Sie sind auf Seite 1von 9

JANGAN BIARKAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU, DALAM PROGRESIFITAS YANG UTOPIS.

Oleh : Banjar Yulianto Laban

LATAR BELAKANG Pada tanggal 25 Juli 2012 di Makassar, sekumpulan pakar bidang terkait dan praktisi kehutanan, khususnya yang bergerak di bidang hasil hutan bukan kayu, mengadakan diskusi dengan topik utama tentang evaluasi beberapa jenis hasil hutan bukan kayu (untuk selanjutnya disebut hhbk), meliputi : kulit buaya Papua, obat-obatan herbal tradisional Sulawesi tengah, bio energi nyamplung Pulau Selayar dan Sutera Alam Sulawesi Selatan. Empat jenis hhbk di atas, masing masing mempunyai karakter sendiri dan perlakuan khusus sendiri, mulai dari hulu ke hilir, mulai dari pembibitan/pemijahan sampai ke proses industri dan pasar. Dalam tulisan ini saya tidak akan menguraikan satu persatu jenis sesuai langkah langkah hidup alamiahnya maupun campur tangan manusia, tetapi akan menguraikan tentang apa yang seharusnya mendapat respon dan antisipasi pemerintah dalam mendorong dan mengawal progresifitas private/swasta, Pemerintah Daerah dan masyarakat lokal yang anthusias di bidang usaha hhbk yang unik dan spesifik ini. Uraian ini sebagian besar bersumber dari hasil diskusi evaluasi yang secara obyektif dan transparan dapat dikondisikan oleh fasilitator yaitu Dr. Agus Setyarso dari Dewan Kehutanan Nasional (DKN).

Progresifitas hhbk yang utopis, yang hanya ada di bayang bayang, sangat nampak terungkap di dalam diskusi. Ada keinginan berubah, tapi arahnya ke besar pasak dari pada tiang. Perubahan yang pas (artinya biaya terjangkau), strategis dan multi efek, sinergis dengan investasi ekonomi lainnya, misalnya melalui MP3EI menjadi tantangan peserta diskusi. Tantangan tersebut menjadi besar, manakala timbul keraguan terkait dengan kemampuan pemerintah dalam hal mendorong dan mengawal progresifitas hhbk, terutama dalam mengkondisikan partisipasi masyarakat lokal dan ketertarikan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan hhbk. Dalam suasana reformasi menuju kesejahteraan berbasis demokrasi kerakyatan sekarang ini (sejak 1998), pertambangan mineral dan minyak gas bumi di kawasan hutan atau berhutan lebih menarik investor dari pada investasi di bidang hhbk yang sekaligus dapat melestarikan hutan. Demikian halnya hasil hutan kayu (hhk) dari hutan alam (misal merbau di Pulau Papua), masih punya daya tarik investasi yang besar dari pada gaharu. Kecenderungan exploitasi sumber daya alam dengan hasil besar dan keuntungan negara yang kurang transparan, semakin merajalela di negeri ini, lebih lebih kemudahan investasi asing (PMA) melalui Joint Venture atau tidak di bidang tambang semakin disempurnakan sistemnya. Ijin tambang diperbolehkan di kawasan Hutan Produksi, dengan tidak pandang apakah sudah berkonsesi atau belum berkonsesi. Satu hal yang diragukan peserta diskusi adalah niat pemerintah memberikan kemudahan investasi di bidang usaha hhbk,

apakah sebanding dengan kemudahan investasi usaha lain di kawasan hutan negara? Dalam diskusi muncul istilah komitmen, kesepakatan antar para aktor yang peduli hhbk dan juga kesepakatan antar para kontributor yang bergerak di bidang hhbk. Bagaimana membangun kesepakatan ini agar bersama dapat mewujudkan grand design yang sesegera mungkin dapat mendorong pemerintah menuju realitas ekonomi kerakyatan?. Jangan sampai terjadi seperti selama ini, yaitu 80 ton gaharu papua/tahun, dengan hasil Rp 1,6 Trilyun, ternyata tanpa ada uang di kantong petani/masyarakat lokal. Demikian halnya, mengapa hanya 1 ton madu/tahun dihasilkan Sulawesi Selatan ? Mengapa tidak 100 ton? Sementara potensi daya dukungnya sangat besar. Untuk itu pemerintah perlu didorong agar mampu memfasilitasi forum untuk diskusi dan penyusunan bisnis plan, yang laku dan prospektif di kalangan perbankan dan prospektif dapat menarik partisipasi masyarakat. Mengingat informasi hhbk sutera alam (ada UPT khusus untuk pembinaannya) dan bio diesel nyamplung (proses masih dalam pembinaan litbanghut), artinya telah banyak dikuasai dan dapat dikendalikan Kementerian Kehutanan secara hampir sempurna progresifitasnya, maka dalam uraian berikut ini saya akan fokus ke bisnis kulit buaya dan obat obatan herbal tradisional. Diharapkan dari sini dapat disampaikan saran kepada pemerintah untuk memperkaya perannya dalam pengembangan hhbk di Indonesia.

KULIT BUAYA PAPUA Dalam diskusi terkait bisnis kulit buaya papua, terungkap bahwa informasi belum lengkap, masih samar samar, data base secara sembunyi sembunyi lebih banyak dikuasai pengusaha dari pada pemerintah. Mendorong kepedulian Pemerintah Daerah dan LSM untuk mengatur bisnis kulit buaya yang lestari masih sangat sulit, dengan alasan buaya dilindungi UU dan masuk apendix 2 CITES, disamping keputusan Menteri Kehutanan yang mengatur penangkaran/pembesaran buaya belum direvisi. Keberhasilan pemerintah sampai sekarang, mungkin hanya pada penetapan Zona Buaya Papua, yaitu : Zona Kepala Burung/Nabire, Zona Mamberamo, dan Zona Merauke UtaraSelatan. Tindak lanjutnya yang direncanakan melalui pola Plasma Inti Rakyat (PIR) tidak jalan sampai sekarang, karena kartu identitas pemburu buaya lokal yang mengkoleksi anakan buaya tidak efektif lagi, alasannya kurang pembinaan. Mengapa kurang pembinaan? Karena akses monitoring sangat luas dan biaya mahal. Penetapan quota tahunan juga belum ada kesepakatan dengan LIPI, karena metode inventarisasi dan monitoring/evaluasi populasinya belum disiapkan lembaga scientific authority tersebut. Dampaknya adalah Habitat buaya di mamberamo yang seluas P. Jawa, hanya diperkirakan secara kasar punya kerapatan buaya dewasa 1-5 ekor/km2. Hasilnya hanya sekedar data perkiraan dan belum ada pedoman untuk mengelola data hasil monitoring tersebut. Sumber Daya Manusia yang punya peluang untuk mengembangkan kompetensi di bidang hhbk, khususnya kulit

buaya yaitu pejabat fungsional Pengelola Ekosistem Hutan (PEH), jumlahnya masih sangat sedikit bila dibanding dengan luas zonasi buaya yang telah ditetapkan, yaitu hanya 13 orang di papua. Dampaknya survey belum dapat dilaksanakan secara intensif dan data base belum lengkap, termasuk data base buaya yang di penangkaran sehingga banyak indukan buaya yang tertunda atau tidak mau bertelur. Sampai sekarang Pusat cq. Kementerian Kehutanan secara hirarki belum mengarahkan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BB KSDA) Papua untuk pemantapan legitimasi data base apa yang diperlukan, bagaimana mengkoleksinya dan dipergunakan untuk apa, meskipun konsep telah lama disiapkan dan disampaikan oleh BB KSDA Papua. Arahan tersebut sangat penting untuk meningkatkan anggaran pembinaan dan juga sekaligus meningkatkan kepercayaan publik ke Kementerian Kehutanan, khususnya BB KSDA Papua, mengingat kontribusi kulit buaya ke masyarakat lokal, tanpa legitimasi saja dalam 3 tahun terakhir ini telah mencapai Rp 13 M. Perlu disadari juga bahwa quota yang ditetapkan serampangan (antara lain karena pedomannya belum disahkan LIPI sampai sekarang) dan realisasi dengan kesulitan dalam hal monitoring (spektrum zonasinya sangat luas dan SDM minimalis) sangat signifikan bedanya. Populasi buaya di penangkaran/pembesaran turun drastis karena biaya pengadaan pakan mahal dan tuntutan internasional (CITES) harus mengembangkan populasi di habitat alamnya, sangat kuat mempengaruhi pasar.

Di bagian hilir masih ada kendala yang terkait dengan kualitas produk kulit buaya. Kiranya kebutuhan pembinaan ke pengrajin kulit buaya perlu diperhatikan juga, melalui kerjasama antar kelembagaan. OBAT OBATAN HERBAL TRADISIONAL Hhbk jenis ini semakin marak di Sulawesi Tengah, berawal dari eksplorasi potensi yang cukup besar di Taman Nasional Lore Lindu, yaitu 300 lebih jenis tumbuhan obat teridentifikasi di dekat desa Pakuli (Pakuli berarti obat) . Desa tersebut di batas barat - utara Taman Nasional di bawah pemerintahan Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah. Masyarakat desa ini turun temurun tidak banyak yang beli obat2 kimia. Mereka diasuh seorang sando (ahli obat herbal tradisional lokal) belajar meramu obat dari tumbuh tumbuhan hutan yang ada di sekitarnya. Sebagai bagian dari Cagar Biosfer yang ditetapkan Unesco tahun 1979, dan penyangga Taman Nasional Lore Lindu, Pakuli sangat strategis menjadi pusat pengembangan ekonomi kerakyatan berbasis konservasi yang dapat dikembangkan di tempat lain dengan potensi yang sama. Di Penyangga Taman Nasional Lore Lindu ada 3 desa lagi yang potensial untuk dikembangkan seperti Pakuli yaitu desa Lempe, desa Bobo dan Ngata Toro. Bahkan di Ngata toro dsk telah teridentifikasi 316 jenis tumbuhan obat herbal. Dalam diskusi diusulkan ada dana pemerintah untuk kegiatan studi banding ke malang, yaitu ke Balai Pengembangan Tanaman Obat. Setelah mengikuti studi banding ini, diharapkan para peserta, terutama masyarakat lokal dan petugas Taman Nasional mendapat pengetahuan dan wawasan baru untuk

pengembangan pengelolaannya seiring dengan pengelolaan Taman Nasional yang di titik beratkan pada penguatan resort sebagai dasar keterpaduan pengelolaan wilayah berbasis potensi kawasan Taman Nasional. Secara ekonomi, belajar dari paguyuban Asifa, yaitu kelompok masyarakat pengelola dan produsen obat herbal di Pakuli, ternyata ada progres yang meningkat dari tahun ke tahun. Dilaporkan Penjualan tahun 2011 telah mencapai rata rata Rp 18 jt /bulan. Disamping tenaga ahli masih kurang dan terbatas, karena keahlihan diwariskan turun temurun, ternyata identifikasi lanjutan belum banyak dilakukan. Pembuatan obat tradisional tersebut juga belum ada uji klinis, sehingga belum memperoleh izin dari BPOM. Menurut Asifa Pakuli prosedurnya cukup rumit dan mahal. Jaringan pemasaran masih terbatas, promosi dan kemasan belum menarik. Namun begitu kecenderungan pengguna obat obat herbal meningkat, menjadi tantangan tersendiri dalam pengembangannya. Sesuai arahan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu, Paguyuban Asifa Pakuli di luar kawasan Taman Nasional juga telah mengembangkan semacam arboretum koleksi tanaman obat seluas 2 hektar. Diharapkan dengan kemajuan pembudidayaan yang berawal dari arboretum tersebut, para pengumpul bahan obat tidak perlu lagi sering masuk kawasan Taman Nasional.

USUL TINDAK LANJUT Memperhatikan perkembangan diskusi tersebut diatas, maka baik kulit buaya maupun obat herbal dan kemungkinan hhbk lain yang punya kemiripan pola pengelolaannya, diusulkan tindak lanjut agar progresifitasnya tidak selalu utopis tetapi realistis dan membumi di lapangan, sebagai berikut : 1. Melengkapi informasi / data base yang sangat penting untuk efisiensi dan efektifitas pengelolaannya, antara lain melalui belanja modal peralatan, transportasi dan komunikasi. 2. Mendorong kepedulian Pemerintah Daerah, LSM dan kelembagaan lain yang terkait (misalnya BPOM) dalam pengembangan hhbk. 3. Melengkapi dan meninjau kembali Peraturan Menteri Kehutanan yang sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan hhbk terbaru. 4. Menetapkan zonasi pengembangan yang akan mempermudah kegiatan pendataan, monitoring dan evaluasi. Penetapan ini dapat dikaitkan dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan kemampuan sumber daya lainnya. 5. Metode inventarisasi dan monitoring/evaluasi jenis dan populasi hhbk segera disiapkan bersama LIPI sebagai lembaga scientific authority. 6. Pejabat Fungsional Pengelola Ekosistem Hutan (PEH) perlu diberdayakan melalui pengembangan hhbk, jumlahnya ditambah sehingga relevan dengan luas dan jangkauan zonasi/KPH yang ditetapkan. 7. Populasi dan jenis hhbk yang berada di arboretum maupun penangkaran perlu pembinaan khusus, sehingga

perannya dalam rangka membantu konservasi insitu dapat dipertanggungjawabkan. 8. Perlu dikembangkan kerjasama antar lembaga dalam rangka pembinaan kualitas produk akhir hhbk sesuai permintaan pasar. Bogor, 6 September 2012.

Das könnte Ihnen auch gefallen