Sie sind auf Seite 1von 1

17

Aditya Pradana Putra/Republika

REPUBLIKA

SELASA, 24 JULI 2012

Survei Politik dan Dua Efeknya


Oleh

Harun Husein

Kampanye satu putaran di duga dilawan dengan underdog effect.

urvei adalah pekerjaan aka demis. Mestinya dia netral dan mencerahkan. Tapi, ada dua efek survei yang

--sengaja atau tidak sengaja-- kerap tak terhindarkan. Keduanya adalah bandwagon effect dan underdog effect. Dan, ini pun terjadi dalam pemilukada DKI Jakarta, terutama ketika salah satu pasangan calon dan tim surveinya yang menjadi konsultan politiknya, mengampanyekan me nang satu putaran. Dalam papernya Controlling Pre-Election Poll and Quick

Count in Contemporary Indonesia, Agus Trihartono memaparkan, bandwagon effect merupakan se buah kekuatan di mana survei diandaikan bisa memengaruhi pe milih. Maksudnya, calon pemilih akan mengubah preferensi pilihan nya, setelah terekspose hasil survei pra pemilu/pemilukada, dengan mendukung yang leading dalam survei itu.

Pemilih mengambang (undeci ded voter) bisa jadi akan tergiring untuk mendukung kandidat yang menang [dalam survei itu], papar Agus Trihartono, mengutip Young. Adapun underdog effect, adalah sebuah kekuatan yang berlawanan dengan bandwagon effect. Under dog effect terjadi ketika orang jus tru memilih kandidat atau partai kalah, yang menurut survei bakal kalah. Kedua efek ini --bandwagon dan underdog-- berlangsung secara simultan. Tapi, ada tendensi saling meniadakan. Lantas, bagaimana dengan kasus pemilukada DKI Jakarta? Kampanye satu putaran oleh salah satu kubu, ditengarai ada indikasi hendak menggulirkan bola salju bandwagon effect itu. Kebetulan, kubu Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara), dalam rangkaian sur vei, selalu berada di atas angin, dengan rata-rata raihan di atas 40 persen. Bahkan ada yang mem berinya 49,6 persen. Dalam bahasa pakar komuni kasi politik UI, Effendi Ghazali, dengan raihan sebesar itu, tinggal didorong sedikit lagi bisa untuk meraih suara mayoritas 50 persen plus satu, dan menang satu putaran. Masih tersedia ceruk cukup besar yang bisa diraup lewat bandwagon effect, yaitu pemilih bimbang (undecided voter) yang menurut sejumlah survei, jumlahnya masih sekitar 30-an persen. Tapi, pada saat itulah, underdog

effect diduga justru bekerja. Kam panye menang satu putaran men dapat perlawanan dari kalangan, terutama yang masih undecided. Dan, menurut sejumlah analisis, kebanyakan undecided voters adalah kalangan menengah yang rasional. Alih-alih termobilisasi, atau termakan dalih satu putaran menghemat APBD lebih dari Rp 100 miliar, mereka justru menangkap bahasa menang satu putaran itu sebagai sebuah arogansi. Salah seorang yang menganut pandangan ini adalah peneliti se nior Lembaga Survei Indonesia (LSI), Burhanuddin Muhtadi. Dia menduga, kampanye menang satu putaran itu, menggerakkan un decided voters untuk menghukum Foke-Nara, dengan ngeblok ke pa sangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok), pada 10 hari terakhir menjelang pencoblosan. Bahkan, pendukung kandidat lain, diduga juga tersulut oleh kampanye itu, dan bergerak ke arah JokowiAhok, karena melihat pasangan inilah yang paling mungkin melawan FokeNara. Sebab, sebagian besar survei menempatkan pasangan ini di urutan kedua. Pasangan Jokowi-Ahok yang paling mungkin masuk putaran kedua, katanya, seperti dikutip sebuah media online. Kampanye menang satu putaran, pada Pemilu Presiden 2009 lalu, juga digunakan oleh SBY. Entah mengapa pada SBY berhasil, sedangkan pada Foke gagal. harun husein

Ada Indikasi Kegagalan Menggiring

BANDWAGON EFFECT
P
akar komunikasi politik UI, Effendi Ghazali, menilai masih sulit menyimpulkan apa penyebab melesetnya hasil survei pra pemilukada DKI Jakarta dengan hasil hitung cepat (quick count dan penghitungan manual. Tapi, dia mengaku agak heran lembagalembaga survei arus utama tak mampu mengendus kecenderungan itu perubahan itu, padahal dua lembaga yang melakukan telesurvei bisa mendeteksinya. Dia melihat ada indikasi kegagalan penciptaan bandwagon effect. Bagaimana detailnya? Berikut wawancara wartawan Republika, Harun Husein, dengan Effendi Ghazali: Tetapi, pada bagian lain, orang-orang dari komunikasi politik mengatakan, kalau H-10 atau H-7 Anda tidak bisa mengendus secara instingtif bahwa ada tren berpindahan ke sa lah satu kandidat, agak masalah juga Anda sebenarnya. Kan perpindahannya dalam jumlah besar itu. Apalagi, sekitar H-10 ada telesurvei dari Fajdroel Rachman dan kawan-kawan SSSG (Soegeng Sarjadi School of Government), juga, telesurvei MNC-Prisma [mampu mengen dusnya]. Dengan metodologi yang sederhana, dengan responden 450 orang, telesurvei Fad jroel Rachman menemukan sudah terjadi overlapping pada H-10. Sudah nggak bisa dibedakan siapa yang bakal menang, Jokowi atau Foke, karena sudah masuk area mar gin of error 4,8 persen. Walaupun, menurut survei Fadjroel Rachman, ada 32 persen yang masih undecided. Pada saat yang sama ada JSI (Jaringan Suara Indonesia) juga launching hasil survei di Hotel Mu lia, dan kalau nggak salah mereka menga takan Foke akan me nang dengan 49,6 persen. Dari sisi metodo logi yang tatap muka mestinya lebih me nang dibanding tele survei... Mestinya begitu. Tapi kan persoalannya sering kali orang taken for granted. Padahal, Lembaga-lembaga survei ternama mela kukan kesalahan prediksi dalam pemilukada DKI. Ada apa sebenarnya dengan lembaga sur vei di Indonesia? Yang pertama sebenarnya masalah klasik di Indonesia, yaitu lembaga survei sering ti dak ingin menyatakan dengan jujur kapan mereka sedang menjadi konsultan siapa. Jadi, saya berharap masalah klasik ini teratasi. Kalau ada lembaga survei sekaligus sedang menjadi konsultan siapa, sebutin saja. Nanti kan orang akan membandingkan dengan hasil survei yang lain. Siapa yang paling akurat, itu yang lebih dipercaya. Yang kedua, dalam pemilukada DKI kemarin, terjadi hal menarik, di mana lem baga-lembaga survei besar, H-10 rata-rata berhenti melakukan survei. Dan, kemudian hasilnya agak jauh. Tapi, mengapa hasilnya bisa sangat jauh dengan hasil quick count, bah kan sampai menjebol margin of error? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, ter jadi anomali dalam arti massa mengambang atau undecided voter tibatiba berpindah secara besar kepada salah satu kandidat. Dan, itu tidak terdeteksi pada H-10 atau H-7. Di AS juga pernah terjadi. Anomali yang ter besar itu tahun 1988 dan 1992. Ketika itu, ada juga survei-survei yang meleset di AS. mungkin Jakarta ini seperti "phenomenon" atau "momentum" dalam komunikasi politik. Itu bisa jadi ya. Saya sedang berusaha nih mengajak teman-teman di komunikasi politik untuk melakukan survei khusus tentang itu. Yaitu, misalnya orang kesal terhadap surveisurvei, sehingga pada waktu disurvei, kalau tidak enggan, not tell the truth. Karena mereka kesal 'Ah dibayar-bayar aja nih'. Karena, sering tiba-tiba muncul nama oran sebagai calon presiden, dan angkanya sudah tinggi. Apalagi, seringkali survei-survei men ceritakan siapa sudah unggul lebih jauh dari siapa. Pilihan dia [responden] selama ini di bikin underdog. Jokowi kan sering dibikin underdog: 16 persen, 17 persen. Nah, pada bagian tertentu, publik berbohong dalam konteks membalas: Gantian gua yang tipu lu sekarang. Selama ini ente tipu-tipu ane. Tapi apa iya publik sebegitu massifnya tel ling lie kepada pollster? Kita masih coba cari tahu. Tapi, maksud saya begini. Sekarang, kalau mau jujur, yang terjadi di Jakarta ini kan momentum. Momentum itu induktif. Kejadian dulu, baru kita coba sambung-sambung puzzle-nya. Karena, ini kan mengejutkan: petahana, semua survei bilang ini [akan menang], dana kampanye besar, iklan-iklan banyak, sementara orang lihat Jokowi saja bilang nggak punya strategi, Gerindra bergerak sendiri, PDIP bergerak sendiri, kok, tiba-tiba seperti ini (hasilnya berbalik Red). Kalau Anda menanyakan apa betul orang membohongi survei? Kan sama juga, ada apa yaa kok tiba-tiba pada H-7 orang tiba-tiba berpindah ke Jokowi. Apa yang luar biasa yang dilakukan Jokowi? Nggak ada kan. Kecuali ada momentum luar biasa ya... Betul. Nah, momentum ini barangkali sebenarnya adalah momentum-momentum yang sudah ada di perasaan orang, tapi pada hari itu, seakan-akan mendapat percepatan. Itulah yang kami sebut sebagai hystorical juncture: saat di dalam sejarah di mana orang tiba-tiba bergerak ke arah yang sama. Tapi, itu sebetulnya bisa dideteksi, atau harus bisa diendus. Apalagi ini Jakarta. Mestinya yang begitu-begitu itu bisa terbaca dengan baik. Artinya tidak ujug-ujug... Ya, betul. Tapi,lembaga survei arus uta ma kita tidak mampu mengendus itu. Se mentara, telesurvei bisa. Sebenarnya, kami di komunikasi politik UI punya survei kecil-ke cilan, tapi kami tidak pernah mengumumkan. Hanya untuk kami-kami saja. Dengan 450 res ponden, dengan margin error 4,8, pada H-1 kita lihat Jokowi sudah menang dibandingkan Foke. Waktu ditanya orangorang Jokowi, Bagaimana Pak Effendi, hasil survei terakhir? Saya cuma mengatakan, Sela mat, Jokowi. Tapi, saya tidak dalam posisi melayani klien mana pun, karena tidak kami umumkan. Ada-tidak persoalan etika yang tercederai oleh pollster di balik kesalahan massif itu? Kalau sampai H-10, ka lau mereka rata-rata sama [hasilnya], mungkin saya sulit menyatakan persoalan etika. Tapi, kalau H-4 Anda melesetnya begitu jauh, ke mungkinan itu bisa diduga untuk menciptakan bandwa
Amin Madani/Republika

gon effect. Artinya, pengen mengajak masya rakat 'Ngapain pilih yang kalah? Pilih yang menang aja, supaya suara Anda tidak siasia'. Di Indonesia ada tendensi itu? O, banyak. Kan survei ada dua. Ketika Anda sedang jadi konsultan, untuk internal, Anda harus menceritakan yang jujur. Kalau Anda tidak menceritakan yang jujur, tapi ABS, bahaya buat strategi kampanye tim sukses. Anda bilang tinggi, ternyata rendah. Anda bilang rendah, orang lemes juga. Tapi, tetap tell the truth inside. Tetapi, ke eksternal, kadang-kadang dengan kesepakatan bersama klien, itu bisa dilebih-lebihkan sedikit kalau mereka jadi konsultan. Di Indonesia, survei itu sering dijadikan alat untuk mendapatkan tiket, dari partai politik misalnya. Kalau mau dapat tiket, pakai survei tertentu sehingga tiba-tiba dia besar [elektabilitasnya]. Dia dapat tiket, lalu [pollster] jadi konsultannya langsung saat maju. Satu paket itu. Nggak masalah sebenarnya kalau Anda mengatakan sedang menjadi konsultan sia pa. Ketimbang Anda, misalnya, langsung saja mengumumkan H-4 untuk melakukan bandwagon demi satu putaran, tapi hasilnya kemudian jauh sekali berbeda. Ada indikasi kegagalan engineering untuk menciptakan bandwagon effect dalam survei pemilukada DKI? Aa... ii... Aaada ya. Ada indikasi ke gagalan seperti itu. Karena, keyakinan bahwa survei-survei besar itu H-10 dan H-7 itu mengumumkan hasil-hasil yang besar, sehingga tinggal didorong sedikit saja, sampai. Kalau hasil-hasil survei se belumnya, 33 persen, misalnya, orang nggak berani mendorong bandwagon effect. Ah, 33 persen, jauh banget untuk ke satu putaran. Tapi, karena yang lain itu 43 persen, 44 persen, segala macam, lebih mungkin untuk didorong ke bandwagon effect. Tapi ada juga yang menilai pembalikan hasil survei itu karena bekerjanya underdog effect Bisa juga. Cuma, maksud saya, perbe daan antara, katakanlah kalau orang me ngatakan dari 40 persen ke 33-34 persen, kan enam persen. Di luar standar error-nya. Sulit juga. Tapi, biarlah itu jadi salah satu pertimbangan kita buat survei-survei. Seberapa besar peristiwa DKI ini mem pengaruhi kredibilitas lembaga survei di Indo nesia? Nanti kita lihat di putaran kedua. Kalau satu kali orang suka maan. Artinya, saya juga sudah dengar teman-teman dari lem baga survei, Oh, ternyata kita nggak bisa ya. Ternyata kita harus H-7, tetap harus melakukan survei lagi. Nggak bisa berhenti di H-10. Yang menarik itu pernyataan Denny JA yang mengatakan bahwa track record yang harus dilihat. Jadi, dia itu 100 kali melakukan prediksi untuk pemilu dan pe milukada, dengan Jakarta ini dia meleset keempat kali. Jadi, masih ada 96 kali dia tidak meleset. Dengan demikian track record-nya 96 persen. Tapi, orang sering mengatakan, kalau Anda meleset di Jakarta, pamor Anda rusak. Karena, ini Jakarta. Satu, karena gengsinya. Beda dengan kalau Anda meleset di Medan. Kedua, Jakarta ini reachable dari satu ujung ke ujung yang lain. Beda dengan kalau Anda melakukan riset di daerah-daerah seperti di Papua atau di salah satu kabupaten di Maluku. Itu Anda bermasalah dari ujung ke ujung.

Das könnte Ihnen auch gefallen