Sie sind auf Seite 1von 99

BAB II PEMBELAJARAN BERPIKIR KESEJARAHAN

A. Pembelajaran Sejarah 1. Pengertian Sejarah dan Pendidikan Sejarah Melalui kamus online yang tersedia dalam http://education.yahoo.com/reference/dictionary/entry?id=h0219800, dan diakses tanggal 15-3-2005), terdapat beberapa pengertian sejarah. Dalam bentuk kata

benda sejarah diartikan; sebuah narasi dari peristiwa-peristiwa; suatu cerita (A narrative of events; a story), dan suatu catatan peristiwa secara kronologis (A chronological record of events). Pengertian lain adalah suatu cabang ilmu yang mencatat dan menganalisa kejadian-kejadian masa lalu ( The branch of knowledge that records and analyzes past events), dan kumpulan keseluruhan peristiwa peristiwa masa lampau dari kegiatan-kegiatan manusia (The aggregate of past events or human affairs: basic tools used throughout history). Secara sederhana diartikan pada sesuatu yang terkait dengan masa lampau (Something that belongs to the past). Terminologi sejarah dikenal sebelumnya dari bahasa Arab, syajaratun, yang berarti pohon kayu. Arti ini dimaknai dalam silsilah (family tree), asal-usul, pertumbuhan dan perkembangan yang kontinuitas dari suatu komunitas atau peristiwa (Sjamsuddin, 1996:2). Sedangkan makna yang berkembang kemudian adalah sejarah yang diambil dari bahasa Yunani kuno, historia yang berarti

34

belajar dengan cara bertanya (inquiry). Kemudian dialihkan ke bahasa Inggris, history, yang diartikan sebagai sejarah. Hampir sama dengan batasan di atas, namun secara rinci dan tegas batasan sejarah menjadi jelas terpisah dengan peristiwa alam pada perkembangan berikutnya. Seperti yang disampaikan oleh Woolever dan Scoot (1988, 115) bahwa, sejarah adalah kajian tentang masa lampau manusia, aktivitas manusia di bidang politik, militer, sosial, agama, ilmu pengetahuan dan hasil kreativitasnya (seni, musik, literatur dan lainnya). Lebih lanjut, batasan sejarah, yang terkait dengan penekanan pada konsep waktu kelampauan ini berkembang pula. Seperti yang diungkapkan oleh Amy Von Heyking (2003),sejarah bukanlah cerita masa lampau, dan bukan catatan peristiwa sejarah yang terjadi di masa lalu, melainkan sebuah bentuk kegiatan inquiry yang menolong kita membangun sebuah pemahaman dari kehidupan kita baik secara individu maupun kolektif dalam waktu tertentu. Ungkapan Heyking ini, tidak terlepas dari pemahaman bahwa sejarah adalah sebuah disiplin ilmu yang merupakan hasil interpretasi yang diperlukan kejelasan kevaliditasan, dan kredibilitas bukti sejarah tersebut dalam kaitannya untuk dianalisis, dibangun dan dibangun kembali narasi tentang masyarakat, peristiwa, dan gagasan di masa lampau ( Foster dan Yeager,1999, Mc Neil, 2000). Dari perkembangan pengertian sejarah di atas, jelaslah bahwa unsur-unsur yang melekat pada sejarah adalah manusia, peristiwa, masa lalu, catatan/rekaman peristiwa, tempat/ruang kejadian dan kronologis, kegiatan inquiry/interpretasi dari suatu peristiwa masa lampau secara ilmiah. Sidi Gazalba (1981 : 2), Gross (1978

35

: 92), dan

Lucey (1984 : 9), menekankan pada tiga aspek

utama yang

menggambarkan secara keseluruhan dari pengertian sejarah, yaitu peristiwa, manusia dan waktu. Peristiwa yang terjadi hanya satu kali, bersifat unik. Peran manusia dalam melakoni peristiwa tersebut dan waktu terjadinya peristiwa tersebut. Dapat dikatakan bahwa menurut ungkapan tersebut, bukan sejarah, jika tanpa tiga aspek tersebut. Berkaitan dengan upaya pemahaman dan perekonstruksian sejarah, maka sejarah juga merupakan sebuah kajian tentang peristiwa masa lalu yang tidak pernah final dikarenakan tidak lengkapnya. Sejarah sebagai suatu kajian tentang masa lampau memberikan catatan-catatan yang tidak lengkap. Seperti yang diungkapkan oleh Lucy dan Mark Ohara (2001:1),as the study of everything that has happened, which given the incomplete record available, would inevitabel be less than full story but would still be extremely large and complex. Pemahaman dan kajian tentang sejarah terus berkembang. Sejarah yang semula hanya terbatas pada cerita masa lalu, kemudian masuk pada kelompok ilmu pengetahuan, berkat jasa bapak sejarah, Heradotus, Oleh sebab itu sebagai sebuah kajian peristiwa manusia masa lalu, sejarah sangat memerlukan

ketrampilan berpikir kritis. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Mc Neil (2000), bahwa, history knowledge is no more and less than carefully and

critically constructed collective memory. Dengan kata lain, pengetahuan sejarah itu tidak lebih kurang adalah koleksi ingatan yang dibangun secara hati-hati dan kritis.

36

Dimensi waktu dalam sejarah, terus disadari bukan hanya untuk upaya perekonstruksian, tetapi lebih dari itu. Sejarah bukan hanya nostalgia atas kejadian lampau, tetapi sebagai sebuah dialog yang terus menerus ke masa sekarang dan akan datang. Sejarah adalah suatu dialog tanpa akhir antara masa sekarang dan masa lampau (Carr, 1965 : 35). Masa sekarang diketahui melalui penjelasan tentang masa lampau. Namun dialog tersebut hanya dapat dicapai melalui penelusuran jejak-jejak sejarahnya. Sebagaimana juga dinyatakan oleh

Coolingwood (2001:140) yang menyatakan bahwa, the past is the explanation of the present, but the past only known by analyzing its traces in the present Terkait dengan penulisan sejarah yang akurat, objektif serta tidak pernah final, karena dibatasi oleh catatan sejarah. Keterbatasan catatan sumber sejarah, menurut Commager (dalam Woolever dan Scoot, 1988: 118), adalah disebabkan penulisan atau catatan sejarah cenderung dibuat oleh kelompok yang menang perang, dan bukan oleh kelompok yang kalah, atau tersisih. Lebih lengkap

dikatakannya, Over the centuries history has been written by the victors, not the vanquished. Selain itu ditambahkannya, bahwa adanya sekelompok orang memiliki catatan sejarah yang lengkap dibanding yang lainnya, misal antara bangsa Eropa dengan bangsa Afrika atau Amerika latin. Selain itu sebelum adanya perubahan fokus penulisan sejarah yang dilakukan kelompok Annales, catatan sejarah lebih banyak mencatat kelompok terpelajar, orang besar, penguasa dan sedikit sekali mencatat aktivitas manusia kelas bawah, underclass the common people the working class. Ditambahkan Commager (dalam Woolever dan Scoot, 1988: 119-120) adanya faktor lain yang menyebabkan biasnya sejarah,

37

yaitu (1) membesarkan, membuat spektakuler suatu kejadian atau individu, (2) penulisan sejarah yang dipengaruhi oleh rasa kesukuan dan nasionalisme

sejarawan, (3) memberikan penilaian terhadap peristiwa masa lalu dengan standar dan nilai yang berlaku sekarang, (4) membiarkan pengetahuan tentang peristiwa yang belakangan terjadi mempengaruhi kita dalam menganalisis, misal sebab akibat. Mengenai permasalahan ketidaklengkapan data catatan sejarah, maka Woolever dan Scoot (1988) membagi sejarawan ke dalam dua golongan, berdasarkan tulisan sejarah yang dihasilkannya, yaitu descriptive (narrative historians) dan scientific historians. Jika golongan sejarawan yang pertama lebih diarahkan penulisan sejarah pada kegiatan humanis dan kurang memiliki karakteristik objektif dari ilmu sosial, maka sejarawan golongan kedua memiliki komitmen pada sifat, metode, pendekatan ilmu dalam mengupas dan merekonstruksi masa lalu. Sebagai suatu mata pelajaran di sekolah, sejarah merupakan mata pelajaran yang tertua dibandingkan disiplin ilmu sosial lainnya. Pendidikan sejarah diajarkan di sekolah sejak zaman penjajahan, sesudah kemerdekaan hingga sekarang (Hasan, 2000:9). Pemberian pendidikan sejarah ini lebih diorientasikan kepada kepentingan penguasa/pemerintah yang ada mulai dari Belanda dan Jepang. Gonggong (2003). mengatakan dalam periode tertentu

pelajaran sejarah di Indonesia sesudah kemerdekaan juga dijadikan alat penopang kekuasaan. Untuk mengurangi hal tersebut, Gonggong menyarankan agar dalam

38

pengertian pendidikan sejarah harus diberikan di depan kelas sebagai sejarah dalam pengertian ilmu, tidak dalam pengertian politik. Pendidikan sejarah tidak hanya dimaknai sebagai alat untuk memberikan pemahaman tentang kemegahan dan kegagalan suatu bangsa di masa lampau, tetapi juga memperkenalkan pebelajar terhadap disiplin ilmu sejarah (berpikir keilmuan) (Hasan, 2003). Dalam konteks makna pendidikan sejarah yang pertama, maka pendidikan sejarah cenderung bersifat transmisi dalam implementasinya, atau lebih fokus pada sisi manusia, generasi penerus. Sedangkan yang kedua menempatkan sejarah seperti tradisi kedua social studies, as a social sciences, atau dapat dikatakan lebih memfokuskan pada sisi disiplin ilmu. Hal ini menekankan pendidikan sejarah kepada kualitas berpikir, mempelajari dan mengembangkan berbagai ketrampilan yang diperlukan dalam ilmu sejarah. Menurut Hamid Hasan (2003) fokus kurikulum pendidikan sejarah hendaklah menjadikan manusia dan ilmu sebagai salah satu sumber dan bukan satu-satunya. Peranan pendidikan sejarah sebagai salah satu tiang atau landasan utama bagi pendidikan IPS (Wiriaatmadja (1992:12), terutama untuk penanaman nilainilai seperti pengenalan jati diri, empati, toleransi yang akan menumbuhkan sense of belonging dan sense of solidarity. Nilai-nilai ini diperlukan untuk membentuk identitas nasional. Di tengah era globalisasi, yang disebut juga era neoliberalisme oleh Mansour Fakih (2001), pembentukan identitas nasional tidaklah mudah. Salah satunya tantangan dari cyber media, yang mengakibatkan transnasional. Sebagai contoh adalah peristiwa sengketa Ambalat antara Indonesia dengan

39

Malaysia, masyarakat Indonesia serentak bertambah semangat nasionalismenya, tidak saja yang ada di Indonesia, juga yang ada di negara-negara lain. Contoh

lain, betapa singkat dan mudah terbakar emosi masyarakat dunia pemeluk Islam, saat tayangan televisi menayangkan serangan Amerika atas Irak, atau juga tindakan sembrono tentara Amerika terhadap Al-Quran di penjara Guantenamo. Oleh karena itu menurut Von Laue (1995:22) pengajaran sejarah di masa depan haruslah memiliki ciri (1) sejarah yang tidak menekankan hanya pada sejarah nasional dan lokal, tetapi juga diperlukan sejarah global.(2) sejarah yang berintikan adanya hubungan yang selaras sesama manusia dengan landasan saling menyayangi dan memperkokoh kesetiakawanan, dan bukan sebaliknya, (3) sejarah yang memiliki pandangan ke masa depan dengan bertolak dari peristiwa masa lampau. Di dalam proses pengajaran sejarah guru diberi kesempatan untuk

merancang pengembangan kualitas kesejarahan ini dalam suatu proses pendidikan yang sinergis (Hasan, 2000). Kemampuan, inovasi guru dalam mengorganisasikan materi, tujuan, pembelajaran, fasilitas pembelajaran dan pola evaluasi yang akan digunakan akan menentukan keberhasilan belajar siswa (Hasan, 1996). Guru sebagai gate keepers memiliki keleluasaan dalam memutuskan bagaimana rancangan pembelajaran, pelaksanaanya, dan penilaian yang akan dilakukan di dalam kelasnya (Thornton, 1994: 5). Secara lebih luas paparan mengenai apa dan bagaimana tujuan dan manfaat yang diharapkan diperoleh oleh siswa sebagai subjek belajar dalam skala kecil, dan warga bangsa dalam skala besar, dituangkan dalam sub bab berikut ini.

40

2. Tujuan dan Manfaat Pembelajaran Sejarah Perubahan zaman yang disebabkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi, membawa pengaruh terhadap keberadaan mata pelajaran sejarah di sekolah. Siswa mulai mempertanyakan tujuan dan manfaat yang didapatnya dari pelajaran tersebut, selain bernostalgia dengan peristiwa masa lampau. Isu tentang proses dan hasil belajar sejarah yang kurang menyenangkan selama ini, termasuk juga sikap, anggapan siswa dan masyarakat yang ditujukan terhadap mata pelajaran sejarah menjadi bahan diskusi, pemikiran dari para sejarawan dan pakar pendidikan sejarah. Sebagaimana ungkapan Collingwood di atas sehubungan dengan kaitan dimensi waktu dalam sejarah, dialog antara dimensi waktu lalu dan sekarang bahkan masa depan tidak pernah terputus. Masing-masing dimensi memiliki posisi yang strategis. Masa lalu diperlukan untuk menjelaskan, memahami kehidupan yang dijalani manusia sekarang ini dan seterusnya dapat digunakan untuk kebaikan kehidupan masa depan. Jadi sejarah bukanlah ilmu pendidikan yang disampaikan hanya untuk bernostalgia. Seperti dipertegas oleh Frankel (2003) yang menyatakan, .History is the study of the past ..the past causes the present, and so the future. Sementara itu ancaman atas keberadaan pelajaran sejarah di sekolah sangat dikaitkan oleh masyarakat dengan anggapan keberhasilan hidup (materi, ekonomi). Mackinolty (2001:5) mengungkapkan bahwa pelajaran sejarah dipertanyakan kerelevanannya untuk dipelajari terkait dengan kemajuan teknologi yang menekankan pada hasil produksi, ekonomi, kebendaan.

41

Keharusan untuk mempelajari sejarah diungkapkan oleh Peter N Stearn (2001, tersedia dalam http://www.theaha.org/pubs/stearn.htm, diakses tanggal 52-2004) yang mengatakan bahwa, history should be studied because it is essential to individuals and to society, and because it harbors beauty. Sejarah harus dipelajari bukan hanya esensial bagi individu dan masyarakat, tetapi juga karena ia menghasilkan keindahan/kesenangan. Dia pun mengungkapkan bahwa ada dua alasan utama yang mendasari mengapa harus belajar sejarah yaitu; pertama, sejarah menolong kita untuk memahami orang dan masyarakat (History helps us understand people and societies), dan kedua, sejarah menolong kita memahami perubahan dan bagaimana masyarakat di tempat kita tinggal ada/muncul ( history helps us understand change and how society we live in came to be). Selain itu ditambahkannya bahwa sejarah sangat penting dalam kehidupan manusia, karena sejarah memberikan kontribusi untuk memahami moral, identitas, dan hakekatnya untuk membentuk warganegara yang baik, dan juga menolong manusia untuk memahami bagaimana perubahan masa lalu, sekarang dan akan datang. Lebih lengkap diungkapkan oleh Peter Stern (2001), contributes to moral understanding, provides identity, essential for good citizenship,.helps us understand how recent, current, and prospective changes that effect the lives of citizens are emerging or may emerge and what causes are involved. Ditambahkannya pula bahwa hal yang lebih penting lagi dalam mempelajari sejarah adalah, mendorong perilaku berpikir yang merupakan hal penting untuk sikap warganegara yang bertanggung jawab, sebagaimana pimpinan bangsa atau tokoh masyarakat.( encourages habits of mind that are vital for responsible public behavior, whether as a national or community leader).

42

Selain itu juga, bagi umat Islam, keharusan belajar dari sejarah, diantaranya tertuang dalam Al Quran, antara lain dalam surat Al-Hasyr

59:18,perhatikanlah apa yang telah engkau perbuat untuk hari esokmu, dan, sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (Q.S. Yusuf, 12 : 111). Dalam Al-Quran diuraikan kisah teladan para nabi, rasul dan pengkisahan kehidupan bangsa-bangsa di masa lampau, ahlak serta bencana-bencana yang menimpa mereka, untuk direnungkan dan diambil pelajaran dalam upaya memperbaiki kehidupan manusia saat ini dan nanti. Pendapat lain yang memberikan alasan mengapa harus dilakukan belajar dan mengajar sejarah di sekolah adalah agar siwa dapat menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan berpengetahuan. Secara lengkap alasan mengapa harus belajar dan mengajar sejarah, menurut Robert Guiterez (1999, tersedia dalam http://www.theada.org/pubs/why/blackeyintro.htm), yaitu: To understand why people think the way they do, why people behave the way they do, to determine how people might behave. These goals relate to the reason history and social studies are taught at all: that is, to help students become more responsible and knowledgeable citizens. Selain itu pentingnya pelajaran sejarah ini diberikan di sekolah sangat terkait dengan perkembangan bangsa, bukan sekedar keinginan melainkan merupakan kebutuhan nasional. Dinyatakan oleh Cleaf (1991:38), bahwa melalui mata pelajaran sejarah dapat menolong siswa mengembangkan pemahaman dan apresiasi terhadap

warisan dan tradisi-tradisi, serta mereka akan mampu membandingkan kemajuan yang diperoleh bangsanya dibandingkan dengan bangsa lain. Selain itu melalui

43

mata pelajaran sejarah seyogyanya siswa dapat memahami dan mengapresiasikan peristiwa-peristiwa sejarah itu sendiri (Syamsuddin, 1999). Dari penelitian Stanton Burgess Turner (1987) yang memfokuskan bagaimana pendapat siswa, guru, instruktur, administratur dan orang tua tentang kegunaan sejarah, mendapatkan suatu kesimpulan bahwa topik-topik yang relevan dengan kehidupan siswa dianggap sebagai kurikulum sejarah yang disarankan untuk menolong siswa mendapatkan manfaat dari belajar sejarah. Dalam pembelajaran sejarah selain memberikan kesadaran kepada peserta didik bahwa perubahan yang terjadi merupakan kejadian biasa, juga

membiasakan siswa akan situasi konflik dan kemudian belajar menghadapinya dengan pengetahuan bagaimana mengelola (conflict management) dan mengatasi konflik (conflict resolution) (Wiriatmadja, 2002). Sejarah juga mengajarkan manusia untuk bijaksana dalam memandang berbagai peristiwa yang kontroversial di masa lalu, sehingga kita mampu melakukan refleksi terhadap berbagai kecenderungan dalam menjalani kehidupan saat ini. Di samping itu, sejarah juga juga memberikan makna pemahaman, apresiasi dan pengertian terhadap berbagai masalah yang tumbuh dan berkembang di masyarakat (Jarolimek, 1996). Lebih khusus pendidikan sejarah adalah dasar bagi terbinanya identitas nasional yang merupakan salah satu modal utama membangun bangsa (Widja, 1989). Hal senada dikatakan oleh Buckhardt (dalam Jacques Barzun, 1991) bahwa tujuan pendidikan sejarah adalah (1) menempa identitas nasional, (2)

44

memelihara hubungan integrative dalam ruang lingkup yang luas, dalam kehidupan internasional;(3) menanamkan nilai-nilai kewargaan dan etika. Melalui sejarahlah nilai-nilai masa lampau dapat dipetik dan digunakan untuk menghadapi masa kini. Oleh karena itu tanpa sejarah orang tidak akan mampu membangun ide-ide tentang konsekuensi dari apa yang dilakukannya. Kitapun pasti ingat ungkapan dari JAS MERAH-nya (Jangan sekali-kali melupakan sejarah) Bung Karno, dalam pidatonya tanggal 17-8-1945. Jorgensen (1993) juga mengatakan bahwa dengan mempelajari sejarah kita dapat menemukan identitas diri pribadi, masyarakat dan bangsa, sehingga

menyadarkan akan perbedaan dan perubahan lingkungan, sekaligus membangun pemahaman yang memadai menyangkut makna dari sejarah yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, karena kemampuan untuk menangkap makna dari sejarah akan menjadi dasar bagi setiap manusia untuk mengembangkan sikap positif terhadap diri dan lingkungannya. Sejarah juga mengajak setiap orang untuk mampu bersikap bijak dalam menyikapi berbagai masalah di masyarakat dengan bercermin pada masa lalu (Hasan, 1996). Dalam bukunya The Methods and Skills of History, Conal Furay dan Michael J Salevouris (2000), memaparkan beberapa kegunaan pendidikan

sejarah, salah satunya yang penting juga adalah memberikan siswa kesempatan untuk mendapatkan pengalaman dalam menganalisis dan menginterpretasi informasi sejarah atau memberikan ketrampilan analisis dan ketrampilan berkomunikasi.

45

Hal tersebut searah dengan tujuan pendidikan sejarah bagi siswa di jenjang SD/SMP yaitu, untuk mengembangkan wawasan kebangsaan dari berbagai peristiwa sejarah, mengembangkan ketrampilan berpikir logis dan kritis, serta menghargai sikap kepahlawanan dan menerapkannya dalam kehidupan seharihari. Sedangkan untuk jenjang SMA, tujuan pendidikan sejarah diberikan untuk mengembangkan; ketrampilan berpikir kesejarahan, kemampuan mengkaji sumber-sumber sejarah, kemampuan menulis cerita sejarah dan menerapkan cara berpikir kesejarahan dalam menganalisis peristiwa di sekitarnya (Hasan, 2003: 290-291). Oleh karena itu tuntutan terhadap LPTK sangat besar untuk menyiapkan calon guru sejarah yang memiliki bekal pengetahuan, pemahaman, ketrampilan berpikir kesejarahan yang diperlukan siswa-siswanya nanti. Bagaimana hal

tersebut dapat dimiliki oleh mahasiswa calon guru sejarah tersebut, dipengaruhi oleh bagaimana proses pembelajaran yang mereka alami di LPTK.

3. Pembelajaran Sejarah dalam Kerangka Pendidikan IPS Diungkapkan oleh Banks (1985) bahwa Pendidikan IPS harus mampu menjawab tantangan perubahan dan ketidakpastian, dengan mengembangkan IPS atas hasil analisis yang mendalam terhadap manusia dan masyarakat Indonesia serta berorientasi pada nilai-nilai budaya lokal dan global. Oleh karena itu pembelajaran P IPS harus dapat membekali siswa untuk mampu mengelola dan mengatasi perubahan dan ketidakpastian waktu tersebut khususnya kesinambungan tersebut. Aspek pemahaman didapat lewat

dan perubahan,

46

pendidikan sejarah yang pada akhirnya juga dapat memberikan keoptimisan menyelesaikan permasalahan masyarakat, dan juga bangsa (Wiriaatmadja, 2002:x). Pelajaran sejarah dengan konsep-konsep di dalamnya, sangat memperkaya kajian pemahaman kehidupan manusia secara komprehensif. Seperti diketahui bahwa IPS merupakan perpaduan antara konsep-konsep ilmu sosial (sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, dan tatanegara) dengan konsep pendidikan yang dikaji secara sistimatis, psikologis dan fungsional sesuai dengan tingkat perkembangan anak didik (Wisley dalam Hertzberg, 1981:1). Dengan dasar pemikiran itu, menurut Somantri, (2001) karakteristik

utama yang menjadi jatidiri pendidikan IPS di Indonesia adalah kerjasama ilmu pendidikan dengan disiplin ilmu-ilmu sosial untuk tujuan pendidikan. Perpaduan antara ilmu sosial dan pendidikan dalam sajian IPS disebutnya dengan synthetic disciplines. Sebagai syntetic disciplines, pendidikan IPS memadukan berbagai konsep ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial, serta masalah-masalah sosial dalam masyarakat. Begitu luasnya lingkup bahan P IPS, maka menurut Somantri (1996) pengembangan pendekatannya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pendekatan IPS sebagai; 1) pendekatan kewarganegaraan, 2) pendekatan konsep dan generalisasi yang ada dalam ilmu-ilmu sosial,3) pendekatan yang menyerap dan

mengembangkan bahan pendidikan dari kehidupan sosial kemasyarakatan. Aplikasi pembelajaran sejarah dalam kerangka pendidikan IPS, tidak terlepas dengan apa yang menjadi tujuan diajarkannya, yaitu secara umum untuk membentuk warganegara yang baik dari beragam budaya dan masyarakat

47

demokrasi dalam sebuah dunia yang saling ketergantungan (Evan&Saxe, 1996:197). Kompetensi-kompetensi yang diajarkan dalam pendidikan IPS, terrangkum dalam tiga tradisi IPS, yaitu social studies as citizenship

trasmission, social studies as social science dan social studies as reflective inquiry (Barr, 1987). Pembelajaran IPS (sejarah) dalam tradisi pertama ini adalah untuk menanamkan dan mempertahankan nilai-nilai leluhur, dalam kaitannya dengan kelangsungan hidup suatu bangsa tersebut ( Barr, 1987: 26). Di dalam tradisi kedua, pengajaran IPS (sejarah) difokuskan pada struktur, metodologi dan substansi ilmu sosial. Pembelajaran sejarah berlangsung dengan menempatkan peserta didik sebagai sejarawan kecil. Pada tradisi ketiga, pendidikan IPS (sejarah) diberikan dengan mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi masalah, isu-isu sosial dan mengambil keputusan atas kajian yang dilakukan (Barr, 1978:21-22). Maka jika pendidikan IPS (sejarah) diberikan sesuai dengan tiga tradisi tersebut, sebagaimana yang direkomendasikan oleh NCSS (1994), maka pembelajaran IPS (sejarah) akan berlangsung secara bermakna (meaningful), menantang (challanging) dan active serta dirasakan kegunaannya dalam kehidupan peserta didik. Dapat disimpulkan bahwa dalam IPS tidak melepaskan pendekatan konsep ilmu-ilmu sosial yang ada. Pemakaian berbagai konsep dan generalisasi dalam ilmu-ilmu sosial dalam mengkaji permasalahan sosial di masyarakat, juga sesuai dengan bagaimana pelajaran sejarah mengkaji suatu peristiwa sejarah. Penggunaan berbagai disiplin ilmu, interdisipliner, membawa kajian sejarah lebih

komprehensif dan utuh. Berbeda dengan sebelumnya sejarah lama pendekatan

48

yang digunakan dalam mengkaji suatu peristiwa sejarah yaitu mono dimensional atau non interdisipliner, maka dalam perkembangan sekarang, digunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial, yang multidimensional atau interdisipliner (Kartodirjo, 1993; Sjamsuddin, 1999). Terkait dengan proses pembelajarannya, maka dua hal yang sama penting adalah apa yang di ajarkan dan bagaimana diajarkan. Tetapi hampir semua guru tahu bagaimana sejarah diajarkan tetapi sedikit yang tahu bagaimana sebaiknya sejarah diajarkan. we know a great deal about how history is taught, but little about how well is taught demikian simpulan dari penelitian Downey dan Levstick (dalam Welton dan Mallan, 1994 : 47). Selain itu menurut Van Sleidrigh (1996), dan Rogers (1987) bahwa untuk memberikan kesempatan siswa berpikir kesejarahan, maka sejarah tidak hanya diberikan dengan situasi what (historical context) tetapi juga how dan why (historical inquiry) dari peristiwa sejarah. Jadi dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran sejarah memerlukan ketrampilan berpikir, analisis, interpretasi dalam merekonstruksi peristiwa sejarah tidaklah terlepas dengan alat analitis, konsep-konsep, teori-teori yang dipinjam dari disiplin ilmu sosial lainnya. Lebih konkrit Maxim (1995: 493-494) memberikan perbedaan kurikulum sejarah lama (The old history curriculum) dan sejarah baru (the modern history curriculum). Utamanya dalam pembelajaran sejarah modern melibatkan siswa dalam pengalaman belajar. Guru menggunakan buku teks dan berbagai media lain. Materi pembelajaran tidak diajarkan dalam bentuk fakta-fakta saja, tetapi sebagai gagasan yang dihubungkan satu dengan yang lain dan pengalaman siswa

49

sebelumnya. Untuk lebih jelasnya bagaimana perbedaan antara pembelajaran sejarah lama dan modern dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini. Tabel 2.1 Perbedaan Kurikulum Sejarah lama dan Sejarah Modern The Old History Curriculum
Emphasis on facts only

The Modern History Curriculum


Learning is conceptual; ideas are gleaned from facts Learning is connected to other areas of curriculum Uses concrete materials, quality literature, and variety of resources. Children are physically and mentally active Students interact with teacher, lesson materials, and each other. Students learn fact, solve problems, make decisions, communicate and collaborate with others.

Learning is confined to history only

Textbooks, workbooks and worksheet dominate Children are passive learners

Student interact with teacher and lesson materials Information is primary learning goal.

Sumber : Maxim, George (1995). Social Studies and The elementary School Child. New Jersey: Prentice Hall Inc. Secara rinci Sartono Kartodirjo (1993:120) menguraikan bahwa proses rapproachment antara ilmu sejarah dan ilmu sosial diantaranya disebabkan oleh tidak memuaskannya lagi sejarah deskriptif naratif untuk menjelaskan masalah/gejala yang semakin kompleks, karena itu pula pendekatan

multidimensional atau social scientific diperlukan. Seperti telah disampaikan Fenton (1996 :1) bahwasocial studies teach children how to think, dan dipertegas lagi oleh Hasan (1996:92) pendidikan IPS bertujuan untuk mengembangkan ketrampilan berpikir, sikap, dan nilai peserta didik sebagai individu maupun sebagai mahluk sosial dan budaya, maka

50

tentu juga hal ini menjadi tujuan dalam pelajaran sejarah. Ketrampilan berpikir kesejarahan (historical thinking) juga menjadi tekanan yang perlu dikembangkan bagi siswa dalam proses pembelajaran sejarah. Hal ini mengantisipasi dan mengeliminir banyaknya temuan penelitian yang menggambarkan kelemahan pendidikan IPS dan sejarah, di antaranya mengutamakan peran buku teks dan fakta-fakta. Di abad 21, pendidikan sejarah perlu diperbaharui untuk menyiapkan generasi muda yang dapat mengantisipasi dan beradaptasi dengan masa depan, karenanya tidak sesuai lagi dengan menekankan hanya pada hapalan fakta, tetapi lebih menekankan pada aktivitas siswa dengan ketrampilan proses. Seperti diungkapkan oleh Rose dan Nicholl (1997) bahwa tujuan utama belajar adalah belajar bagaimana belajar, learn how to learn. 4. Landasan Filosofis - Konstruktivisme dalam Pembelajaran Berpikir Kesejarahan Di dalam proses pembelajaran terjadi interaksi yang berkesinambungan

antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru/siswa dengan lingkungan baik di dalam maupun di luar kelas. Proses interaktif yang terjadi menempatkan siswa terlibat aktif, mengembangkan pengetahuan, potensi, ketrampilan dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran. Di dalam prinsip-prinsip kegiatan belajar mengajar (Depdiknas, 2002), didudukan posisi siswa sebagai subjek. Siswa dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran, dan bukan terpusat pada guru. Secara lebih rinci prinsip pembelajaran yang dimaksud adalah sebagai berikut; 1. 2. Berpusat pada siswa Belajar dengan melakukan

51

3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Mengembangkan kemampuan sosial Mengembangkan keinginan, imajinasi dan fitrah bertuhan Mengembangkan ketrampilan pemecahan masalah Mengembangkan kreativitas siswa Mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan teknologi Menumbuhkan kesadaran sebagai warga negara yang baik Belajar sepanjang hayat Perpaduan kompetisi, kerjasama dan solidaritas. Hal ini bertolak belakang dengan temuan di lapangan saat ini, karena

sebagian besar kegiatan

pembelajaran sejarah memposisikan pebelajar/siswa

sebagai objek. Mereka menerima setumpukan fakta sejarah dan hasil interpretasi guru terhadap fakta-fakta tersebut yang disampaikan pengajar. Pebelajar tidak mendapat kesempatan untuk membangun dan memberikan interpretasinya

terhadap peristiwa masa lampau. Kondisi tersebut, seperti yang dikatakan Paulo Fraeire (1984: 192), yaitu dehumanisasi pendidikan atau juga disebut oleh Azumardi Azra dengan pendidikan Education). Ciri-ciri konkret pendidikan gaya bank adalah : (1) Guru mengajar, murid diajar, (2) Guru mengetahui sesuatu dan murid tidak mengetahui apa-apa, (3) Guru berpikir dan murid menjadi objek untuk dipikirkan, (4) Guru bercerita dan murid patuh mendengarkan, (5) Guru menentukan peraturan dan murid diatur, (6) Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui, (7) Guru berbuat,murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya, (8) Guru memilih bahan pelajaran, murid tanpa diminta pendapatnya menyesuaikan diri dengan pelajaran itu, (9) guru mencampur adukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan jabatannya yang dilakukan untuk menghalangi kebebasan murid, gaya bank (The Banking Concept of

52

(10) guru adalah subyek dalam proses belajar dan mengajar, murid hanya obyek belaka. Penempatan murid seperti ini jelas tidak sesuai dengan kodrat manusia yang terlahir sebagai subyek yang harus menunjukan keberadaannya ke dunia secara bebas. Seperti juga dinyatakan oleh Ahmad Sanusi (1998 : 63) bahwa belajar bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan, informasi tentang fakta/konsep, tetapi lebih ditujukan untuk memperdalam dan membangun pengertian atau mengembangkan wawasan makna. Gerlach dan Ely (1980:41) menyatakan bahwa belajar melibatkan

keseluruhan diri manusia, yang dibagi dalam tiga bagian yaitu cognitive learning, psychomotor learning dan affective learning. Tujuan dari cognitive learning

adalah untuk pengembangan kemampuan/ketrampilan intelektual, hal ini erat pula kaitannya dengan peningkatan kemampuan pada aspek pengetahuan, baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Sehubungan dengan hal tersebut, maka berikut ini akan dikaji secara filosofis, baik secara umum maupun khususnya terhadap pembelajaran berpikir. Keraguan akan fungsi subjek dalam mendapatkan pengetahuan, dan kedudukan objek dalam proses belajar ini kemudian berkembang terus hingga muncul aliran konstruktivisme. Aliran ini menekankan pada keaktifan pebelajar dalam membangun konsep-konsep, dan pemahaman atas objek yang

dipelajarinya. Jadi peranan subjek, tidaklah statis. Aliran ini sangat mendukung untuk terbentuknya pembelajaran yang menekankan pada keterlibatan, partisipasi aktif pebelajar. Pengajar tidak satu-satunya sumber materi, dan tidak

53

mendominasi dalam proses belajar. Oleh karena itu dalam pembelajaran sejarah, yang menginginkan adanya pengembangan ketrampilan berpikir kesejarahan juga pemahaman kesejarahan, maka diperlukan suasana belajar yang memberi ruang kepada pebelajar untuk melatih kemampuan kognitif, afektif dan psikomotornya. Pengajaran yang mendasarkan pada konstruktivisme menampilkan ketrampilan berpikir kritis dan menciptakan suasana siswa aktif dan penuh motivasi (Gray, 1997). Untuk memperjelas keunggulan yang ada pada konstruktivisme ini, dapat dilihat melalui perbandingannya dengan pendekatan pembelajaran tradisional, seperti tertuang dalam tabel di bawah ini. Tabel 2.2 Perbandingan antara Konstruktivisme dan Pengajaran Tradisional Traditional Pedagogy (Pengajaran Tradisional)
Curriculum is presented part to whole, with emphasis on basic skills (Kurikulum disajikan dari bagian ke keseluruhan dengan menekankan pada ketrampilan dasar).

Construktivist Approach (Pendekatan Konstruktivisme)


Curriculum is presented whole to part with emphasis on big concepts and questions (Kurikulum disajikan dari keseluruhan ke bagian, dengan menempatkan pada konsepkonsep besar dan pertanyaanpertanyaan/masalah-masalah) Pursuits of studentsquestion is highly valued (pertanyaan mahasiswa sangat dinilai) Curricular activities rely heavily on primary sources of data and manipulated materials (kegiatan kurikuler bertumpu pada sumber data primer dan bahan-bahan yang disiapkan. Students are viewed as thinkers with emerging theories about the world (siswa dinilai sebagai pemikir ) Teacher generally behave in an interactive manner, facilitating discussion and mediating the environment ( Guru umumnya berperan sebagai fasilitator, mediator dalam kegiatan belajar) Teachers seek students points of view and understandings in order to develop subsequent lessons and questions (Guru mencari

Strict adherence to fixed curriculum is highly valued (Kaku, menjalankan kurikulum yang berlaku) Curricular activities rely heavily on textbooks and workbooks (kegiatan kurikuler bertumpu pada buku teks dan buku kerja) Students are viewed as blank states onto which the teacher etches information (Siswa dinilai sebagai kertas kosong) Teacher generally behaves in a didactic manner, disseminating authoritative information to students (umumnya guru berperan sebagai pemilik otoritas penyampaian informasi) Teacher seek the correct answer to validate student learning (Guru mencari jawaban benar dari hasil belajar siswa)

54

Assessment of student learning is separate from teaching and occurs almost entirely through objective testing (penilaian belajar siswa terpisah dengan pengajaran dan terjadi hampir keseluruhan melalui tes objektif) Students primarily work alone (Siswa bekerja sendiri)

pandangan dan pemahaman siswa dalam kaitannya dengan kegiatan belajar) Assessment is interwoven with and reinforces teaching:it occurs through direct observations and multiple, varied assignments, oral and written (Penilaian berkaitan dengan pengan penguatan dan pengajaran, melalui observasi, berbagai cara penilaian, lisan dan tulisan) Students often work and interact in various groups (siswa sering bekerja dan berinteraksi dalam berabgai kelompok)

Diadaptasi dari John Samsel dan Darryl Wimberley. 1997. Writing for Interactive Media: The Complete Guide. Dalam mark E Gabehart.1997. Teaching, Learning and reform in Twenty-First 2000-2003. USA: Education Service Center. Konstruktivisme sebagai suatu aliran dalam filsafat dikembangkan oleh Giambastita Vico (1688), dan dalam pendidikan dikembangkan oleh Jean Piaget (1896) yang disebut konstruktivisme kognitif (personal constructivism), serta Vygotsky (1896) yang disebut konstruktivisme sosial (Suparno, 1997). Konstruktivsme pada dasarnya adalah sebuah teori yang berdasarkan

pengamatan dan kajian ilmiah tentang bagaimana orang belajar. Hal ini juga menunjukkan bahwa orang mengkonstruk pemahaman, pengetahuannya tentang dunia melalui pengalaman dan merefleksikan pengalaman tersebut. Ketika dihadapkan pada sesuatu yang baru, maka harus merujukkannya dengan ide, pengalaman sebelumnya, sehingga mungkin merubah apa yang telah dipercayai, atau mungkin juga membuang informasi baru karena tidak relevan dan harus terus aktif membangun pengetahuan, untuk itu harus ada kegiatan bertanya, menggali dan menilai apa yang diketahui. Di dalam kelas, menurut para konstruktivis adanya sejumlah perbedaan praktik belajar, yaitu secara umum, mendorong siswa untuk menggunakan teknik-teknik yang aktif untuk membangun pengetahuan baru seperti experiments, real-world problem solving, dan kemudian

55

untuk merefleksikan serta membicarakan tentang apa yang dilakukan dan bagaimana pemahaman mereka berubah. (Disney Learning Partnership.tersedia dalam http://www.thirteen.org/edonline/concept2class/month2 /index_sub4.html, diakses tanggal 9-6-2004). Bencze,J.L. (2003) menyatakan bahwa penekanan dari constructivism adalah membangun, building atau constructing yang terjadi dalam pikiran

manusia ketika mereka belajar. Apa yang setiap orang lihat, sees atau observes tergantung lebih pada apa yang sudah ada tersimpan dipikirannya. Hal ini berarti bahwa belajar dari lingkungan, melalui pikiran adalah proses kegiatan aktif.

Dengan kata lain, masing-masing membangun a unique mental image dengan mengkombinasikan informasi dalam pikiran dengan informasi yang diterima dari indera (tersedia dalam http://tortoise.oise.utoronto.ca/~lbencze/Constructivsm. html, diakses tanggal 9-6-2004). Di dalam teori konstruktivisme penekanan diarahkan pada pebelajar, daripada pengajar. Hal ini disebabkan, siswa yang berinteraksi dengan objek atau peristiwa dan mereka juga memperoleh pemahaman dari hal-hal yang melekat pada objek atau peristiwa tersebut. Siswa membangun sendiri konsepkonsep dan solusi terhadap masalah. Di dalam konstruktivisme, otonomi dan inisiatif siswa sangat diterima dan didorong. Para penganut aliran konstruktivisme memandang belajar adalah hasil dari suatu proses mental. Para siswa belajar dengan menyesuaikan informasi baru bersama dengan apa yang sudah mereka ketahui. Selain itu, para konstruktivist menganggap bahwa setiap orang akan mendapatkan hasil belajar terbaik ketika

56

mereka secara aktif membangun pemahamannya sendiri.

Di dalam belajar

berpikir secara konstruktivis juga dipengaruhi oleh konteks dan kepercayaan, sikap yang ada pada siswa. Siswa didorong untuk menemukan solusinya sendiri dan mencoba. Secara ringkas ada beberapa butir karakteristik konstruktivisme dalam proses pembelajaran, yaitu:

Menekankan pada belajar dan bukan mengajar (emphasises learning and not teaching ). Mendorong dan menerima otonomi dan inisiatif siswa (encourages and accepts learner autonomy and initiative) Memandang belajar sebagai suatu proses (thinks of learning as a process Mendorong keingintahuan siswa (encourages learner inquiry). Mengakui peranan pengalaman yang kritis dalam belajar (acknowledges the critical role of experience in learning ) Menuntun siswa pada keingintahuan secara alami (nurtures learners natural curiosity) Dalam penilaian belajar, menekankan pada kinerja dan pemahaman (emphasises performance and understanding when assessing learning) Proses pembelajaran berdasarkan prinsip yang ada dalam teori kognitif( bases itself on the principles of the cognitive theory) Memperluas penggunaan terminologi kognitif seperti meramalkan, menganalisis (makes extensive use of cognitive terminology such as predict and analyze) Mempertimbangkan bagaimana siswa dapat belajar (considers how the student learns) Mendorong siswa terlibat dalam dialog dengan siswa lain dan guru (encourages learners to engage in dialogue with other students and the teacher) Mempertimbangkan bagaimana keyakinan dan sikap siswa (considers the beliefs and attitudes of the learner ) Memberikan kesempatan siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru dari pengalaman yang otentik (provides learners the opportunity to construct new knowledge and understanding from authentic experience) (Bencze, 2003). Elizabeth Murphy (Summer 1997, tersedia dalam http: //

www.cdli.ca/~elmuephy/emurphy/cle3.html,

diakses

tanggal

9-6-2004).

57

memaparkan

beberapa

butir

ringkasan

dari

karakteristik

pembelajaran

konstruktivis, di antaranya sebagai berikut;

1. Guru berperan sebagai pemandu, pemantau, pelatih, tutor dan fasilitator (Teachers serve in the role of guides, monitors, coaches, tutors and facilitators). 2. Siswa memainkan peranan sentral dalam memediasi dan mengontrol belajar (The student plays a central role in mediating and controlling learning) 3. Penggunanaan sumber data primer digunakan untuk meyakinkan kebenaran dan kompleknya dunia (Primary sources of data are used in order to ensure authenticity and real-world complexity). 4. Penekanan pada membangun pengetahuan dan bukan memproduksi ulang pengetahuan (Knowledge construction and not reproduction is emphasized) 5. Penekanan pada pemecahan masalah, ketrampilan berpikir level tinggi dan pemahaman yang mendalam. (Problem-solving, higher-order thinking skills and deep understanding are emphasized). Kelas yang menerapkan konstruktivis memberikan siswa kesempatankesempatan membangun pengetahuan dan pemahaman sebelumnya, untuk

membangun pengetahuan dan pemahaman baru dari pengalaman otentik. Siswa diajak untuk menghadapi masalah dengan penuh makna disebabkan oleh konteks kehidupan nyata mereka. Dalam memecahkan masalah, siswa didorong untuk menggali kemungkinan-kemungkinan, menginventaris alternatif solusi, kolaborasi dengan siswa atau nara sumber lain, mencoba ide dan hipotesis, memperbaiki pikiran mereka, dan akhirnya menampilkan solusi yang terbaik. Dalam constructivist theory yang dimaksud belajar adalah constructing, creating, inventing and developing one's own knowledge (Marlowe dan Page, 1998 : 10). Para siswa diarahkan untuk aktif bertanya dan menginterpretasi materi pelajaran dalam upaya mengembangakan pemahaman secara konsep. Dalam

58

kondisi ini, siswa belajar lebih mendalam, lebih komprehensif dan diingat lebih lama. Peran guru dalam konstruktivis sebagai fasilitator dan transmiter (penyampai) pengetahuan. Sebagaimana Steffe dan Gale (1995 : 399)

mengungkapkan , "From a didactic perspective, a teacher is a presenter of knowledge. From a discovery perspective, he or she is simply a provider of experiences. In a constructivist approach, both these functions are combined." Maypole dan Davies ( 2001), menemukan dari hasil penelitiannya,

Students Perceptions of Constructivism Learning in a Community College American History II Survey Course, yaitu; (1) siswa merasa lebih percaya diri dengan pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya untuk membangun interpretasi sejarah berdasarkan pengetahuan yang telah ada dan informasi yang baru di dapatnya; (2) Siswa mendapatkan kesempatan mengkaji bukti-bukti

sejarah dalam berbagai multiperspektif untuk membangun gambaran besar, dari kompleksitas peristiwa sejarah; (3) siswa merasa lebih menyenangkan dan mudah memahami dengan diberikan otonomi, kebebasan dalam memecahkan masalah; (4) Siswa merasa mendapatkan hasil belajar lebih, karena penggunaan primary sources yang konsisten dengan hakekat constructivism. Para siswa didorong untuk berpikir kritis, analisis, sintesis dan evaluasi terhadap sumber-sumber tersebut dan membangun pengetahuannya sendiri; (5) ketrampilan berpikir kritis siswa menjadi berkembang; (6) Siswa merasa senang dan termotivasi dalam melakukan tugas sejarah lisan; (7) siswa merasakan pembelajaran dengan bentuk cooperative atau collaborative learning (salah satu komponen constructivism) sangat

59

menyenangkan dan memberikan

kesempatan mengembangkan kemampuan

komunikasi/presentasi; (8) meningkatkan rasa ingin tahu siswa atas suatu topik/peristiwa sejarah; (9) ketercapaian siswa atas materi tidak jatuh, atau rendah dibanding metode tradisional, (10) kelas yang menggunakan konstruktivsme menuntut keterlibatan siswa yang tinggi dan berpikir kritis. Michael Henry (2002) dalam tulisannya yang berjudul Constructivsm in the Community College Classroom dalam jurnal The History Teacher, memberikan hal yang sama dengan temuan Maypole dan Davies. Ditambahkannya bahwa proses asesment dalam kelas yang berorientasi konstruktivisme adalah fokus pada tulisan. Dalam tulisan tersebut siswa menunjukan penguasaan pemahamannya atas materi sejarah dengan membangun argumentasi, penilaian, mengidentifikasi berbagai pendapat-pendapat dan menggunakan bukti-bukti sejarah untuk mendukung pernyataannya. Hal yang lebih penting dalam teori konstruktivisme dalam pelajaran sejarah adalah siswa manapun melihat, menemukan secara

langsung bagaimana sejarah tersebut dan bukan hanya mendengar dari orang lain. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme memberikan ruang yang sangat luas bagi setiap peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya. Mereka tidaklah dianggap kertas putih yang kosong, mereka ditempatkan sebagai individu yang telah memiliki

pengetahuan/pengalaman dan dipercayai mampu untuk terus mengembangkan pengetahuan dan pengalaman yang sudah dimilikinya. Berkaitan tentang pembelajaran sejarah yang berdasarkan pada konstruktivisme, maka sudah barang tentu tidaklah menjadikan materi sejarah yang diberikan sebagai tafsiran mati atau

60

final. Tafsiran sejarah dan

penilaian atas suatu isu sejarah bukanlah harus

diterima sebagai barang jadi dari dosen/guru, atau pelajaran sejarah yang hanya untuk mengenang kemegahan dan kegagalan masa lampau. B. Pembelajaran Berpikir dan Berpikir Kesejarahan 1. Pengertian Berpikir dan Ketrampilan Berpikir Menurut Raths (1986: 3) berpikir adalah salah satu cara menemukan faktafakta untuk suatu tujuan. Kemudian dengan belajar yang memiliki tujuan, seseorang menjadi matang karena aktivitasnya diatur oleh tujuan tersebut. Singkatnya, berpikir adalah sebuah cara belajar. Dalam kamus Websters Twentieth Century Dictionary, edisi kedua, pengertian thinking, berpikir memiliki sejumlah arti,yaitu to bring the intellectual faculties into play: to use the mind for arriving conclusion, making decisions, drawing inferences, etc: to perform any mental operation, to reason. Sedangkan penjelasan arti kedua, dengan katathink yaitu,to judge, to conclude, to device, to hold as a settled opinion, to reflect, to weigh something mentally. Dapat dikatakan bahwa, berpikir adalah kegiatan mental, proses kognitif seseorang terhadap fakta, data, informasi yang diterimanya. Berdasarkan hasil penelitiannya, J.P Guilford (dalam Woolever dan Scoot, 1993 : 312) membagi kemampuan intelektual pada dua tipe, yaitu memory dan thinking. Kemudian thinking pun dibagi menjadi tiga kelas, yaitu cognitive, production dan evaluation. Production pun dibagi menjadi dua, yaitu convergent thinking dan divergent thinking. Secara lebih rinci dapat digambarkan dalam bagan berikut:

61

THINKING

INTELLECTUAL ABILITIES

MEMORY

COGNITION (DISCOVERY)

Ability to discover relationships, patterns, and classes, problems and implications

PRODUCTION CONVERGENT THINKING (CT) DIVERGENT THINKING (DT)

Thinking is used to produce some end result. One correct answer (CT) No single correct answer or solution

EVALUATION

Thinking is used to make decisions concerning the goodness, suitability, or effectiveness of the result of thinking.

Gambar 2.2 Posisi Berpikir pada Kemampuan Intelektual Menurut J.P Guilford (dalam Woolever dan Scoot, 1993 : 312) Ketrampilan berpikir memiliki tempat yang sangat utama untuk menjalani kehidupan sebagai individu, anggota masyarakat dan warganegara. Lawson (1980. x) menyatakan bahwa Effective citizenship tidak mungkin bisa diwujudkan tanpa ketrampilan berpikir. Ditambahkannya pula bahwa seorang warga negara yang baik adalah seseorang yang memberikan kontribusi secara efektif dan bertanggungjawab terhadap berbagai isu dalam masyarakat terbuka dan mampu mengambil peran di dalamnya. Untuk itu diperlukan ketrampilan berpikir, yang menurut Gagne (1975:178) merupakan proses untuk menemukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat diterapkan dalam upaya mengatasi situasi baru. Ada empat ketrampilan berpikir, yaitu pemecahan masalah (problem solving), membuat keputusan (decision making), berpikir kritis, berpikir kreatif

(Cohen, 1971; Presseisen:1985; Woolever dan Scooth, 1988). Semuanya

62

bermuara pada ketrampilan berpikir tingkat tinggi, yang meliputi aktivitas seperti analisa, sintesa dan evaluation (La Costa, 1985 :23). Beberapa bentuk tahapan ketrampilan berpikir yang berkaitan dengan penggunaan informasi, yaitu classify, interpret, analyze, summarize, synthesize, evaluate information. Semua kemampuan itu sangat perlu untuk diberikan pada siswa agar memiliki kesempatan mengembangkan ketrampilan berpikirnya. Apalagi dalam pembelajaran sejarah, siswa dihadapkan dengan berbagai informasi (Woolever dan Scoot, 1993 : 383). Clark (dalam Stopsky dan Lee, 1994 :144) menguraikan adanya kategorikategori dalam berpikir, yaitu: Scanning and Focusing, Creating categories and classes, Inducing propositions from fact, activating conceptual knowledge, predicting and planning, developing procedures. Dapat dikatakan bahwa dalam kegiatan berpikir terjadi kegiatan mental yang terus berkembang atas suatu pengetahuan. Sehubungan dengan perkembangan ketrampilan berpikir menurut Piaget (Bybee dan Sund, 1982) bahwa ada faktor yang mempengaruhi perkembangan mental (intelektual) seseorang, yaitu maturation, physical experience, social experience dan equilibrium. Maturation atau proses pemasakan atau kematangan seseorang adalah proses perubahan fisiologis dan anatomis seperti pertumbuhan tubuh, otak dan system saraf. Berkaitan dengan fungsi otak sebagai pusat

ketrampilan berpikir, otak dapat dibedakan berdasarkan kedua belahan, kiri dan kanan. Fungsi belahan otak kiri adalah untuk berpikir rasional, ilmiah, logis, kritis, linier, analitis, referensial dan konvergen, yang terkait dengan kemampuan

63

berhitung, membaca dan bahasa. Sedangkan fungsi belahan otak kanan adalah untuk berpikir holistik, non-linier, non verbal, intuitif, imajinatif, non referensial, dan divergen (Woolfolk, 1995). Oleh karena itu pembelajaran yang terlalu verbalistis dengan terutama menekankan segi hapalan dan persefsi kognitif saja, tanpa memperhatikan perlunya experiential learning, akan kurang memberikan kesempatan kepada kedua belahan otak tersebut untuk tumbuh secara harmonis (Semiawan, 1992:22). Experential Learning ini dibentuk dari pengalamanpengalaman. Ada tiga bentuk pengalaman tersebut, yaitu physical experience, social experience dan equilibration. Yang dimaksud dengan pengalaman fisik (physical experience) adalah tindakan-tindakan fisik yang dilakukan individu terhadap benda-benda yang ada di lingkungan sekitarnya. Aksi atau tindakan fisik ini memungkinkan dapat mengembangkan aktivitas dan daya berpikir. Sementara yang dimaksud dengan pengalaman sosial (social experience) adalah segala aktivitas dalam hubungannya dengan orang lain.Seseorang dalam pengalaman sosial bukan hanya dituntut mempertimbangkan atau mendengar pandangan orang lain, tetapi juga menumbuhkan kesadaran bahwa ada aturan lain di samping aturannya sendiri. Yang terakhir, equilibration, adalah proses keseimbangan yang selalu ada dalam setiap orang, yaitu proses penyesuaian antara pengetahuan yang sudah ada dengan pengetahuan baru yang ditemukannya.

2.

Teori Kognitif dalam Pembelajaran Berpikir Salah satu faktor yang menyebabkan permasalahan terjadi dalam

pendidikan sejarah adalah bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan

64

guru/dosen. Mengingat fungsi utama guru adalah mulai dari sebelum masuk kelas, di dalam kelas hingga keluar kelas, yaitu merancang, melaksanakan dan

mengevaluasi pembelajaran (Gagne, 1975 : 4). Guru merupakan ujung tombak dari semua konsep, gagasan, kebijakan, tujuan pendidikan nasional, lebih khusus lagi tujuan pendidikan sejarah. Jika guru dianalogikan dengan sebuah tombak, maka dia adalah tombak bermata dua. Satu mata harus memiliki ketajaman dalam penguasaan materi dan hakekat ilmu yang akan diajarkannya, sedangkan satu mata tajam lainnya adalah karena memiliki kemampuan/ketrampilan dalam meramu dan menyajikan materi sehingga siswa/mahasiswa dapat belajar dengan bermakna, serta memberikan kegunaan yang dapat dirasakan dari proses pembelajaran yang diikutinya. Bayangkan bagaimana tombak ini mencapai sasarannya, jika salah satu ujung tombaknya tumpul atau bahkan keduanya. Oleh karena itu guru/dosen tidak hanya mampu menguasai materi/ilmu yang akan diajarkan, tetapi juga mampu dan trampil dalam mengkondisikan pembelajaran bagi siswanya. Seperti apa proses pembelajaran berlangsung dapat menjadi salah satu faktor ketidaktertarikan siswa terhadap pelajaran. Pelajaran yang dianggap terlalu sukar, atau terlalu mudah dipahami peserta didik dapat memunculkan rasa bosan pada mata pelajaran ini. Untuk itu salah satu hal yang perlu diketahui oleh guru sejak awal sebelum melaksanakan pembelajaran adalah mengenal siapa dan

bagaimana tingkat ketrampilan berpikir peserta didik yang akan belajar di dalam kelasnya. Dengan kata lain kealpaan guru dalam memahami dan mengkonstruk

65

pengetahuan serta ketrampilan berpikir peserta didiknya, akan berdampak kepada hasil belajar yang dicapai. Pada dasarnya ada banyak teori yang terkait dengan perkembangan

kognitif anak, ketrampilan berpikir anak dalam proses belajar. Salah satu di antaranya, yaitu Teori Piaget, dikembangkan sesuai dengan nama penemunya yaitu Jean Piaget (Swiss). Teori ini menyatakan bahwa proses belajar mengajar terjadi apabila terjadi proses pengolahan data yang aktif di pihak yang belajar. Pengolahan data yang aktif tersebut merupakan aktivitas lanjutan dari kegiatan mencari informasi dan dilanjutkan dengan kegiatan penemuan-penemuan.

Dengan kata lain siswa dianggap sebagai subjek belajar yang aktif (Sigel dan Cocking dalam Hasan, 1996 : 85). Teori ini berpendapat bahwa setiap orang telah mempunyai kapasitas dasar intelektual (skema) yang berbeda satu sama lain dan menjadi dasar untuk menerima hal-hal, informasi yang baru. Skema ini ini selalu berkembang sesuai dengan kematangan bio-psikologis, pengalaman belajarnya, lingkungan sosialnya. Jadi seseorang baru dapat dikatakan belajar kalau skemanya berkembang. Berkaitan dengan perkembangan skema tersebut, Piaget memberikan adanya istilah asimilasi dan akomodasi. Menurut Ginn (1995 :2) bahwa asimilasi adalah proses penyesuaian informasi yang akan diterima sehingga menjadi lebih kepada sesuatu yang dikenal siswa. Caranya adalah dengan mengolah informasi baru yang akan diterima sedemikian rupa sehingga memiliki kesamaan dengan apa yang sudah ada dalam skema. Kesamaan- kesamaan tersebut menyebabkan apa yang akan dipelajari mudah dicerna oleh siswa. Hal ini dapat disamakan

66

dengan apersepsi. Tahap berikutnya adalah akomodasi, yaitu proses penempatan informasi ke dalam skema. Skema perlu disesuaikan dengan informasi tersebut. Perkembangan skema tersebut tidak terlepas dengan kematangan biopsykologisnya, karena itu pula Piaget membagi tingkatan perkembangan kognitif, ketrampilan berpikir menjadi empat tingkatan, yaitu tingkat sensori motor (0-18 bulan), tingat preoperasional (18 bulan - 6 tahun), tingkat operasi konkret (7 12 tahun), tingkat operasi formal (13 tahun ke atas). Ketrampilan berpikir abstrak baik yang induktif maupun deduktif baru baru bisa dimulai di usia 12 tahun ke atas (SMP SMA), sebelumnya di usia SD, siswa masih terbatas pada hal-hal yang konkret, walaupun telah memilih struktur kognitif relatif stabil. Pada tahap operasi formal, siswa tidak lagi memerlukan objek konkret dalam memecahkan suatu masalah. Mereka akan terbiasa dan mampu memberikan gagasan-gagasan abstrak dan hipotesa tentang beberapa sistem, hal secara bersamaan. Oleh karena itu hampir sebagian besar siswa yang berada di jenjang sekolah menengah dan tinggi mampu berpikir abstrak untuk melakukan investigasi kesejarahan (Hasan, 1996 : 86; Woolever and Scooth, 1988:40-41). Piaget (dalam Cooper, 1992 : 13) mengungkapkan pula bahwa perkembangan berpikir anak secara bertahap melalui tiga fase. Pada fase pertama, anak hanya mampu memahami satu perspektif pada satu posisi waktu. Pada fase kedua, tingkat ketrampilan berpikir anak dibatasi oleh observasi yang bersifat realistis dan fase ketiga, anak sudah mampu mengembangkan kemungkinan hipotesis. Secara rinci Piaget (Bybee dan Sund, 1982 : 137) juga memberikan perbedaan pola berpikir antara tahap konkret dan formal, pada tabel berikut.

67

Tabel 2.3 Perbedaan Tingkat Pola Pikir pada Tahap Konkrit dan Formal menurut Piaget Concrete
Students require objects, events, or actions for logical reasoning. (Untuk penalaran logis siswa membutuhkan objek, kejadian ataupun kegiatan) Conservations, class inclusion, ordering and reversibility are characteristic reasoning patterns (karaktersitik pola penalaran; pengamatan, keterlibatan kelas, urutan dan keterbalikannya) Students are unware of inconsistencies and mistakes reasoning (siswa tidak sadar pada ketidak konsistenan dan kesalahan penalaran) Students need clear, sequential directions for long and detaild projects (Siswa membutuhkan kejelasan petunjuk kerja yang berurutan dan rinci)

Formal
Students can reason abstractly without reference to concrete objects, event or actions (Siswa dapat berpikir secara abstrak, tidak seperti pada fase konkrit) Theoritical, prepositional, hypothetical and combinatorial reasoning patterns are characteristic (karakteristik pola penalaran secara teori, preposisi, hipotesis) Students are aware of inconsistencies and mistakes due to the use of mental checks and balances-reflective thought (sebaliknya dengan fase konkrit, bahkan dijadikan untuk berpikir reflektif) Students can establish their own plans for long and detailed projects if given aims and goals (siswa dapat membangun sendiri perencanaan kerja kegiatan, jika diberikan tujuannya)

Menurut Bybee dan Sund (1982:33) pemahaman seseorang terhadap dunia dikembangan melalui adaptasi mental secara terus menerus kepada perubahan fisik dan lingkungan. Seperti yang ditemukan Piaget bahwa individu membangun pemahamannya melalui proses interaksi aktif dengan lingkungannya. Manusia tumbuh berkembang tidak saja secara fisik, biologis, tapi juga dalam pengetahuan (Marlowe and Page, 1998 : 18). Perkembangan pengetahuan/pemahaman manusia akan terus terjadi akibat adanya interaksi terus menerus dengan lingkungannya, seiring juga dengan perkembangan fisik dan biologisnya. Dengan mengenal tingkatan perkembangan kognitif anak dari Piaget,

maka seorang guru dari setiap disiplin ilmu dapat meramu sedemikian rupa informasi, materi yang diberikan kepada siswa sesuai dengan tingkatannya, secara

68

asimilatif dan akomodatif. Kemudian dari tingkatan berpikir Bruner (enactive, iconic dan symbolic) maka para gurupun diminta untuk melihat dan memahami struktur disiplin ilmu, kemudian melihat siapa audience atau peserta didiknya sebelum menyusun rencana pembelajaran dan melaksanakannya di kelas. Sehubungan dengan itu Bruner, mengemukakan bahwa ada tiga masalah yang perlu diperhatikan dalam belajar, yaitu pentingnya arti struktur pengetahuan, kesiapan belajar, menekankan perlunya motivasi dalam belajar (Bower, 1981 : 79). Senada dengan hal tersebut Schug dan Berry (1992 : 52) kembali mengingatkan anjuran Bruner bahwa dalam upaya untuk memahami suatu pelajaran maka ditekankan pada structures of academic disciplines.

Menurutnya, dalam upaya untuk memahami suatu materi, mata pelajaran, maka guru harus memegang ide-ide dasar dari struktur ilmu tersebut. Lebih lanjut dikatakan,understanding conceptual structure encourages transfer of learning which will allow for continual broadening and deepening of knowledge in terms of basic ideas. Bruner juga mengingatkan para pengajar untuk mengenal siswanya sebagai individu dengan segala kemampuannya yang harus dikembangkan dalam proses pembelajaran. Siswa bukanlah seperti kendaraan kosong, melainkan dia adalah sesorang yang memiliki kemampuan untuk berpikir, memaknai, baik secara mandiri ataupun melalui percakapan dengan yang lain. Singkatnya siswa dipandang sebagai pebelajar, orang yang belajar. The child is not merely ignorant or an empty vessel, but somebody able to reason, to make sense, both on her own and through discourse with

69

others capable of thinking about her own thinking, and of correcting her ideas and notions through reflection The child, in a word, is seen as a learner. (Woolard, 2003). Dari tahapan kognitif yang dikemukakan oleh Piaget, Bruner

mengembangkannya dengan tiga tahap bentuk merangsang ketrampilan berpikir anak yang menurutnya diperlukan dalam pengembangan kemampuan kognitif anak, yaitu enactive, iconic dan symbolic. Jika di tahap enactive, anak

memerlukan hands-on material dan pengalaman langsung. Misal membuat wayang, bangunan/model dari kertas atau benda lain. Selain itu juga bisa dengan kegiatan fisik, seperti menari, menyanyi, memanjat atau juga bermain drama. Hal ini sering diberikan pada anak di bawah usia 3 tahun hingga sekolah dasar. Pada Iconic, diberikan rangsangan berpikir siswa melalui tampilan visual, seperti gambar, peta, bagan, TV, peragaan dan juga karya wisata. Hal ini sesuai dengan tahapan siswa di sekolah dasar dan sekolah menengah. Pada level symbolic, siswa akan sangat sesuai dirangsang belajar melalui kegiatan membaca buku teks, literatur, studi kasus, menulis esay, kisah-kisah dan laporan-laporan, mendengar penjelasan guru, nara sumber juga dari radio/kaset. Pada tahap ini sangat sesuai dilakukan pada siswa yang berada di tingkat sekolah menengah (Woolever dan Scooth, 1993: 43). Dari semua teori yang dikemukakan Bruner, maka dapat disimpulkan bahwa setiap disiplin ilmu dapat diajarkan pada semua jenjang pendidikan, dengan catatan para guru/pendidik memahami bahwa setiap individu memiliki tahapan perkembangan pengetahuan yang berbeda, sesuai dengan pertambahan usianya, dan setiap jenjang tahapan perkembangan kognitif memiliki

70

cara/pendekatan yang berbeda dalam memahami pengetahuan, dan bahwa setiap siswa memiliki ketrampilan berpikir mulai dari anak-anak hingga dewasa dan perkembangannya secara terus menerus menuju ke tingkat berpikir lebih tinggi (Spiral curriculum). Selain itu juga guru harus memahami bahwa proses pemahaman terhadap materi suatu mata pelajaran, misal sejarah akan dicapai dengan memberikan struktur ilmu pengetahuan dan attainment concept. Senada dengan apa yang tertuang dalam teori Bruner itu, Cooper (1992 : 2) juga menyatakan bahwa dalam proses belajar hendaknya siswa dibawa dalam kondisi pembelajaran yang memberinya pengalaman nyata dan langsung (concrete and direct experience). Di dalam Taksonomi Bloom (dalam Sukmadinata, 2004) tentang tujuan pendidikan atau Comprehension, kognisi, dalam tingkatan ketrampilan seperti Application, Analysis, Synthesis, and Knowledge, Evaluation.

Tingkatan/hierarki dari aplikasi, analisis, sintesi dan evaluasi dikritisi oleh ilmuwan lain, karena sulit dibuktikan dan dianggap dalam satu tingkatan. Revisi dan pengembangan terhadap tahapan taxonomi Bloom oleh Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl (dalam Sukmadinata, 2004 : 77-78) yaitu mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi.

Sukmadinata (2004: 75) menekankan bahwa,proses pembelajaran tidak terhenti pada pengusaan pengetahuan (ingatan) dan pengertian (pehamanan), tetapi dilanjutkan kepada tahapan yang lebih tinggi, aplikasi, analisis, evaluasi dan kreativitas. Pemahaman kesejarahan dan ketrampilan berpikir kesejarahan yang

71

ingin dicapai dalam penelitian ini, lebih menekankan kepada Comprehension, Application, Analysis, Synthesis, and Evaluation. Dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan perkembangan kognitifnya, maka mahasiswa calon guru sejarah, sudah selayaknya diberikan kemampuan pemahaman maupun ketrampilan yang diperlukan dalam disiplin ilmu sejarah. Mahasiswa didorong untuk mengembangkan wawasan, pemahaman dan ketrampilan berpikir kesejarahannya. 3. Pembelajaran Ketrampilan Berpikir di Sekolah Sehubungan dengan tujuan pengajaran yang dilakukan guru, mereka ingin peserta didiknya memiliki kematangan berpikir yang dapat digunakan

menghadapi masalah yang kompleks dikehidupannya secara efektip. Sayangnya, apa yang diinginkan berbeda dengan kenyataan yang ada. Data menunjukkan bahwa sebagian besar peserta didik yang tamat sekolah, lebih mampu dalam mengingat dan menghapal fakta, daripada kemampuan menggunakan

fakta/informasi tersebut untuk membuat penilaian

terhadapnya, atau juga

terhadap masalah-masalah baru. Hasil pendidikan yang memberikan pengalaman berpikir masih kurang. Singkatnya, retorika tentang berpikir sudah berkembang, tetapi aplikasinya dalam pembelajaran di kelas masih jauh tertinggal. Hal ini salah satunya disebabkan karena pendidik mengajar hanya untuk mempersiapkan siswa mengerjakan tes, teaching to the test. Kemampuan guru dilihat dari bagaimana hasil jawaban siswa terhadap tes hasil belajar yang diukur. Sementara itu hasil belajar siswa bukanlah diukur berdasarkan ketrampilan berpikirnya, melainkan

72

berdasarkan kemampuan mengingat kembali apa yang dia ingat dan dia baca. Hal diuraikan lebih jelas oleh Wasserman, teachers competence is being assessed by pupil performance on such measures. Teaching for thinking is fine, in theory, and we want it. But in the real world, where pupils learning is measured, not by their competence as thinkers, but their ability to recall what has been heard and read (Wassermann, 1986:xxi-xii). Menurut filosof John Dewey (http ://www. inquiry. Oiuc.

Edu/php/units.php3, 4-2-04) bahwa pendidikan dimulai dengan keingintahuan, keragu-raguan siswa, menggunakan alur spiral inquiry, yaitu mengajukan pertanyaan, investigasi solusi, mengkreasi pengetahuan baru dengan

mengumpulkan informasi, mendiskusikan penemuan dan pengalaman dan merefleksikan pengetahuan yang baru di dapat. Dengan kata lain, pengetahuan dan kualitas kemampuan guru turut menentukan keberhasilan proses pembelajaran berpikir pada siswa. Selain itu masyarakat juga menyetujui kalau berpikir adalah tujuan penting dari suatu pendidikan dan hendaknya memang sekolah melakukan hal tersebut untuk memberi kesempatan-kesempatan kepada siswa berpikir. Terkait dengan bagaimana peran guru dalam mengembangkan ketrampilan berpikir siswa serta, mewujudkan sekolah dan pengajaran yang efektif, dari

temuan Cohen dalam penelitiannya(1982 : 13-16), diantaranya adalah; effective schools emphasize basic academic skills, effective teachers have high expectations for all pupils, effective teachers diagnose learning problems, evaluate pupil progress and give feedback to pupils frequently. Pendapat ini kembali mempertegas pendapat bahwa guru (dosen) memiliki posisi yang strategis dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas.

73

Menurut komisi kebijakan pendidikan Amerika, 1961, bahwa tujuan utama pendidikan adalah mengembangkan kondisi kebebasan berpikir dalam diri setiap siswa. Menurut komisi ini pula dalam mewujudkan kemampuan berpikir, maka perlu melalui proses; recalling and imagining classifiying and generalizing comparing and evaluating analyzing and synthesizing deducting and inferring ( Lawson, 1980 : 2) lima belas cara yang dianjurkan kepada guru untuk

Di samping itu ada

melakukan kegiatan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir, yaitu: comparing, observing, summarizing, classifiying,

interpreting, criticizing, looking for assumptions, imagining, decision making, designing project or investigations, coding, all or nothing, value statements, qualifying words and phrases, attributions. Dalam kaitannya dengan pengajaran berpikir, La Costa (1985 : 20 - 21) mengklasifikasikan kegiatan tersebut pada tiga istilah, yaitu, teaching of thinking (pengajaran berpikir), teaching for thinking (pengajaran untuk berpikir) dan teaching about thinking (pengajaran tentang berpikir). Pengajaran berpikir adalah pengajaran yang memfokuskan kegiatan pembelajaran pada pembentukan, pengembangan ketrampilan berpikir. Sedangkan pengajaran untuk berpikir adalah pengajaran yang diarahkan kepada penciptaan situasi kelas yang mendorong pengembangan kognitif. Terakhir, pengajaran tentang berpikir adalah pengajaran yang kegiatannya diarahkan pada upaya untuk membantu peserta didik sadar terhadap proses berpikirnya.

74

Pentingnya pengajaran berpikir diakui juga oleh Tighe dan Schollenberger (1985:3-6) yang memberikan adanya tiga alasan yang mendasari kepentingan tersebut, yaitu: pertama, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, adanya data dari Education Commision of the State (La Costa, 1985) yang menunjukan bahwa persentase tingkat kemampuan perpikir tingkat tinggi peserta didik menurun dari sebelumnya. Ketiga, adanya temuan yang menunjukan bahwa proses pengajaran di kelas dengan informasi verbal. Hal ini juga dipertegas oleh Woolever dan Scoot (1993:361) yang menyatakan,without instruction in higher-level thinking skills, pupil will be unable to analyze, interpret, synthesize and evaluate social studies content for meaningful decision making. Setiap manusia sejak lahir adalah sebagai manusia yang berpikir. Orang tua, pendidik hanya merancang lingkungan dan pengalaman-pengalaman yang akan dimiliki siswa yang melatih dan menumbuhkan ketrampilan berpikir kritis. Berpikir kritis adalah sebagai suatu pandangan hidup yang membuat siswa peduli pada cara-cara yang memungkinkannya untuk menghadapi masalah (Stopsky dan Lee, 1994:143-144). Jika dilihat dari sejarah, pengembangan ketrampilan berpikir kritis ini dimulai pada 2500 tahun yang lalu, yaitu dari pandangan dan praktik pengajaran Socrates. Dengan metode bertanya (method of probing questioning).

Dikatakannya bahwa seseorang tidak boleh terikat atas suatu "authority" untuk mendapatkan suatu pemahaman pengetahuan, sebaliknya dia harus memiliki kekuatan dan posisi yang tinggi untuk membangun suatu pemahaman dengan membangun pertanyaan, mencari bukti-bukti, asumsi, alasan-alasan, menganalisis

75

konsep-konsep dasar. Metode ini dikenal sekarang dengan nama

"Socratic

questioning" dan dikenal pula sebagai strategi mengajar berpikir kritis. Metode ini diikuti oleh Plato dan Aristoteles, yang menekankan bahwa sesuatu sering sangat berbeda dari apa yang terlihat dan bahwa dengan melatih pikiran kita untuk melihat apa yang bukan hanya pada gambaran permukaan, tetapi lebih jauh melihat di dalam, di bawah permukaannya. Dalam sejarah perkembangan berpikir kritis berikutnya, di abad pertengahan, dengan tokohnya Thomas Aquinas (sumna theologica). Banyak tokoh besar lain yang menekankan ketrampilan berpikir kritis ini seperti Francis Bacon, Descartes, Machiavelli, Hobbes dan John Locke, Robert Boyle, Montesque, Adam Smith, John Dewey Org/university/cthistory.html). Pada tahun 1906, William Graham Sumner menerbitkan karyanya Folkways yang berisi tentang kondisi sekolah yang tidak memberikan ketrampilan berpikir kritis. Sekolah yang demikian cenderung ortodok, (http://www. Criticalthinking.

Dituliskannya Schools make persons all on one pattern, orthodoxy.Oleh karena itu Sumner menyampaikan perlunya ketrampilan berpikir kritis dalam hidup dan dalam pendidikan. Pendidikan yang baik, adalah sejauh mana kemampuannya menghasilkan orang-orang yang mampu berpikir kritis, dalam kaitannya menjadi warganegara yang baik, sepert di dalam tulisannya,

The critical faculty is a product of education and training. It is a mental habit and power.. ... Education is good just so far as it produces welldeveloped critical faculty....Education in the critical faculty is the only education of which it can be truly said that it makes good citizens."(http://www.Criticalthinking. Org/ university/ cthistory. Html, 22-04).

76

Dalam sejarah berpikir kritis diawali dengan

pertanyaan-pertanyaan

mendasar dari Socrates yang sekarang masih digunakan. Menurutnya, dalam setiap domain berpikir manusia dan dalam setiap alasan dari setiap domainnya, yang perlu diperhatikan dalam proses bertanya, antara lain: tujuan, pertanyaan, sumber informasi dan fakta, metode dan kualitas pengumpulan data, bentuk penilaian dan penalaran yang digunakan. Dengan kata lain pertanyaan yang diarahkan pada kemampuan berpikir menempatkan penalaran (reasoning) sebagai dasar dari berpikir kritis.

Ketrampilan bertanya memang bukan ada dengan sendirinya, melainkan perlu pengarahan dan pembinaan. Para siswa perlu mendapatkan arahan bagaimana mengajukan pertanyaan, seperti juga mereka butuh bimbingan dalam

mengembangkan ketrampilan berpikir kritis. Pertanyaan seperti apa yang dapat menarik dan memotivasi siswa untuk berpikir? Ada empat hal yang penting dalam mengajukan pertanyaan kepada siswa, yaitu; 1) 2) 3) Pertanyaan harus menarik bagi siswa, dan Pertanyaan tersebut membawa penambahan ketrampilan berpikir, Memiliki langkah-langkah yang masuk akal (dari pengetahuan atau pemahaman yang telah dimiliki sebelumnya dalam kaitannya untuk kesiapan siswa menjawab dan membuat kesimpulan. Pertanyaan harus dirancang untuk mengajak siswa melihat hal-hal khusus. Dengan menggunakan pikiran mereka sendiri, apakah refleksi gagasannya bagus atau tidak. ( http://www.Iss.Sttthomas.edu/studyguides/pbl.htm, 2/2-04).

4)

Vincent Ryan Ruggiero (dalam http://www.iss.stthomas.edu /studyguides, 28-12-03) mengungkapkan bahwa kemampuan dan keberanian mengajukan pertanyaan, adalah merupakan salah satu ciri dari seorang pemikir kritis. Di bawah ini sejumlah karakteristik pemikir kritis, yaitu: mereka jujur terhadap diri

77

sendiri, mereka melawan manipulasi, mereka mengatasi kebingungan,

berani

bertanya, mereka mendasarkan penilaiannya pada bukti, mereka mencari hubungan antar topik dan bebas secara intelektual. Moore (1986:12) mengungkapkan ada lima tahapan yang dilakukan dalam pengajaran berpikir yang membuktikan bahwa adanya kaitan yang erat antara kemapuan berpikir kreatif dan kritis. Tiga langkah yang pertama, merupakan ketrampilan berpikir kreatif dan dua yang terakhir adalah ketrampilan berpikir kritis. Mengenal dan mendefinisikan masalah (Recognition and defining of the problem) Mengumpulkan informasi (The gathering of information) Menyusun kesimpulan sementara (Forming the tentative conclusions) Menguji kesimpulan sementara (The testing of these tentative conclusions) Menilai dan membuat keputusan (Evaluation and decision making (or judment) Terkait dengan penggunaan konstruktivisme di dalam kelas, maka siswa tidak akan dapat membangun pengetahuan baru tanpa membuat penilaian

(reasoned judgment), dan dia tidak akan mampu melakukan penilaian tersebut tanpa mengajukan pertanyaan yang bagus. Sementara di lapangan, siswa dipersiapkan untuk mendapatkan jawaban yang benar, sehingga mereka melupakan kebutuhan untuk bertanya dengan pertanyaan yang benar. Thomas Holt (1990:26) menyatakan bahwa mengajukan pertanyaan,is part of the

process of learning about history. It is about the questions as well as answer. Ketrampilan bertanya ini akan membantu dalam mengembangkan ketrampilan berpikir kritis

78

Robert H Ennis (2000) mengungkapkan bahwa berpikir kritis adalah berpikir secara reflektif dan masuk akal yang diarahkan pada suatu keputusan apa yang akan dipercaya atau dilakukan. Definisi lain tentang berpikir kritis "(It is) The art of thinking about your thinking while you are thinking in order to make your thinking better: more clear, more accurate, or more defensible." (http://www.Criticalthinking.Org/university/cthistory.html, 2-2-04). Sigel (1984 :19) memberikan batasan berpikir kritis ini sebagai active process involving a number of denotabel mental operation such as induction, deduction, reasoning, sequencing, adalah classification, hal yang and the definition dalam of

relationships

Karenanya

wajar

pembelajaran

dikembangkan kemampuan siswa untuk bertanya, memberikan alasan, dan memecahkan masalah. Sementara itu menurut Stopsky dan Lee (1994:141), critical thinking skills are best developed when student work in an environment that is open to a multitude of possible ways to solve problems . Sehingga program sekolah diarahkan untuk mengajarkan berpikir kritis ini kepada siswa secara bertahap. Hal ini terkait pula dengan semakin kompleknya isu-isu yang ada dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita. Elder,L. dan Paul, R. (1994) mengungkapkan berpikir kritis sangat

dipahami sebagai kemampuan pemikir untuk mengisi, mengolah pikiran mereka. Mereka mengembangkan kriteria-kriteria, standar-standar untuk menganalisa dan menerima pikiran mereka dan menggunakan secara rutin kriteria dan standar tersebut untuk meningkatkan ketrampilan berpikir mereka. Mampu membedakan

79

antara pernyataan dari sebuah fakta, pendapat dan rujukan adalah salah satu ketrampilan penting dalam berpikir kritis. RIBUTES OF A CRITIC: Secara singkat dapat dikatakan bahwa strategi/langkah-langkah berpikir kritis, adalah: Tentukan fakta-fakta dari situasi yang baru atau materi baru tanpa ada prasangka Tempatkan fakta-fakta dan informasi tersebut dalam sebuah pola sehingga dapat memahaminya. Terima atau tolak nilai-nilai dan kesimpulan berdasarkan pengalaman, dalam

penilaian dan kepercayaanmu (Accept or reject the source values and conclusions based upon your experience, judgment, and beliefs). (http:// www. iss. Sttthomas.edu/ studyguides/crthk. htm, 2/2-04) Di dalam proses belajar mengajar, berpikir kritis cenderung disesuaikan dengan suatu proses berpikir yang terbuka dari suatu penemuan dan pemahaman (discovery and understanding), analisis dan aplikasi (analysis and application), sintesis dan evaluasi (synthesis and evaluation). (http://www.iss.Sttthomas.edu/ studyguides/crtck.htm, 2/2-04) Mengajar siswa untuk jadi pemikir kritis adalah membuat suatu lingkungan dimana siswa menjadikan andalan pengetahuan mereka dan serangkaian pengalamannya, serta berusaha keras untuk memahami bagaimana data dan informasi dapat digunakan untuk mengembangkan, mengenal,dan atau mengkritik pola-pola umum pengetahuan. Kemampuan untuk berada dalam pola belajar seperti ini tidak lepas dari bagaimana intelegensi siswa, yang oleh Howard Gardner (2000) dikelompokkan dalam tiga bagian, yaitu; object related:

80

visual/spatial,

body

motion/kinesthetic,

naturalist.

Symbol-related:

verbal/linguistic, logical/mathematical, musical. Person-related: interpersonal, intrapersonal, existential Untuk mengaplikasikan ketrampilan berpikir kritis, ketrampilan berpikir tinggi di dalam kelas, diperlukan langkah-langkah sebagai berikut; Pelajaran baru diperkenalkan dengan apa yang sudah diketahui siswa Jelasnya rancangan tujuan dan langkah kerja dalam mempelajari materi baru tersebut. Konsep dan generalisasi digabungkan dalam proses belajar dan kerangka kerja untuk pemahaman atas apa yang diajarkan. Internalisasi pengetahuan adalah sebuah tujuan Belajar tidak hanya dijabarkan oleh guru, tapi juga oleh siswa dan materi dari berbagai bentuk media Inquiry dan pertanyaan sebagai alat pengajaran Menyajikan pembelajaran dalam suatu proses yang integrasi. Kejelasan standar, tolok ukur dari evaluasi. (http :// www. iss. Sttthomas.edu/ studyguides/crtck. htm, 2/2-04)

Selain berpikir kritis, siswapun diarahkan untuk mengembangkan ketrampilan berpikir kreatifnya. Berpikir kreatif adalah pelajaran yang penuh kontraversi dan mitos (Woolever and Scoot, 1993:293). Ada empat komponen kemampuan dalam berpikir kreatif ini, yaitu fluency, flexibility, originality dan elaboration dalam mendapatkan, mengungkapkan gagasan dan tindakan (Torrance, 1996). Dari uraian tentang ketrampilan berpikir kreatif di atas dapat disimpulkan bahwa seorang pemikir kreatif memerlukan kemampuan melihat sesuatu dari kacamata pikiran dan bukan dari kacamata biasa, berpikir secara metafora, mampu mentransformasikan sesuatu ke sesuatu yang baru atau merubah satu ide ke yang lainnya, mampu menggunakan satu objek dengan cara yang lain dan mampu berintuisi.

81

4. Ketrampilan Berpikir Kesejarahan Dalam kamus online Wikipeda dan Science daily encyclopedia (tersedia dalam http://en.wikipeda.org/wiki/Historical_thinking dan http://www.

sciencedaily.com/encyclopedia/historicalthinking, diakses tanggal 13-1-2003) dinyatakan bahwa berpikir kesejarahan didefinisikan sebagai seperangkat ketrampilan berpikir yang menjadikan siswa harus belajar dari sejarah,that students of history should learn as a result of studying history. Historical thinking skills juga dikenal dengan sebutan historical reasoning skills. Bruce A. Van Sledright (2003) dari College of Education University of Maryland memberikan pengertian Historical Thinking, berdasarkan temuan penelitiannya terhadap persepsi dan kemampuan mahasiswanya dalam

pembelajaran sejarah, yang dituangkan dalam tulisannya yang berjudul, On the Importance of Historical Positionality to Thinking About and Teaching History, yaitu; ..historical thinking involves retelling the past essentially as it happened based on what can be constructed from residue, traces, artifacts and texts dealing with the past. Senada dengan itu beberapa pakar pendidikan sejarah di Amerika Utara, memberikan batasan, historical thinking as the capacity to recall events that shaped (Van Sledright, 2003) Apa yang dilakukan siswa dalam upaya untuk mengembangkan ketrampilan berpikir kesejarahan pada prinsipnya adalah mengajak siswa melibatkan kegiatan mentalnya dalam menganalisis, mengkritisi sebaran fakta, informasi, catatan sejarah. Ketrampilan ini juga menuntut siswa mampu

mendengar, membaca narasi sejarah, dan mampu menjelaskan mengapa sesuatu

82

terjadi. Oleh karena itu kebutuhan akan artefak, dokumen, catatan sejarah sangat diperlukan dalam membangun ketrampilan berpikir kesejarahan ini. Sebagaimana dinyatakan oleh The Bradley Commission on History in Schools and the National Standards for History, Amerika, di dalam Research precise, edition 02-2, fall 2003 (teresedia dalam http://designedinstruction.com/research/ briefed022.html, diakses tanggal 1-3-2004) dinyatakan bahwa: Historical thinking involves the exploration and analysis of historical documents, places, artifacts, and other records from the pastthis requires that children thoughtfully listen to and read well-written historical narratives that reveal conditions, changes, and consequences, and that explain why things happened as they did. Analysis of the events described and the explanations offered, in tandem and in comparison with historical artifacts, records, and the human figures involved, brings a child's ability to "think historically" full circle. Senada dengan paparan di atas, batasan ketrampilan berpikir kesejarahan (historical thinking skills) yang tertuang dalam National Center for History, Amerika (1994) yaitu, enable students to evaluate evidence, develop comparative and causalanalyses, interpret the historical record, and construc sound historical arguments and perspectives on which informed decisions in contemporary life can be base. Dari kedua definisi tentang ketrampilan berpikir kesejarahan tersebut, hal yang sama adalah bahwa dalam ketrampilan berpikir kesejarahan, peranan catatan sejarah, dokumen, artefak sangat besar dalam mengarahkan siswa untuk menganalsiis, menilai dan memberikan interpretasinya. American Historical Association Commissions (dalam Wineburg, 2001:ix) menyatakan bahwa peranan sejarah sebagai alat untuk mengubah bagaimana kita berpikir. Pelajaran sejarah memberikan kesempatan kepada siswa untuk

83

mengembangkan ketrampilan berpikir selain pemahaman materinya. Seperti disampaikan oleh Robin Coolingwood, all history is the history of thought. Richard, L. Mumpford (1991), dalam artikelnya yang berjudul,Teaching History through Analytical and Reflective Thinking Skills lebih menekankan perlunya pendekatan dalam proses pembelajaran yang mendorong siswa melakukan analisis atau berpikir kritis terhadap fakta-fakta sejarah, dibanding mengarahkan siswa untuk mengingat semua fakta-fakta tersebut. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Peter Stearns (2003) bahwa,studying history not only trains students to place events in historical perspective, it also develops research skills and sharpens student analytical thinking. Strategi berpikir kesejarahan atau terkadang disebut historical habits of mind dan discipline based analysis oleh Husband (1996) biasanya meliputi kegiatan analisis, sistesis dan evaluasi. Dalam pembelajaran sejarah, Historical habits of mind atau discipline based analysis ini dilakukan dengan mencari Three Cs (comparison, change dan causation), yang tertuang secara implisit dalam empat terakhir dari lima tipe ketrampilan berpikir kesejarahan dalam National Standard for History (1994). Secara lebih jelas kelima tipe ketrampilan berpikir kesejarahan, dapat dilihat dalam tulisan di bawah ini. Lebih lanjut dipaparkan pula bahwa untuk mendapatkan kecakapan dalam ketrampilan berpikir kesejarahan, maka siswa harus dikembangkan

kompetensinya di dalam lima jenis ketrampilan berpikir kesejarahan (National Standard for History,1994), yaitu: 1. Chronological Thinking (Berpikir Kronologis) a. Distinguish between past, present and future

84

b. Identify in historical narratives the temporal structure of a historical narratives or story c. Establish temporal order in constructing historical narratives of their own d. Measure and calculate calendar time e. Interpret and presented in time lines f. Reconstruct patterns of historical succession and duration g. Compare alternative models for periodization Di tahap ketrampilan berpikir kronologis, diharapkan peserta didik dalam belajar sejarah memiliki kemampuan memahami waktu sejarah dan mampu membedakan tiga dimensi waktu (lampau,sekarang dan yang akan datang ) dalam rangka mengidentifikasikan urutan waktu dari suatu peristiwa. Selain itu kemapuan peserta didik dalam mengukur waktu kalender, menginterpretasi dan menyususn garis waktu, menjelaskan/membandingkan pola urutan dan waktu suatu periode, dan pola kesinambungan dan perubahan. 2. Historical Comprehension a. Reconstruct the literal meaning of historical passage b. Identify the central question (s) the historical narrative addresses c. Read historical narratives imaginatively d. Evidence historical perspectives e. Draw upon data in historical maps f. Utilize visual and mathematical data presented in charts, tabels, pie and bar graphs, flow charts, venn diagrams, and other graphic organizer g. Draw upon visual data, literacy and musical sources Pada tahap kedua, ini peserta didik diharapkan memiliki kemampuan membaca, memahami hasil narative sejarah secara imaginasi., mengidentifikasi elemen-elemen struktur cerita sejarah dan mengembangkan kemampuan menjelaskan peristiwa masa lalu melalui pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya.Selain itu juga mampu menggambarkan peristiwa sejarah dalam peta sejarah, dan bentuk-bentuk tampilan data lain, seperti grafik, tabel dan lainnya. 3. Historical Analysis and Interpretation a. Identify the author or source of historical documents or narratives

85

b. Compare and contrast deffering sets of ideas, values, personalies, behavior and institutions c. Differentiate between historical facts and historical interpretations d. Consider multiple perspectives e. Analyze cause and effect relationshi and multiple causation, including the importance of the individual, the influence of ideas and the role of change f. Challenge atguments of historical inevitability g. Compare competing historical narratives h. Hold interpretations of history as tentative i. Evaluate major debates among historians j. Hypothesize the influence of the past Di tahap ketiga ini, kemampuan yang diupayakan dimiliki peserta didik dalam kaitannya mengembangkan ketrampilan berpikir kesejarahannya, yaitu membandingkan berbagai pengalaman, kepercayaan, motif, tradisi, harapan yang berbeda dari masyarakat dengan berbagai ragam latarbelakang dan berbagai variasi waktu dimasa lalu dan sekarang, kemudian menganalisis perbedaan tersebut mempengaruhi tingkah laku bagaimana

masyarakat, memiliki multi

perpepektif dalam melihat pengalaman manusia dalam data sejarah dan dalam menganalisis kejadian sejarah; dan juga mampu membandingkan mengevaluasi penjelasan-penjelasan sejarah. 4. Historical Research Capabilities a. Formulate historical questions b .Obtain historical data c. Interrogate historical data d Identify the gaps in the available records, marshal contextual knowledge and perspectives of the time and place, and construct a sound historical interpretation Pada tahap ini , termasuk kemampuan merumuskan pertanyaan-pertanyaan sejarah dari pertemuan-pertemuan dengan dokumen sejarah, artifak, foto, mengunjungi situs sejarah, dan penjelasan saksi. Serta kemampuan mencari, dan

mendapatkan data, serta mendapatkan informasi dari data yang terkumpul. Selain

86

itu dikembangkan pula kemampuan menemukan kejanggalan atau jarak dari beberapa catatan sejarah, dari waktu dan konteks dalam suatu artifak, dokumen dan sumber lain serta membangun interpretasi kesejarahan. 5. Historical Issues-Analysis and Decision Making a. Identify issues and problems in the past b. Marshal evidence and anticedent circumstances and contemporary factors contributing to problems and alternative courses of action c. Identify relevant historical antecedents d. Evaluate alternative courses of action. e. Formulate a position or course of action on an issue f. Evaluate the implementation of a decision Di dalam tahap kelima dari ketrampilan berpikir kesejarahan, kemampuan yang diupayakan muncul adalah kemampuan untuk mengidentifikasi masalah yang dihadapi manusia pada masa lampau, dan kemampuan menganalisis minat dan pandangan masyarakat dalam situasi itu.serta mampu mengevaluasi apakah keputusan atau tindakan yang diambil bagus dan mengapa, dan mampu membawa perpektif sejarah sekarang. Berdasarkan hasil penelitian Lee (dalam Van Sleidrigh , 2003) tentang berpikir kesejarahan pada anak-anak dan remaja, dia menyimpulkan yang berhubungan dengan pengambilan keputusan di masa

bahwa,historical thinking required the use of historical imagination. Untuk belajar berpikir kesejarahan, maka diperlukan imaginasi terhadap konteks sejarah dalam kaitannya untuk membuat hal tersebut bisa diterima akal pikirannya. Untuk pemikir kesejarahan pemula novice historical thinkers, Lee menyarankan guru untuk mengembangkan imaginasi yang kemudian diteruskan pada empati. Dari rasa yang dimiliki tersebut maka kemudian diarahkan kepada historical undertanding terhadap bukti, dan peristiwa sejarah.

87

Ketrampilan berpikir kesejarahan ini juga memerlukan pengetahuan dan pengalaman sejarah yang dimiliki sebelumnya, dalam kaitannya melakukan

analsis, menginterpretasi, memberikan penilaian, membuat analogi atas suatu sumber sejarah/ dokumen (Winneburg, 2001 : 150). Terkait dengan pembelajaran yang memberikan ketrampilan berpikir pada peserta didik, menurut Stopsky dan Lee (1994:141) para pendidik tahu

kepentingan dari ketrampilan berpikir tahap tinggi/kritis dalam menghadapi permasalahan dalam bidang kehidupan apapun, tetapi mereka masih kurang pemahaman terhadap arti/makna dari ketrampilan berpikir kritis itu dan bagaimana mengajarkannya. Hal tersebut terungkap dari penelitian Sternberg (1987:196) yang melihat bagaimana esensi program berpikir tahap tinggi/ kritis yang dilakukan guru. Menurutnya para guru memiliki asumsi yang keliru terhadap upaya pengembangan berpikir kritis ini, diantaranya; a. Guru adalah guru (pengajar), dan siswa adalah pebelajar. Seyogyanya dipahami bahwa orang dewasa sebagaimana orang muda membutuhkan pertolongan dalam mengembangkan cara efektip berpikir kritis. Guru, sebagaimana siswa butuh pendidikan yang lebih jauh dan terus menerus dalam berpikir kritis. b. Berpikir kritis adalah pekerjaan siswa semata. Guru sering mencari paketpaket program berpikir kritis yang diperuntukan bagi siswa, sehingga dia terlepas dari beban untuk terikat pada berpikir kritis ini.

88

c. Hal yang sangat diperhitungkan adalah jawaban yang benar. Hal ini cenderung membunuh upaya pengembangan berpikir kritis siswa, karena harus setuju dengan jawaban yang benar. Salah satu strategi penting yang dapat digunakan untuk mendorong ketrampilan berpikir kritis adalah dengan susunan bahasa yang tepat dalam mengajukan pertanyaan atau menyampaikan informasi. Sebagai contoh; + Apa yang kau pikirkan tentang revolusi Amerika? (kurang tepat) Bagaimana revolusi Amerika dapat merubah pemerintahan di negara kita?

(tepat) Pembelajaran berpikir kesejarahan, (historical thinking; historical reasoning; historical habits of mind; atau discipline based analysis) dapat

dilakukan dengan kerangka operasinya sebagai berikut (tersedia dalam http://www.studiesfriend.ca/onhist, diakses tanggal 20 Mei 2003.)

1.

2. 3. 4. 5.

6. 7.

Menguji bukti sejarah yang terkait dengan isu sejarah yng kontemporer atau yang controversial (Examine evidence relating to a controversial historical or contemporary issue) Mengidentifikasi argumen-argumen dari berbagai sisi ( Identify the arguments advanced by various sides). membedakan antara kejadian dengan pendapat (Differentiate between evidence and opinion). menentukan nilai dan motivasi dari orang-orang yang terlibat (Determine the values and motivations of the people involved). mencoba menentukan kredibilitas sumber informasi melalui pemahaman nilai dan motivasi penulis (Attempt to determine the credibility of source information by understanding the authors' values and motivations). Menulis sebuah narasi sejarah dari suatu isu sejarah ( Write a narrative description (historical account) of the issue) Menulis sebuah esay (Write an essay advocating a course of action).

89

Dalam kerangka seperti itu, siswa dilibatkan dalam kegiatan bertanya, berinquiry, menginvestigasi dan memberikan interpretasinya terhadap sumber sejarah. Mereka akan menyadari bahwa penilian sejarah bukan final, masih terus diperdebatkan. Selain itu menyadari bahwa sejarah adalah rekonstruksi dari kehidupan manusia.

Selain itu guru hendaknya mendorong siswa untuk mampu, berani bertanya. Kemampuan siswa bertanya, akan mempengaruhi bagaimana dia dapat melihat masalah tersebut dengan jelas. Kemudian guru harus ingat bahwa hal yang paling adalah bagaimana proses siswa menyusun alasan-alasan dalam

memecahkan masalah, bukan pada hasil,solusinya.

Pada saat siswa berinteraksi dgn mengajukan pertanyaan kepada sumbersumber sejarah, maka mereka akan mengahadapi pemikiran-pemikiran dan posisi yang rumit. Mereka akan bertanya kepada teman sekelas, guru dan lainnya. Seringkali hal ini dihadapi jika pertanyaan yang diajukan terkait dengan isu-isu baru yang tidak dapat dijawab secara jelas oleh bukti-bukti yang ada. Dalam kondisi ini siswa berhadapan dengan the messy world of historical interpretation." (Schuerman, 1998 : 10). Hal ini sesuai pula dengan tulisan Ismaun (2001 :112) yang mengungkapkan bahwa dalam paradigma baru pendidikan sejarah harus memberikan kesempatan kepada siswa bahwa cerita sejarah yang ada merupakan hasil karya rekonstruksi para sejarawan, bukanlah karya yang final.

90

Mary Ann Davies (2001) memberikan empat strategi dalam menggunakan pertanyaan untuk membantu siswa menganalisa data, yaitu: a. Memahami materi (Understand each piece of material). Pertanyaan harus ditanyakan untuk meyakinkan bahwa materi itu dipahami. Pertanyaan harus fokus pada pengetahuan dan pemahaman. b. Menggali keterkaitan antar materi (Explore the inter-relatedness of materials) Pertanyaan yang menguji keterkaitan antar materi dan menghubungkannya dengan pengetahuan siswa sebelumnya. c. Menggali bagaimana materi dapat diekspresikan melalui cara pemahaman lain (Explore how the material might be expressed through other perceptual modes) Pertanyaan harus memandu siswa dalam mengekspresikan data melalui cara persepsi yang berbeda.. d. Menguji hubungan kronologis pada materi yang berbeda (Examine the relationship of chronology to the various materials). Pertanyaan dapat berupa sebuah puisi yang ditulis 50 tahun yang lalu.Mengapa dan mengapa tidak? Tahapan ini terkait dengan berpikir kritis dan berpikir analisis. (http://www. historycooperative.org/Journals/ht34.4/davies.Html. 1-2-04 Dalam belajar sejarah siswa diarahkan bukan mengingat semua fakta, melainkan mampu menyusun suatu penalaran kesejarahan (historical reasoning). Siswa dapat dirancang untuk berpikir kesejarahan. Pada pinsipnya semua siswa dapat diajar bagaimana belajar mendapatkan kemampuan dasar dari setiap disiplin ilmu. (http://www.Criticalthinking.Org/university/cthistory.html, diakses 5-2-04).

91

Mengingat belajar sejarah adalah sebuah pendekatan yang unik untuk membantu mengorganisasikan belajar dari penglaman-pengalaman dan implikasinya. (http:// ccs.mit.edu/LH/ overview.Html, 2/2-04) Sehubungan dengan hal itu, kemampuan yang dapat dikembangkan oleh siswa dari belajar sejarah antara lain: a. Kemampuan untuk menilai bukti (The Ability to Assess Evidence). Mempelajari sejarah memberikan pengalaman yang terkait dengan berbagai bukti, dan memberikan penilaian. Para siswa bisa menggunakan macam-macam bukti yang digunakan sejarawan dalam membentuk gambaran masa lampau dengan tepat. b. Kemampuan untuk menilai interpretasi yang tidak sejalan (The Ability to Assess Conflicting Interpretations) Belajar sejarah berarti mendapatkan ketrampilan dalam melakukan seleksi dari beragam interpretasi. d. Pengalaman dalam menilai contoh-contoh perubahan di masa lampau (Experience in Assessing Past Examples of Change). Pengalaman dalam menilai contoh-contoh perubahan di masa lampau adalah penting untuk memahami perubahan dalam masyarakat saat ini (Stanton Burgess Turner,1987). Tidaklah mudah untuk memahami bagaimana kehidupan manusia di masa lampau, cara berpikir, berinteraksi, emosi yang melekat pada mereka saat peristiwa tersebut terjadi. Hal ini mengingat jauhnya jarak mereka yang hidup di masa lampau dengan kita yang hidup di era sekarang. Upaya yang bisa ditempuh adalah dengan menempatkan pikiran kita kedalam pikiran mereka di masa

92

lampau. Robert Darnton (dalam Wineburg, 2001:10) mengungkapkan,.and if we want to understand their way of thinking we should set out with the idea of capturing otherness. Ketrampilan berpikir kesejarahan membutuhkan

penyatuan atas dua sisi yang berlawanan, yaitu satu sisi kita telah memiliki pola pikir yang sudah mantap karena sebuah warisan yang sulit dihapuskan. Kedua, kalaupun kita mencoba untuk menghapusnya, kita akan mengalami pemahaman kekinian yang kaku, yang membaca dari kekinian ke masa lampau. Dengan kata lain cara pikir kita harus mampu mengkaji peristiwa sejarah secara sinkronik dan diakronik.

5. Hubungan Ketrampilan Berpikir Kesejarahan dengan Pemahaman Kesejarahan Di dalam National Standard (1994: 2) bagi pendidikan sejarah di Amerika, dinyatakan adanya dua standar yang harus dicapai oleh setiap siswa, yaitu historical understanding (pemahaman sejarah) dan historical thinking skills (ketrampilan berpikir sejarah). Pada tingkat berapa ketrampilan sejarah yang dicapai sangat tergantung pula bagaimana tingkatan pemahaman kesejarahan. Kondisi ini terlihat dalam bagan berikut ini.

93

Berpik ir Kesejarahan (HT)

G B U

Pemahaman Kesejarahan (HU)

Berpik ir Kesejarahan (HT)

Pemahaman Kesejarahan (HU)

Kompetensi Dasar Pencapaian Hasil Belajar

Keterangan : GBU: Gabungan Berfikir Kesejarahan dan Pemahaman Kesejarahan

Gambar 2.3 Hubungan Ketrampilan Berpikir Kesejarahan dan Pemahaman Kesejarahan (diadaptasi dari Integrating Standars in Historical Understanding and Thinking, National Standars for World History. 1994. National Center for History in the Schools, University of California, Los Angeles)

Standar pemahaman sejarah (historical understanding) dinyatakan dalam National Standard for History,yaitu: what student should know about the history of their nation and the world. These understanding are drawn from the record of human aspirations, striving, accomplishments, and failures in at least five spheres of human activity: the social, scientific/technological, economic,political,and philosophical/ religious/ aesthetic. They also provide students the historical perspectives required to analyze contemporary issues and problems confronting citizens today. Hal senada juga disampaikan oleh Winneburg (2001:11)

mengungkapkan,the goal of historical understanding should be to see through the eyes of the people who were there. Ketrampilan berpikir kesejarahan sering pula digambarkan secara kontras dengan sejarah yang berisi nama, tanggal dan tempat. Dikotomi ini sering disalah interpretasikan, yaitu di antara pemahaman kesejarahan dan berpikir kesejarahan

94

sebagai satu keunggulan yang lebih dibanding yang lain. Nyatanya bahwa secara umum pentingnya pengembangan ketrampilan berpikir dapat dilakukan jika seseorang menggunakan isi/materi sejarah. Sebagian besar pendidik setuju untuk menggunakan materi sejarah atau fakta-fakta sejarah dan ketrampilan berpikir kesejarahan menjadikan siswa mampu menginterpretasi, menganalisa, dan menggunakan informasi dari kejadian-kejadian masa lalu (dalam

http://www.sciencedaily.com/encyclopedia/historical_thinking, diakses tanggal 13-1-2003). Van Sleidrigh (1996) menegaskan dari temuan penelitiannya bahwa posisi berpikir kesejarahan (historical thinking) dan hubungannya dengan pemahaman kesejarahan (historical understanding) yaitu bahwa Historical thinking Acts challenge understanding. Tindakan membangun berpikir kesejarahan adalah

upaya membantu siswa membangun pemahaman kesejarahannya.

C. Model Pembelajaran Berpikir Kesejarahan 1. Pengertian Model Pembelajaran Joice dan Weil (2000) menyatakan bahwa model pengajaran

sesungguhnya adalah juga model belajar. Dikarenakan di dalam model pengajaran untuk menolong peserta didik mendapatkan informasi, gagasan, ketrampilan, nilai-nilai, cara berpikir dan mengajar siswa bagaimana untuk belajar. Model menggambarkan pembelajaran prosedur, adalah juga kerangka dalam konseptual yang

langkah-langkah

mengorganisasikan,

memfasilitasi peserta didik agar memiliki pengalaman belajar untuk mencapai

95

tujuan belajar yang diharapkan, yang selanjutnya dijadikan pedoman bagi para pengajar untuk kegiatan aktivitas belajar mengajar. Dalam kaitannya dengan kegiatan pembelajaran tidak lepas juga dengan penggunaan strategi dalam pembelajaran. Strategi pembelajaran yang dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran ada yang berpusat pada pengajar (teacher centered) dan yang berpusat pada peserta belajar (student centered) (Abdulhak, 2000:43). Pada awal kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa student centered, maka peran pengajar lebih besar dibanding peserta belajar, tetapi

secara perlahan diarahkan kepada peran peserta didik yang lebih besar dan pengajar berperan sebagai fasilitator. Di dalam hubungan antara peran pengajar dengan peserta belajar, digambarkan Sudjana (2000:30) seperti di bawah ini. Tinggi Intensitas peranan pengajar Akhir

Awal Rendah

Intensitas peranan peserta Tinggi Gambar 2.4 Hubungan antara Peranan Pengajar dan Peserta Belajar

Di dalam pendekatan pembelajaran yang terpusat pada siswa, sangat memberikan pengaruh positif terhadap kreativitas siswa, konsep diri, sikap terhadap sekolah dan keingintahuan..

96

2.

Model-Model Pembelajaran Pengembangan Ketrampilan Berpikir Pada dasarnya pendekatan pembelajaran memiliki penekanan yang berbeda

dalam proses pembelajarannya. Ada yang lebih menekankan pada siswa, yaitu ketrampilan berpikir, aktivitas, pengalaman siswa, sedangkan yang fokus pada guru, yaitu fungsi, peran dan aktivitas guru. Selain itu ada juga yang fokus pada masalah, yaitu masalah personal, sosial, lingkungan, dan yang fokus pada teknologi, yaitu sistem informasi, media, sumber belajar dll. Walaupun penekanan komponen dalam pembelajaran tersebut berbeda, tetapi komponen-komponen tersebut, seperti siswa, guru, materi, tujuan, sarana, lingkungan, pengelolaan

belajar tetap terkait (Sukmadinata, 2004:194). Ada tiga komponen utama dalam pengajaran berpikir, yaitu tujuan pembelajaran, prosedur pembelajaran, serta prosedur evaluasi. Ketiga komponen tersebut tidak berdiri sendiri dan saling terkait (Nickerson, 1985:329). Bagaimana prosedur pengajaran yang baik? Menurut Karplus and Arnold, (1982 : 40), prosedur pengajaran yang baik adalah yang menyediakan aktivitas belajar dimana setiap siswa mendapatkan tantangan dan keberhasilan sesuai dengan tingkat berpikirnya. Hal ini dipertegas lagi oleh Piaget (dalam Gedler, 1981:191) bahwa adanya tes baku yang hanya mengukur sejumlah informasi yang dapat dihapal siswa tidak mencerminkan pengetahuan siswa yang sesungguhnya. Piaget lebih mengedepankan proses, kebebasan berpikir. Pengetahuan bukanlah suatu hasil akan tetapi suatu proses. For Piaget the continuous interaction between the individual and the environment is knowledge. That is, knowledge is a process, not a thing. Singkatnya dapat dikatakan bahwa menurut Piaget, hal yang

97

terpenting dalam proses pembelajaran adalah bagaimana seseorang itu memperoleh pengetahuan dan bagaimana mereka menggunakan pengetahuan itu untuk berperilaku lebih efektip (Bower dan Hilgard, 1986 : 421). Secara rinci langkah-langkah kegiatan belajar mengajar di dalam kelas dalam kaitannya untuk mengembangkan ketrampilan berpikir tahap tinggi,yaitu sebagai berikut. Fase pendahuluan Mengulang materi hari sebelumnya, dan tugas pekerjaan rumah membangun jembatan ke materi yang baru dengan advanced organizers Presentasi materi Gunakan pertanyaan dengan metode Socrates Tugas dan diskusi kelompok kecil Tahap refleksi atau penerapan materi baru atau Laporan-laporan Ringkasan/latihan-latihan/pengembangan/aplikasi/demonstrasi aktivitas.(tersedia http://www.iss.Sttthomas.edu/studyguides/crtck.htm (diakses tanggal 2-2-04)

Adapun teknik-teknik yang dapat membantu dalam melakukan pembelajaran yang mengembangkan kemampuan berpikir kritis, yaitu: Questioning: Strategi dengan mengajukan pertanyaan pertanyaan di kelas. Problem-based learning: belajar berdasarkan masalah yang sebenarnya atau yang disimulasikan Thinking aloud: mendemonstrasikan ketrampilan berpikir melalui masalah, teks-teks/dokumen. Model pembelajaran yang menekankan pada proses pengembangan ide, gagasan, solusi dan lainnya. Cooperative conflict resolution belajar dengan catatan kemajuan/fortofolio Ilustrasi konsep, dengan contoh-contoh dari pengalaman siswa sendiri yang berkorelasi dengan konsep dan aplikasinya. Kemudian memberikan umpan balik kepada siswa. (tersedia dalam http://www.iss.Sttthomas.edu/studyguides/crtck.htm, 2/2-04)

98

Secara komprehensif, pembelajaran yang memenuhi unsur-unsur belajar mencari-bermakna, pembelajaran yang berdasarkan pengalaman dan konteks kehidupan mahasiswa serta menempatkan mahasiswa sebagai subjek dalam

pembelajaran, memberikan belajar secara kooperatif, mengarahkan kepada pengajaran berpikir tingkat tinggi, dan menggunakan konteks lingkungan kehidupan mahasiswa tercakup juga dalam pendekatan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching Learning). Dalam pendekatan ini para guru/dosen mengarahkan peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Depdiknas, 2003 :1). Terkait dengan pembelajaran yang mengembangkan ketrampilan berpikir siswa, Howey (1998) mengungkapkan, Contextual Teaching and learning (CTL) emphasizes higher-level thinking, knowledge transfer, collecting, analyzing, and synthesizing information and data from multiple sources and

viewpoints.Ungkapan lain yang senada dengan itu, yaitu: Contextual Teaching and Learning emphasizes higher level thinking, knowledge transfer across academic disciplines, and collecting, analyzing and synthesizing information and data from multiple sources and viewpoints. (tersedia dalam :

http://depts.washington.edu/wctl/definingctl.htm).

99

3. Pendekatan Holistik dalam Pembelajaran Berpikir

Sebelum diuraikan lebih dalam mengenai pendekatan holistik dalam pembelajaran berpikir, maka disampaikan terlebih dahulu tentang esensi pendekatan ini secara umum. Penerapan pendekatan holistik tidaklah hanya pada bidang pendidikan, tetapi juga di bidang lain. Di bidang kesehatan, misalnya, terdapat salah satu klinik anak di Amerika yang menamakan The Holistic Approach for Child Health Klinik ini mengoptimalkan keterlibatan keluarga pasien, lingkungan social pasien dan pasien itu sendiri dalam mendiagnosa penyakit dan proses penyembuhannya. Para medis secara kontinyu dan terbuka memberikan kesempatan pada pasien untuk tahu dan memilih jenis

terapi/pengobatan yang diinginkan. Di bidang lain, yang menggunakan pendekatan holistik ini seperti manajemen inovasi, transportasi, ecology dan bahasa. Secara umum didapat benang merah dari pendekatan holistik ini yaitu upaya mengatasi suatu hal, atau menganalisis sesuatu dengan melibatkan berbagai elemen/komponen yang ada dan memprioritaskan objek untuk menjadi subjek. Setiap tujuan atau permasalahan yang dicapai/dihadapi, dalam pandangan pendekatan ini berbalik menjadi dasar pemikiran untuk melihat elemen terkait, lingkungan sekitar, pendapat yang ada agar tujuan/masalah yang dihadapi menjadi jelas ketercapaian, dan kebermaknaannya.

Jack Miller (dalam Johnson, 2005), seorang pakar teori dan praktik pendidikan holistik, menyatakan bahwa pendidikan holistik adalah sebuah filsafat pendidikan yang terkait erat dengan pandangan transformative. Belajar dimaknai

100

terjadi jika pengalaman belajar telah melibatkan diri siswa, orang sekitar dan lingkungan. Fokus pembelajaran adalah untuk menolong siswa melihat sesuatu secara keseluruhan, tidak bagian per bagian. Penekanan yang sama dalam pendekatan pendidikan holistik ini adalah juga menolong guru agar dapat melihat siswanya sebagai keseluruhan sosok manusia, bukan hanya pada hasil skor dan penampilan akademik. Secara lebih jelas berikut definisi pendidikan holistik yang disampaikan Jack Miller (dalam Johnson, 2005),

Pendidikan holistik merupakan kegiatan eksplorasi dan membuat keterhubungan, dan menghindari pembagian-pembagian bahasan. Focus pendidikan holistik adalah hubungan antara berpikir linear dan intuisi, antara pikiran dan tubuh, antara beragam ranah pengetahuan, antara individu dan masyarakat, dan hubungan antara individu dengan individu lainnya. Jika menurut Miller, prinsip saling keterhubungan interconnectedness dalam pendidikan holistik maka menurut Narve (dalam Johnson, 2005), prinsip utama dalam pendekatan pendidikan holistik yaitu keseluruhan wholeness. Lebih jelas berikut ungkapan Narve.

the principle of wholeness,which holds that everything in the universe is interconnected to everything else. Everything that exists is related in a context of interconnectedness and meaning, and any change or event affects everything else. The whole is more than the sum of its parts. This means that the whole is comprised of relational patterns that are not contained in the parts.Therefore, a phenomenon can never be understood in isolation. Ditambahkan oleh Johnson (2005) dalam bukunya yang berjudul Making Connectedness in in Elementary and Middle School Social Studies bahwa satu hal yang terpenting dalam prinsip belajar holistik adalah tidak bisa

dipisahkannya antara, mengajar dan pengalaman belajar. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk berpikir reflectif, berimajinasi, intuisi, emosi dan

101

berkreasi. Hal inilah yang juga menjadi pemikiran pendidikan secara umum, dan pembelajaran IPS khususnya. Dalam pendekatan holistik di pendidikan IPS terdapat tiga esensi keterhubungan dengan dasar bahwa IPS dan kurikulum lain dapat digunakan untuk memahami keterhubungan pada, pertama, individu itu sendiri,

intrapersonal connections (aktualisasi diri, inteligen, emosi, imajinasi dan lainnya). Kedua, keterhubungan dengan orang lain, Interpersonal connections (empati, memahami nilai-nilai kemanusiaan, ketrampilan social dan lainnya). Ketiga, saling keterhubungan Interconnectedness (melihat dunia sebagai keseluruhan, memahami adanya saling memiliki keterkaitan dan keterhubungan pengalaman-pengalaman). Para pendidik yang berdasarkan holistik mempercayai bahwa manusia adalah sosok yang kompleks yang memiliki banyak lapisan pengertian. Sebagaimana dikatakan oleh Johnson (2005), We are biological creatures. We are ecological creatures. We have a psychological dimension, an emotional dimension. We live in an ideological environment, a social and cultural environment, and we have a spiritual core. We are very complex creatures because of the interactions of all these different meanings. Berdasarkan pemahaman tersebut maka pembelajaran holistik mengiringi perkembangan keseluruhan siswa, dan cenderung untuk menjadikan siswa mampu mendekati secara kritis pada konteks budaya, moral, politik dan lainnya dalam kehidupan siswa.

102

The Holistik Education Network of Tasmania (tersedia dalam http://.neat.tas.edu.au/HENT, diakses tanggal 29 Juni 2006) memberikan beberapa elemen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran holistik, yaitu

a. pembelajaran memperhatikan pertumbuhan setiap intelektual, emosional, fisik, potensi kreativitas dan spiritual individu. b. Melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan pembelajaran dan mendorong rasa tanggungjawab personal dan kelompok. c. Memperhatikan minat/keinginan siswa untuk memahami sesuatu. d. Menjadikan siswa mampu memahami berbagai konteks baik yang mempengaruhi atau dipengaruhi dalam hidupnya atau yang membentuk dan memberikan makna kehidupan. e. Lehig mementingkan pengenalan dan pemahaman atas keseluruhan konteks dibandingkan dengan fakta-fakta. f. Tidak membatasi nilai-nilai spiritual, non sectarian dalam mengkaji sesuatu. Dari uraian tentang pendekatan holistik dalam pendidikan, pembelajaran dan lebih khusus dalam pembelajaran IPS, diketahui bahwa pendekatan ini sangat memperhatikan sosok individu dan keterhubungannya dengan orang lain, dan lingkungan sekitarnya. Kebebasan berpikir yang didasari oleh pengetahuan dan pengalaman belajar, ditempatkan sebagai dasar utama dalam mengembangkan kemampuan berpikirnya.

Ruggerio dalam bukunya

Teaching Thinking Across The Curriculum

(1988 : 17-50) memberikan tahapan pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan ketrampilan berpikir kritis dan kreatif. Pendekatan yang ditawarkan oleh Ruggerio ini disebut dengan Pendekatan Holistik dalam Pengajaran Berpikir The Holistik Approach to the Teaching of thinking. Menurut dia, ada dua keuntungan pembelajaran yang dapat diperoleh, jika model pembelajaran holistik ini dirancang baik, yaitu;

103

(1) A holistik model embraces both the production and evaluation of ideas and present students with one coherent, sequential approach to productive thinking. (2) A holistik thinking model fits a broader range of thinking situations than does a creative model or a critical model. Ada lima tahapan dalam pendekatan ini, yaitu terdiri dari Exploration, Expression, Investigation, Production dan Evaluation/refinement. Pada tahap eksplorasi, siswa diarahkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang memulai

melakukan analisis terhadap masalah/isu. Hal ini dimulai dengan mendorong rasa ingin tahu dengan mendengarkan, membaca, menuliskan, mengamati, dan juga dengan pertanyaan-pertanyaan mengapa masalah ini seperti ini, mengapa dia berkata begitu dan sebagainya. Selain itu juga dengan ungkapan perasaan kecewa, atau menyedihkan. Misal peristiwa ini tidak berjalan dengan semestinya, mestinya begitu, atau ucapan tokoh itu tidak semestinya begitu, seharusnya begini. Mengapa muncul masalah dan apa akibat masalah tersebut. Kata tanya yang digunakan dalam tahap ini adalah mengapa (why). Mengapa ini begini, mengapa tidak begitu.

Di dalam pelaksanaan tahap ini pengajar diminta untuk mampu menimbulkan rasa ingin tahu dalam upaya memecahkan masalah/isu dengan cara membaca, mendengar atau mengamati karya, proses sesuatu hal yang terjadi di dalam kehidupan manusia, termasuk gagasan-gagasan yang ada pada setiap manusia.

Pada tahap ekspresi, adalah upaya menemukan cara terbaik menyatakan pemikiran, secara tertulis sejelas dan sebanyak mungkin dengan kalimat

bagaimana bisa? dan memilih pemikiran yang telah dihasilkan. Kata Tanya

104

yang sesuai dengan tahapan ini adalah apakah (what). Apakah esensi dari isu/masalah ini? Pada tahap investigasi, adalah mencari, menghimpun informasi yang tepat untuk memecahkan masalah (sendiri, berpasangan, teman sekelas, guru, ahli atau buku). Kata Tanya yang digunakan adalah bagaimana (how). Bagaimana sumbersumber informasi yang terkait didapat. Pada tahap produksi ide, adalah menyampaikan hasil pemecahan dengan cara, memberi respon yang tak lazim, menggunakan asosiasi bebas,

menggunakan analogi, kombinasi yang tak lazim, visualisasi hasil pemecahan, argumentasi pro-kontra dan membuat skenario yang sesuai. Pertanyaan yang diajukan dalam tahap ini adalah, what techniques will you use to generate good ideas? Di tahap terkhir, evaluasi/penyempurnaan, adalah memberikan respon yang tepat terhadap pemecahan masalah. Pertanyaan yang dikembangkan adalah, what is your central ideas, your fundamental stance. Secara singkat dalam pembelajaran pendekatan ini dilakukan dengan cara; pada tahap eksplorasi, peserta didik diarahkan untuk mengidentifikasi masalah, rasa ingin tahu terhadap masalah. Pada tahap ekspresi, menemukan cara terbaik menyatakan pemikiran secara tertulis terhadap masalah yang ditentukan. Pada tahap investigasi, peserta didik diarahkan untuk mencari bukti, informasi selengkap-lengkapnya dari berbagai sumber untuk memperkuat dan mempertegas jawaban yang diberikan, secara individu atau kelompok. Pada tahap produk ide, peserta didik dimotivasi untuk memberikan alternatif jawaban sebagai hasil

105

pembahasan atas permasalahan, pada tahap ini peserta didik diarahkan untuk mengembangkan potensinya baik yang bersifat imajinasi ataupun konkrit. Tahap terakhir, evaluasi dan penyempurnaan, peserta didik diarahkan untuk memilih, menilai alternatif-alternatif jawaban dan memberikan penyempurnaan terhadap hasil pilihan tersebut. Pendekatan holistik ini, dalam setiap tahapan mendorong pebelajar untuk menggunakan pengetahuan dan pengalaman lampaunya yang kemudian dengan secara aktif sendiri atau bersama kelompok dipandu oleh guru menemukan dan membangun pengetahuan, konsep-konsep dari materi yang diajarkan. Dalam kegiatan ini kesempatan pebelajar untuk mengembangkan ketrampilan

berpikirnya. Model Pengajaran berpikir dengan pendekatan holistik ini, adalah satu pilihan yang mempertemukan pengajaran berpikir kritis dan kreatif, dengan tiga kegiatan kegiatan utama berpikir yaitu mengambil keputusan, pemecahan masalah dan analisis isu (Ruggiero, 1988: 2). Pendekatan pengajaran berpikir yang dikemukakan oleh Ruggerio ini, juga berhasil digunakan oleh Dirk Morrison (2003) dalam artikelnya di Canadian Journal of learning and Technology, yang berjudul Using Activity Theory to Design Constructivist Online Learning environments for Higher Order Thinking: A Retrospective Analysis. Dari hasil penelitiannya konstruktivis dengan menggunakan komputer, terhadap pembelajaran untuk mengembangkan

ketrampilan berpikir tahap tinggi, pendekatan ini sangat sesuai. Dari hasil penelitian Purwadi (2000) ditemukan bahwa model

pembelajaran berpikir dengan pendekatan holistik yang disusun Ruggeiro (1988)

106

dapat meningkatkan ketrampilan berpikir mahasiswa. Hasil pengembangan model tersebut, menambah langkah dalam model tersebut menjadi enam, yaitu orientasi, sebagai langkah awal. Berkaitan dengan proses memahami sejarah secara holistik, maka penggunaan berbagai perspektif dan faktor yang mempengaruhi kehidupan manusia menjadi bagian yang harus dikaji. Theodore H. Von Laue

(http://courses.Ncsu.edu/clases/hi300000/history.htm, 5-4-04) menyatakan ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam memahami sejarah,yaitu First, I urge you to see how the past fits into the present and foreseeable future. History makes no sense unless it is integrated into the dynamics of the contemporary world. Secondly, you should appreciate the totality of factors that shape human development, including climate and geography, which are insufficiently emphasized by historians. Thirdly, I hope you will realize how cultural conditioning shapes your individual subconscious. Then, you will have to accept the fact that much of your life is predetermined by global pressures that roll over all linguistic, ethnic, and cultural diversities; building your future is determined by factors beyond your control. Faktor-Faktor yang ada mempengaruhi kehidupan manusia termasuk juga pengaruh alam, geografi, budaya dan tekanan tuntutan zaman, globalisasi merupakan bagian dari materi yang dibicarakan untuk memahami bagaimana kesinambungan dari peristiwa masa lampau menuju kekinian dan masa depan. Tahapan-tahapan dalam pendekatan holistik ini, jika dirujukan dengan esensi dari pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, model pembelajaran induktif (rumpun model pembelajaran pemrosesan informasi) dan beberapa

strategi pembelajaran sejarah, seperti yang tertuang dalam sub berikut ini sangat sesuai, karena memberikan kemampuan mahasiswa berpikir kritis, kreatif, menggunakan informasi dari dokumen primer sejarah dalam proses

107

merekonstruksi

atau

juga

memberikan

penilaian.

Kegiatan

ini

pun

mengembangkan ketrampilan berpikir divergen, serta multipersfektif. Dari uraian di atas dapat digambarkan adanya pertalian yang erat antara konstruktivisme dan pendekatan holistik dalam proses pembelajaran, yaitu: kegiatan pembelajaran lebih dikondisikan untuk siswa belajar, bukan bagi guru untuk mengajar kurikulum disusun dan dilaksanakan dengan mengedepankan

pemberdayaan siswa dalam berpikir, mengolah informasi dan menilainya. Penggunaan sumber utama (primary sources), sebagai dasar untuk membangun sendiri pengetahuan baru, dan cendrung tidak menerima barang pendapat/tafsiran yang sudah disusun guru atau penulis buku. Memberikan kesempatan besar kepada siswa untuk melatih

kemampuan berpikir tahap tinggi. Pengembangan materi tidak dilakukan untuk dihapal (fakta-fakta), melainkan cenderung menyeluruh, multiperfektif dan multidisiplin. Kegiatan pembelajaran lebih mengarah pada kegiatan belajar bersama, agar keragaman pendapat kaya dalam proses membangun pengetahuan baru. Evaluasi pembelajaran dilakukan dalam berbagai bentuk dan jenis.

108

4. Model-Model Pembelajaran Sejarah Tantangan dari mata pelajaran sejarah saat ini dan ke depan, menuntut guru berperan lebih besar. Soedjatmoko (1976:15) mengingatkan para guru sejarah agar membuang cara-cara mengajar sejarah yang mengutamakan fakta sejarah saja. Hal ini dikuatirkan tidak membawa siswa kepada pengembangan berpikirnya. Sementara itu dengan pengembangan ketrampilan berpikir yang terus meningkat, siswa akan mampu melihat hal-hal di lingkungan kehidupannya dengan kritis. Menurut Garvey dan Krug (1977 : 2) ada lima hal yang dicapai dalam pembelajaran sejarah yang terkait erat dengan bagaimana proses pembelajaran dilakukan yang menekankan pada aktivitas siswa, yaitu pertama, to acquire knowledge of historical facts (untuk mendapatkan pengetahuan tentang faktafakta kesejarahan). Hal yang sangat lama sudah diketahui bahwa setiap orang dianggap belum mempelajari sejarah jika belum bisa menyebutkan beberapa fakta sejarah yang ada di dalam sejarah bangsanya. Bentuk pencapaian ini adalah paling mendasar dalam belajar sejarah. Oleh karena itu para guru sejarah cenderung kemudian memberikan fakta-fakta sejarah dan menjadi wajib bagi siswa mengetahui dan menghapalnya. Sehingga para gurupun terjebak dalam anggapan bahwa tugas pokok guru sejarah adalah memberikan fakta sejarah. Maka seperti yang sebagian dialami siswa adalah mencatat dan menghapalkan tahun-tahun peristiwa. Akibat lebih jauh masuk kelas bukan karena ingin mendapatkan uraian cerita peristiwa sejarah melainkan karena takut diabsen saja. Selebihnya pelajaran tersebut membosankan dan tidak menantang karena fakta-fakta sejarah tersebut

109

cukup dihapal saja. Hal inilah yang dikuatirkan oleh para pakar pendidikan sejarah, bahwa pelajaran sejarah menjadi kering. Diperparah dengan banyaknya pendapat bahwa siapapun dapat mengajar sejarah (karena hanya memberikan fakta sejarah). Merujuk hal tersebut pembaharuan pembelajaran perlu dilakukan.

Keterlibatan murid yang lebih aktif. Berkaitan dengan hal ini Sartono Kartodijo (1970), pernah mengungkapkan bahwa apabila sejarah hendak tetap berfungsi dalam pedidikan maka harus dapat menyesuaikan diri terhadap situasi sosial dewasa ini. Jika studi sejarah terbatas pada pengetahuan fakta-fakta maka akan menjadi steril dan mematikan segala minat terhadap sejarah Tentu saja dalam belajar sejarah atau menjadi sejarawan, pengetahuan tentang fakta-fakta sejarah adalah hal yang mutlak. Di dalam belajar-mengajar sejarah, peran bukti, fakta-fakta sangat penting, dikarenakan kegunaan bukti/fakta akan menjadikan penelusuran, investigasi masa lampu lebih memungkinkan. Mengajar siswa dengan menggunakan bukti sejarah dapat mengajak siswa melihat bagaimana jalannya masa lampau dan kemudian mengajak siswa untuk lebih peduli dan mampu memecahkan masalah yang dihadapinya, di sekitarnya saat ini dan kemungkinan masa depan (Lee, 1984 : 4-5). Seperti juga yang diungkapkan oleh Jarolimek dan Parker ( 1993 : 125),program pembelajaran hendaknya dapat membangun jembatan psikologi atau keterkaitan dengan masa lampau melalui serangkaian pengalaman yang direncanakan. Disarankan oleh mereka untuk memberikan kesempatan kepada siswa, opportunity to examine objects of historical significance, opportunity to talk with older people of the community, . (1993 : 126).

110

Keutuhan pemahaman sejarah tidak akan bisa dibangun tanpa mengenal lebih dulu apa saja fakta sejarah yang ada. Kemudian diperluas hingga membantu siswa menangkap konsep sejarah bahkan ke generalisasi. Dalam proses ini tentu saja guru sejarah diminta untuk menyiapkan kondisi belajar yang memenuhi tujuan belajar. Kedua, to gain an understanding or appreciation of past evens or periods or people (untuk mendapatkan pemahaman atau penghargaan terhadap kejadiankejadian, orang pada masa lampau). Dalam konteks ini, ungkapan belajar sejarah akan membuat orang menjadi bijaksana dan tentu banyak lagi ungkapan para sejarawan, politisi, pendidik dan bahkan dalam kitab suci Al-Quran menyampaikan pesan kegunaan/kepentingan dari belajar tentang peristiwa manusia masa lampau, tetapi adalah tidak mudah untuk memahami peristiwa yang telah lampau tersebut, jika tidak ditumbuhkan ketrampilan berimaginasi, berempati terhadap peristiwa tersebut. Diharapkan peristiwa masa lampau dapat dilihat secara utuh, keseluruhan, tetapi bukti dan fakta sejarahnya belum didapat maka kemampuan anilisis, imajinasi diperlukan. Para siswa sulit mendapatkan kemampuan tersebut jika pembelajaran di dalam kelasnya hanya menyampaikan fakta-fakta sejarah saja, melalui convensional method, teacher centered approach. Model pembelajaran yang ditawarkan oleh Judy Mackinolty,

menggunakan Primary sources (2001 : 135), dan Garvey dan Krug (1977) seperti picture study, document study, simulation and drama, bisa juga dengan memberikan pemahaman sejarah melalui kegiatan mendengar student listen oleh Bryan Cowling, student read oleh Tom Marshall dan tentu banyak lagi.

111

Sepanjang pembelajaran tersebut memberikan bekal kepada siswa untuk mampu melihat masa lampau secara keseluruhan dengan berimajinasi dan ber empati. Sehingga siswa dapat rangkaian peristiwa dari masa lampau, ke masa sekarang dan akan datang. Ketiga, to acquire the ability to evaluate and criticize historical writing (untuk memiliki kemampuan mengevaluasi dan mengkritisi penulisan sejarah). Selain penggunaan buku sejarah, metode yang digunakan juga menetukan untuk menumbuhkan kemampuan siswa mengevaluasi dan mengkritisi penulisan sejarah. Salah satunya adalah model yang ditawarkan oleh Garvey dan Krug, yaitu text book study (1977 :54 63). Dikatakan oleh Gravey dan Krug bahwa dengan menggunakan buku teks maka diharapkan siswa akan memiliki; reference skills, comprehension skills, analytical and critical skills, imaginative skills dan notemaking skills (1977 : 59-60). Pada siswa di jenjang pendidikan rendah, kegiatan mengevaluasi dan mengkritisi penulisan sejarah dilakukan secara bersama dan diarahkan oleh guru melalui tanya jawab atau dengan lembaran pertanyaan. Misal betulkah nama kota yang ada ditulisan itu, apakah sekarang nama kota tersebut tetap sama? Darimana penulis memberitahukan bahwa kerajaan tersebut ada di kota X? Apakah tahun kejadian peristiwa tersebut, kronologis? Mungkinkah seorang raja berkuasa ratusan tahun? Apa yang dimaksud dengan raja yang sakti mandraguna? Tentu masih banyak pertanyaan sederhana yang dapat mebantu siswa mengkritisi tulisan sejarah.

112

Pada siswa di jenjang pendidikan lebih tinggi tentu dapat dilakukan mulai dengan menganalisis fakta/peristiwa sejarah dari sumber primer, sekunder hingga buku teks. Lalu menghubungkannya dengan peristiwa kini dalam kaitan dengan konsep perubahan dan kesinambungan (change and continuity). Selain itu, diberikan tugas membandingkan hasil karya tulisan sejarah dari beberapa penulis, dan diminta siswa untuk melihat sumber penulis, cara penulisan, apakah penulis lebih berpihak atau netral. Sebagai contoh, situasi belajar sejarah yang ada di sekolah menengah Seattle, Amerika. Melalui kajian terhadap kebijakan Amerika pada masa pemerintahan Abraham Lincoln dengan menggunakan sumber primer, yaitu teks pidato Abraham Lincoln dan oposannya, dalam upaya untuk memahami peristiwa sejarah yang dihubungkan dengan peristiwa, isu kekinian, seperti prejudice, racism, tolerance, fairness and equity. Para siswa berpikir kuat, untuk

memahami pikiran Abraham Lincoln dan lawan politiknya terkait dengan konsepkonsep tersebut. Pada saat mencoba memahami teks tersebut dengan konteksnya, para siswa dengan bimbingan pertanyaan guru melatih ketrampilan berpikir

kesejarahan, seperti interpretasi data, membangun suatu pemahaman dari sebuah naskah sejarah, menganalisis, mengevaluasi dan memberikan solusi, keputusan pada suatu tema/konsep yang dibicarakan (Winneburg, 2001: 18-22). Keempat, to learn the techniques of historical research (untuk belajar teknik-teknik penelitian sejarah). Mempelajari teknik teknik penelitian sejarah, seperti mengumpulkan data (a search of sources) atau dikenal dengan heuristic, menguji, mengkritisi data yang didapat (internal dan eksternal), penulisan dan

113

interpretasi (historiografhi) (Lucey, 1984 : 19 26; Sjamsuddin, 1996 ; Garvey and Krug, 1977 : 9) tentu tidak bisa dicapai dalam satu kali pelajaran. Seyogyanya para guru sejarah sudah membawa siswa untuk belajar teknik-teknik penelitian sejarah sejak di jenjang pendidikan rendah. Tentu saja bagi siswa di jenjang pendidikan lebih tinggi sudah lebih mudah karena tahapan perkembangan kognitifnya sudah bisa diajak berpikir analisis, abstrak. Sedangkan bagi mahasiswa sudah tidak ada keraguan lagi untuk memberikannya pengetahuan how to be a real historian. Senada dengan hal ini, Hunt, J A Appleby (1994) menyebutnya dengan the heroic model of science, atau disebut juga dengan historical inquiry menurut Hartzler Miller C (2001). Sebenarnya jika dilihat pada tiga tradisi dalam social studies, yang dikembangkan oleh NCSS untuk pendidikan dasar dan menengah. Maka pada tradisi kedua social science, adalah suatu bentuk pembelajaran social studies yang juga berkeinginan untuk membentuk warganegara yang baik dengan penguasaan mode of thinking from social science discipline; that this mode of thinking is generalizable; and having learned it, he will understand properly, appreciate deeply, infer carefully, and conclude logically (Barr, Barth, Shermis, 1978 : 23 24). Di dalam tradisi ini dipercaya seorang warga negara yang baik ditandai dengan kemampuanya dalam melihat dan mengatasi masalah-masalah sosial di sekitarnya dengan menggunakan pemahaman prosedur atau cara kerja ahli-ahli ilmu sosial. Lebih lanjut juga diungkapkan oleh Barr dan kawan-

kawanya dalam buku The Nature of Social Studies yaitu, if student acquires the habit of mind and the thinking patterns associated with a particular social science discipline, he will become more

114

discriminating, make better personal as well as social policy decisions, and ultimately understand the structure and the process of our society (1978 : 71). Di jenjang pendidikan rendah, siswa dapat juga diajarkan sejarah sebagai disiplin ilmu sosial, dengan kata lain menjadikannya sejarawan kecil. Cooper (1992 : 59) memberikan uraian pelajaran sejarah pada kelas rendah, dengan tema ME (saya). Anak mencari jawaban tentang dirinya kepada orang tuanya, neneknya juga melalui gambar-gambar dirinya sehingga didapatlah hasil sejarah ME (saya) tersebut dengan kronologis yang tepat dan time line yang baik. Gravey dan Krug menyarankan model pembelajaran dengan menggunakan sumber-sumber primer atau juga field- project dapat membelajarkan siswa tentang teknik-teknik penelitian sejarah. Bagi Jenjang pendidikan lebih tinggi, siswa dapat diarahkan menjadi sejarawan kecil dengan discovery method, pembelajaran inquiry terhadap sejarah di lingkungannya. Misal sejarah desa/kotanya, atau Mesjid besar, tua di kotanya. Sedangkan bagi mahasiswa tentu sudah lebih luas dan lebih kompleks lagi. Kelima, to learn how to write history (untuk belajar bagaimana menulis sejarah). Jika pemahamannya terhadap teknik-teknik penelitian sejarah, maka tentu kemampuan dalam menulis sejarah ikut serta di dalamnya. Karena tugas sejarawan belum berakhir, jika belum sampai tahap penulisan sejarah. Membekali siswa memahami cara penulisan, tentu diiringi dengan menyiapkan siswa untuk rajin membaca. Jika sering dia membaca karya sejarah, maka tentu memiliki bahan penulisan yang memadai dan mengenal cara-cara penulisan yang baik. Bagi

115

siswa latihan menulis sejarah, dapat diawali dengan ketrampilan membuat catatan note-making melalui membuat ringkasan dari suatu bacaan seperti yang

dianjurkan Garvey dan Krug. Tetapi tentu hal ini bukan diartikan seperti kegiatan catat buku sampai habis, melainkan siswa diarahkan, dilatih membuat catatan dengan melihat apa inti utama setiap paragraf, lalu menggaris bawahi kalimat pokok yang menjadi main idea dalam paragraf tersebut. Sehingga dengan memahami struktur penulisan mulai dari setiap paragraf hingga buku maka siswa akan dapat membuat satu paragraf dan kemudian lebih banyak. Maka dalam tugas yang diberikan untuk membuat satu tulisan sejarah tentang desa/kotanya, siswa telah memahami bagaimana menuliskannya. Bisa juga dengan latihan menuliskan untuk book riview, book repots, Journal article riviews, Journal article reports dan the term paper (Gawronski, 1969 :32-33). Dari hasil penelitiannya, Winneburg ( 2001) mengungkapkan bahwa perlunya penggunaan dokumen dalam pembelajaran sejarah tidak dapat diragukan lagi, karena dapat mewujudkan belajar dan berpikir kesejarahan. Penggunaan dokumen di dalam pembelajaran sejarah memberikan ketrampilan kepada siswa dalam mengajukan pertanyaan kepada data-data yang ada tersebut. Seseorang tidak dapat membangun pengetahuan baru tanpa membuat suatu penilaian yang beralasan, dan penilaian ini tidak bisa dibuat tanpa mengajukan pertanyaan yang baik. Sayangnya, siswa sering lebih cenderung untuk menyusun jawaban yang benar yang mengabaikan keperluan untuk bertanya dengan pertanyaan yang

benar. Berkaitan dengan hal tersebut Thomas Holt (1990 : 26) menyatakan "is

116

part of the process of learning about history. It is about the questions as well as answers." Jerry J Watson (1991) menemukan bahwa siswa kelas empat dan lima, dapat membaca dan mengikuti alur novel kesejarahan yang menceritakan tentang petualangan anggota keluarga, anak dari kehidupan keluarga yang terpisah dari suatu periode sejarah. Para siswa tidak mendapat kesulitan mendapatkan penjelasan tentang bagaimana trauma psikologi dari keluarga yang terpisah, anak yang terpisah dengan orang tuanya, serta karakter-karakter dari tokoh novel kesejarahan yang dibacanya tersebut. Sementara itu Levstik (dalam Meyer, 1998) menyimpulkan dari studi kasus yang dilakukannya, bahwa penggunaan novel kesejarahan sangat menarik minat siswa belajar sejarah dan memperkaya narasi kesejarahan mereka, dan mampu melihat bagaimana konflik kehidupan manusia masa lampau yang diangkat dalam novel kesejarahan tersebut, seperti isu moral yang dikonfrontasikan dengan dilemma moral saat ini. Bentuk lain pembelajaran sejarah yang mengajak siswa berpikir analisis, juga dilakukan oleh Ava L. Mc Call (1999) yaitu mengajak siswa belajar sejarah tentang bangsa Hmong (Laos), salah satu imigran dari Thailand di Amerika, melalui seni kain yang disebut paj ntaub (poll dow) yang dibuat oleh para wanita Hmong. Selain itu, dari pengalaman menjadi guru sejarah, Epstein (1994) mengungkapkan bahwa penggunaan hasil seni kesejarahan seperti lukisan, puisi, dapat membantu siswa membangun pemahaman kesejarahan. Siswa diajak untuk melakukan analisis, interpretasi dalam berbagai makna terhadap hasil seni dan

117

memberikan gambaran bagaimana pengalaman kesejarahan yang dialami individu atau kelompok pada masa lalu. Winneburg (2001) memberikan dua pendekatan yang terkait dengan penggunaan dokumen, untuk membawa kepada berpikir kesejarahan dan

pemahaman kesejarahan, yaitu The sourcing heuristic dan Corroboration heuristic. Kedua pendekatan ini memerlukan peran guru yang besar dalam menyiapkan dokumen dan merancang pembelajaran yang membawa siswa kepada kerja sejarawan. Para siswa menjadi lebih memahami bagaimana proses

interpretasi terbentuk, dan mengapa terjadi berbeda-beda interpretasi atas suatu peristiwa. Hasan (2003) juga mengungkapkan bahwa; .mereka dapat melatih diri dalam penafsiran sejarah dan kalaupun terjadi perbedaamn di antara mereka, maka itu akan memiliki nilai pendidikan yang sangat tinggi. para sejarawan tidak pernah memiliki suatu pandangan dan tafsiran yang sama terhadap suatu peristiwa sejarah. Hal ini disebabkan pendidikan dan pengajaran sejarah di era sekarang sudah berbeda dengan sebelumnya, yang lebih menekankan keterlibatan siswa. Model pembelajaran yang sesuai hal tersebut di antaranya seperti dalam bentuk the reading of histories dan source-based . Menurut Peter Stern dan Seixas (2000) dalam kaitan untuk mengetahui, menginterpretasi masa lalu dengan mendalam, dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu collective memory, disciplinary dan postmodern approach. Jika kumpulan ingatan masa lalu, dapat digunakan membangun narasi sejarah, maka dalam pendekatan kedua, dilakukan dengan mengambil cara seorang ilmuwan social, sejarawan. Sedangkan pendekatan ketiga, membangun pemahaman kesejarahan dengan mengembangkan keraguraguan atas temuan sejarah yang sudah ada. Ketiga pendekatan inipun sangat

118

memberikan kesempatan kepada siswa melatih dan mengembangkan informasi yang dipunyai, mencari dan menemukan data dari sumber-sumber yang lain, melalui kegiatan inquiry, interpretasi dan diskusi maka dibangun pemahaman kesejarahan baru. Dari hasil penelitian, Evans (1988 :203) menyimpulkan bahwa pemahaman sejarah siswa tidak tumbuh dengan sendirinya, peranan guru sejarah sangat besar di dalamnya. Melaui penelitian pada tiga wilayah di San Fransisco, Evans, mendapatkan bahwa adanya tiga bentuk pendapat guru terkait dengan pemilihan /pengembangan tema, pengumpulan data, media,sumber dan pola pembelajaran yang dilakukan. Pertama, para guru menyatakan bahwa semua yang dilakukannya dalam pembelajaran sejarah dengan tujuan utama untuk

memecahkan masalah-masalah sosial terkini, yang dihadapi. Kedua, penyampaian tentang peristiwa-peristiwa mempengaruhi perilaku yang baik. Ketiga, para guru percaya fungsi utama pendidikan sejarah adalah membantu dalam memahami kejadian-kejadian dan isu-isu terkini. Evans (dalam Voss, 2002: 163)

menyimpulkan adanya lima gaya mengajar guru sejarah yaitu, sebagai storyteller, scientific historian, relativist/reformer, cosmic philosopher dan eclectic. Tipe story teller dan scientific historians adalah tipe guru yang sangat efektip. Namun memang di lapangan, berbagai kendala yang ada dari setiap elemen pembelajaran. Ismaun (2001:115) mengungkapkan bahwa metodologi yang sesuai secara fungsional dan kontekstual menurut karakteristik sejarah, yakni suksesif, regressif dan tematis. Bagaimanapun bentuk model pembelajaran yang dirancang guru, pada dasarnya, pendekatan pembelajaran yang baik adalah menjadikan siswa

119

melakukan kegiatan pembelajaran bukan sebagai objek pembelajaran (Collins dan George, 1993 ; Sevilla dan Marsh, 1992 : 23). Allan E. Yarema mengungkapkan bahwa guru sejarah harus diberikan kebebasan untuk memilih buku teks, sumber materi di kelasnya. Guru sejarah yang mempunyai misi ke depan dan berusaha membantu siswanya untuk menyenangi belajar sejarah adalah dengan memberikan kesempatan interaksi siswa terhadap lingkungannya, melalui berita-berita yang ada di media cetak dan elektronik setiap hari. Melalui cara ini siswa dapat melihat berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia sekitar mereka dan mencari jawaban atas masalah terkini tersebut dengan mencari latar belakang sejarah nya. (http ://www. historycooperative.org/Journals/ht35.3/yarema.Html. diakses pada 1-2-04) Susan

Cara pendekatan yang diungkapkan Yarema tersebut menurut

Shapiro (1991 : 55 ) adalah ibarat mata pancing yang menarik siswa untuk belajar sejarah dan terus mempertahankannya dengan memberikan latihan-latihan yang meminta partisipasi lebih dari siswa. Voss (2002 : 166) menemukan dari penelitiannya bahwa,what is learned outside the class room, especially via the media, literature often has a significant impact on classroom learning. Penggunaan sumber, dokumen dan metode diskusi yang berdasarkan berpikir kritis akan menolong siswa untuk menilai berbagai perspektif terhadap kejadian sejarah. Selain itu hal ini akan merangsang minat siswa terhadap sejarah, meningkatkan pengetahuan kesejarahannya dan mengembangkan ketrampilan analisisnya (http:brightmindsUs/series/074/index_html, diakses tanggal2-2-04).

120

Pada dasarnya, pendekatan pembelajaran yang baik adalah menjadikan siswa melakukan kegiatan pembelajaran bukan sebagai objek pembelajaran Hal itu juga

(Collins dan George, 1993 ; Sevilla dan Marsh, 1992 : 23).

disampaikan oleh Rick Garlikov (1998) seorang guru sejarah yang berpengalaman mengungkapkan bahwa, siswa tidak menjadi bosan dan hilang konsentrasi

belajarnya jika mereka secara aktif berpartisipasi dalam proses belajar ( http:// www.garlikov.Com/writing.htm, 29-12-03). Beberapa model pembelajaran yang menekankan pada keaktifan mahasiswa dan sesuai dengan karakteristik, tujuan belajar sejarah dapat dilihat dari beberapa pendapat berikut ini. Model pembelajaran kontekstual, membentuk pemahman siswa secara holistik, komprehensif, bermakna, serta menekankan pada konteks kehidupan dan lingkungan, dengan berpusat pada aktivitas, pengalaman dan kemandirian peserta didik dalam pembelajaran (Sukmadinata, 2004 : 196 : Johnson ; tersedia dalam http://www.Corwinpress.com/book.aspx?pid:7871. diakses pada 20 maret 2003. Para guru/dosen mengarahkan peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Depdiknas, 2003 :1). Joice & Weil (2000 ) memberikan beberapa model pembelajaran yang dapat dibagi dalam empat kelompok besar, yaitu behavior modification , social interaction, personal source dan information processing. Model behavioral, lebih menekankan pada perubahan tingkah laku. Model sosial, memfokuskan pada kemampuan individu berinteraksi sosial, proses demokratisasi dalam masyarakat.

121

Sedangkan model personal source, mengembangkan individu untuk lebih memahami dirinya sebagai manusia (emosi dan kepribadian) dan dengan hubungannya pada lingkungan. Diantara empat rumpun model pembelajaran the information processing models adalah model pembelajaran yang banyak berhubungan dengan tujuan pendidikan (kognitif, afektif dan psiko-motor). Menurut Joyce, Weil (2000) model pemprosesan informasi merupakan the ways in which people handle stimuli from the environment, organize data, sense problems, generate concepts and solutions to problems, and employ verbal and non verbal symbols. Model pemrosesan informasi, mengembangkan kemampuan peserta didik untuk peka terhadap peristiwa di lingkungannya,

dengan kemampuan mendapatkan, mengorganisasikan data, hingga memberikan solusi atas suatu masalah. Model yang terakhir ini lebih menekankan pada fungsi intelektual. Ditambahkan oleh Joice dan Weil (2000) bahwa medel tersebut menekankan pada pengembangan ketrampilan proses dan pengetahuan serta menngembangkan ketrampilan intelektual siswa. Jika dihubungkan dengan pengembangan model pembelajaran untuk meningkatkan ketrampilan berpikir peserta didik, maka model yang terkahir ini lebih sesuai. Berdasarkan materi yang diajarkan, Steel (dalam Widja, 1989 : 32 35) menuangkan adanya beberapa model pembelajaran sejarah yang dapat digunakan, yaitu Model Garis Besar Kronologis, Model Tematis, Model Garis Perkembangan Khusus, dan Model Regressif. Ismaun juga (2001:115) memberikan adanya

model pembelajaran sejarahlain, seperti regresif dan tematis. Secara rinci penjelasan model pembelajaran tersebut, dituangkan dalam bab dua

122

Model Garis Besar Kronologis adalah mengajarkan suatu perkembangan atas dasar urutan tahun terjadinya peristiwa sejarah itu, dimulai dari awal perkembangan sampai kepada perkembangan kontemporer dari perjalanan peristiwa-peristiwa sejarah itu. penanaman Sedangkan Model Tematis menekankan pada

pemahaman yang mendalam untuk perode-periode tertentu yang

menyangkut tema-tema kehidupan manusia tertentu yang menarik perhatian. Model ini mengajak siswa melakukan analisis terhadap kecenderungan masyarakat pada kurun waktu tertentu dalam rangka menarik suatu generalisasi. Model ini cenderung pada paparan sejarah yang sinkronik. Kebaikan dari model ini adalah melibatkan siswa dalam pembelajaran lebih besar, misal dengan metode projek. Selain itu mengembangkan kemampuan siswa berpikir tingkat tinggi dan topik sejarahpun berdasarkan minat siswa. Sedangkan kekurangannya, jika

pengambilan topik sejarah di luar kurikulum akan membuat materi sejarah dalam kurikulum tidak tercapai. Model Garis Perkembangan Khusus, tidak jauh berbeda dengan model Garis besar Kronologis, sama-sama menekankan urutan perkembangan kronologis dari suatu peristiwa sejarah. Perbedaannya adalah jika Model Garis Besar

Kronologis fokus pada perkembangan keseluruhan dari berbagai aspek kehidupan manusia, maka Model Garis Perkembangan Khusus ini berfokus pada aspek-aspek khusus yang menarik saja dari kehidupan manusia tersebut. Misal tema rumah, maka akan dilihat pertumbuhannya dari bentuk rumah permulaan, seperti gua-gua batu, kemudian bentuk rumah sederhana, atap miring dan satu dinding saja, kemudian dua dinding, lalu bertiang dan seterusnya hingga bangunan rumah

123

seperti sekarang. Tidak hanya tentang perkembangan bentuk rumah, tetapi juga pada bahan dan fungsi rumah tersebut. Model ini sangat sesuai dengan pengajaran sejarah yang integrated ataupun correlated dengan ilmu-ilmu lain. Pemahaman atas suatu tema menjadi komprehensif. Kelemahannya, materi sejarah yang telah dikemas dalam kurikulum menjadi sulit diselesaikan sesuai batasan kalender akademik sekolah. Model pembelajaran regressif memulai pengajaran memakai titik tolak, dari situasi zaman sekarang untuk kemudian menelusuri balik ke belakang ke masa lampau yang merupakan latar belakang dari perkembangan kontemporer tersebut. Misal, isu toleransi antar umat beragama di Indonesia saat ini, bisa menelusuri akar-akar dari gejala ini pada perkembangan sejarah sebelumnya, masa mempertahankan kemerdekaan, perjuangan merebut kemerdekaan,

Penjajahan, Sumpah Pemuda, bahkan bisa hingga ke kerajaan Hindu Budha. Dari paparan konsep pembelajaran sejarah dan solusi-solusi yang diberikan para pakar dan praktisi pendidikan sejarah terhadap proses pembelajaran sejarah bagi pencapaian pemahaman kesejarahan dan pengembangan ketrampilan berpikir kesejarahan mengarahkan agar banyak memberikan kesempatan kepada siswa beraktivititas mandiri/kelompok, berpikir tahap tinggi, mendapatkan pengalaman, kebermaknaan dalam lingkungan kehidupannya. Komponen

pembelajaran yang ditekankan pada kemampuan siswa untuk mampu menggali pengetahuan/pengalaman yang dimiliki dan digunakan dalam memahami, mengkaji, menganalisis, merekonstruksi suatu peristiwa sejarah berdasarkan primary sources, secondary sources yang kemudian digunakan dalam melihat

124

konteks peristiwa kekinian. Proses pembelajaran seperti ini disebut oleh juga oleh Breisach (1994) sebagai model student as arcivist. Kondisi pembelajaran ini, menurut Kolb dalam bukunya Experential Learning (1984 : 14), children became little scientists, exploring, experimenting and drawing their own conclusions. Pembelajaran yang memberikan pengalaman (kegiatan sejarawan) adalah pembelajaran yang memberikan kebermaknaan dan mengembangkan ketrampilan berpikir mahasiswa. Hal ini menurut Ausabel dan Robinson (dalam Sukmadinata, 2004:222) adalah belajar yang berada pada kuadran I, yaitu belajar mencari (discovery learning) dan belajar bermakna (meaningful learning). Belajar

mencari adalah belajar yang menekankan pada aktivitas berpikir mahasiswa. Mereka dididorong untuk melakukan proses berpikir. Belajar bermakna adalah belajar yang menekankan arti atau makna dari bahan dan kegiatan yang diberikan bagi kepentingan peserta didik (Sukmadinata, 2004:223). Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa proses pembelajaran yang efektif apabila siswa ditempatkan sebagai subjek, tidak hanya dalam rencana upaya untuk ketercapaian kurikulum juga dalam proses implementasi kurikulum tersebut di kelas. Singkatnya, siswa terlibat aktif dalam membangun makna atau pemahaman materi dari suatu topik bahasan. Siswa dapat belajar dengan kondisi terbaik dan mendapatkan apa yang dipelajarinya ketika mereka tertarik dengan materi pelajaran tersebut dan konsep-konsep yang diberikan ada pada konteks kehidupan siswa (ATEEC, 2000; tersedia dalam http://ustudyeducation.Com. Osu3.html, 2-4-05). Oleh karena itu, sangatlah tepat jika peran guru sangat besar

125

dalam memfasilitasi lingkungan belajar siswa dalam belajar sejarah. Sebagaimana juga diucapkan oleh Evans, R.W dalam tulisannya di jurnal Theory and

Research in Social Education (1988) yang berjudul Lesson From History; Teacher and Student Conceptions of the Meaning of Histroy, bahwa sekolah, keluarga, media dan kunjungan pada tempat bersejarah memang sangat mempengaruhi persepsi kesejarahan siswa, tetapi itu tidak bisa terjadi sendiri, karena peran guru sejarah sangat besar dalam membentuk persepsi tersebut. Frederick D. Drake (2002) menyatakan jika kita ingin siswa kita berpikir kesejarahan , maka kita perlu guru-guru yang dapat mengatur mereka menuju berpikir kesejarahan dan juga pemahaman kesajarahan.

5. Penggunaan Primary Sources dalam Pembelajaran Sejarah Di dalam pembelajaran sejarah cenderung didapati kegiatan siswa yang hanya mendengarkan interpretasi guru terhadap suatu peristiwa sejarah, atau mendengarkan interpretasi penulis buku teks sejarah, melalui mulut guru/dosen. Siswa sangat jarang diajak memberikan interpretasinya terhadap suatu peristiwa sejarah, melalui sumber-sumber primer/dokumen. Hal yang lebih mencemaskan dalam upaya untuk tercapainya tujuan pendidikan sejarah, adalah saat guru hanya menggunakan seluruh waktu belajar dengan kegiatan mencatat dari buku teks yang hanya dimiliki guru/dosen saja. Winneburg (2001) mengungkapkan bahwa dalam pembelajaran berpikir kesejarahan guru menggunakan media primay sources atau juga secondary sources, baik melalui teks sejarah, dokumen, atau gambar, juga buku teks dengan

126

dua pendekatan, yakni sourcing heuristic dan corroboration heuristic. Jika dalam pendekatan pertama, siswa menganalisis pada satu dokumen saja, maka pada pendekatan kedua, mereka membandingkan dengan sumber-sumber sejarah yang lain. Pembelajaran berpikir dengan sumber sejarah ini akan terpenuhi, jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir kritis atas masalah yang ditemukannya, melalui pertanyaan, membandingkan, interpretasi, dan kemudian menghasilkan suatu ide/jawaban yang dikaitkan dengan pengetahuan sebelumnya, pengalaman dan isu yang ada dalam kehidupannya. Di dalam konstruktivisme, pelajaran sejarah lebih ditekankankan kepada penggunaan sumber-sumber utama (Primary sources) dan dokumen (documents) sebagai materi mentah sejarah yang menjadi kendaraan bagi siswa untuk mencapai membangun ketrampilan pemahaman kesejarahan baru. sebagaimana oleh mereka Michael mengkonstruk, Henry (2002)

Dikatakan

bahwa,primary sources play a fundamental role in the constructivist settingdocuments, as the raw materials of history, are the vehicle that students use to practice historical skills as they construct new understandings. Menurut bentuknya, primary sources dan secondary sources dibagi menjadi tiga, yaitu text sources, visual sources dan auditory sources. Text sources,merupakan dokumen yang sudah diterbitkan (artikel, buku dan lainnya) ataupun yang tidak diterbitkan (catatan, buku harian, surat, memo dan lainnya). Visual sources, sumber-sumber sejarah yang bersifat visual, seperti gambar, lukisan, artifak, barang-barang pribadi yang didapat dari pertempuran (ikat pinggang, dompet, baju, senjata dan lainnya). Auditory sources, adalah sumber

127

sejarah yang bisa di dengar, misal pidato, lagu, debat, dan bentuk rekaman lainnya (Learning Leads, 1999). Beberapa kegunaan sumber sejarah secara lengkap dituliskan oleh Mary Alexander (1989), yaitu; .exposes students to important historical concepts. First, students become aware that all written history reflects an author's interpretation of past events. Therefore, as students read a historical account, they can recognize its subjective nature. Second, the students directly touch the lives of people in the past. they develop important analytical skills.To many students, history is seen as a series of facts, dates, and events usually packaged as a textbook. The use of primary sources can change this view. they begin to view their textbook as only one historical interpretation and its author as an interpreter of evidence, not as a purveyor of truth. Para siswa membaca data (decode data), mendiskusikan arti data tersebut (debate their meaning), and membangun interpretasi baru (establish new interpretations). Singkatnya para siswa dalam kelas sejarah diharapkan siswa membangun pengertian dan pemahaman baru berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya (Madgic, 1971 : 5). Terkait dengan penggunaan primary sources, Maypole dan Davies (2001) menyatakan, the use of primary sources encourages students to think critically, analyze, synthesize and evaluate ideas. Beberapa pendapat mahasiswa yang pernah terlibat dalam belajar dengan menggunakan primary sources, yaitu; .it is amazing how much more I learned from real experience rather than to read it out of a text book..I felt more interested in the events that occurred because of the real life experience that were told or read.I became more interested in stories told through peoples encounters of history rather than to read about events that occurred.the role of primary sources is critical to either understand the background and details in which the story of the people is given

128

Dari ungkapan mahasiswa tersebut, dapat disimpulkan bahwa para mahasiswa mendapatkan pengalaman langsung dalam memahami sejarah, bukan dari sekedar membaca buku teks atau mendengarkan cerita guru (dosen),

melainkan dari dialog analisis, interpretasi terhadap dokumen sejarah yang dilakukan sendiri. Seperti diyakinkan oleh bapak metode sejarah kritis, Leopold van Ronke (dalam Kartodirjo, 1993), bahwa, sejarah baru dimulai apabila dokumen dapat dipahami. Penggunaan arsip sebagai informasi primer dalam pembelajaran sejarah, akan membantu siswa memahami sejarah secara lebih konseptual. Pertama, siswa akan menyadari bahwa kebanyakan tulisan sejarah merefleksikan interpretasi pengarangnya terhadap suatu peristiwa. Oleh karena itu, saat siswa menyimak suatu arsip, mereka akan mengenali sifat subjektif dari suatu tulisan sejarah. Hal ini juga akan mampu merubah pandangan selama ini terhadap sejarah, yaitu hanya sebagai sebuah pengetahuan bukan ilmu, karena berisi deretan fakta, tanggal, dan peristiwa yang biasanya dikemas dalam buku pelajaran sejara, serta menyadari bahwa buku pelajaran yang mereka baca, adalah salah satu interpretasi sejarah dan pengarangnya merupakan salah satu interpreter dari bukti-bukti sejarah. Kedua, melalui arsip, siswa secara langsung bersentuhan dengan kehidupan masyarakat pada masa lampau. Dengan demikian, jika guru/dosen menggunakan arsip sebagai sumber primer, mereka secara tidak langsung mengembangkan kemampuan analisisnya. Ketiga, siswa akan terlibat secara aktif, berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran, mereka akan berdebat, berdiskusi dengan guru, teman sekelasnya dalam menginterpretasi suatu arsip

129

sebagai sumber primer. interpretasinya dan

Mereka akan menantang hasil kesimpulan, sumber-sumber lain untuk mendukung

mencari

interpretasinya. Kelas akan menjadi hidup, dimana para siswa dapat menguji dan melakukan ketrampilan analisisnya (Mary Alexander , 1989; ANRI, 2002; ) Seperti telah dipaparkan dalam sub bab di atas, bahwa dalam ketrampilan berpikir kritis, diperlukan ketrampilan mengajukan pertanyaan yang bagus. Dalam proses mengajukan pertanyaan, merumuskan hipotesa terhadap buktibukti sejarah akan membantu mengembangkan sikap kritis untuk memecahkan masalah-masalah kesejarahan. Jadi jika siswa belajar dengan menggunakan primary sources dalam membangun pengetahuan baru, maka mereka akan mengimbangkan ketrampilan berpikir ( Scheurman, 1998 : 10).

Robert B. Bain (dalam Stearns, 2000 : 345) menyatakan bahwa peran guru dalam memfasilitasi dan melatih ketrampilan berpikir terutama dalam memilih dan pengajukan pertanyaan terhadap siswa. Dia menyarankan beberapa daftar pertanyaan yang bisa digunakan untuk memandu siswa bertanya tentang isi sumber sejarah dalam kaitannya untuk mendorong ketrampilan berpikir kesejarahannya, misalnya :

Who made the source, and when was it made? Who is the intended audience for the source? What is the story line within the source? Why was the source produced; what purpose did it serve? Does other evidence support the source? Does other evidence contest the source? Is the source believable? (Was the source in a position to know? Is the source biased?) What is the story line that connects all the sources?

130

Selain itu dari kantor arsip nasional Amerika (US National Archieves & Record Administration yang berpusat di Washington DC dan Kantor Arsip Nasional Republik Indonesia memiliki kesamaan panduan/format/lembaran kerja yang membantu siswa menganalisis sumber sejarah (dokumen, gambar, peta, film) yang berisi pertanyaan-pertanyaan dan pilihat jawaban yang mungkin terkait dengan sumber sejarah yang dianalisisnya. Untuk melihat gambaran secara utuh lihat lampiran. Seperti juga lembaran kerja yang disarankan oleh Frederick D. Drake (2001) sebagai panduan untuk sumber sejarah, khususnya gambar dengan menggabungkan dua pendekatan sourcing heuristic dan corroboration heuristic.

Di samping itu para siswa juga diarahkan untuk membedakan antara fakta dan pendapat yang ada dalam suatu sumber sejarah dan mencari kata-kata yang asing/tidak dimengerti serta membuat analogi terhadap peristiwa yang terjadi di tempat atau di waktu sekarang. Para siswa dilatih membangun interpretasi terhadap suatu bukti sejarah dan memberikan respon baik dalam tulisan ataupun lisan (presentasi) dihadapan teman sekelasnya (Pappas, 1999). Kegiatan

pembelajaran yang demikian diperlukan sekali, agar tidak terjadi verbalisme.

131

132

Das könnte Ihnen auch gefallen