Sie sind auf Seite 1von 24

Referat

Duchenne muscular dystrophy (DMD)

Oleh :

Khatimatun Najwah I1A008075

Pembimbing Dr. Steven, M.Si. Med., Sp.S.

UPF/Lab Ilmu Saraf Fakultas Kedokteran Unlam-RSUD Ulin Banjarmasin Agustus, 2012

BAB I PENDAHULUAN

Duchenne muscular dystrophy adalah penyakit X-linked otot yang bersifat progresif akibat tidak terbentuknya protein distropin. Penyakit ini secara bertahap melemahkan kerangka otot, yang di lengan, kaki dan punggung. Pada remaja awal atau bahkan lebih awal, otot jantung dan otot pernafasan juga mungkin dapat terpengaruh, munculnya kelemahan berjalan pada awal dekade kedua, dan biasanya akan meninggal pada usia 20 tahun. Pada tahun 1868, Duchenne menetapkan kriteria diagnostik yang masih digunakan sampai sekarang untuk penyakit distrofi otot. Kriteria-kriteria tersebut antara lain, (1) kelemahan yang dimulai dari lengan; (2) hiperlordosis dengan gaya berjalan yang khas; (3) hipertrofi otot yang lembek; (4) perjalanan penyakit yang progresif; (5) penurunan kontraktilitas otot dengan rangsangan listrik pada tahap lanjut; dan (6) disfungsi vesika urinria dan pencernaan, gangguan sensorik, atau demam. DMD disebabkan adanya perubahan (mutasi) pada gen, yang disebut gen DMD, yang dapat diwariskan dalam keluarga dengan cara yang resesif X-linked. Dalam DMD, anak-anak mulai menunjukkan tanda-tanda kelemahan otot sejak usia 3 tahun. Prognosis dari MD bervariasi tergantung dari progresivitas penyakitnya. Pada beberapa kasus dapat ringan dan memburuk sangat lambat, dengan kehidupan normal, sedangkan pada kasus yang lain mungkin memiliki

pemburukan kelemahan otot yang bermakna, disabilitas fungsional dan kehilangan kemampuan berjalan. Harapan hidup dapat tergantung pada derajat pemburukan dan defisit pernapasan lanjut. Pada DMD, kematian biasanya terjadi pada usia belasan sampai awal dua puluhan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. HISTOANATOMI DAN FISIOLOGI OTOT SKELETAL Sarkolema merupakan membran sel serabut otot. Sarkolema terdiri dari membran plasma dan sebuah lapisan luar yang terdiri dari satu lapisan tipis materi polisakarida yang mengandung fibril kolagen tipis. Di setiap ujung serabut otot, lapisan permukaan sarkolema ini bersatu dengan serabut tendon, berkumpul membentuk tendon otot. [9] Setiap serabut otot terdiri dari ribuan miofibril. Setiap miofibril terdiri 1500 filamen miosin dan 3000 filamen aktin, yakni molekul protein polimer besar yang mengatur kontraksi otot. [9] Filamen Aktin terdiri dari tiga komponen protein: aktin, troponin, dan tropomiosin. Kerangka filamen aktin merupakan suatu molekul protein Faktin untai ganda. Kedua untai membentuk heliks. Setiap untai heliks F-aktin ganda terdiri dari molekul G-aktin terpolimerisasi, dengan berat 42.000. setiap molekul G-aktin melekat satu molekul ADP. [9] Miosin terdiri dari enam rantai polipeptida-dua rantai berat dengan berat 200.000 dan empat rantai ringan dengan berat 20.000. dua rantai membentuk heliks ganda yang disebut ekor miosin. Salah satu ujungnya melipat secara bilateral ke dalam struktur polipeptida globuler yang disebut kepala miosin. Rantai ringan membantu mengatur fungsi kepala selama kontraksi otot. [9] Mekanisme kontraksi otot terdiri dari beberapa tahapan [9]:

1. Otak merangsang neurotransmiter untuk mensekresikan asetil kolin. 2. Asetil kolin lalu membebaskan ion Ca dari lepuh-lepuh samping retikulum sarkoplasma ke filamen aktin dan filamen miosin. 3. Ca kemudian mengikat troponin dan tropomiosin yang merupakan penghambat penarikan antara filamen aktin dan filamen miosin. 4. Terjadi pemendekan, yaitu filamen aktin bergeser ke arah filamen miosin dan garis-garis Z saling mendekati. 5. Terbentuklah aktomiosin, yaitu pertautan antara filamen aktin dan filamen miosin. 6. Otot kontraksi.

Mekanisme relaksasi otot terdiri dari beberapa tahapan [9]: 1. Pembebasan troponin dan tropomiosin dari ikatan Ca . 2. Ca yang tersebar di filamen aktin dan filamen miosin dipompa kembali masuk ke dalam retikulum sarkoplasma. 3. Terjadilah penghentian interaksi antara filamen aktin dan filamen miosin. 4. Aktomiosin lepas. 5. Otot relaksasi.

B. DEFINISI Duchenne muscular dystrophy adalah penyakit X-linked otot yang bersifat progresif akibat tidak terbentuknya protein distropin[1]. Penyakit ini mengenai anak laki-laki dan proses distrofi otot sudah dimulai sejak lahir, munculnya kelemahan berjalan pada awal dekade kedua, dan biasanya akan meninggal pada usia 20 tahun[2]. Pada DMD terdapat kelainan genetik yang terletak pada kromosom X, lokus Xp21.22-4 yang bertanggung jawab terhadap pembentukan protein distrofin.[3]

Distrofin merupakan protein yang sangat panjang dengan berat molekul 427 kDa dan terdiri dari 3685 asam amino. Distrofin merupakan suatu protein yang mempertahankan integritas otot. Distrofin bersama dengan beberapa protein lain yaitu dystrophin associated protein (DAPs), yang meliputi sarcoglycan, dystroglycan, dan syntrophin memberikan stabilitas terhadap membran sel otot secara fisik dan fisiologis.[11]

Pada tahun 1884 untuk pertama kali memakai istilah dystrophia muscularis progressiva. Pada tahun 1855, Duchenne memberikan deskripsi lebih lengkap mengenai atrofi muskular progresif pada anak-anak.Becker mendeskripsikan penyakit muscular dystrophy yang dapat diturunkan secara autosomal resesif, autosomal dominant atau X-linked resesif. Hoffman et al menjelaskan bahwa kelainan protein distrofin merupakan penyebab utama DMD. [1]

C. EPIDEMIOLOGI Insidensi penyakit itu relatif jarang, hanya sebesar satu dari 3500 kelahiran bayi laki-laki. Penyakit tersebut diturunkan melalui X-linked resesif, dan hanya mengenai pria, sedangkan perempuan hanya sebagai karier. [2] Pada wanita mutasinya harus terdapat pada kedua kopi dari gen untuk menyebabkan gangguan ini (pengecualian yang jarang, pada karier yang menunjukkan gejala, bisa terjadi karena kompensasi dosis/inaktivasi X). Pada pria jauh lebih sering menderita penyakit terkait X resesif dibandingkan wanita. [1] Secara klinis, gangguan akibat Duchenne muscular dysthropy mulai tampak pada usia 3-7 tahun, yakni lordosis, gaya berjalan waddling, dan tanda Gowers. Manifestasi klinis berupa pseudohypertrophy muncul 1-2 tahun kemudian. Kebanyakan pasien harus memakai kursi roda pada usia 12 tahun. [13]

D. ETIOLOGI Pada DMD terdapat kelainan genetik yang terletak pada kromosom X, lokus Xp21.22-4 yang bertanggung jawab terhadap pembentukan protein distrofin. Perubahan patologi pada otot yang mengalami distrofi terjadi secara primer dan bukan disebabkan oleh penyakit sekunder akibat kelainan sistem saraf pusat atau saraf perifer. [1] Duchenne muscular dystrophy disebabkan adanya mutasi pada gen yang bertanggung jawab dalam mengkodekan distrofin. Mutasi yang terjadi mengakibatkan hilangnya protein distrofin, baik berupa delesi, duplikasi maupun mutasi pergeseran yang menimbulkan hilangnya protein otot yang besar dan dikaitkan dengan fenotif umum yang terlihat pada penderita Duchenne muscular dystrophy. Analisis lokasi delesi menunjukkan bahwa daerah amino-terminal, cysteine-rich, dan daerah carboxy-terminal

merupakan bagian utama dari fungsi distrofin yang sering mengalami gangguan. [10]

E. PATOGENESIS DMD merupakan kelainan yang diturunkan, dan masing-masing MD mengikuti pola pewarisan yang berbeda. Tipe yang paling dikenal, Duchenne muscular dystrophy (DMD), diwariskan dengan pola terkait X resesif, yang berarti bahwa gen yang bermutasi yang menyebabkan penyakit ini terletak pada kromosom X, dan oleh karenanya terkait seks. Pada pria satu salinan yang berubah dari gen ini pada masing-masing sel sudah cukup untuk menyebabkan kelainan ini.
[7]

Pada wanita mutasinya harus terdapat pada

kedua kopi dari gen untuk menyebabkan gangguan ini (pengecualian yang

jarang, pada karier yang menunjukkan gejala, bisa terjadi karena kompensasi dosis/inaktivasi X). Pada pria oleh karenanya terkena penyakit terkait X resesif jauh lebih sering dibandingkan wanita. [1]

Penyebab utama proses degeneratif pada DMD kebanyakan akibat delesi pada segmen gen yang bertanggung jawab terhadap pembentukan protein distrofin pada membran sel otot, sehingga menyebabkan ketiadaan protein tersebut dalam jaringan otot. [4] Distrofin merupakan bagian struktural utama dalam otot sebagai penghubung antara sitoskeleton dan matriks ekstraseluler. Amino-terminus dari distrofin berikatan dengan F-actin dan karboksil terminus berikatan dengan dystrophin-associated protein complex (DAPC) pada sarkolemma. DAPC terdiri dari distroglikan, sarkoglikan, integrin and caveolin, sehingga mutasi pada komponen-komponen tersebut menyebabkan distrofi otot.
[3]

DAPC menjadi tidak stabil saat tidak ada distrofin, yang menyebabkan penyusutan jumlah protein. Selanjutnya hal ini akan merusak serat dan membran otot secara progresif. [7]

F. PATOFISIOLOGI Suatu ciri khas dari pewarisan terkait X adalah ayah tidak dapat mewariskan sifat terkait X pada anak laki-laki meraka. Pada sekitar duapertiga kasus DMD, pria yang terkena penyakit mewarisi mutasinya dari ibu yang membawa satu salinan gen DMD. Sepertiga yang lain mungkin diakibatkan karena mutasi baru pada gen ini. Perempuan yang memberi satu salinan dari satu mutasi DMD mungkin memiliki tanda dan gejala terkait kondisi ini (seperti kelemahan otot dan kramp), namun biasanya lebih ringan dari tanda dan gejala pada pria. Duchenne muscular dystrophy dan Becker's muscular dystrophy disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein dystrophin dan menyebabkan suatu kelebihan pada enzim creatine kinase. [7]

Protein distrofin dikodekan oleh sejumlah gen yang terdiri dari 79 ekson dan 8 promoter yang diekspresikan pada otot polos, otot jantung, otot lurik dan sedikit pada otak. Distrofin berperan dalam stabilitas struktural miofibril. Tanpa distrofin, otot akan mudah mengalami trauma mekanis dan degenerasi karena kemampuan regeneratif mengalami inaktivasi. [4]

Infiltrasi sel inflamasi pada serat otot yang mengalami degenerasi pada DMD tampak pada biopsi otot. Sebagai penyakit yang progresif, kematian serat otot diakibatkan oleh makrofag dan penggantian jaringan otot oleh lemak. [8] Gangguan fungsi distrofin menyebabkan sarkolemma otot menjadi kurang stabil. Ketidakstabilan ini menyebabkan kerusakan otot, nekrosis, dan fibrosis. Ketiadaan distrofin akan bermanifestasi pada masalah fisiologis otot berupa kesulitan gerak secara progresif akibat adanya fragilitas membran miofibril, sehingga terjadi siklus degenerasi dan disertai hilangnya potensi regenerasi.[4] Pada kelainan ini terlihat pseudohipertropi pada betis dan pantat, dimana penderitanya semua dari golongan umur kanak- kanak. Dalam 10-12 regenerasi kronis yang

tahun penderita tidak dapat bergerak lagi dan hidupnya terpaksa di tempat tidur atau di kursi roda. Pada tahap terminal ini seluruh otot skeletal sudah atrofik. [5] Penderita DMD pada umumnya meninggal karena kegagalan dalam pernapasan, biasanya pada akhir usia belasan tahun atau awal dua puluh. Banyak anak-anak lelaki mempunyai elektrokardiogram abnormal pada usia 18 tahun. [7]

G. GEJALA DAN TANDA Pada Duchenne muscular dystrophy, otot fleksor leher, otot ekstensor pinggang, otot ekstensor panggul, otot quadrisep, otot tibialis anterior, otot biseps, dan otot triseps lebih banyak mengalami gangguan dibandingkan otot extensor leher, otot flexor panggung, otot deltoid, otot hamstring, otot gastroknemii, dan otot solei. [8] Refleks tendon dalam, yang muncul pada kerusakan serat otot yang berlangsung paralel, mulanya berkurang secara perlahan terus berlanjut sampai hilang. Pada umumnya, perbesaran otot memberikan gambaran terjadinya peningkatan kekuatan otot. Namun kenyataannya, pada penyakit DMD terjadi perbesaran gelendong otot disebabkan oleh infiltrasi lemak dan fibrotik pada otot yang mengalami degenerasi, yang disebut pseudoatrofi.
[]

Kadang-kadang, pseudoatrofi tampak pada otot lengan dan otot lidah. Bagaimanapun, penjelasan lain menyatakan bahwa pseudohipertrofi

merupakan hasil mekanisme kompensasi dari kelemahan otot. [12] Gejala dan tanda pada penyakit DMD berdasarkan tahapan perjalanan penyakit sebagai berikut. [12]

1. Tahap 1 Presimptomatik

a. Kreatine kinase biasanya meningkat. b. Riwayat keluarga biasanya positif. 2. Tahap 2 Fase awal berjalan

a. Waddling gait, muncul pada anak usia 2-6 tahun; sering pada gejala klinis pertama pasien Duchenne muscular dystrophy. b. Kelemahan progresif terjadi pada otot-otot proximal, terutama ekstremitas bawah, tetapi selanjutnnya naik ke otot flexor leher, bahu dan lengan. c. Karena kelemahan otot punggung proximal dan otot ekstremitas, orangtua sering mengatakan bahwa anak laki-lakinya menekan lututnya sebagai usaha untuk berdiri; dikenal sebagai tanda Gowers. 3. Tahap 3 Fase akhir berjalan a. b. Lebih sulit berjalan. Sekitar usia 8 tahun, kebanyakan pasien memperlihatkan kesulitan menaiki tangga dan kelemahan otot respirasi. Kelemahan ini berlangsung lambat, tetapi pasti. c. d. Tidak dapat bangkit dari lantai. Terjadi hipoksia nokturnal seperti letargi dan sakit kepala di pagi hari. 4. Tahap 4 Fase awal tidak mampu berjalan a. Dapat bergerak sendiri untuk beberapa waktu

b. c.

Masih dapat mempertahankan postur tubuh Perkembangan skoliosis

5. Tahap 5 Fase akhir tidak mampu berjalan

a.

Skoliosis berlangsung progresif, sehingga menjadi bergantung pada kursi roda.

b.

Jika kursi roda tidak mampu menolong lagi, gejala berkembang ke arah respirasi terminal atau gagal jantung, biasanya terjadi pada usia dua puluhan; gizi buruk dapat juga menjadi komplikasi serius pada seseorang dengan DMD tahap akhir yang berat.

c.

Terbentuk kontraktur otot.

Kadang-kadang terjadi peningkatam enzim fungsi hati (AST, ALT), dan pada beberapa kasus, kadar serum kreatine kinase dan gamma-glutamyl transferase (GGT) mesti diteliti lebih awal dibanding biopsi hati. [7] Kebanyakan anak-anak yang mengalami distrofinopati memiliki IQ < 1 standar deviasi dibanding populasi umum. Keterampilan intelektual yang rendah seperti bidang kognitif (gangguan kemampuan diferensiasi, gangguan

hiperaktif dengan pengurangan atensi (ADHD), gangguan obsesi-konvulsif, mental retardasi), tampak pada 30% pasien dengan distrofinopati. Anak-anak yang menderita DMD mengalami gangguan dalam keterampilan berbicara dan berpeluang mengalami gangguan proses kompleks informasi verbal. [12]

Secara umum, gejala-gejala yang dapat ditemukan pada DMD adalah sebagai berikut [4]:

1. Kelemahan otot yang progresif bahkan dapat terjadi kehilangan masa otot. 2. Gangguan keseimbangan. 3. Mudah merasa lelah 4. Kesulitan dalam aktivitas motorik 5. Peningkatan lumbal lordosis yang berakibat pada pemendekan otot panggul 6. Sering jatuh 7. Kesulitan berjalan, cara berjalan yang aneh 8. Waddling Gait 9. Deformitas jaringan ikat otot 10. pseudohipertrophy ( mengalami pembesaran pada lidah dan betis), dimana terjadi pengisisan oleh jar ikat dan jaringan lemak. 11. Mengalami kesulitan belajar 12. Jangkauan gerak terbatas 13. Kontraktur otot (biasanya pada tendon Achilles dan kerusakan otot hamstring) karena serat otot memendek dan mengalami fibrosis yang muncul pada jaringan ikat.

14. Gangguan respirasi 15. Ptosis 16. Atrofi Gonad 17. Scoliosis 18. Beberapa jenis MD dapat menyerang jantung, menyebabkan

cardiomyopathy atau aritmia

H. DIAGNOSIS BANDING 1. Congenital Muscular Dystrophy (CDM) CMD merupakan penyakit autosomal resesif yang menyebabkan kelemahan berat pada bagian proksimal tubuh, sejak kelahiran (atau kurang dari 12 bulan) yang berjalan tidak progresif. Kontraktur merupakan tanda umum dan CNS abnormal dapat terjadi. [14] Biopsi otot menunjukkan tanda distrofi, termasuk peningkatan dalam endomysial dan perimysial jaringan ikat; ukuran serat kecil dan imatur. [6] 2. Congenital Myopathies (CM) CM bercirikan onset sejak awal kehidupan dengan kondisi hipotonia, hiporefleksia, kelemahan umum yang lebih sering mengenai bagian otot proksimal dan curah otot yang buruk. Sering disertai dismorfik akibat kelemahan. Relatif tidak progressif. [14] Hipotonia merupakan tanda utama CM, dengan klinis

ketertinggalan; lemah dalam memfleksikan pinggung, luut dan siku; external rotasi pinggul; kelemahan pada wajah, lengan dan otot aksial; dan penurunan masa otot. [6]

3. Polymyositis Polymyositis merupakan miopati inflamasi idiopati yang

menyebabkan kelemahan otot proksimal yang simetris; peningkatan kadar enzim otot lurik dan gambaran electromyography (EMG) yang khas. Umumnya ditemukan pada pria dewasa. [14] 4. Emery-Dreifuss Muscular Dystrophy Klinis berupa kelemahan otot yang berjalan lambat dan mengikis distribusi scapulohumeroperoneal. Kontraktur dini pada siku, mata kaki dan leher belakang. Terjadi defek konduksi kardiak dan/atau

kardiomiopati. Onset biasanya muncul pada usia remaja,

tetapi pada

beberapa kondisi dapat terjadi pada neonatus dan bahkan dekade ketiga. Kelemahan yang muncul pada otot peronela dengan gaya berjalan toewalking. [14] 5. Facioscapulohumeral Dystrophy (FD) Klinis berupa kelemahan bahu. Wing-scapula merupakan tanda utama FD. Letak skapula lebih lateral dibandingkan normal. Skapula akan naik saat abduksi. Otot deltoid biasanya normal, dan kelemahan abduksi bahu terjadi akibat lemahnya fiksasi skapula. Kegagalan gerakan menyerong naik pada aksila anterior akibat kelemahan otot pektoralis mayor. [6] 6. Limb-Girdle Muscular Dystrophy Onset muncul pada usia dewasa, berupa atropi otot yang berjalan lambat dengan kelemahan pada distribusi limb-girdle, yang disertai keterlibatan faring dalam memimpin terciptanya pembicaraan nasal. Tidak

terbentuk kontraktur otot, hipertrofi otot, dan gangguan jantung. Creatine kinase (CK) dalam batas normal. [6] Kelainan ini merupakan autosomal dominan. Protein yang terlibat berupa myotilin, yang berkaitan dengan sarkomer. Lokus gen terletak pada 5q31. [14]

I.

DIAGNOSIS Diagnosis dari DMD didasarkan terutama pada hasil biopsi otot. Dalam beberapa kasus, suatu tes darah DNA mungkin cukup membantu. Pemeriksaan lainnya yang dapat membantu antara lain, peningkatan kadar CK serum dan pemeriksaan elektromyografi, yang konsisten dengan keterlibatan miogenik. [13] Seringkali, terdapat kehilangan jaringan otot, yang sulit untuk dilihat karena pada DMD menyebabkan penumpukan jaringan lemak dan jaringan ikat yang membuat otot tampak lebih besar. Ini disebut dengan pseudohipertrofi. [6] Tanda dan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis DMD adalah sebagai berikut [3,4] : 1. Positif Gower Sign menunjukkan banyaknya kerusakan yang lebih pada otot- otot di ekstremitas bawah. Gowers sign adalah suatu gerakan tubuh saatpasien berusaha berdiri akibat proses degenerasi otot skeletal yang berjalan secara progresif sehinga menyebabkan kelemahan otot. Pasien memulai untuk berdiri dengan cara kedua lengan dan kedua lutut menyangga badan (prone position), kemudian kedua lutut diluruskan (bear position), selanjutnya tubuh ditegakkan dengan bantuan kedua lengan

yang berpegangan pada ke dua lutut dan paha untuk kemudian berdiri tegak (upright position). 2. Creatin Kinase ( CPK MM ), dimana kadar keratin kinase pada aliran darah tinggi. Akibat ketiadaan distropin pada pasien DMD, terjadi gangguan permeabilitas membran sel otot (sarkolemma), sehingga terjadi kebocoran enzim kreatinin fosfokinase (CPK) yang menyebabkan kadar CPK dalam serum menjadi sangat tinggi. 3. EMG (elektromyografi) menunjukkan kelemahan yang disebabkan oleh kerusakan pada jaringan otot dibandingkan pada sel syarafnya. Hasil EMG sesuai dengan kelainan miopati, yaitu terlihat peningkatan frekuensi, penurunan amplitudo dan penurunan aksi potensial motorik, sedangkan kecepatan hantar saraf adalah normal. DMD merupakan suatu kelainan miopati. 4. Genetic Testing, dapat menampilkan bahwa kerusakan genetik pada gen Xp21. 5. Biopsy otot (imunohistokimia atau imunobloting), atau bisa juga pemeriksaan genetik dengan tes darah untuk mengkonfirmasi keberadaan distropin. Terjadi degenerasi otot, tampak internal nuclei bertambah dan jaringan ikat perimisium dan endomisium meningkat. Pada pasien DMD terjadi proses degenerasi serabut otot yang digantikan oleh jaringan fibrofatty akibat ketiadaan distrofin. J. TERAPI Pemberian kortikosteroid, seperti prednisolon pada pasien DMD dapat mempertahankan fungsi dan kekuatan otot, serta memperlambat

proses

degenerasi

penyakit.

Mekanisme

kortikosteroid

dalam

memperlambat proses degenerasi otot masih belum jelas. Efek samping pemberian kortikosteroid adalah peningkatan berat badan, retardasi pertumbuhan, hirsutisme dan osteoporosis. [7] Latihan fisik berupa fisioterapi dan pemakaian alat bantu dapat diberikan. Untuk mencegah kontraktur plantar fleksi yang berpengaruh pada keseimbangan dan cara berjalan, dapat diberikan latihan stretching heel-cord dan pemakaian ankle foot orthosis (AFO) pada waktu malam. Tetapi pemakaian alat ortosis atau stretching tidak dapat mencegah terjadinya kontraktur. Ketika kontraktur tendo achilles bertambah berat dan

mempengaruhi ambulasi, maka dapat dilakukan lengthening tendon achilles.


[4]

Pemakaian knee ankle foot orthosis (KAFO) digunakan saat otot quadriceps mulai lemah yang disertai berkembangnya fleksi kontraktur lutut sehingga membantu pasien untuk dapat berdiri dan berjalan. Alat tersebut dapat digunakan pada pasien dengan knee flexion contracture <30. Pada fleksi kontraktur lutut yang melebihi 30 sampai 40, tindakan pembedahan tidak bermanfaat karena tidak akan tercapai koreksi fungsional yang berarti.[] Pada pasien DMD biasanya terdapat hipotonia saluran cerna, yang menyebabkan pengosongan lambung menjadi sulit sehingga memerlukan pemasangan nasogastric tube untuk aspirasi cairan lambung. [1] Dengan berjalannya waktu, maka proses degenerasi otot skeletal terus berlangsung, sehingga pasien akan mengalami masalah multisistem. Fungsi

paru akan terus memburuk setelah fusi spinal karena proses distrofi progresif otot pernafasan, termasuk otot diafragma. Selain itu dapat terjadi gangguan fungsi jantung. Dalam hal ini latihan respirasi tidak memberikan keuntungan yang berarti. Bantuan ventilasi dengan menggunakan nasal mask pada malam hari dengan end-expiratory pressure akan membantu mencegah pneumonia dan dekompensasi pulmonal. Tanpa dukungan ventilator, pasien biasanya meninggal dalam usia 20 tahun. [7]

K. PROGNOSIS Prognosis dari DMD bervariasi tergantung dari progresivitas penyakitnya. Pada beberapa kasus dapat ringan dan memburuk sangat

lambat, dengan kehidupan normal, sedangkan pada kasus yang lain mungkin memiliki pemburukan kelemahan otot yang bermakna, disabilitas fungsional dan kehilangan kemampuan berjalan. Harapan hidup dapat tergantung pada derajat pemburukan dan defisit pernapasan lanjut. Pada DMD, kematian biasanya terjadi pada usia belasan sampai awal dua puluhan. [2]

BAB III PENUTUP

Duchenne muscular dystrophy merupakan penyakit kelainan distrofik yang diwariskan secara X-linked dan hanya mengenai laki-laki, sementara perempuan hanya sebagai pembawa sifat. Secara klinis pasien DMD tidak mampu berjalan pada usia sekitar 10 tahun. Tindakan pembedahan dan rehabilitasi, dapat membantu pasien untuk memperlama fungsi ambulasi serta memberikan rasa nyaman. Perlu pemberian informasi yang jelas dan konseling genetika mengenai perjalanan penyakit terhadap pasien dan keluarganya. Diagnosis DMD dapat ditegakkan dengan analisis DNA untuk mendeteksi delesi gen yang bertanggung jawab terhadap penyandian protein distrofin. Pemeriksaan immunohistokimia protein distrofin, juga dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis pasti. Penanganan pasien dengan DMD harus dilakukan secara multidisiplin.

DAFTAR PUSTAKA 1. Wedhanto S, U Siregar. Duchenne Muscular Dystrophy. Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 9, September 2007. 2. Tachjian MO. Clinical pediatric orthopedic the art of diagnosis and principles of management. Generalized affection of the muscular skeletal system. Stamfort, CT, Appleton & Lange; 1997.p.401-3. 3. Muntoni F, Torelli Silvia, Ferlini A. Dystrophin and mutations: one gene, several proteins, multiple phenotypes. Lancet Neurol 2003;2:731-40. 4. Sussman M. Duchenne Muscular Dystrophy. J Am Acad Orthop Surg 2002;10:138-51. 5. Mardjono M, S. Priguna. Neurologi Klinis Dasar. 2008: Jakarta. Dian Rakyat. 6. Annonymous. Muscular Dystrophy Types. (Online) 2008. (http://www.news-medical.net/health/Muscular-Dystrophy-Types.aspx, diunduh 10 Agustus 2012). 7. Nowak K. J., K. E.Davies. Duchenne muscular dystrophy and dystrophin: pathogenesis and opportunities for treatment. Third in Molecular Medicine Review Series. EMBO reports Vol 5;No 9: 2004. 8. Bradley W. G., R. B. Daroff, G.M. Fenichel. Neurology in Clinical Practice. Fourth Edition. 2004: Pennsylvania. El Sevier Inc. 9. Guyton A. C., J.E Hall. Fisiologi Kedokteran. 2008: Jakarta. EGC 10. Ervasti JM, Campbell KP. Membrane organization of the dystrophinglycoprotein complex. Cell. Sep 20 1991;66(6):1121-31. 11. Ozawa E, Noguchi S, Mizuno Y, et al. From dystrophinopathy to sarcoglycanopathy: evolution of a concept of muscular dystrophy. Muscle Nerve. Apr 1998;21(4):421-38. 12. Darke J, Bushby K, Le Couteur A, McConachie H. Survey of behaviour problems in children with neuromuscular diseases. Eur J Paediatr Neurol. May 2006;10(3):129-34.
13. Mendell JR, Shilling C, Leslie ND et al. Evidence based path to newborn

screening for Duchenne 2012;71:304313.

Muscular

Dystrophy.

Ann

Neurology.
2012

14. Annonymous. Duchenne Muscular Dystrophy (http://emedicine.medscape.com/, diunduh 10 Agustus 2012)

(online)

Das könnte Ihnen auch gefallen