Sie sind auf Seite 1von 17

PERAWATAN PASCA OPERASI, 28 OKTOBER 2010 TUGAS KELOMPOK POST OPERASI Disusun untuk memenuhi tugas kelompok Mata

Kuliah Ginekologi Dosen : Dr.Mulyohadi S.,SpOG(K)

Disusun Oleh : ANISYA KUMALA S. 0902100004 INTAN LOKA DYAH M.C. 0902100014 NOVITASARI MUSTIKA R. 0902100024 SUMIATI 0902100034 KELAS 2A

KEMENTERIAN KESEHATAN REPULIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG JURUSAN KEBIDANAN PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN MALANG TAHUN 2010

DAFTAR ISI Halaman Sampul i Kata Pengantar ii

Daftar Isi iii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Rumusan Masalah 1 1.3 Tujuan 1 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Operasi Ginekologi 2 2.2 Tujuan Perawatan Post Operasi 2 2.3 Pedoman Perawatan Post Operasi 3 2.4 Kebutuhan Nutrisi Post Operasi 4 2.5 Komplikasi Yang Disebabkan Oleh Perawatan Post Operasi 7 2.6 Perubahan Yang Terjadi Pada Post Operasi 13 2.7 Menjelaskan Mengenai Pengobtan Baik Penatalaksanaan Medis Maupun Keperawatan Untuk Post Operasi 14

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 16 3.2 Saran 16 DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan limpahan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Post Operasiuntuk melengkapi tugas kelompok mata kuliah Ginekologi.

Dalam menyelesaikan makalah ini penulis menemukan beberapa hambatan. Namun, semua hambatan tersebut dapat diatasi dengan bantuan beberapa pihak.Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak pihak yang telah membantu : 1.Dr.Mulyohadi S.,SpOG(K) selaku dosen pengajar mata kuliah Ginekologi 2.Orang tua selaku pemberi dukungan baik dukungan spiritual maupun dukungan materiil 3.Teman teman kelas 2A dan 2B tercinta yang telah memberi motivasi Tiada gading yang tak retak merupakan peribahasa yang mewakili kekurangan penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu makalah ini masih memerlukan perbaikan sehingga kami membutuhkan saran saran yang membangun dari segenap pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Malang, Oktober 2010

Penulis

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Minggu pertama pascaoperasi bisa menjadi masa yang paling sulit, sebab rasa nyeri dan tidak nyaman, padahal pasien ingin melakukan pekerjaan sehari-harinya. Hormone-hormon yang ada juga dapat mengacaukan emosi, membuat pasien pasca operasi mudah menangis dan lelah. Penting untuk pasien untuk melanjutkan latihan-latiham karena hal itu dapat meningkatkan movbilitas yang akan mmpermudah saat pulang ke rumah nantinya. Sebelum meninggalkan rumah sakit, perlu untuk memastikan bahwa semua hal sudah siap bagi pasien dan aka nada cukup bantuan saat pasien pulang ke rumah. Setelah operasi, rasanlya nyaris mustahil untuk melakukan hal-hal yang paling sederhana sekalipun. Ada gerakan-gerakan tertentu yang mungkin sulit untuk dilakukan sendiri. 1.2 Rumusan Masalah

asi ?

1.3 Tujuan

an pedoman perawatan post operasi

medis maupun keperawatan untuk post operasi

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Operasi Ginekologi Operasi ginekologi adalah tindakan pembedahan pada wanita akibat adanya tumor yang berhubungan di alat reproduksi, baik itu berasal dari rahim/uterus, ovarium/indung telur maupun dari vulva, dan kelainan bawaan dari uterus seperti kelainan bentuk uterus. Secara umum dalam tindakan operasi tumor kandungan ada dua pilihan mengangkat tumor saja atau mengangkat tumor dan alat kandungan (uterus dan ovarium). Dengan semakin baiknya pengetahuan operasi ginekologi pada masa reproduksi, maka semakin meningkat pula upaya peduli masalah operasi onkologi. Keputusan untuk melakukan operasi tertentu diambil setelah dibuat diagnosis tentang penyakitnya dan tentang kondisi penderita, dan setelah dipertimbangkan jenis operasi yang paling tepat baginya. Pada sebagian besar operasi, tindakan dapat dilakukan setelah segala persiapan selesai, dan dipilih waktu yang paling menguntungkan; operasi demikian dinamakan operasi elektif. Keberhasilan operasi ginekologi tergantung pada evaluasi

menyeluruh pra operasi, persiapan sebelum operasi, kemampuan pembedah (operator) dan penguasaan teknik operasi, serta perawatan pasca operasi yang tepat.

2.2 Tujuan Perawatan Post Operasi Tujuan perawatan pasca operasi adalah pemulihan kesehatan fisiologi dan psikologi wanita kembali normal. Periode postoperatif meliputi waktu dari akhir prosedur pada ruang operasi sampai pasien melanjutkan rutinitas normal dan gaya hidupnya. Secara klasik, kelanjutan ini dibagi dalam tiga fase yang tumpang tindih pada status fungsional pasien. Aturan dan perhatian para ginekolog secara gradual berkembang sejalan dengan pergerakan pasien dari satu fase ke fase lainnya. Fase pertama, stabilisasi perioperatif, menggambarkan perhatian para ahli bedah terhadap permulaan fungsi fisiologi normal, utamanya sistem respirasi, kardiovaskuler, dan saraf. Pada pasien yang berumur lanjut, akan memiliki komplikasi yang lebih banyak, dan prosedur pembedahan yang lebih kompleks, serta periode waktu pemulihan yang lebih panjang. Periode ini meliputi pemulihan dari anesthesia dan stabilisasi homeostasis, dengan permulaan intake oral. Biasanya periode pemulihan 24-28 jam. Fase kedua, pemulihan postoperatif, biasanya berakhir 1-4 hari. fase ini dapat terjadi di rumah sakit dan di rumah. Selama masa ini, pasien akan mendapatkan diet teratur, ambulasi, dan perpindahan pengobatan nyeri dari parenteral ke oral. Sebagian besar komplikasi tradisional postoperasi bersifat sementara pada masa ini. Fase terakhir dikenal dengan istilah kembali ke normal, yang berlangsung pada 1-6 minggu terakhir. Perawatan selama masa ini muncul secara primer dalam keadaan rawat jalan. Selama fase ini, pasien secara gradual meningkatkan kekuatan dan beralih dari masa sakit ke aktivitas normal. 2.3 Pedoman Perawatan Post Operasi Setelah operasi selesai, penderita tidak boleh ditinggalkan sampai ia sadar. Harus dijaga supaya jalan napas tetap bebas. Periode postoperatif meliputi waktu dari akhir prosedur pada ruang operasi sampai pasien melanjutkan rutinitas normal dan gaya hidupnya. Penderita yang menjalani operasi kecuali operasi kecil, keluar dari kamar operasi dengan infus intravena yang terdiri atas larutan NaCl 0,9% atau glukosa 5% yang diberikan berganti-ganti menurut rencana tertentu. Di kamar operasi (atau sesudah keluar dari situ) ia, jika perlu, diberi pula transfusi darah. Pada waktu operasi penderita kehilangan sejumlah cairan, sehingga ia meninggalkan kamar operasi dengan defisit cairan. Oleh karena itu, biasanya pascaoperasi minum air dibatasi, sehingga perlu pengawasan keseimbangan antara cairan yang masuk dengan infus, dan cairan yang keluar. Perlu dijaga jangan sampai terjadi dehidrasi, tetapi sebaliknya juga jangan terjadi kelebihan dengan akibat edema paru-paru. Untuk diketahui, air yang dikeluarkan dari badan dihitung dalam 24 jam berupa air kencing dan cairan yang keluar dengan muntah harus ditambah dengan evaporasi dari kulit dan pernapasan. Dapat diperkirakan bahwa dalam 24 jam sedikitnya 3 liter cairan harus dimasukkan untuk mengganti cairan yang keluar.

Sebagai akibat anestesi, penderita pascaoperasi biasanya enek, kadang sampai muntah. Ia tidak boleh minum, sampai rasa enek hilang sama sekali; kemudian, ia boleh minum sedikit-sedikit, untuk lambat laun ditingkatkan. Dalam 24 sampai 48 jam pascaoperasi, hendaknya diberi makanan cair; sesudah itu, apalagi jika sudah keluar flatus, dapat diberi makanan lunak bergizi untuk lambat-laun menjadi makanan biasa. Pada pascaoperasi peristalik usus mengurang dan baru lambat laun pulih kembali. Pada hari kedua pascaoperasi biasanya usus bergerak lagi; dengan gejala mules, kadang-kadang disertai dengan perut kembung sedikit. Pengeluaran flatus dapat dibantu dengan pemberian dosis kecil prostigmin, dengan teropong angin dimasukkan ke dalam rektum, dan kadang-kadang perlu diberikan klisma kecil terdiri atas 150 cc. campuran minyak dan gliserin. Pemberian antibiotik pada pascaoperasi tergantung dari jenis operasi yang dilakukan. Misalnya, setelah kista ovarium kecil diangkat, tidak perlu diberi antibiotik; akan tetapi sesudah histerektomi total dengan pembukaan vagina, sebaiknya obat tersebut diberikan. Pasien dengan masalah kesehatan membutuhkan perawatan postoperatif dalam ICU untuk mendapatkan ventilasi jangka panjang dan monitoring sentral. Ketika pasien diserahterimakan kepada perawat harus disertai dengan laporan verbal mengenai kondisi pasien tersebut berupa kesimpulan operasi dan intruksi pasca operatif. Intruksi pasca operatif harus sesuai dengan elemen berikut: 2.3.1 Tanda Tanda Vital Evaluasi tekanan darah, nadi, dan laju pernapasan dilakukan setiap 15-30 menit sampai pasien stabil kemudian setiap jam setelah itu paling tidak untuk 4-6 jam. Beberapa perubahan signifikan harus dilaporkan sesegera mungkin. Pengukuran ini, termasuk temperatur oral, yang harus direkam 4 kali sehari untuk rangkaian sisa pasca operatif. Anjurkan pernapasan dalam setiap jam pada 12 jam pertama dan setiap 2-3 jam pada 12 jam berikutnya. Pemeriksaan spirometri dan pemeriksaan respirasi oleh terapis menjadi pilihan terbaik, utamanya pada pasien yang berumur tua, obesitas, atau sebaliknya pada pasien lainnya yang bersedia atau yang tidak bisa berjalan. 2. 3.2 Perawatan Luka Fokus penanganan luka adalah mempercepat penyembuhan luka dan meminimalkan komplikasi dan biaya perawatan. Fokus utama dalam penanganan luka adalah dengan evakuasi semua hematoma dan seroma dan mengobati infeksi yang menjadi penyebabnya. Perhatikan perdarahan yang terlalu banyak (inspeksi lapisan dinding abdomen atau perineal). Lakukan pemeriksaan hematokrit sehari setelah pembedahan mayor dan, jika perdarahan berlanjut, diindikasikan untuk pemeriksaan ulang. Luka abdomen harus diinspeksi setiap hari. Umumnya luka jahitan pada kulit dilepaskan 3-5 hari postoperasi dan digantikan dengan Steri-Strips.Idealnya, balutan luka diganti setiap hari dan diganti menggunakan bahan hidrasi yang baik. Pada luka yang nekrosis, digunakan balutan tipis untuk mengeringkan dan mengikat jaringan sekitarnya ke balutan dalam setiap penggantian balutan. Pembersihan yang sering harus dihindari karena hal tersebut menyebabkan jaringan vital terganggu dan memperlambat penyembuhan luka.

2.3.3 Penanganan Nyeri Pengontrolan nyeri dilakukan dengan menggunakan analgetik secara intravena atau intratrakea utamanya untuk pembedahan abdomen terbuka. Kombinasi anestesi spinal-epidural dapat memanfaatkan anestesi spinal. Dengan anestesi spinal continu, pasien yang menjalani pembedahan mayor dibawah level umbilikus akan mendapatkan analgetik postoperatif jangka panjang dan efektif. Kelanjutan dari pembedahan mayor, pemberian analgetik narkotik (contohnya: meperidin, 75-100 mg secara intramuscular setiap 4 jam, atau morfin, 10 mg intramuskuler setiap 4 jam) untuk mengontrol nyeri juga dibutuhkan. Ketika pasien mentoleransikan intake oral dengan baik, regimen obatnya harus diganti menjadi analgetik oral dan harus didukung oleh ambulasi. Dua kelas besar untuk terapi non-opioid adalah acetaminophen dan obat-obat anti inflamasi (NSAIDs). Secara umum, obat-obat ini ditoleransi secara baik dan mempunyai resiko rendah terhadap efek samping yang serius. Meskipun demikian, acetaminophen bersifat toksik untuk hati jika digunakan dalam dosis yang besar. Dosis acetaminophen yang lebih dari 4.000 mg/hari harus dihindari, khususnya jika kombinasi terapi obat opioid dan non-opioid oral digunakan. Jika diberikan secara preoperatif, NSAIDs menurunkan nyeri pasca operasi dan mengurangi jumlah kebutuhan opiate (Adachi, 2007; Akarsu, 2004; Chan, 1996; Mixter, 1998). Meskipun efek samping dari opiat berupa depresi saluran pernapasan, mual serta muntah. Akan tetapi terapi opiat merupakan pilihan utama untuk mengelola nyeri sedang sampai berat. Ketiga obat opiat yang biasanya diresepkan setelah pembedahan adalah morfin, fentanil, dan hydromorphin.

2.3.4. Posisi Tempat Tidur Pasien biasanya ditempatkan pada posisi miring untuk mengurangi inhalasi muntah atau mukus. Posisi lainnya yang diinginkan oleh ahli bedah harus dinyatakan dengan jelas, contohnya, posisi datar dengan kaki tempat tidur yang elevasi.

2.3.5. Selang Drainase Hubungkan bladder dengan kateter untuk sistem drainase berdasarkan gravitasi. Penulisan intruksi untuk drainase postoperatif lainnya, penggunaan kateter suksion, pemintaan tekanan negatif dan interval pengukuran volume drainase harus spesifik dan jelas.

2.3.6. Penggantian Cairan

Pemberian cairan secara oral atau intravena dibutuhkan. Untuk penentuan cara pemberian cairan pasien dibutuhkan, selalu ambil berdasarkan faktor-faktor jumlah seperti kehilangan cairan intraoperatif dan output urin, waktu pembedahan, penggantian cairan intraoperatif, dan jumlah cairan yang diterima pada waktu pemulihan. Meskipun setiap pasien dan jenis operasi berbeda, rata-rata pada pasien muda yang sehat mendapatkan penggantian cairan intraoperatif sebanyak 2400 mL sampai 3 liter cairan kristaloid dan glukosa, seperti Dekstrose 5% dalam setengah larutan garam normal selama 24 jam pertama. Laju hidrasi intravena harus dilakukan secara individu, seperti banyak pasien lainnya yang memerlukan volume yang kurang dan menyebabkan cairan overload pada laju cairan yang lebih cepat. Pada pasien dengan fungsi ginjal normal, penggantian cairan adekuat dapat dinilai pada output urin paling tidak sebesar 30 mL/jam.

2.3.7. Diet Tujuan utama pemberian makan setelah operasi adalah untuk meningkatkan fungsi imun dan mempercepat penyembuhan luka yang meminimalisir ketidakseimbangan metabolik. Dari penelitian random didapatkan bahwa pemberian makan harus sesuai dan bermanfaat. Untuk pembedahan minor, pemberian makanan dibutuhkan dan ditoleransi, ketika pasien sadar secara penuh. Ketidaksetujuan muncul berupa seberapa cepat kemajuan diet pasien setelah pembedahan major. Hal ini bersifat individual bergantung pada setiap pasien dan pada beberapa faktor. Satu cara kemungkinan yang dapat dilakukan pada pasien berupa isapan air pada hari pembedahan. Jangan berikan air es, karena dapat menurunkan motilitas usus secara signifikan. Berikan cairan encer pada hari pertama pasca operasi jika telah terdengar bunyi usus sampai udara usus keluar. Kemudian ganti makanan secara teratur. Waktu yang dibutuhkan untuk pengembangan diet secara lengkap bergantung pada prosedur pembedahannya, durasi anestesi, dan variasi individu pasien. Pada dua penelitian random didapatkan bahwa pasien tertentu dapat diberikan makan sesegera mungkin 1 hari setelah operasi pembedahan ginekologi intraabdomen. Kurangnya asupan protein-kalori yang besar pada pasien yang mengalami pembedahan dapat menyebabkan gangguan pada penyembuhan luka, penurunan fungsi jantung dan paru, perkembangan bakteri yang berlebih dalam traktus gastrointestinal, dan komplikasi lainnya yang menambah jumlah hari rawat inap dan morbiditas pasien (Elwyn, 1975; Kinney, 1986; Seidner, 2006). Jika substansial intake kalori terlambat diberikan dalam 7-10 hari, maka perlu pemberian makanan tambahan. Berikut ini adalah kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan setelah operasi.

2.4 Kebutuhan Nutrisi Setelah Operasi Karena tidak adanya kontraindikasi, pemberian nutrisi secara enteral lebih dipilih dibanding rute parenteral, khususnya jika terdapat komplikasi infeksi (Kudsk, 1992; Moore, 1992). Keuntungan lain dari nutrisi enteral adalah penurunan biaya penyembuhan (Nehra, 2002). Setelah operasi telah ditemukan efektif, dimulai sesegera mungkin setelah operasi. Makan segera setelah operasi telah menunjukkan

peningkatan penyembuhan luka, merangsang motilitas usus, menurunkan stasis usus, meningkatkan aliran darah usus, dan merangsang refleks sekresi hormon gastrointestinal yang dapat mempermudah kerja usus setelah operasi (Anderson, 2003; Braga, 2002; Correia, 2004; Lewis, 2001). Keputusan inisiasi makan sesegera mungkin dengan cairan atau makanan lunak telah diteliti secara prospektif (Jeffery, 1996). Pada pasien yang diberikan makanan lunak sebagai makanan pertama setelah operasi. Sesudah penderita sadar, pada pascaoperasi ia dapat menggerakkan lengan dan kakinya, dan tidur miring apabila hal itu tidak dihalangi oleh infus yang diberikan kepadanya. Tidak ada ketentuan yang pasti kapan ia bisa duduk, keluar dari tempat tidur, dan berjalan. Hal itu, tergantung dari jenis operasi, kondisi badannya, dan komplikasi-komplikasi yang mungkin timbul. Di Indonesia keperluan early ambulation tidak seberapa mendesak karena disini bahaya tromboflebitis pascaoperasi tidak besar. Pada umumnya pengangkatan jahitan pada laparatomi dilakukan pada hari ke-7 pascaoperasi untuk sebagian dan diselesaikan pada hari ke-10. Secara umum, untuk mempercepat proses penyembuhan dan pemulihan kondisi pasien pasca operasi, perlu kita perhatikan tips di bawah ini: Makan makanan bergizi, misalnya: nasi, lauk pauk, sayur, susu, buah. Konsumsi makanan (lauk-pauk) berprotein tinggi, seperti: daging, ayam, ikan, telor dan sejenisnya. Minum sedikitnya 8-10 gelas per hari. Usahakan cukup istirahat. Mobilisasi bertahap hingga dapat beraktivitas seperti biasa. Makin cepat makin bagus. Mandi seperti biasa, yakni 2 kali dalam sehari. Kontrol secara teratur untuk evaluasi luka operasi dan pemeriksaan kondisi tubuh. Minum obat sesuai anjuran dokter. 2.5 Komplokasi Post Operasi Ginekologi Berdasarkan Sistem 2.5.1. Sistem Urinaria Retensi urin merupakan masalah yang sering muncul setelah pembedahan ginekologi, dengan insidensi 7-80% bergantung pada prosedur pembedahan yang dilakukan (Stanton, 1979; Tammela, 1986). Overdistensi dapat menyebabkan kesulitan miksi jangka panjang dan kerusakan detrusor secara permanen (Mayo, 1973). Keita dan kawan-kawan (2005) secara prospektif mengevaluasi faktor resiko potensial dari retensi urin pasca operasi. Tiga faktor utama yang bersifat independen dan berhubungan dengan peningkatan resiko seperti umur yang lebih dari 50 tahun, pemakaian cairan intraoperatif yang lebih dari 750 mL, dan volume urin bladder yang lebih dari 270 mL yang diukur sewaktu memasuki ruang pemulihan. Diantara

prosedur ginekologi, resiko lebih besar setelah laparatomi dilakukan jika dibandingkan dengan prosedur laparaskopi (Bodker, 2003). Tanda klinis dari retensi urin berupa nyeri, takikardi, urgensi, dan pembesaran bladder yang didapatkan dengan palpasi atau perkusi. Tanda klinis ini ditemukan bersamaan dengan evaluasi volume urin disamping penggunaan sonography bladder (Bodker, 2003). Saat retensi teridentifikasi, kateterisasi dan drainase bladder harus dilakukan. Lau dan Lam (2004) memperlihatkan bahwa kateterisasi merupakan cara terbaik dalam pengelolaan retensi urin pasca operasi. Dibanding dengan dekompressi bladder sepanjang malam dengan kateter indwelling, episode kateterisasi in dan out sama-sama efektif. Lebih jauh, morbiditas infeksi antara keduanya tidak berbeda secara signifikan.

2.5.2. Sistem Respirasi Komplikasi paru yang luas menyebabkan sulitnya memperkirakan insidensinya secara akurat, tetapi laporan memperkirakan kisaran antara 9-69% (Calligaro, 1993; Hall, 1991; Qaseem, 2006). Komplikasi paru yang sering ditemui oleh para ginekolog adalah atelectasis dan pneumonia. Lima faktor resiko signifikan untuk komplikasi paru yang muncul setelah pembedahan abdomen adalah umur yang lebih dari 60 tahun, IMT lebih dari 27, riwayat kanker, merokok dalam waktu 8 minggu terakhir, dan insisi pembedahan yang dilakukan pada abdomen bagian atas (Brooks-Brunn, 1997).

a. Atelektasis Penyakit ini ditandai dengan penurunan suara pernapasan atau bunyi tumpul pada saat perkusi pada bagian paru yang terkena. Sebagai tambahan, densitas linear pada lapangan paru bagian bawah yang ditemukan dalam gambaran radiografi dada (Hall, 1991). Secara klasik, atelektasis dihubungkan dengan demam derajat rendah. Meskipun demikian, Engoren dan kawan-kawan (1995) menilai 100 pasien postoperasi dewasa yang didiagnosis radilogi atelektasis tidak mengalami demam, sehingga kesimpulan penelitian ini bahwa tidak ada hubungan antara atelektasis dan demam postoperasi. Meskipun, demam sering terjadi setelah operasi abdominal, kondisi ini biasanya bersifat sementara, tergantung kondisi pasien, dan jarang memperlambat penyembuhan pasien (Platell, 1997). Pada kasus berat, atelektasis dapat dicegah dengan beberapa hal menggunakan terapi pengembangan paru (modalitas ekspansi paru).

b. Pneumonia Penyakit ini merupakan infeksi nosokomial yang paling sering ditemukan di Amerika Serikat dan mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi (tablan, 2004). Insidensi pada pasien pembedahan beragam dengan kisaran 1-19 % tergantung pada prosedur pembedahan dan peninjauan rumah sakit (Kozlow, 2003). Untuk infeksi ini, sebagian besar bakteri patogen secara khas bertanggung

jawab adalah bakteri aerob gram-negatif yang berbentuk basil, seperti spesies Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, dan Acinetobacter. Keluhan pada pneumonia mulai tampak 2-3 hari pascaoperasi. (ilmu kandungan) Secara klinik, pneumonia didiagnosis jika radiografi dada memperlihatkan sebuah gambaran infiltrat baru atau progresif dan jika dua atau tiga gejala klinis (seperti leukositosis, demam yang lebih dari 38C, atau sekresi purulen) ditemukan. Pencegahan dapat dilakukan dengan menggunakan endotrakeal oral atau orogastrik tube yang ditempatkan pada selang hidung; elevasi kepala terhadap tempat tidur sebesar 3045, utamanya selama makan; aspirasi sekresi subglotis pada kasus ini tidak dapat dihilangkan (American Thoracic Society, 2005).

2.5.3. Sistem Gatrointestinal Fungsi gastrointestinal yang normal memerlukan motilitas yang sama di sepanjang sistem, mukosa untuk transportasi bahan makanan, dan refleks pengosongan (Nuley, 2004). Meskipun demikian, setelah pembedahan abdominal, disfungsi dari aktivitas saraf usus secara khas mengacaukan tenaga normal. Aktivitas pertama terjadi pada usus yang tercatat biasanya dalam 24 jam. Aktivitas kontraksi usus halus terhambat dalam 24 jam setelah pembedahan, tetapi fungsi normalnya terlambat dalam 3-4 hari (Condon, 1986; Dauchel, 1976). Motilitas kolon yang ritmik dimulai paling akhir, kira-kira 4 hari setelah pembedahan intra-abdomen (Huge, 2000). Pengeluaran flatus merupakan tanda khas dari kembalinya fungsi ini, dan tinja biasanya telah dapat dikeluarkan dalam 1-2 hari. Ileus yang terjadi setelah operasi merupakan kerusakan sementara dari aktivitas gastrointestinal yang mengakibatkan distensi abdomen, bunyi usus hipoaktif, mual dan muntah yang menyebabkan akumulasi udara dan air di saluran gastrointestinal, dan pengeluaran flatus serta terlambat (Livingston, 1990). Awal mula terjadinya ileus adalah multifaktorial. Pertama, manipulasi usus selama pembedahan menyebabkan munculnya beberapa faktor yang berkontribusi terhadap munculnya ileus: (1) faktor neurogenik yang dihubungkan dengan overaktivitas simpatis, (2) faktor hormonal yang menyebabkan pengeluaran hypothalamic corticotrophin-releasing factor (CRF), yang memainkan peran kunci dalam respon stress, dan (3) faktor inflamasi (Tache, 2001). Sebagai tambahan, penggunaan opioid perioperatif juga menjadi salah satu etiologi dari ileus. Kemudian, dalam pemilihan obat ini, dokter harus menyeimbangkan manfaat analgesik yang dihasilkan oleh ikatan reseptor opioid sentral melawan disfungsi gastrointestinal yang dihasilkan dari reseptor perifer yang menghasilkan efek ikatan (Holzer, 2004). Tidak terdapat penanganan tunggal untuk pengelolaan ileus postoperasi. Pemberian elektrolit dan cairan intravena untuk memperbaiki kembali keadaan euvolemik yang merupakan terapi tradisional. Biasanya, dekompresi dengan menggunakan NGT rutin untuk mengistirahatkan usus telah ditantang oleh beragam prospektif, berupa percobaan random. Dalam sebuah penelitian meta-analisis terbaru pada 4200 pasien ditemukan bahwa dekompresi NGT rutin tidak berhasil dan tidak bermanfaat terhadap penggunaan selektif pada pasien simptomatis. Secara spesifik, pasien tanpa NGT fungsi ususnya kembali

normal lebih cepat dan menurunkan resiko infeksi luka dan hernia ventral (Nelson, 2005). Sebagai tambahan, perasaan discomfort, mual, dan lama rawat inap akan berkurang. Untuk alasan ini, pemasangan NGT direkomendasikan hanya untuk mengurangi gejala kembung pada abdomen dan muntah yang rekurensi (Nunley, 2004).

2.5.4. Sistem Sirkulasi Disfungsi sirkulasi menyebabkan penurunan oksigenasi jaringan dan menghasilkan kegagalan multiorgan jika tidak dikenali dan diterapi dengan segera. Pada kasus ginekologi, penyebab utama syok adalah perdarahan yang berakhir ke hipovolemia. Meskipun syok kardiogenik, sepsis dan neurogenik dapat juga dipertimbangkan selama observasi. Penilaian tehadap perfusi oksigen dan status hemodinamik cukup penting dalam masa postoperasi awal. Sayangnya, tanda-tanda berupa tekanan darah dan denyut jantung saat istirahat tidak berdampak sepanjang kompensasi awal. Contohnya, setelah kehilangan darah yang lebih dari 25-30% dari volume tubuh total, hipotensi biasanya muncul terlambat dibanding tanda-tanda disfungsi organ lainnya yang berupa oliguri, dan perubahan status mental. Penanganan shock hipovolemia oleh karena perdarahan yang tidak berhenti adalah dengan penggantian volume intravaskuler. Pada awalnya, suplai oksigen disajikan untuk menghindari desaturasi jaringan (Wilson, 2003). Secara simultan, infus segera dengan cairan kristaloid isotonik melalui intravena dapat mempercepat penggantian cairan. Jika terdapat hipotensi berat, pemberian koloid dan tranfusi sel darah merah dibutuhkan. Jika terdapat hipovolemia, penggunaan vasopressor tidak direkomendasikan untuk digunakan kecuali untuk bantuan yang bersifat sementara dengan kondisi yang tidak stabil ketika resusitasi cairan dipertimbangkan. Selama penanganan, resusitasi dimonitoring secara berkelanjutan sepanjang tekanan vena sentral, output urin, dan status pasien secara umum. Akhirnya, jika perdarahan terus-menerus terjadi, campur tangan operatif dapat menurunkan resiko untuk melanjutkan terapi konservatif. Intraoperatif, isolasi dan pengontrolan perdarahan harus dilakukan secara sistematik. Setelah pasien stabil, penting dilakukan pemeriksaan abnormalitas elektrolit, ketidakseimbangan koagulasi, dan iskemia organ.

2.5.5. Demam Sistemik Pasca Operasi Salah satu masalah yang sering ditemukan setelah operasi adalah demam. Meskipun demam merupakan sebuah gambaran proses infeksi, sebagian besar merupakan penyakit self-limited (Garibaldi, 1985). Meskipun demikian, untuk penyakit ini dengan gejala persisten, pendekatan sistemik dalam mengevaluasi pasien akan menolong membedakan inflamasi dari etiologi infeksi. Demam merupakan sebuah respon inflamasi yang dilakukan oleh mediator, dikenal dengan pyrogen, yang berasal dari dari endogen atau eksogen. Pyrogen bersirkulasi menyebabkan pengeluaran prostaglandin (utamanya PGE2), yang mengubah set point pada termoregulator. Reaksi infalamasi ini menghasilkan sejumlah sitokin (Interleukin-1, interleukin-6, dan TNF) yang ditemukan dalam sirkulasi

setelah beragam kejadian seperti pembedahan, kanker, trauma, dan infeksi (Wortel, 1993). Kemudian, differential diagnosis terhadap demam yang terjadi setelah operasi termasuk penyebab non-infeksi dan infeksi. Demam setelah operasi berkembang lebih dari 2 hari setelah pembedahan yang biasanya disebabkan oleh infeksi. Penyebab tersering berada dalam kategori besar yakni angin, air, berjalan, luka, dan obat yang meragukan. Pertama, pneumonia harus dipertimbangkan, dan wanita berada pada resiko paling besar yang secara mekanik mendapatkan ventilasi lebih banyak karena periode rawat inap yang lebih panjang, memakai NGT, atau pernah mendapatkan COPD sebelumnya. Sebagai tambahan, pemakaian kateter juga akan meningkatkan resiko infeksi pada traktus urinarius. Secara logis, penggunaan lama kateter berhubungan secara postif dengan resiko infeksi ini. Demam yang berhubungan dengan infeksi pada area pembedahan biasanya berkembang pada hari ke 5-7 setelah pembedahan. Infeksi ini menyerang lapisan dinding pelvis dan abdomen. Akhirnya obat-obatan yang sering digunakan setelah operasi seperti heparin, antibiotik beta-laktam, dan sulfonamide dapat menyebabkan kemerahan, eosinofilia, atau demam karena obat. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk mendeteksi demam adalah pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, kultur darah, dan radiografi dada yang telah dievaluasi pada beberapa penelitian dan sangat efisien serta efektif (Badillo, 2002; de la Torre, 2003; Schey, 2005). Kemudian, pemeriksaan utama pada wanita dengan demam setelah operasi dilakukan sendiri dan dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis.

2.5.6. Dehisensi Luka Meskipun perkembangan klinis telah maju di bidang anesthesia, antibiotik preoperatif, teknologi jahitan bedah, dan perawatan postoperatif, insidensi gangguan luka tidak banyak berubah (Cliby, 2002). Dehisensi menyebabkan pasien harus dirawat inap dalam jangka waktu yang lama dan membutuhkan perawatan intensif. Kemudian, seorang ahli bedah memiliki ilmu pengetahuan terhadap faktor resiko dan pilihan penanganan untuk komplikasi ini. Luka superficial biasanya muncul pada hari ke 3-5 setelah pembedahan, dengan luka yang eritema dan drainase onset baru. Satu cara mengidentifikasi adalah dengan isolasi selulitis luka dengan terapi antibiotik sistemik. Meskipun demikian, keterlambatan dalam evakuasi cairan eksudat luka yang inflamasi dari lapisan subkutan yang tidak memiliki ruang dapat melemahkan fascia dan meningkatkan resiko dehisensi fascia. Umumnya dehisensi terjadi dalam 10 hari setelah operasi. Gangguan superficial pada lapisan subkutaneus dan kebocoran ekstensif berupa cairan purulen peritoneal diindikasikan untuk didrainase. Irigasi digunakan untuk menutupi luka dan memindahkan bakteri tanpa merusak komponen penyembuh luka. Povidone-iodne, balutan iodophor, cairan hydrogen peroksida, dan cairan Daiken bersifat sitotoksik terhadap sel darah putih dan tidak boleh digunakan pada perawatan luka (Bennett, 2001; Otoole, 1996).

2.4.7. Tromboflebitis Komplikasi ini jarang ditemukan pada penderita pascaoperasi di Indonesia. Penyakit ini terdapat pada vena yang bersangkutan sebagai radang, dan sebagai trombosit tanpa tanda radang. Pada tromboflebitis dalam minggu kedua pascaoperasi suhu naik, nadi mencepat, timbul nyeri spontan pada perabaan vena yang bersangkutan, dan tampak edema pada kaki, terutama jika vena femoralis yang terkena. Trombus disini melekat kuat pada dinding pembuluh darah, dan tidak banyak bahaya akan emboli paru-paru. Pada trombosis vena tidak terdapat banyak gejala, mungkin suhu agak naik; thrombus tidak melekat erat pada dinding pembuluh darah, dan bahaya emboli paru-paru lebih besar. Walaupun komplikasi ini jarang terjadi di Indonesia, ada juga manfaatnya untuk menyelenggarakan pencegahan dengan menyuruh penderita selama masih berbaring di tempat tidur menggerakkan kakinya secara aktif, ditambah dengan gerakan lain yang diselenggarakan dengan bantuan seorang perawat.

2.6 Perubahan Pasca Operasi Sesudah operasi, timbul beberapa perubahan pada badan. Ini perlu diketahui. Perubahan perubahan itu ialah: 1. Kehilangan darah dan air ynag menyebabkan berkurangnya volume cairan dalam sirkulasi. Karena hemokonsentrasi dan vasokonstriksi tekanan darh dipertahankan, dan dengan mengalirnya cairan daari ruang ekstraselular, volume kemudian pulih kembali. Akan tetapi jika misalnya terjadi perdarahan terlalu banyak, tensi menurun dan nadi menjadi cepat, dan bahaya syok mengancam. 2. Dieuresis pascaoperasi agak berkurang, tetapi beberapa hari kemudian menjadi normal kembali. Pengukuran air kencing yang dikeluarkan sangat perlu oleh karena oliguri merupakan tanda syok mengancam. 3. Perlu diketahui bahwa sebagai akibat operasi terjadi penghancuran protein jaringan; bahwa ekskresi kalsium meningkat, sedang pengeluaran natrium dan klorida berkurang.

2.7 Penanganan Pasca Operasi Setelah operasi selesai, penderita tidak boleh ditinggalkan sampai ia sadar harus dijaga supaya jalan pernapasan tetap bebas. Pada umunya, setelah dioperasi, penderita ditempatkan dalam ruang pulih(recovery room) dengan penjagaan terus-menerus sampai ia sadar. Selama beberapa hari sampai dianggap tiidak perlu lagi, suhu, nadi, tensi, dan dieresis harus diawasi terus-menerus. Sesudah penderita sadar, biasanya ia mengeluh kesakitan. Rasa sakit ini dalam beberapa hari berangsur kurang.

Pada hari opersai dan esok harinya ia biasnya memerlukan obat tahan nyeri, seperti petidin; kemudian, biasanya dapat diberikan analgetikum yang lebih ringan. Penderita yang mengalami operasi - kecuali operasi kecil- keluar dari kamar operasi dengan infuse intravena yang terdiri atas larutan NaCl 0,9%, atau glukosa 5%, yang diberikan berganti ganti menurut rencana tertentu. Di kamar operasi(atausesudah keluar dari situ)ia, jika perlu, diberi transfuse darah. Pada waktu operasi penderita kehilangan sejumlah cairan, sehingga ia meninggalkan kamar operasi dengan defisit cairan. Maka, khususnya apabila pada pascaoperasi minum air perlu dibatasi, perlulah diawasi benar keseimbangan antara cairan yang masuk dengan infus, dan cairan yang keluar. Perlu dijaga jangan sampai terjadi dehidrasi, tetapi sebaliknya juga jangan juga jangan terjadi kelebihan dengan akibat edema paru paru. Untuk diketahui, air yang dikeluarkan dari badan dalam 24 jam, air kencing dan cairan yang keluar dengan muntah harus ditambah dengan evaporasi dari kulit dan pernapasan. Dapat diperkirakan bahwa dalam 24 jam sedikit-dikitnya 3 liter cairan harus dimasukkan untuk mengganti yang keluar. Sebagai akibat anestesi, penderita pascaoperasi biasanya enek, kadang sampai muntah. Ia tidak boleh minum, sampai rasa enek hilang sama sekali, kemudian ia boleh minum sedikit-sedikit, untuk lambat laun ditingkatkan. Dalam 24 jam sampai 48 jam pascaoperasi, henfaknya diberi makanan cairan, sesudah itu apabila jika sudah keluar flaktus, dapat diberi makanan lunak yang bergizi ubtuk lambat-laun menjadi makanan biasa. Pada pascaoperasi peristaltik usus mengurang dan baru lambat laun pulih kembali. Pada hari kedua pascaoperasi biasanya usus bergerak lagi. Dengan gejala mules, kadang kadang disertai dengan perut kemubung sedikit. Pengeluaran flatus dapat dibantu dengan pemberian dosis kecil prostigmin, dengan teropong angin dimasukkan kedalam rectum, dan kadang kadang perlu diberikan klisma kecil terdiri atas 150cc. campuran minyak dan gliserin. Pemberian antibiotika pada pascaoperasi tergantung dari jenis operasi yang dilakukan. Misalnya, setelah kista ovarium diangkat, tidak perlu diberi antibiotika, akan tetapi, sesudah histeroktomi total dengan pembukaan vagina, sebaiknya obat tersebut diberikan. Setelah penderita sadar, pada pascaoperasi ia dapat menggerakkan lengan dan kakinya, tidur miring apabila hal itu tidak dihalangi oleh infus yang diberikan kepadanya. Tidak ada ketentuan yang pasti kapan ia bisa duduk, keluar dari tempat tidur, dan berjalan. Hal itu tergantung dari jenis operasi, kondisi badannya dan komplikasi- komplikasi yang mungkin timbul. Di Indonesia keperluan early ambulation tidak seberapa mendesak karena disini bahaya tromboflebitis pascaoperasi tidak besar. Pada umumnya pengangkatan jahitan pada laparotomi dilakukan pada hari ke 7 pascaoperasi untuk sebagian dan diselesaikan pada hari ke 10. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

1. Tujuan perawatan pasca operasi adalah pemulihan kesehatan fisiologi dan psikologi wanita kembali normal 2. Periode postoperatif meliputi waktu dari akhir prosedur pada ruang operasi sampai pasien melanjutkan rutinitas normal dan gaya hidupnya 3. Periode postoperatif meliputi waktu dari akhir prosedur pada ruang operasi sampai pasien melanjutkan rutinitas normal dan gaya hidupnya 4. Pedoman perawatan pasca operatif harus sesuai dengan elemen elemen seperti, tanda tanda vital,perawatan lukan, penanganan nyeri, posisi tempat tidur, selang drainase, penggantian cairan, diet 5. Pemberian nutrisi pada pasien post operasi dapat diberikan sesegera setelah operasi(bila keadaan memungkinkan) 6. Komplikasi pasca operasi ginekologi berdasarkan system meliputi system urinaria, system respirasi, system sirkulasi,dan system gastrointestinal. 7. Setelah operasi akan terjadi perubahan perubahan seperti : Kehilangan darah dan air, Dieuresis pascaoperasi agak berkurang. Perlu diketahui bahwa sebagai akibat operasi terjadi penghancuran protein jaringan; bahwa ekskresi kalsium meningkat, sedang pengeluaran natrium dan klorida berkurang.

3.2 Saran Pada pasien post operasi sebaiknya pemberian nutrisi sesegera setelah operasi lebih diutamakan karena telah dibuktikan memiliki banyak keuntungan untuk mempercepat proses penyembuhan.

DAFTAR PUSTAKA 1. 2008 ilmu kandungan. Jakarta:yayasan bina pustaka sarwono prawihardjo 2. Uliyah musrifatul. 2008, Ketrampilan Dasar Praktek Klinik untuk kebidanan.Jakarta: salemba medika 3. G-Mundy, Chrissie. 2005, Pemulihan Pascaoperasi Caesar (Hal: 32), Jakarta : Erlangga 4. C. Rothrock, Jane. 1999, Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif (Hal: 543), Jakarta: EGC 5. Cameron, John L. 1997, Terapi Bedah Mutakhir (Hal: 576), Jakarta: Binarupa Aksara 6. http://cakmoki86.wordpress.com/2007/08/11/makan-bergizi-pasca-operasi/ 7. http://www.kebidanan.net/ginekologi/penatalaksanaan-kelainan-sistem-reproduksi/

8. http://minakomoon-minakoflow.blogspot.com/2010/04/perawatan-pasca-operasi-elektif.html 9. http://yenibeth.wordpress.com/2008/07/01/100/ 10. http://www.mer-c.org/penyakit-kulit/246-nyeri-perut-kanan-bawah-pasca-operasi-usus-buntunormalkah.html 11. http://regional.kompas.com/read/2010/10/12/20164562/Pasca-operasi..Firman.Diawasi.Ketat 12. http://www.detiknews.com/read/2010/02/21/121342/1303711/10/pasca-operasi-kepala-toriqmasih-dipasangi-selang 13. http://belajar-mri.blogspot.com/2010/02/setelah-operasi-hemifacial-spasm.html 14. http://spesialisbedah.com/2008/11/pentingnya-bergerak-pasca-operasi/

Das könnte Ihnen auch gefallen