards et al. (1994) bahwa pada usia kebuntingan 8-11 hari corpus luteum mulai terbentuk untuk memproduksi progesteron sehingga kadar progesteron dalam darah meningkat dan estrogen dalam darah menurun dan disekresikan melalui urine dalam bentuk estradiol 17-. Ikatan ion fenol terikat dalam estradiol 17-, sehingga ikatan ion yang terikat dalam estradiol 17- inilah yang dapat dideteksi dalam urine oleh bahan deteksi kebuntingan DEEA GestDect.

Uji Konsistensi, Akurasi (Samsudewa (et al.)

13

Kesimpulan
Deteksi kebuntingan DEEA GestDect mempunyai konsistensi 87,27%, akurasi 87,58% dan sensitivitas 2 minggu sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi kebuntingan secara dini dan akurat.

sheep: effect of fasting and handling of the animals. Theriogenology 61(7-8): 1291-1298. Samsudewa, D., A. Lukman dan E. Sugiyanto, 2003. Identifikasi ion fenol dalam urine sebagai alternatif metode deteksi kebuntingan ternak. Prosiding Workshop Inovasi Teknologi Menghadapi AFTA 2004. Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Jawa Tengah. Semarang. Skidmore, J.A., W.R. Allen and R.B. Heap, 1994. Oestrogen synthesis by the peri-implantation conceptus of the one-humped camel. Journal of Reproduction and Fertility 101: 363-367. Toelihere, M.R., 1981. Fisiologi Reproduksi Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung. Pada

Daftar Pustaka
Edwards, H.E., K.L. Jenkins, L.C. Mucklow, G.E. Erb and K.E. Wynne-Edwards, 1994. Endocrinology of the pregnant Djungarian Hamster (Phodopus capbelli). Journal of Reproduction and Fertility 101: 1-8. Gil, J., M. Rodriguez-Irazoqui, N. Lundeheim, L. Saderquiist and H. RodriguezMartinez, 2004. Fertility of ram semen frozen in bioexcell and used for cervical artificial insemination. Theriogenology 59(5-6): 1157-1170. Gonzalez, F., F. Cabrera, M. Batista, N. Rodriguez, D. Alamo, J. Sulon, J. F. Beckers and A. Gracia, 2004. A comparison of diagnosis of pregnancy in the goat via transrectalultrasound scanning, progesterone, and pregnancy-associated glycoprotein assays. Theriogenology 62(6): 1108-1115. Hafez, E.S.E., 1993. Reproduction in Farm Animals. 6th ed. Lea and Febiger, Philadelphia. Hunter, R.F., 1981. Fisiologi dan Anatomi Organ Reproduksi. Penebar Swadaya. Jakarta (Diterjemahkan oleh : D.K. Harya Putra). Karen, A., K. Szabadoz, J. Reiczigel, J.F. Beckers and O. Szenci, 2004. Accuracy of transrectal ultrasonography for determination of pregnancy in

Wasser, S.K., S.L. Monfort, J. Shouters and D.E. Wildt, 1994. Excretion rates and metabolites of oestradiol and progesterone in Baboon (Papio cynocephalus cynocephalus). Journal Reproduction and Fertility 101: 213-220. Wijono, D.B., U. Umiyasih, M.A. Yusran dan D.E. Wahyono, 2001. Pengaruh perbaikan pakan sapi potong induk bunting dan menyusui terhadap efisiensi reproduksi di peternakan rakyat. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis (Edisi Khusus): 54-62. Windsor, D.P., A.Z. Szell, C. Buschbeck, A.Y. Edward, J.T.B. Milton and B.C. Buckrell, 1994. Transervical artificial insemination of Australian Merino Ewes with frozen thawed semen. Theriogenology 42(1): 147-157. Yulistiani, D., Kuswandi, P. Wisri dan Subandriyo. 2001. Respon produksi domba komposit induk pada fase bunting tua terhadap perbaikan pakan. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis (Edisi Khusus): 63-72.

ANIMAL PRODUCTION, Januari 2008, hlm. 16 21 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol.10 No.1

Pengaruh Penyuntikan GnRH dan PGF2 terhadap Profil Progesteron Sapi Perah Pasca Beranak
(Effect of GnRH and PGF2 Injection on Progesterone Profile of Postpartum Dairy Cow)
Siti Darodjah Rasad*
Laboratorium Reproduksi Ternak, Fakultas Peternakan UNPAD, Kampus Jatinangor-Sumedang

ABSTRACT: A research of progesterone profile on postpartum dairy cows after GnRH and PGF2 treatment had been conducted to determine the skim milk progesterone profiles, which enhance ovarian activity in postpartum dairy cows. It is expected that by this treatment, the interval to first estrus could be reduced, and frequency of estrus and percentage of estrus expression could be increased. Twenty cows were randomly assigned to four treatment groups including Control group, which contain respectively 5 cows each group. Cow (n=5) in group I received 200 g GnRH i.m. on days 10-14 p.p.; in group II received 15 mg PGF2 on days 20-24 i.m. p.p.; and group III received combination of both. The control group did not receive hormonal treatments. The research used multivariate, completely randomized design, unvariate Ftest and Duncans Multiple Range Test. Result showed that the postpartum interval to first estrus was shorter in treated groups (I, 26 d; II, 22 d, and III, 24 d) as compared to control group (54 d, P< 0.05). The percentage of estrus increased (60%) in group II and III, but not significant differences were found between group I and the control group (40%). Our result suggested that the combination treatment of GnRH and PGF2 (GnRH + PGF2) enhanced activity in the postpartum cows, resulting in improved reproductive performance. Key Words: GnRH, PGF2 , progesterone profile, postpartum dairy cow

Pendahuluan
Penampilan reproduksi pada sapi perah merupakan faktor penting dalam menunjang produktivitas ternak. Kondisi uterus pasca partus besar pengaruhnya terhadap fertilitas sapi perah. Oleh karena itu, manajemen pasca beranak sangat besar peranannya untuk mengatasi penurunan produktivitas ternak yang disebabkan oleh adanya kegagalan reproduksi, terutama gangguan fungsi hormon. Interval dari partus hingga konsepsi dipengaruhi oleh kegagalan reproduksi, penyakit, aktivitas ovarium yang menurun serta fertilitas per inseminasi. Fertilitas sapi perah yang tinggi dapat mempercepat timbulnya estrus pertama dan meningkatkan frekuensi estrus awal pasca beranak. Upaya memperbaiki penampilan reproduksi dapat dilakukan melalui upaya pengaturan aktivitas hormonal. Barile et al. (2001) menyatakan bahwa pemberian preparat hormon kelompok gonadotropin dan gonadal dapat memperbaiki angka kebuntingan hingga 80%. Berdasarkan hal tersebut, masalah reproduksi sa* Korespondensi penulis : e-mail sd_rasad@cbn.net.id

pi perah dapat dipecahkan dengan cara mempercepat dan memperpendek timbulnya estrus pertama pasca beranak, sehingga jarak beranak (calving interval) dapat diperpendek melalui pemberian GnRH dan atau PGF2. Pemberian GnRH dan PGF2 dimaksudkan untuk mendapatkan efeknya terhadap profil progesteron susu skim, dengan melihat profil progesteron dalam susu skim, maka dapat dideteksi aktivitas estrus dan ovulasi secara akurat. Selain melihat profil progesteron susu, kadar progesteron dapat diukur secara otomatis dengan mengukur perubahan frekuensi antibodi yang melapisi kristal oskilator sebagai respon dari progesteron yang mengikat antibodi tersebut (Koelsch et al., 1994). Ball dan Peter (2004) menyatakan bahwa profil progesteron susu dapat menggambarkan ovulasi pertama pada sapi perah. Koketsu dan Dial (2002) menyatakan bahwa perlakuan PGF2 berpengaruh terhadap involusi uterus, yang pada akhirnya dapat mempercepat timbulnya estrus kembali pasca beranak. Patterson et al. (2001) menyatakan bahwa pemberian PGF2 dapat memberikan pengaruh terhadap timbulnya ovulasi pasca beranak. Tujuan penelitian ini adalah memperbaiki aktivitas ovarium pasca beranak sapi perah dengan menggunakan
16

Pengaruh Penyuntikan GnRH (Rasad)

17

perlakuan hormonal, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan penampilan reproduksi sapi perah tersebut.

Metode Penelitian
Penelitian dilakukan di perusahaan peternakan sapi perah PT Taurus Dairy Farm, Cicurug, Sukabumi dan Laboratorium Biologi PAIR BATAN Jakarta dengan menggunakan 20 ekor sapi perah FH awal pasca beranak yang dikelompokan dalam 4 kelompok perlakuan masing-masing terdiri dari 5 ekor. Setiap kelompok mendapat perlakuan sebagai berikut : Kelompok I mendapat perlakuan 200 g GnRH secara intra muscular setiap hari pada hari 1014 pasca beranak (n = 5 ekor). Kelompok II mendapat perlakuan 15 mg PGF2 secara intra muscular setiap hari pada hari 20-24 pasca beranak (n = 5 ekor). Kelompok III mendapat perlakuan 200 g GnRH setiap hari pada hari 10-14, dan dilanjutkan dengan pemberian 15 mg PGF2 secara intra muskular setiap hari pada hari 20-24 pasca beranak (n = 5 ekor). Kelompok IV tidak mendapat perlakuan (kontrol) (n = 5 ekor) Pengujian profil progesteron dilakukan pada susu skim dari sampel susu yang diambil mulai dari hari ke-2 sampai hari ke-60 pasca beranak. Sampel susu diambil dua kali pada waktu pemerahan yaitu pagi pukul 03.00 dan siang pukul 15.00 dan ditampung segera setelah akhir pemerahan, kemudian ditampung sebanyak 4 cc ke dalam tabung plastik polypropylene. Sampel selanjutnya dianalisis dengan radioimmunoassay (RIA) untuk dilihat profil progesteronnya. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis profil peubah ganda (multivariat) dan analisis ragam menggunakan Rancangan Acak Lengkap, dilanjutkan dengan uji Duncan`s. Selama penelitian, sapi-sapi ditempatkan pada satu kawasan kandang tersendiri dan mendapatkan tata laksana pemeliharaan seperti yang biasa dilakukan, termasuk pemberian pakan. Adapun pakan yang diberikan selain rumput, juga diberikan konsentrat dengan susunan terdiri dari jagung, dedak, polar, wisebrand, bungkil kelapa, mineral dan premix. Semua sapi mendapat pakan yang sama.

pengaruh yang nyata (P<0,05) dibandingkan kontrol (Gambar 2), yang menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi progesteron segera setelah perlakuan hormon baik perlakuan hormon sejenis (kelompok I yaitu perlakuan GnRH dan kelompok II yaitu perlakuan PGF2) ataupun kombinasi hormon (kelompok III, perlakuan GnRH+PGF2). Akibat perlakuan ketiga hormon tersebut, terjadi fluktuasi konsentrasi progesteron yang sesuai dengan siklus reproduksi sapi. Hal ini sesuai dengan Mann et al. (1998) bahwa tinggi rendahnya konsentrasi progesteron susu skim erat kaitannya dengan status reproduksi sapi perah. Penelitian mengenai akurasi analisis progesteron susu telah dikembangkan dengan biosensor yang didasarkan kepada pengujian imunologi untuk progesteron susu sapi (Gillis et al., 2002; Mottram et al., 2002) Berdasarkan hasil analisis statistik, antar perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Profil progesteron, dapat digunakan untuk menduga aktivitas ovulasi maupun estrus pertama pasca beranak dari setiap kelompok perlakuan (Tabel 1). Perlakuan hormonal dapat mempercepat timbulnya estrus pertama pasca beranak, serta meningkatkan persentase ekspresi estrus pertama pasca beranak. Dengan demikian, perlakuan hormonal dapat mengatasi hambatan silent estrus (berahi tersembunyi) yang umum terjadi pada sapi perah. Gambar 2 menunjukkan adanya penurunan konsentrasi progesteron susu yang drastis pada hari ke-24 pasca beranak, sehingga pada saat tersebut telah timbul telah estrus pertama pasca beranak. Kondisi ini juga telah diperkuat dengan pemeriksaan palpasi per rektal dan deteksi berahi secara visual yang memperlihatkan tanda-tanda estrus yang jelas.

Pengaruh Pemberian GnRH


Dengan memperhatikan profil progesteron pada kelompok I, akibat pemberian GnRH pada hari ke 10-14 pasca beranak maka dapat diduga waktu timbulnya estrus (Tabel 1). Demikian pula dengan siklus estrus (Gambar 1). Dari gambaran profil tersebut terlihat bahwa pada hari ke-26 konsentrasi progesteron rendah dan diikuti dengan peningkatan konsentrasi progesteron pada hari ke-28 pasca beranak. Oleh karena itu dapat diduga adanya estrus pada hari ke-26 pasca beranak. Kenyataan ini bila dikaitkan dengan gambaran profil progesteron susu skim (Gambar 1), terlihat bahwa pada hari ke-14 terjadi peningkatan konsentrasi progesteron. Hal tersebut menunjukkan saat mulai terbentuk Corpus Luteum (CL) dengan

Hasil dan Pembahasan


Profil Progesteron Susu Skim
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga perlakuan (kelompok I, II dan III) memberikan

18

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 16 - 21

konsentrasi progesteron yang masih rendah. Konsentrasi progesteron tersebut akan mencapai puncaknya pada hari ke-10 setelah ovulasi (Hafez and Hafez, 2000). Konsentrasi progesteron tertinggi pada hari ke-24 dan diikuti dengan penurunan secara drastis pada hari ke-26 (< 1 ng/ml). Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa pada hari ke-26 pasca beranak terjadi estrus pertama pasca beranak, walau secara klinis di lapangan ekspresi estrus tidak nampak secara jelas. Kejadian silent heat sudah sering terjadi dan mencapai 77% pada sapi perah.

Hal ini disebabkan adanya masa transisi dari tidak berproduksi ke periode laktasi, sehingga terjadi keseimbangan energi (balance energy) negatif, dan aktivitas reproduksi menurun (Yusof, 2005). Timbulnya estrus pertama pasca beranak pada sapisapi yang mendapat perlakuan GnRH lebih cepat dibandingkan dengan kontrol. Hafez dan Hafez (2000) menyatakan bahwa waktu timbulnya estrus pertama postpartum akan timbul lebih cepat pada sapi yang diberi perlakuan GnRH.

Tabel 1. Interval partus-estrus pertama p.p. serta persentase ekspresi estrus pada sapi perah postpartum Kelompok Perlakuan I (GnRH) II (PGF2) III (GnRH + PGF2) IV (kontrol)
a,b,

Interval Partus-Estrus I p.p. (hari) 26a 22a 24a 54b

Persentase ekspresi Estrus p.p. (%) 40a 60a 60a 20b

Siklus Estrus (hari) 22 4a 23 1a 23 1a 54b

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05

O2

E2

Gambar 1. Profil progesteron susu skim pada sapi Kelompok I


O = ovulasi; E = estrus

Pengaruh Penyuntikan GnRH (Rasad)

17

O2 E2

Gambar 2. Profil progesteron susu skim pada sapi Kelompok II


O = ovulasi; E = estrus

E2 O2

Gambar 3. Profil progesteron susu skim pada sapi Kelompok III


O = ovulasi; E = estrus

18

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 16 - 21

Gambar 4. Profil progesteron susu skim pada sapi Kelompok IV


O = ovulasi; E = estrus

Asumsi adanya estrus, didasarkan atas pendapat Momcilovic et al. (1998) apabila konsentrasi progesteron susu skim < 1 ng/ml terjadi estrus, bila antara 1-3 ng/ml dubius (ragu) dan > 3 ng/ml selama 3 siklus berturut-turut berarti terjadi kebuntingan. Dengan demikian dapat diprediksi bahwa interval partus-estrus pertama pasca beranak pada kelompok I adalah 26 hari. Pemberian GnRH tersebut juga mempengaruhi pola siklus estrus berikutnya. Terlihat bahwa pada hari ke-27 dan ke-48 terjadi kembali ovulasi ke 2 dan ke 3. Demikian pula, ekspresi estrus ke-2 terjadi pada hari ke-48 pasca beranak. Ini berarti persentase ekspresi estrus klinis adalah 40%, nyata lebih baik dibandingkan kontrol (Tabel 1). Konsentrasi progesteron susu skim dari hasil analisis laboratorium rendah. Ini disebabkan konsentrasi progesteron susu skim 2-3 kali lebih rendah dibandingkan pada susu penuh (Eissa et al., 1991). Analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara Kelompok I dengan Kontrol. Demikian pula setelah dilakukan uji lanjut dengan Uji Duncans (P < 0,05).

pemberian PGF2 sehingga dapat menggambarkan siklus reproduksi pada sapi. Pada hari ke-24 konsentrasi progesteron rendah dan pada hari ke-26 mulai terjadi peningkatan, sehingga dapat diprediksi bahwa pada hari ke-24 terjadi estrus, dengan konsentrasi 0,2 ng/ml (Gambar 1) Selanjutnya pemberian PGF2 juga mempengaruhi pola siklus estrus berikutnya, yakni adanya ekspresi estrus 60%, sedangkan bila dibandingkan dengan kontrol, nyata lebih baik. Hal ini didasarkan hasil analisis statistik, yaitu terdapat perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan II (PGF2) dengan kontrol (P<0,05). Demikian juga pengujian lanjutan dengan Uji Duncan`s terdapat perbedaan yang nyata antara kelompok II dengan kontrol (P<0,05). Kondisi ini sesuai dengan pendapat Koketsu dan Dial (2002) bahwa pembertian PGF2 dapat mempercepat involusi uteri, sehingga pada gilirannya akan mempengaruhi timbulnya estrus kembali pasca beranak. Patterson et al. (2001) menyatakan bahwa pemberian PGF2 dapat memberikan pengaruh terhadap timbulnya ovulasi

Kondisi Kelompok Kontrol Pengaruh Pemberian PGF2


Gambaran profil progesteron susu skim pada kelompok II (Gambar 1) memperlihatkan fluktuasi konsentrasi progesteron susu skim sebagai akibat Pada kelompok IV yaitu kelompok sapi-sapi yang tidak mendapatkan perlakuan apapun, menunjukkan gambaran profil progesteron seperti tersirat pada Gambar 2. Konsentrasi progesteron

Pengaruh Penyuntikan GnRH (Rasad)

17

sejak hari ke-2 pasca beranak selalu rendah yakni 0,5 ng/ml dan profil konsentrasi tersebut pada kelompok kontrol ini selalu rata hingga hari ke-34 pasca beranak. Selanjutnya pada hari ke-36 pasca beranak terjadi peningkatan konsentrasi progesteron susu, tetapi tidak diikuti penurunan drastis dari konsentrasi progesteron tersebut. Kondisi ini menyebabkan sulitnya memprediksi timbulnya estrus pasca beranak. Selanjutnya deteksi estrus didasarkan pada tanda atau gejala secara visual, yang digunakan untuk membandingkan dengan profil progesteron susu. Pada hari ke-54 pasca beranak terjadi penurunan konsentrasi progesteron yang diikuti dengan peningkatan konsentrasi progesteron yang signifikan. Dengan demikian, maka dapat diprediksi bahwa pada hari ke-54 terjadi estrus pertama pasca beranak dan diikuti dengan timbulnya ovulasi pasca beranak.

Gillis, E. H., J. P. Gosling, J. M. Sreenan and M. Kane. 2002. Development and validation of a biosensorbased immunoassay for progesterone in bovine milk. Journal of Immunological Methods 267(2): 131-138. Hafez, E.S.E. and B. Hafez, 2000. Reproductive Cycle. In: Reproduction in Farm Animals. 7th edition. E.S.E. Hafez and B. Hafez (Eds). Lippincott Williams & Wilkins. New York. Pp. 61-62. Koketsu, Y. and G.D. Dial, 2002. Administration of prostaglandin F2 after farrowing alters the association between lactation length and subsequent litter size in mid- or old- parity sow. Theriogenology 57: 837-843. Koelsch, R. K., Aneshansley, D. J. and Butler, W. R. 1994. Milk progesterone sensor for application with dairy industry. Journal of Agriculture Engineering Research 58:115-120. Mann, G., R. Keatinge, M. Hunter, B. Hedley, G. Lamming. 1998. The use of milk progesterone to monitor reproductive function in beef suckler cows. Animal Reproduction Science 88(3-4): 169-177. Momcilovic, D., Archibald, L. F., Walters, A., Tran, T., Kelbert, D., Risco, C. and Thatcher, W. W. 1998. Reproductive performance of lactating dairy cow treated of Gonadotrophin releasing hormone (GnRH) and/or Prostaglandin F2 (PGF2) for synchronization estrus and ovulation. Theriogenology 50(7): 1131-1139 Mottram, T., M. Velasco-Garcia, P. Berry, P. Richards, J. Ghesquiere, L. Masson. 2002. Automatic On-Line Analysis Of Milk Constituents (Urea, Ketones, Enzymes And Hormones) Using Biosensors. Comparative Clinical Pathologi 11(1):50-58 Patterson, J.L., H.J. Willis, R.N. Kirkwood and G.R. Foxcroft, 2001. Lack of an effect of prostaglandin injection at estrus onset on the time of ovulation and on reproductive performance in weaned sows. Theriogenology 56: 913-921 Yusof, N. 2005. Interaction of Nutrition and Reproduction: Influence, Mechanism and Site of Action of Energy Balance on Post Partum Ovarian Function. In: Recent Advances and Application in Animal Reproductive Biotechnology. M. Kamaruddin (Ed). Malaysian Agriculture Research and Development Institute. Pp. 73-77.

Kesimpulan
Pemberian GnRH dan atau PGF2 nyata mempengaruhi profil progesteron susu skim pasca beranak. Pemberian GnRH dan atau PGF2 dapat memperpendek interval partus estrus pertama pasca beranak dan meningkatkan ekspresi estrus selama 60 hari awal pasca beranak. Selain itu deteksi estrus pasca beranak secara klinis dapat diperkuat dengan analisis profil progesteron susu skim secara laboratorium dengan teknik radioimmunoassay.

Daftar Pustaka
Ball, P.J.H. and A.R. Peters, 2004. Reproduction in Cattle. 3rd edition. Blackwell Publishing. London. Pp. 80-81. Barile, V.L., A. Galasso, E. Marchiori, C. Pacelli, N. Montemurro and A. Borghese, 2001. Effect of PRID treatment on conception rate in Mediterranean buffalo heifers. Livestock Production Science 68(2): 283-287. Eissa, H.M., R.F. Nachreiner and K.R. Refsal, 1991. Skim milk progesterone in pregnant cows from insemination throughout lactation. Theriogenology 35: 965-975.

ANIMAL PRODUCTION, Januari 2008, hlm. 22 29 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol.10 No.1

Kualitas Spermatozoa Cauda Epididimis Sapi Peranakan Ongol (PO) dalam Pengencer Susu, Tris dan Sitrat Kuning Telur pada Penyimpanan 4-5oC
(Quality of Cauda Epididymal Spermatozoa of Ongole Cross Bred Bull in Egg Yolk Skim Milk, Tris and Citrate Extenders Stored At 4-5oC)
Nurcholidah Solihati1*, Ruhijat Idi1, Siti Darodjah Rasad1, Muhammad Rizal2 dan Maya Fitriati1
1 2

Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon

ABSTRACT: The objective of this study was to find out the quality of cauda epididymal spermatozoa in egg yolk skim milk, tris and citrate extenders stored at 4-5oC. This study was laid out in Complete Randomized Design (CRD) with three treatments and six replication. Evaluation had been done on quality of fresh spermatozoa, after diluting in extender and stored at 4-5oC. The result of this study showed that treatment of extenders not significant difference (P>0.05) on motility, live sperm, abnormality, intact plasma membrane and viability of cauda epididymal spermatozoa stored at 4-5oC. It is concluded that skim milk, citrate and tris extenders have the same ability to maintenance quality and viability of Ongol cross bred cauda epididymal sperm. Key Words: Ongol cross bred, spermatozoa, cauda epididymal, extenders

Pendahuluan
Cauda epididimis merupakan tempat penampungan sementara (reservoir) spermatozoa sebelum diejakulasikan. Spermatozoa yang berasal dari cauda epididimis telah melewati proses pematangan di bagian caput dan corpus epididimidis (Axner et al., 1999), dan mempunyai kemampuan untuk membuahi oosit (Garner and Hafez, 2000). Bahkan beberapa peneliti melaporkan bahwa penyimpanan epididimis sebelum spermatozoa dikoleksi masih mampu mempertahankan motilitas, diantaranya pada babi (Kikuchi et al., 1998), rusa merah (Soler et al., 2003) dan domba (Rizal et al., 2004). Spermatozoa cauda epididimis merupakan alternatif sumber spermatozoa apabila ternak pejantan unggul tidak dapat ditampung semennya karena berbagai alasan, seperti tidak respons terhadap elektroejakulator dan masase, pincang atau bahkan pada pejantan yang mati secara mendadak. Dalam hal ini, spermatozoa epididimis yang diperoleh perlu mendapatkan penanganan supaya dapat bertahan hidup untuk beberapa waktu dan memiliki daya fertilitas optimum. Teknologi tepat guna yang dapat diterapkan yaitu melalui teknik pengawetan, seperti pendinginan yang sebelumnya spermatozoa telah diencerkan. Pengen* Korespondensi penulis : e-mail nurcholidah@yahoo.com

ceran dilakukan untuk menjamin kebutuhan fisik dan kimiawi spermatozoa. Setiap jenis pengencer umumnya memiliki komponen yang berbeda, sehingga dari setiap pengencer memiliki kemampuan dan cara yang berbeda dalam mendukung kelangsungan hidup spermatozoa. Pengencer Tris (hidroxymethil aminomethan) telah banyak digunakan sebagai komponen dasar pengencer semen asal ejakulat, diantaranya pada sapi (Mardiyah, 2001), pada domba (Rizal et al., 2003a; Aisen et al., 2002; El-Alamy et al., 2001; Maxwell and Salamon, 1993), dan pada kambing (Tambing et al., 2000). Demikian pula penggunaan pengencer susu skim dan sitrat sudah digunakan secara meluas sebagai pengencer semen ejakulat. Sementara itu penggunaan tris, sitrat dan susu skim sebagai pengencer spermatozoa asal epididimis masih sangat terbatas khususnya pada sapi. Oleh karena nilai penting yang dimiliki spermatozoa asal cauda epididimis serta besarnya peranan pengencer pada proses pengawetan semen, maka dilakukan penelitian untuk memperoleh jenis pengencer yang mampu mempertahankan daya hidup spermatozoa cauda epididimis yang paling optimal. Diharapkan dimasa yang akan datang melalui metode ini dapat melestarikan potensi genetik ternak-ternak unggul yang bermasalah dalam reproduksi sehingga tetap dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat manusia.

22

Kualitas Spermatozoa Cauda (Solihati et al.)

23

Metode Penelitian
Pengambilan Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah cauda epididimis sapi Peranakan Ongol (PO) yang baru dipotong dari rumah pemotongan hewan (RPH). Cauda epididimis yang digunakan sebanyak enam buah yang berasal dari enam ekor sapi.

hidup dan membran plasma utuh). (b) Kualitas semen cair yang disimpan pada suhu 4-5oC.

Peubah yang Diamati:


(1) Motilitas adalah persentase sperma yang bergerak kedepan, dihitung dengan menggunakan haemocytometer di bawah mikroskop pada pembesaran objektif 40 kali. (2) Abnormalitas adalah persentase spermatozoa yang abnormal, ditentukan dengan menggunakan pewarna eosin 2% (Toelihere, 1993b). (3) Persentase Sperma Hidup adalah persentase spermatozoa yang hidup, dihitung dengan menggunakan mikroskop pada pembesaran objektif 100 kali. Evaluasi menggunakan zat pewarna eosin-negrosin. Spermatozoa yang hidup tidak berwarna sedangkan yang mati berwarna merah. (4) Persentase MPU (membran plasma utuh) adalah keutuhan membran plasma spermatozoa diamati dengan metode hypoosmotic swelling (HOS) test. Spermatozoa dimasukkan ke dalam medium HOS dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 370C (Jeyendran dan Zaneceld, 1984), kemudian diamati di bawah mikroskop. Spermatozoa dengan membran plasma utuh ditunjukkan oleh spermatozoa dengan ekor membengkok setelah diinkubasi dalam larutan HOS test. Membran plasma yang tidak utuh (HOS test negatif) ditunjukkan dengan spermatozoa yang tidak menunjukkan adanya pembengkokan pada ekor (ekor lurus).

Bahan dan Peralatan


Bahan-bahan yang digunakan adalah : cauda epididimis, pengencer susu skim, pengencer tris, pengencer sitrat, kuning telur, aquabides, NaCl fisiologik, NaCl 3%, pewarna eosin, alkohol, tissue. Peralatan yang digunakan adalah spuit jarum suntik, gunting stainless steel steril, syringe, timbangan mikro, tabung reaksi, rak tempat tabung, termometer, gelas piala, gelas erlenmeyer, pipet tetes, gelas ukur, gelas objek, gelas penutup, haemositometer, pH meter, bunsen, botol, mikroskop cahaya, lemari es, styrofoam, pinset, kertas saring, dan lain-lain.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data


Penelitian ini dilakukan secara eksperimental laboratoris menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan jenis pengencer (susu skim, sitrat, dan tris) dan enam kali ulangan. Setiap cauda epididimis dibagi untuk tiga perlakuan. Setiap ulangan menggunakan satu cauda epididimis. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam.

Koleksi Spermatozoa Cauda Epididimis


Koleksi spermatozoa dari cauda epididimis dilakukan dengan cara membuat sayatan-sayatan pada cauda menggunakan gunting stainless steel steril kemudian dibilas dengan NaCl fisiologis dan dilakukan sentrifugasi pada 3000 rpm selama 20 menit.

Hasil dan Pembahasan


Kualitas Spermatozoa Segar
Berdasarkan evaluasi secara makroskopis, diperoleh hasil bahwa spermatozoa asal cauda epididimidis sapi PO mempunyai kualitas sebagai berikut : Warna sperma : Krem Bau : Khas sperma pH : 7 Volume : 0,3-0,5 ml Konsistensi : Sangat kental Hasil ini menunjukkan bahwa secara makroskopis spermatozoa cauda epididimidis sapi PO memenuhi syarat untuk diproses lebih lanjut. Rata-rata angka pH menunjukkan 7,0 sesuai dengan pernyataan Toelihere (1993a), bahwa pada umumnya spermatozoa sangat aktif dan dapat bertahan hidup

Pengenceran Semen
Semen segar yang memenuhi syarat (motilitas 70%, konsentrasi 2000 juta sel/ml, dan abnormalitas <14%) diencerkan dengan pengencer. Pengencer yang dicobakan adalah susu skim, sitrat dan tris yang masing-masing ditambah kuning telur sebanyak 20%, sehingga rasio masing-masing pengencer dengan kuning telur yaitu 4 : 1. Setelah diencerkan, kemudian dilakukan evaluasi terhadap kualitas spermatozoa.

Evaluasi
Evaluasi dilakukan terhadap : (a) Semen segar, terdiri dari penilaian makroskopis (volume, warna, pH, bau, dan konsistensi) dan penilaian mikroskopis (konsentrasi, motilitas, abnormalitas, spermatozoa

24

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 22 - 29

lama pada pH sekitar 7,0. Apabila pH terlalu tinggi ataupun terlalu rendah, maka akan menyebabkan kematian pada spermatozoa karena pH sangat mempengaruhi daya tahan hidup spermatozoa (Salisbury dan Vandemark, 1985). Hasil evaluasi secara mikroskopis terhadap spermatozoa segar cauda epididimidis sapi PO terdapat pada Tabel 1. Konsentrasi total spermatozoa cauda epididimis sapi PO pada penelitian ini rata-rata 5,0533 x 109 sel/ml. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan yang dilaporkan Suhendra (2002) bahwa konsentrasi spermatozoa cauda epididimis sapi sebesar 3,593 4,4067 x 109 sel/ml. Akan tetapi lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Soeparna (1982) bahwa tiap cauda epididimis mengandung 8,9 x 109 sel/ml atau kira-kira 18 x 109 sel/ml untuk kedua epididimis sapi, sedangkan menurut Bearden dan Fuquay (2000) pada sapi sebesar 50 74 x 109 sel/ml. Perbedaan ini diduga karena perbedaan jenis hewan percobaan yang digunakan dan metode penghitungan dan pengoleksian spermatozoa. Motilitas spermatozoa segar cauda epididimis sapi PO pada penelitian ini dalam keadaan baik, dengan rataan 75,5%. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Brandton (1946) yang dikutip Salisbury dan Van Demark (1985) yang melaporkan rata-rata motilitas spermatozoa cauda epididimis sapi sebesar 51,7%14,7%. Hasil penelitian yang diperoleh kurang lebih sama dengan yang dilaporkan oleh beberapa peneliti pada hewan lain bahwa motilitas spermatozoa cauda epididimis setelah diencerkan sebesar 70-75% pada badak (Lubbe et al., 1999), 3877% pada kuda (Squires et al., 2000), rata-rata 64% pada monyet ekor panjang (Feradis et al., 2001), rata-rata 57,6% pada rusa merah (Soler et al., 2003), dan 70-75% pada Domba Garut (Rizal et al., 2003b).

Menurut Toelihere (1993b) spermatozoa motil untuk semen ejakulat sapi memiliki kisaran 50-80%. Parameter kualitas spermatozoa yang lain hasil penelitian ini memenuhi persyaratan untuk IB dan in vitro seperti spermatozoa hidup, abnormalitas dan MPU berturut-turut adalah 84,16%; 9,3% dan 84,17%. Syarat abnormalitas spermatozoa pada semen segar untuk IB adalah <14% (Toelihere, 1993b) dan MPU 60% (Revel dan Mrode, 1994).

Kualitas Spermatozoa Cair


Berdasarkan hasil pengamatan yang tercantum pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa rataan persentase motilitas spermatozoa tertinggi diperoleh dari pengencer tris baik pada hari ke-1 (76,3%), ke2 (60%), ke-3 (50,83%) maupun ke-4 (36%) penyimpanan kemudian disusul oleh perlakuan pengencer susu kuning telur dan sitrat kuning telur. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis pengencer memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap motilitas spermatozoa cauda epididimidis sapi PO yang disimpan pada suhu 4 50C baik pada hari ke-1, ke-2, ke-3, dan ke-4. Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat pula bahwa motilitas dalam ketiga pengencer tersebut dapat dipertahankan sampai hari ketiga penyimpanan, karena motilitasnya masih diatas 40%. Dengan demikian ketiga pengencer tersebut dapat dijadikan pengencer untuk spermatozoa cauda epididimidis sapi PO, walaupun pengencer yang memberikan hasil paling tinggi yaitu pengencer tris kuning telur. Diketahui bahwa ketiga pengencer tersebut mempunyai persamaan komposisi unsur yaitu karbohidrat, antibiotik dan kuning telur yang ditambahkan untuk kebutuhan hidup spermatozoa, sehingga dapat mempertahankan daya hidupnya.

Tabel 1. Rata-rata kualitas spermatozoa segar asal cauda epididimidis sapi PO Parameter Kualitas Konsentrasi Total Motilitas Spermatozoa Hidup Abnormalitas MPU Rata-rata 5053,3x106 sel/ml 75,50% 84,16% 9,33% 84,17%

:5

Kualitas Spermatozoa Cauda (Solihati et al.)

23

Tabel 2. Rataan persentase motilitas spermatozoa cauda epididimidis sapi PO dalam pengencer susu skim, tris dan sitrat kuning telur yang disimpan pada suhu 4-50C. Penyimpanan Hari Ke1 2 3 4 ........................................................ % ...................................................... 75,50 58,50 49,67 35,33 76,30 60,00 50,83 36,00 74,67 54,33 46,00 35,00

Perlakuan Susu Tris Sitrat

Motilitas tertinggi diperoleh dari pengencer tris kuning telur, kemungkinan karena pengencer tris kuning telur memiliki komposisi bahan yang lebih lengkap (tris hydroxymethyl aminomethan, asam sitrat, fruktosa, antibiotik, lipoprotein dan lecitin) menyediakan zat makanan dan sumber energi yang penting bagi spermatozoa untuk mempertahankan kehidupannya. Tris (hydroxymethyl aminomethan) berfungsi sebagai buffer yang bersifat basa yang mampu menyanggah pH larutan agar tetap stabil, karena pH merupakan faktor penting yang mempengaruhi kualitas semen. Tris merupakan buffer yang kuat karena mengandung garam yang mampu menyanggah pH larutan dengan sangat baik (Hafez, 2000). Perlakuan pengencer susu skim kuning telur dan sitrat kuning telur mempunyai motilitas yang lebih rendah dibandingkan tris kuning telur, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Susu skim yang berfungsi sebagai buffer tidak dapat mempertahankan perubahan pH akibat terbentuknya asam laktat sisa metabolisme yang menghasilkan energi. Pada pengencer sitrat kuning telur, ion sitrat akan berikatan dengan Ca yang terdapat dalam plasma semen, sehingga akan menghilangkan fungsi Ca sebagai pemacu motilitas. Seperti pendapat Fleig yang dikutip oleh Salisbury dan Van Demark (1985) yang menyatakan bahwa Ca berfungsi sebagai pemacu motilitas. Dengan terikatnya Ca, maka metabolisme spermatozoa yang menghasilkan energi untuk motilitas akan terhambat. Hal ini didukung oleh Toelihere (1993a) menyatakan bahwa energi dari hasil metabolisme dipergunakan untuk motilitas. Terhambatnya metabolisme akan berpengaruh dalam pembentukan asam laktat. Sependapat dengan Bearden dan Fuquay (2000); Gilbert (1980), tingkatan asam laktat berkorelasi nyata dengan daya gerak spermatozoa. Hal tersebut dapat memperpendek daya tahan hidup spermatozoa. Demikian pula menurut Tambing et al. (2000)

bahwa fruktosa yang juga menjadi salah satu komponen penyusun pengencer tris berperan sebagai substrat penghasil energi berupa ATP, sehingga menyebabkan spermatozoa dapat bergerak. Motilitas (daya gerak) spermatozoa sangat bergantung pada suplai energi berupa ATP hasil metabolisme Banyak bukti menunjukkan bahwa pada suhu 50C aktivitas metabolisme yang diukur dengan perubahan-perubahan kimia akan berkurang, namun masih tetap berlangsung (Salisbury dan Van Demark, 1985). Pada penelitian ini penyimpanan spermatozoa cauda epididimis sapi PO pada suhu 4-50C menghasilkan motilitas yang masih layak untuk IB hanya sampai hari ke-3, karena standar motilitas yang banyak digunakan dalam program IB harus memiliki persentase motilitas paling sedikit sebesar 40% (Toelihere, 1993a). Setelah hari ke-4 motilitas spermatozoa cauda epididimis sapi PO tidak layak untuk IB karena motilitas yang didapat < 40%. Hal ini disebabkan pendinginan semen dari suhu tubuh ke suhu lemari es dapat menyebabkan spermatozoa kehilangan motilitas secara gradual sampai pergerakan terhenti sama sekali (Toelihere, 1993b). Motilitas spermatozoa cauda epididimis yang akan diolah dapat ditingkatkan diantaranya dengan menambahkan plasma semen. Nolan dan Hammerstedt (1997) melaporkan bahwa membran plasma sel spermatozoa cauda epididimis tidak mendapatkan perlindungan berupa glikoprotein yang disintesis oleh kelenjar vesikularis dan disekresikan ke dalam plasma semen. Glikoprotein sangat penting dalam melindungi membran plasma sel spermatozoa dari kerusakan akibat kejutan dingin dan serangan radikal bebas akibat kontak dengan oksigen saat spermatozoa dikoleksi. Ketidakhadiran glikoprotein dapat menyebabkan penurunan daya hidup spermatozoa dan meningkatkan persentase reaksi akrosom yang prematur akibat kerusakan membran plasma sel.

24

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 22 - 29

Tabel 3. Rataan persentase spermatozoa hidup asal cauda epididimidis sapi PO dalam pengencer susu skim, tris dan sitrat kuning telur yang disimpan pada suhu 4-50C Perlakuan Penyimpanan Hari Ke0 1 2 3 ....................................................... % ........................................................ 80,50 73,00 63,33 56,83 81,50 75,17 61,67 57,50 80,33 69,67 59,83 54,17

Susu Tris Sitrat

Rattan (1990) melaporkan bahwa plasma semen sapi mengandung susunan kimia diantaranya protein, asam askorbat, natrium, kalium dan kalsium, dimana unsur protein dan natrium merupakan komponen yang paling besar. Squires et al. (2000) melaporkan motilitas spermatozoa cauda epididimis kuda dapat ditingkatkan dengan cara menambahkan plasma semen, dimana terjadi peningkatan motilitas dari 53% menjadi 61%. Rizal et al. (1999) melaporkan bahwa semen beku kerbau lumpur dapat ditingkatkan kualitasnya dengan cara mengganti plasma semennya dengan plasma semen sapi Friesian Holstein (FH). Penilaian terhadap spermatozoa hidup asal cauda epididimis sapi PO dalam berbagai pengencer yang disimpan pada suhu 4 5oC, terdapat pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa rataan spermatozoa hidup di dalam pengencer Tris lebih tinggi dibanding pengencer lain namun hasil analisis statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa ketiga perlakuan pengencer memberikan kemampuan hidup yang sama terhadap spermatozoa cauda epididimis sapi PO. Pada pengencer tris kuning telur, persentase hidup spermatozoa cauda epididimis sapi PO tertinggi disebabkan didalam pengencer tris terdapat

sumber energi yang tinggi dihasilkan dari fruktosa. Fruktosa yang cukup akan menyebabkan spermatozoa tetap bergerak, karena fruktosa berperan menghasilkan energi berupa ATP yang mengandung fosfat organik (Pi) kaya energi dan akan digunakan untuk kontraksi fibril-fibril dan menghasilkan gerak spermatozoa. Kelebihan tris dibandingkan pengencer lain adalah dapat memperpanjang hidup spermatozoa pada temperatur -50C dan -1960C (Bearden dan Fuquay, 2000), sangat efektif untuk mempertahankan pH (Toelihere, 1993a) serta dapat mempertahankankan osmolaritas. Hal ini didukung oleh pendapat Singh (1992) yang dikutip Herdis (2004) bahwa apabila ditinjau dari viabilitas dan daya fertilitas, tris kuning telur merupakan pangencer yang baik untuk proses pembekuan semen. Menurut Hafez dan Hafez (2000) spermatozoa hidup yang berkaitan erat dengan motilitas dipengaruhi oleh umur sperma, maturasi sperma, penyimpanan energi (ATP), agen aktif, biofisik dan fisiologik, cairan suspensi dan adanya rangsangan atau hambatan. Penilaian abnormalitas spermatozoa cauda epididimidis sapi PO dalam berbagai pengencer disimpan pada suhu 4-50C, dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan abnormalitas spermatozoa cauda epididimidis sapi PO dalam pengencer susu skim, tris dan sitrat kuning telur yang disimpan pada suhu 4-50C Perlakuan Penyimpanan Hari Ke1 2 3 .......................................... % ....................................... 12,84a 18,33 a 23,33 a 11,18a 18,17 a 22,33 a a a 11,57 18,17 23,67 a

4 31,0 a 29,0 a 30,5 a

Susu Tris Sitrat

Kualitas Spermatozoa Cauda (Solihati et al.)

23

Tabel 5. Rataan persentase membran plasma utuh (MPU) spermatozoa cauda epididimidis sapi PO dalam pengencer susu skim, tris, dan sitrat kuning telur disimpan pada Suhu 4-5 0C Perlakuan Penyimpanan Hari Ke1 2 3 4 ........................................................... % .......................................................... 79,83 a 73,33 a 62,00 a 54,83 a a a a 81,17 75,83 64,33 57,00 a 77,67 a 71,33 a 61,00 a 53,50 a

Susu Tris Sitrat

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai abnomalitas spermatozoa cauda epididimis terendah pada hari ke-1, ke-2, ke-3 dan ke-4 diperoleh dari pengencer tris kuning telur secara berturut-turut sebesar 11,18; 18,17; 22,33; dan 29%, namun hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap abnormalitas spermatozoa cauda epididimidis sapi PO baik pada hari ke-1, ke-2 , ke-3 dan ke-4. Abnormalitas terendah diperoleh dari pengencer tris kuning telur dibandingkan pengencer sitrat kuning telur maupun susu skim kuning telur. Menurut Hafez (2000) hal ini disebabkan karena tris memiliki kapasitas buffer yang baik, mempertahankan osmolaritas, mengandung garam dan asam amino. Pada penelitian ini nilai abnormalitas yang masih layak untuk IB dari ketiga pengencer diperoleh sampai hari ke-3 dengan rata-rata nilai < 25%. Hal ini sejalan dengan pendapat Bearden dan Fuquay (2000) dan Partodihardjo (1992) bahwa abnormalitas spermatozoa sampai 25% belum berpengaruh terhadap fertilitas spermatozoa, artinya masih baik untuk diinseminasikan. Sehingga setelah hari ke-3 abnormalitas spermatozoa cauda epididimis sapi PO tidak layak untuk program IB. Semakin lama waktu penyimpanan maka semakin tinggi persentase abnormalitas. Kejadian ini disebabkan oleh kejutan suhu dingin dan ketidakseimbangan tekanan osmotik akibat dari proses metabolik yang terus berlangsung selama penyimpanan pada 50C. Hasil akhir proses metabolik dalam suasana anaerob adalah asam laktat. Jenis abnormalitas yang tampak pada penelitian ini adalah abnormalitas sekunder terdiri dari ekor melingkar, kepala tanpa ekor dan kepala pecah, yang lebih disebabkan perlakuan ketika pembuatan preparat ulas. Penilaian Membran Plasma Utuh (MPU) spermatozoa cauda epididimis sapi PO dalam

berbagai pengencer yang disimpan pada suhu 4 - 5 C, dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 dapat terlihat bahwa rataan persentase Membran Plasma Utuh (MPU) spermatozoa cauda epididimis sapi PO tertinggi diperoleh dari pengencer tris kuning telur pada hari ke-1, ke-2, ke-3 maupun ke-4, disusul oleh pengencer susu kuning telur dan sitrat kuning telur. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa baik pada hari ke-1, ke-2, ke-3 maupun ke-4 penyimpanan, semua perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap nilai MPU spermatozoa cauda epididimis. Revell dan Mrode (1994) menyatakan bahwa nilai persentase MPU semen segar yang kurang dari 60% dikategorikan sebagai semen yang infertil. Menurut Jeyendran dan Zaneveld (1984), batas minimal keutuhan membran yang layak digunakan untuk IB adalah 50%. Pada pengencer tris didapatkan MPU yang paling tinggi disebabkan tris memiliki kapasitas buffer yang baik dan toksisitas rendah pada konsentrasi tinggi. Menurut Davis et al. (1963) serta Steinbach dan Foote (1967) Tris (hydroxymethyl aminomethan) pada umumnya sebagai komponen utama dalam pengencer untuk kriopreservasi semen sapi. Sementara tris dan asam sitrat yang terkandung di dalam pengencer tris memiliki fungsi sebagai senyawa penyangga yang baik untuk mempertahankan derajat keasaman (pH) dan osmolaritas pengencer karena mengandung garam dan asam amino. Mathew et al. (1984) menyatakan bahwa tris sebagai penyangga amina telah digunakan secara efektif untuk mempertahankan pH fisiologik. Menurut Rizal et al. (2004) apabila membran plasma sel dapat dipertahankan keutuhannya selama proses pembekuan, maka akan memberikan efek yang baik pula terhadap motilitas, daya hidup dan keutuhan tudung akrosom spermatozoa. Jika membran plasma sel dalam keadaan utuh, maka membran plasma

24

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 22 - 29

mampu dengan baik mengatur lalu lintas keluar masuk sel seluruh senyawa (substrat) dan elektolit yang dibutuhkan dalam proses metabolisme.

semen extenders. Animal Reproduction Science 65 : 245-254. Feradis, D. Pawitri, I.K. Suatha, M. Rizal Amin, T.L. Yusuf, D. Sajuthi, I.N. Budiarsa and E.S. Hayes. 2001. Cryopreservation of epididymal spermatozoa collected by needle biopsy from cynomolgus monkeys (Macaca fascicularis). Journal of Medicine Primatology 30: 100-106. Garner, D.L. and E.S.E. Hafez. 2000. Spermatozoa and Seminal Plasma. In: Reproduction in Farm Animals, 7th edition. B. Hafez and E.S.E. Hafez. (Eds). Lippincott Williams and Wilkins, Baltimore. 96-109. Gilbert, A.B., 1980. Poultry. In: Reproduction in Farm Animals, 4th edition. E.S.E. Hafez (Ed). Lea and Febiger, Philadelphia. Pp. 436-438 Hafez, E.S.E. 2000. Preservation and Cryopreservation of Gametes and Embryos. In: Reproduction in Farm Animals, 7th edition. B. Hafez and E.S.E. Hafez. (Eds). Lippincott Williams and Wilkins, Baltimore. 431-442. Hafez, E.S.E. and B. Hafez. 2000. Transport and Survival of Gametes. In: Reproduction in Farm Animals, 7th edition. B. Hafez and E.S.E. Hafez. (Eds). Lippincott Williams and Wilkins, Baltimore. 82-95. Herdis, M.R. Toelihere, I. Supriatna, B. Purwantara dan R.T.S. Adikara, 2004. Integritas dan daya hidup spermatozoa pada pembekuan semen domba garut (Ovis aries) dengan pengencer dasar tris dan susu skim kuning telur. Jurnal Veteriner 5 : 40-47 Jeyendran, R.S. and L.J.D. Zaneceld, 1984. Instruction for Hypoosmotic Swelling (HOS) Test. Semen Analysis Reproductive Resource Centre Lab. Grant of Hospital of Chicago, Chicago. Kikuchi, K., T. Nagai, N. Kashiwazaki, H. Ikeda, J. Noguchi, A. Shimada, E. Soloy and H. Kaneko, 1998. Cryopreservation and ensuing in vitro fertilization ability of boar spermatozoa from epididymides stored at 4oC. Theriogenology 50 : 615-623. Lubbe, K., R.L. Smith, P. Bartels and R.A. Godke. 1999. Freezing epididymal sperm from white rhinoceros (Ceratotherium simum) treated with different cryodiluents. Theriogenology 51: 288. Mathew, J., C.K.S.V. Raja and K.P. Nair. 1984. Preservation of Indonesian buck semen with tris yolk diluent. Indian Veterinary Journal 61: 964-968. Mardiyah, E. 2001. Teknik pengenceran pada pembuatan chilling semen sapi. Temu Teknis Fungsional Non Peneliti. 130-137.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa kualitas spermatozoa cauda epididimis sapi PO di dalam pengencer susu skim, tris dan sitrat kuning telur yang disimpan pada suhu 5oC menghasilkan kualitas yang sama baiknya. Pemanfaatan spermatozoa yang berasal dari cauda epididimis sapi unggul yang bermasalah dalam hal penampungan semen atau bahkan yang mengalami kematian mendadak dapat segera dilakukan dengan mengolah spermatozoa tersebut menjadi semen cair dengan menggunakan pengencer susu skim-kuning telur, sitrat-kuning telur atau tris-kuning telur.

Ucapan Terima Kasih


Penelitian ini merupakan salah satu bagian dari rangkaian penelitian yang telah terlaksana atas dana bantuan penelitian andalan Universitas Padjadjaran Bandung. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Rektor dan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran Bandung, serta kepada semua pihak yang terlibat dan telah membantu selama penelitian.

Daftar Pustaka
Aisen, E.G., V.H. Mediana and A. Venturino. 2002. Cryopreservation and post-thawed fertility of ram semen frozen in different trehalose concentration. Theriogenology 57 : 1801-1808. Axner, E., C.L. Forsberg and S. Einarsson. 1999. Morphology and motility of spermatozoa from different region of the epididymal duct in the domestic cat. Theriogenology 45 : 767-777. Bearden, H.J. and J.W. Fuquay, 2000. Applied Animal Reproduction. 5th ed. Prentice Hall. Upper Saddle River, New Jersey. Pp.29. Davis I.S., R.W. Bratton and R.H. Foote. 1963. Livability of bovine spermatozoa at 5, -25 and -85 0C in trisbuffered and citrate-buffered yolk- glycerol. Journal of Dairy Science 46: 333. El-Alamy, M.A. and R.H. Foote. 2001. Freezability of spermatozoa from Finn and Dorset Rams in multiple

Kualitas Spermatozoa Cauda (Solihati et al.)

23

Maxwell, W.M.C. and S. Salamon. 1993. Liquid storage of ram semen : a review. Reproduction, Fertility and Development 5 : 601-612. Nolan, J.P. and R.H. Hammerstedt. 1997. Regulation of membrane stability and the acrosome reaction in mammalian sperm. The Journal of The Federation of America Societies for Exprerimental Biology. 11 : 670-682. Partodihardjo, S., 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Cetakan ketiga Fakultas Kedokteran Veteriner Jurusan Reproduksi IPB. Mutiara Sumber Widya. Jakarta Pusat. Rattan, P.J.S. 1990. Physio-chemical constituens of buffalo bull semen. Procedings of the II World Buffalo Congress, New Delhi. 26-30. Revel, S.G. and R.A. Mrode, 1994. An osmotic resistence test for bovine semen. Animal Reproduction Science 36 : 77-86. Rizal, M., M.R. Toelihere, T.L. Yusuf, B. Purwantara dan P. Situmorang. 1999. Pengaruh plasma semen sapi terhadap kualitas semen beku kerbau lumpur (Bubalus bubalis). Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 4: 143-147. Rizal, M., M.R. Toelihere, T.L. Yusuf, B. Purwantara dan P. Situmorang. 2003a. Kriopreservasi semen Domba Garut dalam pengencer Tris dengan konsentrasi laktosa yang berbeda. Media Kedokteran Hewan. 19 (2) : 79-83. Rizal, M., M.R. Toelihere, T.L. Yusuf, B. Purwantara dan P. Situmorang, 2003b. Pengaruh lama penyimpanan epididimis domba pada suhu 50C terhadap kualitas spermatozoa epididimis. Seminar Nasional dan Gelar Produk Pengelolaan dan Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan. Pusat Studi Ilmu Hayati, Lembaga Penelitian, IPB. Bogor. Rizal, M., Herdis dan A. Boediono, 2004. Daya hidup sperma epididimis domba setelah disimpan pada suhu rendah (5oC). Animal Production 6 (1): 30-36.

Rizal, M., M.R. Toelihere, T.L. Yusuf, B. Purwantara dan P. Situmorang, 2004. Pengaruh waktu penyimpanan epididimis pada suhu 50C terhadap kualitas spermatozoa epididimis domba garut. Jurnal Veteriner 5(3): 95-103. Salisburry, G.W. dan N.L. Van Demar,. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Soeparna, 1982. Pengantar Spermatologi (II) Spermatogenesis. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung. Soler, A.J., M.D. Perez-Guzman and J.J. Garde, 2003. Storage of red deer epididymis for four days at 50C : Effects on sperm motility, viability and morphology integrity. Jurnal Experimental Zoology 295A: 188199. Squires, E.L, C. Gomez-Cuetara and J.K. Graham, 2000. Effect of seminal plasma on cryopreserving epididymal and ejaculated stallion spermatozoa. Proceeding 14th International Congress on Animal Reproduction, Stockholm, 2-6 July 2000. P.166. Abstract Vol.2. Steinbach, J. and R.H. Foote, 1967. Osmotic pressure and pH effects on survival of frozen on liquid Spermatozoa. Journal of Dairy Science 50: 205. Suhendra, 2002. Kajian Beberapa Parameter Kualitas Spermatozoa Spermatozoa sapi pada Tiap Bagian Epididimis [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tambing, S.N., M.R. Toelihere, T.L. Yusuf and I.K. Sutama, 2000. Effects of glycerol in tris extender on frozen semen quality of crossbred etawah bucks. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 5(2): 84-91 Toelihere, M.R., 1993a. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa. Bandung. Toelihere, M.R., 1993b. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa. Bandung.

ANIMAL PRODUCTION, Januari 2008, hlm. 30 33 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol.10 No.1

Pemanfaatan Blotong Melalui Pengolahan Biologis untuk Meningkatkan Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik serta Parameter Rumen secara In Vitro
(Utilization of Sugarcane Sludge through Biology Processing to Improve Dry Matter and Organic Matter Digestibility and Rumen Parameters In Vitro)
Yusuf Widodo dan Muhtarudin
Fakultas Pertanian Jurusan Produksi Ternak, Universitas Lampung

ABSTRACT: The objective of the research was to study utilizing fungi and yeast on sugarcane sludge fermentation and its utilization rations in vitro method. The second research was begun by identified the best of fungi and yeast on fermentation sugar cane sludge. The research was arranged: P0= sugar cane sludge without fermentation; P1= fermentation by Saccharomyces cereviceae; P2 = fermentation by Aspergillus oryzae; P3 = fermentation by Aspergillus niger; P4= fermentation by Rhizopus orryzae. To determine it's in rations, the research was done by completed random design. The treatments were arranged: R0 = basic rations, R1 = R0 + 5% fermented of sugarcane sludge, R2 = R0 + 10% fermented of sugarcane sludge, R3 = R0 + 15% fermented of sugarcane sludge, R4 = R0 + 20% fermented of sugarcane sludge. Significant effect (P<0.05) had showed on VFA and NH3 parameters. Based on these parameters, fermentation of sugarcane sludge that used Saccharomyces cereviceae had better effect compared by others. The treatments had significant effect (P<0.05) on NH3, based on polynomial orthogonal test the treatments had linear curve Y= 4,035 +0,237X. The treatments had no significant effect on VFA and organic matters digestibility. The dry matters digestibility parameter had significant effect (P<0.05), the curve response was linear and the equations Y=45,964 - 0,294X. Key Words: Sugarcane sludge processing, fungi, yeast, in vitro

Pendahuluan
Limbah tanaman tebu sangat potensial sebagai pakan ternak alternatif, karena ketersediaannya banyak dan juga tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Salah satu kendala yang dihadapi limbah industri gula adalah nilai gizi yang rendah, seperti serat kasar yang tinggi. Hal ini berdampak pada kecernaanya menjadi rendah, yang pada akhirnya dapat mengganggu penampilan ternak. Fraksi limbah tebu lainnya yang masih memiliki nilai gizi yang baik adalah blotong. Blotong adalah limbah yang dapat dipisahkan dengan proses penapisan dalam proses klarifikasi nira. Blotong mempunyai sifat padat, berwarna hitam, komposisinya tergantung dari pabrik gula. Berat blotong sekitat 2-3% dari berat tebu. Blotong masih mengandung protein kasar 14,49% (Hasil analisis proksimat Laboratorium Makanan Ternak Jurusan Produksi Ternak 2003). Untuk meningkatkan nilai gizi dari protein pada blotong perlu dilakukan fermentasi dengan menggunakan kapang. Aktivitas dan perkembangan mikrobia selama fermentasi akan menyebabkan terjadinya perubahan
30

pada susunan kimia bahan (Fardiaz, 1988). Perubahan tersebut dalam hal pH, kelembaban, aroma, dan nilai zat makanan (Winarno et al., 1980). Pada proses fermentasi, selain senyawa karbohidrat, protein dan lemak juga dipecah oleh mikroba dengan enzim tertentu yang akan menghasilkan CO2, H2O, dan energi. Proses ini akan menyebabkan perubahan sifat bahan yang digunakan, pada umumnya memiliki nilai nutrien yang lebih baik dari bahan asalnya karena mikroba bersifat katabolik (Winarno et al., 1984). Sifat katabolik dari mikroba tersebut akan memecah komponen kompleks menjadi komponen sederhana seperti protein menjadi asam amino dan mampu mensintesis beberapa vitamin B kompleks (Winarno et al., 1980). Selain itu, terjadi pemecahan senyawa yang tidak dapat dicerna seperti hemiselulosa dan selulosa oleh enzim tertentu menjadi senyawa gula sederhana dan turunannya (Fardiaz, 1988). Serat kasar bahan akan menurun selama proses fermentasi sebagai akibat dari kerja enzim selulase yang dihasilkan mikroba. Enzim selulase bersifat sebagai katalisator pada hidrolisis senyawa selulosa menjadi glukosa. Menurut Fardiaz (1988), mikroba menggunakan glukosa sebagai sumber energi yang diperoleh dari proses

Pemanfaatan Blotong Melalui (Widodo dan Muhtarudin)

31

perombakan senyawa karbohidrat. Melalui proses glikolisis, glukosa akan diubah menjadi komponen lain untuk menghasilkan energi. Energi yang dihasilkan akan digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhan metabolisme senyawa organik pada fermentasi. Fermentasi pada blotong juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas protein blotong, dan meningkatkan kecernaan nutrien. Keseimbangan asam amino diharapkan dapat tercapai melalui fermentasi. Dengan meningkatnya kualitas protein diharapkan dapat meningkatkan kecernaan nutrien. Pengunaan optimum blotong terfermentasi dalam ransum perlu ditentukan agar diperoleh ransum yang terbaik. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui jenis kapang yang terbaik dalam fermentasi blotong dan tingkat penggunaan blotong fermentasi yang optimum dalam ransum.

Metode Penelitian
Penelitian dilakukan terdiri dari dua bagian yaitu tahap pengolahan blotong dengan fermentasi serta tingkat penggunaannya dalam ransum. Penelitian bagian pertama untuk mengetahui jenis kapang atau yeast yang sesuai untuk fermentasi blotong. Penelitian bagian kedua untuk mengetahui tingkat penggunaan blotong terfermentasi dalam ransum. Fermentasi blotong diawali dengan pembuatan suspensi kapang dan yeast. Biakan murni kapang dan yeast (inokulan) dicampur terlebih dahulu dengan air dengan perbandingan 1:9. Larutan tumbuh mengandung amonium nitrat (NH4NO3) 0,5%, Kalium clorida (KCl) 0,05%, Magnesium sulfat (MgSO4) 0,05%, Besi sulfat (FeSO4) 0,001%, dan Tembaga sulfat (CuSO4) 0,0001%. Larutan inokulan dengan larutan tumbuh dicampur dengan perbandingan volume 1:4. Lumpur sawit sebanyak yang dibutuhkan disiapkan lalu dikukus selama 20 menit. Kemudian setelah dingin ditempatkan dalam wadah khusus dicampur dengan larutan campuran inokulan dengan larutan tumbuh sebanyak 200 ml setiap kg blotong (terdapat 10 x 106 spora/kg blotong). Setelah itu tutup wadah dengan plastik transparan dan dibiarkan selama 4-7 hari. Setelah waktu fermentasi berakhir, lumpur tersebut dapat dilanjutkan uji kecernaan in vitro. Penelitian tahap 1 dilakukan secara in vitro untuk mengetahui jenis kapang atau yeast yang terbaik pada fermentasi blotong. Penelitian ini dilakukan

dengan rancangan acak lengkap yang terdiri 5 perlakuan dan 5 ulangan, susunan perlakuannya sebagai berikut: P0 = blotong tanpa fermentasi, P1 = blotong fermentasi dengan Aspergillus niger, P2 = blotong fermentasi dengan Aspergillus oryzae, P3 = blotong fermentasi dengan, Rhizopus oryzae, P4 = blotong fermentasi dengan Saccharomyces cereviceae. Uji lanjut yang digunakan adalah uji Beda Nyata Jujur. Penelitian tahap 2 dilakukan untuk menentukan penggunaan blotong fermentasi dalam ransum. Penelitian dilakukan dengan rancangan acak lengkap, dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Susunan perlakuanya adalah sebagai berikut: R0 = ransum basal, R1 = R0 + 5% blotong terfermentasi dari BK ransum, R2 = R0 + 10% blotong terfermentasi dari BK ransum, R3 = R0 + 15% blotong terfermentasi dari BK ransum, R4 = R0 + 20% blotong terfermentasi dari BK ransum. Ransum basal yang digunakan adalah: Rumput lapang + onggok + bungkil kelapa sawit + tetes + premix. Uji lanjut yang digunakan adalah uji polinomial ortogonal. Parameter yang diukur pada dua penelitian yaitu: (1) Produksi total VFA dengan teknik destilasi uap (University of Wisconsin, 1966); (2) Produksi NH3, dengan teknik Microdifusi Conway (University of Wisconsin, 1966); (3) kecernaan bahan kering dan bahan organik dengan metode Tilley dan Terry (1969).

Hasil dan Pembahasan


Penelitian Tahap 1
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan fermentasi tidak berpengaruh nyata terhadap parameter kecernaan (Tabel 1). Perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap peubah VFA dan NH3, hasil uji lanjut menujukkan bahwa penggunaan Saccharomyces cereviceae sebagai bahan fermentasi pada blotong memberikan hasil yang terbaik bila dibandingkan dengan penggunaan kapang lainnya. Produksi VFA cairan rumen pada hasil penelitian berkisar antara 76,00- 113,00 mM. Kisaran ini masih mencukupi untuk pertumbuhan mikroba rumen yaitu 70-130 mM (Tillman et al., 1989). Bila dilihat dari konsentrasi amonia hasil penelitian yang berkisar antara 6,44 - 9,44 mM, konsentrasi ini masih memenuhi standar untuk kebutuhan mikroba yaitu berkisar 4 -12 mM (Sutardi, 1993).

32

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 30 - 33 ANIMAL

Tabel 1. Pengaruh perlakuan terhadap VFA, NH3, KCBK, dan KCBO Parameter Volatile fatty acids/VFA, mM Produksi Amonia/NH3, mM Kecernaan Bahan Kering/KCBK, % Kecernaan Bahan Organik/KCBO, %
a.b,c,d,

P0 76,00a 6,44a 46,47a 47,72a

P1 82,00b 8,01b 45,33a 48,24a

Perlakuan* P2 P3 ab 81,00 101,00c ac 7,15 7,44bc a 46,23 45,45a a 48,34 47,76a

P4 113,00d 9,44d 46,65a 48,72a

Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05 * P0 = kontrol; P1 = A. niger; P2 = A. oryzae; P3 = R. oryzae; P4 = S. cereviseae

Fermentasi blotong dengan kapang atau yeast tidak mempengaruhi nilai kecernanan bahan kering dan bahan organik blotong. Hal ini disebabkan proses ferementasi dapat mengurangi bahan organik yang mudah dicerna. Bahan organik tersebut digunakan oleh mikrobia untuk memperoleh energi demi kelangsungan hidupnya. Bahan organik merupakan bagian terbesar dari bahan kering sehingga kecernaan bahan organik berpengaruh juga terhadap kecernaan bahan kering. Namun, pemanfaatan bahan organik oleh mikrobia tidak nyata berpengaruh terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik blotong.

Penelitian Tahap 2
Data hasil penelitian tingkat penggunaan blotong fermentasi dalam ransum disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar NH3. Berdasarkan uji lanjut menggunakan polinomial ortogonal menunjukkan bahwa perlakuan memliki respon linear terhadap kadar NH3 dengan persamaan Y= 4,035 + 0,237 X.

Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan blotong semakin tinggi kadar NH3 cairan rumen, diduga karena kandungan protein blotong yang cukup tinggi. Degradasi protein oleh mikroba rumen menghasilkan NH3, Sutardi (1993) menyatakan bahwa konsentrasi amonia yang mendukung pertumbuhan mikroba rumen adalah 412 mM dan konsentrasi yang optimum adalah 8 mM. Hasil analisis ragam lainnya menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan blotong fermentasi tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi VFA dan kecernaan bahan organik ransum (KCBO). Walaupun demikian, nilai VFA berada dalam kisaran 140-156 mM, kisaran ini masih cukup untuk pertumbuhan mikroba rumen. Tillman et al. (1989) menyatakan bahwa kisaran konsentrasi VFA di dalam rumen adalah 70-130 mM. Hasil rataan nilai kecernaan bahan organik ada kecenderungan adanya penurunan, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Berkurangnya bahan organik ransum disebabkan oleh adanya aktivitas fermentasi pada blotong.

Tabel 2. Pengaruh tingkat penggunaan blotong fermentasi dalam ransum terhadap VFA, NH3, KCBK dan KCBO Parameter Volatile fatty acids/VFA, mM Produksi Amonia/NH3, mM Kecernaan Bahan Kering/KCBK, % Kecernaan Bahan Organik/KCBO, % R0 153,00 5,15 47,02 47,76 R1 140,00 4,86 46,35 43,99 Perlakuan* R2 142,00 5,29 45,89 41,67

R3 143,00 6,44 42,69 37,80

R4 156,00 10,30 45,53 43,11

* R0 = ransum basal (rb); R1 = rb+5% blotong fermentasi (bf); R2 = rb+10% bf; R3 = rb+15% bf; R4 = rb+20% bf

Pemanfaatan Blotong Melalui (Widodo dan Muhtarudin)

31

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kecernaan bahan kering ransum (KCBK). Uji lanjut menunjukkan kurva respon linear dengan persamaan Y= 45,964 - 0,294X. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan blotong dalam ransum nilai kecernaan bahan keringnya menurun. Hal ini disebabkan oleh kandungan abu pada blotong yang relatif tinggi yaitu berkisar 21%.

kandungan blotong fermentasi dalam ransum nilai kecernaan bahan keringnya menurun. Disarankan penelitian ini dilanjutkan untuk mengetahui tingkat penggunaan blotong fermentasi secara in vivo terutama pada ternak sapi potong.

Daftar Pustaka
Fardiaz, D., 1988. Fisiologi Fermentasi. PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sutardi, T., 1993. Peningkatan Produksi Ternak Ruminansia melalui Amoniasi Pakan Serat Bermutu Rendah, Defaunasi dan Suplementasi Protein Tahan Degradasi dalam Rumen. [Laporan Penelitian] Hibah Bersaing I/1 Fakultas Peternakan, Institut Petanian Bogor. Tilley, J. M. dan R. A. Terry., 1969. A two stage technique for in vitro digestion of forage crops. Journal of British Grassland Society 18(2):104-111. Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo, 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. University of Wisconsin. 1966. Procedures. Medison. General Laboratory

Kesimpulan
Berdasarkan parameter VFA dan NH3 penggunaan yeast Saccharomyces cereviceae sebagai bahan fermentasi pada blotong memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan menggunakan kapang lainnya. Berdasarkan uji lanjut polinomial ortogonal menunjukkan bahwa perlakuan memliki respon linear terhadap kadar NH3 dengan persamaannya Y= 4,035 +0,237X. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan blotong semakin tinggi kadar NH3 ciran rumen. Perlakuan blotong terfermentasi dalam ransum tidak berpengaruh terhadap VFA dan kecernaan bahan organik ransum (KCBO). Namun, berpengaruh terhadap kecernaan bahan kering berpola linear dengan persamaan Y=45,964 0,294X. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi

Winarno, F.G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia. Jakarta.

ANIMAL PRODUCTION, Januari 2008, hlm. 34 41 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol.10 No.1

Rekayasa Casrea Berbasis Ubi Kayu-Urea Terekstrusi sebagai Suplemen Protein untuk Perlambatan Pelepasan Amonia dalam Rumen In Vitro
(Casrea Engineering Based on Extruded-Cassava-Urea as Protein Supplement for Slow Release of Ammonia in the Rumen in vitro)
Bambang Waluyo Hadi Eko Prasetiyono1*, Suryahadi2, Toto Toharmat2 dan Rizal Syarief3
1 2

Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor 3 Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

ABSTRACT: CASREA is protein supplement (PS) based on extruded-cassava-urea as main materials. The objective of this study was to examine the CASREA had characteristic degraded and slow rate in rumen, by evaluating ammonia concentration (NH3), Volatile fatty acids (VFA), rumen microbial protein synthesis (RMPS), and protein digestibility post rumen (PDPR). Therefore, need to conduct extrusion previously on cassava and urea as main materials in CASREA engineering. Variables of NH3, VFA and RMPS were analyzed with completely randomized design in factorial (4X3), namely CASREA as factor A, consisted of 4 CASREA-s: Casrea1 (made from 32% urea and 58% cassava without extrusion), Casrea2 (extrusion 22% urea and 68% cassava), Casrea3 (extrusion 27% urea and 63% cassava), and Casrea4 (extrusion 32% urea and 58% cassava), whereas the factor B was incubation times, consisted of 3 incubation times: 2, 4, and 6 hours. Variable of PDPR was analyzed with completely randomized design, and the treatments were 4 CASREA-s. Results: there were no interactions between CASREA and incubation time on variables of NH3, VFA, and RMPS. Extrusion on CASREA-s materials reduced (P<0.05) NH3 and VFA, but increased (P<0.05) RMPS and PDPR. The highest RMPS and PDPR were 29.04 mg and 76.16%, respectively and were attained by Casrea2. Casrea1 had the highest NH3 (43.42 mM), whereas Casrea2 had the lowest (29.65 mM). Meanwhile, NH3 caused by Casrea2, Casrea3, and Casrea4 was 29.65, 30.54 and 31.44 mM, respectively and the raising these values were not significantly different. The concentration of NH3, VFA, and RMPS were stable on incubation time of 4 hours. The present findings suggest that CASREA made from extrusion of 22% urea and 68% cassava as main materials was PS for slow release of ammonia (SRA) in the rumen due to reduction of NH3, but it improved the utilization of nitrogen for rumen microbial protein synthesis. Key Words: Extruded-cassava-urea, protein supplement, slow release of ammonia

Pendahuluan
Bahan pakan sumber protein alami seperti kedelai, bungkil kedelai dan tepung ikan pada umumnya relatif sulit pengadaannya dan mahal, sehingga ketersediaannya sering menjadi kendala dalam formulasi ransum. Penggunaan suplemen urea sudah banyak digunakan dalam formulasi ransum ruminansia di Indonesia, utamanya ransum sapi potong. Suplemen urea merupakan sumber protein kasar yang ekonomis, dan dapat meningkatkan efisiensi konversi pakan pada sapi yang diberi jerami padi (Galina et al., 2000; Ortiz et al., 2001; Loest et al., 2001).

* Korespondensi penulis : e-mail bambangwhep@hotmail.com HP: 081575179899

Namun demikian, dalam penggunaannya harus hati-hati dan harus memperhatikan persyaratan tertentu agar tidak menimbulkan permasalahan bagi ternak sapi, misalnya keracunan karena terlalu tinggi kadar amonia didalam rumen. Kadar amonia yang tinggi disebabkan urea yang ditambahkan dalam formulasi ransum mengalami hidrolisis yang sangat cepat menjadi amonia di dalam rumen. Kecepatan pelepasan amonia dari nitrogen bukan protein, seperti urea, jauh lebih besar daripada kecepatan penggunaan amonia oleh mikroba rumen, sehingga bila dosisnya berlebihan dalam ransum, dalam waktu singkat kadar amonia dapat mencapai level toksik yang ditandai dengan tremor, salivasi yang berlebihan, bernapas terengah-engah, kembung, dan tetani (Stanton dan Whittier, 2006). Apabila di dalam ransum digunakan urea maka perlu disertai dengan penggunaan sumber energi
34

Rekayasa Casrea Berbasis (Prasetiyono)

41

(utamanya berupa sumber karbohidrat) yang mudah tersedia di dalam rumen. Bahan baku yang telah dikenal memenuhi syarat dan sudah biasa diberikan adalah tetes (molasses), namun bahan baku ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi serta jarang ditemukan di setiap daerah di Indonesia. Oleh karena itu perlu diupayakan untuk mencari bahan sumber karbohidrat lain. Salah satu bahan sumber karbohidrat yang mudah didapat di Indonesia adalah ubi kayu, tanaman ini memiliki kelebihan antara lain sangat mudah pemeliharaannya, tahan terhadap kekeringan, dan murah biaya produksi penanamannya. Ubi kayu sebagai sumber pati mengandung energi yang tinggi tetapi rendah kandungan proteinnya (Kiyothong dan Wanapat, 2004; Wanapat dan Khampa, 2007). Di samping itu, ubi kayu mengandung karbohidrat non-struktural lebih tinggi daripada jagung (Sommart et al., 2000; Chanjula et al., 2003). Hasil penelitian Chanjula et al. (2004) menunjukkan bahwa sinkronisasi penggunaan urea dengan pati yang berasal dari ubi kayu dan jagung dalam ransum sapi perah memberikan respon yang tidak berbeda terhadap penampilan produksi sapi perah. Lebih lanjut disebutkan, bahwa dibandingkan dengan pati asal jagung, pati asal ubi kayu menghasilkan income over feed cost yang lebih tinggi (54,0 US$/bulan vs. 51,40 US$/bulan). Hasil penelitian Gerpacio et al. (1979), kandungan pati ubi kayu (48,49%) lebih tinggi dari pada pati jagung (45,35%). Disisi lain, pada saat ini harga pasar (harga rata-rata di pasaran pada saat penelitian) komoditas ubi kayu kering (Rp 1000/kg) lebih murah dibanding jagung kering (Rp 2000/kg). Fenomena ini menunjukkan bahwa ubi kayu dapat dijadikan bahan sumber energi yang potensial sebagai pakan sapi. Oleh karena itu, dalam penggunaannya sebagai pakan, harus ditingkatkan efisiensinya sehingga mampu bersaing dengan tujuan penggunaan lainnya. Pemrosesan sinkronisasi penggunaan urea dengan pati ubi jalar yang terkukus dapat memacu pertumbuhan mikroba rumen (Prasetiyono, 1992). Namun demikian, dalam perkembangannya, proses pengukusan dalam skala besar, memerlukan sumber energi yang terlalu banyak dan relatif kurang praktis. Teknologi lain akan dicoba melalui perlambatan kecepatan pelepasan amonia di dalam rumen asal urea, yaitu dengan proses pemasakan ubi kayu dan urea melalui ekstrusi, sehingga dihasilkan kompleks pati-urea (selanjutnya disebut CASREA). Ekstrusi bahan sumber pati dengan urea dapat memperlambat laju pelepasan amonia di rumen (Antonelli et al.,

2004). Diharapkan dalam bentuk kompleks ini, maka pelepasan N-amonia asal urea di dalam rumen dapat diperlambat dan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan nitrogen oleh mikroba rumen. Tujuan penelitian adalah untuk menguji CASREA sebagai SPN yang memiliki karakteristik terdegradasi di rumen dengan laju diperlambat, dengan mengukur konsentrasi NH3, produksi Volatile Fatty Acids (VFA), protein mikroba rumen dan kecernaan protein pasca rumen secara in vitro.

Metode Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak UNDIP, dari bulan Januari 2006 sampai dengan Maret 2006. Bahan ubi kayu diambil dari varitas Cemani berasal dari Klaten Jawa Tengah. Bahan urea mengandung 45% Nitrogen. Ubi kayu dikeringkan dibawah sinar matahari, setelah kering digiling dengan hammer mill. Tepung daun ubi kayu dibuat dengan cara menjemur dibawah sinar matahari selama tiga hari dengan pengeringan 6 jam setiap hari. Kemudian daun ubi kayu digiling sampai menjadi tepung dan disaring dengan ukuran saringan 1 millimeter. Semua bahan ditimbang sesuai dengan komposisi bahan untuk pembuatan CASREA dan selanjutnya dicampur hingga homogen dengan menggunakan mixer horizontal. Setelah campuran homogen, kemudian diekstrusi pada suhu 180oC (Helmer et al., 1970) menggunakan ekstruder. Uji fermentasi in vitro dilakukan dengan metode batch culture, dengan menggunakan cairan rumen sebagai sumber inokulum yang diperoleh dari seekor sapi perah berfistula rumen. Sebelum digunakan penelitian, sapi diberi pakan dengan komposisi 50% rumput gajah dan 50% konsentrat selama 3 bulan. Percobaan dibagi dalam 2 kajian, yaitu kajian 1: analisis konsentrasi VFA dan NH3 (General Laboratory Procedure, 1966), serta bobot protein endapan (Shultz and Shultz, 1969), yang merupakan refleksi sintesis protein mikroba rumen. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 4x3 dengan 3 kali ulangan pada tiap kombinasi perlakuan. Faktor A adalah macam CASREA: Casrea1 (dibuat tanpa melalui ekstrusi sebelumnya dengan komposisi urea, ubi kayu, daun ubi kayu, kapur, garam, dan mineral-vitamin Starvit, masing-masing 32, 58, 5, 2, 1, dan 2%), Casrea2 (diekstrusi sebelumnya dengan komposisi urea, ubi kayu, daun ubi kayu, kapur, garam, dan mineralvitamin Starvit, masing-masing 22, 68, 5, 2, 1, dan 2%), Casrea3 (diekstrusi sebelumnya dengan

40

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 34 41

komposisi urea, ubi kayu, daun ubi kayu, kapur, garam, dan mineral-vitamin Starvit, masing-masing 27, 63, 5, 2, 1, dan 2%), dan Casrea4 (diekstrusi sebelumnya dengan komposisi urea, ubi kayu, daun ubi kayu, kapur, garam, dan mineral-vitamin Starvit, masing-masing 32, 58, 5, 2, 1, dan 2%). Faktor B adalah waktu inkubasi: 2, 4, dan 6 jam. Kajian 2: analisis kecernaan protein pasca rumen (Tilley dan Terry, 1969) menggunakan RAL dengan perlakuan 4 macam CASREA (sama dengan kajian 1) dan 3 kali ulangan. Guna mengetahui perubahan gugus fungsi OH (hidroksil) dan CONH2 (amida) dilakukan analisis spektra infra merah (Skoog et al., 1992) pada sampel Casrea1 (tanpa ekstrusi) dan sampel CASREA lainnya yang terbaik. Data yang diperoleh diolah dan dianalisa menggunakan analisis ragam, dan dilanjutkan dengan uji Duncan (Duncans Multiple Range Tests) menggunakan general linear procedure (GLM) Statistical Analyses System (SAS, 2000).

ekstrusi yang berasal dari pati (umbi-umbian) dengan kandungan amilosa tinggi cenderung menghasilkan produk ekstrusi yang keras dan pejal karena proses pemekaran hanya terjadi secara terbatas. Sebaliknya, produk ekstrusi dari pati biji-bijian dengan kandungan amilopektin yang tinggi akan menghasilkan produk yang garing, ringan dan mudah patah. Secara umum produk ekstrusi sangat efisien bila diproduksi dalam jumlah besar atau skala industri, karena proses pembuatannya yang cepat (High Temperature Short Time =HTST), produk yang dihasilkan seragam, proses ekstrusi berkemampuan merusak senyawa toksik, memantapkan stabilitas urea, tidak banyak menimbulkan limbah serta memudahkan dalam hal transportasi produk. Berdasarkan analisis statistik tidak ada interaksi (Gambar 1) antara CASREA dengan waktu inkubasi batch culture pada percobaan in vitro terhadap VFA, NH3, dan protein endapan.

Hasil dan Pembahasan


Percobaan I
Hasil pemrosesan ubi kayu-urea terektrusi berbentuk puff-dry (bergelembung kering) dengan tekstur agak keras dan pejal. Tekstur yang keras ini diduga karena kandungan amilosa pati ubi kayu yang tinggi. Menurut Muchtadi et al. (1988), produk

Konsentrasi VFA
Tabel 1 menunjukkan bahwa konsentrasi VFA pada Casrea2, Casrea3 dan Casrea4 lebih rendah (P<0,05) dibandingkan Casrea1. Berkurangnya VFA ini menunjukkan bahwa ekstrusi ubi kayu-urea pada pembuatan Casrea2, Casrea3 dan Casrea4 dapat meningkatkan penggunaan VFA sebagai sumber energi dan kerangka karbon untuk sintesis mikroba rumen.

(a)
200 180 160 140 VFA (mM) 120 100 80 60 40 20 0 2 jam 4 jam 6 jam
0 NH3 (mM)
Casrea1 Casrea2 Casrea3 Casrea4

(b) 60

(c)
35 30 Protein endapan (mg) 25
Casrea1
Casrea1 Casrea2 Casrea3

50 40 30 20 10

20 15 10 5 0 2 jam 4 jam 6 jam

Casrea2 Casrea3 Casrea4

Casrea4

2 jam 4 jam 6 jam Waktu inkubasi

Waktu inkubasi

Waktu inkubasi

Gambar 1. Pengaruh waktu inkubasi pada berbagai macam Casrea terhadap konsentrasi VFA (a), konsentrasi NH3 (b), dan protein endapan (c)

Rekayasa Casrea Berbasis (Prasetiyono)

41

Fenomena ini didukung oleh data dalam Tabel 3, bahwa bobot protein endapan yang merupakan refleksi dari sintesis mikroba rumen, pada Casrea2, Casrea3 dan Casrea4 lebih tinggi dari pada Casrea1. Konsentrasi VFA pada Casrea2, Casrea3 dan Casrea4 tidak menunjukkan perbedaan nyata, karena ketersediaan VFA untuk sintesis mikroba rumen mulai stabil pada Casrea2. Fermentabilitas pakan erat kaitannya dengan aktifitas dan populasi mikroba rumen. Bersama-sama dengan ammonia, VFA merupakan bahan utama pembentukan protein mikroba yang berguna bagi hewan induk semang (Preston dan Leng, 1987). Pengaruh waktu inkubasi terhadap konsentrasi VFA tersaji pada Tabel 1. Waktu inkubasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap VFA. Namun demikian, waktu inkubasi 4 dan 6 jam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, ini menunjukkan bahwa konsentrasi VFA mulai stabil pada waktu inkubasi 4 jam. Pada waktu inkubasi 4 jam penggunaan VFA oleh mikroba rumen mulai optimal, sehingga pada inkubasi berikutnya (6 jam) tidak terjadi peningkatan produksi VFA yang nyata.

Konsentrasi NH3
Tabel 2 menunjukkan bahwa konsentrasi NH3 pada Casrea2, Casrea3 dan Casrea 4 lebih rendah (P<0,05) dibandingkan Casrea1. Hasil ini disebabkan menurunnya fermentabilitas bahan akibat pembentukan kompleks ubi kayu-urea pada

proses ekstrusi. Konsentrasi NH3 pada Casrea2, Casrea3, dan Casrea4 tidak menunjukkan peningkatan yang nyata, walaupun komposisi urea ditingkatkan yaitu pada pembuatan Casrea2, Casrea3 dan Casrea4 masing-masing 22, 27 dan 32%. Fenomena ini menunjukkan bahwa ekstrusi mampu meredam laju pelepasan NH3 (SRA) dari kompleks ubi kayu-urea sebagai bahan utama CASREA, sehingga pasokan NH3 dalam rumen dapat terkendali. Hasil penelitian Helmer et al. (1970), yang menggunakan jagung-urea terekstrusi mampu memperlambat laju pelepasan N-amonia dan meningkatkan protein bakteri rumen dibandingkan jagung-urea yang tidak terekstrusi. Guna menerangkan pembentukan kompleks ubi kayu-urea, maka pada percobaan ini juga dilakukan analisis perbedaan gugus fungsi antara Casrea1 (tanpa ekstrusi) dengan formula CASREA terbaik (Casrea2 atau dengan ekstrusi) melalui rekaman spektra inframerah, seperti yang tersaji pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar tersebut tampak adanya perbedaan pola spektra pada bilangan gelombang 1640-1720 cm-1 dan 3000-3600 cm-1 antara perlakuan tanpa ektrusi (spectra a) dengan perlakuan ekstrusi (spectra b). Pada bilangan gelombang 1640-1720 cm-1 merupakan pola spektra dari gugus fungsi CONH2 (amida) yang berasal dari urea sedangkan pada bilangan gelombang 3000-3600 cm-1 merupakan pola spektra gugus fungsi OH (hidroksil) yang berasal dari pati ubi kayu.

Tabel 1. Pengaruh waktu inkubasi dan macam Casrea terhadap konsentrasi VFA (mM) Macam CASREA Casrea1 Casrea2 Casrea3 Casrea4 Rataan
a,b,

2 150,67 8,96 135,33 3,21 132,00 11,00 131,33 9,29 137,33a 9,10

Waktu Inkubasi (jam) 4 6 176,00 7,94 178,00 2,65 160,67 4,51 164,33 3,79 159,33 6,51 163,00 4,00 158,00 5,29 162,00 4,58 163,50b 8,40 166,83b 7,50

Rataan 168,22a 15,20 153,44b 15,80 151,44b 16,90 150,44b 16,70

Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05

Tabel 2. Pengaruh waktu inkubasi dan macam Casrea terhadap konsentrasi NH3 (mM) Macam CASREA Casrea1 Casrea2 Casrea3 Casrea4 Rataan
a,b,

2 34,14 1,56 26,95 0,00 27,85 1,56 28,75 1,56 29,42a 3,20

Waktu Inkubasi (jam) 4 6 47,61 1,56 48,51 2,70 30,54 1,56 31,44 1,56 31,44 1,56 32,34 2,70 32,34 2,70 33,24 1,56 35,48b 8,10 36,38b 8,10

Rataan 43,42a 8,10 29,65b 2,40 30,54b 2,40 31,44b 2,40

Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05

40

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 34 41

Secara detail, berdasarkan rekaman analisis spectra kedua SPN (Casrea1 vs. Casrea2), maka bilangan gelombang gugus fungsi OH pada Casrea2 meningkat 100 cm-1 yakni dari 3000 cm-1 (Casrea1) berubah menjadi 3100 cm-1 (Casrea2). Sedangkan bilangan gelombang gugus fungsi CONH2 pada Casrea2 meningkat 20 cm-1 yakni dari 1640 cm-1 (Casrea1) berubah menjadi 1660 cm-1 (Casrea2). Berdasarkan rumus E= h.v, dimana E= energi radiasi electromagnet, h=konstanta Planck (6,63 x 10-34), dan v= bilangan gelombang (Skoog et al., 1992), maka meningkatnya bilangan gelombang ini mengindikasikan bahwa energi ikat pada persenyawaan kompleks ubi kayu-urea melalui ikatan antara NH2 (asal urea) dengan atom karbon nomer 6 dari unit polisakarida (pati ubi kayu) semakin besar, dan ikatan ini sangat sulit dipecah kecuali dengan bantuan biokatalis berupa enzim-enzim yang ada dalam rumen. Percobaan ini juga dikuatkan dari hasil penelitian yang dilakukan Galo et al. (2003) yang mana urea yang dilapisi polimer (polymer-

coated urea) mampu memperlambat hidrolisis menjadi amonia daripada urea yang tidak dilapisi, dan amonia dapat digunakan lebih efisien oleh mikrobia rumen. Owens et al. (1980) pada percobaannya dengan menggunakan sapi pejantan kebiri, mendapatkan hasil bahwa produk SRA dapat terhidrolisis hampir keseluruhan di dalam rumen secara lambat. Tabel 2 menunjukkan bahwa, waktu inkubasi berpengaruh nyata terhadap konsentrasi NH3 (P<0,05). Waktu inkubasi 2 jam menghasilkan NH3 terendah, sedangkan waktu inkubasi 6 jam menghasilkan NH3 tertinggi. Namun demikian, waktu inkubasi 4 dan 6 jam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, ini menunjukkan bahwa konsentrasi NH3 mulai stabil pada waktu inkubasi 4 jam sampai 6 jam. Pada waktu mulai inkubasi 4 jam penggunaan NH3 oleh mikroba rumen mulai optimal, sehingga pada inkubasi berikutnya (6 jam) tidak terjadi peningkatan NH3 yang nyata.

Gambar 2. Spektrum infra merah pada Casrea1 (a) dan Casrea2 (b)

Rekayasa Casrea Berbasis (Prasetiyono)

41

Bobot Protein Endapan


Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan CASREA nyata mempengaruhi produksi protein endapan (P<0,05). Bobot protein endapan pada Casrea2, Casrea3, dan Casrea4 lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan Casrea1. Bobot protein endapan tertinggi dicapai pada Casrea2 (29,04 mg). Hasil ini menunjukkan bahwa fermentabilitas Casrea2 sangat efektif dalam menyediakan VFA sebagai kerangka karbon dan sumber energi serta mampu mendukung ketersediaan NH3 sebagai sumber N untuk sintesis protein mikroba rumen yang optimal. Fenomena ini menunjukkan bahwa, Casrea2 mampu menciptakan sinkronisasi antara pelepasan NH3 dari kompleks ubi kayu-urea dengan ketersediaan kerangka karbon dan energi untuk sintesis protein mikroba rumen. Hasil penelitian ini menguatkan temuan Chanjula et al. (2004) untuk meningkatkan produksi mikroba rumen diperlukan sinkronisasi antara ketersediaan N dengan energi. Bobot protein endapan ini merefleksikan sintesis protein mikroba rumen yang terbentuk, dan dapat digunakan untuk melihat besarnya sumbangan protein pasca rumen dari ransum ternak. Protein endapan ini merupakan protein pakan yang lolos dari degradasi mikroba rumen yang tercampur dengan protein mikroba. Walaupun demikian, kondisi ini juga akibat dukungan mineral dalam formulasi, terutama sulfur. Menurut Carneiro et al. (2000) dan

Looper et al. (2001), sulfur sangat penting dalam pembentukan asam amino oleh mikroba rumen. Suplementasi sulfur sangat penting dalam ransum dengan kandungan non-protein yang tinggi terutama urea. Rendahnya intake sulfur dapat menyebabkan defisiensi protein. Tabel 3 menunjukkan bahwa, waktu inkubasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot protein endapan. Waktu inkubasi 2 jam menghasilkan bobot protein endapan terendah, sedangkan waktu inkubasi 6 jam menghasilkan bobot protein endapan tertinggi. Namun demikian, waktu inkubasi 4 dan 6 jam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, hal ini menunjukkan bahwa sintesis mikroba rumen mulai stabil pada waktu inkubasi 4 jam. Data konsentrasi NH3 dan VFA mendukung fenomena ini, pada waktu mulai inkubasi 4 jam penggunaan NH3 dan VFA oleh mikroba rumen mulai optimal.

Percobaan II
Gambar 3 menunjukkan bahwa kecernaan protein pasca rumen pada Casrea1, Casrea2, Casrea3, dan Casrea 4 masing-masing adalah 53,95, 76,16, 72,18 dan 69,07%. Casrea2 memiliki kecernaan protein pasca rumen lebih tinggi (P<0,05) yaitu sebesar 76% dibandingkan Casrea1 (54%), Casrea3 (72%) dan Casrea4 (69%).

Tabel 3. Pengaruh waktu inkubasi dan macam Casrea terhadap bobot protein endapan (mg) Macam CASREA Casrea1 Casrea2 Casrea3 Casrea4 Rataan
a,b,

2 15,95 2,88 26,10 0,74 25,03 6,45 24,03 0,48 22,78a 4,60

Waktu Inkubasi (jam) 4 6 21,44 0,95 25,90 4,27 30,80 3,27 30,22 1,04 28,09 1,18 29,20 1,28 27,59 1,33 28,23 10,02 26,98b 4,00 28,39b 1,80

Rataan 21,10a 5,00 29,04b 2,60 27,44b 2,20 26,62b 2,30

Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05

40

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 34 41

KEC PROTEIN PASCA RMN (%)

90 80 70 60 50 40 30 20 10 0

b b

Casrea1

Casrea2

Casrea3

Casrea4

CASREA

Gambar 3. Pengaruh CASREA terhadap kecernaan protein pasca rumen

Tingginya kecernaan protein pasca rumen pada perlakuan Casrea2 disebabkan produksi protein mikroba pada perlakuan ini menunjukkan angka yang lebih besar (29,04 mg) diantara perlakuan lainnya. Hasil ini membuktikan bahwa protein mikroba rumen mempunyai kualitas yang baik dan kecernaan yang tinggi serta sangat besar artinya untuk peningkatan pasokan protein bagi ternak. Menurut Sniffen dan Robinson (1987) sumbangan protein mikroba rumen terhadap pemenuhan kebutuhan asam amino ternak ruminansia dapat mencapai 40-80%. Protein mikroba rumen memiliki kecernaan yang tinggi, yang mana protozoa rumen memiliki kecernaan protein 68-91%, sedangkan bakteri rumen 55-80%. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kandungan protein protozoa sangat dipengaruhi terutama kalau makanan banyak mengandung polisacharida.

penggunaan suplemen Casrea2 ini dapat meningkatkan efisiensi penggunaan bahan pakan sumber protein dalam formulasi ransum sapi potong. Disarankan perlu uji lanjut secara in vivo, tentang sampai seberapa dosis pemberian Casrea2, sehingga aman dikonsumsi ternak dengan mengukur kandungan urea dan NH3 darah.

Daftar Pustaka
Antonelli, A.C., C.S. Mori, P.C. Soares, S.S. Kitamura and E.L. Ortolani, 2004. Experimental ammonia poisoning in cattle fed extruded or prilled urea: clinical findings. Braz. J. Vet.Res.Anim.Sci. 41: 6774. Carneiro, H., R. Puchala, F.N. Owen, T. Sahlu, K. Qi and A.L. Goetsch, 2000. Effect of dietary sulfur level on amino acid concentrations in ruminanl bacteria of goats. Small Rum. Res. 37: 151. Chanjula, P., M. Wanapat, C. Wachirapakorn, S. Uriyapongson and P. Rowlinson, 2003. Ruminal degradability of tropical feeds and their potential use in ruminant diets. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 16: 211216. Chanjula, P., M. Wanapat, C. Wachirapakorn and P. Rowlinson, 2004. Effect of synchronizing starch sources and protein (NPN) in the rumen on feed intake, rumen microbial fermentation, nutrient utilization and performance of lactating dairy cows. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 17(10): 1400-1410.

Kesimpulan
CASREA berbahan baku utama urea 22% dan ubi kayu 68% yang diekstrusi sebelumnya (Casrea2), mampu mendukung metabolisme N dan biosintesis protein mikrobia rumen yang optimal. Fenomena ini membuktikan bahwa Casrea2 sangat jelas menghasilkan kompleks ubi kayu-urea yang dapat memperlambat laju pelepasan ammonia (slow release of ammonia) dari urea agar lebih efisien dikonversi menjadi protein mikroba rumen. Diharapkan, optimalisasi sintesis protein mikroba rumen melalui

Rekayasa Casrea Berbasis (Prasetiyono)

41

Galina, M.A., C.M. Guerrero, G. Serrano, R. Morales and G. Haenlein, 2000. Effect of complex catalytic supplementation with non-protein nitrogen on ruminal ecosystem of growing goats pasturing shrub land in Mexico. Small Rum.Res.36: 33-42. Galo, E., S.M. Emanuele, C.J. Sniffen, J.H. White and J.R. Knapp. 2003. Effect of a polymer-coated urea product on nitrogen metabolism in lactating Holstein dairy cattle. J. Dairy Sci. 86: 2154-2162. General Laboratory Procedure, 1966. Report of Dairy Science. University of Wisconsin. Madison. Gerpacio, A.L., F.Sd. Pascual, L.J Querubin, C.I. Mercado and C.T. Bechayda, 1979. Evaluation of tuber meal as energy sources. IV. The effect of varying energy/protein ratios on the feeding value of broiler rations containing tannia/Xanthosema sp.) and Pongapong (Amorphophallus companulatus) meals. Phil. J. Vet. Animal Sci. V(1): 1-13. Helmer, L.G., E.E. Bartley, C.W. Deyoe, R.M. Meyer and H.B. Pfost, 1970. Feed processing. V. Effect of an expansion-processed mixture of grain and urea (Starea) on nitrogen utilization in vitro. J. Dairy Sci. 53(3): 330-335. Kiyothong, K. and M. Wanapat, 2004. Growth, hay yield and chemical composition of cassava and Stylo 184 grown under intercropping. AsianAust.J.Anim.Sci.17: 799-807. Loest, C.A., E.C. Titgemeyer, J.S. Drouillard, B.D. Lambert and A.M. Trater, 2001. Urea and biuret as nonprotein nitrogen sources in cooked molasses blocks for steers fed prairie hay. Anim.Feed.Sci.Tech. 94: 115-126. Looper, M.L., S.R. Stokes, D.N. Waldner and E.R. Jordan, 2001. Managing Milk Composition: Feed Additives and Production Enhancers. Guide D-106. College Agriculture and Home Economics. New Mexico State University. Muchtadi, T.R., Purwiyatno and A. Basuki. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Lembaga Sumberdaya Informasi, IPB. Bogor. Ortiz, R.M.A., G.F.W. Haenlein and M. Galina, 2001. Effect on feed intake and body weight gain when substituting maize with sugar cane in diets for Zebu

steers complemented with slow release supplements. Int.J.Anim.Sci. 16(2): 239-245.

urea

Owens, F.N., K.S. Lusby, K. Mizwicki and O. Forero, 1980. Slow ammonia release from urea: rumen and metabolism studies. J. Anim. Sci. 50(3): 527-531. Prasetiyono, B.W.H.E, 1992. Pengaruh tingkat penggunaan urea dan waktu pengukusan ubi jalar terhadap biosintesis protein mikroba rumen [Thesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor , Program Pascasarjana. Preston, T.R. and R.A. Leng, 1987. Matching Ruminant Production System with Available Resources in the Tropics and Sub-tropics. Penambul Books. Armidale, NSW. SAS., 2000. SAS/STAT Users Guide. SAS Institute Inc., SAS Campus Drive, Cary, NC 27513. Shultz, T.A. and E. Shultz, 1969. Estimation of rumen microbial nitrogen by three analytical methods. J. Dairy Sci. 53: 781-784. Skoog, D.A., D.M. West and F.J. Holler, 1992. Analytical Chemistry. 6th edition. Saunder College Publishing. New York. Sniffen, C.J. and P.H. Robinson, 1987. Microbial growth and flow as influenced by dietary manipulations. J. Dairy Sci. 70: 425-432. Sommart, K., D.S. Parker, M. Wanapat and P. Rowlinson, 2000. Fermentation characteristics and microbial protein synthesis in an in vitro system using cassava, rice straw and dried ruzi grass as substrates. AsianAust.J.Anim.Sci.13: 1084-1093. Stanton, T.L. and J. Whittier, 2006. Urea and NPN for cattle and sheep. http: //www.ext.colostate.edu/ Pubs/livestk/01608.html. [25-06-2007]. Tilley J.M. and R.S. Terry, 1969. A two stage technique for in vitro digestion of forage crops. J. Br. Grassland Society 18(2): 104-111. Wanapat, M. and S. Khampa, 2007. Effect of levels of supplementation of concentrate containing high levels of cassava chip on rumen ecology, microbial N supply and digestibility of nutrients in beef cattle. Asian-Aust.J.Anim.Sci. 20: 75-81.

ANIMAL PRODUCTION, Januari 2008, hlm. 42 49 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol.10 No.1

Hidrolisis Bungkil Inti Sawit (Elaeis guineensis Jacq) oleh Kapang Trichoderma reesei sebagai Pendegradasi Polisakarida Mannan
(Hydrolysis of Palm Kernel Cake (Elaeis guineensis Jacq) by Fungi Trichoderma reesei that Degrades Mannan Polysaccharides)
Achmad Jaelani1*, Wiranda Gentini Piliang2, Suryahadi2 dan Iman Rahayu2
1 2

Fakultas Pertanian Universitas Islam Kalimantan, Banjarmasin Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor

ABSTRACT: The research was conducted to study the growth characterization of Trichoderma reesei, the degradability of mannan polysaccharides from Palm Kernel Cake (PKC) with different concentrations of fungi and thickness of the PKC medium as well as, the improvement of the nutritive value of palm kernel cake. Experiment 1st was to study the growth characterization of Trichoderma reesei followed by the regression equation on the number of colony was Y = - 0.1745x2 + 2.2611x 0.4699. Regression equation on diameter of colony was Y = 8.3743x + 11.429 and optimizing time was obtained on 30 hours are 102.89%. Experiment 2nd was conducted using concentrations of fungi (104, 105, and 106 CFU cc-1) and thickness of the PKC medium (1, 2, and 3 cm). This research using by a completely randomized design with factorial 3 x 3. The treatments gave significant (P<0.05) differences on pH and temperature of PKC medium, ADF, NDF, crude protein, and hemicellulose. There were interaction effect on the concentrations of fungi and on the thickness of PKC medium (P<0.05) on NDF, crude protein, and hemicelluloses (P<0.05). Experiment 3rd was conducted using PKC and the fermentation of PKC on True Metabolizable Energy (TME), the retention of nitrogen, total sugar and mannan content. Data were analyzed using t test. Trichoderma reesei is able to degrade mannan polysaccharides of PKC whereby that TME and the total sugar value increased, but the nitrogen retention and mannan content decreased. Key Words: Hydrolysis, palm kernel cake, Trichoderma reesei, mannan polysaccharides

Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kedua terbesar setelah Malaysia dalam menghasilkan kelapa sawit. Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2005 sekitar 5.000.000 hektar dengan total produksi crude palm oil (CPO) sekitar 14.500.000 ton (LRPI, 2006). Menurut Sindu (1999), rata-rata hasil ikutan minyak kelapa sawit adalah: bungkil inti sawit sekitar 0,30,6 ton, serat buah sekitar 1,53,5 ton dan lumpur minyak sawit sekitar 36 ton/ha tanaman/tahun. Bungkil inti sawit (palm kernel cake/meal) merupakan hasil ikutan pada proses pemisahan minyak inti sawit yang diperoleh secara kimiawi (extraction) atau dengan proses fisik (expeller) (Chin, 2002). Bungkil inti sawit (BIS) mengandung kadar protein lebih rendah bila dibandingkan dengan bungkil kedele dan kacang tanah yaitu sekitar 15,7317,19% (Chong et al., 1998). Pemberian BIS pada ternak masih belum optimal karena beberapa kendala salah satunya adalah daya
* Korespondensi penulis : e-mail warbor_azkia@yahoo.com

cerna yang rendah akibat tingginya kandungan serat kasar yaitu berkisar 12,4716,09 % dan sekitar 27% dari bungkil inti sawit tersusun atas hemiselosa dimana fraksi polisakarida mannan adalah yang terbanyak (Chong et al., 1998). Komponen mannan pada bungkil inti sawit merupakan komponen polisakarida dengan formasi linier berbentuk kristal yang cukup tinggi dengan ikatan -(1-4) sulit untuk didegradasi. Berdasar hal tersebut pendegradasi mannan secara total harus mampu memecah ikatan tersebut dan merubahnya menjadi oligosakarida atau bahkan monosakarida yang mudah dicerna. Salah satu caranya adalah melalui hidrolisis mannan BIS dengan menggunakan mikroba yang benar-benar mampu mendegradasi mannan dengan menghasilkan beberapa enzim yang efektif menguraikan komponen mannan yaitu mannanase, -galaktosidase dan -xilosidase. Berdasarkan hasil penelitian Daud dan Jarvis (1992), jumlah persentase gula sederhana dari total dinding sel bungkil inti sawit yang dideteksi dengan HPLC diperoleh mannosa sebanyak 56,40%, selulosa 12% dan xylan 4%. Polisakarida mannan dan selulosa merupakan 95% dari total polisakarida bungkil inti sawit.
42

Hidrolisis Bungkil Inti (Jaelani et al.)

43

Pemilihan mikroba pendegradasi polisakarida mannan harus didasarkan pada beberapa ketentuan diantaranya tidak toksik, mudah dalam aplikasi, biaya murah, dan produksinya cukup baik. Dari beberapa ketentuan tersebut, pemilihan kapang merupakan hal yang penting. Mikroba pendegradasi polisakarida mannan telah diteliti oleh Coulombel et al. (1981) dengan menggunakan Streptomyces olivochromogenes yang ditumbuhkan pada media yang mengandung galaktomannan. Enzim yang dihasilkan mampu menghidrolisis mannan pada kopra menjadi manno-oligosakarida, mannobiosa dan mannosa. Regalado et al. (1995) memproduksi enzim -mannanase hasil fermentasi solid substrat dari limbah industri kopi dengan kapang Trichoderma reesei, sedangkan Sabini et al. (2000) menggunakan substrat Phytelephas macrocarpa (ivory nut). Dengan dihidrolisisnya polisakarida mannan menjadi beberapa oligosakarida/monosakarida yang mudah dicerna/diserap tubuh, hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan nilai nutrisi baik dari segi kecernaan nutrisi (kualitas), maupun peningkatan dari segi kuantitatif. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik pertumbuhan kapang Trichoderma reesei, mengetahui seberapa besar perubahan nilai nutrisi bungkil inti sawit melalui hidrolisis oleh kapang Trichoderma reesei dengan berbagai dosis kapang dan ketebalan media yang berbeda serta mengetahui kemampuan kapang Trichoderma reesei dalam mendegradasi polisakarida mannan pada bungkil inti sawit.

umur pertumbuhan kapang sebagai prediktor, jumlah koloni serta diameter koloni sebagai respon.

Tahap II. Dosis Kapang dan Ketebalan Media


Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi. Adapun analisa proksimat dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Teknologi Pakan Fapet IPB. Pada penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial 3x3 dengan faktor pertama dosis kapang (2,13 x 104; 2,13 x 105; 2,13 x 106 CFU/cc), dan faktor kedua ketebalan media BIS (1, 2, 3 cm). Adapun peubah yang diamati dalam penelitian ini meliputi: Suhu dan pH media selama fermentasi, kandungan bahan kering, protein kasar, NDF, ADF, dan hemiselulosa, pada akhir fermentasi (AOAC, 1984). Data dianalisis menggunakan Analisis Ragam dan jika hasilnya berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan menggunakan program SAS ver 6.12.

Tahap III. Degradasi Polisakarida Mannan


Penelitian dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Teknologi Pakan Fapet IPB adapun isolasi dan analisa polisakarida mannan dilakukan di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong Tangerang. Pada penelitian ini digunakan uji t yakni membandingkan BIS dan BIS hasil fermentasi (BISF) terhadap beberapa peubah hasil degradasi kapang Trichoderma reesei yang meliputi : kandungan gula total terlarut (Metode Dubois), energi metabolisme sejati (Metode Sibbald), retensi nitrogen semu, dan kandungan mannan (Metode Sabini et al., 2000).

Metode Penelitian
Tahap I. Uji Pertumbuhan Kapang
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi Fakultas Peternakan IPB. Inokulum murni Trichoderma reesei strain FNCC 6012 diperoleh dari Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada Yogjakarta, dan diperbanyak dengan menumbuhkan pada media Potato Dextrose Agar (PDA) dengan penambahan nutrient NH4NO3, KCl, FeSO4.7H2O dan CuSO4 pada suhu kamar (28oC) selama 72 jam. Bungkil inti sawit (BIS) diperoleh dari pabrik pengolahan Crude Palm Oil (CPO) di Lampung. Peubah yang diukur meliputi jumlah koloni optimum, diameter koloni dan persentase perubahan koloni. Adapun umur pertumbuhan kapang yang diamati : 24, 30, 36, 42, 48, 54, 60, dan 72 jam. Data dianalisis menggunakan Analisis Regresi dengan

Hasil dan Pembahasan


Tahap I. Uji Pertumbuhan Kapang
Koloni kapang Trichoderma reesei berwarna hijau muda. Semakin lama warnanya semakin hijau tua, hal ini sesuai dengan Xiong (2004). Rata-rata jumlah koloni kapang Trichoderma reesei diperlihatkan pada Tabel 1. Diameter pertumbuhan kapang dilakukan pengukuran setiap 6 jam dan dimulai pada 24 jam pertama, karena sampai 24 jam pertama belum terlihat pertumbuhan koloni kapang yang berarti (fase adaptasi dan pertumbuhan awal). Menurut Fardiaz (1985) jumlah awal sel yang tinggi akan mempercepat fase adaptasi. Adapun persentase (%) perubahan diameter koloni kapang paling besar

44

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 42 49

dicapai pada umur pertumbuhan 30 jam. Disini pertumbuhan kapang memasuki fase logaritmik dengan kecepatan pertumbuhan paling tinggi. Jumlah koloni kapang mulai konstan (fase stationary), dicapai pada umur 60 jam yakni mencapai jumlah koloni 2,13 x 106 CFU/cc. Demikian pula halnya dengan perubahan diameter koloni kapang, pada umur 60 jam persentase perubahannya sangat kecil. Hal ini disebabkan kapang sudah memasuki fase statis. Pada fase ini jumlah populasi sel tetap karena jumlah sel yang tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati. Ukuran sel pada fase ini menjadi lebih kecil karena sel tetap membelah meskipun nutrisi sudah habis (Fardiaz, 1985). Berdasarkan data pada Tabel 1 tentang jumlah koloni (tranformasi log) mengikuti persamaan Fase Y = -0,1745x2 + 2,2611x 0,4699. pertumbuhan koloni kapang, secara optimal dicapai pada umur pertumbuhan antara 54-60 jam. Diameter koloni kapang dapat diketahui persaman regresinya adalah Y = 8,3743x + 11,429. Persaman polynomial untuk perubahan diameter koloni adalah Y = -0,6055x4 + 13,106x3 96,471x2 +267,09x -172,95 (menunjukan umur pertumbuhan). Disini kurva yang terbentuk berupa kurva model logaritmik.

hampir seluruh perlakuan menunjukan pola yang sama yakni terjadi penurunan pH pada 24 jam umur fermentasi kecuali perlakuan S3D4 dan S1D5 berturut-turut pada 48 jam dan 96 jam waktu fermentasi. Penurunan pH terjadi karena H+ dilepaskan selama konsumsi NH4+ dan dikonsumsi selama metabolisme NO3- dan penggunaan asam amino sebagai sumber karbon (Rahman, 1992). Setelah waktu tersebut terjadi kenaikan pH sampai akhir fermentasi. Adapun pH akhir fermentasi di bawah pH awal kecuali perlakuan S3D4. Nilai pH untuk pertumbuhan mikroba mempunyai hubungan dengan suhu pertumbuhan. Jika suhu pertumbuhan naik, pH optimum untuk pertumbuhan juga naik. Terdapat interaksi positif antara ketebalan media BIS dengan dosis kapang terhadap pH media pada semua umur fermentasi kecuali pada umur 48 jam.

b. Suhu Media BIS


Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa perubahan suhu tertinggi pada waktu fermentasi 24 jam dicapai kombinasi perlakuan S2D6 yakni 31,67oC. Namun suhu tertinggi selama fermentasi terjadi pada 96 jam waktu fermentasi yakni diperoleh pada perlakuan S3D6 yakni mencapai 35,67oC. Perubahan suhu selama fermentasi seluruh perlakuan menunjukkan pola yang sama yakni terjadi kenaikan suhu hingga pada 72 jam umur fermentasi kecuali perlakuan S3D5 dan S3D6 masing-masing pada 48 jam waktu fermentasi dan 96 jam waktu fermentasi. Kenaikan suhu media terjadi karena panas metabolisme yang dikeluarkan. Hal ini ditandai dengan terbentuknya titik-titik air dan merupakan masa kritis dalam kultur media padat, sehingga akan menimbulkan masalah teknis tentang cara pemindahan panas (Rahman, 1992).

Tahap II. Dosis Kapang dan Ketebalan Media a. pH Media BIS


pH media sangat berperan dalam berlangsungnya proses fermentasi. Setiap kapang memerlukan pH media tertentu untuk memulai fermentasi. Kapang mempunyai pH optimum antara 5-7. Perubahan pH substrat selama fermentasi BIS oleh kapang T. reesei diperlihatkan pada Gambar 1. Pada penelitian ini pH awal media BIS adalah 5,94. Selama fermentasi terjadi perubahan pH dan

Tabel 1. Jumlah dan diameter koloni kapang Trichoderma reesei selama pertumbuhan Umur pertumbuhan (jam) 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Jumlah koloni (CFU/cc) Belum terlihat 2,06 x 105 2,62 x 105 3,33 x 105 1,75 x 106 2,04 x 106 2,13 x 106 2,13 x 106 2,13 x 106 Diameter koloni (mm) 13,58 27,41 38,10 48,93 54,94 66,19 73,78 76,73 80,05 Perubahan diameter koloni (%) 102,89 39,00 28,42 12,28 20,48 11,47 4,00 4,32

Hidrolisis Bungkil Inti (Jaelani et al.)

43

Tabel 2. Kandungan bahan kering BISF (%) pada berbagai dosis kapang dan tebal media yang berbeda Ketebalan media (cm) Persentase bahan kering pada berbagai dosis kapang (CFU/cc) 2,13 x 104 2,13 x 105 2,13 x 106 -------------------------------- % ---------------------------------89,93 89,63 88,82 90,74 88,36 89,14 89,38 88,90 89,51

1 2 3

6,2 6 pH MEDIA 5,8 5,6 5,4 5,2 5 0 24 48 72 96 120 WAKTU FERMENTASI (JAM) S1D4 S1D5 S1D6 S2D4 S2D5 S2D6 S3D4 S3D5 S3D6

Gambar 1. Kurva perubahan pH media BIS selama fermentasi oleh Trichoderma reesei
Keterangan : S1 = ketebalan media 1 cm S2 = ketebalan media 2 cm S3 = ketebalan media 3 cm D4 = dosis kapang 2,13 x 104 CFU/cc D5 = dosis kapang 2,13 x 105 CFU/cc D6 = dosis kapang 2,13 x 106 CFU/cc

40

S1D4 S1D5

SUHU MEDIA (oC)

35

S1D6 S2D4

30

S2D5 S2D6

25

S3D4 S3D5

20 0 24 48 72 96 120 WAKTU FERMENTASI (JAM)

S3D6

Gambar 2. Kurva perubahan suhu media BIS selama fermentasi oleh Trichoderma reesei
Keterangan : S1 = ketebalan media 1 cm S2 = ketebalan media 2 cm S3 = ketebalan media 3 cm D4 = dosis kapang 2,13 x 104 CFU/cc D5 = dosis kapang 2,13 x 105 CFU/cc D6 = dosis kapang 2,13 x 106 CFU/cc

44

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 42 49

Tabel 3. Kandungan protein kasar (%) BISF pada dosis kapang dan ketebalan media yang berbeda Ketebalan media (cm) 1 2 3 Rataan Sd
a,b, A,B,

Dosis kapang (CFU/cc) Rataan Sd 2,13 x 104 2,13 x 105 2,13 x 106 ----------------------------------------- % ---------------------------------------------22,63 23,16 23,77 24,06 A 0,74 23,65 24,25 25,02 24,31 A 0,73 23,89 23,95 24,34 23,13 B 0,68 b ab a 23,39 1,03 23,79 0,47 24,37 0,79

Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05 Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05

Setelah waktu tersebut terjadi penurunan suhu sampai akhir fermentasi. Adapun suhu akhir fermentasi berada di atas suhu awal. Pada perlakuan ketebalan substrat 3 cm ternyata proses fermentasi berjalan cukup lama, hal ini diperlihatkan dengan peningkatan suhu yang cukup lama. Hal ini disebabkan jumlah media yang difermentasi cukup banyak sehingga untuk fermentasi hingga sampai bawah perlu waktu yang agak lama meskipun dosisnya lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya. Semakin tebal media maka untuk fermentasi optimal dibutuhkan dosis kapang yang lebih banyak dan suhu maksimal yang dicapai pada proses fermentasi akan lebih lama. Suhu mempengaruhi efisiensi konversi substrat (karbon-energi) menjadi massa sel. Pada umumnya konversi maksimum terjadi pada suhu yang lebih rendah daripada suhu dengan kecepatan pertumbuhan maksimum. Hal ini penting dalam proses optimasi yang diinginkan yaitu kecepatan pertumbuhan maksimum, bukan pertumbuhan maksimum.

c. Bahan Kering
Berdasarkan hasil analisis ragam ternyata tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap kandungan bahan kering. Disinipun tidak terjadi interaksi antara tebal media dengan dosis kapang terhadap kandungan bahan kering. Apabila kita bandingkan dengan kandungan bahan kering BIS ternyata tidak terjadi perubahan yang mencolok bahkan relatif hampir sama. Bahan kering erat kaitannya dengan kandungan air. Penyusutan berat selama fermentasi akibat proses metabolisme berkisar 2,24 7,12%. Nilai ini relatif kecil dibanding penyusutan berat selama pengeringan dalam oven yang berkisar 61,39 68,64%.

protein kasar BISF, namun tidak terjadi interaksi antara dosis kapang dan ketebalan media terhadap kandungan protein kasar (P>0,05). Pada Tabel 3 terlihat bahwa kandungan protein kasar tertinggi diperoleh pada dosis kapang 2,13 x 106 CFU/cc yakni 24,37%. Hal ini dapat dimaklumi bahwa semakin banyak dosis kapang maka kemungkinan pertumbuhan kapang pada media BIS akan lebih besar. Dilihat dari ketebalan media terlihat bahwa pada ketebalan media 2 cm dan 3 cm berbeda nyata (P<0,05) dengan ketebalan media 1 cm. Pada ketebalan media 2 cm diperoleh kandungan protein kasar tertinggi yakni 24,31%. Pada ketebalan media 3 cm, kapang tidak dapat menjangkau bagian bawah media sehingga tidak seluruhnya dapat dirombak dengan sempurna. Pada Tabel 3 kandungan protein kasar BIS 16,50%. Apabila kita bandingkan dengan protein kasar BISF pada Tabel 5 yang berkisar 23,39 24,37%, terjadi peningkatan yang cukup berarti. Inilah yang diharapkan setiap proses pengolahan pakan. Kandungan protein kasar yang diperoleh lebih tinggi dari penelitian Keong (2004) saat BIS difermentasi oleh Trichoderma koningii yang mencapai 31,27%.

e. Kandungan NDF, ADF dan Hemiselulosa


Dosis kapang dan ketebalan media menunjukan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap kandungan NDF, ADF dan Hemiselulosa. Kandungan NDF tertinggi diperoleh perlakuan S2D6 yakni 72,42%. Demikian pula halnya dengan hemisellulosa, kandungan tertinggi diperoleh perlakuan S2D6 yakni 23,39%. Terdapat interaksi antara tebal media dengan dosis kapang terhadap kandungan NDF dan hemiselulosa. Terjadi pengurangan kandungan ADF dan hemiselulosa, akan tetapi kandungan NDF terjadi peningkatan. Hal ini dikarenakan bahwa peningkatan komponen serat kasar pada fermentasi BIS oleh

d. Protein Kasar
Faktor dosis kapang dan ketebalan media berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kandungan

Hidrolisis Bungkil Inti (Jaelani et al.)

43

kapang Trichoderma reesei adalah komponen NDF. Komponen ADF maupun hemiselulosa banyak mengalami degradasi oleh kapang Trichoderma reesei menjadi komponen mannosa, glukosa, xylosa, galaktosa. Terdapat interaksi antara tebal media dengan dosis kapang terhadap kandungan NDF dan hemiselulosa. Pada Tabel 4 terlihat bahwa pada kombinasi semua ketebalan dengan dosis kapang 105 CFU/cc (S1D5, S2D5 dan S3D5) kandungan hemiselulosanya cenderung menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat Purwadaria (2002) yang menyatakan bahwa penurunan hemiselulosa merupakan aktifitas enzim mannanase. Aktifitas kapang pada waktu fermentasi lebih cenderung pada pembentukan selulosa daripada hemiselulosa. Lebih lanjut Purwadaria (2002) menyatakan bahwa hemiselulosa (mannan) bersifat lebih terlarut daripada selulosa sehingga aktifitas

penguraian mannanase lebih tinggi dari selullase.

Tahap III. Degradasi Polisakarida Mannan a. Retensi Nitrogen Semu


Berdasarkan hasil uji t test, ternyata tidak terdapat perbedan yang nyata antara BIS dan BISF terhadap konsumsi protein, ekskresi protein terkoreksi, retensi protein terkoreksi, konsumsi nitrogen dan ekskresi nitrogen. Namun protein kasar feses BISF lebih tinggi dibanding BIS. Dengan hasil tersebut memberikan pengaruh terhadap retensi nitrogen semu, yaitu pada ayam yang diberi bahan pakan BISF memberikan nilai retensi nitrogen semu yang lebih rendah dibanding ayam yang diberi BIS. Diduga bahwa meskipun BISF tinggi protein kasarnya namun sulit dicerna (protein kapang tinggi nukleotidnya).

Tabel 4. Kandungan ADF, NDF dan Hemiselulosa (%) BISF pada dosis kapang dan ketebalan media yang berbeda Perlakuan Tebal media Dosis kapang (cm) (CFU/cc) 104 1 105 106 104 2 105 106 104 3 105 106
a,b,c,d,

NDF (%) 66,38 b 1,21 59,42 cd 1,60 58,57 d 0,76 66,66 b 1,32 61,37 cd 0,90 72,42 a 1,53 65,83 b 1,65 63,18 c 1,04 68,61 a 0,56

Kandungan nutrisi ADF (%) 53,00 a 3,68 45,27 c 1,72 40,54 d 4,88 48,61 bc 0,78 46,17 c 1,79 49,45 b 0,20 46,09 c 0,65 49,26 b 0,83 51,57 a 0,98

Hemiselulosa (%) 12,98 d 2,97 14,15 d 1,42 18,03 b 4,47 18,05 b 1,06 15,20 b 0,91 23,39 a 1,64 19,74 b 1,21 13,92 d 1,02 17,04 bc 0,32

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05

Tabel 5. Beberapa peubah dalam pengukuran degradasi polisakarida mannan BIS Perlakuan Peubah Protein kasar feses, % Konsumsi protein, g Ekskresi nitrogen, g Retensi nitrogen semu, % Energi bruto pakan. kkal/kg Energi bruto ekskreta, kkal/kg Energi metabolisme sejati, kkal/kg Total gula terlarut, % Kandungan mannan, ppm BIS 28,54 0,06 9,99 2,16 1,10 0,14 55,63 0,35 3.968,00 124,20 3.433,00 285,61 1.824,30 205,81 1,29 829,92 BISF 33,67 0,01 11,79 0,47 1,32 0,17 50,70 8,42 4.103,00 153,70 3.436,00 72,20 1.930,44 43,10 2,38 1.532,16 Signifikansi * tn tn * * tn * * *

BIS = Bungkil inti sawit; BISF = Bungkil inti sawit fermentasi; * = berbeda nyata (P<0,05); tn = tidak berbeda nyata (P>0,05)

44

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 42 49

b. Energi Metabolisme Sejati (TME)


Untuk pengujian energi metabolisme sejati kitapun membandingkan antara ayam yang diberi perlakuan pakan BIS dan BISF. Dari hasil uji t ternyata kandungan TME BISF (1.930.44 Kkal/kg) lebih tinggi dibanding BIS (1.824.13 Kkal/kg). Hal ini diduga bahwa terjadi degradasi polisakarida mannan yang ada pada BIS oleh kapang Trichoderma reesei menjadi bentuk yang lebih sederhana (oligoskarida) yang menghasilkan nilai energi yang cukup baik dibanding dalam bentuk polisakarida mannan.

Kesimpulan
Kapang Trichoderma reesei memiliki karakteristik pertumbuhan jumlah koloni dan diameter kapang tercepat setelah 24 jam pertama dan memasuki fase stationary pada umur pertumbuhan 60 jam dengan jumlah koloni optimum 2,13 x 106 CFU/cc, diameter koloni 73,78 mm. Persentase perubahan diameter koloni tertinggi dicapai pada umur 30 jam yakni 102,89%. Fermentasi optimum kapang Trichoderma reesei pada media BIS diperoleh pada dosis 2,13 x 106 CFU/cc dan ketebalan media 2 cm dapat meningkatkan kandungan protein kasar, ADF, dan NDF. Kandungan hemiselulosa terjadi penurunan, sedangkan kandungan bahan kering relatif tidak terjadi perubahan yang berarti. Kapang Trichoderma reesei mampu mendegradasi mannan BIS dengan meningkatnya nilai energi metabolisme sejati (TME), total gula terlarut, namun sebaliknya terjadi penurunan pada retensi nitrogen dan kandungan mannan.

c. Total Gula Terlarut


Pada pengukuran total gula terlarut diperoleh persamaan kurva standar Y = 0,0128x + 0,0077 dengan nilai R2 = 0,9857. Kandungan total gula terlarut pada BISF mencapai 2,38%. Bila dibandingkan dengan nilai total gula terlarut pada BIS yang mencapai 1,29% terjadi peningkatan nilai total gula 125,53% akibat fermentasi BIS. Hal ini diduga bahwa kapang mampu mendegradasi polisakarida mannan (Warren, 2003; Hagglund et al., 2003). Hal ini juga sesuai pendapat Sabini et al. (2000) yang menyatakan bahwa kapang Trichoderma reesei mampu mendegradasi polisakarida mannan menjadi mannotriosa, mannobiosa dan mannosa.

Daftar Pustaka
A.O.A.C., 1984. Methods of Analysis. 13th ed. Association of Official Agricultural Chemist. Washington D.C. Chen, Y., J. Long, L. Liao, Y. Zhang and J. Yang, 2003. Study on the production of beta-mannanase by bacillus M50. Wei Sheng Wu Xue Bao 40(1): 62-68. Chin, F.Y., 2002. Utilization of palm kernel cake (PKC) as feed in Malaysia. Asian Livestock. Vol. XXVI No. 4. Food Agricultural Organization Regional Office. Bangkok, Thailand Chong, C.H., R. Blair, I. Zulkifli and Z.A. Jelan, 1998. Physical and chemical characteristics of Malaysian palm kernel cake (PKC). Proceeding 20th MSAP Conference. 27-28 July. Putrajaya. Daskiran, M., R.G. Teeter, D. Fodge and H.Y. Hsiao, 2004. An evaluation of endo--D-mannanase (Hemicell) effect on broiler Chicken performance and energy use in diets varying in -mannan content. Journal Poultry Science 83: 662-668. Daud, M.J. and M.C. Jarvis, 1992. Mannan of palm kernel. Journal Phytochemistry 31: 463-464.

d. Kandungan Mannan
Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh kandungan mannan pada BIS sebesar 1.532.16 ppm. Adapun untuk mannan pada BISF 829.92 ppm. Disini terjadi penurunan kandungan mannan yang cukup besar yakni sekitar 45,83%. Proses penurunan ini disebabkan terdegradasinya komponen polisakarida mannan oleh kapang Trichoderma reesei menjadi komponen oligosakarida yang lebih sederhana. Hal ini sesuai dengan pendapat Sabini et al. (2000) yang menggunakan kapang Trichoderma reesei dan Cellvibrio japonicus (Hogg et al., 2003) untuk mendegradasi mannan, ternyata bahwa mannan yang belum terdegradasi memiliki bentuk morphologi platelet dengan kontur yang jelas, dengan crystal masing-masing individu memiliki rata-rata diagonal terpanjang 0,8 m dan bagian yang terpendek 0,4 m. Setelah terdegradasi kontur permukaan tidak jelas namun masih memperlihatkan bentuk yang memanjang.

Hidrolisis Bungkil Inti (Jaelani et al.)

43

Goubet, F., P. Jackson, M. Deery and P. Dupree, 2002. Polysaccharide analysis using carbohydrate gel electrophoresis (PACE): A method to study plant cell wall polysaccharides and polisaccharides hydrolases. Journal Analitical Biochemistry 30: 5368. Hagglund, P., T. Eriksson, A. Collen, W. Nerinckx, M. Claeyssens and H. Stalbrand, 2003. Cellulosebinding module of the Trichoderma reesei betamannanase Man5A increases the mannan-hydrolysis of complex substrates. Journal Biotechnology 27(1): 37-48. Hogg, D., G. Pell, P. Dupree, F. Goubet, S. Marthin-orue, S. Armand and H.J. Gilbert, 2003. The modular architecture of Celvibrio japonicus mannanases in glycoside hydrolase families 5 and 26 points to different in their role in mannan degradation. Journal Biochemistry 371: 1027-1043. Keong, N.W., 2004. Researching the use of Palm Kernel Cake in Aquaculture Feeds. [Thesis] Fish Nutrition Laboratory, School of Biological Sciences, Universiti Sains Malaysia, Malaysia. [LRPI] Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2006. Pemanfaatan oleokimia berbasis minyak sawit. Media Komunikasi Lingkup Unit Kerja LRPI . Vol.2 No. 2, Bogor. Mikkonen, K., H. Helen, R. Talja, S. Wilfor, B. Holmbom and M. Tennaken, 2006. Biodegradable of Mannan. Departement of Food Technology, University of Helsinki, Helsinki. Perez, J.F., A.G. Gemat and J.G. Murillo, 2000. The effect of different level of palm kernel meal in layer diets. Journal Poultry Science 79: 77-79. Purwadaria, T., 2002. Optimation of mannanase production. [Research Report] Animal Research Institute. Ciawi Bogor. Rahman, A., 1992. Teknologi Fermentasi. Penerbit Arcan, Jakarta. Regalado, C., L.M. Barrera, G.B.E. Almendrez; S. Huerta-Ochoa and G. Lpez, 1995. Production and

properties of -mannanase by solid substrate fermentation of soluble coffee industry wastes using Trichoderma reesei IMI 192656. Dept. of Food Research and Postgraduate Studies, Facultad De Qumica, Universidad AutnomaDe Quertaro., C.U. Cerro De Las Campanas, Qro. 76010. Mexico. Ross, S.A.C., J.G. Duncan, D.S. Pasco and N. Pugh, 2004. Isolation of a galactomannan that enhance macrophage activation from the edible fungus Morchella esculenta. Journal Agricultural Food Chemistry 50: 5683-5685. Sabini, E., K.S. Wilson, M. Siika-aho, C. Boisset and H. Chanzy, 2000. Digestion of single crystals of mannan I by an endo-mannanase from Trichoderma reesei. Europe Journal Biochemistry 267: 23402344. Samonte, J.L., 2003. -mannosidase activity in germinating coconut. Cavite: De La Salle University-Dasmarinas Santiago, S.D., C.R. Gonzalez, B.G. Almendarez, F.J. Fernandez, A.T Jurado and S. Huerta-Ochoa, 2006. Physiological, morphologycal, and mannanase production studies on Aspergillus niger uam-gs1 mutan. Electronic Journal of Biotechnology 9(1): 217-226. Sindu, A., 1999. Pemanfaatan limbah kelapa sawit sebagai pakan ternak. Jurnal Sains dan Teknologi 1(3): 82-86. Warren, R.A.J., 2003. Microbial hydrolysis of pollysaccharides. Annual Review of Microbiology 50: 183-212. Xiong, H., 2004. Production and characteristization of Trichoderma reesei and Thermomyces lanuginosus xylanases. [Dissertation]. Helsinki University of Technology, Helsinki. Xu, B.V., P. Hagglund, H. Stalbrand and J.C. Jason, 2003. Endo-beta-1,4-mannanases from blue mussel, Mytilus edulis: purification, characterizatin, and mode of action. Journal Biotechnology 92: 267277.

ANIMAL PRODUCTION, Januari 2008, hlm. 50 54 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol.10 No.1

Efek Suplementasi Minyak Lemuru dan ZnSO4 pada Ransum yang Mengandung Silase Pod Kakao dan Urea terhadap Absorsi Zn dan Pertumbuhan Sapi Jantan
(Effect of Lemuru Oil and ZnSO4 Supplementation in the Diet Consisted of Cacao Pod Silage and Urea on Zinc Absorption and Growth of Bull Calves)
Erna Hartati*
Fakultas Peternakan, Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Universitas Nusa Cendana, Kupang Jl. Adisucipto, Penfui, Kupang, 85001

ABSTRACT: An experiment conducted to study the effect on Zinc, prostaglandin-E2 (PGE2) concentaration, alkaline phosphatase activities (APA) in the growth of bull calves fed cocoa pod silage diet supplemented with lemuru oil (LO) and ZnSO4. The animals were randomly assigned into three group of treatments, i.e.:supplementation of 0, 25, 50 and 75 mg kg -1 diet ZnSO4 and 0, 1.5 and 3% kg -1 diet LO. Basal diet consisted of cocoa pod silage and concentrate consists of wheat bran, cassava waste, soya bean meal in the ratio 1:3 which contained 70% Total Digestible Nitrient (TDN) and 16% CP as prescribed by NRC (1988). The diet was the supplemented with 1% urea. LO and ZnSO4 supplementation in the diet was significantly increased Zinc absorption (P<0.01) as well as increased PGE2 concretation (P<0.14) in the growth of bull calves. Relationship of the rate of apparent Zinc Absorption (Va, mg.d-1 ) with the rate Zinc intake (Va, mg.d-1), PGE2 concentration (mg.L-1) and Vi interaction for the level of 0, 1,5 and 3% LO supplementation were: Va (0) = -5.69 + 0.976 Vi + 1.98 PGE2 0.0855 Vi PGE2; Va (1.5) = -2.6 + 0.962 Vi 14.3 PGE2 + 0.435 Vi PGE2 and Va (3) = -5.69 + 1.03 Vi - 0.394 PGE2 + 0.125 Vi PGE2. Level of LO supplementation was significantly linier increased (P<0.01) in serum of APA. Relationships of Zinc absorption with APA for the level of 0, 1.5 and 3% LO supplementation was significantly (P<0.01) increased by the following equations: APA (0) = 3.90569 0.0204 Va; APA (1.5) = 3.61119 0.0167 Va and APA (3) = 4.18421 0.0199 Va. The average daily gain of the animals (ADG, kg) could by state as ADG = 0.603 + 0.00025 Zn + 0.00004 Zn2 + 0.113 LO 0.0275 LO2 + 0.00002 Zn LO 0.00001 Zn2 LO2 (R2 = 0.653; Sb = 0.0926). It can be concluded that supplementation of LO or ZnSO4 in the diet can increased Zinc absorption in the growth of bull calves with their average daily gain was higher at 1.5% LO and 75 mg ZnSO4 kg-1 diet than other levels. Key Words: Absorption, zinc, prostaglandin-E2, phosphatase alkaline, calves

Pendahuluan
Absorpsi Zn sangat menarik untuk dipelajari karena fungsi dan peranannya dalam tubuh sangat penting bagi semua jenis hewan yaitu terlibat dalam fungsi berbagai enzim yang ada hubungannya dengan metabolisme karbohidrat, energi, degradasi dan sintesis protein (Tillman et al., 1983; Linder, 1992). Defisiensi seng dapat menurunkan laju pertumbuhan, efisiensi penggunaan pakan dan menekan aktivitas alkalin fosfatase plasma (McDowel, 1992). Sementara Noh dan Koo (2003) melaporkan bahwa status seng mempengaruhi metabolisme vitamin A pada ternak dan manusia. Rendahnya vitamin A plasma disebabkan oleh ketidakcukupan vitamin A karena hewan kekurangan seng (Underwood dan Suttle, 2001). Selanjutnya dilaporkan pula bahwa
* Korespondensi penulis e-mail : e.hartati@yahoo.com

karboksi peptidase A dan B merupakan metaloenzim seng yang dibutuhkan untuk hidrolisis asam amino dari peptide. Oleh karena itu, dalam usaha meningkatkan produksi sapi yang mengkonsumsi pakan berkualitas rendah, suplementasi nutrien tertentu diperlukan untuk meningkatkan absorpsi Zn. Pod kakao adalah salah satu sumber pakan serat alternatif yang cukup potensial, namun memiliki kualitas rendah yang tercermin dari rendahnya kandungan protein kasar, sebaliknya kandungan serat kasar dan lignin tinggi yaitu masing-masing berkisar antara 6,61 8,75%, 30,07 33,15% dan 20,11 27,95% (Amirroenas, 1990). Di samping itu kandungan lemak dan seng juga rendah yaitu 1,56% dan 20 mg.kg -1 (Hartati, 1998). Jumlah tersebut jauh lebih rendah dari kadar yang layak disediakan dalam ransum yaitu 3% lemak dan 40-50 mg Zn (NRC, 1988). Padahal Zn diperlukan untuk berbagai aktifitas enzim seperti aktifitas alkalin fosfatase dan
50

Efek Suplementasi Minyak (Hartati)

51

karboksi peptidase yang masing-masing berperan dalam metabolisme energi dan proses pencernaan serta penyerapan protein (Messer et al., 197; Huber dan Gershoff, 1973), sementara lemak selain berfungsi sebagai sumber energi, karier vitamin B dan agensia defaunasi juga berperan sebagai prekursor prostaglandin-E2 (Kinsella et al., 1990) yang diduga berpengaruh terhadap absorpsi Zn. Untuk mengatasi difisiensi Zn perlu memper-baiki status Zn melalui peningkatan absorpsi Zn. Absorpsi Zn selain oleh konsumsi Zn, juga diduga dipengaruhi oleh prostaglandin E2 (PGE2) yang produksinya sangat tergantung pada kecukupan asam arakhidonat (C20:4n-6). Minyak lemuru (Sardinella lemuru) sebagai sumber asam lemak jenuh majemuk (Poly Unsaturated Fatty Acid =PUFA) mengandung asam arakhidonat cukup tinggi (21.95%). Asam lemak tersebut dapat digunakan sebagai prekursor PGE2 yang dominan berperan dalam peningkatan absorpsi Zn. Selain itu minyak lemuru juga mengandung asam lemak rantai panjang C20:5n-3 (Eicosa Pentaenoic Acid =EPA) dan C22:6 n-6 (Docosa Haexaenoic Acid = DHA). Asam lemak tersebut tidak mudah terhidrogenasi di dalam rumen dibandingkan dengan asam lemak berantai C18 (Ashes et al., 1992). Oleh sebab itu selain suplementasi Zn, pada ransum mengandung pod cacao memerlukan suplementasi lemak dan salah satu sumbernya adalah minyak lemuru. Tujuan penelitian adalah untuk memperbaiki status seng melalui suplementasi minyak lemuru dan ZnSO4 pada pakan yang mengandung silase pod kakao dan urea untuk memacu pertumbuhan sapi Holstein jantan.

kelompok sebagai ulangan dan pengelompokannya didasarkan pada bobot badan. Konsentart diberikan dua kali sehari, sedangkan pod cacao dan air minum disediakan sepanjang hari. Peubah yang diukur adalah konsentrasi prostaglandin E2 (Amershams PGE2 assay system Nomor kode RPA 530 dengan tracer 125 I), kadar Zn, aktivitas alkalin fosfatase dan pertambahan bobot badan sapi. Data yang diperoleh dianalis dengan analisis ragam dan uji kontras dengan paket program SAS 608 Win.

Hasil dan Pembahasan


Suplementasi minyak lemuru dan ZnSO4 tidak merubah konsentrasi Zn dalam serum dengan nilai rataan sebesar 1.00 0.33 ppm, akan tetapi suplementasi minyak lemuru dapat merubah konsentrasi prostaglandin, absorpsi Zn dan aktifitas alkalin fosfatase (Tabel 1). Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa suplementasi minyak lemuru dapat meningkatkan konsentrasi prostaglandin E2 (PGE 2) secara linier (P<0,05). Hasil penelitian ini jelas terlihat bahwa ada hubungan antara suplementasi minyak lemuru dengan konsentrasi PGE2 dan selanjutnya diduga berpengaruh terhadap absorpsi Zn. Untuk menduga pengaruh konsumsi Zn (Vi) terhadap absorpsi Zn (Va), dilakukan pendekatan dengan model kinetika Hill. Untuk masing-masing suplementasi minyak lemuru 0;1,5 dan 3,0% absorpsi Zn tersebut mengikuti persamaan : Va = 60 Vi2.04/1500 + Vi2.04, (r2=0.988; Sb = 0.0513); Va = 75 Vi1.91/1200 + Vi1.91, (r2 = 0.995; Sb = 0.0297) dan Va = 85 Vi1.75/862.3 + Vi1.75 (r2 = 0.995; Sb = 0.0274). Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh bahwa absorpsi Zn pada sapi yang mengkonsumsi ransum tanpa minyak lemuru adalah paling rendah yaitu 69,8% dari jumlah yang dikonsumsi. Kemudian laju absorpsi tertinggi dicapai pada taraf suplementasi minyak lemuru 1,5% yaitu 78,8% dari jumlah yang dikonsumsi dengan rata-rata yang diabsorpsi 18,0 mg, sedangkan pada taraf 3,0% absorpsi mulai turun menjadi 78,1% dari jumlah yang dikonsumsi dengan rata-rata yang di absorpsi 16,7 mg. Nampak disini laju peningkatan absorpsi Zn tersebut mengikuti kurva sigmoid yaitu awalnya absorpsi meningkat perlahan, kemudian laju absorpsi meningkat tajam pada suplementasi minyak lemuru 1,5% dan pada suplementasi 3,0% laju absorpsi mulai melambat.

Metode Penelitian
Percobaan ini menggunakan sapi Holstein jantan umur 6-7 bulan berbobot 91 11.7 kg. Ransum basal yang digunakan terdiri atas 25% silase pod kakao dan 75% konsentrat. Ransum tersebut mengandung 1% urea. Konsentrat disusun dari onggok, polar dan bungkil kedele, sehingga ransum mengandung Total Digestible Nutrient (TDN) 70% dan protein kasar (PK) 16% berdasarkan rekomendasi NRC (1988). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok pola faktorial 4x3. Faktor A adalah suplementasi Zn (ZnSO4) sebanyak 0;25;50 dan 75 mg.kg-1 bahan kering dan faktor B adalah suplementasi minyak lemuru sebanyak 0; 1,5 dan 3,0% kg-1 bahan kering. Ternak dibagi menjadi 3

52

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 50 54

Tabel 1. Efek perlakuan terhadap konsentrasi prostaglandin E2, absorpsi Zn dan aktivitas alkalin fosfatase Suplementasi Minyak ZnSO4 Lemuru (%) (mg.kg-1) 0 1,5 3 0 25 50 75
a,b, c,d,

Konsentrasi PGE2 (pg.mL-1) 145,60 b 91,90 256,20 a 154,40 254,60 a 253,00 142,50 a 50,90 198,50 a 107,50 310,00 a 263,70 198,30 a 100,90

Peubah yang diamati Absorpsi seng (mg.hari-1) 102,20 b 20,10 120,60 a 35,30 119,50 ab 23,30 34,54 d 15,90 83,80 b 30,90 135,80 c 41,20 215,10 a 16,90

Aktivitas alkalin fosfatase (I.L-1) 94,90 b 11,70 108,00 b 29,50 254,60 a 253,00 142,50 a 50,90 198,50 a 107,50 310,00 a 263,70 198,30 a 100,90

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05

Keadaan ini mencerminkan bahwa ada faktor lain yang berpengaruh terhadap absorpsi Zn dan faktor lain tersebut kemungkinan prostaglandin E2. Apabila diperhitungkan, maka terdapat interaksi antara konsumsi Zn dengan PGE2 terhadap absorpsi Zn masing-masing untuk suplementasi 0,1.5 dan 3% mengikuti persamaan: Va (0) = -5.6882 + 0.97581 Vi + 1.9763 PGE2 -0.0855 Vi PGE2 (R2 =0.9946; Sb = 0.96396); Va (1.5) = -2.5965 + 0.96206Vi 14.318 PGE2 + 0.43521 Vi PGE2 (R2 0.9996; Sb = 0.3057) dan Va (3) = -5.1247 + 1.02673 Vi 0.3937 PGE2 + 0.12454 Vi PGE2 (R2 = 0.9987;Sb = 0.51014). Berdasarkan persamaan tersebut serta nilai keeratan hubungan antara konsumsi Zn dan PGE2 terhadap absorpsi seng, maka dapat disimpulkan bahwa suplementasi minyak lemuru 1.5% memberikan pengaruh yang terbaik. Hasil penelitian ini sekaligus mempertegas hasil penelitian in vitro yang dikemukakan oleh Song dan Adham (1979) yaitu penambahan PGE2 dapat meningkatkan absorpsi Zn sampai 54%. Suplementasi minyak lemuru dapat pula menaikan aktivitas enzim alkalin folfatase. Kenaikan aktivitas enzim tersebut mengikuti pola linier (P<0.001; R2 = 0.2739) dengan persamaan : Y = 93.30 + 11.73 X; Y adalah aktivitas allalin folfatase (Iu.1-1) dan X adalah taraf minyak lemuru (%.kg-1 ransum). Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa suplementasi minyak lemuru sampai taraf 3% masih terus meningkatkan aktivitas alkalin fosfatase yang kemungkinan disebabkan oleh tingginya konsentrasi enzim tersebut di dalam sel. Hal itu terjadi selain karena kandungan Zn dalam ransun cukup, juga kandungan lemak sebagai sumber asam lemak esensial cukup memadai yang tercermin dalam komposisi asam lemak fosfolipid daging (Tabel 2). Selanjutnya dengan kecukupan Zn dan lemak,

metabolisme asam lemak gamalinolenat dapat lebih efektif. Asam lemak tersebut akan mengalami desaturase dan elongase rantai karbon membentuk arakhidonat dan selanjutnya terinkorkoporasi dalam fosfolopid atau digunakan sebagai prekursor PGE2. Hormon tersebut kemudian meningkatkan absorpsi Zn (Song dan Adham, 1979) yang diperlukan sebagai kovaktor berbagai enzim antara lain alkalin fosfatase yang berperan dalam metabolisme energi dan mungkin karboksi peptidase yang berperan dalam pencernaan dan absorpsi protein. Pengaruh absorpsi Zn (Va) terhadap aktivitas alkalin fosfatase (AAF) untuk masing-masing taraf suplementasi minyak lemuru 0, 1,5 dan 3% sangat nyata (P<0,01) dan aktivitas enzim tersebut dapt diduga dengan persamaan: AAF =3.90569-0.0204 Va (r2 =0.43396;SB = 1.724663): AAF = 3.61119 0.0167 Va (r2 = 0.51564;SB = 1.26258) dan AAF = 4.18421- 0.0199 Va (r2 = 0.64984; SB = 1.08218). Berdasarkan persamaan tersebut ternyata suplementasi minyak lemuru tidak menyebabkan perubahan aktivitas alkalin fosfatase, bahkan cenderung turun sejalan dengan peningkatan absorpsi Zn. Aktivitas alkalin fosfatase tertinggi terjadi pada absorpsi Zn terkecil dan kemungkinan hal ini pertanda baik, karena sebenarnya aktivitas alkalin fosfatase tersebut terjadi di dalam sel. Namun demikian aktivitas enzim alkalin fosfatase pada penelitian ini (73-153 Iu/L) masih dalam kisaran yang tidak berbeda jauh dengan hasil yang dilaporkan oleh peneliti sebelumnya yaitu 97-170 Iu/L (Girindra, 1987). Walaupun demikian perubahan absorpsi Zn tidak mustahil dapat mengubah aktivitas enzim pencernaan protein, sehingga obsorpsi protein juga akan terpengaruh yang tercermin dari pertumbuhan sapi (Tabel 3).

Efek Suplementasi Minyak (Hartati)

51

Table 2. Efek suplementasi minyak Lemuru terhadap komposisi asam lemak fosfolipid daging Komposisi asam lemak fosfolipid C.18:0 (Stearat) C.18:1 (Oleat) n-6 C.18:2 n-6 (Linoleat) C.18:3 n-3 (Linolenat) C.20:4 n-6 (Arakhidonat) C.20:5 n-3 (Eikosapentaenoat)/EPA C.22:6 n-3 (Dokosaheksaenoat)/DHA
Td = tidak terdekteksi.

0 0,47 2,89 9,62 1,17 1,59 Td Td

Suplementasi minyak Lemuru % 1,5 3,0 12,52 2,30 4,35 1,12. 14,52 6,81 1,71 0,69 1,62 1,49 2,57 0,27 0,82 0,06

Tabel 3. Efek suplementasi minyak Lemuru terhadap pertambahan bobot badan harian (g.hari-1) Taraf ZnSO4 (mg.kg-1 diet) d 0 25 50 75 0 490 740 740 790 Taraf minyak Lemuru % 1,5 750 760 760 1068 3,0 750 650 790 880

Perubahan tersebut memperlihatkan bahwa suplementasi minyak lemuru dan ZnSO4 sangat berpengaruh terhadap pertambahan berat badan (PBB, kg.hari-1), serta antara kedua faktor perlakuan tersebut saling berinteraksi dan nyata pada seng kuadratik x minyak lemuru kaudratik (P<0.006; R2 = 0.6532). Berarti antara kedua faktor perlakuan terdapat hubungan yang cukup erat dengan pertambahan bobot sapi (PBS; kg.hari-1) dan hubungan tersebut diduga dengan persamaan = 0.60298 + 0.00025 Zn + 0.00004 Zn2 +0.11290 ML 0.02749 ML + 0.00002 Zn2ML 0.00001 Zn2ML2 ; Zn adalah taraf seng (mg.kg-1 ransum) dan ML adalah taraf ikan lemuru (%.kg-1 ransum). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan yang tertinggi yaitu 1.068 kg.hari-1 dicapai pada suplementasi minyak lemuru dan seng masingmasing pada taraf 1.5% dan 75 mg. Hal ini disebabkan karena absorpsi seng tertinggi dicapai pada taraf tersebut dan mungkin terjadi aktivitas karboksi peptidase tertinggi, sehingga terjadi proses percernaan dan penyerapan protein secara optimal. Dugaan tersebut didukung oleh Sentana (2005) bahwa nilai retensi N dan nilai hayatinya meningkat pada ternak yang mendapat ransum yang kecukupan Zn, sehingga nitrogen yang digunakan meningkat dan berdampak pada pertumbuhan. Juga dipertegas pula oleh Hartati dkk. (2007) bahwa kecukupan Zn

meningkatkan retensi N dan kadar alantoin urin yang mencerminkan adanya penimbunan protein yang berdampak terhadap pertambahan berat padan sapi Bali pada akhir kebuntingan.

Kesimpulan
Suplementasi minyak lemuru dan seng ke dalam ransum yang mengandung silase pod kakao dan urea dapat meningkatkan kosentrasi PGE-2, absorpsi Zn dan aktivitas alkalin fosfatase. Perubahan tersebut menyebabkan perubahan pada pertumbuhan sapi jantan muda. Pada penelitian ini dihasilkan pertambahan bobot badan tertinggi 1.068 kg.hari-1 dicapai pada sapi yang mendapat ransum basal dengan suplemen minyak lemuru dan seng pada taraf 1.5% dan 75 mg.kg-1 ransum dan kenaikan tersebut 54% lebih tinggi dibandingkan dengan ransum tanpa suplemen. Sebagai langkah awal dalam penelitian ini juga diperoleh hasil bahwa ruminansia dapat memproduksi fosfolipid daging yang mengandung asam lemak omega-3 berantai panjang yaitu EPA dan DHA yang perannya sangat peting untuk mengurangi resiko terserang sakit jantung koroner disamping dapat menigkatkan IQ bagi balita.

Efek Suplementasi Minyak (Hartati)

51

Daftar Pustaka
Amiroenas, E. D., 1990. Mutu ransum berbentuk pelet dengan bahan serat biomasa pod coklat (Theobroma cacao L) untuk pertumbuhan sapi perah jantan. [Tesis]. Program Pascasarjana, IPB. Bogor. Ashes, J. R., B. D. Gulati, S. K. Cuthbertson and T. W. Scott, 1992. Incorporation of w-3 fatty acid oil tissue and serum lipids of ruminansts. Lipids 27: 629-631. Girindra, A., 1978. Biokimia Patologi Hewan. Institut Pertanian Bogor. Hartarti, E., 1998. Suplementasi minyak lemuru dan seng ke dalam ransum yang mengandung silase pod kakao dan urea untuk memacu pertumbuhan sapi Holstein jantan. [Disertasi]. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. Hartarti, E., 2000. Suplementasi minyak lemuru dan seng ke dalam ransum yang mengandung silase pod kakao dan urea terhadap konsentrasi asetat dan propionate serta produksi metan. Jurnal llmiah Nusa Cendana. Edisi Ilmu Pengetahuan Alam. 1: 132-136. Hartati, E., N.G.F. Katipana dan A Saleh, 2007. Manfaat pakan padat gizi (PPG) yang mengandung minyak lemuru dan seng untuk perbaikan mutu foetus sapi Bali pada akhir kebuntingan. [Laporan Penelitian]. Fakultas Peternakan, UNDANA, Kupang (tidak dipublikasikan). Huber, A. M. and S. N. Gersshoff., 1973. Effect of dietary zinc. Zinc of zinc enzymes in the rat. Journal of Nutrition 103: 1175-1181. Kinsella, J. E., B. Lokesh and R. A. Stone., 1990. dietary n-3 polyunsaturated fatty acids and amelioration of cardiovascular disease. Am. J. Clin. Nutr. 52: 1-28.

Linder, M. C., 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Mc Dowell, L.R., 1992. Mineral in Animal and Human Nutrition. Academic Press, Inc., London. Messer, H. H., Y. Shani and D. H. Copp, 1975. Stimulation ATP of alkaline fosfatase in placental membranes. Biochim. Biophys. Acta. 391: 61-66. [NRC] National Research Council., 1988. Nutrient of Dairy Cattle. 6th revised ed. National Academy Press, Washington. Noh, S.K. and S.I. Koo, 2003. Low zinc intake decreases the lymphatic output of retinol in the rat infused intraduodenally with Beta-carotene. Journal of Nutrition and Biochemistry 14: 147-153. Sentana, P., 2005. Perbaikan status nutrisi pada sapi Bali bunting dalam upaya meningkatkan bobot lahir dan pertumbuhan pedet prasapih sebagai penghasil daging bermutu. Prosiding Seminar Nasional Peternakan. 47-56. Song, M. K. and N. F. Adham, 1979. Edvidence for an important role of prostaglandins E2 and F2 in the regulation of zinc transport in the rat. Journal of Nutrition 109: 2152-2159. Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksodiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo, 1983. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press. Jogyakarta. Underwood , E.J. and N.F. Suttle, 2001. The Mineral Nutrition of Livestock. 3 rd ed. CAB Publishing. Wallingford.

ANIMAL PRODUCTION, Januari 2008, hlm. 55 59 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol.10 No.1

Pengaruh Tingkat Penggunaan Campuran Bungkil Inti Sawit dan Onggok yang Difermentasi dengan Aspergillus niger dalam Pakan terhadap Bobot dan Bagian-Bagian Karkas Broiler
(The Effect of Usage Level of Palm Kernel Cake-Cassava Byproduct Mixture Fermented by Aspergillus niger in Ration on Weight and component of Carcass of Broiler)
Nurhayati*
Jurusan Peternakan Politeknik Negeri Lampung

ABSTRACT: This experiment was conducted to evaluate the effect of the different crude protein and crude fiber content caused by usage level of palm kernel cake (PKC) and cassava byproduct mixture fermented by Aspergillus niger in ration on carcass weight and its component (thighs and breast, giblet, and abdominal fat) of broiler. This research used 96 DOC broiler of Lohman Platinum MB202. The chickens were reared in litter floor pen and was fed 0 (P0), 10 (P1), 20 (P2), and 30% (P3) of the fermented PKC-cassava byproduct mixture in the total ration. The broilers were reared for 6 weeks and fed ration and water ad libitum. The experiment was designed using Completely Randomized Design with four ration treatment and four replications and each replication consisted of six chickens. The data of the experiment were analyzed, and then continued with Duncans Multiple Range Test. The result showed that the different crude protein and crude fiber content caused by usage level of the fermented PKC-cassava byproduct mixture in broiler ration affected (P<0.05) weight of carcass, giblet, and abdominal fat, but did not affect (P>0.05) edible meat (thighs and breast). Carcass and its component on usage level of fermented PKC-cassava byproduct mixture until 30% in the ration was better than control. Key Words: Palm kernel cake, cassava byproduct, fermentation, carcass, broiler

Pendahuluan
Bungkil inti sawit dan onggok merupakan bahan pakan limbah yang mempunyai nilai nutrisi rendah. Upaya untuk meningkatkan kualitas bahan limbah menjadi bahan pakan yang bernilai nutrisi tinggi dapat melalui proses fermentasi. Evaluasi kandungan nutrien dari berbagai imbangan campuran bungkil inti sawit (BIS) dan onggok yang difermentasi menggunakan Aspergillus niger sebelumnya telah diteliti oleh Nurhayati et al. (2006) dan dilaporkan bahwa fermentasi dengan imbangan campuran bungkil inti sawit 75% dan onggok 25% merupakan imbangan yang menghasilkan nilai nutrisi terbaik dibandingkan dengan imbangan yang lain (100% BIS, 50% BIS : 50% onggok, 25% BIS : 75% onggok, dan 100% onggok). Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya kandungan protein kasar sebesar 119,89% (dari 12,92% menjadi 28,41%) serta menurunnya kandungan serat kasar dan lemak kasar masing-masing sebesar 13,71% (dari 17,51% menjadi 15,11%) dan 80,23% (dari 11,53% menjadi 2,28%). Kandungan protein yang tinggi dan masih tingginya kandungan serat kasar hasil fermentasi ini
* Korespondensi penulis : e-mail nhyt1970@plasa.com

akan mempengaruhi bobot dan bagian-bagian karkas broiler. Selain itu, bahan fermentasi masih mengandung probiotik yang dapat memacu perbaikan metabolisme pakan pada proses pencernaan. Pakan yang mengandung protein kasar tinggi akan meningkatkan komponen daging dalam karkas. Sebaliknya tingginya kandungan serat kasar pakan akan menurunkan komponen lemak karkas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan bahan fermentasi yang mengandung protein dan serat kasar tinggi terhadap bobot dan bagian-bagian karkas broiler.

Metode Penelitian
Penelitian dilakukan di Kandang Ternak milik Bapak Suparman, Desa Hajimena Kecamatan Natar Lampung Selatan. Materi penelitian yang digunakan adalah DOC broiler sebanyak 96 ekor Strain Lohman Platinum MB 202, bahan campuran 75% BIS dan 25% onggok yang difermentasi dengan Aspergillus niger menurut prosedur fermentasi Nurhayati (2005). Susunan bahan dan kandungan nutrien pakan percobaan disajikan pada Tabel 1 hingga Tabel 4.
55

56

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 55 59

Tabel 1. Susunan pakan percobaan periode starter Bahan pakan Pakan konsentrat Jagung Bahan fermentasi Total P0 40 60 0 100 Pakan perlakuan (%) P1 P2 40 40 50 40 10 20 100 100

P3 40 30 30 100

Tabel 2. Susunan pakan percobaan periode finisher Bahan pakan Pakan konsentrat Jagung Bekatul Bahan fermentasi Minyak Total P0 30,0 57,5 10,0 0,0 2,5 100,0 Pakan perlakuan (%) P1 P2 P3 30,0 30,0 30,0 47,5 37,5 27,5 10,0 10,0 10,0 10,0 20,0 30,0 2,5 2,5 2,5 100,0 100,0 100,0

Tabel 3. Kandungan nutrien pakan periode starter pada masing-masing perlakuan Perlakuan P0 P1 P2 P3 Kandungan nutrient* LK (%) SK (%) Ca**(%) 3,42 3,60 1,02 3,18 4,91 1,04 2,94 6,22 1,07 2,69 7,53 1,09

PK (%) 21,57 23,48 25,39 27,31

ME (kkal/kg) 3.257,20 3.249,95 3.242,69 3.235,44

P**(%) 0,65 0,69 0,73 0,77

* Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Unibraw ** tersedia

Tabel 4. Kandungan nutrien pakan periode finisher masing-masing perlakuan Perlakuan P0 P1 P2 P3 Kandungan nutrient* LK (%) SK (%) Ca**(%) 4,23 3,75 0,77 3,99 5,06 0,80 3,74 6,37 0,82 3,50 7,68 0,85

PK (%) 18,49 20,40 22,31 24,23

ME (kkal/kg) 3.251,65 3.244,40 3.237,14 3.229,89

P**(%) 0,67 0,70 0,74 0,78

* Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Unibraw ** tersedia

Broiler dipelihara dalam kandang litter yang disekat sesuai kebutuhan dengan ukuran 1x1 m2 untuk setiap petak sebanyak 16 petak. Setiap kelompok ayam perlakuan (selain satu kelompok kontrol = 24 ekor yang diberi pakan perlakuan P0) diberi pakan perlakuan dengan tingkat penggunaan campuran BIS-onggok fermentasi yaitu 10 (P1), 20 (P2), dan 30% (P3) dari total pakan.

Ayam dipelihara selama 6 minggu yang diberi pakan dan minum secara ad libitum. Pakan perlakuan untuk ayam umur 0-3 minggu (periode starter) dan untuk ayam umur 4-6 minggu (periode finisher) berbentuk tepung (mash). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan serta tiap unit ulangan berisi 6 ekor ayam.

Pengaruh Tingkat Penggunaan (Nurhayati)

57

Peubah yang diamati adalah bobot karkas, daging paha dan dada, giblet, dan lemak abdominal. Data dianalisis dengan analisis ragam, dan apabila terdapat pengaruh yang nyata pada taraf 5% dan atau 1% maka dilanjutkan dengan DMRT (Steel dan Torrie, 1980).

Hasil dan Pembahasan


Hasil percobaan tentang pengaruh berbagai tingkat penggunaan campuran BIS-onggok fermentasi terhadap bobot dan bagian-bagian karkas broiler dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 5. Bobot karkas adalah bobot karkas setelah dikurangi komponen non karkas seperti kepala, kaki, darah, bulu, dan seluruh isi rongga dada dan rongga perut . Pada Tabel 5 tampak bahwa bobot karkas secara berurutan dari yang tertinggi sampai terendah adalah perlakuan P2 (968,75 g), P1 (944,38 g), P3 (896,25 g), dan P0 (817,63 g). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot karkas. Hasil uji DMRT memperlihatkan bahwa P2 nyata lebih tinggi (P<0,05) dari P0, serta tidak berbeda nyata dengan P1 dan P3 (P>0,05). Selanjutnya P0 tidak berbeda dengan P1 dan P3. Bobot karkas pada P2 lebih tinggi dibandingkan P0, P1, dan P3. Tingginya bobot karkas pada P2 sejalan dengan bobot hidup yang diperoleh selama penelitian. Menurut Diwyanto et al. (1980) yang disitasi oleh Yotolembah (2003) bahwa bobot karkas dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: strain, bobot hidup, kualitas dan kuantitas pakan, dan bobot non karkas. Selain itu, kandungan protein pada perlakuan pakan P2 yang lebih tinggi daripada perlakuan P1 dan P0 dan diimbangi energi yang cukup dan hampir mendekati imbangan protein-energi yang direkomendasikan oleh Scott et al. (1982) yang disitasi oleh Amrullah (2003) (26% : 3200 kkal

untuk ayam umur 0-2 minggu dan 22% : 3200 kkal untuk ayam umr 2-6 minggu) mengakibatkan ayam mendapatkan asupan protein dan energi yang cukup untuk menghasilkan bobot karkas. Kandungan serat kasar pada perlakuan P2 masih mendekati standard SK pakan broiler (5-6%) dan belum menghambat kecernaan protein dan energi, sedangkan kandungan SK yang tinggi (7,53-7,68%) pada P3 sudah menghambat kecernaan protein dan energi. Hal ini bisa dilihat dari data konsumsi pakan (Nurhayati, 2007), yaitu dengan peningkatan bahan fermentasi dalam pakan yang diikuti dengan peningkatan konsumsi pakan (P0 = 2.924,91 g, P1 = 3.161,22 g, P2 = 3.412,83 g, P3 = 3.619,55 g), ternyata tidak diikuti peningkatan bobot karkas pada P3. Bobot karkas tertinggi hanya sampai penggunaan bahan fermentasi sebanyak 20% dalam pakan (P2). Ini berarti tingginya konsumsi pakan pada P3 yang diikuti dengan tingginya konsumsi SK menyebabkan terhambatnya pembentukan karkas. Menurut Wahju (1992) bahwa kandungan ME dalam pakan menentukan performans broiler mengingat kandungan energi erat kaitannya dengan konsumsi pakan. Menurut Leeson et al. (1991) bahwa selain energi, protein juga diperlukan dalam pakan broiler. Protein berfungsi untuk menyusun organ tubuh, otot, dan bagian lain dari tubuh sehingga sangat menentukan pertumbuhan dan performans yang dihasilkan. Perlakuan P3 memiliki bobot karkas lebih rendah dibandingkan P1 dan P2. Rendahya bobot karkas ini disebabkan oleh kandungan SK yang tinggi dalam pakan. Kandungan SK yang tinggi dalam pakan menyebabkan rendahnya pencernaan dan penyerapan nutrien sehingga nutrien beserta SK banyak tertahan di saluran pencernaan Wahju (1992). Dengan demikian, kondisi ini dapat mengakibatkan meningkatnya bobot saluran pencernaan beserta isinya yang pada akhirnya dapat menurunkan bobot karkas.

Tabel 5. Rataan bobot hidup, bobot karkas, daging paha dan dada, giblet, lemak abdominal Perlakuan pakan P0 P1 P2 P3 Bobot hidup, g 1.258,30 a 1.466,50 b 1.507,93 b 1.445,31 b Bobot karkas, g 817,63 a 944,38 ab 968,75 b 896,25 ab a a a Bobot daging paha dan dada, g 410,26 482,96 488,99 455,93 a a ab b Bobot giblet, g 60,70 66,29 68,45 72,48 b c b b Bobot lemak abdominal, g 25,58 21,78 19,96 8,44 a a,b,c, Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05 Variabel

56

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 55 59

Bobot karkas pada perlakuan P0 lebih rendah dibandingkan P3, P1, dan P2. Hal ini disebabkan oleh rendahnya pemenuhan kebutuhan protein pada pakan P0, sehingga nutrien yang digunakan untuk pembentukan karkas berkurang. Hasil Tabel 5 tampak bahwa rataan bobot daging paha dan dada secara berurutan dari yang tertinggi sampai terendah adalah perlakuan P2 (488,99 g), P1 (482,96 g), P3 (455,93 g), dan P0 (410,26 g). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap bobot daging paha dan dada. Hal ini berarti penggunaan campuran BIS-onggok fermentasi sampai 30% dalam pakan menghasilkan bobot daging paha dan dada yang relatif sama. Bobot giblet adalah bobot gizzard dan hati. Pada Tabel 5 tampak bahwa rataan bobot giblet secara berurutan dari yang tertinggi sampai terendah adalah perlakuan P3 (72,48 g), P2 (68,45 g), P1 (66,29 g), dan P0 (60,70 g). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap bobot giblet. Hasil uji lanjut memperlihatkan bahwa P3, P2, dan P1 tidak berbeda (P>0,05), begitu juga P1 dan P0 juga tidak berbeda. Akan tetapi P3 dan P2 nyata lebih tinggi (P<0,05) daripada P0. Bobot giblet dipengaruhi oleh penambahan bahan fermentasi dalam pakan. Semakin banyak bahan fermentasi yang ditambahkan dalam pakan mengakibatkan bobot giblet yang semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh kandungan SK pakan yang semakin tinggi dengan adanya penambahan bahan fermentasi. Serat kasar dapat mengikat asam empedu dalam saluran pencernaan sebelum menjalani fungsinya membantu penyerapan lemak dan kemudian dikeluarkan dari tubuh bersama feses (Latief et al., 1999). Dengan demikian, SK yang tinggi dalam pakan menyebabkan terpacunya organ hati untuk memproduksi asam empedu secara terus menerus sehingga mengakibatkan pembengkakan. Selain itu, SK yang tinggi dalam pakan dapat mengaktifkan gizzard untuk mencerna SK. Ini mengakibatkan gizzard mengalami pembengkakan atau hipertropi. Bobot lemak abdominal adalah bobot lemak (didapat dari lemak yang terdapat di sekeliling gizzard dan lapisan yang menempel antara otot abdominal dan usus halus). Pada Tabel 5 tampak bahwa rataan bobot lemak abdominal secara berurutan dari yang tertinggi sampai terendah adalah perlakuan P0 (25,58 g), P1 (21,78 g), P2 (19,96 g),

dan P3 (8,44 g). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot lemak abdominal. Hasil uji DMRT memperlihatkan bahwa P0 nyata lebih tinggi (P<0,05) dari P1, P2 dan P3, namun P1 tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan P2. Selanjutnya P1 dan P2 nyata lebih tinggi dari P3. Bobot lemak abdominal dipengaruhi oleh penambahan bahan fermentasi dalam pakan. Semakin banyak bahan fermentasi yang ditambahkan dalam pakan akan semakin memperkecil bobot lemak abdominal. Seiring dengan semakin meningkatnya penambahan bahan fermentasi dalam pakan dapat mengakibatkan peningkatan SK dalam pakan. SK yang berasal dari pakan setelah dikonsumsi ayam akan mengikat asam empedu sesampainya di saluran pencernaan. Kondisi terikatnya asam empedu dengan SK menyebabkan fungsi empedu untuk membantu penyerapan lemak akan terhambat. Selanjutnya asam empedu yang sudah terikat oleh SK akan dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk feses sehingga mengakibatkan penurunan deposisi lemak abdominal.

Kesimpulan
Kandungan protein kasar dan serat kasar yang berbeda dalam pakan sebagai akibat tingkat penggunaan bahan campuran bungkil inti sawit dan onggok fermentasi dalam pakan mempengaruhi bobot karkas, giblet, dan lemak abdominal, tetapi tidak mempengaruhi bobot daging paha dan dada. Bobot karkas dan bagian-bagian karkas pada penggunaan campuran bungkil inti sawit dan onggok fermentasi sampai 30% dalam pakan lebih baik daripada kontrol.

Daftar Pustaka
Amrullah, I.K., 2003. Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunungbudi. Bogor. Diwyanto, K., M. Sabrani dan P. Sitorus, 1980. Evaluasi berat karkas dan efisiensi finansial tujuh strain ayam pedaging. Buletin Lembaga Penelitian Peternakan 16: 24-29. Latief, A., F. Manin dan S. Syarif, 1999. Pengaruh Penggunaan Kulit Ari Biji Kedelai Fermentasi dalam Ransum terhadap Kadar Kolesterol Ayam Broiler.

Pengaruh Tingkat Penggunaan (Nurhayati)

57

[Laporan Penelitian]. Universitas Jambi. Jambi.

Fakultas

Peternakan.

Aspergillus niger dalam pakan terhadap penampilan ayam pedaging. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis 32(1): 28-32. Scott, M.L., M.C. Nesheim and R.J. Young, 1982. Nutrition of the Chickens. 3rd ed. Itacha, New York. Steel, R.G.D. and J.H. Torrie, 1980. Principles and Procedures of Statistics, A Biometrical Approach. International Student ed. McGraw-Hill. Kogakusha Limited, Tokyo. Wahju, J., 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Yotolembah, A., 2003. Pengaruh Penggunaan Kultur Aspergillus niger dan Bacillus spp. serta Kombinasinya sebagai Imbuhan Pakan terhadap Performans Ayam Pedaging. [Tesis]. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung.

Leeson, S., J.D. Summers and L.J. Caston, 1991. Diet dilution and compensatory growth in broilers. Poultry Science 70: 867-873. Nurhayati, 2005. Evaluasi Nutrisi Campuran Bungkil Inti Sawit dan Onggok yang Difermentasi Menggunakan Aspergillus niger sebagai Bahan Pakan Alternatif. [Tesis]. Program Pascasarjana. Universitas Barwijaya. Malang. Nurhayati, O. Sjofjan dan Koentjoko, 2006. Kualitas nutrisi campuran bungkil inti sawit dan onggok yang difermentasi menggunakan Aspergillus niger. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis 31(3): 172-178. Nurhayati, 2007. Pengaruh tingkat penggunaan campuran bungkil inti sawit dan onggok terfermentasi oleh

ANIMAL PRODUCTION, Januari 2008, hlm. 60 66 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol.10 No.1

Effects of Different Feeding Frequency of Faba Beans on Rumen Degradation Characteristics of Oaten Hay in the Rumen of Sheep
(Pengaruh Perbedaan Frekuensi Pemberian Bijian Faba terhadap Karakteristik Degradasi Hijauan Oat pada Rumen Domba)
Asmuddin Natsir*
Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar, 90245

ABSTRAK : Suatu penelitian dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh frekeuensi pemberian yang berbeda dari bijian faba terhadap karakteristik degradasi hijauan oat pada rumen ternak domba. Empat ekor ternak domba jantan kastrasi yang telah dilengkapi dengan kanula pada rumen, dengan bobot badan rata-rata 85 5,5 kg, digunakan dalam percobaan ini. Kombinasi (85:15%) antara hijauan oat dan alfalfa digunakan sebagai ransum basal selama studi. Bijian faba digunakan sebagai pakan suplemen diberikan pada level 0,5% dari bobot hidup. Penelitian dilaksanakan berdasarkan pola rancangan bujur sangkar latin 4 x 4. Setiap periode berlangsung selama 20 hari. Pada masing-masing periode, setiap ternak mendapatkan salah satu dari 4 macam ransum perlakuan, yakni T0 = ransum basal tanpa suplemen, T1= T0 + FB yang diberikan sekali dalam sehari pada pagi hari, T2 = T0 + FB yang pemberiannya dibagi dua dan diberikan pada pagi dan sore hari, dan T3 = T0 + FB yang pemberiannya dibagi atas 8 bagian yang sama dan diberikan setiap tiga jam. Hasil analisis statistik memperlihatkan bahwa suplementasi meningkatkan (P<0,05) kadar NH3 dan VFA rumen. Rataan kadar NH3 rumen untuk masing-masing perlakuan adalah 162,40; 264,45; 301,75; dan 293.00 mg/l, dan kadar VFA rumen rata-rata untuk setiap perlakuan adalah 65,81; 86.00; 77,63 dan 86.76 mmol/l. Akan tetapi, perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pH rumen, dengan rataan 6,36; 6,05; 6,15; dan 6,10 untuk masing-masing perlakuan T0, T1, T2, dan T3. Begitupula, pemberian suplemen bijian faba tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap karakteristik degradasi hijauan oat dalam rumen ternak domba. Kesimpulan, suplemen bijian faba nyata memperbaiki pola fermentasi rumen ternak domba, dalam hal peningkatan kadar NH3 dan VFA rumen, tetapi pH rumen dan karakteristik degradasi rumen dari hijauan oat tidak dipengaruhi oleh pemberian suplemen bijian faba. Kata Kunci: Feeding frequency, faba beans, rumen degradation characteristics, sheep

Introduction
Among protein sources, the extent of degradation in the rumen varies greatly, ranging from less than 50% to as high as 100%. Faba beans (Vicia faba) are legume seeds, which are particularly high in crude protein concentrations (25-42%) (Cottle, 1991; Petterson and MacKintosh, 1994; Yu et al., 2000), making them potentially useful protein supplements in ruminant diets. However, their rapid and extensive degradation (85-90%) (Yu et al., 1999) by ruminal microbes can result in substantial and undesirable N loss from the rumen. If an imbalance between rate of feed protein breakdown and rate of microbial protein synthesis is unavoidable, utilisation as a protein supplement for ruminants is not efficient. To over come this problem, the legume seeds may be pretreated either chemically, such as by formaldehyde treatment (Virk et al., 1994; Tewatia et
* Korespondensi penulis : email asmuddin@unhas.ac.id Telp. +62 411 587126, Hp. +6281543150878

al., 1995), or physically, such as by dry roasting (Yu et al., 1999, 2000) before being offered to the animal. The main purpose of these treatments is to reduce the high degradation rate of protein and starch in the rumen and make them more available for postruminal digestion, conferring benefits for the host animal. Another approach that is possible to apply is to alter the feeding frequency. Offering the faba beans in smaller portions more frequently than giving once per day can improve the time relationships for availability of nitrogen released from the faba beans and energy release from degradation of both readily fermentable carbohydrates from the supplements and fibre from the basal diet (roughages). This would in theory bring conditions closer to the optimum for microbial protein synthesis in the rumen (Owens et al., 1984). In addition, frequent provision of faba beans can reduce the high amplitude of fluctuations of rumen conditions such as pH after feeding. Providing the animals with large amounts of readily fermentable carbohydrate in one rapidly ingested
60

Effect of Different Feeding (Natsir)

61

meal produced dramatic changes in rumen conditions and the significant decrease in rumen pH markedly affected fibre degradation. The objective of this study was to test the hypothesis that offering faba beans as a supplement more than once a day to sheep receiving a combination of oaten chaff and lucerne chaff as a basal diet will improve rumen conditions and in turn will increase the degradation rate of roughage (oaten chaff).

Reasearch Methods
Animal and Feeding
Four mature merino sheep (all wethers) with existing rumen cannula (internal diameter 40 mm) were used for this study. The average body weight, BW SD, was 85 5.5 kg. The sheep were penned and fed individually in the Animal House, School of Agriculture and Food system, Institute of Land and Food Resources, the University of Melbourne, Parkville, Victoria, throughout the study. The animals were cared for according to the guidelines on animal care established as standard operating procedure by NH&MRC/CSIRO. A combination (85%:15%) of oaten chaff and lucerne chaff was given to the animal as the basal diet throughout the study. This diet was calculated to contain 12 g N/kg DM and was designed to simulate feed under grazing conditions during the summerautumn period. FB were used as a supplement at the rate of approximately 0.5% of live body weight. The basal diet was given once per day at 09:00 in the

morning (20% in excess of the previous days intake) while FB were delivered according to the treatment arrangement with roughage and supplements fed in separate feeders. Feed refusals were collected at 09.00daily, weighed and samples bulked for subsequent analysis. No supplementary vitamins and minerals were given and animals had a free access to water. The dietary ingredients used in this experiment were purchased from a commercial company (Essendon Produce, Essendon, Victoria). The composition of dietary ingredients is shown in Table 1.

Experimental Design
The experiment was conducted according to latin square design (4 x 4, Steel and Torrie, 1981) consisting of four treatments and four periods. In every period, each animal received one of four treatments: T0 = basal diet without supplement, T1 = T0 + FB given once per day, T2 = T0 + FB which was divided into two equal portions, and T3 = T0 + FB which was divided into 8 equal portions. The animal in T0 received only the basal diet. For animal in T1, 450 g (air dry basis) FB was given in the morning (09:00) at the same time as the basal diet was offered. For T2, 225 g FB was given at 09:00 and the other 225 g at 15:00. For the animal receiving T3, an equal amount of 58.2 g of FB was delivered to the animal every 3 h starting at 09:00 using an automatic feeder. Each experimental period lasted 20 days, in which the last three days of each period were allocated for in sacco experiment and for taking rumen fluid sampling.

Table 1. Chemical composition of the experimental diets Measurement DM (g/kg) Composition (g/kg DM) Ash OM CP NDF ADF *ME (MJ/kg DM)
*Values from AFRC (l993).

Oaten chaff 871.2 68.8 931.2 49.5 714.8 413.7 6.8

Lucerne chaff 875.9 103.3 896.7 201.9 419.2 332.3 8.5

Faba beans 891.1 28.8 971.2 265.1 260.6 146.6 12.8

62

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 60 66

In Sacco Experiment
Rumen degradation characteristics of oaten chaff in the rumen of sheep were determined using the in sacco method described by rskov et al. (l980). Bags were made from a nitrogen-free, woven polyester cloth, have heat-sealed edges, pore size 35-65 m with outer dimensions of 5 x 12 cm (Ankom technologies, USA). Prior to incubation, the nylon bag samples were prepared by coarsely milling it through a hammer mill to pass a 3-mm screen. The weight of the clean, dry, and labelled nylon bag was recorded before transferring approximately 2.5 g of air-dry sample into each bag. A duplicate bag for each treatment was incubated in the rumen of each animal. A slight modification was introduced in conducting incubation in the rumen to obviate some difficulties faced when removing the bags from the rumen, especially those removed after incubation for the relatively short periods (6 and 12 h). PVC plastic tubes (approx. 35 cm long), instead of nylon cord, were used to prevent tangling during the incubation of the bags in the rumen. A total of 5 PVC tubes for each animal, with 2 bags attached to each tube, were simultaneously incubated in the rumen of each sheep just before the morning feeding. Bags held by individual tubes were then removed from the rumen at 6, 12, 24, 48, and 72 h after commencement of incubation. Immediately after withdrawal, the removed bags containing the residues were rinsed under cold running tap water to remove excess ruminal contents and microorganisms on the surface of the bags and then kept in the freezer (-20OC) for later analysis. After completing the incubation program, all collected bags were washed in washing machine without spinning for about 15 minutes and then dried at 55o C for 48 h to determine dry weight of the residue in each bag (AOAC, 1990). To determine the zero time loses, duplicate bags containing the same samples were soaked in warm tap water (39o C) for 1 h followed by washing and drying as before.

6, 9, 12 h and 24h for three consecutive days. The fluid was withdrawn using a-20 ml disposable syringe. On each sampling time, the first 10 ml of the fluid was discarded. Approximately 40 ml of the rumen fluid was collected from each sheep, 20 ml of this fluid was dispensed into a tube and immediately tested for pH (measured within 1 minute) using a portable pH meter (HI 8424, Hanna Instruments Srl, Italy), and the rest for rumen fluid samples taken at 0 and 6 h was acidified with 5-6 drops of H2SO4 concentrate before freezing it for later analysis for rumen NH3 and VFA.

Laboratory Analysis
Prior to chemical analysis all samples (diets and in sacco samples) were ground to pass a 1-mm screen. Sample DM content was determined by drying at 100oC in the oven for 24 h. The percentage of ash was determined by combustion of samples for 6 h at 550oC. Organic matter (OM) was calculated as 100-%ash (DM basis). Total N content was determined by the Kjeldahl procedure (AOAC, 1990) and percentage of crude protein (CP) was calculated as total N*6.25. Fibre composition (NDF and ADF) was analysed according to the procedure of Goering and Van Soest (1970). Total N content of feeds & rumen fluid samples were determined by the Kjeldahl procedure (AOAC, 1990) with automatic titration (Radiometer, Copenhagen, Denmark) while rumen VFA concentration was analysed by a gas chromatograph (GC; Hewlett-Packard, Model 5890, Series II).

Calculation of Rumen Degradation Characteristics


Analysis of ruminal degradation pattern for DM was performed by fitting the degradation values to the equations of rskov and McDonald (l979): P = a + b (1 e-ct ), where p = rumen degradation at time t, a = intercept, which is highly correlated with the water soluble fraction (WSF), b = the portion of feed DM (other than WSF) which is degraded in time t, c = the degradation rate of the insoluble (b) fraction (%/h), t = incubation time, In addition, a + b (asymptote) shows the value of rumen potential degradability.

Rumen Fluid Sampling


Rumen conditions of the sheep were monitored by taking rumen fluid samples from each animal after completing the in sacco experiment. A plastic tube with an attached syringe covered by nylon cloth was inserted through the cannula into the mid ventral region of the rumen. Rumen fluid samples were withdrawn at 0h (before morning feeding) and at 3,

Effect of Different Feeding (Natsir)

61

The calculation of the rumen degradation characteristics was performed using the program NEWAY EXCELL (Chen, 1997).

Statistical Analysis
All data were subjected to analysis of variance for a Latin square design (4 x 4) using the General Linear Model (GLM) procedure of MINITAB for Windows rel.13.1 (Minitab Inc., 2000). The difference among the treatment means was determined by Tukey test (Steel and Torrie, 1981).

Results and Discussion


Fermentation Conditions and Degradation Characteristics
Rumen fermentation pattern was monitored by measuring rumen pH, rumen NH3 and rumen VFA. The average values for those parameters are presented in Table 2. Analysis of variances indicated that rumen pH was similar (P>0.05) among the treatments, averaging 6.16 across treatments. However, rumen NH3 and rumen VFA were affected (P<0.05) by supplementation. The average rumen NH3 was 286.4 mg/l for supplemented group compared to 162.4 mg/l for control group. Similarly, rumen VFA for supplemented group was 27% higher than the control group (83.46 vs 65.81 mmol/l).

In general, the characteristics of rumen degradation parameters of oaten chaff (Table 3) were not affected (P>0.05) by the treatments. The average values for the water soluble fraction (a), the portion of insoluble fraction (b), degradation rate of insoluble fraction (c), and potential degradability (a + b) across treatment was 29.57%, 39.81%, 0.0596%/h, and 69.38% , respectively. It is well known that the maximum rate of ruminal degradation of forage dry matter and particularly fibrous constituents can be achieved when the rumen conditions are not a limiting factor for rumen microbial activities. Rumen pH, rumen NH3 and rumen VFA are indicators commonly used to monitor rumen fermentation pattern. In this particular experiment, the average rumen pH for control group was 6.36 compared to 6.10 for the supplemented group. This value was much less than the range of pH 6.5 - 7.0 reported for optimum fibre digestion in vitro (Stewart, 1977; Hiltner and Dehority, 1983; Russell and Wilson, 1996) and in vivo (Mould and rskov, 1983). However, the average rumen pH in this experiment was relatively similar to that recommended by Dixon and Stocdale (l999) for optimum fibre digestion of pH 6.20. Moreover, the average rumen pH was slightly higher than rumen pH of 6.0, which is regarded as fibrolytic threshold (Mould and rskov, 1983).

Table 2. Rumen fermentation pattern of sheep according to the treatments Measurement T0 Rumen pH Rumen NH3 (mg/l) 6.36 162.40
a a

Treatments T1 6.05 264.45


b b

Means T3 6.10
b b

T2 6.15 301.75

6.16 255.40 79.05


b

293.00 b

65.81 86.00 77.63 86.76 Rumen VFA (mmol/l) a,b Means sharing similar superscript at the same row were different (P < 0.05)

Table 3. Rumen degradation characteristics of DM of oaten chaff according to the treatment Degradation parameters a b a+b c
*) s.e.m = standard error of means

T0 0.3224 0.3732 0.6956 0.0655

Treatments T1 T2 0.2592 0.2869 0.4283 0.4010 0.6876 0.6879 0.0553 0.0581

T3 0.3143 0.3899 0.7042 0.0595

s.e.m* 0.024 0.024 0.006 0.004

Diff. (P<) 0.329 0.488 0.253 0.483

62

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 60 66

The importance of rumen pH for rumen metabolism is difficult to assess, and depends on the relative importance of minimum pH, mean pH or the length of time that pH remains below a critical value. Certainly, cellulolysis is known to be sensitive to pH; a value of 6.0 is frequently suggested as the minimum below which cellulolysis may be inhibited (Mould and rskov, 1983) and most culturable cellulolytic rumen microbes will cease activity below a pH of 5.5 (Van Es, 1983). However, in some instance, NDF in fresh pasture is highly digestible (Van Vuuren et al., 1992) and in vitro studies that have incubated highly digestible pasture indicate that these pastures may have a cellulolytic threshold lower than 6 (De Veth and Klover, 1999). The purpose of offering faba beans in smaller portions more frequently than once per day is intended to improve the time relationships for availability of nitrogen released from the faba beans and energy release from degradation of both readily fermentable carbohydrates from the supplements and fibre from the basal diet (roughages). Frequent provision of faba beans, rather than providing it at once, can reduce the high amplitude of fluctuations of rumen conditions such as pH after feeding. The influence of large amounts of readily fermentable carbohydrate given to the animal in one rapidly ingested meal produced dramatic changes in rumen conditions and the significant decrease in rumen pH due to accumulation of VFA (Mould et al., 1983; Chamberlain and Wilkinson, 1996; Beauchemin, 2000; Natsir et al. 2002; Natsir, 2004, 2005). In this experiment, that purpose was quiet achievable. Rumen pH of sheep receiving faba beans in smaller portion more than once per day experienced shorter period where rumen pH dropped below the threshold point of 6.0. Similar rumen pH across treatments is might be one reason why the rumen degradation characteristics for oaten chaff among treatments are not different, even though other rumen fermentation parameters, i.e. NH3 and rumen VFA are higher for animals receiving supplements. Improved levels of rumen NH3 and rumen VFA concentration on the animals receiving faba beans supplement are not expressed further in terms of improved rumen degradation characteristics, i.e. rumen potential degradability and degradation rate of oaten chaff. One of possible reason is that concentration of rumen NH3 for control group is already sufficient to support optimum growth for rumen microorganisms. Based on the

published work, all diets used in this experiment, including the control one, would have provided sufficient rumen NH3-N to support good levels of microbial activity since the average rumen NH3-N concentration exceeded the threshold point of 50-80 mg/l indicated as a sufficiency level (Satter and Slyter, 1974), and still in agreement with another study reported that the minimum rumen NH3-N required for optimising rumen microbial fermentation was in the range of 100 to 200 mg N/l (Perdok et al., 1988). Use of oaten chaff mixed with a small amount of lucerne chaff (15% of the total roughage) thus seems to be sufficient to create a sound rumen environment in terms of availability of rumen NH3-N to support microbial synthesis.

Conclusion
Even though provision of faba bans supplements on the rate of 0,5% of body weight of sheep could improve rumen conditions of sheep in terms of higher rumen NH3 and rumen VFA, but it did not give any benefits in improving rumen degradation characteristics of oaten chaff, suggesting that combination of oaten chaff (low quality roughage) with small portion of lucerne chaff (medium quality roughage) was sufficient in creating a sound rumen conditions for rumen microorganisms.

Acknowledgments
The author is grateful for the financial support from the government of Australia through the Australian Development Scholarship during his postgraduate study at the University of Melbourne, Melbourne, Australia. Warm appreciations are also extended to Mr. Andre Thalen, Animal House Manager and Ms. Fahi Nowniaz, Animal Production Laboratory Manager, Institute of Land and Food Resources, Melbourne University, for their invaluable technical assistances during the study.

References
[AFRC], 1993. Energy and Protein Requirements of Ruminants. CAB International, Wallingford. [AOAC], 1990. Official Methods of Analysis. 15th ed. Association of Official Analytical Chemists, Washington, DC.

Effect of Different Feeding (Natsir)

61

Beauchemin, K.A., 2000. Managing rumen fermentation in barley-based diets: Balance between high production and acidosis. Advance in Dairy Technology Vol. 12: 109-125. Chamberlain, A.T. and J.M. Wilkinson, 1996. Feeding the Dairy Cow. Chalcombe Publications, Welton, Lincoln. Chen, X.B., 1997. Neway Excell, a utility for processing data of feed degradability and in vitro gas production. Version 5. XBC Laboratory, Rowett Research Institute, Aberdeen. Cottle, D.J., 1991. Australia Sheep and Wool Handbook. Inkata Press, Melbourne. De Veth, M.J. and E.S. Kolver, 1999. Pasture digestion in response to change in ruminal pH. Proc. NZ Soc. Anim. Prod. 59: 66-69. Dixon, R.M. and C.R. Stockdale, 1999. Associative effects between forages and grains: consequences for feed utilisation. Aust. J. Agric. Res. 50: 757-773. Goering, H.K. and P.J. Van Soest, 1970. Forage Fibre Analysis (Apparatus, reagents, procedures, and some application). Agric. handbook 379, ARS., USDA., Washington, DC. Hiltner, P. and B.A. Dehority, 1983. Effects of soluble carbohydrates on digestion of cellulose by pure cultures of rumen bacteria. Appl. Environ. Microbiol. 46: 642-648. Minitab, 2000. Minitab Statistical Software for Windows Rel. 13.1. Minitab Inc. Mould, F.L. and E.R. rskov, 1983. Manipulation of rumen fluid pH and its influence on cellulolysis in sacco, dry matter degradation and the rumen microflora of sheep offered either hay or concentrate. Anim. Feed Sci. and Technol. 10: 1-14. Mould, F.L., E.R. rskov and S.O. Mann, 1983. Associative effects of mixed feed. I. Effects of type and level of supplementation and the influence of the rumen fluid pH on cellulolysis in vivo and dry matter digestion of various roughages. Anim. Feed Sci. Technol. 10: 15-30. Natsir, A., A.R. Egan and B.J. Leury, 2002. Effects of microwave radiation on physico-chemical properties and in vitro digestibility of barley straw. Anim. Prod. Aust. Vol. 24:153-156. Natsir, A., 2004. Efficient Utilization of Fibre in Diets of Ruminants. [Dissertation]. the University of Melbourne, Melbourne.

Natsir, A., 2005. Effects of abrupt change from roughage based feeding to high grain on rumen fermentation pattern and rumen degradation rate of barley straw. Buletin Ilmu Peternakan dan Perikanan Vol. IX(1): 21-32 Owens, F.N., D.C. Weakly and A.L. Goetsch, 1984. Modification of rumen fermentation to increase efficiency of fermentation and digestion in the rumen. pp. 435-454. In F.M. Gilchrist and R.I. Mackie (Eds.) Herbivore Nutrition in the Subtropics and Tropics. The Science Press Pty Ltd., Craighall. rskov, E.R., F.D. Deb. Hovell and F. Mould, 1980. The use of nylon bag technique for evaluation of feedstuffs. Trop. Anim. Prod. 5: 195-213. rskov, E.R. and I. McDonald, 1979. The estimation of protein degradability in the rumen for incubation measurement weighed according to rate of passage. J. Agric. Sci. (Camb.) 92: 499-503. Perdok, H.B., R.A. Leng, S.H. Bird, G. Habib and M. Van Houtert, 1988. Improving livestock production from straw based diets. pp. 81-91. In E.F. Thomson and F.S. Thomson (Eds.) Increasing small ruminant productivity in semi arid area. ICARDA, Syria. Petterson, D.S. and J.B. Mackintosh, 1994. The chemical composition and nutritive value of Australian grain legumes. Grain Research and Development Corporation. Canberra. pp.13-16. Russell, J.B. and D.B. Wilson, 1996. Why are ruminal cellulolytic bacteria unable to digest cellulose at low pH?. J. Dairy Sci. 79: 1503-1509. Satter, L.D. and L.L. Slyter, 1974. Effect of ammonia concentration on rumen microbial protein production in vitro . Br. J. Nutr. 32: 194-208. Steel, R.G.D. and J.H. Torrie, 1981. Principles and Procedures of Statistics. A Biometrical Approach. 2nd ed. McGraw-Hill International Book Company, New York. Stewart, C.S, 1977. Factors affecting the cellulolytic activity of rumen contents. Appl. Environ. Microbiol. 33: 497-502. Tewatia, B.S., V.K. Khatta, A.S. Virk and P.C. Gupta, 1995. Effect of formaldehyde-treated faba beans (Vicia faba) on performance of lactating goats. Small Ruminant Res. 16(2): 107-111. Van Es, A.J.H., 1983. The importance of optimal fermentation in dairy cow nutrition. pp. 13-22. In D.J. Farrell and P. Vohra (Eds.) Recent Advances in Animal Nutrition in Australia. University of New England Publishing Unit, Armidale, NSW.

62

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 10, No. 1, 2008 : 60 66

Van Vuuren, A.M., F.Krol-Dramer, R.A. Van der Lee and H Corbijn, 1992. Protein digestion and intestinal amino acids in dairy cows fed fresh Lolium perennial with different nitrogen contents. J. Dairy Sci. 75: 2215-2225. Virk, A.S., V.K. Khatta, B.S. Tewatia and P.C Gupta, 1994. Effect of formaldehyde-treated faba beans (Vicia faba) on nutrient utilization and growth performance of goat kids. Small Ruminant Res. 14(1): 19-23.

Yu, P., A.R. Egan and B.J Leury, 1999. Protein evaluation of dry roasted whole faba beans (Vicia faba) and whole lupins seeds (Lupinus albus) by the new Duch protein evaluation system: the DVE/OEB systems. Asia-Aust. J. Anim. Sci 12: 871-880. Yu, P., J.O. Goelema and S. Tamminga, 2000. Using the DVE/OEB model to determine optimal conditions for pressure toasting on horse beans (Vicia faba) for the dairy feed industry. Anim. Feed Sci. Technol 86: 165-176.

Das könnte Ihnen auch gefallen