Sie sind auf Seite 1von 16

Rural - Urban Economic Lingkages Konsep & Urgensinya Dalam Memperkuat Pembangunan Desa

(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)


Antonius Tarigan
*)

Pengantar Pada dasarnya tidak ada satu teori atau pendekatan tunggal yang digunakan dalam rangka pembangunan perdesaan (desa). Berbagai konsep pembangunan desa yang telah dilaksanakan pemerintah sejak tahun lima puluhan selalu mengalami dinamika dan perubahan serta senantiasa disesuaikan dengan tingkat perkembangan masyarakat. T. Hanafiah (1989), mencatat beberapa konsep dan pendekatan pembangunan perdesaan (desa) yang pernah dilakukan di negara kita dan beberapa negara lain diantaranya adalah : (a) Pengembangan Masyarakat (Community Development), (b) Pembangunan Desa Terpadu (Integrated Rural Development), (c) Pembukaan Daerah Baru & Mendorong Migrasi Penduduk serta Pengelompokan Permukiman Kecil, (d) Pembangunan Pertanian, (e) Industri Perdesaan, (f) Kebutuhan Dasar Manusia (Basic Needs Strategy), (g) Pusat Pertumbuhan & Wilayah Pengembangan (Integrated Area Development), (h) Pendekatan Agropolitan. Paparan singkat ini mencoba mengangkat pengalaman empiris beberapa negara diantaranya Thailand, Nepal, Laos PDR, dan Indonesia dalam mengaplikasikan pendekatan rural-urban economic linkages dalam konteks pengembangan wilayah. Dengan berbagai spritualitas inherennya, diharapkan pendekatan ini dapat menjadi perangkat intervensi yang cukup handal walaupun mungkin tidak sufisien dalam mengatasi problema pembangunan desa (perdesaan) di tanah air kita. Pendahuluan Latar Belakang Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu upaya kreasi pencerahan yang dilaksanakan secara terencana dan sistematis serta dilakukan oleh segenap aktor dalam suatu negara untuk mencapai suatu kehidupan masyarakat yang dipandang lebih baik. Cara pandang seperti ini menempatkan pembangunan sebagai instrumen antara untuk
*

Ir. Antonius Tarigan, M.Si adalah Kasubdit Kelembagaan Kerjasama Pembangunan, Direktorat Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah, Kantor Meneg PPN/Bappenas & Mahasiswa Program Doktor Universitas Indonesia Konsentrasi Kebijakan Publik-red.
)

Halaman 1

mewujudkan sasaran yang lebih tinggi, yaitu perwujudan potensi-potensi inheren manusia menuju pencapaian eksistensi dalam arti yang seluasluasnya. Menurut Amartya (1999), pembangunan itu pada hakekatnya merupakan suatu proses peningkatan kebebasan manusia dalam berbagai bentuk yang bukan saja penting secara sendiri-sendiri, tetapi juga saling mendukung. Pembangunan berorientasi pertumbuhan (growth) yang selama ini diterapkan negara-negara berkembang termasuk negara Indonesia telah membawa sejumlah perubahan yang cukup signifikan. Disamping berbagai prestasi yang berhasil diraih, tercatat pula sejumlah potret kelam yang turut memperburuk citra pembangunan dengan orientasi di atas. Semakin panjangnya barisan kemiskinan, meningkatnya pengangguran, beban hutang luar negeri yang semakin menggila, dan berbagai ketimpangan merupakan hasil akhir yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan itu sendiri. Manfaat pembangunan lebih dirasakan oleh kelompok masyarakat lapisan atas, sehingga jurang kesenjangan sosial dan ekonomi semakin menganga pula. Orientasi pertumbuhan hanya mendorong perkembangan usaha dan industri skala besar, sehingga terjadi kesenjangan yang semakin lebar antara usaha skala kecil dan mikro (UKM) dan usaha menengah-besar (UMB). Tidak ketinggalan pendekatan sektoral yang diharapkan dapat membentuk keterkaitan ternyata telah menumbuhkan ego sektoral yang juga menyebabkan ketimpangan sektoral. Krisis moneter yang meluas menjadi krisis ekonomi sejak tahun 1997 turut pula memberikan kontribusi nyata penyebab kemunduran berbagai kegiatan ekonomi berupa terganggunya kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi. Kemunduran drastis berbagai kegiatan ekonomi ini telah mengakibatkan melemahnya daya beli masyarakat (purchasing power) yang disebabkan oleh berkurangnya sumber pendapatan masyarakat, sementara harga-harga kebutuhan hidup terus meningkat. Sejalan dengan berbagai permasalahan tersebut, terdapat persoalan yang sebetulnya memerlukan penanganan serius dan sangat penting, yakni adanya kesenjangan antar desa-kota (khususnya antara sektor pertanian dan industri) serta kesenjangan antar daerah. Kesenjangan desa-kota yang selama ini terjadi merupakan salah satu hambatan bagi suatu daerah untuk ikut terjun ke dalam mainstream economy. Secara empiris, kesenjangan tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut : (i). Sosial ekonomi rumah tangga atau masyarakat, khususnya kesenjangan pendapatan antara rumah tangga di perkotaan dan di perdesaan; (ii). Struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar kegiatan produksi rumahtangga atau masyarakat, khususnya pada sektorsektor ekonomi yang menjadi basis ekspor dengan orientasi pasar dalam negeri (domestik) ; (iii).Potensi regional (SDA, SDM, Dana, Lingkungan dan infrastruktur) yang mempengaruhi perkembangan struktur kegiatan produksi. Pada daerah-daerah yang beruntung memiliki sumberdaya Halaman 2

berbasis ekspor, maka daerah-daerah ini secara relatif lebih makmur dibandingkan dengan daerah-daerah yang tidak memiliki sumberdaya yang dapat dipasarkan keluar ; dan (iv). Kondisi kelembagaan yang membentuk jaringan kerja produksi dan pemasaran pada skala lokal, regional dan global. Adanya kerangka kelembagaan yang kokoh akan sangat mempengaruhi posisi tawar-menawar dengan pihak pemasok maupun pihak pembeli (Bintoro, 2002). Permasalahan Orientasi pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih menekankan pertumbuhan (growth), turut pula memperparah ketimpangan wilayah khususnya antara desa-kota. Investasi ekonomi (infrastruktur dan kelembagaan) mayoritas diarahkan untuk melayani daerah perkotaan yang relatif memiliki pertumbuhan cepat. Ekonomi desa tidak memperoleh nilai tambah yang proporsional akibat dari wilayah perkotaan hanya sekedar menjadi pipa pemasaran (marketing pipe) dari arus komoditas primer dari perdesaan. Dalam konteks demikian, wajar apabila terjadi pengurasan sumber daya (backwash effect) oleh kota terhadap desa secara sistematis dan kota hanya mengambil keuntungan dari jasa distribusi semata, sehingga seringkali terjadi kebocoran wilayah (regional leakages) yang merugikan pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri. Disamping itu, adanya aliran produk/jasa perkotaan yang harus dibayar oleh masyarakat perdesaan melalui aliran dana/kapital dari desa ke kota. Kondisi ini secara umum dikenal dengan rendahnya nilai tukar (terms of trade) produk/jasa (dalam bentuk dana/kapital) masyarakat perdesaan terhadap poduk/jasa perkotaan (Haeruman, 2001). Dengan kata lain, dari sisi ekonomi terjadi arus pembentukan surplus (nilai tambah) yang cenderung eksplotatif dimana desa menjual produk mentahnya ke kota dengan murah, dan selanjutnya melalui proses pengolahan (off-farm) kota menjadikan desa sebagai pasar dengan margin harga yang lebih besar. Belum lagi jumlah kredit dan pinjaman yang disalurkan ke perdesaan jauh lebih kecil dari jumlah dana yang ditabung masyarakat perdesaan melalui perbankan, sehingga yang terjadi adalah subsidi desa terhadap kota. Permasalahan lainnya yang cukup menonjol adalah pembangunan perdesaan yang selama ini sangat kuat bernuansa modernisasi yang dikombinasikan dengan pemenuhan kebutuhan dasar. Dalam konteks tersebut desa dipandang memiliki karakteristik keterbelakangan yang sebenarnya lebih merupakan visi kota, dan dalam upaya mengatasi keterbelakangan ini dominasi peran negara sangat dominan lewat jargon pembangunisme (Usman, Hastu P dan Bayu Krisna M, 2002). Undang-undang RI Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Propenas, Bab IX Pembangunan Daerah dengan tegas menyebutkan : sebagian besar masyarakat perdesaan saat ini masih berada pada pola kehidupan dan budaya perdesaan yang mengandalkan sumber kehidupan dari pertanian Halaman 3

subsisten atau buruh tani yang pendapatannya tidak pasti dan rendah. Disamping itu, kehidupan sosial ekonomi masyarakat perdesaan relatif tertinggal dibanding daerah perkotaan yang disebabkan oleh lapangan kerja dan kegiatan usaha yang tidak kompetitif dan tidak memberikan pendapatan masyarakat yang layak, kondisi pelayanan pendidikan dan kesehatan yang kurang memadai, rendahnya tingkat pelayanan prasarana dan sarana permukinan, adanya penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh kelompok pengusaha besar, serta peraturan-peraturan yang menghambat. Pertentangan dan ketimpangan antara kawasan perkotaan (urban area) dan kawasan kawasan perdesaan (rural area) tidak saja terjadi dalam tataran praktek operasional namun juga telah merambah kedalam tataran teoritik akademik. Di satu sisi, fenomena terjadinya pemihakan yang berlebihan terhadap upaya upaya pembangunan kawasan perkotaan secara akademik telah diklaim oleh Lipton (1977) sebagai urban bias, yang nota bene telah banyak merugikan penanganan kawasan perdesaan. Dalam konteks Asia, Fu-Chen Lo (1981), menegaskan bahwa permasalahan dan penanganan perkotaan dan perdesaan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Mengambil contoh kasus kemiskinan, Fu-Chen Lo melihat bahwa kemiskinan perkotaan (urban poverty) ternyata berakar pada kemiskinan perdesaan (rural poverty). Kesadaran tentang perlunya keterkaitan antara perkotaan dan perdesaan pada gilirannya melahirkan pemikiran rural-urban linkages yang secara teoritis bertujuan untuk mendorong kegiatan masyarakat di kedua kawasan tersebut dalam kesatuan sistem ekonomi dan sosial yang saling menguntungkan. Walaupun pemikiran tersebut secara tegas telah diartikulasikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), tantangan kedepan adalah bagaimana mewujudkan keterkaitan ekonomi tersebut yang ditandai sejumlah indikator diantaranya terbangunnya akses ke pasar, penguasaan informasi & teknologi, jaringan pemasaran, berkembangnya jaringan kerja produksi, pengolahan dan pemasaran, distribusi input, modal, sumber daya manusia, sebagai prasyarat kunci untuk membangun perdesaan. Beberapa pertanyaan fundamental yang sering muncul dan mendesak untuk dijawab adalah antara lain mengapa keterkaitan mengalami pasang surut, siapa yang mendapatkan keuntungan maupun kerugian dengan adanya keterkaitan itu, faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perubahan, hubungan antara faktor eksogen dan endogen dalam sebuah perubahan, apakah wilayah yang memiliki keterkaitan lebih baik jika dibandingkan dengan wilayah yang tidak terkait, bagaimana upaya-upaya agar keterkaitan tersebut menjadi semakin baik.

Halaman 4

Pengertian Desa & Perdesaan Pengertian desa dan perdesaan sering dikaitkan dengan pengertian rural dan village, dan sering pula dibandingkan dengan kota (town/city) dan perkotaan (urban). Perdesaan (rural) menurut S. Wojowasito dan W.J.S Poerwodarminto (1972) diartikan seperti desa atau seperti di desa dan perkotaan (urban) diartikan seperti kota atau seperti di kota. Berdasarkan batasan tersebut, perdesaan dan perkotaan mengacu kepada karakteristik masyarakat, sedangkan desa dan kota merujuk pada suatu satuan wilayah administrasi atau teritorial. Dalam kaitan ini suatu daerah perdesaan dapat mencakup beberapa desa. Menurut Roucek & Warren (1962), masyarakat desa memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) peranan kelompok primer sangat besar; (2) faktor geografik sangat menentukan pembentukan kelompok masyarakat; (3) hubungan lebih bersifat intim dan awet; (4) struktur masyarakat bersifat homogen; (5) tingkat mobilitas sosial rendah; (6) keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi; (7) proporsi jumlah anak cukup besar dalam struktur kependudukan. Pitinn A. Sorokin dan Carle C. Zimmerman (dalam T. L. Smith & P.E. Zop, 1970) mengemukakan sejumlah faktor yang menjadi dasar dalam menentukan karakteristik desa dan kota, yaitu mata pencaharian, ukuran komunitas, tingkat kepadatan penduduk, lingkungan, differensiasi sosial, stratifikasi sosial, interaksi sosial dan solidaritas sosial. Egon E. Bergel (1995) mendefinisikan desa sebagai setiap permukiman para petani. Sedangkan Koentjaraningrat (1977) mendefinisikan desa sebagai komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat. Paul H. Landis (1948) mendefinisikan desa menjadi tiga menurut tujuan analisis, yaitu: (1) analisis statistik; desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan dengan penduduk kurang dari 2.500 orang (2) analisis sosial-psikologik; desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan yang akrab dan bersifat informal diantara sesama warganya, dan (3) analisis ekonomi; desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan dengan penduduknya tergantung kepada pertanian. Berbagai pengertian tersebut tidak dapat diterapkan secara universal untuk desa-desa di Indonesia karena kondisi yang sangat beragam antara satu dengan yang lainnya. Bagi daerah yang lebih maju khususnya di Pulau Jawa dan Pulau Bali, antara desa dan kota tidak lagi terdapat perbedaan yang jelas sehingga pengertian dan karakteristik tersebut menjadi tidak berlaku. Namun, bagi daerah yang belum

Halaman 5

berkembang khususnya desa-desa di luar Pulau Jawa dan Pulau Bali, pengertian tersebut masih cukup relevan. Rural-Urban Lingkages : Isu dan Konsep Desa dan kota mempunyai peran yang sama-sama penting dalam pengembangan ekonomi suatu wilayah. Jika peran desa dan kota tersebut dapat berjalan dengan baik, hubungan keterkaitan (ekonomi) antara desa dan kota dapat tercapai. Pentingnya keterkaitan desa-kota ini dalam jaringan wilayah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dikemukakan oleh Mike Douglass (1998) melalui konsep Agropolitan. Konsep ini menekankan bahwa pengembangan desa dapat tercapai dengan baik apabila desa tersebut dikaitkan dengan pengembangan kota dalam wilayah tersebut. Fungsi kota lebih dititik beratkan sebagai pusat kegiatan non pertanian dan pusat administrasi, bukan sebagai pusat pertumbuhan, sementara itu kecamatan (district) justru yang memiliki fungsi sebagai unit pengembangan. Isu tentang keterkaitan desa-kota sudah lama mendapat perhatian kalangan analis pembangunan. Isu tersebut muncul sejalan dengan kenyataan empiris akan ketidakterpisahannya keterkaitan antara desa dan kota yang juga mencakup masalah urbanisasi. Keterkaitan tersebut semakin meluas di berbagai level, baik antara desa dan kota itu sendiri, maupun antara kota kecil dengan kota besar, antar desa, dan antar kota yang merentang di dalam satu negara maupun antar negara. Keterkaitan antara desa-kota antara lain terlihat dari realitas bahwa penduduk desa menjadi konsumen barang dan jasa pelayanan perkotaan sementara masyarakat kota juga menjadi konsumen jasa dan barang hasil produksi perdesaan. Terlepas dari banyaknya kritikan atas pola keterkaitan yang terbangun, interaksi antara desa-kota bersifat saling menguntungkan dalam suatu iklim simbiosis mutualisme (Lo & Salih, 1978). Lebih lanjut , Lo & Salih mengelaborasi bahwa dalam perekonomian yang masih sederhana, masyarakat desa cenderung memproduksi dan menjual hasil pertaniannya secara mandiri ke wilayah-wilayah sekitarnya yang relatif berdekatan. Mereka juga dapat menjualnya kepada para pedagang yang kemudian menjualnya secara langsung atau dengan sedikit pengolahan ke berbagai pasar, baik pasar lokal maupun pasar yang jauh. Sebaliknya, petani di wilayah pedesaan juga membutuhkan barang dan jasa yang tidak bisa dihasilkannya sendiri, seperti sabun, minyak, atau pada tingkatan perkembangan yang lebih tinggi, kendaraan bermotor, pelayanan perbankan atau pinjaman keuangan. Dengan demikian, pola interaksi antara desa-kota serta dasar interaksi (kebutuhan) yang melandasinya selalu bersifat dinamis, bergerak dari waktu ke waktu sesuai tingkatan kemajuan suatu masyarakat. Keterkaitan tersebut digambarkan oleh Mike Douglass (1998) sebagaimana yang terdapat pada pada tabel 1 dibawah.
Tabel 1. Keterkaitan dan Interdependensi Desa-Kota.

Halaman 6

Fungsi Kota Pusat transportasi & perdagangan pertanian Pelayanan pendukung pertanian (semakin kompleks dan bernilai tinggi): - Input produksi - Jasa pemeliharaan/perbaikan - Kredit produksi - Informasi tentang metode produksi (inovasi) Pasar konsumen non-pertanian (semakin kompleks): - Produksi pertanian olahan - Pelayanan privat - Pelayanan publik (kesehatan, pendidikan, dan administrasi) Industri berbasis pertanian (mempertahankan/mengembalikan bagian terbesar nilai tambah di suatu daerah) Pekerja non-pertanian (meningkat bersamaan dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan dan pendidikan di desa)

Interdependens i

Fungsi Desa Produksi & produktivitas pertanian. Intensifikasi pertanian dipengaruhi oleh: - Infrastruktur desa - Insentif produksi - Pendidikan dan kapasitas untuk menerima inovasi Peningkatan pendapatan pedesaan akan menambah permintaan (daya beli dan pilihan konsumen): - Untuk barang2 nonpertanian - Jasa/pelayanan Produksi pertanian dan diversifikasi pertanian Melibatkan semua fungsi di atas

Keterkaitan antara desa-kota juga harus dipahami dalam kerangka berpikir ekonomi politik sebagai suatu hubungan vis a vis: budaya asli versus budaya kolonial, budaya maju (kota) versus budaya terbelakang (desa), dan sebagainya. Struktur tersebut mengalami perubahan akibat tuntutan diversifikasi, spesialisasi, serta difusi inovasi yang melanda hampir semua wilayah. Klasifikasi antara wilayah desa dan kota sangat penting dilakukan untuk menentukan jenis intervensi apa yang akan diberikan. Kedua wilayah tersebut memiliki interdependensi yang tinggi dalam rantai keterkaitan permintaan dan penawaran. Di samping pertimbangan ekonomi seperti sudah diuraikan di atas, keterkaitan antara kedua wilayah tersebut juga penting untuk mengatasi masalah urbanisasi yang memiliki implikasi politik. Karenanya, keterkaitan desa kota tidak sekedar membawa implikasi ekonomi tetapi juga dampak politik. Untuk mempermudah pemetaan keterkaitan desa-kota yang sangat kompleks itu, terdapat beberapa jenis keterkaitan sebagai basis analisis kuantitatif dan kualitatif. Keterkaitan fisik seperti jaringan jalan, irigasi, atau jaringan transportasi dan komunikasi lainnya berkaitan dengan hubungan ekonomi (konsumsi dan pelayanan). Rondinelli (1985) dan Kammeier & Neubauer (1985) menjelaskan tipe keterkaitan tersebut sebagaimana yang terdapat pada tabel 2.
Tabel 2: Keterkaitan Utama Desa-Kota & Fasilitas Terkait di Pusat Kota

Halaman 7

Tipe Keterkaitan 1. Keterkaitan Fisik 2. Keterkaitan Ekonomi -

Elemen Jalan Angkutan kereta api Penerbang an Irigasi Ekologis interdepe ndensi Pola pasar Aliran bahan mentah dan barang antara Keterkaitan produksi Pola konsumsi dan belanja Aliran modal dan pendapatan Aliran komoditas sektoral dan interregional Keterkaitan silang Pola migrasi Perjalanan ke tempat kerja -

Fasilitas Umum Kota Keterkaitan intra dan inter sistem Stasiun kereta, terminal bis, pelabuhan, bandara - Pasar barang konsumsi dan pertanian, toko retail - Fasilitas penyediaan input (kulakan, penyimpanan)

Fasilitas Khusus untuk Pertanian, manufaktur, dan Pengolahan Pertanian - Akses desa terhadap jalan menuju dan dari kota - Akses menuju keterkaitan transportasi utama (udara, laut, darat)

- Pasar produksi pertanian - Koperasi pertanian - Agen penjualan, agen eksportimpor - Fasilitas penyediaan input pertanian - Fasilitas pembelian dan perawatan peralatan pertanian - Outlet kredit untuk usaha pertanian dan usaha kecil lainnya

3. Keterkaitan Mobilitas Penduduk 4. Keterkaitan Teknologi -

5. Keterkaitan Interaksi Sosial

6. Keterkaitan Penyediaan pelayanan -

- Interdependensi Teknologi - Sistem irigasi - Sistem Telkom - Pola kunjungan - Pola Kekerabatan - Ritus, ritual, aktivitas agama - Interaksi kelompok sosial Aliran dan jaringan energi Jaringan kredit dan finansial Keterkaitan pendidikan, pelatihan dan ekstensi Sistem pelayanan kesehatan Pola pelayanan profesional, komersial, dan teknis.

7. Keterkaitan Politik, Administratif, dan Organisasional

- Keterkaitan struktural - Aliran anggaran pemerintah - Interdependensi organisasi - Pola otoritaspersetujuansupervisi - Pola transaksi antar jurisdiksi - Rantai keputusan politik informal

N.a. Fasilitas transportasi penumpang - Tempat perawatan dan perbaikan - Sama dengan poin 6 dan 7 - Fasilitas komunitas - Gereja, mesjid, dsb - Fasilitas olahraga - Bioskop - Restoran, klub Fasilitas suplai energi (listrik, depot BBM) Fasilitas keuangan, investasi dan perbankan Sekolah Rumah sakit, klinik Fasilitas telkom dan pos Media massa Fasilitas akomodasi Otoritas dan agenagen sub-nasional (administrasi, pemeliharaan, perencanaan, implementasi) Kamar Dagang Serikat Buruh Peradilan Polisi -

N.a.

Sama dengan Poin 2 dan 6 Tidak ada fasilitas kecuali untuk memenuhi permintaan desa yang meningkat

- Suplai energi dan fasilitas khusus untuk pengolahan dan manufaktur pertanian - Fasilitas sekolah khusus dan pelatihan pertanian.

Kantor cabang kementerian pertanian, Kehutanan, Kesehatan, Perindustrian.

Halaman 8

Klasifikasi tipe keterkaitan di atas didasarkan pada pendekatan Urban Functions in Rural Development (UFRD). Keterkaitan tersebut terkadang bersifat satu arah seperti keterkaitan ekonomi atau fisik, tetapi bisa juga bersifat kausal seperti keterkaitan transportasi dengan jasa transportasi, produksi, dan fasilitas penyampaian jasa. Tipe keterkaitan juga berkaitan dengan tingkat kemajuan suatu masyarakat. Pada saat daerah yang relatif terbelakang masih mengandalkan keterkaitan konsumsi dan jasa tradisional, wilayah yang sudah maju lebih terfokus pada keterkaitan produksi dengan keterkaitan ke depan (forward lingkage) dan ke belakang (backward lingkage) yang kompleks. Sementara itu, keterkaitan finansial akan melanda semua wilayah bersamaan meningkatnya proses desentralisasi (otonomi). Bersamaan dengan dinamika pembangunan, keterkaitan desa-kota mengalami perubahan substansi dan bentuk. Karenanya selalu terdapat berbagai variasi keterkaitan, baik di dalam suatu wilayah, di dalam suatu negara, maupun antar wilayah dan antar negara. Hal itu sangat bergantung pada faktor pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di wilayah bersangkutan. Untuk itu, keterkaitan perlu diperlakukan sesuai kondisi suatu wilayah tanpa perlu menerapkan generalisasi. Keterkaitan desa-kota perlu dipahami dalam suatu rentang wilayah yang relatif tanpa batas. Karenanya, para analis pembangunan tidak perlu lagi membuat dikotomi antara pembangunan desa dan pembangunan kota. Demikian halnya dengan pemahaman yang komprehensif tentang dimensi ekonomis dan finansial, spasial dan sosial, serta dimensi-dimensi relevan lainnya dalam pembangunan regional. Semuanya harus diperhatikan dan diperlakukan sebagai satu kesatuan. Kecenderungan lama akan pengkotak-kotakan analisis perlu segera ditinggalkan. Dengan memperhatikan kompleksitas tersebut, maka upaya pembangunan desa-kota harus mengandalkan pada kekuatan sendiri. Metode analisis serta perencanaan dan implementasi yang digunakan haruslah cukup sederhana agar bisa dikelola secara mandiri. Beberapa metode yang berhubungan dengan keterkaitan antara lain dapat dilihat pada tabel 3 berikut (Bendavid-Val, 1983; 1991 : 29-43).
Tabel 3. Metode dan Teknik Analisis Keterkaitan Metode dan Teknik 1. Analisis Sumberdaya Regional, meliputi: - Analisis ekonomi campuran dan saham - Bagi hasil lokasi - Indeks pembangunan regional - Analisis kemampuan tanah Komentar Metode analisis geografis dan ekonomi standar bagi pembangunan regional pada skala mikro regional sering mengalamai hambatan statistik. Metode berbasis foto satelit / GIS sangat penting untuk melengkapi metode statistik.

Halaman 9

Metode dan Teknik 2. Analisis Sistem Pemukiman: Sejarah, perubahan demografis (menunjukkan perubahan atas pentingnya kota) Analisis fungsional atas pemukiman dengan menggunakan teknik seperti Skalogram dan Indeks Sentralitas. 3. Analisis Keterkaitan dan Interaksi Spasial: - Studi tentang Pusat Pasar - Aliran dan Keterkaitan Transportasi - Studi tentang Interaksi Sosial (migrasi permanen dan temporer) - Jaringan politik dan organisasi - Aksesibilitas pelayanan sosial dan ekonomi. 4. Kerangka kerja institusional untuk mengimplementasikan program pembangunan desa-kota: - Kapasitas administrasi - Jaringan politik dan organisasi yang bersifat informal - Kebijakan dan prospek desentralisasi

Komentar Analisis sistem pemukiman dan interaksi spasial adalah teknik analisis utama yang digunakan dalam pendekatan UFRD seleksi pragmatis atas metode analisis ekonomi dan geografi. Variasi dalam teknik Skalogram atau Indeks Sentralitas dapat diterima sebagai metode penemuan, tetapi tidak cocok untuk perencanaan dan pengambilan keputusan.

Terdapaat berbagai kemungkinan, tergantung pda data sekunder dan tenaga kerja yang tersedia untuk melakukan verifikasi data dan survei tambahan (mis: survei sosial dan studi transportasi); studi Pusat pasar sangat menuntut informasi yang baik. Studi aksesibilitas sangat penting untuk mengembangkan informasi tentang permintaan akan fungsi wilayah pusat. Analisis sektoral atas sisi permintaan termasuk teknis2 yang menggunakan teknik lokasi-alokasi jauh lebih baik bagi perencanaan daripada metode indeks sentralitas gabungan. Termasuk kategori tersendiri untuk memperlihatkan pentingnya kerangka kerja kelembagaan (termasuk governance) sebagai basis untuk mengimplementasikan kebijakan kota kecil yang baru. Jaringan informal juga disebut karena merupakan bagian integral dari situasi masa kini dan kondisi institusionalpolitik bagi keberhasilan program pembangunan di masa datang berdasarkan keterkaitan desa-kota.

Metode-metode di atas disusun dalam bentuk Tool Box dengan teknik analisis yang mudah diterapkan. Kecenderungan orientasi kebijakan juga diperhitungkan seperti desentralisasi, kepemerintahan dan pengentasan kemiskinan. Metode tersebut juga semakin menuntut para perencana pembangunan untuk memperhatikan aspek spasial dalam pembangunan yang cenderung mengabaikan keterkaitan antara desakota. Dengan menggunakan metode-metode di atas, tekanan harus lebih banyak diberikan pada aspek permintaan wilayah desa. Hal ini berkaitan juga dengan daya beli dan perilaku sosial dari para pengguna jasa serta permintaan akan barang ekonomis yang disuplai oleh pusat (kota).

Halaman 10

Dengan memperhatikan kelemahan tersebut, maka keterkaitan desa-kota perlu disertai dengan langkah Capacity Building (CB) sebagaimana dipromosikan ILO dengan Integrated Rural Accessibility Planning (IRAP) yang berhasil diterapkan di beberapa negara Asia. Terdapat 4 elemen kunci dalam pendekatan tersebut yang menggabung antara (1) perencanaan tingkat lokal, (2) penciptaan lapangan kerja, (3) CB bagi usaha kecil, dan (4) pemeliharaan berbasis lokal (ILO-ASIST, 2002). Strategi Keterkaitan Desa-Kota Salah satu tujuan pembangunan perdesaan adalah mempercepat kemajuan kegiatan ekonomi dan industrialisasi perdesaan, dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat perdesaan, penyediaan bahan pangan dan bahan lain untuk kebutuhan konsumsi dan produksi melalui : keterkaitan wilayah perdesaan dan perkotaan, penguatan pengelolaan ekonomi lokal, serta peningkatan kapasita lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat perdesaan. Sementara itu pembangunan perkotaan berorientasi kepada peningkatan kualitas pelayanan kepada daerah sekitarnya, perdesaan dan kaitan dengan sistem ekonomi nasional dan global yang menjamin kelangsungan hidup ekonomi lokal dan kesempurnaan fungsi ekonomi nasional dalam mensejahterakan masyarakat umum. Didasarkan pada tujuan tersebut, dalam strategi pembangunan perdesaan harus memprioritaskan komponen-komponen pembangunan yang meliputi : (1) prasarana dan sarana sistem agribisnis; (2) pengembangan industri kecil dan rumah tangga; (3) penguatan lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat; (4) pengembangan jaringan produksi dan pemasaran; (5) penguasaan teknologi tepat guna; (6) pengelolaan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan. Disamping keenam komponen dalam program prioritas tersebut, secara khusus pembangunan perdesaan harus juga menekankan pada upaya peningkatan kehidupan sosial ekonomi kelompok masyarakat dan keluarga miskin secara terpadu dalam rangka pemberdayaan masyarakat miskin. Herman Haeruman (2001) menjelaskan bahwa adanya desa dan kota dalam perwujudan daerah merupakan dampak dari berbagai kegiatan sosial dan ekonomi yang terbentuk dalam suatu wilayah. Desa sebagai pusat produksi dan kota sebagai pusat pelayanan dan pasar. Dalam upaya untuk mengembangkan keterkaitan desa-kota diperlukan tiga tahapan, sebagaiman digambarkan dalam gambar-1. Gambar 1. Strategi Pembangunan Perdesaan dalam Keterkaitan Desa-Kota (KDK)

Desa Tahapan :
Pr MenciptakanKapit Balik : Arus od Dana : al/ dari Desa ke uk Dana Desa / Pemberdayaan (PM) Kota menjadi dari Kota ke Kemitraan (PK) Kota Daya Saing (DS) Pr od uk /

Halaman 11
Kapit al/Da na

Secara tradisional hubungan desa-kota diindikasikan dengan adanya aliran produk/jasa perkotaan yang harus dibayar oleh masyarakat perdesaan melalui aliran dana/kapital dari desa ke kota. Kondisi ini secara umum dikenal dengan rendahnya nilai tukar (terms of trade) produk/jasa (dalam bentuk dana/kapital) masyarakat perdesaan terhadap produk/jasa perkotaan. Pendekatan KDK diharapkan dapat menaikkan nilai tukar produk/jasa masyarakat perdesaan melalui : (1) upaya memindahkan proses produksi dari kota ke desa untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk/jasa yang dihasilkan oleh masyarakat perdesaan melalui bantuan modal, sarana produksi dan pelatihan; (2) memperpendek jalur produksi, distribusi, dan pemasaran produk/jasa masyarakat perdesaan untuk mengurangi biaya ekonomi tinggi melalui pembentukan satuan partisipatif bagi pengembangan produk/jasa secara spesifik. Jasa ini dibangun di perkotaan; (3) memberikan akses yang lebih besar bagi masyarakat perdesaan terhadap faktor-faktor produksi barang/jasa seperti modal, bahan baku, teknologi, sarana dan prasarana. Hal ini akan merangsang SDM di perdesaan untuk lebih produktif dalam mengembangkan usahanya, sehingga desa memiliki daya tarik untuk investasi produksi dan tenaga kerja. Disamping itu adanya dukungan informasi khususnya informasi pasar. Lebih lanjut Herman Haeruman (2001) mengelaborasi bahwa berdasarkan kondisi obyektif masyarakat perdesaan yang ada maka upaya implementasi Pendekatan KDK tersebut di atas memerlukan adanya bantuan mediasi, fasilitator, dan katalis untuk memdampingi masyarakat Halaman 12

perdesaan. Agar segenap upaya implementasi dapat dilakukan secara terintegrasi maka secara empiris dibutuhkan 3 (tiga) tahap bagi pemberdayaan masyarakat perdesaan sebagai berikut: (1) tahap pemberdayaan kelompok masyarakat perdesaan; (2) tahap memitrakan kelompok masyarakat tersebut dengan pihak Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi (UKMK); (3) tahap peningkatan daya saing bagi kesinambungan dan bagi pencapaian kelayakan komersial dan usaha bisnis lokal yang telah dimitrakan tersebut. Tahapan implementasi KDK ini dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan potensi masyarakat yang ada. Sebagai contoh, untuk masyarakat di Pulau Jawa dan Pulau Bali, tahap implementasi relatif dapat langsung diterapkan pada tahap kemitraan fungsional atauapun tahap peningkatan daya saing. Dengan telah tercapainya kelayakan komersial dan kesinambungan kebijakan dan kelembagaan pengembangan ekonomi lokal, maka akan dapat menaikkan terms of trade produk/jasa yang dihasilkan masyarakat perdesaan terhadap produk/jasa perkotaan. Kenaikan terms of trade produk/jasa perdesaan terhadap produk/jasa perkotaan ini dalam kondisi riil adalah terciptanya arus balik dana/kapital dari desa ke kota menjadi dari kota ke desa. Sejalan dengan pemikiran tersebut, berdasarkan pengalaman penulis dan rekan-rekan (Konsultan di Bappenas) dari tahun 1998 2002 khususnya sejak menangangi program-program pembangunan perdesaan melalui Biro Pembangunan Dati II dan Perdesaan (Kerjasama Bappenas, UNDP, UN-Habitat, ESCAP, FAO) memotret Keterkaitan Ekonomi Desa Kota sebagaimana yang terdapat pada gambar 2.

Halaman 13

Gambar-2. Model Keterkaitan Ekonomi Desa-Kota Kondisi Desa : Kaya SDA Kapasitas SDM cukup tapi rendah kapasitas Lahan untuk produksi cukup Rendah informasi Desa sebagai Pusat produksi dan pasar Kondisi Kota : Miskin SDA Kapasitas SDM cukup Padat penduduk Potensi pasar tinggi Informasi cukup Modal usaha Kota sebagai pusat pemasaran

Linkage DesaKota

Kontribusi Desa : Penyedia input produksi Tempat berproduksi Penyedia SDM untuk produksi

Lembaga Intermedia ry

Kontribusi Kota : Penyedia teknologi produksi dan riset Penyedia modal untuk produksi Tempat pemasaran hasil produksi desa

Desa memiliki daya tarik untuk investasi produksi dan tenaga kerja

Penghubung kepentingan desakota Lembaga

Kota memiliki daya tarik sebagai tempat pemasaran

Terjadi keseimbagan DesaKota

Halaman 14

Berangkat dari kondisi riil di lapang, maka sangat dibutuhkan lembaga intermediary yang berfungsi sebagai lembaga penghubung kepentingan desa-kota. Disamping itu lembaga ini dapat menjadi lembaga kolaborasi semua stakeholders (pemerintah, masyarakat, swasta) desakota sehingga semua aspirasi dan kepentingan dapat terwadahi. Dengan kata lain, hubungan desa-kota menjadi dinamis yang ditandai dengan berfungsinya desa-kota sesuai perannya (kontribusinya) masing-masing. Disamping itu, keterkaitan ekonomi kedua wilayah tersebut dapat ditandai dengan desa memiliki daya tarik untuk investasi produksi dan tenaga kerja sedangkan kota memiliki daya tarik sebagai tempat pemasaran. Lembaga intermediary dapat memberikan layanan pengembangan bisnis meliputi (1) layanan informasi; (2) layanan konsultasi; (3) layanan pelatihan; (4) pendampingan; (5) kontak bisnis; (6) fasilitasi dalam memperluas akses ke pasar; (7) fasilitasi dalam pengembangan organisasi dan managemen; (8) fasilitasi memperoleh permodalan; (9) fasilitasi dalam pengembangan teknologi; (10) penyusunan proposal pengembangan bisnis. Sementara itu, Kawik Sugiana (2001) mengembangkan model pengembangan desa-kota yang saling bermanfaat dan produktif sebagaimana tedapat pada gambar 3. Gambar 3. Model Pengembangan Desa-Kota yang saling Bermanfaat & Produktif
Permintaan Ekspor Pada Produksi Pertanian/Nonfarm

Produksi pertanian di perdesaan Pengeluaran bagi makanan dan Non Makanan Income bagi rumah tangga di perdesaan

Income bagi rumah tangga di perdesaan maupun di perkotaan Kegiatan Ekonomi NonFarm di Kota Besar, Kecamatan, Perdesaan

Pengeluaran konsumsi bagi Non-Makanan

Halaman 15

Permintaan ekspor pada produksi non-farm

Dari model tersebut, asumsinya adalah penekanan pada saat pelaksanaan bergeser dari pembangunan kerangka kelembagaan ke sangat perlunya faktor permintaan bagi produk-produk daerah tersebut. Hal ini sangat berkaitan dengan terjadinya keterkaitan desa-kota, dimana tanpa permintaan yang memadai maka komoditi yang dipilih untuk dikembangkan tidak dapat berkembang sesuai dengan yang diharapkan. Model dari konsep ini juga menggunakan model basis ekspor terutama pada manfaat dampak berganda yang diterima oleh sektor rumah tangga di perdesaan. Gambar 3, "Virtuous Circle Model", di atas lebih menjelaskan efek domino dari pengeluaran sektor rumah tangga di perdesaan pada saat sektor ini mendapat pendapatan. Seperti terlihat dalam model lingkaran manfaat di atas, ada dua jenis permintaan akan produk pertanian yang dapat menghasilkan keterkaitan desa-kota di suatu daerah : Pertama adalah permintaan dari dalam daerah tersebut itu sendiri akan produk pertanian. Hal ini dijelaskan dalam diagram di atas sebagai pengeluaran bagi makanan. Kedua, adalah permintaan dari luar daerah akan produk pertanian. Kedua jenis permintaan tersebut akan menghasilkan putaran berganda tambahan. Pendapatan yang didapat oleh sektor rumah tangga di perdesaan, sebagian akan dikeluarkan sebagai konsumnsi non-makanan dan akan dibelanjakan di sektor usaha di kota besar, kota kecil, dan desadesa di daerah itu sendiri. Hal ini juga memperlihatkan bahwa ada dua jenis permintaan dari luar daerah akan produk-produk non-pertanian, dengan dampak perputaran yang mirip dengan dua jenis permintaan akan pertanian. (Bagian kedua dari tulisan ini akan dimuat pada edisi 31mendatang). www.bappenas.go.id/get-file-server/node/8546

Halaman 16

Das könnte Ihnen auch gefallen