Sie sind auf Seite 1von 7

Hutan Hak, dilematika dalam Strategi Kehutanan

Oleh : Banjar Yulianto Laban Kata kunci : hutan hak, hasil hutan kayu, jenis pohon, KPH

Latar Belakang. Belum lama ini, terbit Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.30/Menhut-II/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Hak. Peraturan ini disiapkan dan disahkan, sebagai tindak lanjut hasil evaluasi Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan SKAU untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari Hutan Hak sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2007. Dalam hasil evaluasi direkomendasikan bahwa perlu perbaikan pengaturan yang terkait dengan penatausahaan dan penetapan jenis, pengukuran volume/berat dan penghitungan jumlah serta penggunaan surat keterangan asal usul hasil hutan hak sebagaimana ditegaskan pada Pasal 118 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. Perbaikan tersebut dalam rangka mendorong berkembangnya usaha kehutanan berbasis kerakyatan dan untuk memperluas lapangan kerja, pengentasan kemiskinan serta pertumbuhan ekonomi. Sehubungan hal tersebut, maka masyarakat pemilik/pengelola hutan hak diberi kesempatan seluas luasnya untuk melakukan penatausahaan atas hasil hutannya , sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.30/Menhut-II/2012 tentang

Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Hak. Selanjutnya disebut P.30/2012. Sebagai konsekuensinya, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan SKAU untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari Hutan Hak sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2007, dinyatakan tidak berlaku lagi. Di dalam P.30/2012 yang dimaksud dengan penatausahaan hasil hutan berasal dari hutan hak adalah kegiatan yang meliputi pemanenan atau penebangan, pengukuran dan penetapan jenis, pengangkutan/peredaran dan pengumpulan, pengolahan dan pelaporan. Adapun yang dimaksud dengan Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah/lahan masyarakat yang telah dibebani hak atas tanah di luar kawasan Hutan Negara, dibuktikan dengan alas titel berupa Sertifikat Hak Milik, Letter C atau Girik, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, atau dokumen penguasaan/pemilikan lainnya yang diakui oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hasil hutan yang berasal dari hutan hak dalam P.30/2012 hanya dibatasi pada kayu yang berasal dari tanaman yang tumbuh dari hasil budidaya di atas areal hutan hak atau lahan masyarakat. Sedangkan dalam tata cara pengangkutan/ peredaran kayunya setelah panen, satu cara yang paling sederhana, tidak rumit dan mengangkat martabat pemilik hutan hak adalah menggunakan Nota Angkutan. Pengadaan blanko dan pengisian Nota Angkutan yang telah ditentukan formatnya sesuai P.30/2012, dibuat/diisi oleh pembeli atau pemilik dan ditandatangani oleh pemilik hasil

Hutan Hak. Nota Angkutan tidak perlu Nomor Seri dan tidak perlu ditetapkan pengangkatan aparat penerbitnya, cukup melaporkan kepada Kepala Desa/Lurah atau Perangkat Desa/Kelurahan setempat, dengan menunjukan bukti identitas diri. Dokumen Nota Angkutan berupa surat keterangan yang menyatakan penguasaan, kepemilikan dan sekaligus sebagai bukti legalitas pengangkutan hasil hutan hak (kayu bulat atau kayu olahan) sesuai dengan jenis kayu yang ditetapkan pada P.30/2012, yaitu : Cempedak, Dadap, Duku, Jambu, Jengkol, Kelapa, Kecapi, Kenari, Mangga, Manggis, Melinjo, Nangka, Rambutan, Randu, Sawit, Sawo, Sukun, Trembesi, Waru, Karet, Jabon, Sengon dan Petai; atau pengangkutan lanjutan semua jenis kayu Hutan Hak selain dari pelabuhan umum. Pemanfaatan hasil hutan kayu berasal dari pohon yang tumbuh secara alami dalam kawasan hutan yang telah berubah status dari kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) dan telah dibebani hak, seperti HGU, Hak Pakai, dan bentuk perizinan lainnya yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), mengikuti ketentuan Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Negara, antara lain yaitu Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2011 tentang Izin Pemanfaatan Kayu (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 142). Dengan demikian hasil hutan kayunya dapat dikenai PSDH, DR dan pengganti nilai tegakan. Jenis jenis Kayu Memperhatikan hanya ada 23 (duapuluh tiga) jenis kayu yang dapat difasilitasi P.30/2012, kemungkinan akan ada kegamangan dalam aplikasinya. Aspek yang non pluralis

mengesankan bahwa spektrum Kementerian Kehutanan sangat sempit, kurang peduli input iptek dan menganut eksklusifisme eselon I. Sebagai contoh yang sudah dikembangkan dan disosialisasikan ke publik oleh Balitbanghut dan Ditjen BPDAS PS dalam rangka Rehabilitasi Hutan dan Lahan, antara lain kayu bawang di Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan; kayu damar di Lampung Barat; kayu Cempaka di Sulawesi Utara dan Gorontalo; kayu Nyatoh, kayu Lakatu dan kayu kates di Sulawesi Tengah, belum masuk dalam daftar 23 jenis pohon tersebut. Padahal jenis jenis tersebut, selain kayu damar dan kayu kates adalah fast growing species (sekitar 7 10 tahun dapat dipanen) dan secara budaya dan lokalitas peredarannya sebagai ramuan/bahan bangunan rumah sudah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun. Berkaitan dengan jenis jenis pohon, hal yang perlu diperhatikan adalah rekomendasi dari yang berkompeten, antara lain Balitbanghut dan LIPI - biologi. Kalau jenis jenis itu dapat dikaitkan dengan program Rehabilitasi Hutan dan Lahan, untuk mempertimbangkannya dapat memperhatikan masukan dari Ditjen BPDAS PS. Eksklusifisme sekali lagi, sebenarnya sangat sangat memojokan Kementerian Kehutanan dalam hal kualitas pelayanan publik. Memperhatikan P.30/2012 ada kesan bahwa disamping eksklusif Kementerian Kehutanan masih setengah hati dalam pelayanan publik. Sangat takut kecolongan atau kehilangan banyak jenis pohon di kawasan hutan negara, tapi sangat berani dan happy (karena diatur dalam PP 60/2012 dan PP 61/2012) kehilangan banyak kawasan hutan untuk penggunaan lain.

Hutan Hak atau di Jawa lebih dikenal sebagai Hutan Rakyat, berada di lahan yang beralas titel bukan hutan negara. Cara pandang Kementerian Kehutanan harus dirubah dari pandang kegamangan dan kegalauan ke pandang pembinaan dan pengembangan. Jangan terlalu lama memposisikan Hutan Hak sebagai alat atau media yang dapat merusak potensi Hutan Negara, antara lain melalui pembatasan jumlah jenis pohon yang difasilitasi pemerintah melalui P.30/2012. Dalam rangka pembinaan dan pengembangan Hutan Hak, sebenarnya pemerintah cq. Kementerian Kehutanan pada tahun 2011 telah membentuk Balai Penelitian Teknologi Agroforestry yang berkantor pusat di Ciamis. Sebagai satu UPT Balitbanghut, Balai Penelitian ini secara teknis bersama Penyuluh Kehutanan seluruh Indonesia dalam kesempatan ini direkomendasikan untuk terlibat sepenuhnya dalam penatausahaan Hutan Hak. Dengan demikian, sebaiknya pengaturan yang terkait dengan penatausahaan Hutan Hak tidak seluruhnya diarahkan ke kewajiban pemilik Hutan Hak , tetapi ke aparat pemerintah, khususnya aparat beberapa UPT Kementerian Kehutanan yang tugas pokok fungsinya dapat dikonvergensikan dalam pembinaan Hutan Hak di suatu lokasi tertentu. Lokus yang pasti, terlebih melalui penelitian terapan jenis pohon yang pasti dan semangat sosialisasi nilai ekonomi yang pasti, akan memberikan hasil yang pasti dipertahankan dan ditingkatkan pengembangannya oleh pemilik hutan hak. Hutan Hak yang alas titelnya diatur Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebenarnya sangat labil, mudah berubah ke non Hutan Hak, demikian juga sebaliknya. Sebagai contoh di daerah Klaten Jawa Tengah, pada setengah dekade terakhir ini,

banyak lahan sawah datar yang ditanami sengon. Ada kemungkinan karena irigasi permanen rusak atau pemiliknya jualan bakso dan kerja kuli kontrak di Jakarta. Hutan Hak juga belum ada jaminan untuk dimunculkan di Rencana Tata Ruang, baik RTRWP maupun RTRWK. Penguatan KPH melalui Hutan Hak. Bukan hal yang kontroversi bila KPH sebagai langkah awal penatakelolaan Kawasan Hutan Negara diharmonikan dengan langkah langkah pelayanan pengembangan Hutan Hak di luar Jawa. Harmonisasi disini difokuskan pada optimalisasi fungsi bentang alam secara ekoregional di suatu wilayah. Disamping itu, harmonisasi di sini dapat dilakukan juga dengan usaha pembagian peran yang menguatkan pengamanan wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) dari bencana alam, baik banjir, kebakaran lahan maupun tanah longsor. Proses konvergensi dalam Pemantapan KPH dari aspek penetapan kawasan dan aspek pengelolaan Hutan Negara di luar Jawa, sebenarnya sangat mengharapkan kepastian lokasi dan cara pengelolaan Hutan Hak, seperti contoh repong damar di Krui Lampung Barat. Untuk itu dalam merekomendasikan lokasi Hutan Hak dan Hutan Negara di suatu wilayah harus berdasar penelitian ilmiah keterpaduan berbagai aspek yang mempengaruhi bentang alam serta penyusunan strategi dan rencana pengelolaan yang transparan kolaboratif. Jadi Peraturan Menteri Kehutanan seperti P.30/2012 sebenarnya tidak dapat berdiri dan berjalan sendiri. Secara tersirat Renstra Kehutanan 2010 2014, mengamanatkan bahwa pembangunan kehutanan harus melalui beberapa

kegiatan yang dilaksanakan di daerah secara koordinatif dan sinkron. Dengan demikian, pada kesempatan ini direkomendasikan untuk meninjau kembali P.30/2012 dengan fokus pada kebebasan pemilihan jenis pohon sesuai potensi daerah dan kesederhanaan sistem administrasi, antara lain yaitu menggunakan Nota Angkutan saja. Adapun untuk mengurangi atau mencegah efek negatif yang mungkin ditimbulkan, agar pengaturan Hutan Hak lebih banyak ditujukan ke aparat kehutanan bagaimana melayaninya, dengan memperhatikan penguatan dan kesungguhan internal Kementerian Kehutanan dalam proses penetapan kawasan Hutan Negara, sesuai keputusan MK45 dan pemantapan pengelolaan Hutan Negara, termasuk pengamanannya, melalui Kelembagaan KPH. Bogor , 18 Agustus 2012

Das könnte Ihnen auch gefallen