Sie sind auf Seite 1von 37

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penyakit jantung koroner adalah suatu penyakit jantung yang disebabkan karena kelainan pembuluh darah koroner. Terminologi sindrom koroner akut berkembang selama 10 tahun terakhir dan telah digunakan secara luas. Hal ini berkaitan dengan patofisiologi secara umum yang diketahui berhubungan dengan kebanyakan kasus angina tidak stabil dan infark miokard. Sebagai respon terhadap injury dinding pembuluh, terjadi agregasi platelet dan pelepasan isi granuler yang menyebabkan agregasi platelet lebih lanjut, vasokonstriksi dan akhirnya pembentukan trombus. 1,2 Pada infark miokard Ustable Angina Pektoris (UAP)/Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) disamping nyeri dada dan perubahan EKG (ST elevasi pada STEMI dan ST depresi,T inversi atau normal pada NSTEMI) disertai tes cardiac status (kualitatif) atau tes cardiac reader (kuantitatif). Pada angina biasa tidak ada perubahan dengan EKG dan tidak terdapat kenaikan enzim jantung.1 Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tercatat bahwa lebih dari 7 juta orang meninggal akibat PJK di seluruh dunia pada tahun 2002, angka ini diperkirakan meningkat hingga 11 juta orang pada tahun 2020. Di Indonesia, berdasarkan data survei dari Badan Kesehatan Nasional tahun 2001 menunjukkan tiga dari 1000 penduduk Indonesia menderita PJK, pada tahun 2007 terdapat sekitar 400 ribu penderita PJK dan pada saat ini penyakit jantung koroner menjadi pembunuh nomor satu di dalam negeri dengan tingkat kematian mencapai 26%.3 American Heart Association pada tahun 2004 memperkirakan prevalensi PJK di Amerika Serikat sekitar 13.200.000. Angka kematian karena PJK di seluruh dunia tiap tahun didapatkan 50 juta, sedangkan di negara berkembang terdapat 39 juta.4

Menurut ESC (European Society Of Cardiology), sekurang-kurangnya 15 juta penderita gagal jantung di 51 negara Eropa. Prevalensi gagal jantung asimptomatik sekitar 4% dari jumlah populasi. Prevalensi gagal jantung pada usia lebih tua (70-80 tahun ) juga lebih tinggi sekitar 10-20%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diberbagai tempat di Indonesia, penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama dari gagal jantung.4

B. Tujuan penulisan Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui definisi, faktor resiko, pathofisiologi, gejala klinis, diagnosis, pemeriksaan penunjang, pengobatan dan prognosis Ustable Angina Pektoris (UAP) / Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI).

BAB II LAPORAN KASUS

I.

IDENTITAS PASIEN Nama Umur : Tn. M : 71 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan Agama Alamat : Sudah tidak bekerja : Islam : Sukoharjo

Tanggal Masuk : 17 November 2012 No RM : 1975xx

II. ANAMNESIS 1. Keluhan Utama Nyeri dada 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD RSUD Sukoharjo pada tanggal 17 November 2012 jam 12.17 WIB dengan keluhan sesak nafas sejak 1 minggu. Sesak nafas dirasakan tidak berkurang dengan perubahan posisi. 1 hari pasien mengeluh nyeri dada sebelah kiri. Nyeri dada yang menjalar kebagian leher seperti ditekan dan diremes-remes. Hal seperti ini sudah dirasakan sejak lama namun kali ini sangat parah. Pasien juga mengakui sudah minum obat namun sakit tidak berkurang. Pasien mengatakan bahwa sesak napas dan nyeri dada biasanya timbul saat beraktivitas dan hilang saat beristirahat. Keluhan sesak napas dan nyeri dada tidak disertai mual dan muntah. 3. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat penyakit serupa : diakui Riwayat hipertensi Riwayat DM : disangkal : disangkal

Riwayat asma

: disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit serupa : disangkal Riwayat Hipertensi Riwayat DM Riwayat asma 5. Riwayat Kebiasaan Riwayat merokok Riwayat minum alcohol : diakui : disangkal : diakui, ibu pasien memiliki riwayat hipertensi : disangkal : disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum Vital Sign : Compos mentis, lemas : TD : 120/80 mmHg N : 104x/menit

Rr : 36x/menit T Kepala Mata Thorax : 36 C

: Normocephale : Conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-) : Cor : Inspeksi : iktus cordis tak tampak, dinding dada simetris kanan dan kiri Palpasi : iktus cordis di SIC V linea midclavicularis Perkusi : Batas atas jantung SIC III linea parasternalis sinistra, batas jantung bawah SIC V linea

midclavicularis. Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, bising (-) Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri, ketinggalan gerak (-), retraksi (-)

Palpasi

: Fremitus

raba

kanan

kiri,

ketinggalan gerak (-) Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru dasar vesikuler (+/+),

Auskultasi : Suara

Rhonki (-/-), Wheezing (-/-) Abdomen : Inspeksi : Dinding perut sejajar dengan dinding dada

Auskultasi : Peristaltik (+) normal Perkusi Palpasi : Tympani, nyeri ketok kostovertebral (-) : Supel, nyeri tekan (-), turgor elastisitas kulit normal Ekstremitas : Akral hangat, oedem (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Gambar 1. EKG tanggal 17 November 2012

Hasil EKG: QRS rate 97x/menit, Aksis Normal, Gelombang P morfologi normal, durasi 0,12 detik, PR interval 0,2, Kompleks QRS durasi 0,12, Q patologis II,III dan aVf, T inverted I, aVL Kesimpulan : EKG : NSR, OMI inferior dan Ischemic high lateral

Hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin (17 Desember 2012) Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin pada tanggal 17 Desember 2012 ditemukan Hb 12,4 gr/dL, eritrosit 5,07 mL, hematokrit 37,2%, MCV 73,4 fL, MCH 24,5 pg, MCHC 33,3%, Leukosit 9.500, Trombosit 26.700 dan golongan Darah pasien B

V. DIAGNOSIS - Obs. Dypsneu - dd UAP/NSTEMI VI. TERAPI O2 Infuse RL 16 tpm Furosemid 1A/12 jam Ranitidine 1A/12 jam Antalgin 1A/8 jam Enoksaparin 0,6/12 jam ISDN 3x1 Clopidogrel 1x1 Antasid 3xC1 Alprazolam 0,5 1-0-1 Cek EKG Lapor Sp.PD

VII.FOLLOW-UP Tanggal 18 November 2012 S/ sesak napas (+), nyeri dada (+), pusing (+), mual (-), muntah (-), BAB (+), BAK (+), nafsu makan O/ Vital sign : TD : 100/70 mmHg N : 80x/menit : 36,40C

Rr : 20x/menit T KU Kepala Thorax

: CM, lemas : CA(-/-), SI (-/-) : Cor : BJ I-II regular, bising (-)

Pulmo : SDV (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-) Abdomen : Supel, Peristaltik (+), nyeri tekan (-) Extremitas : Akral hangat, oedema (-) A/ dd UAP/NSTEMI P/ Rawat ICU Diet jantung O2 Infuse RL 16 tpm Furosemid 1A/12 jam Ranitidine 1A/12 jam Antalgin 1A/8 jam Enoksaparin 0,6/12 jam ISDN 3x1 Clopidogrel 1x1 Antasid 3xC1 Alprazolam 0,5 1-0-1 Tanggal 19 November 2012 S/ sedikit sesak nafas, nyeri dada (+) namun sudah berkurang, pusing berputar (+), nafsu makan O/Vital sign : TD : 110/70 mmHg

: 80x/menit : 36,30C

Rr : 20x/menit T KU Kepala Thorax

: CM, lemas : CA(-/-), SI (-/-) : Cor : BJ I-II regular, bising (-)

Pulmo : SDV (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-) Abdomen : Supel, Peristaltik (+), nyeri tekan (-) Extremitas : Akral hangat, oedema (-) A/ dd UAP/NSTEMI P/ Diet jantung O2 Infuse RL 16 tpm Furosemid 1A/12 jam Ranitidine 1A/12 jam Antalgin 1A/8 jam Enoksaparin 0,6/12 jam ISDN 3x1 Clopidogrel 1x1 Antasid 3xC1 Alprazolam 0,5 1-0-1 Tanggal 20 November 2012 S/ sesak berkurang, nyeri dada (+) namun sudah berkurang, pusing (+), mual (+), nafsu makan , BAB (-), BAK (+) O/ Vital sign : TD : 110/70 mmHg N : 76x/menit : 360C

Rr : 20x/menit T KU Kepala Thorax

: CM, sedang : CA(-/-), SI (-/-) : Cor : BJ I-II regular, bising (-)

Pulmo : SDV (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-) Abdomen : Supel, Peristaltik (+), nyeri tekan (-) Extremitas : Akral hangat, oedema (-) A/ dd UAP/NSTEMI P/ Diet jantung O2 Infuse RL 16 tpm Furosemid 1A/12 jam Ranitidine 1A/12 jam Antalgin 1A/8 jam Enoksaparin 0,6/12 jam ISDN 3x Clopidogrel 1x1 Antasid 3xC1 Alprazolam 0,5 1-0-1 Tanggal 21 November 2012 Vital sign : TD N Rr T : 110/70 mmHg : 84x/menit : 20x/menit : 36,10C

S/ sesak (-), nyeri dada (-), pusing (+) sudah berkurang, mual (-), muntah (-), sudah mau makan, BAB (+), BAK (+) O/ KU Kepala Thorax : CM, sedang : CA(-/-), SI (-/-) : Cor : BJ I-II regular, bising (-)

Pulmo : SDV (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-) Abdomen : Supel, Peristaltik (+), nyeri tekan (-) Extremitas : Akral hangat, oedema (-) A/ dd UAP/NSTEMI P/ ISDN 3x Clopidogrel 1x1

Antasid 3xC1 Alprazolam 0,5 0-0-1 Rawat jalan

10

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

A. Sindroma Koroner Akut Sindrom koroner akut merupakan suatu istilah yang menggambarkan kumpulan gejala klinik yang ditandai dengan nyeri dada dan gejala lain yang disebabkan oleh penurunan aliran darah ke jantung, sindrom ini meliputi unstable angina pectoris sampai perkembangan menjadi miokard infark akut. Lebih dari 90% ACS disebabkan oleh gangguan plak aterosklerosis dengan diikuti agregasi trombosit dan pembentukan thrombus intrakoroner.5 SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari penyakit jantung koroner (PJK), salah satu akibat dari proses aterotrombosis selain strok iskemik serta peripheral arterial disease (PAD). Aterotrombosis merupakan suatu penyakit kronik dengan proses yang sangat kompleks dan multifaktor serta saling terkait.6 Infark miokard adalah nekrosis miokard yang berkembang cepat oleh karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung (Fenton, 2009). Hal ini biasanya disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti oleh pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya miokard infark bergantung pada lokasi oklusi dan aliran darah kolateral.7 Diagnosis infark miokard didasarkan atas diperolehnya dua atau lebih dari 3 kriteria, yaitu adanya nyeri dada, perubahan gambaran elektrokardiografi (EKG) dan peningkatan pertanda biokimia. Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tak ada hubungan dengan aktifitas atau latihan. Gambaran EKG yang khas yaitu timbulnya gelombang Q yang besar, elevasi segmen ST dan inversi gelombang T (Irmalita, 1996). Pada nekrosis otot jantung, protein intraseluler akan masuk dalam ruang interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran limfatik.8

11

B. ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) 1. Definisi ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) merupakan sebagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST.9
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat. 10

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lesi vaskuler, di mana lesi ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.11 Oklusi koroner akut dengan iskemia miokard berkepanjangan yang pada akhirnya akan menyebabkan kematian miosit kardiak. Kerusakan miokard yang terjadi bergantung pada letak dan lamanya sumbatan aliran darah, ada atau tidaknya kolateral dan luas wilayah miokard yang diperdarahi pembuluh darah yang tersumbat.12 2. Diagnosis a. Anamnesis Pasien yang dating dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dadanya berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark mokard sebelumnya serta factor-faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok stres serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.9

12

Pada hampir setengah kasus, terdapat factor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.9 b. Nyeri dada Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien SKA. Nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian besar pasien dengan SKA. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien SKA.9 Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut : 1) Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial 2) Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir. 3) Penjalaran ke: leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/ interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan. 4) Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat 5) Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan 6) Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, dan lemas.10 c. Elektrokardiografi (EKG) Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam

menentukan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen

13

ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.13 Sebagian besar pasien dengan presentasi awal STEMI mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis sebagai infark miokard gelombang Q. sebagian kecil menetap menjadi infark miokard non-gelombang Q. jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. pasien tersebut biasanya mengalami angina tidak stabil atau non-STEMI.13 d. Laboratorium Petanda (biomarker) kerusakan jantung. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung pemeriksaan biomarker. Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard). 1) CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB 2) cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2 jam bila infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari 3) Pemeriksaan lainnya: mioglobin, creatinine kinase (CK) dan lactic dehidrogenase (LDH), reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah leukositosis PMN yang dapat terjadi dalam beberapa jam

14

setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/uL.10 3. Penatalaksanaan Tujuan utama penatalaksanaan IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA.14 Penanganan kegawat daruratan. a. Tatalaksana awal: Pasien perlu perawatan di rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner, pasien perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen 4L/ menit (saturasi dipertahankan > 90%), Nitrat diberikan 5mg SL (dapat diulang 3x) lalu drip bila masih nyeri, Aspirin 160mg (dikunyah), Morfin iv bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat.13 b. Tatalaksana lanjut sesuai indikasi dan kontraindikasi (jangan menunda reperfusi). 1) Anti iskemik: nitrat, B-bloker, Ca antagonis. 2) Anti platelet oral: aspirin, clopidogrel. 3) Anti koagulan: heparin (UFH, LMWH). 4) Terapi tambahan: Ace inhibitor/ ARB, Statin. Dosis heparin (UFH) sebagai co-terapi: Bolus iv 60 u/ kg BB maksimum 4000u, dosis maintenance drip 12u/ kg BB selama 24 48 jam dengan maksimum 1000 u/ jam dengan target aPTT 50 70s. Monitoring aPTT 3, 6, 12, 24 jam setelah terapi dimulai. LMWH dapat digunakan sebagai alternative UFH pada pasien-pasien berusia < 75 tahun dengan fungsi ginjal baik (kreatinin < 2,5 mg/dl pada lakilaki atau < 2 mg/ dl pada wanita).13 4. Komplikasi 1. Disfungsi ventrikuler Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk, ukuran dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan

15

non infark. Proses ini disebut remodeling ventrikuler dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut, hasil ini berasal dari ekspansi infark al; slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan dalam zona nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen noninfark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk. Progresivitas dilatasi dan konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhibitor ACE dan vasodilator lain. Pada pasien dengan fraksi ejeksi <40%, tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitor ACE harus diberikan.9 2. Gangguan hemodinamik Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian dirumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen sering jumpai kongersi paru.9 5. Prognosis Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA : Tabel 1. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut Klas I II III IV Definisi Tak ada gagal jantung kongestif + S3 dan/atau ronki basah Edema paru Syok kardiogenik Mortalitas (%) 6 17 30-40 60-80

16

Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana; S3 gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik.9

Tabel 2. Klasifikasi forrester untuk Infark Miokard Akut Klas Indeks Kardiak (L/min/m2) I II III IV >2,2 >2,2 <2,2 <2,2 <18 >18 <18 >18 3 9 23 51 PCWP (mmHg) Mortalitas (%)

Klasifikasi forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP).9

Tabel 3. Risk score untuk Infark Miokard dengan Elevasi STEMI Factor resiko (Bobot) Skor resiko/mortalitas 30 hari (%) Usia 65-74 tahun (2 poin) Usia >75 tahun (3 poin) Diabetes mellitus/ hipertensi atau angina (1 poin) Tekanan darah sistolik <100 mmHg (3 poin) Frekuensi jantung >100 mmHg (2 poin) Klasifikasi Killip II-IV (2 poin) Berat <67 kg (1 poin) Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin) Waktu ke reperfusi > 4 jam (1 poin) Skor resiko = total poin (0-14) TIMI Risk score adalah system prosnostik 0 (0,8) 1 (1,6) 2 (2,2) 3 (4,4) 4 (7,3) 5 (12,4) 6 (16,1) 7 (23,4) 8 (26,8) >8 (35,9) paling akhir yang

menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaaan fisis yang dinilai pada pasien STEMI yang mendapat terapi trombolitik.9

17

C. Ustable Angina Pektoris (UAP) / Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) 1. Definisi Angina pektoris tidak stabil (UAP) dan infark miokard akut tanpa elevasi ST (NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan gejala klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UAP menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung.15 Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih disukai karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional seperti CK dan CKMB. Pada pasien dengan IMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 2 minggu.15 Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan

American Heart Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen ST ( NSTEMI) ialah apakah iskemi yang timbul cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada miokardium, sehingga adanya petanda kerusakan miokardium dapat diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG untuk iskemi, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi sebentar atau adannya gelombang T yang negatif.12 2. Etiologi Ustable Angina Pektoris (UAP) / Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh adanya aterioklerosis, spasme arteri koroner, anemia berat, artritis, dan aorta Insufisiensi.16 Patofisiologi lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya angina pektoris tidak stabil :

18

a. Ruptur Plak Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting penyebab angina pektoris tidak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik (fibrotic cap). Plak yang tidak stabil terdiri dari inti banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100% dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angin tak stabil. b. Trombosis dan Agregasi Trombosit Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin. Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi dan pembentukkan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang intermiten, pada angina tak stabil.

19

c. Vasospasme Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan pada perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada angina prinzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil, dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus. d. Erosi pada plak tanpa ruptur Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya poliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia. e. Kadang bisa karena : emboli, kelainan kongenital, penyakit inflamasi sistemik.16

Gambar 1. Perjalanan Proses Aterosklerosis (Initiation, Progression dan Complication) Pada Plak Aterosklerosis.16 3. Patofisiologi Mekanisme timbulnya angina pektoris didasarkan pada

ketidakadekuatan suplay oksigen ke sel-sel miokardium yang diakibatkan 20

karena

kekakuan

arteri

dan

penyempitan

lumen

arteri

koroner

(arteriosklerosis koroner). Tidak diketahui secara pasti apa penyebab arteriosklerosis, namun jelas bahwa tidak ada faktoer tunggal yang bertanggung jawab atas perkembangan arteriosklerosis. Pada saat beban kerja suatu jaringan meningkat, kebutuhan oksigennya juga meningkat. Apabila kebutuhan oksigen meningkat pada jantung yang sehat, arteri-arteri koroner akan berdilatasi dan akan mengalirkan banyak darah dan oksigen ke otot jantung. Akan tetapi apabila arteri koroner mengalami kekakuan atau menyempit akibat aterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan oksigen dan kemudian akan terjadi iskemia (kekurangan suplai darah) miokardium. Adanya endotel yang cedera mengakibatkan hilangnya produksi NO (nitrat oksid) yang berfungsi untuk menghambat berbagai zat yang reaktif. Dengan tidak adanya fungsi ini dapat menyebabkan otot polos berkontraksi dan timbul spasmus koroner yang memperberat penyempitan lumen karena suplai oksigen ke miokard berkurang. Penyempitan atau blok ini belum menimbulkan gejala yang begitu nampak bila belum mencapai 75%. Bila penyempitan lebih dari 75% serta dipicu dengan aktifitas berlebihan maka suplai darah ke koroner akan berkurang. Oleh karena itu, sel-sel miokardium mulai menggunakan glikolisis anaerob untuk memenuhi kebutuhan eneginya. Proses

pembentukan energi ini sangat tidak efisien dan menyebabkan terbentuknya asam laktat. Asam laktat menurunkan pH miokardium dan menyebabkan nyeri yang berkaitan dengan angina pektoris. Apabila kebutuhan energi selsel jantung berkurang, suplai oksigen menjadi adekuat dan sel-sel otot kembali ke proses fosforilasi oksidatif untuk membentuk energi. Proses ini tidak menghasilkan asam laktat. Dengan menghilangnya penimbunan asam laktat, nyeri angina pektoris mereda. Dengan demikian, angina pektoris adalah suatu keadaan yang berlangsung singkat.17

21

4. Klasifikasi Pada tahun 1989 Brauwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya ada keseragaman. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik.18 a. Berdasarkan angina : 1) Kelas I: angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya nyeri dada 2) Kelas II: angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam I bulan, tapi tidak ada serangan angina dalam 48 jam terakhir 3) Kelas III: adanya serangan angina waktu istirajat dan terjadinya secara akut baik sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.18 b. Keadaan klinis: 1) Kelas A: angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain atau febris 2) Kelas B: angina tak stabil primer, tak ada faktor ekstrakasdiak 3) Kelas C: angina yang timbul setelah serangan infark jantung.18 c. Intensitas pengobatan: 1) tak ada pengobatan atau hanya mendapatkan pengobatan minimal 2) timbul keluhan walaupun telah mendapat terapi yang standar 3) masih timbul serangan angina walaupun telah diberikan pengobatan yang maksimum, dengan penyekat beta, nitrat dan antagonis kalsium.18 5. Diagnosis a. Anamnesis Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas.19

22

b. Pemeriksaan Fisik Sewaktu angina dapat tidak menunjukkan kelainan. Pada auskultasi dapat terdengar derap atrial atau ventrikel dan murmur sistolik di daerah apeks. Frekuensi denyut jantung dapat menurun, menetap, atau meningkat pada waktu serangan angina.20 c. Pemeriksaan Penunjang 1) EKG EKG perlu dilakukan pada waktu serangan angina, bila EKG istirahat normal, stress test harus dilakukan dengan treadmill ataupun sepeda ergometer. Tujuan dari stress test adalah: a) menilai nyeri dada apakah berasal dari jantung atau tidak b) menilai beratnya penyakit seperti bila kelainan terjadi pada pembuluh darah utama akan c) memberi hasil positif kuat.20 Gambaran EKG penderita ATS dapat berupa depresi segmen ST, depresi segmen ST disertai inversi gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan cabang ikatan His dan tanpa perubahan segmen ST dan gelombang T. perubahan EKG pada ATS berdifat sementara dan masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun bersamaan. Perubahan tersebut imbul di saat serangan angina dan kembali ke gambaran normal atau awal setelah keluhan angina hilang dalam waktu 24 jam. Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi elevasi gelombang Q, maka disebut sebagai IMA.20 2) Enzim LDH, CPK, dan CK-MB Pada ATS kadar enzim LDH dan CPK dapat normal atau meningkat tetapi tidak melebihi 50% di atas normal. CK-MB merupakan enzim yang paling sensitive untuk nekrosis otot miokard, tetapi kadar dapat terjadi positif palsu. Hal ini menunjukkan pentingnya pemeriksaan kadar
20

enzim

secara

serial

untung

menyingkirkan adanya IMA.

23

6. Skor Risiko TIMI Skor resiko merupakan suatu metode untuk stratifikasi resiko, dan angka faktor resiko. Insidens outcome yang buruk (kematian, (re) infark miokard, atau iskemia berat rekuren) pada 14 hari sekitar antara 5% dengan skor resiko 0-1, sampai 41% dengan skor resiko 6-7.skor resiko ini berasal dari analisis pasien-pasien pada penelitian TIMI 11B dan telah divalidasi pada empat penelitian tambahan dan satu registry. Dengan meningkatnya skor resiko, telah diobservasi manfaat yang lebih besar secara progresif pada terapi dengan LMWH versus UFH, dengan platelet GP IIb/IIIa receptor blocker tirofiban versus placebo, dan strategi invasif versus konservatif.16 Pada pasien untuk semua level skor resiko TIMI, penggunaan clopidogrel menunjukkan penurunan outcome yang buruk relatif sama. Skor resiko juga efektif dalam memprediksi outcome yang buruk pada pasien setelah pulang.16 Tabel 4. Skor Resiko TIMI untuk UAP/NSTEMI - Usia > 65 tahun - > 3 faktor risiko PJK - Stenosis sebelumnya > 50% - Deviasi ST - > 2 kejadian angina < 24 jam - Aspirin dalam 7 hari terakhir - Peningkatan petanda jantung Skor Resiko TIMI untuk UAP/NSTEMI.16 7. Penatalaksanaan a. Tindakan Umum Pasien perlu perawatan di rumah sakit,sebaiknya di unit intensif koroner, pasien perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen. Pemberian morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin.21 b. Terapi Medika Mentosa 1) Obat anti-iskemia

24

a) Nitrat : dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer, dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen (Oxygen demand). Nitrat juga menambah oksigen suplay dengan vasodilatsai pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral. Dalam keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat diberikan secara sublingual atau infus intravena. Dosis pemberian intravena : 1-4 mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali maka dapat diganti dengan per oral. Preparat : Nitrogliserin : Nitromock 2,5 - 5 mg tablet sublingual Nitrodisc 5- 10 mg tempelkan di kulit Nitroderm 5-10 mg tempelkan di kulit Isosorbid dinitrat : Isobit 5-10 mg tablet sublingual Isodil 5-10 mg tablet sublingual Cedocard 5-10 mg tablet sublingual b) -blocker : dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Berbagai macam beta-blocker seperti propanolol, metoprolol, dan atenolol. Kontra indikasi pemberian penyekat beta antra lain dengan asma bronkial, bradiaritmia. c) Antagonis kalsium : dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan tekanan darah. Ada 2 golongan besar pada antagonis kalsium : - golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih kuat dan penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit dan efek inotropik negatif juga kecil (Contoh: nifedipin) - golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki survival dan mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan afterload memberikan keutungan pada

25

golongan nondihidropiridin pada sindrom koroner akut dengan faal jantung normal (Contoh : verapamil dan diltiazem). 21 2) Obat anti-agregasi trombosit Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam

pengobatan angina tidak stabil maupun infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga gologan obat anti platelet yang terbukti bermanfaat seperti aspirin, tienopiridin dan inhibitor GP Iib/IIIa. a) Aspirin : banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun non fatal dari 51% sampai 72% pada pasien dengan angina tidak stabil. Oleh karena itu aspirin dianjurkan untuk diberikan seumur hidup dengan dosis awal 160mg/ hari dan dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg/hari. b) Tiklopidin : obat ini merupakan suatu derivat tienopiridin yang merupakan obat kedua dalam pengobatan angina tidak stabil bila pasien tidak tahan aspirin. Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek samping granulositopenia. c) Klopidogrel : obat ini juga merupakan derivat tienopiridin yang dapat menghambat agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari tiklopidin . Klopidogrel terbukti juga dapat mengurangi strok, infark dan kematian kardiovaskular. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg/hari dan selanjutnya75 mg/hari. d) Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir pada proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP IIb/IIIa menduduki reseptor tadi maka ikatan platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi. Pada saat ini ada 3 macam obat golongan ini yang telah disetujui : - absiksimab suatu antibodi mooklonal - eptifibatid suatu siklik heptapeptid - tirofiban suatu nonpeptid mimetik

26

Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan angina tak stabil maupun untuk obata tambahan dalam tindakan PCI terutama pada kasus-kasus angina tak stabil. 21 3) Obat anti-trombin a) Unfractionated Heparin Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagi rantai polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagulan yang berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat dengan heparin akan bekerja menghambat trombin dan dan faktor Xa. Heparin juga mengikat protein plasma, sel darah, sel endotel yang mempengaruhi bioavaibilitas. Pada penggunaan obat ini juga diperlukan pemeriksaan trombosit untuk mendeteksi adanya kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT). b) Low Molecular Weight Heparin (LMWH) LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai plisakarida heparin. Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH mempuyai ikatan terhadap protein plasma kurang, bioavaibilitas lebih besar. LMWH yang ada di Indonesia ialah dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux. Keuntungan pemberian LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat disuntikkan secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan

laboratorium. c) Direct Thrombin Inhibitors Direct Thrombin Inhibitors secara teoritis mempunyai kelebihan karena bekerja langsung mencegah pembentukan bekuan darah, tanpa dihambat oleh plasma protein maupun platelet factor 4. Hirudin dapat menurunkan angka kematian dan infark miokard, tetapi komplikasi perdarahan bertambah. Bivalirudin telah disetujui untuk menggantikan heparin pada pasien angina tak stabil yang menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat menggantikan

27

heparin bila ada efek samping trombositopenia akibat heparin (HIT). 21 4) Tindakan revaskularisasi pembuluh koroner Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan iskemi berat dan refakter dengan terapi medikamentosa. Pada pasien dengan penyempitan di left main atau penyempitan pada 3 pembuluh darah, bila disertai faal ventrikel kiri yang kurang tindakan operasi bypass (CABG) mengurangi masuknya kembali ke rumah sakit. Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan penyempitan pada satu pembuluh darah atau dua pembuluh darah atau bila ada kontraindikasi tindakan pembedahan PCI merupakan pilihan utama.17 Teknik-teknik invasif misalnya percutaneous transluminal coronary angioplasty (PTCA) dan bedah pintas arteri koroner dapat menurunkan serangan angina klasik. Dengan PTCA,lesi aterosklerotik didilatasi oleh sebuah kateter yang dimasukkan melalui kulit ke dalam arteri femoralis atau brakialis dan di dorong ke jantung. Setelah berada di pembuluh yag sakit, balon yang ada di kateter digembungkan. Hal ini akan memecahkan plak dan meregangkan arteri. Dengan bedah pintas, potongan arteri koroner yang sakit diikat, dan diambil arteri atau vena dari tempat lain untuk dihubungkan ke bagian yang tidak sakit. Aliran darah dipulihkan melalui pembuluh baru ini. Pembuluh yang paling sering ditransplantasikan adalah vena safena atau arteri mamaria interna. Pemasangan selang artificial atau stent ke dalam arteri agar tatap terbuka kadang-kadang dilakukan dengan keberhasilan yang bervariasi. Bedah pintas koroner

menghilangkan nyeri angina tetapi tampaknya tidak mempengaruhi mortalitas jangka-panjang.17 c. Terapi Non Medika Mentosa 1) Istirahat memungkinkan jantung memompa lebih sedikit darah (penurunan volume sekuncup) dengan kecepatan yang lambat

28

(penurunan kecepatan denyut jantung). Hal ini menurukan kerja jantung sehingga kebutuhan oksigen juga berkurang. Posisi duduk adalah postur yang dianjurkan sewaktu beristirahat. Sebaliknya berbaring, meningkatkan aliran balik darah ke jantung sehingga terjadi peningkatan volume diastolik akhir, volume sekuncup dan curah jantung. 2) Terapi oksigen untuk mengurangi kebutuhan oksigen jantung. 8. Pencegahan a. Perubahan life style (termasuk berhenti merokok dan lain-lain), penurunan BB, penyesuaian diet, olahraga teratur dan lain-lain.21 b. Mengobati faktor predisposisi dan faktor pencetus : stress, emosi, hipertensi, penyakit DM, hiperlipidemia, obesitas, anemia.22 c. Menghindari bekerja pada keadaan dingin atau stres lain yang diketahui mencetuskan serangan angina klasik pada seseorang.17 d. Memberikan penjelasan perlunya melatih aktivitas sehari-hari sehingga untuk meningkatkan kemampuan jantung agar dapat mengurangi serangan jantung.21 9. Komplikasi a. Infark miokardium (IM) adalah kematian sel-sel miokardium yang terjadi akibat kekurangan oksigen yang berkepanjanga. Hal ini adalah respon letal terakhir terhadap iskemia miokardium yang tidak teratasi. Sel-sel miokardium mulai mati setelah sekitar 20 menit mengalami kekurangan oksigen. Setelah periode ini, kemampuan sel untuk menghasilkan ATP secara aerobs lenyap dan sel tidak memenuhi kebutuhan energinya.22 b. Aritmia : Karena insidens PJK dan hipertensi tinggi, aritmia lebih sering didapat dan dapat berpengaruh terhadap hemodinamik. Bila curah jantung dan tekanan darah turun banyak, berpengaruh terhadap aliran darah ke otak, dapat juga menyebabkan angina, gagal jantung.21 c. Gagal Jantung : Gagal jantung terjadi sewaktu jantung tidak mampu memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrien tubuh. Gagal jantung disebabkan disfungsi diastolik atau sistolik.

29

Gagal jantung diastolik dapat terjadi dengan atau tanpa gagal jantung sistolik. Gagal jantung dapat terjadi akibat hipertensi yang lama (kronis). Disfungsi sistolik sebagai penyebab gagal jantung akibat cedera pada ventrikel, biasanya berasal dari infark miokard. 21 10. Prognosis Pada angina tidak stabil bila dapat didiagnosis dengan tepat dan cepat serta memberikan pengobatan yang tepat dan agresif maka dapat menghasilkan prognosis yang baik. Namun bila tidak dapat menimbulkan kematian.

30

BAB IV PEMBAHASAN

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini didapatkan keluhan sesak nafas sejak 1 minggu. Sesak nafas dirasakan tidak berkurang dengan perubahan posisi dan pasien juga mengeluh nyeri dada sebelah kiri. Nyeri dada yang menjalar kebagian leher seperti ditekan dan diremes-remes. Hal seperti ini sudah dirasakan sejak lama namun kali ini sangat parah. Pasien juga mengakui sudah minum obat namun sakit tidak berkurang. Pasien mengatakan bahwa sesak napas dan nyeri dada biasanya timbul saat beraktivitas dan hilang saat beristirahat. Keluhan sesak napas dan nyeri dada tidak disertai mual dan muntah. Rasa nyeri di daerah dada dan perut di pengaruhi oleh saraf intercostales (T1-12), nervus sympatikus dan nervus parasimpatikus. Rasa nyeri jantung biasanya dirasakan dari Th1-4, yang dinamakan serabut sensorik atau viseral averen. Badan sel berada di dalam ganglion posterior yang sama, sehingga bila di daerah viseral mengalami suatu cidera maka rasa nyeri tersebut akan terasa di bagian perifer. Nyeri dada memiliki lokasi yang khas yaitu substernal atau kadangkala diepigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI. Walaupun gejala khas rasa tidak enak didada iskemia pada NSTEMI telah diketahui dengan baik, gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaphoresis, sinkop atau nyeri dilengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien yang berusia lebih dari 65 tahun. Yang dimasukkan ke dalam angina tidak stabil, yaitu : 1. pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, di mana angina cukup berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per hari 2. pasien dengan angina yang semakin bertambah berat, sebelumya angina stabil, lalu serangan angina timbul lebih sering dan lebih berat sakit dadanya, sedangkan faktor prespitasi makin ringan

31

3. pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat. Pada pemeriksaan penunjang EKG ditemukan QRS rate 97x/menit, Aksis Normal, Gelombang P morfologi normal, durasi 0,12 detik, PR interval 0,2, Kompleks QRS durasi 0,12, Q patologis II,III dan aVf, T inverted I, aVL, maka pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis banding UAP/NSTEMI. Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi resiko pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukkan kemungkinan adanya iskemia akut. Gelombang T negatif juga menunjukkan salah satu tanda iskemia atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST kurang dari 0,5 mm dan gelombang T negatif kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk iskemia dan dapat disebabkan karena hal lain. Pada angina tak stabil 4% mempunyai EKG normal, dan pada NSTEMI 1-6% EKG juga normal. Tindakan dan penanganan dini pada pasien ini adalah pasien dengan UAP/NSTEMI harus diterapi dengan regimen awal yang sama dengan STEMI dengan satu pengecualian: tidak ada bukti keuntungan pemberian fibrinolitik. Anti-iskemik dan analgetik - Oksigen - Nitrogliserin - Morfin - Penyekat beta Anti-platelet - Aspirin - Clopidogrel - GP IIb/IIIa inhibitor Diberikan pada pasien dengan rencana PCI. Anti-koagulan Heparin : tiga keuntungan penggunaan low molecular weight (LMW) dibanding unfractioned heparin (UFH): - Insidensi trombositopenia yang lebih rendah - Kemudahan untuk administrasi tanpa monitoring - Derajat aktivasi platelet yang lebih sedikit

32

Sebelum terapi reperfusi, terapi awal yang diberikan adalah penghilang nyeri (analgetik) injeksi Antalgin, selain itu diberikan juga isosorbid dinitrat ISDN disini untuk vasodilatasi perifer, terutama pada vena, dengan bekerja pada otot polos vascular yang mencakup pembentukan nitrat oksida. Ini penting untuk menghilangkan nyeri dan menenangkan pasien karena bila pasien kesakitan dan cemas maka akan terjadi takikardia yang dapat meningkatkan beban kerja jantung. Terapi awal lain adalah pemberian Oksigen. Enoxaparin digunakan untuk membatasi perluasan thrombosis koroner. Enoxaparin diabsorbsi secara cepat setelah pemberian melalui subkutan dengan ketersedian hayati mencapai 100%. Aktifitas plasma puncak tercapai antara 1-5 jam. Waktu paro eliminasi antara 4-5jam tetapi aktifitas Xa bertahan sampai 24 jam setelah pemberian dosis 40 mg, mempunyai aktivitas antifaktor Xa lebih besar. Enoxaparin dimetabolisme di hati dan dieksresi dalam urin, sebagai obat yang tidak berubah dan metabolitnya. Bila usia <75 thn dan kreatinin < 2,5 mg/dL maka diberikan bolus ntravena 30 mg dan dilanjukan 1 mg/kgBB per 12 jam. Bila usia di atas 75 thn dan CCT < 30 ml maka dosis bolus 0,75 mg/kgBB dan dosis pemeliharaan diberikan satu kali sehari. Antiplatelet untuk Mengurangi agregasi trombosit, adhesi platelet dan pembentukan trombus melalui penekanan sintesis tromboksan A2 dalam trombosit. Mengurangi risiko infark miokard pada stenocardia yang tidak stabil. Obat ini efektif untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskular dan pencegahan sekunder infark miokard. Obat ini dapat meningkatkan aktivitas fibrinolitik dan mengurangi plasma konsentrasi vitamin K dalam faktor-faktor koagulasi (II, VII, IX, X).

33

BAB V KESIMPULAN

Telah dilaporkan pasien laki-laki usia 71 tahun dengan keluhan dengan keluhan sesak nafas sejak 1 minggu. Sesak nafas dirasakan tidak berkurang dengan perubahan posisi dan pasien juga mengeluh nyeri dada sebelah kiri. Nyeri dada yang menjalar kebagian leher seperti ditekan dan diremes-remes. Hal seperti ini sudah dirasakan sejak lama namun kali ini sangat parah. Pasien juga mengakui sudah minum obat namun sakit tidak berkurang. Pada pemeriksaan fisik keadaan umum baik compos mentis, pernapasan 36x/menit, tekanan darah palpasi 120/80, Nadi 104x/menit. Telah ditegakkan diagnosa atas pasien ini yaitu UAP/NSTEMI, pasien diberikan terapi heparin dan antiangina untuk menghilangkan nyeri pada jantung dan antiplatelet untuk memperbaiki perfusi O2 ke jantung dan tidak terjadi pembentukan trombus pada pembuluh darah jantung. Setelah dilakukan perawatan dan pengobatan padanya, keadaan pasien membaik dan diizinkan pulang. Penatalaksanaan pada pasien ini sudah sesuai dengan teori

penatalaksanaan UAP/NSTEMI.

34

DAFTAR PUSTAKA

1.

Hamm CW, Bertrand M, Braunwald E. Acute coronary syndrome without ST elevation : implementation of new guidelines. Lancet 2001; 358: 1533-8

2.

Patrono C, Renda G. Platelet activation and inhibition in unstable coronary syndromes. Am J Cardiol 1997; 80(5A): 17E-20E

3.

World Health Organization. Deaths from coronary heart disease. Cited 2011 Nov Available from URL :

http://www.who.int/cardiovascular_diseases/cvd_14_deathHD.pdf 4. Boedi-Darmojo R, Epidemiology of atherosclerotic disease: Special focus on cardiovascular disease. Dalam: Tanuwidjojo S, Rifqi S. Atherosklerosis from theory to clinical practice, Naskah lengkap cardiology-update.Semarang: Badan Penerbit Undip.2003.p.1-1 5. Lilly, L.S.Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of Medical Students and Faculty.Edisi Keempat.Baltimore-Philadelpia.

Lippincott Williams & Wilkins, 2007; 225-243. 6. Anderson, J, Adams, C, Antman, E, et al. ACC/AHA 2007 guidelines for the management of patients with unstable angina/non-ST-elevation myocardial infarction: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines 50:e1. Diunduh dari:

www.acc.org/qualityandscience/ clinical/statements.htm (accessed September 18, 2007). 7. Irmalita, 1996. Infark Miokard. Dalam: Rilantono, L.I., Baraas, F., Karo Karo, S., Roebiono, P.S., ed., Buku Ajar Kardiologi. Jakart.Gibler, WB. Evaluation of chest pain in the emergency department. Ann Intern Med 1995; 123:315;. 8. Patel, N.R., Jackson. G., 1999. Serum markers in myocardial infarction. J Clin Pathol. Diambil Di dari: akses

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC501424/?page=1. Desember 20,2012

35

9.

Alwi, I. 2006. Infark miokard akut dengan elevasi ST dalam Aru W.S., Bambang S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. FK UI. Jakarta.

10. Antman, E.M., Braunwald, E., ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In: Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L., (eds). Harrisons Principles of Internal Medicine. 16 th ed. USA. 2005. pp.1532-44 11. Brown, T.C., Penyakit Aterosklerotik Koroner. Dalam: Price, S.A., William, L.M., (ed.) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. EGC. Jakarta. 2006. Hal : 580-587 12. Barriento, Aida Suarez; Romero, Pedro Lopez; Vivas, David and et al. Circadian Variations of Infarct Size in Acute Myocardial Infarctionm, 2011. Accessed 9 Nov 2011. Avalaibale form:

http://www.suc.org.uy/correosuc/correosuc6-51_archivos/Heart-2011CircadianVariations.pdf 13. Chou, T., Electrocardiography in Clinical Practice Adult and Pediatric: Myocardial Infarction, Myocardial Injury, and Myocardial Ischemia. 4th ed. Pennsylvania: W. B. Saunders Company. 1996. 14. Irmalita, dkk. Tatalaksana Sindroma Koroner Akut dengan Elevasi Segmen ST. In: Irmalita, Rilantono, L.I., Baraas, F., Karo Karo, S., Roebiono, P.S.,, (ed). Standard Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Edisi 3.2009; 12-16 15. Aslan, Ahmad. Bathini, Prasantha. Smith, Robert. 2004. ACC/AHA Guidelines for The Management of Patients with ST Elevation Myocardial Infarction. Cardiac Cath Conference 16. Haru, Sjaharuddin., Alwi, Idrus. 2006. Infark miokard akut tanpa elevasi ST dalam Aru W.S., Bambang S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. FK UI. Jakarta. 17. Elizabeth J. Corwin. Buku saku patofisiologi.Edisi ke-3.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2009.hal.492-504.

36

18. Trisnohadi, Hanafi B,. 2006. Angina Pectoris Tak Stabil dalam Aru W.S., Bambang S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. FK UI. Jakarta. 19. Hamm CW, Braunwald E. A Classification of Unstable Angina revised Circulation, 2000. Accssed 9 Nov 2011. Avalaible from:

www.medicalcriteria.com/.../car_angina.htm 20. Hamm, Christian W; Bassand, Jean-Pierre; Agewall, Stefan and et al. ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-segment elevation, 2011. Accessed 9 Nov 2011. Avalaible form: http://www.escardio.org/guidelines-surveys/esc-

guidelines/Pages/ACS-non-ST-segment-elevation.aspx 21. Buku ajar Ilmu penyakit dalam jilid II.Edisi ke-5.Jakarta:Interna

Publishing;2009.hal.1728-34. 22. Chung E.K. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2000.

37

Das könnte Ihnen auch gefallen