Sie sind auf Seite 1von 21

Keteraturan dan Perubahan: Perbandingan Metodologi dan Teori Agama Emile Durkheim dan Karl Marx Oleh: Okky

Madasari

Pendahuluan Emile Durkheim (1858-1917) dan Karl Marx (1818-1883) merupakan peletak dasardasar teori strukturalisme dalam Sosiologi. Keduanya memfokuskan unit analisis pada struktur masyarakat dan tidak berbicara dalam konteks individu. Durkheim dan Marx samasama melihat struktur masyarakat yang membentuk dan mempengaruhi individu, bukan sebaliknya. Di luar kesamaan ini, Durkheim dan Marx memiliki pemikiran-pemikiran yang bertolak belakang. Makalah ini akan mengulas pemikiran Durkheim dan Marx serta membandingkan pemikiran keduanya khususnya dalam dua hal. Pertama dalam hal metodologi, kedua dalam pemikiran tentang agama. I. METODOLOGI

Emile Durkheim dan Positivisme Emile Durkheim sejak awal melihat penelitian dalam ilmu sosiologi seharusnya memiliki disiplin yang serupa dengan penelitian ilmu alam. Penelitian sosiologi harus berdasarkan fakta-fakta obyektif dan bukan sekedar asumsi, opini, atau spekulasi. Pemikiranpemikiran Durkheim tentang metodologi dituangkan dalam bukunya The Rules of

Sociological Method (1895/1966). Buku ini merupakan buku kunci untuk penelitian sosial yang menggunakan pendekatan positivisme (Neuman, 2003: 71).1 Menurut Durkheim, untuk bisa menghasilkan penelitian sosial yang serupa ilmu alam, terlebih dulu harus dibuat rumusan apa saja obyek yang bisa diteliti dalam penelitian sosial. Untuk ini, Durkheim membuat definisinya tentang fakta sosial (social fact). Pertama-tama, fakta sosial haruslah diperlakukan sebagai benda mati. The first and most fundamental rule is: Consider social facts as things (Emile Durkheim, The Rules of Sociological Method, 1895/1966: 14) Dengan memperlakukan sebagai benda mati, fakta sosial akan menjadi obyek yang bisa diamati, diukur, dan dibandingkan. Meski demikian, tidak setiap gejala sosial adalah fakta sosial yang bisa dijadikan obyek dalam penelitian sosiologi. Suatu gejala sosial bisa menjadi fakta sosial dan menjadi obyek penelitian sosiologi jika memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat pertama adalah terjadi di luar individu (Durkheim, 1966: 3). Durkheim menyebut fakta sosial bisa berupa aturan, norma, gejala, atau perilaku yang berada di luar individu. Artinya, fakta sosial bukanlah sesuatu yang berupa pikiran atau kondisi kejiwaan dari individu. Meski demikian, tidak serta merta setiap fenomena sosial yang terjadi di luar individu adalah fakta sosial. Durkheim merumuskan syarat kedua fakta sosial yakni harus bersifat umum (Durkheim, 1966: 7). Bersifat umum di sini artinya, fenomena tersebut tidak

Emile Durkheim bukanlah orang pertama yang memperkenalkan positivisme dalam penelitian sosiologi. Sebelum Durkheim, Auguste Comte yang juga dikenal sebagai Bapak Sosiologi sudah lebih dulu memperkenalkan pendekatakn positivisme melalui karyanya The Course of Positive Philosophy (Neuman, 2003: 71). Meski demikian, Durkheim yang meletakkan dasar-dasar penelitian empiris dalam metodologinya. Melalui empirisme, Durkheim mengoreksi Comte dan Hebert Spencer yang hanya mendasarkan pemikiran mereka dari perenungan filsafat (Ritzer, 1996: 77).

hanya terjadi pada satu atau dua individu saja. Gejala sosial baru bisa disebut fakta sosial jika telah menjadi fenomena umum yang terjadi dalam masyarakat tertentu. Pemikir Sosiologi yang menulis buku Emile Durkheim: His Life and Work, Steven Lukes, memilah fakta sosial yang terjadi di luar individu dalam dua kelompok, material dan non material (Ritzer, 1996: 79). Fakta sosial yang sifatnya material antara lain masyarakat, komponen dari struktur masyarakat seperti agama dan negara, komponen morfologi dalam masyarakat, seperti penyebaran populasi, dan perjanjian rumah tangga. Sementara fakta sosial yag sifatnya non material adalah moral, kesadaran kolektif, perwakilan kolektif, dan arus sosial (social currents). Dalam satu penelitiannya yang terkemuka tentang bunuh diri (Suicide, 1897/1951), Durkheim melihat bunuh diri sebagai fakta sosial yang terjadi pada umat Katolik dan Protestan karena terjadi tidak hanya pada satu atau dua individu tapi pada banyak individu. Bunuh diri merupakan gejala sosial yang bersifat umum baik di kalangan Katolik maupun Protestan. Melalui penelitiannya, Durkheim terlebih dahulu mengukur lebih tinggi mana tingkat bunuh diri antara umat Katolik dan Protestan. Setelah mengetahui bahwa tingkat bunuh diri di kalangan Protestan lebih tinggi daripada Katolik, penelitian dilanjutkan dengan mencari tahu mengapa bunuh diri di kalangan Protestan lebih tinggi daripada kalangan Katolik. Jelaslah di sini, Durkheim tidak mengamati pelaku bunuh diri sebagai individu, melainkan sebagai bagian dari sistem sosial dalam hal ini agama. Individu hanyalah akibat dari struktur dan sistem masyarakat. Melalui penelitian Durkheim tentang bunuh diri diketahui bahwa tingkat bunuh diri dalam umat Protestan lebih tinggi daripada umat Katolik karena rendahnya solidaritas sosial dalam masyarakat Protestan. Dari sini terlihat bagaimana fakta sosial memiliki sifat membatasi atau memaksa individu (Durkheim, 1966: 4). Individu tidak memiliki kemampuan untuk melawan gejala

sosial yang bersifat umum ini. Bahkan, kebanyakan individu tidak merasa hal ini adalah batasan atau sesuatu yang memaksa karena mereka menganggapnya sebagai hal yang wajar. Individu baru merasakannya ketika ia mencoba melawan batasan ini. Dari teorinya tentang fakta sosial dan bagaimana ia meneliti tingkat bunuh diri, jelaslah Durkheim seorang empiris. Ini sejalan dengan keinginan Durkheim agar sosiologi menggunakan dasar-dasar penelitian seketat ilmu alam dengan meneliti obyek konkret yang bisa dilihat, diukur, dan dibandingkan. Prinsip empirisme yang membedakan Durkheim dengan Auguste Comte dan Herbert Spencer yang lebih dulu mengenalkan positivisme (Neuman, 2003: 71). Dengan empirisme, Durkheim telah menarik garis tegas yang memisahkan sosiologi dan filsafat. Batasannya tentang fakta sosial juga telah memisahkan sosiologi dari psikologi yang menjadikan hal-hal internal di dalam individu sebagai obyek penelitiannya. By defining a social fact as a thing that is external to, and coercive of,the actor, Durkheim seems to have done a reasonably good job (at least for that historical era) of attaining his objective of separating sociology from both philosophy and psychology. (George Ritzer, Sociological Theory, 1996: 77) Sebagai penganut positivisme, Durkheim menggunakan prinsip nomothetic dalam menjelaskan suatu gejala sosial. Nomothetic bisa diartikan sebagai upaya menjelaskan gejala sosial dengan hukum sebab akibat yang sifatnya umum (Neuman, 2003: 73). Itu artinya, setiap penelitian sosiologi yang menggunakan pendekatan positivisme merupakan penelitian deduksi yang menggunakan dasar teori pada awal penelitian, lalu membuktikan secara

empiris, dan menghasilkan kesimpulan yang sifatnya generalisasi. Meski sifatnya generalisasi, Durkheim tetap percaya sebuah penelitian sosiologi yang ketat mengikuti
4

rumusan-rumusan fakta sosial dan berdasarkan penelitian empiris tetap memiliki validitas tinggi, sebagaimana ilmu alam. Dan validitas tersebut hanya bisa dihasilkan jika peneliti bersikap obyektif, berjarak, dan bebas nilai. Karl Marx dan Materalisme Dialektika Berbeda dengan Emile Durkheim yang membuat pondasi metodologi positivisme dalam sosiologi, metodologi Karl Marx menjadi dasar lahirnya metodologi alternatif yakni pendekatan kritis (critical). Pendekatan kritis berorientasi pada aksi yang bertujuan untuk mengubah tatanan masyarakat (Neuman, 2003: 81). The critical approach uses praxis to separate good from bad theory. It puts the theory into practice and uses the outcome of applications to reformulate theory. Praxis means that explanations are valued when they help people really understand the world and to take action that changes it (W. Lawrence Neuman, Social Research Methods, 2003: 85) Metodologi Marx berangkat dari kritiknya pada konsep dialektika Hegel. Jika Hegel mendasarkan dialektikanya pada gagasan, Marx menggunakan konsep dialektika pada hal-hal yang sifatnya material atau nyata (Ritzer, 1996: 44). Konsep Materialisme Marx melawan aliran pemikiran idealisme yang dominan dalam pemikiran filsafat saat itu. Aliran idealisme melihat kesadaran dan gagasan sebagai pangkal yang mempengaruhi dan menyebabkan tindakan individu sekaligus membentuk realita sosial. Sementara bagi Marx, dunia dan realita sosial tidak berawal dari gagasan yang ada dalam kepala individu, melainkan dari hal-hal nyata, dari sesuatu yang sifatnya material (bisa dilihat, bisa diamati, bisa dialami). Kesadaran dan tindakan individu tidak lahir dari apa yang ada dalam pikirannya, melainkan lahir dari apa yang dialami langsung setiap hari.
5

It is not the consciousness of men that determines their being, but, on the contrary, their social being that determines their consciousness (Karl Marx, On Society and Social Change, 1973: 5)

Hal nyata yang bersifat materi dan dialami langsung setiap hari itu tidak lain adalah upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Dalam upaya pemenuhan kebutuhan, kemampuan produksi merupakan hal dasar yang harus dikuasai. Penguasaan faktor produksi menjadi masalah dasar dalam upaya pemenuhan kebutuhan tersebut. Kenyataannya faktor produksi hanya dikuasai oleh kelas borjuis atau kelas kapitalis. The social history of men is never anything but the history of their individual development, whether they are conscious of it or not. (Karl Marx, On Society and Social Change, 1973: 4) The bourgeois relations of production are the last antagonistic form of the social process of production at the same time the productive forces developing in the womb of bourgeois society create the material conditions for the solution of the antagonism. (Karl Marx, On Society and Social Change, 1973: 6) Dialektika diartikan sebagai kondisi penuh paradoks atau kontradiksi yang membawa pada perubahan (Neuman, 2003: 82). Mengacu pada konsep Hegel, dialektika adalah perjalanan sejarah manusia yang terbangun atas tiga bagian yang disebut sebagai tesis (thesis), antitesis (antithesis), dan sintesis (synthesis). Tesis merupakan persoalan yang ada. Antitesis adalah tanggapan kritis dari persoalan tersebut. Tesis dan antitesis adalah kondisi yang saling berlawanan, yang kemudian menghasilkan perubahan berupa sintesis. Sementara

sintesis merupakan kondisi baru yang tercapai setelah tesis mengoreksi antitesis. Dialektika melihat keberadaan masyarakat sebagai proses yang terus bergerak dan penuh perubahan. Konsep dialektika sangat berbeda dengan metodologi sosiologi lainnya, terutama positivisme yang dibangun Durkheim. Pertama, dialektika tidak melihat realita sosial sebagai gejala satu arah atau hubungan sebab akibat. Kedua, dialektika tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai ideologi Marx. Sementara, sebagian sebagian besar sosiolog terlebih penganut positivisme berpendapat bahwa nilai-nilai ideologi dari peneliti harus dipisahkan dari sebuah penelitian (Ritzer, 1996: 44). The dialectical thinker believes that it is not only impossible to keep values out of the study of the social world but also undesirable because is produces a dispassionate, inhuman sociology that has little to offer to people in search of answers to the problems they confront. (George Ritzer, Sociological Theory, 1996: 44-45) Metodologi materialisme dialektika tidak bisa dilepaskan dari nilai dan ideologi yang dianut Marx. Dari penjelasan sebelumnya tentang konsep materialisme, jelas bahwa realita yang ada dalam masyarakat saat ini adalah dikuasainya faktor produksi di tangan borjuis. Maka dialektika bagi Marx adalah perjalanan untuk mengubah realita sosial tersebut. Dalam karyanya Capital (1867), Marx memaparkan bagaimana kelas borjuis melakukan eksploitasi pada kelas pekerja (proletar). Marx melahirkan beberapa teori, salah satunya mengenai surplus value yang menjelaskan bahwa seharusnya pekerja mendapatkan nilai melebihi dari upah yang mereka dapatkan (Marx, Capital vol I, 1976: 320-321). Teoriteori Marx merupakan kritik pada sistem kapitalisme yang ditandai keberadaan kelas borjuis sebagai penguasa faktor produksi. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Perubahan harus

dilakukan. Terbentuknya masyarakat tanpa kelas atau masyarakat komunis adalah tujuan perubahan itu. Metodologi Durkheim dan Marx: Antara Obyektivitas dan Nilai Ideologi Pada bagian pendahuluan makalah ini telah disebutkan bahwa Durkheim dan Marx memiliki unit analisis yang sama, yakni struktur dan sistem sosial (makro level). Keduanya tidak menjadikan individu (mikro level) sebagai unit analisis dan memandang bahwa apa yang terjadi pada individu merupakan akibat dari struktur sosial dalam masyarakat. Durkheim dan Marx adalah pemikir strukturalis yang menjadi dasar teori-teori strukturalisme dalam ilmu sosiologi. Dalam hal ini, pendekatan Durkheim dan Marx sangat berbeda dengan metodologi Max Weber yang melalui interaksionis simbolis menjadikan individu dan interaksi antar individu sebagai unit analisis. Di luar persamaan tersebut, dalam masing-masing uraian metodologi Durkheim dan Marx pada makalah ini, terlihat jelas bagaimana kedua metodologi memiliki perbedaan yang sangat besar, bahkan cenderung bertolak belakang. Masing-masing menawarkan kelebihan yang tidak dimiliki oleh metodologi lainnya. Positivisme Durkheim merupakan metodologi utama dalam penelitian sosiologi saat ini. Keunggulan metodologi Durkheim ada pada empirismenya dan obyektivitas dalam melakukan penelitian. Dengan demikian, hasil penellitian yang dihasilkan akan memiliki validitas tinggi yang tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi peneliti. Positivists argue for a value-free science that is objective. (W. Lawrence Neuman, Social Researchs Methods, 2003: 74)

Keunggulan lainnya adalah kemampuan menjelaskan gejala sosial secara generalisasi untuk kemudian menjadi sebuah kesimpulan atau teori yang berlaku umum. Metodologi ini berpandangan apa yang ada dalam realita sosial memiliki hubungan sebab akibat. Positivism assumes that the laws operate according to strict, logical reasoningThe laws of human behaviour should be universally valid, holding in all historical eras and all cultures. (W. Lawrence Neuman, Social Research Methods 2003: 73) Kepercayaan pada hubungan sebab akibat yang berlaku umum ini jugalah yang kemudian menjadi kelemahan terbesar metodologi ini. Durkheim melihat struktur masyarakat sebagai sebuah keteraturan (order) dan tetap harus dipertahankan keseimbangannya. Ia mengesampingkan kenyataan bahwa perubahan dalam masyarakat diperlukan, akan terus ada, sekuat apapun upaya untuk mencegahnya. Upaya untuk menghasilkan hukum sebab akibat yang berlaku universal juga mengabaikan faktor sejarah dan budaya yang berlaku pada satu masyarakat dan secara spesifik membentuk konteks sosial yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Kelemahan berikutnya dari metodologi ini adalah memandang manusia dan fakta sosial sebagai benda mati. Bagi positivis, manusia tidak ubahnya seperti robot atau wayang yang akan memberi reaksi sama atas apa yang ada di luar dirinya (Neuman, 2003: 72). Kenyataannya, manusia tetaplah manusia yang tidak bisa disamakan dengan benda. Durkheim juga melihat individu sebagai makhluk yang hanya mementingkan kesenangan individu, oleh karenanya harus diatur dengan sistem yang ada di luar dirinya (Neuman, 2003: 72). Ini juga yang menjadi ketidaksetujuan metodologi Marx pada positivisme yang dibangun Durkheim.

Bagi Marx, manusia sebenarnya memiliki potensi besar yang tidak disadari. Manusia adalah makhluk-makhluk yang kreatif dan memiliki kemampuan beradaptasi. Sistem masyarakat kapitalis lah yang membuat manusia terkungkung, dieksploitasi, kehilangan kemerdekaan dan kebebasan, serta tak lagi bisa mengontrol dirinya sendiri (Neuman, 2003: 83). Kelebihan utama metodologi Marx ada pada upayanya mengkritik dan mengubah struktur masyarakat untuk membebaskan manusia dari dominasi kelas borjuis. Metodologi ini berangkat dengan asumsi ada yang salah dalam struktur masyarakat dan perubahan adalah sebuah keharusan. Bandingkan dengan metodologi Durkheim yang cenderung anti-perubahan demi melindungi keteraturan dan keseimbangan. The critical researcher asks embrassing questions, exposes hypocrisy, and investigates conditions in order to encourage dramatic grass-roots action. (W. Lawrence Neuman, Social Research Methods 2003: 82) Asumsi dan tujuan yang dipegang sejak awal inilah yang menjadi kelemahan terbesar metodologi Marx. Pada bagian sebelumnya juga telah dipaparkan bagaimana penganut metodologi Marx melihat nilai dan ideologi sebagai hal yang tidak terpisahkan dari penelitian sosial. Bagi peneliti kritis, penelitian yang bebas nilai hanya akan membuat sosiologi menjadi tidak manusiawi dan tidak mampu memberi solusi atas permasalahan yang ada (Ritzer, 1996: 44-45). Metodologi yang bias nilai dan ideologi ini membuat Marx tidak bisa diterima sepenuhnya sebagai pemikir sosiologi (Ritzer, 1996: 43). Akan tetapi adakah pemikir yang bisa benar-benar bebas dari nilai dan ideologi? Durkheim yang mengagungkan obyektivitas pun sudah mendasarkan metodologi yang dibangunnya dari nilai yang ia anut: keyakinan

10

bahwa manusia cenderung mencari kesenangan individu dan karenanya dibutuhkan kekuatan di luar manusia untuk mengendalikan dan mengatur manusia tersebut (Neuman, 2003: 72). Bahkan bisa dikatakan tak ada satupun pemikir sosiologi yang bebas nilai. There is no such thing as a value-free sociological theory. In theorizing about social phenomena, sociologist find it impossible to be completely neutral, and this remains true whether or not they are willing to recognize it or to admit it. (George Ritzer, Sociological Theory, 1996: 43) Ideologi yang dibawa Marx penuh dengan nilai pembebasan manusia, perlawanan atas eksploitasi dan ketidakadilan. Metodologi dan teori-teori Marx memberi sumbangan besar bagi ilmu sosiologi, sehingga tidak perlu diragukan bahwa dia jugalah seorang pemikir sosiologi. Marx telah menempatkan metodologi sebagai upaya memperjuangkan

kemanusiaan. Perubahan adalah sebuah keniscayaan jika kondisi saat ini hanya menghadirkan penindasan dan ketidakadilan. Sangat berbeda dengan metodologi Durkheim yang melihat tatanan masyarakat sebagai hal yang harus dipertahankan dan dijaga

keseimbangannya demi menghindari kekacauan dan ketidak-teraturan.

II.

TEORI AGAMA Emile Durkheim dan Karl Marx menggunakan metodologi yang mereka bangun

dalam melihat realita sosial. Agama adalah salah satu realita sosial yang menjadi fokus pengamatan mereka.

11

Emile Durkheim: Agama dan Kesadaran Kolektif Pemikiran Durkheim tentang agama lahir setelah ia meneliti secara empiris kehidupan beragama suku Aborigin di Australia yang menganut Totemism. Penelitian Durkheim berpusat pada fakta sosial, yakni aktivitas religius kelompok tersebut. Hasil penelitian ditulis dalam buku The Elementary Forms of Religious Life (1912). Dalam buku tersebut, Durkheim Durkheim mendefinisikan agama adalah sebuah kesatuan kepercayaan dan tindakan-tindakan yang menyatukan individu dalam satu kesatuan kelompok moral. Jelaslah bagi Durkheim agama dihasilkan oleh masyarakat. A religion is a unified system of beliefs and practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and forbidden-beliefs and practices which unite into one single moral community (Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, 1912/1965: 62) Dari definisi tersebut terlihat bahwa agama bagi Durkheim adalah satu keyakinan kolektif atau berkelompok dalam masyarakat. Agama bukan sebuah keyakinan individu yang lepas dari individu lainnya. Keyakinan dalam agama membuat individu tunduk untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Inilah menurut Durkheim fungsi yang sebenarnya dari agama. Agama tidak berfungsi untuk membuat individu berpikir atau menambah pengetahuan individu. Fungsi agama adalah menjadi tuntunan bagaimana manusia bertindak dalam hidup. The real function of religion is not to make us think, to enrich our knowledge, it is to make us act, to aid us to live (Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, 1912/1965 : 463-464)

12

Karena bisa membuat individu melakukan atau tidak melakukan sesuatu, maka agama memiliki kekuatan untuk memaksa (forces). Bahkan Durkheim menyebut kekuatan untuk memaksa inilah yang menjadi asal usul agama (Durkheim, 1965: 234). Kekuatan agama untuk memaksa individu ini mewujud dalam kekuatan moral (moral forces) yang dipegang dan dijadikan pedoman bersama oleh individu-individu dalam kelompok agama tersebut. Kesadaran akan adanya moral bersama melahirkan rasa sebagai satu kesatuan dalam satu kelompok individu (collective sentiments). Perasaan sebagai satu kesatuan itu kemudian mendorong kelompok individu tersebut untuk bertindak bersama-sama sesuai tuntunan moral yang ada (collective effervescence). Dari sinilah terwujud kesadaran bersama bahwa masing-masing individu adalah bagian dari satu kelompok individu tersebut, yang bergerak bersama atas dasar moral yang sama (collective consciousness) (Durkheim, 1965: 473-474). Dalam penelitiannya tentang bunuh diri, Durkheim menemukan fakta bagaimana solidaritas yang ada dalam satu agama mempengaruhi keputusan seseorang untuk bunuh diri. Solidaritas terbentuk melalui pertemuan-pertemuan yang dilakukan bersama. Solidaritas dan moral merupakan komponen agama yang menjadikan agama sebagai kekuatan dahsyat untuk mengatur masyarakat (Durkheim, Suicide, 1951: 216). Karl Marx: Agama dan Kesadaran Palsu Berbeda dengan Durkheim yang melakukan penelitian tentang agama, Marx tidak pernah mempelajari agama secara detail. Pemikiran tentang agama banyak dipengaruhi filsuf dan teolog awal abad 19, terutama Ludwig Feuerbach (Giddens, 2009: 679). Ini tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Marx tentang materialisme yang melihat pemenuhan kebutuhan ekonomi adalah dasar dari struktur masyarakat. Agama, sebagai salah satu bentuk

13

budaya hanyalah imbas dari dasar materialisme yang oleh Marx disebut sebagai superstruktur (Ritzer, 1996: 68). Serupa dengan Feuerbach yang melihat agama sebagai produk manusia (Giddens, 2009: 679), Marx kembali menegaskan hal tersebut dalam bukunya On Religion (1955) dan tulisannya The Basis of Religion yang dimuat dalam buku On Society and Social Change (1973). Man makes religion; religion does not make man. (Karl Marx, On Society and Social Change, 1973:13) Feuerbach juga mengungkapkan bagaimana agama hanyalah membuat manusia teralienasi dari keberadaannya sebagai manusia demi keberadaan Tuhan (Giddens, 2009: 679). Menguatkan pendapat Feuerbach tersebut, Marx menyatakan bahwa agama hanyalah fantasi manusia dan pelarian atas realita yang dihadapi (Marx, 1973: 13). Agama hanyalah penghibur di dunia yang kejam, yang disebut Marx sebagai heart of a heartless world, dan karena itulah agama tak lebih dari sekedar candu bagi manusia (Marx, 1973: 14). Agama menjanjikan balasan dan kebahagiaan setelah mati. Segala ketidakadilan yang dialami selama hidup di dunia akan mendapat gantinya pada kehidupan selanjutnya. Dengan demikian, agama hanya membiarkan dan menjadi pembenar segala ketidakadilan yang terjadi di dunia (Giddens, 2009: 680). Bahkan, agama kerap menjadi pencipta dari penindasan dan ketidakadilan tersebut. Misalnya bagaimana agama Hindu memilki sistem kasta yang membeda-bedakan manusia berdasarkan tingkat sosial ekonominya. Hal yang sama juga terjadi di Islam, di mana terdapat konsep sedekah untuk membantu orang miskin. Itu artinya orang miskin akan terus dibiarkan ada dan hanya menjadi sasaran sedekah bagi orang yang tingkat ekonominya di atasnya.

14

Buaian agama dengan keyakinan akan kehidupan setelah mati dan doktrin yang menjadikan ketidakadilan sebagai takdir membuat manusia terus tunduk dan menerima penindasan kelas borjuis dalam sistem kapitalis. Inilah yang disebut Marx sebagai bentuk kesadaran palsu (false consciousness). False consciousness describes the situation throughout the capitalist epoch, whereas class consciousness is the condition that awaits the proletariat and that can help bring about the change from capitalist to communist society. (George Ritzer, Sociological Theory, 1996: 70) Fundamentalisme Agama: Perspektif Durkheim dan Marx Fundamentalisme agama khususnya fundamentalisme Islam menjadi fenomena global semenjak peristiwa pengeboman di Amerika Serikat 11 September 2001. Indonesia sebagai negara dengan penduduk Islam terbanyak di dunia juga menjadi ladang subur tumbuhnya terorisme. Dimulai dari peristiwa bom Bali tahun 2002 lalu disusul oleh berbagai bom di berbagai wilayah bahkan hingga saat ini. Fundamentalisme bisa diartikan sebagai keyakinan bahwa hanya pendapat mereka dan kelompok mereka yang benar, dan pendapat lain diluar itu merupakan hal yang salah dan harus diluruskan atau dimusnahkan (Giddens, 2009: 710). Tumbuhnya kelompok fundamentalis ini memunculkan pertanyaan besar tentang fungsi agama. Kenapa fundamentalisme bisa muncul dan berkembang? Bagaimana cara menghentikan fundamentalisme dalam masyarakat? Teori agama dari Emile Durkheim dan Karl Marx bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

15

Disfungsi Agama Dilihat dari perspektif Durkheim, tumbuhnya fundamentalisme adalah akibat dari tidak berjalannya fungsi agama. Fenomena ini disebut Durkheim disebut sebagai patologi. Sebagaimana disebut pada bagian sebelumnya, fungsi agama menurut Durkheim adalah memberikan panduan bagaimana manusia harus bertindak. Agama harus menjadi sumber moral yang bisa memaksa manusia untuk melakukan hal-hal baik dalam masyarakat. Bagi Durkheim, agama bukanlah keyakinan individu yang hanya berwujud relasi manusia dengan keyakinannya atau tuhannya. Agama merupakan kumpulan dari ritual yang dijalankan bersama, nilai yang dianut bersama, yang akhirnya membawa penganutnya dalam sebuah kebersamaan dan solidaritas. Dasar kolektivitas sehingga membentuk kesadaran moral bersama (collective consciousness) inilah esensi dari agama. Ketika agama tak lagi bisa mengarahkan umatnya untuk berbuat baik, maka agama sudah gagal menjalankan fungsinya. Kegagalan tersebut bisa karena pemuka-pemuka agama sudah tidak bisa lagi menjadi pemimpin umat. Bisa juga karena pemuka agama salah dalam menjelaskan atau mengintepretasikan maksud dari ajaran agama. Sebagai sebuah keyakinan kolektif dan sistem sosial, pemuka atau pemimpin agama punya peran besar dalam menjaga fungsi agama. Sebagaimana sudah diuraikan pada bagian sebelumnya, Durkheim melihat individu tak ubahnya seperti wayang atau robot. Individu harus diatur dan dibentuk oleh struktur yang ada di luarnya. Dalam konteks agama, struktur di luar individu itu adalah ajaran moral dari agama, pemuka agama, dan ritual-ritual yang dijalankan bersama. Salah satu bentuk fundamentalisme adalah fenomena bom bunuh diri. Kesediaan seseorang untuk mati karena meyakini itu sesuatu yang baik dalam nilai yang mereka anut dikategorikan Durkheim sebagai bunuh diri altruistric. Bunuh diri Altruistic terjadi ketika individu terikat kuat dalam solidaritas dan moral. Bunuh diri dilakukan karena individu
16

merasa itu merupakan kewajibannya, berdasarkan nilai moral yang mereka pegang bersama, Dalam bunuh diri altruistic, sesorang tidak melakukannya karena merasa berhak secara individu, melainkan karena ini adalah tugas, kehormatan, dan juga hukuman karena telah melanggar hukum dan moral (Durkheim, Suicide, 1951: 177). Meski demikian, tidak setiap bunuh diri yang dilakukan karena dorongan nilai dan keyakinan adalah sesuatu yang sifatnya kewajiban dalam masyarakat. Durkheim membedakan bunuh diri artruistic dalam dua kelompok. Yang pertama karena diwajibkan oleh sistem masyarakat, yang kedua adalah semata karena keyakinan dari individu tersebut (Durkheim, 1951: 180). Contoh bunuh diri altruistic yang diwajibkan adalah kebudayaan di India kuno yang mewajibkan istri membakar diri ketika suami meninggal. Bom bunuh diri bukanlah sebuah kewajiban atau tugas yang diperintahkan agama Islam. Faktanya, pelaku bom bunuh diri hanyalah segelintir orang di antara penganut agama Islam di seluruh dunia. Pelaku bom bunuh diri melakukannya semata karena keyakinan mereka atau setidaknya keyakinan yang dibentuk dalam kelompok fundamentalis tersebut. Pertanyaannya kini, kenapa kelompok yang jumlahnya minoritas seperti itu bisa terus berkembang? Selain karena kegagalan pemuka agama sebagaimana dikemukakan

sebelumnya, juga karena kurangnya ikatan solidaritas di antara seluruh umat beragama, khususnya antara kelompok mayoritas yang moderat dengan kelompok minoritas garis keras yang berfungsi menjadi fundamentalis. Durkheim melihat aspek kunci dari agama adalah ritual yang dilakukan bersama-sama. Kebersamaan ritual inilah yang berfungsi membangun ikatan solidaritas antar individu dalam satu agama (Giddens, 2009: 682). Maka dari perspektif Durkheim, cara untuk menghentikan fundamentalisme adalah meningkatkan peran pemuka agama dan memperbaiki solidaritas yang menyatukan kelompok moderat dengan kelompok radikal. Pemuka agama harus lebih aktif memberikan ceramah dan meluruskan intepretasi yang salah. Pemuka agama juga harus melakukan pendekatan
17

persuasif dan menularkan semangat pluralisme dan perdamaian sebagai manifestasi dari ajaran tertinggi agama. Sementara solidaritas bisa dibentuk dengan mengaktifkan pengajianpengajian yang membawa misi perdamaian hingga ke level terkecil dalam masyarakat.. Masjid harus difungsikan sebagai ruang publik yang bisa menarik seluruh umat beragama untuk bertemu dan saling berhubungan satu sama lain. Dengan ikatan yang kuat seperti itu, kecil kemungkinan seseorang akan terlibat dalam fundamentalisme, lebih-lebih

mengorbankan diri melalui bom bunuh diri.

Ketidakadilan Ekonomi Dari kacamata Marx, fundamentalisme tidak ada kaitannya dengan moral, ritual, atau solidaritas. Bahkan Marx sama sekali tidak melihat fundamentalisme sebagai fenomena yang terkait agama. Bagi Marx, fundamendalisme terjadi akibat ketimpangan penguasaan sumber daya ekonomi dan faktor produksi. Fundamentalisme tumbuh seiring dengan suburnya ketidakadilan dalam masyarakat. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa orang-orang yang terjebak dalam kelompok fundamentalis mayoritas berasal dari kelompok masyarakat miskin. Dalam film yang mengangkat kisah nyata kelompok fundamentalis di Indonesia, Mata Tertutup (2011), diceritakan bagaimana pelaku bom bunuh diri adalah anak muda pengangguran yang berasal dari keluarga miskin. Dalam kebingungan dan keputusasaan, pemuda tersebut tergoda ajakan seorang fundamentalis. Awalnya sekedar mengaji rutin. Tapi lama-lama pengajian berubah menjadi doktrinasi. Si pemuda tergoda oleh janji kehidupan setelah ia bunuh diri. Sebuah kehidupan yang jauh dari penderitaan dan kemiskinan yang dia alami di dunia.

18

Pelaku bom bunuh diri sebagian besar juga orang-orang berpendidikan rendah. Jika seseorang berpendidikan rendah, ia akan lebih mudah dipengaruhi, tidak mampu berpikir kritis, dan menerima dogma sebagai sebuah kebenaran tunggal. Lagi-lagi ini adalah akibat ketimpangan dan ketidakadilan dalam penguasaan sumber daya ekonomi dan faktor produksi. Maka bagi Marx, satu-satunya jalan menghentikan fundamentalisme adalah dengan mewujudkan keadilan ekonomi. Itu artinya mewujudkan sistem masyarakat tanpa kelas di mana sumber daya ekonomi dan faktor produksi dimiliki bersama oleh anggota masyarakat. Dan untuk mencapai hal tersebut, agama haruslah terlebih dulu ditinggalkan. Sebab agama hanya akan membuai orang dengan kesadaran palsu yang menghalangi terbentuknya kesadaran kelas untuk melakukan revolusi.

KESIMPULAN Meski sama-sama memfokuskan analisis pada struktur masyarakat, Emile Durkheim dan Karl Marx memiliki metodologi yang berbeda dalam melahirkan teori-teori Sosiologi. Durkheim adalah seorang positivis yang mendasarkan penelitian pada fakta empiris dengan berlaku obyektif pada hal yang diteliti. Sementara Marx mengusung materialisme dialektika sebagai metodologi. Dengan metodologi tersebut, Marx sejak awal telah berangkat dengan nilai ideologi dan mengarahkan semmua kegiatan berpikirnya untuk menumbuhkan kesadaran kelas demi terwujudnya masyarakat tanpa kelas. Metodologi Marx menjadi dasar lahirnya metodologi kritis (critical). Pemikiran Durkheim selalu berangkat dari pandangan filosofisnya bahwa individu pada dasarnya hanyalah pencari kesenangan pribadi, karena itu haruslah diatur oleh struktur dan sistem masyarakat. Seluruh teori Durkheim tidak lepas dari upaya untuk menjaga tatanan

19

masyarakat dan menjaga keseimbangan equilibrium. Untuk itu, sistem dalam masyarakat haruslah berfungsi dengan baik. Jika tidak, akan terjadi fenomena akibat disfungsi sistem yang ia sebut patologi serta situasi di mana tak ada lagi aturan yang mengikat individu, yang disebutnya sebagai anomie. Pemikiran Durkheim menjadi dasar perspektif struktural fungsional dalam sosiologi. Sementara Marx, melihat penguasaan sumber daya ekonomi dan faktor produksi di tangan kelompok borjuis sebagai sumber ketidakadilan dalam masyarakat. Itulah hal yang paling dasar dalam realita masyarakat. Marx mencurahkan seluruh pemikirannya untuk menunjukkan bagaimana kapitalisme hanya akan mengakibatkan penindasan pada sesama manusia. Bagi Marx, pertentangan kelas adalah alat analisis utama untuk melihat realita sosial. Marx menjadi dasar lahirnya perspektif konflik dalam sosiologi. Perbedaan landasan berpikir membuat Durkheim dan Marx akan melihat setiap hal secara berbeda. Dalam hal agama, Durkheim melihat agama sebagai sistem sosial yang berperan meningkatkan solidaritas dan menjaga keteraturan dalam masyarakat melalui nilainilai yang dianut bersama. Dari agama lah bisa lahir kesadaran kolektif sebagai anggota masyarakat. Sementara bagi Marx, agama hanyalah produk buatan kelas borjuis yang digunakan untuk terus melanggengkan sistem kapitalisme. Agama adalah sumber kesadaran palsu yang terus menghalangi tumbuhnya kesadaran kelas untuk melakukan revolusi demi terwujudnya masyarakat tanpa kelas. Karena itu, agama haruslah ditinggalkan. Bagi Durkheim, tatanan masyarakat yang telah ada ini harus terus dijaga keteraturan dan keseimbangannya. Bagi Marx, hanya ada satu kata: perubahan. ***

20

Daftar Pustaka Durkheim, Emile. The Rules of Sociological Method. New York: The Free Press, 1966 ____________ The Elementary Forms of The Religious Life. New York: The Free Press, 1965 ______________ On Morality and Society. Chicago: The University of Chicago Press, 1973 ______________ Suicide . New York: The Free Press, 1951 Giddens, Anthony. Sociology. Cambridge: Polity Press, 2009 Marx, Karl. On Society and Social Change. Chicago: The University of Chicago Press.1973 __________ Capital Volume 1. London: Penguin.1976 ___________ On Religion. Moscow: Foreign Languages Publishing House, 1955 Neuman, W.Lawrence. Social Research Methods. Boston: Pearson Education, 2003 Ritzer, George. Sociological Theory. New York: Yhe McGraw-Hill Companies, 1996

21

Das könnte Ihnen auch gefallen