Sie sind auf Seite 1von 13

KONTRIBUSI KEHUTANAN MENGELIMINIR KRISIS PANGAN Oleh : Banjar Yulianto Laban*)

Latar Belakang
Tempo.co pada rabu, 14 Nopember 2012 memuat artikel dengan judul : Anak Indonesia Kurang Gizi. Substansi artikel adalah hasil Survei Nutrisi Asia Tenggara (SEANUTS) yang dilakukan Frisian Campina dan Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Peragi) terhadap 7.200 anak usia antara 6 12 tahun yang tersebar di 96 Kabupaten/Kota di Indonesia, mulai Januari hingga Desember tahun 2011. Butir butir hasil survei yang diharapkan dapat menjadi referensi Kementerian Kehutanan untuk membantu mengeliminir krisis pangan/krisis gizi adalah sebagai berikut : 1. Status gizi anak Indonesia dibandingkan negara lain di Asia Tenggara masih dikategorikan jauh dari cukup. 2. Anak Indonesia memiliki defisit energi hingga 70%, bahkan semakin buruk pada anak dengan umur yang lebih muda. 3. Anak Indonesia kekurangan protein hingga 80% dari angka kecukupan standar WHO (World Health Organization). Paling banyak kurang protein ditemukan pada anak perempuan di bawah umur 5 tahun. Kriteria anak yang diteliti, kecuali umur 6 12 tahun, juga berlatar belakang sosial ekonomi yang beragam, pendidikan orang tua yang beragam mulai rendah hingga Perguruan Tinggi. Sedangkan tujuan penelitian ini yaitu mengetahui status gizi anak Indonesia, agar terhindar dari konsekuensi yang harus ditanggung. Beberapa konsekuensi akibat krisis pangan dan atau kurang gizi, antara lain yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kematian, Cacat mental, Penurunan IQ hingga 13 poin, Penyakit tidak menular, Umur yang tidak panjang, Aktifitas fisik yang berkurang,

7. 8. 9. 10.

Produktifitas yang berkurang, Pendidikan rendah, Pembangunan psikomotorik yang terhambat, Beban sosial yang bertambah.

Penelitian gizi anak Indonesia tersebut diatas dilaksanakan di 96 Kabupaten/Kota atau hanya di 18% dari jumlah Kabupaten/Kota yang berkembang sampai saat ini di Indonesia. Posisi 18% tersebut tidak disebutkan jauh atau berdekatan dengan hutan. Namun, gambaran status gizi anak Indonesia yang diperoleh dari penelitian ini dapat mengarahkan juga ke kondisi lingkungan hidup mereka, antara lain ke pemukiman di dalam dan sekitar hutan. Dari sinilah peluang kontribusi kehutanan untuk mengeliminir krisis pangan atau kekurangan gizi akan lebih faktual dapat diaplikasikan, karena telah tercatat bahwa dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 219,9 juta jiwa, sekitar 48,8 juta jiwa atau 12% tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dari 48,8 juta jiwa penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar hutan tersebut, 10,2 juta jiwa atau 25% diantaranya tergolong dalam kategori miskin (Badan Pusat Statistik 2000-2005, sebagaimana dikutip Ismatul Hakim, 2010). Deforestasi dan degradasi hutan masih menjadi masalah krusial yang dihadapi sektor kehutanan saat ini. Laju deforestasi dan degradasi selama periode 2003 2008 mencapai 0,9 juta ha/tahun (Dephut, 2009, sebagaimana dikutip Ismatul Hakim, 2010). Banyak faktor yang memicu terjadinya deforestasi dan degradasi hutan, diantaranya adalah kondisi sosial/kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan yang relatif masih rendah, masih terbatasnya akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan, dan konflik tenurial yang sering berujung pada penyerobotan lahan ( dikutip dari buku Social Forestry Menuju Restorasi Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan, bab ORIENTASI MAKRO KEBIJAKAN SOCIAL FORESTRY DI INDONESIA, 2010 oleh Ismatul Hakim ( ismatulhakim@yahoo.com) Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Balitbanghut).

Dengan demikian pemahaman Kementerian Kehutanan tentang krisis pangan, kurang gizi, kurang protein, dan kategori miskin lebih dekat pada wacana politik atau kebijakan. Kebijakan yang membatasi akses masyarakat lokal/adat di sekitar hutan dalam ketidakjelasan memanfaatkan sumber daya hutan, menyebabkan konflik tenurial berujung pada degradasi hutan yang memicu krisis pangan masyarakat lokal/adat itu sendiri (25% yang tinggal di sekitar/dalam hutan masuk kategori miskin). Kontribusi paling awal Kementerian Kehutanan untuk mengeliminir krisis pangan adalah mereview atau merubah kebijakan, sehingga kebijakan baru yang dihasilkan dapat sejalan dengan upaya para pihak untuk pengentasan kemiskinan. Pengentasan kemiskinan adalah aksi untuk mengubah keadaan sehingga lebih banyak orang dapat makan, memiliki rumah layak, punya akses ke pendidikan dan kesehatan, terlindungi dari kejahatan atau ancaman lingkungan, dan dapat menyuarakan aspirasinya (Hubeis, 2004 sebagaimana dikutip Ismatul Hakim, 2010). Selanjutnya dapat dilaksanakan kontribusi teknis melalui pendekatan terintegrasi dengan sektor lain dalam mengatasi krisis pangan yang disebabkan oleh berbagai faktor atau masalah, yaitu (1) kekurangan gizi, (2) masalah standar hidup, (3) kenaikan harga pangan, (4) kenaikan harga BBM dan Perubahan Iklim, (5) kegagalan panen dan spekulasi harga pangan, (6) income masyarakat dan kependudukan.

(1) Masalah Kekurangan Gizi


Kontribusi Kehutanan untuk mengeliminir krisis pangan di negara tropis seperti Indonesia, sebenarnya dapat diandalkan asalkan intervensi liberalisme ekonomi kapitalis global dapat ditangkal dengan benar dan menjadi kompromi banyak pihak pendukung ekonomi kerakyatan, kearifan lokal dan pengakuan land tenuring. Hal tersebut terbukti dari hasil survey kerawanan pangan di sekitar hutan paska krisis moneter tahun 1998. Dari hasil survey ditemukan bahwa, peran masyarakat lokal/adat dalam mempelajari dan melindungi secara turun temurun potensi keanekaragaman hayati sumber pangan dan obat herbal di sekitar dan di dalam pemukimannya, memberi jawab atas lepasnya mereka dari

kekuatiran kekurangan gizi akibat krisis moneter yang (mungkin) berlanjut ke krisis pangan di pedesaan, khususnya yang berdekatan dengan hutan alam yang kecukupan keanekaragaman hayatinya sangat tinggi. Jauh sebelum krisis, FAO berdasar data terakhirnya, memperkirakan lebih dari 850 juta orang di seluruh dunia sudah kekurangan gizi. Artinya asupan makanan mereka, kalorinya tidak cukup lagi memenuhi kebutuhan minimum untuk hari-hari aktifitas kehidupan mereka. Indikasi ini menjadi satu-satunya produk penomenal kemenangan kapitalisme ekonomi yang menerapkan liberalisasi pasar yang dimulai pada paruh kedua abad ke-20 di negara-negara berkembang, artinya mereka diminta untuk membuka pasar bagi perdagangan bebas. Warisan liberalisasi pasar ini terus menggerus dan membekas dalam sistem peredaran pangan dunia, berarti membuat kaum miskin perkotaan dan pedesaan menjadi lebih rentan terhadap guncangan dari kekuatan pasar global. Contoh : ketergantungan masyarakat Indonesia pada perkembangan globalisasi dan liberalisasi pasar gandum (produk pangan negara empat musim yang maju dan kaya) dalam 3 dekade terakhir ini. Tempo.co tanggal 12 November 2012 memuat artikel dengan judul: Profesor Sorgum Menangis di Depan Dahlan Iskan. Artikel dengan judul menggelitik ini, menyebutkan bahwa Pemerintah berencana menggalakkan penanaman sorgum (tanaman pangan serba guna pengganti gandum) secara besar-besaran mulai Februari 2013, setelah sepanjang profesinya, Profesor Sungkono (IPB) menggeluti penelitian sorgum , sehingga komitmen Menteri BUMN ini menyebabkan beliau menangis terharu. Langkah ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap import gandum yang setiap tahun semakin meningkat tonasenya. Hal tersebut seiring dengan meningkatnya populasi masyarakat Indonesia yang gemar terpapar budaya makan fast food mie instan dan roti yang bahan baku gandum dalam memproduksinya mendominasi sejak sekitar 3 dekade yang lalu. Selanjutnya Dahlan Iskan mengatakan: kita yang miskin terus menghidupi petani negara maju.

Fast food, boleh jadi trendsetter transisi dari agraris ke industri atau
menjadi ikon perilaku komunitas negara industri. Karakter yang nampak pada hari lepas hari masyarakat transisional dan industri ini adalah karakter komunitas manusia yang diperbudak oleh hasil karyanya sendiri. Mengendalikan mesin industri yang cepat harus diimbangi dengan budaya makan yang cepat dan cara saji yang cepat pula. Keseragaman bahan pangan sebagai dampak pengabaian terhadap keanekaragaman bahan pangan, menyebabkan manusia kehilangan banyak pilihan dan peluang berimprofisasi dalam mengolah keanekaragaman asupan gizi potensial. Situasi inilah yang menyebabkan kita kenyang makan, tetapi lapar gizi. Berbasis gizi inilah FAO mengukur kualitas sumber daya manusia dalam mengelola kalori untuk keseimbangan, ketahanan dan kemajuan hidupnya. Kelaparan boleh jadi karena berbagai faktor yang mempengaruhi ketersediaan dan distribusi bahan pangan. Ketimpangan supply-demand peredaran bahan pangan, penyebab utama kelaparan yang sekaligus berdampak pada kekurangan gizi. FAO memperkirakan kelaparan dan kekurangan gizi menyebabkan 3,5 juta kematian anak di dunia setiap tahun.

(2) Masalah Standar Hidup


Minimnya pilihan dan peluang karena dahsatnya booming keragaman pangan yang diatur produksi dan distribusinya secara kapitalistik dapat menyebabkan harga pangan meningkat dan daya beli rakyat berkurang. Bila ini terjadi dan dibiarkan, maka standar hidup akan menukik tajam ke kemiskinan total. Kondisi ini akan sangat terasa di pedesaan dekat Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Perkebunan Kelapa Sawit, suatu hutan/kebun monolitik yang pengaturan pengelolaannya sama sekali kurang membuka peluang dan keterlibatan masyarakat lokal di sekitarnya untuk bekerja dan mengembangkan keanekaragaman pangan lokal secara tumpang sari. Pengelola unit HTI dan atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi, apabila tidak atau hanya memberi sedikit akses kepada masyarakat lokal untuk berupaya bersama mendapatkan keanekaragaman pangan lokal dan asli yang dikembangkan secara tumpang sari di kawasan hutan

dimaksud serta menutup aliran dampak langsung atas kelestarian sumber daya air bagi wilayah pertanian/persawahan di sekitar hutan, maka akan timbul indikasi kerentanan sosial, terutama pada anak-anak berupa: Keluar dari sekolah dan bekerja di kota atau desa lainnya hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, Lebih awal melakukan pernikahan dini, kemudian pindah ke kampung yang lebih menjanjikan, Kondisi kesehatan yang minimal, Kehilangan hak-hak dasar lainnya. Indikasi kerentanan sosial tersebut diatas diharapkan dapat diatasi dan dieliminir dengan penetapan standar hidup berdasar pendekatan sosial yang selaras dengan prospek kekuatan ekonomi lokal dan rencana tata kelola lingkungan hutan setempat (berdasar pemetaan partisipatif), yang secara integral kondusif dengan pembangunan komitmen bersama masyarakat lokal setempat melalui beberapa skema perizinan pengelolaan hutan yang berlaku. Kelancaran pencapaian target kinerja pembangunan skema Hutan Kemasyarakatan di Hutan Produksi yang kurang produktif, kiranya perlu dilandasi analisis berdasar indikasi awal kerentanan sosial masyarakat lokal di sekitarnya. Demikian halnya untuk skema Hutan Desa. Analisis ini seyogyanya dilakukan oleh petugas penyuluhan kehutanan di Badan Pelaksana di tingkat Kabupaten/Kota bersama koordinator penyuluh tingkat provinsi dan fungsional penyuluh kehutanan di tingkat pusat, melalui metoda wawancara dan fasilitasi dialog penyusunan rencana aksi. Untuk strategi pendanaan melalui sistem APBN, disarankan agar ada komitmen bilateral eselon I di Kementerian Kehutanan antara Ditjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial dengan Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kehutanan dalam bentuk rencana aksi dan pendanaan tahunan yang

jelas: siapa berbuat apa, dimana posisi dana, lokasi pelaksanaan dan waktu pelayanannya. Untuk skema pengelolaan lainnya, baik di hutan produksi (HPH, HTI, HTR), hutan lindung (HKm,HD) maupun hutan/kawasan konservasi, pada prinsipnya perlu pendekatan yang sama dengan menitik beratkan pada persyaratan sesuai: fungsi hutan/kawasannya, unit pengelolaan KPH yang melingkupinya dan komitmen kerjasama pengelolaan pendanaannya yang disesuaikan dengan perkembangan implementasi REDD+. Mengingat bahwa etika dan komunikasi para pihak adalah pendekatan awal dan landasan segalanya bagi implementasi program dan skema pengelolaan hutan di Indonesia ke depan, maka sebagai ujung tombak dalam merekomendasikan situasional target standar hidup yang akan dicapai di masing-masing skema, fungsional penyuluh harus dilibatkan. Tanpa pelibatan penyuluh ibarat tidak ada upaya penajaman/ pengasahan ujung tombak di Kementerian Kehutanan, sehingga visi kehutanan gagal, karena tidak ada program dan skema pengelolaan hutan yang tembus ke masyarakat lokal/adat setempat.

(3) kenaikan harga pangan


Mewujudkan target situasional standar hidup di masing masing skema pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat lokal/adat setempat, perlu dikawal dan konsisten dievaluasi oleh Tim kolaboratif berdasar keputusan Menteri Kehutanan dan atau Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) agar dapat segera diantisipasi gejolak besar penyimpangan yang diperkirakan akan terjadi. Pengawalan dan evaluasi rutin tersebut diatas harus diadakan, mengingat hasil analisis Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), yaitu harga pangan dunia meningkat terus sejak tahun 2002. Catatan penting yang harus diperhatikan Kementerian Kehutanan dalam berkontribusi mengatasi krisis pangan (Jangka pendek dan jangka panjang) adalah sebagai berikut :

Kemajuan dramatis pada tahun 2007: Harga pangan meningkat 83 % sejak tahun 2005 dan melompat 47 % antara Januari 2007 dan Januari 2008. Dari aspek Kehutanan berarti langka pangan (demand lebih banyak dari pada supply), kegagalan panen, kerusakan lingkungan termasuk hutan sebagai penyangga kehidupan ketersediaan pra sarana pangan (air dan nutrisi), kepadatan penduduk, kerentanan sosial dan perkembangan kinerja perhutanan sosial yang sangat lambat. Peningkatan tajam tersebut dalam hal harga sereal, beras, susu,kedelai, minyak sayur, daging,dan gula. Semua komoditas pangan ini dihasilkan dari hamparan bentang alam spesifik dengan jenis komoditas yang monokultur dan memerlukan kontribusi peran hutan secara tidak langsung, antara lain dalam hal sebagai penjamin kontinuitas ketersediaan air irigasi, iklim mikro dan penangkal perubahan iklim yang berdampak langsung ke kawasan pertanian. Keterkaitan dengan ketersediaan air, sesuai Instruksi Presiden No. 10 tahun 2011 tentang Penundaan Izin dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Hujan Tropis dan Kawasan Gambut, pada kesempatan ini diingatkan agar pembangunan perluasan sawah untuk ketahanan pangan berupa padi dan gula tebu di lahan gambut jangan sampai bertentangan dengan prinsip implementasi REDD+ di Hutan Alam Hujan Tropis dan Kawasan Gambut, sehingga emisi CO2 dapat ditangkal, antara lain dengan pengendalian tata air dan mencegah pembakaran hutan dan lahan (gambut). Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang berkaitan dengan pengelolaan keanekaragaman hayati pangan di dalam kawasan hutan, antara lain sagu, sukun dan jenis umbi-umbian seperti di Papua.

(4) kenaikan harga BBM dan Perubahan Iklim


kontribusi kehutanan seyogyanya mengarah ke bahan energi alternatif. Sumber daya untuk energi alternatif ini dapat ditemukan dari hutan, baik langsung maupun tidak langsung. Secara langsung antara lain buah

pohon nyamplung, melalui proses hidrolisa akan kita peroleh bio diesel. Potensi nyamplung secara alami sangat banyak di pantai kering beberapa pulau di Indonesia timur. Bio diesel ini bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar mesin kapal nelayan dalam melaksanakan perikanan tangkap di laut banda, laut arafura dan perairan yang berhubungan langsung dengan lautan pasifik. Sedangkan yang secara tidak langsung adalah memanfaatkan peran hutan alam dalam mengendalikan iklim mikro, termasuk dalam hal ini mata air dan aliran sungai sebagai sumber energi Pusat Listrik Tenaga Air ( PLTA). Sayang sekali, pengembangan kontribusi tersebut diatas, banyak menghadapi kendala dalam pengembangannya. Misalnya dalam 3 tahun terakhir ini, bio diesel nyamplung masih pada level penelitian di laboratorium dan di wilayah habitat kecil formasi nyamplung (Callophillum inophillum) di Pulau Selayar Sulawesi Selatan. Disamping itu, masih pada level penelitian, beberapa jenis tanaman pohon dan umbi-umbian hutan sedang dicari tingkat efektifitasnya dalam menghasilkan metanol. PLTA, operasionalnya tergantung kondisi hutan alam dan suasana iklim mikro yang mempengaruhinya. PLTA di Lampung Tengah terancam kelangsungan operasionalnya, karena Hutan Lindung Batu Tegi semakin lemah fungsinya. Penebangan pohon dan perambahan hutan untuk kebun secara ilegal mempercepat bangkrutnya PLTA. Perubahan iklim mikro yang cepat dan drastis karena penebangan liar merusak potensi hutan alam, menimpa juga Gunung Mutis di Timor Nusa Tenggara Timur. Dalam kurun dua dekade, jumlah mata air di Gunung Mutis hilang 90%, yaitu dari 400 mata air, sekarang hanya ada sekitar 40 mata air yang tidak mencukupi untuk irigasi hamparan lahan pertanian yang ada. Alternatif memanfaatkan uap panas bumi (geo thermal) untuk menambah energi listrik, terus dikembangkan level explorasinya. Bahkan Instruksi Presiden No. 10 tahun 2011 tidak menutup explorasi tersebut di kawasan hutan alam hujan tropika yang sedang dimoratorium sampai 20 Mei 2013.

Kinerja dan Upaya tersebut diatas, menjadi gambaran sejauh mana Kementerian Kehutanan berkontribusi untuk mengeliminir krisis pangan sekaligus krisis energi. Diharapkan peningkatan kinerja dan kelancaran upaya untuk mengatasi krisis pangan dan energi pada tahun tahun mendatang dapat menjadi prioritas Pemerintah Indonesia. Sebagai tolok ukur apa dan seberapa besar yang harus dicapai tingkat kinerjanya, disamping memperhatikan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon 26% 41% pada tahun 2020 melalui wacana REDD+ dan kegiatan perlindungan/rehabilitasi hutan, juga memperhatikan hasil analisis FAO terkait dengan mengapa krisis pangan dunia dapat terjadi dari aspek energi dan perubahan iklim, sebagai berikut : Kenaikan harga minyak (BBM): Harga minyak meningkat enam kali lipat sejak tahun 2002, maka secara langsung mempengaruhi biaya produksi pangan dan transportasi. Permintaan biofuel: Sekitar 30% produksi jagung di AS pada tahun 2008, digunakan untuk etanol (trend baru : menanam tanaman untuk bahan bakar lebih untung daripada menanam tanaman untuk makanan). Kekeringan dan perubahan iklim: Produksi gandum di Australia pada tahun 2007-2008 turun 52% dari produksi tahun 2006 dan 2007 (kondisi cuaca buruk telah mengurangi panen gandum di negara produsen utama).

(5) kegagalan panen dan spekulasi harga pangan


Kontribusi kehutanan dalam hal ini adalah bagaimana dapat membantu sektor pertanian pangan untuk mempertahankan dan meningkatkan produktifitas pertanian serta mencari dan mengembangkan alternatif pengganti dan atau komplemen gandum berupa keanekaragaman tepung bahan pangan antara lain, yaitu : Sagu, sukun dan umbi-umbian asli Indonesia, disamping sorgum dan jagung yang berhasil diujicoba di beberapa lokasi lahan pertanian di Indonesia.

Untuk meningkatkan produktifitas pertanian, kontribusi kehutanan yang paling pokok adalah menjamin pelestarian sumber pasokan air irigasi dan mencegah serta mengupayakan penegakan hukum dalam hal perambahan lahan di dalam kawasan hutan. Issue tentang semakin berkurangnya investasi pemerintah di bidang pertanian, perlu segera dikaji, mengingat investasi di infrastruktur yang sangat besar seperti jalan Tol di Jawa dan jalan antar provinsi di luar Jawa juga sangat mengurangi luas lahan pertanian produktif dan potensi intensifikasi pengembangan pertanian. Penataan ruang dan integrasi pembangunan antar sektor perlu dipercepat dan ditingkatkan secara serius, karena landasan kepastian hukum pelaksanaan pembangunan semua sektor sangat tergantung sekali pada pengaturan pemanfaatan bentang alam sesuai fungsi dan kondisinya tersebut. Kontribusi Kehutanan dalam hal ini adalah realisasi segera operasional KPH, agar kepastian hukum dan kegiatan pelayanan teknis kehutanan di lapangan semakin mantap. Selanjutnya tolok ukur yang diberikan oleh FAO untuk antisipasi dan pencapaian target kinerjanya dalam mengatasi krisis pangan dalam konteks ini, adalah sebagai berikut: Penurunan produktivitas pertanian: Di daerah pedesaan, sebagai bagian dari 70% wilayah termiskin di dunia, 1,2 miliar orang bertempat tinggal dan bekerja dengan produktivitas pertanian yang terus menurun tajam. Cadangan gandum semakin berkurang: Cadangan gandum swasta dan Pemerintah berada di titik terendah sepanjang waktu terakhir ini , yaitu dalam kurun 8 tahun terakhir ini, dunia mengkonsumsi gandum lebih dari kekuatan produksinya. Spekulasi pasar: Pada tahun 2007, spekulan pasar mulai berinvestasi lebih banyak di pasar makanan dan industri komoditas untuk mengambil keuntungan dari kenaikan harga pangan.

(6) income masyarakat dan Kependudukan


Di depan sudah disebutkan bahwa kontribusi Kementerian Kehutanan yang paling awal untuk mengeliminir krisis pangan adalah mereview atau merubah kebijakan sehingga visi hutan lestari rakyat sejahtera semakin diperkuat. Merubah kebijakan dalam hal ini ternyata tidak gampang. Banyak kendala yang mungkin akan mengganjal kelancaran praktek kontribusi teknisnya, apabila kebijakan baru yang dihasilkan tidak memperhatikan kenaikan income/pendapatan dan kependudukan sebagaimana data dan informasinya disampaikan FAO di bawah ini: Pendapatan/income: Pertumbuhan ekonomi yang cepat di negara berkembang, berarti jumlah populasi dunia yang lebih besar sekarang mampu makan lebih banyak dari apa yang mereka makan secara tradisional, serta lebih banyak makan daging. Peningkatan permintaan daging berarti menekan sumber daya lain seperti pasokan air dan biji-bijian yang diperlukan untuk memberi makan ternak.- Alternatif kontribusi Kementerian Kehutanan dalam hal ini antara lain adalah: pengembangan silvo pastur, silvo fisheries dan jamur kayu. Pertumbuhan penduduk: Populasi global berkembang terus selama 50 tahun terakhir ini. Untuk ukuran saat ini, diperkirakan 6,7 miliar orang. Berdasar tingkat pertumbuhan saat ini, diperkirakan akan ada tambahan 1 miliar lebih mulut diberi makan pada tahun 2050.-Kontribusi Kementerian Kehutanan adalah percepatan proses kejelasan atau pemantapan kawasan Hutan Negara, Hutan Adat dan Hutan Hak, sehingga mengarah ke kepastian pengelolaan hutan yang lestari untuk kesejahteraan rakyat. Urbanisasi: Diperkirakan, untuk pertama kalinya dalam sejarah, saat ini lebih dari setengah populasi dunia, sekitar 3,4 miliar, tinggal di daerah perkotaan. Ini berarti lebih banyak permintaan menghasilkan makanan kepada petani di pedesaan untuk memberi makan penduduk kota. -Kontribusi kehutanan adalah membuka peluang kerja yang seluas-luasnya di hulu dikaitkan dengan

aplikasi wacana REDD+, meliputi : pelayanan efisiensi dan legalitas bahan baku industri primer kehutanan , mengurangi CO2e, restorasi hutan alam, rehabilitasi/reboisasi dan perdagangan karbon. Pembatasan Ekspor: Dalam upaya mengurangi dampak krisis pangan pada populasi masing masing negara, beberapa negara telah membatasi ekspor berbagai bahan dan jenis makanan. Tindakan ini mengakibatkan situasi yang lebih berbahaya bagi negara-negara pengimport makanan bersih.- Dalam hal ini kontribusi kehutanan antara lain adalah mengembangkan budidaya dan export hasil hutan bukan kayu berupa bahan pangan, obat herbal dan bahan energi alternatif terbarukan. Bogor, 17 Nopember 2012 *) Pengamat Hutan Hujan Tropika.

Das könnte Ihnen auch gefallen