Sie sind auf Seite 1von 74

UPAYA PEMBERANTASAN DAN PENCEGAHAN PERDAGANGAN ORANG MELALUI HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

Oleh : Maslihati Nur Hidayati, SH. MH.

Pendahuluan Perdagangan orang meski bukan isu dan kasus yang baru dalam dunia internasional, ternyata semakin marak, mendunia dan meningkat jumlahnya dalam tahun-tahun belakangan ini. Meutia Hatta Swasono, pada saat menjabat sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan pernah mengungkapkan bahwa perputaran uang pada bisnis perdagangan orang di Indonesia diperkirakan mencapai Rp. 32 triliun. Peredaran uang dari perdagangan orang merupakan perputaran uang terbesar untuk kejahatan terorganisir, setelah narkoba dan senjata1. Dari berbagai data dalam angka-angka yang bisa ditampilkan berkaitan dengan perdagangan orang dikeluarkan oleh International Labor Organization (ILO,2005), memperkirakan bahwa2: 1. 12,3 juta manusia di seluruh dunia telah dipaksa menjadi buruh atau tenaga kerja paksa. ILO menganggap bahwa tenaga kerja paksa adalah masalah global yang sesungguhnya karena telah menimbulkan dampak yang serius pada sebagian besar umat manusia, baik di negara-negara berkembang maupun negara maju; 2. 40-50% korban dari tenaga kerja paksa ini adalah anak-anak; 3. Mayoritas korban (64%) yang menjadi tenaga kerja paksa masuk dalam eksploitasi ekonomi seperti misalnya dalam pertanian, pertambangan dan kegiatan ekonomi lainnya 4. 11% korban adalah tenaga kerja paksa yang masuk dalam eksploitasi seksual komersial 5. Mayoritas (65%) korban tenaga kerja paksa yang masuk dalam eksploitasi ekonomi adalah perempuan dan anak-anak perempuan, dan 98% korban tenaga kerja paksa yang masuk dalam eksploitasi seksual komersial adalah perempuan dan anak-anak perempuan;

Laporan hasil penelitian tentang Perdagangan Orang. Dosen Hukum Telematika Fakultas Hukum Ekonomi & Teknologi Universitas Al Azhar

Indonesia. United States of America Department of State, Victims of Trafficking and Violence Protection Act 2000 Trafficking in Persons Report, Juni 2003. Diakses dari http://www.state.gov/documents/organization/21555.pdf
2 1

International Labor Organization, A Global Alliance Against Forced Labour, 2005, hal. 10

15.

6. 20% (2,45 juta orang) tenaga kerja paksa tersebut adalah korban perdagangan orang dan 43% dari mereka masuk dalam eksploitasi seksual komersial. Bukti mengungkapkan peningkatan yang mengkhawatirkan dalam kejadian, kepelikan dan jangkauan global dari perdagangan orang. Sifatnya yang sangat sistematis dan mekanisme yang begitu canggih, menjadikannya sebagai kejahatan yang terorganisir dengan melibatkan pejabat-pejabat yang berperilaku korup. Banyak definisi yang bisa menjelaskan pengertian perdagangan orang. Secara sederhana perdagangan orang dipahami sebagaii dislokasi seseorang melalui penipuan atau kekerasan untuk tujuan eksploitasi dengan cara menjadikan seseorang sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) dan buruh secara paksa, atau bentuk perbudakan lainnya3. Perdagangan orang selalu melibatkan sejumlah pelanggaran HAM yang serius, termasuk kerja paksa, eksploitasi seksual dan tenaga kerja, kekerasan, dan perlakuan sewenang-wenang terhadap korban. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan. Para pelaku perdagangan orang menggunakan ancaman, intimidasi dan kekerasan untuk membuat para korban menjalani perhambaan terpaksa, menjalani perhambaan karena hutang (debt bondage), dan perkawinan terpaksa, terlibat dalam pelacuran terpaksa atau untuk bekerja di bawah kondisi yang sebanding dengan perbudakan untuk mendapatkan keuntungan bagi pelaku perdagangan orang tersebut. Walaupun eksploitasi seksual para perempuan lebih sering disoroti, namun bentukbentuk lain dari kerja paksa seperti dalam pelayanan rumah tangga, pertanian, manufaktur adalah sama seriusnya dan harus diberikan perhatian yang sama besarnya. Konvensi ILO Nomor 29 mengenai Kerja Paksa Tahun 1930 mendefinisikan kerja paksa sebagai segala bentuk pekerjaan atau pelayanan yang diminta dengan paksa dari siapapun dibawah ancaman hukuman dan dimana orang yang bersangkutan tidak menyediakan dirinya secara sukarela. United Nations Global Initiative to Fight Human Trafficking mengungkap sebab-sebab umum terjadinya perdagangan perempuan dan anak diantaranya karena terjadinya kekerasan berbasis jender; praktek-praktek ketenagakerjaan yang diskriminatif; struktur sosial yang patriarkal; memudarnya jaringan ikatan keluarga; marjinalisasi etnik, ras, dan agama; pemerintahan yang korup dan gagal; persoalan
Steve Chalke, Stop The Traffik: People Shouldnt be Sought and Sold, (Lion Hudson Plc, 2009), hal. 10.
3

status sebagai warga negara atau penetap legal yang berkaitan dengan kerja; peran dan posisi perempuan dalam keluarga; hirarki kekuasaan dan tertib sosial; tanggung jawab dan peran anak-anak; pernikahan dini; tingginya laju perceraian dan stigma yang menyertainya; rusaknya perkembangan kepribadian; terbatasnya prestasi atau pencapaian pendidikan; dan terbatasnya kesempatan ekonomi4. Dalam perdagangan orang, perempuan dan anak-anak perempuan jauh lebih rentan menjadi korban perdagangan orang dibandingkan dengan laki-laki dan anak laki-laki, terutama dalam bentuk pelacuran dan eksploitasi seksual lainnya. Pokok masalah dari perdagangan perempuan dan anak perempuan adalah status inferior kaum perempuan, prasangka budaya yang berurat akar yang menghalangi kaum perempuan untuk menyadari potensinya. Diperparah dengan kegagalan negara dalam menjamin hak-hak perempuan5. Sejatinya, perdagangan orang sungguh berlawanan dengan tujuan untuk mendorong kesempatan bagi perempuan dan laki-laki agar mendapatkan pekerjaan yang layak dan produktif dalam kondisi-kondisi yang bebas, adil, aman dan bermartabat. Perdagangan orang mencemoohkan standar-standar ketenagakerjaan yang fundamental dan kondisi-kondisi kerja yang benar bagi semua pekerja, baik warga negara setempat maupun migran6. Banyak negara yang melakukan kesalahan dengan mencampur-adukkan antara perdagangan orang dengan migrasi. Kesalahan yang dimaksud adalah dengan meniadakan perbedaan antara perdagangan orang, penyelundupan migran dan bentukbentuk lain dari migrasi tidak teratur atau tidak terdaftar. Serta berusaha untuk menghentikan perdagangan orang dengan melakukan pelarangan yang semakin ketat terhadap migrasi dan mobilitas khususnya perempuan. Padahal pembatasan terhadap migrasi seringkali berakibat lebih buruk, yaitu menghadirkan kesempatan

Barbara Sullivan, Trafficking in Human Being, dalam Laura J. Sephard (ed), Gender Matters in Global Politics: A Feminist Introduction to International Relations, (London and New York: Boutledege, 2010), hal. 89 90. UNDP Regional HIV and Development Programme Team, Twilight Zone, cerita sampul dalam You and AIDS The HIV and Development Magazine for Asia Pacific, Vol.2 Terbitan No. 1, Agustus 2003. Kantor Perburuhan Internasional, Buku 6: Perdagangan Perempuan dan Anak, dalam Pedoman Informasi: Mencegah Diskriminasi, Eksploitasi dan Perlakuan Sewenang-wenang terhadap Pekerja Migran Perempuan, Jakarta, Internatioal Labour Organization, 2004. hal. 12.
6 5

menguntungkan bagi mereka yang melakukan bisnis dari pengelakan atas pembatasan-pembatasan tersebut tadi7. Saat ini praktik perdagangan orang semakin banyak dilakukan oleh usahausaha kejahatan yang terorganisir dan canggih. United Nations Office for Drug Control and Crime Prevention telah menjelaskan perdagangan orang sebagai bisnis yang paling cepat berkembang dari kejahatan terorganisir karena jumlah orang yang terlibat, skala keuntungan yang dihasilkan dan sifatnya yang berlipat-lipat. Para pelaku perdagangan orang sering sangat berhasil karena berbagai hubungan mereka dengan kelompok-kelompok kejahatan transnasional lainnya, seperti para pedagang senjata gelap atau para pengedar narkoba yang memberikan mereka rute atau jalurjalur yang aman dan sudah teruji, akses ke uang tunai, dokumen-dokumen palsu dan pejabat-pejabat yang bisa disuap. Karena itu, perdagangan orang seringkali dilihat sebagai sisi yang tidak diinginkan dari globalisasi. Penelitian dan berbagai laporan telah menegaskan adanya peningkatan perdagangan orang bersamaan dengan kemunculan globalisasi, yang telah memberikan aksentuasi dan demarkasi pada perbedaan yang sebenarnya antara masyarakat dan negara-negara. Bentuk keprihatinan lain dari perdagangan orang, terutama perempuan dan anak perempuan, adalah kesehatan reproduksi dan kesehatan umum, pemakaian dan akses terhadap kontrasepsi, akses ke konseling dan dukungan untuk kesehatan reproduksi, serta akibat dari kekerasan fisik dan IMS, termasuk HIV/AIDS. Para perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan dapat terekspos pada risiko yang lebih tinggi terhadap penularan HIV serta masalah-masalah kesehatan reproduksi dan seksual lainnya dibandingkan dengan pekerja seks komersial karena sifat dari situasi mereka yang terkurung dan terkendali. Ditambah lagi dengan kerentanan atas perlakuan sewenang-wenang, termasuk perkosaan secara keji. Disamping itu para perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan seringkali tidak memiliki akses untuk berbagai bentuk pelayanan kesehatan dan pengobatan IMS dikarenakan kurangnya sumber daya keuangan, takut akan diketahui, penggunaan pelayanan kesehatan yang tidak memadai dan sebagainya8. Kurangnya perundang-undangan khusus yang tepat dan efektif mengenai perdagangan manusia di berbagai negara diidentifikasi sebagai salah satu halangan
7 8

Ibid., hal. 13. International Organization for Migration, World Migration 2003 Managing Migration Challenges and Responses for People on the Move, Genew, IOM, 2003, hal. 91

utama untuk memberantas tindak pidana perdagangan orang. Pada tahun 2007, Indonesia sudah mengesahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Kebijakan yang mencakup arahan pencegahan dan penanganan perdagangan orang juga sudah diterbitkan. Kebijakan tersebut diantaranya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 1 Tahun 2009 tentang Standar Pelayanan Minimal Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang. Untuk periode 2009 2014, Indonesia juga sudah menetapkan Rencana Aksi Nasional Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Eksploitasi Nasional (RAN TPPO dan ESA 2009 2014)9. Hingga saat ini, setidaknya ada 305 Ruang Pelayanan Khusus atau Unit Pelayanan Perempuan dan Anak yang tersebar di seluruh Indonesia. Bukan hanya di tingkat nasional, di beberapa daerah juga disahkan Peraturan Daerah Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak di beberapa propinsi, antara lain Jawa Barat, Kabupaten Indramayu, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Sulawesi Selatan, Lampung, Sulawesi Utara, Kabupaten Sambas Kalimantan Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur10. Disamping itu juga telah dibentuk Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak Daerah di beberapa propinsi/kota anatar lain Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kota Tanjung Pinang, Kota Batam-Kepulauan Riau, Kabupaten Karimun, Kota Dumai Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Buleleng Bali. Selain itu, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009. Hal tersebut ditindaklanjuti dengan meratifikasi Protokol untuk Mencegah, Menindak dan Menghukum Perdagangan Orang, terutama Perempuan dan Anak-Anak, melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi dengan Undang-Undangg Nomor 14 Tahun 2009.
Thauefiek Zulbahary, Menilai Dampak Kebijakan Anti Trafficking di Indonesia terhadap HAM Kelompok Rentan dan Korban, Jurnal Perempuan (2010): 68, hal. 37. Emmy LS, Implementasi UU PTPPO bagi Anak Korban Perdagangan, Jurnal Perempuan (2010): 68, hal. 11 12.
10 9

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 (UU PTPPO) lahir setelah dibahas selama hampir 10 tahun. UU ini dipuji oleh banyak pihak sebagai UU yang lahir dari proses yang partisipatif. UU PTPPO mewajibkan penyediaan bentuk-bentuk perlindungan dan pelayanan yang berhak diterima oleh saksi dan korban perdagangan orang. Hak-hak yang dicantumkan misalnya jaminan perlindungan dalam pemberian kesaksian11, hak untuk didampingi pembela12, hak atas layanan pemulihan dan rehabilitasi13 dan hak untuk mendapatkan ganti rugi/restitusi dari pelaku14. Perlindungan bagi korban dan saksi penting untuk dimunculkan sebab kasus perdagangan orang seperti gunung es. Banyak yang menjadi korban tapi karena belum terlindungi secara hukum korban dan para saksi tidak berani melapor ke polisi dan bersaksi. Alih-alih melapor ke polisi, rehabilitasi untuk korban pun tidak jelas. Kalau tidak direhabilitasi korban akan punya beban psikologis yang luar biasa berat mengingat umumnya mereka korban eksploitasi seksual. UU ini juga mengatur agar lahirnya Peraturan Daerah mengatur hukum acara yang lebih spesifik, lex specialis, dan mengatur agar terbentuk gugus tugas. Dendanya pun tinggi, bisa mencapai ratusan juta rupiah. Ini jauh lebih tinggi dari delik serupa dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Pasal 297 yang hanya enam tahun penjara. Akan tetapi di balik itu semua, sebagian ahli hukum melihat bahwa UU itu sulit ditegakkan di Indonesia. Hal itu, karena salah satunya, UU PTPPO konsekuensi yuridisnya seperti lingkupnya yang luas, terikat dengan banyak UU, seperti UUPA, UU Imigrasi, KUHP, UU TKI, UU Tenaga Kerja, UU Adminduk, UU Kewarganegaraan, UU Perlindungan Saksi dan Korban, dan UU Penempatan TKI LN. Selain itu UU ini mencakup lintas sektor dan kadangkala korban bisa juga berlaku sebagai pelaku perdagangan. Hal penting yang perlu diperhatikan juga adalah kurangnya pengetahuan para penegak hukum dalam menjalankan UU ini, serta koordinasi lintas sektor yang perlu

Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 21 Tahun 2007, LN No. 58 Tahun 2007, TLN 4720, ps 47.
12

11

Ibid, ps 35. Ibid, ps 51. Ibid, ps 48.

13

14

dilakukan secara terus menerus dalam penanganan kasus. Polisi masih sulit menerapkan UU PTPPO karena pemahaman yang kurang dan tidak seragam di antara aparat penegak hukum. Ketika kejadian antar wilayah, persoalan lokus kejadiannya yang menjadi hambatan. Dan ketika peristiwa terjadi dalam satu wilayah, dianggap tidak ada perpindahan, padahal jelas ada perpindahan dan transportasi. Selain itu, keterlibatan pelaku dalam proses perdagangan orang juga menjadi kendala. Sebagian besar pihak kepolisian tidak menggunakan UU PTPPO karena pelaku tidak terlibat dalam seluruh proses perdagangan, yaitu merekrut, memindahkan, menampung, dan menerima15. Pun masyarakat dalam penerapan UU ini menjadi kurang partisipatif. Akibat ketidaktahuan masyarakat, alih-alih mendapatkan perlindungan yang memadai, lebih sering ditemui pekerja seks komersial, termasuk anak-anak didalamnya, ditempatkan dalam stigma dan tudingan sebagai pelaku kriminal dan orang pesakitan. Persoalan lainnya adalah, sehubungan dengan anak, UU PTPPO tidak mengakui anak sebagai kasus khusus. UU PTPPO mengatur mengenai anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang, misalnya Pasal 17, sebagaimana diatur dalam Pasal 2,3, dan 4 yang dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga). Namun, UU PTPPO tidak mengakui situasi khusus anak sebagaimana dalam Pasal 3 sub-ayat c Protokol Palermo yang menghilangkan keharusan adanya unsure cara. Artinya, untuk kasus-kasus anak, tetaplah diperlukan unsure proses/tindakan, cara dan tujuan/maksud, sebagaimana halnya pada kasus orang dewasa. Hal inilah salah satu kelemahan mendasar UU PTPPO. Kemudian kebijakan operasional terkait pelaksanaan UU PTPPO juga menjadi permasalahan. Saat ini masih terdapat upaya-upaya umum terkait pelaksanaan dan tindakan (penyediaan rehabilitasi medis dan sosial, bantuan pemulangan, dan rehabilitasi sosial). Pengaturan mengenai hal ini masih harus dielaborasi dalam peraturan perundangan operasional, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Kapolri, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, dan peraturan di tingkat daerah. Hal tentang kebijakan operasional menjadi sangat penting untuk dikritisi karena implementasi dari upaya pemberantasan perdagangan orang akan dilakukan berdasarkan peraturan-peraturan ini. Sebagai contoh, sebagaimana dimandatkan pada Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU PTPPO, pemerintah Indonesia menetapkan

15

Emmy LS, op. cit., hal. 17.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atauu Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang yang akan dikembangkan di setiap Kabupaten/Kota bagi saksi dan/atau korban perdagangan orang. Peraturan Pemerintah ini kemudian memandatkan dibuatnya Peraturan Menteri mengenai Standar Pelayanan Minimal dan Standar Prosedural Operasional mengenai pemulangan dan integrasi. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 sangatlah penting. Perlu dikritisi beberapa potensi permasalahan pelanggaran hak asasi manusia di dalam kebijakan operasional ini. Sebagai contoh, apakah peraturan berpotensi menahan seseorang meninggalkan sebuah negara karena mereka dianggap rentan terhadap perdagangan orang; menahan seseorang di rumah perlindungan sosial atau pusat trauma atau pusat pelayanan terpadu tanpa disertai persetujuan seseorang tersebut dalam rangka memperoleh bukti-bukti untuk proses hukum; atau menahan perdagangan korban perdagangan orang selama berbulan-bulan dengan alasan perlindungan dan rehabilitasi. Hal-hal ini merupakan isu-isu kritis yang harus diperhatikan dan diatur lebih lanjut dalam peraturan-peraturan operasional, baik di tingkat nasional maupun lokal. Isu lainnya adalah terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi. Dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi, pelaksanaan utama dari pemberantasan perdagangan orang terkait dengan pemerintah daerah16. Sosialisasi UU PTPPO yang kurang, menjadi penyebab terbatasnya pemahaman personil pemerintah dan masyarakat tentang perdagangan orang. Paradigma produksi hukum yang up to down memang menuntut sosialisasi yang meluas dan mendalam. Dengan cara itu UU bisa diterapkan dengan lebih baik. Namun, selain itu lemahnya perspektif budaya masyarakat Indonesia dalam memandang nilai anak dan perlindungannya, sangat memungkinkan terjadinya bias saat UU PTPPO diterapkan. Belum lagi dengan masih dijunjungnya moralitas sempit terhadap seksualitas anak perempuan oleh masyarakat. Pelaksana kebijakan daerah seringkali tidak menyertakan analisis kritis. Yang dilakukan adalah sikap taken for granted dari yang tertulis pada teks hukum. Logika menerbitkan dari pemahaman sempit, mendorong penyikapan terhadap korban (pihak yang sebenarnya bukan pelaku kejahatan) untuk ditertibkan. Korban diminta

R. Valentina Sagala, Membaca UU PTPPO dalam Perspektif HAM, Jurnal Perempuan (2010) : 68, hal. 98.

16

untuk menyadari bahwa apa yang mereka lakukan tidak boleh diulang lagi. Padahal, korban seharusnya disikapi dengan memberikan perlindungan17. Bias di UU PTPPO pun terdapat pada definisi pelaku atau korban. Terdapat keragu-raguan di kalangan Pemerintah, yang diikuti dengan kurangnya pemahaman dalam menetapkan apakah perempuan atau anak yang diperdagangkann sebagai korban atau pelaku kriminal18. Secara konvensional, korban selalu diartikan sebagai individu yang merasa sebagai korban. Ketika merasa, korban harus secepatnya melaporkan diri sebagai korban. Jika ada anak perempuan menetap di lokasi prostitusi sebagai pekerja seks komersial, anak perempuan tersebut dinilai sebagai pelaku. Padahal fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua korban merasa dirinya adalah korban. Dalam penanganan kasus perdagangan orang, persetujuan atau kesukarelaan korban atas eksploitasi yang dialami pun, seharusnya tak diperhitungkan atau tak relevan. Prinsip ini jelas termuat dalam UU PTPPO. Selain itu, korban tak bisa dengan mudahnya melaporkan kasus perdagangan orang yang dialaminya, meski korban telah menyadari bahwa dirinya adalah korban. Tuntutan terhadap korban untuk melapor adalah pemikiran yang secara sempit diperoleh dari isi hukum untuk perlindungan. Bias ini menunjukkan kelemahan UU PTPPO yang hanya bisa melindungi korban yang melaporkan kasusnya kepada polisi. Padahal tak mudah bagi seorang perempuan, terlebih anak, yang terisolasi maupun yang tidak terisolasi untuk dapat melapor. Mereka pun bukan kalangan yang sadar hukum19. Padahal memberikan perlindungan hanya kepada korban yang melapor juga memberikan konsekuensi pengabaian tugas negara atas identifikasi korban perdagangan atau korban eksploitasi ekonomi/seksual. Korban yang tidak melapor seolah-olah bukan menjadi tanggungjawab negara, karena memang tidak diatur di dalam UU. Masalah sosialisasi dan bias-bias tersebut mengindikasikan pelaksanaan UU PTPPO yang belum berjalan dengan baik. UU yang secara spirit sudah berada di jalur yang benar, meskipun jauh dari sempurna, dalam perkembangan politik Indonesia

Usep Hasan Sadikin, Pekerjaan Rumah Besar Undang-Undang Human Trafficking, Jurnal Perempuan (2010) : 68, hal. 139.
18

17

Ibid, hal. 140.

Ruth Evelin. Studi Kebijakan dan Implementasi Perlindungan Anak yang Diperdagangkan: Studi Kasus Anak Perempuan yang Menjadi Pekerja Seks di Jakarta Utara, Tesis Pusat Kajian Wanita Universitas Indonesia, November 2008, hal. 84 85.

19

justru mengalami titik balik yang sangat tidak menguntungkan bagi korban. Tidak ada orang, khususnya perempuan dan anak, yang sudi diperdagangkan. Adanya permintaan terhadap oranglah, yang menjadikan perdagangan tak berhati ini terjadi. Seharusnya persoalan ini segera diselesaikan.

Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, ada berbagai permasalahan yang layak dipertanyakan sehubungan dengan upaya pemberantasan dan pencegahan perdagangan orang di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun, dalam penelitian ini permasalahan utama yang akan dibahas adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaturan upaya pemberantasan dan pencegahan perdagangan orang melalui instrumen hukum internasional ? 2. Bagaimanakah permasalahan perdagangan orang yang berlangsung di Indonesia? 3. Bagaimanakah pengaturan upaya pemberantasan dan pencegahan perdagangan orang melalui hukum positif Indonesia?

TINJAUAN PUSTAKA Istilah "trafficking" pertama kali dikenal dari instrumen PBB. Pada awalnya "traffic" digunakan untuk merujuk kepada perdagangan budak kulit putih yang dialami oleh perempuan pada sekitar tahun 1900. Pada masa itu, banyak perempuan miskin kulit putih yang bermigrasi secara sukarela dari Eropa ke Arab dan daerah Timur Amerika sebagai selir ataupun pekerja seks komersial. Hal ini menjadi perhatian khusus bagi masyarakat Eropa kelas menengah, baik laki-laki dan perempuan, juga pihak Pemerintah. Hasilnya adalah terbentuknya kesepakatan internasional untuk menekan perdagangan budak kulit putih pada tahun 1904. Kemudian istilah traffic berubah penggunaannya menjadi ditujukan kepada aktivitas mobilisasi perempuan untuk tujuan yang dianggap tidak bermoral, yaitu prostitusi. Pada awalnya, definisi tersebut diperuntukkan sebatas mobilisasi yang dilakukan didalam negara. Akan tetapi, menjelang tahun 1910 definisi itu diperluas hingga mencakup juga perdagangan perempuan yang terjadi dalam batas-batas

10

transnasional. Akibatnya perempuan yang bermigrasi seringkali dilekatkan dengan prostitusi20. Dugaan semacam itu terus menguat dalam dekade-dekade berikutnya, dan paling jelas terlihat dalam penerapan Konvensi 1949. Kemudian hal ini memunculkan kebingungan karena aktivitas migrasi yang dilakukan oleh perempuan selalu dilihat sebagai aktivitas perdagangan orang untuk tujuan prostitusi. Dampaknya bisa dilihat dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memberantas perdagangan orang oleh individuindividu, organisasi-organisasi, dan pemerintah. Pemerintah dari beberapa negara tujuan juga terus meleburkan pemahaman antara migrasi tak berdokumen dengan perdagangan orang, khususnya prostitusi. Respon semacam itu dari Pemerintah sesungguhnya diprediksi akan dapat membahayakan perempuan. Karena dengan anggapan semacam itu, mereka akan mengadopsi kebijakan imigrasi yang lebih ketat untuk membatasi mobilisasi perempuan muda dengan alasan untuk memberantas perdagangan orang. Beberapa negara asal juga telah mengadopsi kebijakan serupa untuk mencegah perempuan-perempuan muda meninggalkan negaranya atas dasar keyakinan yang salah bahwa mereka telah melakukan upaya pencegahan perdagangan orang21. Dengan demikian terlihat bahwa konsep yang ada mengenai perdagangan orang telah mengabaikan HAM bagi korban perdagangan orang, serta digunakan oleh pemerintah untuk membatasi mobilisasi perempuan. Terkait dengan hal tersebut Pelapor Khusus PBB untuk Kekerasan terhadap Perempuan, telah membuat pernyataan menyangkut definisi perdagangan orang dalam Laporannya yang disampaikan pada Sidang Komisi HAM PBB yang ke-56. Adapun pernyataannya adalah sebagai berikut22:
At present there is no internationally agreed definition of trafficking. The term "trafficking" is used by different actors to describe activities that range from voluntary, facilitated migration, to the exploitation of prostitution, to the movement of persons through the threat or use of force, coercion, violence, etc. for certain exploitative purposes. Increasingly, it has been recognized that historical characterizations of trafficking are outdated, ill-defined and non-responsive to the current realities of the movement of and trade in people and to the nature and extent of the abuses inherent in and incidental to trafficking. Rather than clinging to outdated notions of the constituent elements of trafficking, which date back to the early nineteenth century, new
Human Rights and Trafficking in Persons: A Handbook, Global Alliance Against Traffic in Women, Bangkok: Desember 2000, hal. 20. Ibid., hal. 21. Miller and Stewart (Chair and Rapporteur), 'Report from the Roundtable on the Meaning of "Traffic in Persons": A Human Rights Perspective', Women's Rights Law Reporter, 20.1:11, Rutgers University, 1998.
22 21 20

11

understandings of trafficking derive from an assessment of the current needs of trafficked persons in general, and trafficked women in particular. New definitions also must be specifically tailored to protect and promote the rights of trafficked persons, with specific emphasis on gender-specific violations and protections.

Sehingga akhirnya, masyarakat internasional menyadari kebutuhan untuk memperluas pemahaman mengenai perdagangan orang. Diantaranya adalah dengan memasukkan kawin paksa dan kerja paksa sebagai salah satu bentuk dari perdagangan orang. The UN Office of the High Commissioner for Human Rights, the UN Children's Fund (UNICEF), the UN Special Rapporteur on Violence Against Women dan the International Organization for Migration (IOM) telah mengadopsi definisi perdagangan orang dengan mencakup berbagai bentuk tindakan yang melanggar HAM, seperti perbudakan, dan tidak hanya terbatas pada prostitusi. The United Nations Office of the High Commissioner for Human Rights, the United Nations Children's Fund (UNICEF) dan the International Organization for Migration mendefinisikan perdagangan orang sebagai berikut23:

"trafficking is recruitment, transportation, transfer or harbouring, or receipt of any person for any purpose or in any form, including the recruitment, transportation, transfer or harbouring, or receipt of any person by the threat or use of force or by abduction, fraud, deception, coercion or abuse of power for the purposes of slavery, forced labour (including bonded labour or debt bondage) and servitude".

Sementara the UN Special Rapporteur on Violence Against Women dalam Laporannya pada
Sidang Komisi HAM PBB mendefinisikan perdagangan orang sebagai berikut:

Trafficking in persons means the recruitment, transportation, purchase, sale, transfer, harboring or receipt of persons: (i) By threat or use of violence, abduction, force, fraud, deception or coercion (including the abuse of authority), or debt bondage, for the purpose of: (ii) placing or holding such person, whether for pay or not, in forced labour or slavery-like practices, in a community other than the one in which such person lived at the time of the original act described in (i). Subsection (i) of the definition covers all persons involved in the trafficking chain: those at the beginning of the chain, who provides or sells the trafficked person, and those at the end of the chain, who receives or purchases the trafficked person, hold the trafficked person in forced labor and profit from that labor. Criminalizing the activities of all parties involved throughout the

23

http://www.uncjin.org/Documents/Conventions/dcatoc/8session/27e.pdf

12

process of trafficking would facilitate efforts to both prevent trafficking and punish traffickers. Definisi lainnya sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 3 the UN Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, yang melengkapi the UN Convention Against Transnational Organized Crime, yaitu:

"(a) 'Trafficking in persons' shall mean the recruitment, transportation, transfer, harboring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labor or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal or organs "(b) The consent of a victim of trafficking in persons to the intended exploitation set forth in subparagraph (a) shall be irrelevant where any of the means set forth in subparagraph (a) are established

Protokol Perdagangan Orang ini melakukan pendekatan yang berbeda dalam mendefinisikan perdagangan orang jika dibandingkan dengan Konvensi 1949 yang hanya berfokus pada prostitusi. Protokol ini mempertimbangkan adanya prostitusi yang dilakukan secara sukarela oleh perempuan dewasa disamping adanya prostitusi secara paksaan. Semua delegasi yang hadir saat Protokol ini akan ditandatangani bersepakat bahwa prostitusi yang dilakukan secara sukarela tidak termasuk dalam perdagangan orang. Namun, sebagian besar Pemerintah menolak gagasan tersebut dan bersikeras bahwa prostitusi baik oleh paksaan maupun pilihan secara sukarela merupakan bentuk perdagangan orang. Pada akhirnya, delegasi sepakat untuk meninggalkan frasa tersebut dan menambahkan penjelasan bahwa Catatan Resmi hasil negosiasi harus menunjukkan bahwa Protokol telah melakukan pembahasan mengenai eksploitasi pada prostitusi dalam berbagai bentuk, serta bentuk eksploitasi seksual lainnya dalam konteks perdagangan orang. Istilah eksploitasi pada prostitusi dalam berbagai bentuk atau bentuk eksploitasi seksual lainnya tidak didefinisikan dalam Protokol, yang karena itu tidak mengurangi bagaimana Pihak Negara bersikap terhadap prostitusi sebagaimana yang dimuat dalam undang-undang dalam negerinya24.
Human Rights and Trafficking in Persons: A Handbook, Global Alliance Against Traffic in Women, Bangkok: Desember 2000, hal. 25.
24

13

Dengan demikian, Protokol Perdagangan Orang secara tegas mengizinkan Pihak Negara penandatangan untuk berfokus hanya pada prostitusi paksa dan kejahatan lain yang menggunakan kekerasan ataupun paksaan dan sekaligus tidak meminta pemerintah untuk memperlakukan semua prostitusi yang dilakukan orang dewasa secara sukarela sebagai bentuk perdagangan orang. Pemerintah yang ingin fokus pada kejahatan yang melibatkan kekerasan atau paksaan dalam prostitusi, ataupun bentuk lain dari kerja paksa bahkan tidak perlu untuk memasukkan istilah eksploitasi pada prostitusi dalam berbagai bentuk dan bentuk eksploitasi seksual lainnya dalam hukum positifnya. Istilah kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan, dan penghambaan sudah mencakup semua situasi termasuk keterlibatan paksa dalam industri seks25. Hukum positif Indonesia mendefinisikan perdagangan orang sebagai berikut26: Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi Dari berbagai definisi yang diungkapkan, dapat dilihat bahwa perdagangan orang bukan sekedar kasus pekerja pabrik dengan upah rendah, tereksploitasi dalam situasi kerja yang tidak manusiawi, namun bebas untuk datang dan pergi berganti pekerjaan. Memang terjadi pelanggaran terhadap hak-hak mereka sebagai pekerja, dan situasi ekonomi mungkin memaksa mereka untuk tetap bekerja dalam situasi tersebut. Namun mereka tidak diperdagangkan. Perdagangan orang melibatkan manipulasi kejahatan terhadap orang yang ingin atau perlu untuk bermigrasi demi kehidupan yang lebih baik. Hal ini melibatkan keterkaitan antara kejahatan yang terorganisir dengan migrasi. Migran dipaksa oleh atuan imigrasi yang ketat dan rumit

25

Ibid., Hal. 26

Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 21 Tahun 2007, LN No. 58 Tahun 2007, TLN 4720, ps 1 butir 1.

26

14

untuk bergantung pada pihak ketiga yang bisa membantu perjalanan mereka. Jika mereka beruntung, mereka akan dibantu oleh orang yang jujur. Namun jika mereka sial, akan bertemu dengan penjahat perdagangan orang yang akan menggunakan segala cara untuk menjadikan mereka sebagai korbannya. Ada beberapa perbedaan yang mendasar antara migrasi, penyelundupan orang, dan perdagangan orang. Migrasi dipahami sebagai aktivitas dimana seseorang berpindah dari satu negara ke negara yang lain. Dapat dilakukan secara resmi ataupun tidak resmi, dan dapat juga dilakukan secara sukarela (dengan persetujuan dari yang bersangkutan) ataupun paksaan (tanpa persetujuan mereka), namun pada umumnya dilakukan atas dasar persetujuan yang bersangkutan. Penculikan dan perdagangan orang adalah contoh dari migrasi yang dilakukan dengan paksaan. Sementara penyelundupan adalah memindahkan seseorang (dengan persetujuan mereka) ke negara lainnya melalui mekanisme yang tidak resmi. Perdagangan orang sendiri memiliki unsur inti, diantaranya adalah perpindahan seseorang, dengan penipuan ataupun paksaan kepada situasi kerja paksa, penghambaan ataupun praktik-praktik serupa perbudakan. Banyak orang yang bermigrasi secara sukarela namun berakhir dengan menjadi korban perdagangan orang. Migrasi dengan persetujuan tidak berarti diperdagangkan secara sukarela. Istilah seperti itu adalah kontradiksi, karena tidak pernah ada seorang yang mengizinkan dirinya diperlakukan selayaknya budak, mengalami penghambaan atau situasi kerja paksa. Hal lain yang juga perlu untuk diperhatikan adalah perlunya untuk mengenali kebutuhan yang berbeda antara anak-anak dengan orang dewasa yang menjadi korban perdagangan orang. Anak-anak memiliki status hukum yang berbeda dan juga kebutuhan yang berbeda, sehingga sudah semestinya mereka mendapatkan perlindungan hak yang berbeda dalam hukum nasional maupun internasional. Mereka belum memiliki kapasitas yang cukup untuk meminta masyarakat untuk melindungi hak-haknya, sehingga membutuhkan bantuan orang lain. Untuk alasan ini, formulasi pemulihan dalam mengatasi perdagangan orang yang dialami oleh anak-anak seharusnya dilakukan secara terpisah dengan orang dewasa. The United Nations Office on Drugs and Crime dalam Global Report on Trafficking in Persons of 2009 mengungkapkan data bahwa sebanyak 65 75% korban perdagangan orang sepanjang tahun 2003 2006 adalah perempuan, sedangkan korban anak-anak mencapai 15 25% dan korban laki-laki mencapai sekitar 15%. Korban perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi seksual diperhitungkan sekitar 79% dan diikuti oleh korban akibat 15

kerja paksa sekitar 18%. Akan tetapi banyak juga jenis perdagangan orang lainnya yang tidak terlaporkan, sebagiannya karena banyak diantaranya yang tidak terlihat seperti pekerja yang terikat hutang, penghambaan domestik, kawin paksa, dan eksploitasi anak-anak, industri seks atau bahkan untuk kepentingan perang. Diyakini jumlah pelaku kejahatan perdagangan orang terus meningkat, yang sayangnya tidak diiringi dengan meningkatnya kepedulian masyarakat atas persoalan in. Dalam laporan tersebut, sebagian besar perdagangan orang terjadi pada lingkup nasional ataupun regional, meskipun perdagangan orang yang terjadi dalam lingkup interregional juga sering terjadi. Kejahatan terhadap kemanusiaan semacam ini tidak dapat dibiarkan terus terjadi. Melakukan berbagai tindakan yang diperlukan untuk memberantasnya adalah satu hal yang mutlak diperlukan. Namun, untuk bisa mengambil langkah yang tepat dalam upaya tersebut diperlukan pengetahuan yang terkait dengan situasi alamiah yang melatarbelakangi terjadinya perdagangan orang. Juga gambaran profil dari pelaku dan korban perdagangan orang. Kurangnya data akan situasi alamiah dan tingkat keparahan suatu masalah akan membuat masalah tersebut menjadi tidak terselesaikan. Seringkali informasi yang ada hanya berdasarkan estimasi dengan sedikit penjelasan bagaimana hal-hal tersebut diperhitungkan. Selain itu, menganalisa berbagai penyebab terjadinya perdagangan orang akan membantu dalam memahami dan melakukan upaya pencegahan untuk mengeliminasi perdagangan orang. Adapun faktor-faktor yang berkontribusi atas terjadinya perdagangan orang adalah sangat beragam dan kompleks, serta berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Perdagangan orang terjadi tidak hanya dari negara berkembang ke negara maju, tapi juga terus meningkat di antara sesame dan didalam negara berkembang. Seringkali, orang-orang diperdagangkan dari negara-negara yang situasi ekonomi, lingkungan dan politiknya bermasalah menuju negara atau wilayah yang mana kualitas hidupnya lebih tinggi. Faktanya hal tersebut adalah generalisasi yang tidak tepat, karena kasusnya tidak selalu orang diperdagangkan dari negara berkembang ke negara maju. Secara umum, beberapa faktor yang seringkali disebut sebagai pendorong terjadinya perdagangan orang adalah kemiskinan dan pengangguran, globalisasi ekonomi, feminisasi kemiskinan dan migrasi, situasi konflik bersenjata, diskriminasi berbasis gender, hukum dan kebijakan tentang ketenagakerjaan dan migrasi, hukum

16

dan kebijakan yang mengatur soal prostitusi, korupsi kewenangan, keterlibatan organisasi kriminal, serta praktek-praktek budaya dan agama yang menyesatkan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Perdagangan Orang dan Keprihatinan Internasional Perdagangan orang adalah sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan yang sudah terjadi sejak 200 tahun yang lalu, dan terus berlanjut hingga kini. Sampai pada akhirnya persoalan ini terus berlanjut menjadi isu internasional. Hampir setiap negara di dunia ini mempunyai catatan kasus perdagangan orang yang terjadi di negaranya, khususnya yang terkait dengan eksploitasi seksual atau kerja paksa. Miliaran dolar telah dihasilkan dengan mengorbankan jutaan orang korban perdagangan orang. Anak laki-laki dan anak perempuan yang mestinya bersekolah dipaksa untuk menjadi tentara, melakukan kerja paksa, atau dijual untuk kepentingan seks. Demikian juga dengan perempuan-perempuan dan anak-anak perempuan yang diperdagangkan untuk tujuan berbagai bentuk eksploitasi, seperti dipaksa untuk menjadi pekerja domestik, prostitusi ataupun kawin paksa. Sementara untuk laki-laki, seringkali terperangkap oleh hutang, kemudian menjadi budak di daerah pertambangan, perkebunan, atau bentuk kerja terburuk lainnya. Sampai dengan saat ini perdagangan orang masih saja terus terjadi lagi dan lagi, karena ini adalah bentuk kejahatan yang resikonya rendah namun besar perolehan keuntungannya. Bukti mengungkapkan peningkatan yang

mengkhawatirkan dalam kejadian, kepelikan dan jangkauan global dari perdagangan manusia. Sifat kejahatannya yang sangat sistematis dan mekanisme-mekanisme canggih yang digunakan berpadu dengan kenyataan masih banyaknya negara yang belum memiliki hukum ataupun peraturan perundang-undangan sebagai instrumen untuk memberantas kejahatan ini. Atau kalaupun sudah ada penegakan hukumnya masih lemah, sehingga banyak terjadi kasus dimana pelaku kejahatan perdagangan orang dilepaskan dengan mudahnya sedangkan korbannya diperlakukan sebagai penjahat. Padahal pelaku perdagangan orang secara licik telah mengeksploitasi kemiskinan, memanipulasi harapan dan kepolosan dari para korbannya. Korban tidak lagi diperlakukan seperti manusia, melainkan selayaknya budak yang dipaksa untuk memproduksi barang-barang murah ataupun memberikan layanan yang terusmenerus. Mereka hidup dalam ketakutan, dan banyak juga yang pada akhirnya 17

menjadi korban kekerasan. Darah mereka, keringat dan air mata diperuntukkan bagi konsumen-konsumen negara maju27. International Organization for Migration menyatakan bahwa perdagangan orang sebagai bentuk yang sangat keji dari migrasi. Dalam deklarasi Millennium, negara-negara memutuskan untuk mengambil langkah-langkah untuk menjamin penghargaan terhadap perlindungan atas ha-hak para migran dan memperkuat upaya mereka dalam memberantas perdagangan orang. Dengan demikian diperlukan tindakan yang mendesak, efektif dan koheren. Adalah juga penting untuk mengenali kerumitan yang ada. Oleh karena, perdagangan orang bukanlah satu kejadian, melainkan serangkaian tindakan dan keadaan yang konstitutif atau bersifat membentuk dengan melibatkan banyak pelaku. Setiap langkah-langkah antiperdagangan orang harus memperhitungkan kenyataan tersebut.28 Ada banyak alasan yang melatarbelakangi kenapa persoalan perdagangan orang ini menjadi suatu keprihatinan bagi dunia internasional. Diantaranya adalah karena sejumlah pelanggaran HAM sebagai penyebab dan sekaligus akibat dari perdagangan orang. Perdagangan orang didefinisikan oleh sifat memaksa, tanpa mufakat dan eksploitatif dan melibatkan sejumlah pelanggaran HAM yang serius. Pelanggaran HAM yang dimaksud seperti kerja paksa,29 eksploitasi seksual dan tenaga kerja, kekerasan, serta perlakuan sewenang-wenang terhadap para korbannya. Sejumlah aktivis anti-perdagangan orang menyebut kejahatan ini sebagai bentuk modern dari perbudakan dan adalah penjelmaan terbesar dari perbudakan masa kini. Para pedagang menggunakan ancaman, intimidasi dan kekerasan untuk membuat para korban menjalani perhambaan terpaksa, menjalani peonage,30 menjalani perhambaan karena hutang (debt bondage), dan perkawinan terpaksa atau palsu, terlibatt dalam

Office of the High Commissioner for Human Rights, Trafficing in persons: a human right issue, dalam Trafficking in Migrants Quarterly Bulletin No .26, September 2002, Geneva, International Organization for Migration, 2002, http://www.iom.int
28

27

Ibid.

Konvensi ILO No. 29 mengenai Kerja Paksa, tahun 1930 mendefinisikan kerja paksa sebagai segala bentuk pekerjaan atau pelayanan yang diminta dengan paksa dari orang siapapun dibawah ancaman hukuman dan dimana orang yang bersangkutan tidak menyediakan dirinya secara sukarela. Suatu sistem yang dulu dipakai di pertanian/perkebunan Amerika Latin dan bagian selatan Amerika Serikat dimana seseorang yang berhutang dan tidak sanggup membayar hutangnya bekerja pada pemilik perkebunan/orang yang memberikan hutang, sampai hutangnya lunas.
30

29

18

pelacuran terpaksa atau untuk bekerja dibawah kondisi yang sebanding dengan perbudakan untuk keuntungan bagi si pedagang.31 Suatu keprihatinan berbasis hak adalah perlu juga sebagai suatu keprihatinan yang inklusif-jender. Jender adalah faktor penentu dalam perdagangan, baik dari segi persediaan maupun permintaan. Perempuan dan anak-anak perempuan jauh lebih mungkin menjadi korban perdagangan orang dibandingkan dengan laki-laki ataupun anak laki-laki. Terutama jika kita bicara soal perdagangan orang yang ditujukan untuk pelacuran dan bentuk lain dari eksploitasi seksual, dan juga dalam eksploitasi kerja domestik yang lebih mirip dengan praktek perbudakan di era modern. Perdagangan orang adalah penjelmaan serius dari proses feminisasi kemiskinan dan tantangantantangan yang lebih besar yang dihadapi para perempuan dan anak-anak perempuan di dunia yang dikarakterisasi oleh diskriminasi jender, baik didalam maupun diluar pasar lapangan kerja.32 Pokok masalah dari perdagangan perempuan dan anak perempuan adalah status inferior kaum perempuan, prasangka budaya yang sangat berurat-akar yang menghalang-halangi kaum perempuan dalam menyadai potensinya. Kesemua hal itu diperparah dengan kegagalan negara dalam menjamin hak-hak perempuan. Di negara-negara dari mana sejumlah besar perempuan dan anak perempuan diperdagangkan, orang menemukan sketsa serupa dari ketidakberdayaan perempuan.33 Perdagangan orang telah merendahkan standar-standar tenaga kerja yang fundamental dan kondisi-kondisi kerja yang benar bagi semua pekerja, baik warganegara maupun migran. Penelitian dan berbagai laporan telah menegaskan adanya peningkatan perdagangan orang bersamaan dengan munculnya globalisasi, yang telah memberikan aksentuasi dan demarkasi pada perbedaan yang sebenarnya antara masyarakat dan negara-negara. Globalisasi telah menjadikan dunia menjadi ciut, melalui teknologi transportasi, informasi dan komunikasi yang seolah menjual mimpi akan kehidupan yang lebih baik di tempat lain. Disisi lainnya, globalisasi telah

Kantor Perburuhan Internasional, Buku 6: Perdagangan Perempuan dan Anak, dalam Pedoman Informasi: Mencegah Diskriminasi, Eksploitasi dan Perlakuan Sewenang-wenang terhadap Pekerja Migran Perempuan, Jakarta, Internatioal Labour Organization, 2004. hal. 11.
32

31

Ibid.

UNDP Regional HIV and Development Programme Team, Twilight zone, cerita sampul dalam You and ADIS The HIV and Development Magazine for Asia Pacific, Vol.2 Terbitan No. 1, Agustus 2003.

33

19

menggiatkan dampak negatif dari modernisasi dan pembangunan kapitalis serta menyumbang ketidakamanan ekonomi dan sosial yang meningkat. Alasan keprihatinan lainnya adalah soal kerentanan korban perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak perempuan, terhadap HIV/AIDS. Para perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan dapat terekspos pada resiko yang lebih tinggi terhadap penularan HIV serta masalah-masalah kesehatan reproduksi dan seksual lainnya dibandingkan dengan para pekerja seks komersial karena sifat dan situasi mereka yang terkurung serta terkendali serta kerentanan mereka terhadap perlakuan sewenang-wenang termasuk perkosaan secara keji. Disamping itu para perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan sering tidak memiliki akses ke pelayanan-pelayanan kesehatan dan pengobatan IMS dikarenakan kurangnya sumber daya keuangan, takut akan diketahui, pelayanan kesehatan yang tidak memadai, dan hal lainnya. Selain itu ancaman HIV/AIDS dapat juga digunakan untuk pendiskriminasian lebih lanjut terhadap para perempuan korban perdagangan. Para perempuan dan anak-anak perempuan yang diselamatkan dari perdagangan sering menjadi sasaran tes wajib HIV/AIDS pada saat mereka kembali ke negara mereka, sedangkan para laki-laki tidak diwajibkan untuk itu. Situasi-situasi membahayakan itu, semakin diperparah dengan tidak

memadainya ketentuan-ketentuan hukum serta intervensi kebijakan yang ada dari sebagian besar negara. Kurangnya perundang-undangan khusus yang tepat dan efektif mengenai perdagangan orang di tingkat nasional telah diidentifikasi sebagai salah satu halangan utama dalam memberantas perdagangan orang. Perundang-undangan yang ada dan penegakan hukum di sebagian besar negara selama ini tidak memadai untuk menghalangi perdagangan orang dan menyeret para pedagang ke hadapan hukum.

B.

Mendefinisikan Perdagangan Orang: Sifat Koersif dan Eksploitatifnya Istilah "trafficking" pertama kali dikenal dari instrumen PBB. Pada awalnya

"traffic" digunakan untuk merujuk kepada perdagangan budak kulit putih yang dialami oleh perempuan pada sekitar tahun 1900. Pada masa itu, banyak perempuan miskin kulit putih yang bermigrasi secara sukarela dari Eropa ke Arab dan daerah Timur Amerika sebagai selir ataupun pekerja seks komersial. Hal ini menjadi perhatian khusus bagi masyarakat Eropa kelas menengah, baik laki-laki dan perempuan, juga pihak Pemerintah. Hasilnya adalah terbentuknya kesepakatan internasional untuk menekan perdagangan budak kulit putih pada tahun 1904. 20

Kemudian istilah traffic berubah penggunaannya menjadi ditujukan kepada aktivitas mobilisasi perempuan untuk tujuan yang dianggap tidak bermoral, yaitu prostitusi. Pada awalnya, definisi tersebut diperuntukkan sebatas mobilisasi yang dilakukan didalam negara. Akan tetapi, menjelang tahun 1910 definisi itu diperluas hingga mencakup juga perdagangan perempuan yang terjadi dalam batas-batas transnasional. Akibatnya perempuan yang bermigrasi seringkali dilekatkan dengan prostitusi.34 Dugaan semacam itu terus menguat dalam dekade-dekade berikutnya, dan paling jelas terlihat dalam penerapan Konvensi 1949. Kemudian hal ini memunculkan kebingungan karena aktivitas migrasi yang dilakukan oleh perempuan selalu dilihat sebagai aktivitas perdagangan orang untuk tujuan prostitusi. Dampaknya bisa dilihat dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memberantas perdagangan orang oleh individuindividu, organisasi-organisasi, dan pemerintah. Pemerintah dari beberapa negara tujuan juga terus meleburkan pemahaman antara migrasi tak berdokumen dengan perdagangan orang, khususnya prostitusi. Respon semacam itu dari Pemerintah sesungguhnya diprediksi akan dapat membahayakan perempuan. Karena dengan anggapan semacam itu, mereka akan mengadopsi kebijakan imigrasi yang lebih ketat untuk membatasi mobilisasi perempuan muda dengan alasan untuk memberantas perdagangan orang. Beberapa negara asal juga telah mengadopsi kebijakan serupa untuk mencegah perempuan-perempuan muda meninggalkan negaranya atas dasar keyakinan yang salah bahwa mereka telah melakukan upaya pencegahan perdagangan orang.35 Dengan demikian terlihat bahwa konsep yang ada mengenai perdagangan orang telah mengabaikan HAM bagi korban perdagangan orang, serta digunakan oleh pemerintah untuk membatasi mobilisasi perempuan. Terkait dengan hal tersebut Pelapor Khusus PBB untuk Kekerasan terhadap Perempuan, telah membuat pernyataan menyangkut definisi perdagangan orang dalam Laporannya yang disampaikan pada Sidang Komisi HAM PBB yang ke-56. Adapun pernyataannya adalah sebagai berikut36:

Global Alliance against Traffic in Women, Human Rights and Trafficking in Persons: A Handbook, (Bangkok: Desember 2000), hal. 20.
35

34

Ibid., hal. 21.

Miller and Stewart (Chair and Rapporteur), 'Report from the Roundtable on the Meaning of "Traffic in Persons": A Human Rights Perspective', Women's Rights Law Reporter, 20.1:11, (London: Rutgers University, 1998), hal. 20.

36

21

At present there is no internationally agreed definition of trafficking. The term "trafficking" is used by different actors to describe activities that range from voluntary, facilitated migration, to the exploitation of prostitution, to the movement of persons through the threat or use of force, coercion, violence, etc. for certain exploitative purposes. Increasingly, it has been recognized that historical characterizations of trafficking are outdated, ill-defined and non-responsive to the current realities of the movement of and trade in people and to the nature and extent of the abuses inherent in and incidental to trafficking. Rather than clinging to outdated notions of the constituent elements of trafficking, which date back to the early nineteenth century, new understandings of trafficking derive from an assessment of the current needs of trafficked persons in general, and trafficked women in particular. New definitions also must be specifically tailored to protect and promote the rights of trafficked persons, with specific emphasis on gender-specific violations and protections.

Sehingga pada akhirnya, masyarakat internasional menyadari kebutuhan untuk memperluas pemahaman mengenai perdagangan orang. Diantaranya adalah dengan memasukkan kawin paksa dan kerja paksa sebagai salah satu bentuk dari perdagangan orang. The UN Office of the High Commissioner for Human Rights, the UN Children's Fund (UNICEF), the UN Special Rapporteur on Violence Against Women dan the International Organization for Migration (IOM) telah mengadopsi definisi perdagangan orang dengan mencakup berbagai bentuk tindakan yang melanggar HAM, seperti perbudakan, dan tidak hanya terbatas pada prostitusi. The United Nations Office of the High Commissioner for Human Rights, the United Nations Children's Fund (UNICEF) dan the International Organization for Migration mendefinisikan perdagangan orang sebagai berikut37:

"trafficking is recruitment, transportation, transfer or harbouring, or receipt of any person for any purpose or in any form, including the recruitment, transportation, transfer or harbouring, or receipt of any person by the threat or use of force or by abduction, fraud, deception, coercion or abuse of power for the purposes of slavery, forced labour (including bonded labour or debt bondage) and servitude".

Sementara the UN Special Rapporteur on Violence Against Women dalam Laporannya pada
Sidang Komisi HAM PBB mendefinisikan perdagangan orang sebagai berikut:

Trafficking in persons means the recruitment, transportation, purchase, sale, transfer, harboring or receipt of persons:

Trafficking in Women and Children, <http://www.uncjin.org/Documents/Conventions/ dcatoc/8session/27e.pdf>, Mei 2011.

37

22

(i) By threat or use of violence, abduction, force, fraud, deception or coercion (including the abuse of authority), or debt bondage, for the purpose of: (ii) placing or holding such person, whether for pay or not, in forced labour or slavery-like practices, in a community other than the one in which such person lived at the time of the original act described in (i). Subsection (i) of the definition covers all persons involved in the trafficking chain: those at the beginning of the chain, who provides or sells the trafficked person, and those at the end of the chain, who receives or purchases the trafficked person, hold the trafficked person in forced labor and profit from that labor. Criminalizing the activities of all parties involved throughout the process of trafficking would facilitate efforts to both prevent trafficking and punish traffickers. Definisi lainnya sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 3 the UN Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, yang melengkapi the UN Convention Against Transnational Organized Crime, yaitu: "(a) 'Perdagangan orang' berarti pengerahan, pengangkutan, pengiriman, penyembunyiam atau penerimaan orang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari paksaan, penculikan, kecurangan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi kerentanan atau penerimaan atau penerimaan pembayaran-pembayaran atau keuntungan-keuntungan untuk mencapai persetujuan dari seseorang yang memiliki kekuasaan atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk didalamnya adalah, paling minimum, eksploitasi pelacuran pihak lain atau bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan-pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek lain yang mirip dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh manusia. "(b) Persetujuan dari korban perdagangan orang untuk eksploitasi yang dinyatakan dalam sub-alinea (a) Pasal ini menjadi tidak relevan dimana caracara apapun yang dinyatakan dalam sub-alinea (a) telah dipakai (c) Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penyembunyian atau menerima seorang anak untuk maksud eksploitasi harus dianggap sebagai perdagangan orang walaupun hal ini tidak melibatkan cara-cara apapun yang dinyatakan dalam sub-alinea (a) Pasal ini (d) Anak berarti siapapun yang berusia dibawah delapan belas tahun.

Protokol yang biasa disebut dengan Protokol Palermo ini melakukan pendekatan yang berbeda dalam mendefinisikan perdagangan orang jika dibandingkan dengan Konvensi 1949 yang hanya berfokus pada prostitusi. Protokol ini mempertimbangkan adanya prostitusi yang dilakukan secara sukarela oleh perempuan dewasa disamping adanya prostitusi secara paksaan. Semua delegasi yang hadir saat Protokol ini akan ditandatangani bersepakat bahwa prostitusi yang dilakukan secara

23

sukarela tidak termasuk dalam perdagangan orang. Namun, sebagian besar Pemerintah menolak gagasan tersebut dan bersikeras bahwa prostitusi baik oleh paksaan maupun pilihan secara sukarela merupakan bentuk perdagangan orang. Pada akhirnya, delegasi sepakat untuk meninggalkan frasa tersebut dan menambahkan penjelasan bahwa Catatan Resmi hasil negosiasi harus menunjukkan bahwa Protokol telah melakukan pembahasan mengenai eksploitasi pada prostitusi dalam berbagai bentuk, serta bentuk eksploitasi seksual lainnya dalam konteks perdagangan orang. Istilah eksploitasi pada prostitusi dalam berbagai bentuk atau bentuk eksploitasi seksual lainnya tidak didefinisikan dalam Protokol, yang karena itu tidak mengurangi bagaimana Pihak Negara bersikap terhadap prostitusi sebagaimana yang dimuat dalam undang-undang dalam negerinya.38 Dengan demikian, Protokol Palermo secara tegas mengizinkan Pihak Negara penandatangan untuk berfokus hanya pada prostitusi paksa dan kejahatan lain yang menggunakan kekerasan ataupun paksaan dan sekaligus tidak meminta pemerintah untuk memperlakukan semua prostitusi yang dilakukan orang dewasa secara sukarela sebagai bentuk perdagangan orang. Pemerintah yang ingin fokus pada kejahatan yang melibatkan kekerasan atau paksaan dalam prostitusi, ataupun bentuk lain dari kerja paksa bahkan tidak perlu untuk memasukkan istilah eksploitasi pada prostitusi dalam berbagai bentuk dan bentuk eksploitasi seksual lainnya dalam hukum positifnya. Istilah kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan, dan penghambaan sudah mencakup semua situasi termasuk keterlibatan paksa dalam industri seks.39 Dalam Protokol ini, perdagangan orang didefinisikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang ditandai dengan menipu dan mengeksploitasi. Adapun cakupan tindakan yang dianggap sebagai bagian dari proses perdagangan orang semakin diperluas, yaitu perekrutan, pengangkutan,

pemindahanan, penyembunyian dan penerimaan orang-orang di tempat tujuan. Dan perhatian dipusatkan pada berbagai macam cara yang dipakai dan kekuatan yang kasar dan kasat mata sampai ke pembujukan yang halus yang memanfaatkan kerentanan untuk mencapai persetujuan dari korban. Sedangkan membuat

38

Global Alliance Against Traffic in Women, op. cit., hal. 25. Ibid., hal. 26.

39

24

persetujuan terhadap eksploitasi yang direncanakan menjadi tidak relevan, dimana cara apapun yang disebutkan dalam definisi telah disebutkan.40 Dari berbagai definisi yang diungkapkan, dapat dilihat bahwa perdagangan orang bukan sekedar kasus pekerja pabrik dengan upah rendah, tereksploitasi dalam situasi kerja yang tidak manusiawi, namun bebas untuk datang dan pergi berganti pekerjaan. Memang terjadi pelanggaran terhadap hak-hak mereka sebagai pekerja, dan situasi ekonomi mungkin memaksa mereka untuk tetap bekerja dalam situasi tersebut. Namun mereka tidak diperdagangkan. Perdagangan orang melibatkan manipulasi kejahatan terhadap orang yang ingin atau perlu untuk bermigrasi demi kehidupan yang lebih baik. Ada sifat memaksa, tanpa mufakat dan eksploitatif atau merendahkan tujuan mobilisasi dan melibatkan sejumlah pelanggaran HAM yang serius. Langkah-langkah yang dlakukan untuk memberantas perdagangan orang tidak boleh berakibat buruk pada HAM dan harga diri manusia, dan khususnya hak-hak dari mereka yang diperdagangkan, para migran, orang-orang yang terlantar di dalam negeri, para pengungsi dan para pencari suaka. Hal ini melibatkan keterkaitan antara kejahatan yang terorganisir dengan migrasi. Meski demikian adalah sangat penting untuk tidak mencampur-adukkan perdagangan orang dengan berbagai manifestasi dari migrasi dan mobilisasi di satu pihak dan dengan pelacuran dan kerja seks di pihak lain. Adalah benar bahwa perdagangan orang memperjelas berbagai masalah yang dikaitkan dengan migrasi tidak teratur secara keseluruhan. Tetapi menyamakan perdagangan orang dengan migrasi tidak teratur dapat berujuang pada pemecahan masalah yang disederhanakan dan tidak realistik. Untuk mencegah perdagangan orang, ada langkah-langkah yang dilakukan baik secara sadar maupun yang kurang hati-hati untuk menghentikan mereka yang dianggap rentan bermigrasi. Contohnya, beberapa negara tidak memperbolehkan para perempuan dalam usia tertentu pergi keluar negeri kecuali dikawal oleh saudara laki-laki atau menunjukkan bukti persetujuan dari wali mereka. Mencampur-adukkan perdagangan orang dengan migrasi berakibat memperkuat prasangka jender, yakni perempuan dan anak perempuan terus menerus memerlukan perlindungan laki-laki atau negara dari kejahatan, dan dengan demikian tidak diperbolehkan untuk melaksanakan hak mereka untuk bergerak atau hak untuk tidak

UNIFEM dan UN Project on Human Trafficking in the Mekong Sub-region, Trafficking in Persons: A Gender and Rights Perspective Briefing Kit, Lembaran 2.

40

25

mencari penghidupan yang sesuai dengan cara yang mereka pilih. Membendung migrasi tidak menghentikan perdagangan orang, dan hanya mendorong kegiatan ini semakin jauh tersembunyi.41 Di sisi lain, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, mencampur-adukkan perdagangan orang dengan kerja seks atau pelacuran mengakibatkan langkah-langkah anti-perdagangan selalu menjadi langkah-langkah anti-pelacuran. Pelacuran sendiri sebagai tujuan semata-mata dari perdagangan orang adalah perumusan yang tidak dapat dipertahankan karena tidak semua korban perdagangan adalah para pelacur dan tidak semua pelacur adalah korban perdagangan orang.42 Kekeliruan lainnya yang terkait dengan perdagangan orang adalah keterkaitannya dengan penyelundupan. Penyelundupan orang adalah penyeberangan perbatasan secara tidak resmi dan dengan demikian penyelundupan adalah pelanggaran terhadap negara, sementara perdagangan orng adalah pelanggaran terhadap hak-hak individu, sehingga korban dari kejahatan tersebut adalah orangorang yang diperdagangkan itu sendiri. Digunakannya paksaan, kekuatan dan/atau penipuan untuk tujuan eksploitasi adalah kunci untuk menentukan apakah seseorang telah diperdagangkan atau tidak, dan ini membedakan perdagangan orang dengan penyelundupan. Dibandingkan dengan perdagangan orang, penyelundupan mungkin tidak melibatkan pemaksaan atau eksploitasi sama sekali. Penyelundupan merujuk pada pergerakan tidak resmi yang dipermudah atas orang-orang untuk melintasi perbatasan negara demi keuntungan.43 Orang yang diselundupkan, berkeinginan untuk mencapai negara tujuan dimana saluran migrasi legal telah tertutup, mungkin membuat suatu kontrak yang sepenuhnya dibuat berdasarkan kesepakatan untuk melakukan migrasi gelap atau tidak teratur. Kerancuan antara penyelundupan dan perdagangan orang dapat mempersulit dalam mendapatkan informasi, khususnya dari negara-negara transit. Mempermudah masuk secara tidak resmi kedalam atau melalui suatu negara dengan sendirinya bukanlah perdagangan orang, walaupun

penyelundupan migran sedemikian ini adalah bagian dari operasi perdagangan orang atau berubah menjadi situasi perdagangan. Sementara mereka dipindahkan melalui
41

Kantor Perburuhan Internasional., hal. 12. Ibid., hal. 13.

42

Perserikatan Bangsa-Bangsa, Protokol menentang Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut dan Udara, Tambahan Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional yang Terorganisir, tahun 2000, Pasal 3.

43

26

negara-negara transit, para korban perdagangan mungkin tidak mengetahui bahwa mereka akan dipaksa masuk ke pelacuran atau pekerjaan ketika mereka tiba di negara tujuan. Demikian pula halnya dengan patrol perbatasan atau pejabat migrasi yang mungkin mengetahui orang-orang yang masuk secara tidak resmi ke, atau transit melalui, suatu negara, tetapi tidak memiliki informasi yang membuat mereka selalu waspada terhadap situasi perdagangan orang.44 Perdagangan orang melibatkan keterkaitan antara kejahatan yang terorganisir dengan migrasi. Migran dipaksa oleh aturan imigrasi yang ketat dan rumit untuk bergantung pada pihak ketiga yang bisa membantu perjalanan mereka. Jika mereka beruntung, mereka akan dibantu oleh orang yang jujur. Namun jika mereka sial, akan bertemu dengan penjahat perdagangan orang yang akan menggunakan segala cara untuk menjadikan mereka sebagai korbannya. Ada beberapa perbedaan yang mendasar antara migrasi, penyelundupan orang, dan perdagangan orang. Migrasi dipahami sebagai aktivitas dimana seseorang berpindah dari satu negara ke negara yang lain. Dapat dilakukan secara resmi ataupun tidak resmi, dan dapat juga dilakukan secara sukarela (dengan persetujuan dari yang bersangkutan) ataupun paksaan (tanpa persetujuan mereka), namun pada umumnya dilakukan atas dasar persetujuan yang bersangkutan. Penculikan dan perdagangan orang adalah contoh dari migrasi yang dilakukan dengan paksaan. Sementara penyelundupan adalah memindahkan seseorang (dengan persetujuan mereka) ke negara lainnya melalui mekanisme yang tidak resmi. Perdagangan orang sendiri memiliki unsur inti, diantaranya adalah perpindahan seseorang, dengan penipuan ataupun paksaan kepada situasi kerja paksa, penghambaan ataupun praktik-praktik serupa perbudakan. Banyak orang yang bermigrasi secara sukarela namun berakhir dengan menjadi korban perdagangan orang. Migrasi dengan persetujuan tidak berarti diperdagangkan secara sukarela. Istilah seperti itu adalah kontradiksi, karena tidak pernah ada seorang yang mengizinkan dirinya diperlakukan selayaknya budak, mengalami penghambaan atau situasi kerja paksa45. Perdagangan orang menjadi suatu kejahatan dan suatu pelanggaran terhadap HAM karena sifat tanpa-mufakat atau memperdayakan dari pergerakannya, dan sifat

United States of America Department of State, Victims of Trafficking and Violence Protection Act 2000 Trafficking in Persons Report, Juni 2003, hal. 17.
45

44

Kantor Perburuhan Internasional., hal. 18.

27

eksploitatif serta kejam dari kondisi kerja dan kondisi-kondisi kehidupan dimana orang yang diperdagangkan dikurung. Perdagangan orang tidak menjadi suatu kejahatan karena tujuan orang itu dipindahkan atau berpindah. Unsur-unsur yang umum dalam perdagangan orang adalah bukan soal mobilisasi atau lokasi tempat kerja semata-mata, tetapi pencaloan, tidak adanya mufakat dan kondisi kerja yang eksploitatif. Sayangnya, sebagian besar prakarsa-prakarsa mengenai perdagangan orang telah gagal membuat perbedaan ini, dan justru terpusat pada penghentian pergerakan khususnya perempuan, dengan anggapan bahwa mereka akan diperdagangkan, tanpa memperhatikan faktor mufakat dari yang bersangkutan.46 Hal lain yang juga perlu untuk diperhatikan adalah perlunya untuk mengenali kebutuhan yang berbeda antara anak-anak dengan orang dewasa yang menjadi korban perdagangan orang. Anak-anak memiliki status hukum yang berbeda dan juga kebutuhan yang berbeda, sehingga sudah semestinya mereka mendapatkan perlindungan hak yang berbeda dalam hukum nasional maupun internasional. Mereka belum memiliki kapasitas yang cukup untuk meminta masyarakat untuk melindungi hak-haknya, sehingga membutuhkan bantuan orang lain. Untuk alasan ini, formulasi pemulihan dalam mengatasi perdagangan orang yang dialami oleh anak-anak seharusnya dilakukan secara terpisah dengan orang dewasa. The United Nations Office on Drugs and Crime dalam Global Report on Trafficking in Persons of 2009 mengungkapkan data bahwa sebanyak 65 75% korban perdagangan orang sepanjang tahun 2003 2006 adalah perempuan, sedangkan korban anak-anak mencapai 15 25% dan korban laki-laki mencapai sekitar 15%. Korban perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi seksual diperhitungkan sekitar 79% dan diikuti oleh korban akibat kerja paksa sekitar 18%. Akan tetapi banyak juga jenis perdagangan orang lainnya yang tidak terlaporkan, sebagiannya karena banyak diantaranya yang tidak terlihat seperti pekerja yang terikat hutang, penghambaan domestik, kawin paksa, dan eksploitasi anak-anak, industri seks atau bahkan untuk kepentingan perang. Diyakini jumlah pelaku kejahatan perdagangan orang terus meningkat, yang sayangnya tidak diiringi dengan meningkatnya kepedulian masyarakat atas persoalan ini. Dalam laporan tersebut, sebagian besar perdagangan orang terjadi pada lingkup nasional ataupun regional,

R. Kapur, The global war on trafficking, terror and human rights di Global Alliance Against Traffic in Women (GAATW), Alliance News, Terbitan No. 18, Juli 2002, hal. 21-22.

46

28

meskipun perdagangan orang yang terjadi dalam lingkup interregional juga sering terjadi. Lingkaran perdagangan orang dapat dijelaskan sebagai usaha yang terorganisir dengan baik yang dibagi kedalam beberapa tahap. Tahapan yang pertama adalah mobilisasi dimana terjadi perekrutan. Dalam tahap mobilisasi, perdagangan orang beroperasi dengan kekerasan, paksaan, tipu muslihat, keterlibatan yang dilakukan oleh anggota keluarga atau orang lain, atau melalui informasi yang salah dan ketidaktahuan tentang apa yang sesungguhnya menanti mereka di tempat tujuan.47 Kadang-kadang para perempuan diculik dari satu negara dan dibawa secara paksa ke negara lain, yang mana perempuan pribumi dan perempuan dari minoritas etnik mungkin sangat rentan. Para pedagang mungkin membeli korban dari anggota keluarga secara kontan tunai. Bisa terjadi adanya keterlibatan dari pihak anggota keluarga. Mereka yang mengalami kekerasan keluarga akan lebih mungkin untuk diperdagangkan. Modus lainnya adalah para pedagang dapat meminjamkan uang dan memiliki kontak dengan keluarga, kemudian si perempuan atau anak perempuan anggota keluarga dibawa ke luar negeri untuk membayar kembali uang yang dipinjamkan kepada keluarga. Atau para korban dipikat dengan penawaranpenawaran kerja48. Banyak korban sudah mencari kesempatan untuk bermigrasi ketika mereka terbujuk oleh janji-janji palsu tentang pekerjaan-pekerjaan bergaji bagus di negaranegara asing sebagai au pair (orang yang menjadi pengasuh anak dan/atau PRT sebagai pertukaran untuk tempat tinggal dan makanan) model, penari, pelayan, pelayan hotel, PRT dan atau sejenisnya. Para pedagang mengiklankan pekerjaanpekerjaan palsu ini di media massa lokal atau mereka mungkin langsung mendekati si perempuan atau keluarga mereka dengan penawaran-penawaran untuk pekerjaan berupah bagus di tempat lain. Setelah menyediakan pengangkutan dan surat-surat palsu untuk membawa korban ke tempat tujuan mereka, para pedagang kemudian mengenalkan biaya-biaya yang sangat mahal atas pelayanan-pelayanan tersebut, menciptakan perhambaan karena hutang (debt bondage) yang kekal. Para korban dipikat dengan janji palsu tentang kesempatan-kesempatan menikah. Sindikat-sindikat kejahatan memanfaatkan jasa pelayanan pernikahan ataupun jasa biro jodoh untuk
47

Kantor Perburuhan Internasional, op. cit., hal. 20. Ibid.,

48

29

menemukan korban mereka. Selain itu, para perempuan yang bekerja di industri seks di negara asal mereka jauh lebih rentan untuk diperdagangkan. Beberapa perempuan yang bekerja sebagai pelacur memutuskan dengan sukarela untuk bermigrasi dan bekerja di luar negeri, tetapi mayoritas dan mereka ini diperdagangkan. Komponen penting dari siklus perdagangan orang adalah bahwa pergerakan atau pengangkutan yang terjadi adalah sedemikian rupa untuk menempatkan korban dalam linkungan sosial yang asing dimana dia sering terkucil secara budaya, bahasa atau fisik, jauh dari keluarga dan teman-teman serta sumber-sumber perlindungan dan dukungan-dukungan yang lain, dan ditolak identitas hukumnya atau aksesnya ke keadilan. Keterlepasan sedemikian ini meningkatkan keterpinggiran perempuan yang diperdagangkan, dan dengan demikian meningkatkan resiko perlakuan sewenangwenang, eksploitasi, dominasi atau diskriminasi oleh para pedagang dan pejabatpejabat negara. Perdagangan orang dapat terjadi didalam negara atau melintasi perbatasan nasional dengan menggunakan berbagai macam cara pengangkutan dan teknologi serta metode-metode untuk melintasi perbatasan49. Jejaring perdagangan orang dan kejahatan terorganisir ada yang berupa perdagangan skala kecil yang melibatkan sedikit orang dan usaha-usaha kecil. Tapi yang lebih penting, usaha-usaha besar dan jejaring internasional menciptakan sistem yang canggih dan terorganisir baik dengan dukungan politis dan sumber-sumber daya ekonomi di negara-negara asal, transit, dan tujuan. Ketika organisasi-organisasi kejahatan ini mengontrol seluruh rantai dari perekrutan sampai pengangkutan ke situasi tujuan, pengaruh mereka terhadap para korban sangat kuat serta eksploitasi yang terjadi sangat serius50. Kejahatan terhadap kemanusiaan semacam ini tidak dapat dibiarkan terus terjadi. Melakukan berbagai tindakan yang diperlukan untuk memberantasnya adalah satu hal yang mutlak diperlukan. Namun, untuk bisa mengambil langkah yang tepat dalam upaya tersebut diperlukan pengetahuan yang terkait dengan situasi alamiah yang melatarbelakangi terjadinya perdagangan orang. Juga gambaran profil dari pelaku dan korban perdagangan orang. Kurangnya data akan situasi alamiah dan tingkat keparahan suatu masalah akan membuat masalah tersebut menjadi tidak terselesaikan. Seringkali informasi yang ada hanya berdasarkan estimasi dengan
L. Kelly dan L. Regan, Trafficking in Women, in British Council, The Network Newsletter, newsletter no.20, Mei 2000, hal. 4.
50 49

Ibid.,

30

sedikit penjelasan bagaimana hal-hal tersebut diperhitungkan. Selain itu, menganalisa berbagai penyebab terjadinya perdagangan orang akan membantu dalam memahami dan melakukan upaya pencegahan untuk mengeliminasi perdagangan orang51. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perdagangan orang. Pada sebagian besar kasus, kemiskinan adalah penyebab utama terpenting dari kerentanan dan ketidak-berdayaan. Jika para migran yang diselundupkan pada umumnya tidak berasal dari keluarga atau kelompok masyarakat yang paling miskin, maka para korban perdagangan orang paling sering berasal dari keluarga atau komuniitas yang paling miskin dan terpinggirkan. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa proses feminisasi kemiskinan menjadikan tekanan-tekanan semakin keras terhadap kaum perempuan untuk mendapatkan penghasilan, dan mereka sulit untuk menolak tawaran janji menggiurkan tentang pekerjaan dan penghasilan yang lebih tinggi di negeri asing serta sudi untuk mengambil resiko. Keluarga-keluarga yang sangat miskin mungkin juga menjual anak-anak perempuan mereka kepada para pedagang untuk pembayaran hutang mereka.52 Namun bukan hanya kemiskinan mutlak (hidup dibawah garis kemiskinan) dan kurangnya pekerjaan yang mendorong para perempuan dan anak perempuan kedalam tangan para pedagang, tetapi juga kemiskinan nisbi (ketidaksamaan penghasilan, menganggap diri sendiri miskin dibandingkan dengan orang lain dan ingin menutup kesenjangan tersebut). Dengan dipengaruhi oleh para migran yang kembali yang telah berhasil, apa yang ditayangkan oleh media massa (termasuk internet) tentang pilihan gaya hidup yang lebih diinginkan, dan kecenderungan yang semakin bertambah terhadap materialisme dan konsumerisme, maka para perempuan muda dan anak-anak perempuan sudi mengambil resiko. Atau bahkan pada tingkat yang lebih dasar, mereka mungkin ingin melarikan diri dari kebosanan pekerjaan tanpa upah di pertanian keluarga, usaha-usaha informal dan kerja pengasuhan dirumah. Keinginan mereka untuk kehidupan yang lebih baik mungkin begitu kuatnya sehingga mengalahkan pengetahuan mereka yang terbatas soal bahaya-bahaya yang potensial. Bahkan ketika mereka memiliki pikiran tentang kerentanan mereka

51

Ibid.,

UNICEF, UNOHCHR dan OSCE-ODIHR, Trafficking in Human Beings in Southeastern Europe, Belgrade, UNICEF, Juni 2002, hal. 7.

52

31

(walaupun tidak pernah dengan informasi yang lengkap), banyak dari mereka yang tetap berpendapat bahwa resiko yang ada memang seimbang.53 Selain soal kemiskinan, situasi keluarga yang bermasalah juga menjadi faktor penyebab terjadinya perdagangan orang. Para perempuan muda dan anak perempuan dari keluarga-keluarga miskin dan berhutang sering dipilih oleh keluarga mereka untuk bekerja di daerah-daerah atau negara-negara lain sebagai bagian dari strategi kelangsungan hidup. Mereka ini adalah yang paling mungkin untuk dijual atau diserahkan kepada para pedagang karena ketidakberdayaan mereka didalam keluarga mereka sendiri, atau karena mereka lebih dapat dipercaya dibandingkan laki-laki muda dalam pengiriman uang dan mengurus keluarga. Di banyak masyarakat, juga terdapat kecenderungan yang berkembang dari kaum perempuan dalam mengambil tanggungjawab untuk kelangsungan hidup seluruh keluarga dan mencari sumbersumber baru untuk pendapatan.Situasi keluarga yang terganggu seperti kekerasan dalam rumah tangga, alkoholisme, perlakuan sewenang-wenang dan pengabaian terhadap anak, perbuatan sumbang, perselisihan perkawinan dan perpecahan keluarga. Kesemua situasi itu bisa mendorong perempuan dan anak perempuan untuk meninggalkan rumah dan membuat mereka lebih rentan terhadap para pedagang.54 Penyebab lainnya adalah kurangnya kesempatan memperoleh pendidikan dan akses terhadap informasi. Fakta menunjukkan bahwa adanya suatu korelasi yang kuat antara perdagangan orang dengan tingkat pendidikan yang rendah, pelatihan yang tidak cukup dan kurangnya kesempatan memperoleh pendidikan.Bagi perempuan dan anak perempuan, orangtua seringkali tidak memberikan anak-anak perempuannya modal kehidupan berupa pendidikan dengan asumsi bahwa anak-anak mereka pada akhirnya akan segera menikah dan masuk kedalam keluarga suami dan tidak akan membawa penghasilan kedalam rumah tangga orangtuanya. Kurangnya pendidikan dan keterampilan tersebut sangat memperburuk kerentanan perempuan dan anak perempuan, karena mereka memiliki pilihan yang terbatas untuk mendapatkan penghasilan. Hal itu semakin diperparah manakala para perempuan dan anak perempuan tersebut buta aksara, karena mereka tidak memiliki akses terhadap informasi yang tepat mengenai pasar lapangan kerja dan kesempatan-kesempatan

53

Kantor Perburuhan Internasional., hal. 31. Ibid., hal. 32.

54

32

kerja, ataupun tentang proses migrasi dan saluran-saluran perekrutan yang benar dan legal.55 Perdagangan orang memang mempengaruhi setiap orang, baik perempuan maupun laki-laki. Namun demikian, keprihatinan terbesar adalah kenyataan bahwa mayoritas dari orang-orang yang diperdagangkan adalah perempuan dan anak perempuan. Jender adalah faktor penentu dalam perdagangan orang baik dari segi persediaan maupun dari sisi permintaan.56 Di banyak masyarakat, perempuan sering dipandang sebagai dapat digantikan dan diharapkan untuk mengorbankan pendidikan dan keamanan, mengambil alih tanggungjawab orangtua dan saudara-saudara kandung. Seringkali para perempuan muda dan anak perempuan dapat dimanipulasi oleh tradisi-tradisi budaya untuk menunjukkan kewajiban, perhatian dan terima kasih kepada orangtua mereka, bahkan jika ini berarti untuk diperdagangkan kedalam pelacuran dan bentuk lain dari eksploitasi. Kebijakan-kebijakan yang mengingkari persamaan hak antara perempuan dengan laki-laki atas pendidikan, informasi, kekayaan dan sumber daya lainnya mungkin tidak hanya menyerobot pembagian berbasis jenis kelamin di pasar lapangan kerja, tetapi dapat juga membuat para perempuan lebih rentan terhadap bentuk-bentuk migrasi yang sewenang-wenang dan untuk diperdagangkan.57 Dalam budaya-budaya dan kelompok masyarakat dimana kaum perempuan dan anak perempuan memiliki kedudukan rendah dan dipandangan sebagai warga kelas dua, yang mana kekerasan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang diampuni sehingga masyarakat cenderung mentoleransi kekerasan terhadap perempuan, maka mereka sangat lebih mungkin rentan untuk menjadi korban perdagangan. Banyak laporan yang menyoroti fakta bahwa kekerasan dalam rumah tangga sebagai salah satu faktor penyebab yang membuat perempuan bermigrasi ke luar negeri untuk pekerjaan. Faktor penyebab lainnya adalah krisis ekonomi, bencana alam, perang dan konflik politik. Perubahan politik yang mendadak, keruntuhan ekonomi, keresahan masyarakat sipil, konflik senjata di dalam negeri dan bencana alam sangat meningkatkan kemungkinan suatu negara menjadi sumber korban perdagangan orang.
55

Ibid. Ibid. Ibid., hal. 33.

56

57

33

Bencana-bencana semacam ini menimbulkan ketidakstabilan dan mobilisasi warga, serta mengakibatkan ketidakamanan ekonomi dan sosial. Hal tersebut bisa mendorong perempuan dan anak perempuan untuk melarikan diri demi mencari pilihan-pilihan lain yang mungkin, dan dalam prosesnya bisa menempatkan diri mereka di tangan para pelaku perdagangan orang. Hanya memusatkan pada faktor-faktor persediaan tanpa melihat pada perihal yang rumit mengenai permintaan di negara tujuan telah terbukti tidak efektif. Proses globalisasi telah mengubah batas-batas pasar, meningkatkan pembauran global, mengubah pembagian kerja internasional dan meningkatkan tekanan-tekanan kompetitif. Perubahan-perubahan semacam ini telah menciptakan permintaan atas pekerja murah dan menghasilkan jenis-jenis pekerjaan 3-D (Dirty, Dangerous, and Degrading) yang mana penduduk negara-negara maju dan terindustrialisasi tidak sudi melakukannya. Perdagangan orang dan eksploitasi para pekerja migran perempuan sering menjadi suatu cara untuk memenuhi permintaan atas pekerja-pekerja untuk mengisi pekerjaan semacam itu.58 Sumber-sumber pokok dari permintaan dan penyebab utama di negara-negara tujuan dapat ditelusuri dari daya saing biaya dalam produksi padat-karya dan berorientasi ekspor. Tekanan terhadap bisnis untuk dapat bertahan dalam pasar yang semakin kompetitif telah menyebabkan industri-industri manufaktur untuk

memindahkan sebagian besar atau seluruh operasi mereka ke sistem ekonomi berupah rendah atau untuk melakukan produksi di luar perusahaan dengan cara mengkontrakkan pada perusahaan-perusahaan di negara dengan upah pekerja yang rendah. Selain itu, meningkatnya informalisasi (proses dimana sesuatu menjadi bersifat tidak resmi) dan kasualisasi (proses dimana sesuatu menjadi bersifat sambil lalu dan sembarangan) produksi serta hubungan perburuhan telah menjadi faktor sangat penting dibalik eksploitasi terhadap para pekerja migran.59 Penting juga untuk melihat fakta akan kurangnya penghargaan terhadap standar-standar ketenagakerjaan. Insentif utama untuk perdagangan tenaga kerja adalah kurangnya penerapan dan penegakan standar-standar perburuhan di negaranegara tujuan (juga negara asal). Standar ini termasuk penghargaan terhadap kondisi kerja minimum dan persetujuan dari pekerja atas kondisi mereka. Serta ada juga
58

Ibid., hal. 36. Ibid.

59

34

keterkaitan dengan kurangnya pengorganisasian atau perwakilan dalam hal suara pekerja. Permintaan untuk tenaga atau pelayanan dari orang-orang yang

diperdagangkan hampir sama sekali tidak ada di sektor-sektor dimana pekerja berserikat dengan baik dan dimana standar-standar perburuhan terbentuk dengan baik, dipantau secara teratur dan ditegakkan.60 Faktor lainnya adalah soal perluasan industri seks dan hiburan yang menguntungkan. Industri seks global yang berkembang cepat telah menjadi faktor utama dibalik perdagangan perempuan dan anak perempuan, serta eksploitasi seksual yang serius.61 Hal tersebut dikaitkan dengan pertumbuhan industri wisata dan usahausaha perjudian, industri pronografi dikaitkan dengan penggunaan internet, dan perluasan jalur truk internasional serta pemusatan besar-besaran para migran laki-laki tanpa pasangan di wilayah-wilayah tertentu seperti daerah pertanian dan lokasi pembangunan. Baik dari segi persediaan maupun dari segi permintaan, selalu ada persoalan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum yang tidak memadai atau tidak efektif. Kurangnya peraturan perundang-undangan khusus yang tepat dan efektif mengenai perdagangan orang di tingkat nasional telah diidentifikasi sebagai salah satu halangan utama dalam memberantas perdagangan orang. Perundang-undangan yang ada dan penegakan hukum di sebagian besar negara selama ini tidak memadai untuk menghalangi perdagangan orang dan menyeret para pedagang ke hadapan hukum, gagal untuk mencerminkan beratnya kejahatan-kejahatan yang terlibat.62 Sebagian besar negara tidak memiliki perundang-undangan yang akan memungkinkan para pelaku kejahatan dihukum langsung untuk kejahatan perdagangan orang. Ini mengantarkan pada situasi dimana bahkan kasus perdagangan orang yang paling terang-terangan sekalipun dihukum berdasarkan undang-undang untuk pelanggaran yang lebih ringan, misalnya undang-undang tentang pelacuran atau mucikari. Lingkup terbatas dari undang-undang ini memungkinkan para pedagang untuk mendapatkan hukuman yang relatif ringan yang tidak mencerminkan sifat serius dan kejam dari perdagangan orang.63
60

Ibid., hal. 38. Ibid., hal. 37. Ibid., hal. 14. Ibid., hal. 39.

61

62

63

35

Walaupun jika perdagangan orang dirumuskan sebagai kejahatan dalam undang-undang, ia kadang-kadang terbatas penerapannya untuk kejahatan dengan tujuan eksploitasi seksual dan tidak mencakup bentuk lain dari kerja paksa, perbudakan atau perhambaan. Pendekatan sedemikian mencampur-adukkan

perdagangan orang dengan pelacuran. Hal ini tidak hanya berarti bahwa para pedagang bisa lolos dari pidana yang sepadan, melainkan ia juga dapat mengarah ke diskriminasi lebih lanjut terhadap perempuan korban perdagangan orang karena sikap merugikan para penegak hukum dan masyarakat umumnya terhadap seorang pelacur. Di sisi lain, para korban perdagangan orang seringkali dihukum lebih keras dibandingkan dengan para pedagang itu sendiri. Mereka dipidana dan dideportasi, ketimbang dilindungi. Pihak berwenang cenderung memperlakukan orang-orang yang diperdagangkan sebagai penjahat ketimbang sebagai korban, karena status tinggal dan pekerjaan mereka yang tidak teratur di negara tujuan, atau karena mereka bekerja di dunia pelacuran. Tindakan-tindakan ini mengakibatkan para korban tidak

mempercayai pihak berwenang dan menolak untuk bekerjasama dalam penyelidikan dan dengan demikian mengurangi kemungkinan para pedagang akan berhasil dihukum. Selama ini pendekatan yang dilakukan oleh sebagian besar pemerintah adalah untuk memberantas migrasi tidak resmi, kejahatan terorganisir dan pelacuran (tidak resmi). Sedangkan di pihak lain kebutuhan akan program-program pencegahan dan perlindungan terhadap hak-hak korban tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Pendekatan yang sempit ini mencabut HAM dasar dari mereka yang diperdagangkan, dan kemungkinan juga menciptakan atau memperburuk keadaan-keadaan yang menyebabkan atau menyumbang perdagangan orang. Instansi-instansi penegak hukum selama ini hanya memindahkan orang-orang yang diperdagangkan dari satu sistem kontrol ke sistem kontrol lainnya. Dari dikontrol oleh para pedagang ke dikontrol oleh para pejabat penegak hukum. Mereka cenderung memprioritaskan kebutuhan akan penegakan hukum diatas hak-hak mereka yang diperdagangkan, terutama yang dipandang sebagai saksi, sebagai alat penegakan hukum. Hak-hak korban untuk memiliki akses ke keadilan seringkali diingkari, dan penjatuhan hukuman cenderung gagal karena orang-orang yang diperdagangkan tidak akan mau memberikan kesaksian. Penegakan hukum sering diperlemah oleh ketidakpedulian para pejabat, korupsi, kolusi dengan para pelaku perdagangan orang, pihak-pihak berwenang 36

seperti polisi, para penjaga perbatasan, pelayanan pengawasan tenaga kerja, dan bada peradilan yang longgar dan kekurangan dana, serta kegagalan pemerintah untuk menghukum para pejabat pemerintah yang terlibat dalam perdagangan orang.

C. Perdagangan Orang Sebagai Bentuk Pelanggaran HAM dan Tanggungjawab Negara Perdagangan orang adalah satu bentuk kejahatan transnasional yang paling cepat perkembangannya dan merupakan salah satu dari tiga macam kejahatan transnasional yang paling memberikan keuntungan selain perdagangan obat dan senjata. The United Nations memperkirakan bahwa nilai penjualan setiap individu dan tenaga mereka dalam bekerja diperkirakan mencapai US $ 32 milliar setiap tahunnya.64 Bentuk yang paling banyak terjadi adalah perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi seksual, yaitu sebanyak 79%.65 Kemudian disusul oleh bentuk kasus perdagangan orang untuk kerja paksa sebanyak 18%, meskipun bisa jadi jumlah ini masih jauh dibawah jumlah sebenarnya jika mengingat kasus kerja paksa hanya sedikit yang bisa terdeteksi dan terlaporkan jika dibandingkan dengan kasus eksploitasi seksual.66 Dari 30% negara yang menyediakan data terpilah berdasarkan jenis kelamin, mereka menggambarkan bahwa perempuan adalah kelompok dengan proporsi terbesar dari kelompok yang dieksploitasi.67 Diperkirakan jumlah orang dewasa dan anak-anak yang berada dalam kerja paksa, pekerja paksa, dan prostitusi paksa di seluruh dunia mencapai 12,3 juta orang.68 Perdagangan orang terus tumbuh dan berkembang dalam skala yang lebih besar dan juga lebih brutal jika dibandingkan dengan apa yang pernah ada sebelumnya, dan itu terjadi di banyak wilayah di dunia dewasa ini. Sama seperti angka kemiskinan misalnya, angka-angka yang menggambarkan korban perdagangan orang ini juga seringkali menimbulkan masalah. Ini berhubungan dengan bagaimana perdagangan orang didefinisikan dan ukuran-ukuran seperti apa yang digunakan.
64

International Labor Organization, A Global Alliance Against Forced Labor, 2005, hal. 2.

United Nations Office on Drugs and Crime, Global Report on Trafficking in Persons, Februari 2009, hal 5.
66

65

Ibid. Ibid. Department of State, Trafficking in persons report: 10th Edition. United States of America,

67

68

Juni 2010.

37

Bahkan lebih jauh lagi, dari sudut hak asasi manusia, angka-angka ini terasa merendahkan martabat manusia. Korban satu orang itu sudah lebih dari cukup untuk mengatakan telah terjadi pelanggaran HAM atau adanya kejahatan terhadap kemanusiaan, dan selebihnya hanyalah angka-angka saja. Mereduksi manusia hanya dengan angka-angka telah menjadikan manusia hanya dipahami sebagai sosok tubuh mati yang tanpa jiwa dan sejarahnya. Padahal sebagaimana diketahui bersama, bahwa setiap individu itu adalah unik, tanpa peduli etnis, suku, keyakinan maupun status dan stratifikasi sosialnya. Dalam diri manusia ada perasaan, mimpi-mimpi, cita-cita, kehendak, dan keterkaitannya dengan keluarga, saudara, anak dan komunitasnya. Pada saat yang bersamaan, dengan data yang ada sebagaiamana sebagiannya diungkap diatas, isu kejahatan terhadap kemanusiaan seperti perdagangan orang ini memerlukan waktu, pikiran dan tenaga untuk bisa menjadi masalah krusial yang mendapat perhatian internasional.69 Perdagangan orang tidak dapat dilihat sebagai kejahatan pidana semata, melainkan juga adalah bentuk dari pelanggaran HAM. Sifat memaksa, tanpa mufakat dan eksploitatif yang menjadi karakteristik dari perdagangan orang telah melibatkan sejumlah pelanggaran HAM terhadap korbannya. Perdagangan orang adalah bentuk pelanggaran HAM, dimana hak-hak fundamental dilucuti dari seorang manusia. Korban perdagangan orang dirampas sejumlah haknya, seperti hak hak atas hidup, kemerdekaan dan keselamatan hidup; hak untuk tidak diperbudak; hak untuk tidak disiksa dan diperlakukan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat; hak atas kebebasan bergerak; dan hak untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak. Pada 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengadopsi dan

memproklamirkan Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) dengan resolusi UN GA No. 217 A (III) di Palais de Chaillot, Paris. Dalam pembukaannya DUHAM menyatakan bahwa pengakuan atas martabat dan hak-hak fundamental yang sama dari seluruh umat manusia adalah dasar dari kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia. Pembukaan DUHAM juga mengingatkan bahwa dalam sejarah pernah terjadi pengabaian atas hak-hak asasi manusia yang telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang telah menimbulkan rasa kemarahan hati nurani manusia. Untuk itu adalah hal yang penting untuk membentuk suatu dunia tempat
69

R. Kapur, The global war on trafficking, terror and human rights di Global Alliance Against Traffic inWomen (GAATW), Alliance News, Terbitan No. 18, Juli 2002, hal. 21 22.

38

manusia akan mengecap kenikmatan kebebasan berbicara dan beragama serta kebebasan dari ketakutan dan kekurangan telah dinyatakan sebagai cita-cita tertinggi dari seluruh masyarakat.70 Prinsip-prinsip yang diatur dalam DUHAM berangkat dari konsep bahwa manusia adalah makhluk rasional. Manusia hidup pada hakekatnya bebas dan setara. Kebebasan dan kesetaraan ini melekat pada diri manusia ketika manusia itu lahir. Kebebasan berarti manusia bebas dari kekuasaan pihak lain. Kebebasan ini juga berarti manusia memiliki kehendak bebas, bebas menentukan pilihannya sendiri tanpa paksaan. Kebebasan manusia ini melahirkan kesetaraan. Karena manusia bebas, maka tidak ada yang lebih tinggi derajatnya sehingga dapat menguasai orang lain. Maksud dari kesetaraan ini adalah semua manusia sederajat, tidak ada yang lebih dibandingkan dengan yang lainnya dan tidak ada manusia yang mempunyai derajat yang lebih tinggi.71 Oleh sebab itu, DUHAM mengatur bahwa setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan dalam deklarasi ini tanpa kecuali apapun. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 DUHAM bahwa Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan dalam deklarasi ini, tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau

kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain Prinsip ini juga merupakan penegasan atas prinsip anti diskriminasi dan universalitas HAM.72 Berkaitan dengan kehidupan manusia, ketika lahir manusia telah memiliki hak-hak yang melekat. Sama halnya dengan kebebasan dan kesetaraan, hak-hak tersebut bukanlah sesuatu yang diberikan oleh negara ataupun kekuasaan politik melainan telah ada dalam diri manusia. Konsekunsinya, negara tidak dapat sewenangwenang mencabut hak-hak yang melekat itu karena bukan negaralah yang telah memberinya. Bahkan terdapat pula hak-hak yang sama sekali tidak boleh dikurangi sedikitpun dalam keadaan apapun, yakni yang disebut sebagai non-derogable rights, antara lain, hak untuk hidup, hak untuk tidak diperbudak dan hak untuk tidak disiksa.73 Sementara perdagangan orang selalu melibatkan pelanggaran terhadap
Rocky Gerung, Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum dan Kasus, Cet.1, (Jakarta: Filsafat UI Press, 2006), hal. 188.
71 72 73 70

Ibid., hal. 191. Ibid. Ibid.

39

ketiga hak tersebut. Para pelaku perdagangan orang kerap melakukan eksploitasi seksual dan tenaga, kekerasan serta perlakuan sewenang-wenang terhadap para korbannya. Seorang gadis yang menjadi korban perdagangan orang di Sierra Leone memberikan kesaksiannya, Saya sedang mencuci piring di sungai bersama dengan enam gadis lainnya. Kami mencoba untuk berlari, tapi mereka berhasil menangkap kami. Tiga orang gadis berusaha keras untuk melawan. Para penjahat itu memotong telinga mereka. Kemudian akhirnya mereka pun dibunuh.74 Untuk itu penting agar prinsip-prinsip yang ada dalam DUHAM untuk dapat diimplementasikan dan dijamin pelaksanaannya. Setiap manusia secara moral sebagai bagian dari umat manusia yang beradab wajib untuk mengimplementasikan prinsipprinsip HAM dalam DUHAM. Namun demikian, terdapat hal-hal yang tidak dimiliki oleh individu-individu untuk menjamin implementasi dari prinsip-prinsip tersebut karena terdapat keterbatasan-keterbatasan. Diantaranya adalah keterbatasan dalam melakukan upaya paksa seperti penghukuman; atau pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya seperti ketersediaan jaminan sosial dan sebagainya.75 Oleh karena itu, negara sebagai institusi yang memiliki legitimasi dan perangkat-perangkat yang memungkinkan untuk melaksanakan prinsip-prinsip HAM dalam DUHAM memikul tanggungjawab terbesar untuk melaksanakan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM. Jadi, selain memang menjadi kewajiban setiap manusia untuk mengimplementasikan HAM, negara juga bertanggungjawab agar setiap pihak yang berada dalam negaranya menghormati prinsip ini dan melaksanakan penegakan hukum bagi pelanggaran atas prinsip-prinsip HAM serta menjamin pemenuhan hak-hak ini. Tanggungjawab ini pada dasarnya ada karena negara dbentuk justru untuk menjamin pelaksanaan prinsip-prinsip HAM.76 DUHAM dan instrumen-instrumen HAM yang dibentuk setelahnya, menegaskan bahwa penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara. Berkaitan dengan hal tersebut, menjadi tanggungjawab negara pula jaminan atas penegakan hukum terhadap pelanggaran prinsip-prinsip HAM. Apabila negara membiarkan ketiadaan penegakan hukum atau bahkan menjadi bagian

74

US Department of Defense Awareness Initiative, Trafficking in Persons Report, hal. 1 Rocky Gerung, op., cit, hal. 194. Ibid.

75

76

40

dari pelanggaran HAM tersebut maka negara telah melakukan tindakan yang dikatakan sebagai impunitas (impunity).77 Tanggungjawab negara berkaitan dengan HAM adalah menghormati, melindungi dan memenuhi (to respect, to protect, to fulfill) HAM. Tanggungjawab untuk menghormati HAM adalah tanggungjawab negara untuk tidak bertindak atau mengambil kebijakan yang bertentangan dengan HAM. Tanggungjawab untuk melindungi HAM adalah tanggungjawab untuk mencegah, menghentikan dan menghukum setiap terjadinya pelanggaran HAM. Sedangkan tanggungjawab untuk memenuhi HAM adalah kewajiban negara untuk melaksanakan, memberikanm menjamin pelaksanaan setiap hak-hak asasi melalui tindakan dan kebijakankebijakannya.78 Dengan demikian sebuah kewajiban bagi negara untuk mencegah terus terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagai bentuk dari pelanggaran HAM, sebagaimana juga penting bagi negara untuk menghukum atas terjadinya pelanggaran HAM dalam tindak pidana perdagangan orang serta memberikan perlindungan kepada orang-orang yang diperdagangkan.

D. Instrumen Hukum Internasional Sebagai Upaya Pemberantasan dan Pencegahan Perdagangan Orang yang Berperspektif HAM Oleh karena negaralah yang bertugas melaksanakan perlindungan,

penghormatan dan pemenuhan HAM serta agar prinsip-prinsip dalam DUHAM dapat memiliki kekuatan mengikat secara hukum, maka perlu dibentuk suatu perjanjian internasional tentang HAM. Khusus untuk perdagangan orang, masyarakat internasional telah memiliki Protokol PBB untuk mencegah, menindak dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak (United Nations Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children) tahun 2000 atau dikenal juga sebagai Protokol Palermo. Protokol ini sifatnya melengkapi the United Nations Convention against Transnational Organized

77

Ibid, hal. 195. Ibid, hal. 196.

78

41

Crime

(Konvensi

Perserikatan

Bangsa-Bangsa

Menentang

Tindak

Pidana

Transnasional yang Terorganisasi). Sebelum lahirnya Protokol Palermo, sudah ada berbagai macam instrumen internasional yang berisi aturan-aturan dan langkah-langkah praktis untuk memerangi eksploitasi orang, terutama perempuan dan anak-anak. Namun saat itu belum ada instrumen universal yang menangani semua aspek perdagangan orang. Beberapa aturan yang dimaksud antara lain adalah79: 1. The International Convention on the Elimination of All forms of Discrimination Against Women/CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan). Dimana Pasal 6 CEDAW mewajibkan semua negara untuk menekan segala bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi prostitusi perempuan. 2. The International Convention on the Rights of the Child/CRC (Konvensi Hak Anak). Pasal 32 CRC menegaskan bahwa setiap negara wajib mengedepankan perlindungan anak dari segala macam bentuk eksploitasi atau pekerjaan yang mengakibatkan kerusakan atau mengganggu pendidikan anak, atau yang mengancam kesehatan fisik, mental, spiritual anak, maupun perkembangan sosial lainnya. Pasal 35 CRC juga mewajibkan pemerintah membuat langkahlangkah multilateral untuk mencegah penculikan dan perdagangan anak untuk tujuan apapun, serta memberikan pula pelayanan program sosial, menyediakan dukungan yang sesuai dengan anak. 3. The International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Internasional untuk Perlindungan Hak-Hak Migran dan Keluarganya). Pasal 10 Konvensi ini menegaskan bahwa pekerja migran dan keluarganya wajib dihindarkan dari segala macam bentuk siksaan, hambatan, dan perilaku yang tidak manusiawi, termasuk didalamnya larangan untuk memperbudak, perlakuan yang tidak manusiawi (Pasal 11). 4. Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia), mengatur tentang larangan memperlakukan seseorang
R. Valentina Sagala, Membaca UU PTPPO dalam Perspektif HAM, dalam Jurnal Perempuan 68: Trafficking dan Kebijakan, (Yayasan Jurnal Perempuan: Jakarta, 2010), hal. 87.
79

42

menjadi sasaran penyiksaan, dan perlakuan hukuman lain yang kejam dan tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Sejarah kelahiran Protokol ini terkait dengan Resolusi Majelis Umum PBB 53/111, 9 Desember 1998. Saat itu Majelis memutuskan untuk membentuk sebuah komite adhoc antar pemerintah tanpa batasan dengan tujuan untuk mengelaborasi sebuah konvensi internasional yang komprehensif untuk menentang kejahatan transnasional yang terorganisir dan untuk membahas elaborasi dari sebuah instrumen internasional yang menangani perdagangan terhadap perempuan dan anak-anak.80 Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi diadopsi oleh Majelis Umum melalui resolusi 55/25, 15 November 2000 dan menjadi instrumen internasional yang utama dalam menentang kejahatan transnasional yang terorganisir. Konvensi ini mulai ditandatangani oleh negara-negara pada 12 15 Desember 2000 dan berlaku sejak 29 September 2003. Konvensi dilengkapi dengan tiga Protokol, yang menegaskan tindakan-tindakan spesifik yang bisa ditempuh oleh negara-negara guna memberantas aspek khusus dari kejahatan transnasional yang terorganisir. Negara-negara yang memiliki komitmen untuk menjalankan protokolprotokol tersebut pada dasarnya harus terlebih dahulu merupakan negara dari peserta Konvensi. Oleh karena protokol-protokol ini bukanlah instrumen yang berdiri sendiri, namun harus diterapkan bersama-sama dengan Konvensinya. Ketiga Protokol tersebut adalah81: 1. The Protocol Against the Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air, Supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime (Protokol Menentang Penyelundupan Migran melalui Darat, Laut, dan Udara, Melengkapi Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi). 2. The Protocol against the Illicit Manufacturing of and Trafficking in Firearms, their Parts and Components and Ammunition (Protokol Menentang Pembuatan dan Perdagangan Ilegal Senjata Api, Suku Cadang dan komponenkomponennya serta Amunisi). 3. The Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Childrean, Supplementing the United Nations
80

Ibid. Ibid., hal. 86.

81

43

Convention against Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi).

Protokol Palermo ini mulai berlaku tanggal 25 Desember 2003 dan dirancang untuk memperkokoh dan meningkatkan kerjasama internasional guna mencegah dan memerangi perdagangan orang. Selain itu, Protokol ini juga dipromosikan untuk memperbaiki perlindungan dan bantuan bagi para korban. Ada empat unsur kunci pada Protokol yang memperkuat tanggapan internasional terhadap perdagangan orang. Pertama, menetapkan suatu definisi mengenai perdagangan orang yang jelas berhubungan dengan eksploitasi, kerja paksa, perbudakan dan perhambaan yang menekankan kerentanan tertentu dari perempuan dan anak. Seorang anak didefinisikan sebagai setiap orang yang belum berusia 18 tahun. Kedua, menawarkan alat bagi penegakan hukum, pengawasan perbatasan, dan pengadilan dengan mewajibkan negara-negara untuk melakukan tindakan: mengkriminalkan perdagangan orang; mendukung kewajiban negara untuk menyelidiki, mengusut dan menghukum pelaku kejahatan perdagangan orang; dan memperkuat pengawasan perbatasan dan penerbitan dokumen-dokumen perjalanan dan kontrol kualitas. Ketiga, memperluas cakupan perlindungan dan dukungan dari negara bagi para korban dan para saksi dengan melakukan tindakan sebagai berikut: menjamin privasi dan keamanan; memberikan informasi dan tata cara hukum; memberikan pelayanan bagi pemulihan fisik dan psikologis; mengambil langkah-langkah guna menghindari deportasi yang segera; menjamin pemulangan korban secara aman; dan mengakui persyaratanpersyaratan khusus bagi korban anak. Keempat, menegaskan strategi-strategi pencegahan termasuk pemberian informasi dan pendidikan bagi para korban, petugas penegak hukum, petugas pemerintah lainnya dan masyarakat umum melalui riset bersasaran dan kampanye informasi antara lain strategi-strategi pencegahan.82 Sebelum Protokol Palermo ini dibentuk, masalah utama yang berkaitan dengan penanganan kejahatan perdagangan orang adalah tidak adanya kesepakatan internasional mengenai definisi perdagangan itu sendiri. Ada ambiguitas yang mendasari pembedaan pengertian diantara istilah perdagangan orang, pelacuran,
82

Ibid., hal. 88.

44

penyelundupan orang, dan migrasi tak berdokumen. Pada tingkat internasional, isu-isu ini dibahas dalam Protokol Palermo. Dengan demikian Protokol Palermo merupakan instrumen internasional pertama yang mengatur definisi perdagangan orang yang mengikat secara hukum. Dalam Protokol Palermo pun dapat ditemuka ketentuan mengenai kriminalisasi, perlindungan bagi korban, pencegahan dan kerjasama.83 Definisi perdagangan orang menjadi sangat penting dalam mengidentifikasi (korban) perdagangan orang. Dalam hal ini, perlu diperhatikan maksud dan tujuan dari Protokol Palermo yang dimuat dalam Pasal 2 sebagai berikut: 1. Untuk mencegah dan memerangi perdagangan orang, dengan menaruh perhatian khusus terhadap perempuan dan anak-anak; 2. Untuk melindungi dan membantu korban-korban perdagangan orang, dengan menghormati secara penuh hak asasi mereka; 3. Untuk pemajuan kerjasama diantara Negara-negara pihak dalam rangka memenuhi tujuan-tujuan tersebut. Identifikasi (korban) perdagangan orang dapat dikatakan sebagai awal proses pemenuhan hak asasi korban perdagangan orang. Itulah pentingnya memahami konteks dan tujuan Protokol, seperti perhatian khusus terhadap perempuan dan anak, dan sebagainya. Kunci untuk memahami definisi ini adalah dengan mengenali tiga unsur yang saling terkait yang harus ada secara kumulatif agar perdagangan orang dapat dikatakan telah terjadi, yaitu proses, cara dan tujuan. Dengan kata lain, kegiatan harus tercapai melalui cara dan keduanya harus saling terkait guna mencapai tujuan eksploitatif. Proses, diartikan sebagai pengerahan, pengangkutan, pengiriman, penyembunyiam atau penerimaan orang. Dalam hal ini tidak semua unsur harus dipenuhi. Salah satu dari proses tersebut sudah terjadi maka dapat dikatakan telah terjadi perdagangan orang. Cara, diartikan sebagai tindakan dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari paksaan, penculikan, kecurangan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi kerentanan atau penerimaan atau penerimaan pembayaran-pembayaran atau keuntungan-keuntungan untuk mencapai persetujuan dari seseorang yang memiliki kekuasaan atas orang lain. Pun dalam unsur ini tidak semua metode yang dijelaskan harus digunakan, penggunaan hanya satu cara sudah memenuhi syarat. Tujuan, yaitu untuk tujuan eksploitasi. Dimana dalam

83

Ibid.

45

definisi ini, eksploitasi mencakup namun tidak terbatas pada eksploitasi seksual. Melainkan juga eksploitasi tenaga untuk bekerja atau pelayanan-pelayanan paksa, perbudakan, atau praktek-praktek lain yang mirip dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh manusia. Soal persetujuan dari korban perdagangan orang atas eksploitasi yang diuraikan tersebut tidak akan relevan, dalam arti tidak perlu dibuktikan, jika salah satu cara yang dijelaskan dalam pasal tersebut telah digunakan. Masih mengacu pada definisi, seperti halnya orang dewasa, bagi anak-anak yang didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, persetujuan harus dianggap tidak relevan. Pasal 3 bagian c Protokol Palermo mengakui situasi khusus anak, dimana menghilangkan adanya unsur cara sebagai syarat keharusan untuk terjadinya perdagangan orang. Protokol menegaskan bahwa sepanjang berkaitan dengan anak-anak sebagai korban, tidak satupun dari cara-cara pemaksaan atau penipuan perlu digunakan untuk membuktikan ada/tidaknya perdagangan orang. Artinya tidak perlu adanya ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk lain pemaksaan, penculikan, pemalsuan, penipuan,. Dengan kata lain, seorang anak yang telah direkrut, dikirim, dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain, ditampung atau diterima untuk tujuan eksploitasi haruslah dikategorikan sebagai seorang korban perdagangan orang meskipun anak tersebut tidak diancam, dipaksa, diculik, ditipu, dianaya, dijual ataupun disewakan. Selama ini, walau terdapat bukti yang menggambarkan bahwa perdagangan orang semakin meningkat di semua kawasan di dunia, hanya segelintir pelaku perdagangan orang yang telah ditahan. Padahal penegakan hukum yang berjalan efektif akan berfungsi sebagai upaya pencegahan bagi para pelaku perdagangan orang, dan dengan demikian akan memiliki dampak langsung terhadap permintaan. Suatu penegakan hukum yang efektif terhadap perdagangan orang bergantung pada kerjasama antara orang-orang yang diperdagangkan dan saksi-saksi lainnya. Dalam banyak kasus, seseorang seringkali merasa enggan atau tidak dapat melaporkan pelaku perdagangan orang ataupun menjadi saksi karena mereka kurang percaya pada polisi dan sistem peradilan dan/atau karena ketidakhadiran mekanisme perlindungan. Protokol Palermo berperan sebagai alat untuk menegakan hukum dan melakukan pengawasan di perbatasan. Negara juga diwajibkan untuk melakukan tindakan mengkriminalkan perdagangan orang. Bahwa perdagangan orang mesti dilihat sebagai tindak kejahatan yang patut untuk diwaspadai. Untuk itu negara wajib untuk 46

menyelidiki, mengusut dan menghukum setiap pelaku kejahatan perdagangan orang dengan hukuman yang layak.84 Tentang kriminalisasi, Pasal 5 Protokol Palermo mewajibkan setiap Negara Pihak untuk menetapkan langkah-langkah legislatif dan langkah-langkah lain yang dianggap perlu untuk menetapkan tindakan-tindakan yang dinyatakan dalam Pasal 3 protokol ini sebagai tindakan kriminal, ketika tindakan-tindakan tersebut dilakukan dengan sengaja. Selain itu, setiap Negara Pihak juga harus menetapkan langkahlangkah legislatif dan langkah-langkah lain yang dianggap perlu untuk menjadikan hal-hal berikut sebagai tindak kriminal, yakni tunduk kepada konsep dasar dari sistem hukumnya, percobaan untuk melakukan tindak-tindak pelanggaran yang ditetapkan sesuai dengan ayat 1 pasal ini; terlibat sebagai kaki tangan dalam tindak pelanggaran yang ditetapkan sesuai dengan ayat 1 pasal ini; dan mengorganisir atau menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pelanggaran yang ditetapkan sesuai dengan ayat 1 pasal ini. Protokol Palermo memperluas cakupan dan dukungan negara bagi para korban dan para saksi. Hal ini penting, karena selain untuk penegakan hukum, juga membangun kepercayaan bagi para korban dan saksi untuk tak lagi ragu ataupun enggan melaporkan kejahatan perdagangan orang yang terjadi di sekitar mereka. Bab II dalam Protokol Palermo memuat ketentuan mengenai perlindungan bagi korban perdagangan orang. Khusus mengenai bantuan dan perlindungan bagi korban diatur dalam Pasal 60. Pasal tersebut memuat ketentuan bahwa dalam kasus-kasus yang layak dan yang sejauh mana dimungkinkan di bawah hukum nasional, setiap Negara Pihak harus melindungi privasi dan identitas dari korban perdagangan orang, termasuk salah satunya, dengan cara menerapkan proses hukum yang berhubungan dengan perdagangan. Setiap Negara Pihak harus memastikan bahwa hukum nasional atau sistem administrasinya memuat langkah-langkah yang memberikan korban perdagangan orang akan informasi mengenai proses pengadilan dan administratif yang relevan; bantuan yang memungkinkan bagi pandangan-pandangan dan kekhawatiran-kekhawatiran mereka untuk bisa tersampaikan dan dipertimbangkan pada tahapan-tahapan yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan kriminal melawan para pelanggar, namun tetap dalam kerangka tidak merugikan hak terdakwa. Pasal ini juga mengatur bahwa setiap Negara Pihak harus mempertimbangkan untuk

84

Ibid., hal. 89.

47

mengimplementasikan langkah-langkah pemulihan fisik, psikologi dan sosial bagi korban perdagangan orang, dalam kasus-kasus yang sesuai, bekerjasama dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, organisasi-organisasi lain yang relevan dan elemen-elemen masyarakat sipil lainnya, dan terutama dalam ketentuan-ketentuan mengenai tempat tinggal yang layak; konseling dan informasi, terutama yang terkait dengan hak hukum mereka, dengan menggunakan bahasa yang bisa dimengerti oleh korban perdagangan orang; bantuan medis, psikologis dan material; serta kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan, pendidikan dan pelatihan-pelatihan. Dalam menerapkan ketentuan-ketentuan dalam pasal ini, setiap Negara Pihak harus mempertimbangkan umur, jender, dan kebutuhan-kebutuhan khusus korban perdagangan orang, terutama kebutuhan khusus untuk anak-anak mencakup kebutuhan akan tempat tinggal, pendidikan dan pengasuhan yang layak. Setiap Negara Pihak harus berupaya keras untuk menjamin keselamatan fisik korban perdagangan orang ketika mereka berada dalam wilayahnya. Dan setiap Negara Pihak harus memastikan bahwa sistem hukum nasionalnya memuat langkah-langkah yang menawarkan korban perdagangan orang kemungkinan untuk mendapatkan kompesasi atas kerugian yang diderita. Upaya perlindungan bagi korban perdagangan orang harus dilaksanakan dengan memperhatikan kewajiban negara di bawah hukum internasional HAM. Upaya-upaya tersebut harus sejalan dengan standar HAM, dimana salah satu instrument penting dalam pengembangan dan pendekatan HAM adalah the Principles and Guidelines on Human Rights and Human Trafficking) yang dielaborasi oleh the UN High Comissioner on Human Right. Dokumen ini menyebutkan empat prinsipprinsip HAM dan perdagangan orang yang direkomendasikan, yaitu keunggulan HAM dalam mencegah perdagangan orang; perlindungan dan bantuan; kriminalisasi; dan ganti rugi. Perdagangan orang adalah kesewenang-wenangan yang serius terhadap HAM. Sehingga dalam menjawab persoalan ini, Negara-Negara harus memprioritaskan perlindungan HAM orang-orang yang diperdagangkan, mengambil langkah-langkah langkah yang diperlukan untuk mencegah kesewenang-wenangan, dan melakukan perbaikan dimana kesewenang-wenangan terjadi. Perdagangan orang tidak boleh hanya dilihat terutama atau semata-mata dari sudut pandang keamanan nasional. Perdagangan orang juga tidak boleh dilihat hanya sebagai perjuangan melawan kejahatan terorganisir dan migrasi tidak resmi. 48

Dalam menerapkan suatu kerangka HAM, ada sejumlah prinsip yang penting untuk diperhatikan. Diantaranya bahwa HAM adalah bersifat universal, tidak dapat dibagi, tidak dapat dicabut, dan saling tergantung karena semua hak sama pentingnya.85 Pelanggaran HAM adalah penyebab sekaligus akibat dari perdagangan orang. Jadi adalah penting untuk meletakkan perlindungan terhadap semua HAM pada inti dari langkah-langkah apapun yang diambil untuk mencegah dan mengakhiri perdagangan orang. Langkah-langkah anti-perdagangan tidak boleh memberikan efek yang merugikan terhadap HAM dan harga diri seseorang, dan terutama, hak-hak dari mereka yang telah diperdagangkan, dan juga para migran. Sebuah kerangka respon komprehensif harus mencakup Pencegahan perdagangan orang, perlindungan atas orang-orang yang diperdagangkan, dan penjatuhan hukuman kepada para pelaku perdagangan orang. Rekomendasi PBB tentang Hak Asasi Manusia dan Perdagangan Orang menegaskan bahwa strategi-strategi yang ditujukan terhadap pencegahan perdagangan orang harus memusatkan perhatian pada permintaan sebagai penyebab utama perdagangan orang. Selain itu, Negara-negara serta organisasi-organisasi antarpemerintah harus menjamin bahwa intervensi mereka memusatkan perhatian pada faktor-faktor yang meningkatkan kerentanan terhadap perdagangan orang, termasuk ketidakadilan, kemiskinan dan semua bentuk diskriminasi.86 Penyebab-penyebab utama dibalik persediaan dan permintaan untuk perempuan dan anak perempuan yang diperdagangkan telah diidentifikasi diatas. Walaupun diakui memang tidak mudah, dan walaupun langkah-langkah yang diambil haruslah bersifat jangka panjang, penyebab-penyebab utama ini harus ditanggulangi jika upaya-upaya untuk menghadapi perdagangan orang dapat efektif dan berkesinambungan. Perdagangan orang tidak bisa ditangani secara efektif tanpa memusatkan perhatian pada alasan-alasan dibalik kegagalan pasar lapangan kerja (meningkatnya pengangguran, penurunan kuantitas dan kualitas penggunaan tenaga kerja, serta kondisi kerja yang buruk); pemisahan jabatan yang terus menerus; dan posisi lemah para perempuan dibandingkan dengan para laki-laki dalam lapangan kerja. Dengan demikian adalah penting untuk memusatkan perhatian pada pasar lapangan kerja dan
85

Kantor Perburuhan Internasional, op., cit. hal. 43. Ibid., hal. 42.

86

49

situasi pekerjaan, standar-standar perburuhan dan kondisi kerja di negara asal dan tujuan. Suatu respon komprehensif terhadap permasalahan perdagangan orang harus berdasarkan pada promosi atas pekerjaan yang layak. ILO memandang pekerjaan yang layak terdiri dari empat tiang utama: Promosi Asas-asas dan hak-hak pokok di tempat kerja bagi semua pekerja, warga negar dan bukan warga negara; Penciptaan lapangan kerja yang produktif dan menguntungkan; Perluasan perlindungan sosial terutama ke kelompok-kelompok terpinggirkan dan rentan; dan Pengorganisasian serta perwakilan pekerja dan majikan/pengusaha dalam lembaga-lembaga dan prosesproses dialog sosial.87 Hal penting selain pencegahan adalah soal bantuan dan dukungan perlindungan kepada orang-orang yang diperdagangkan. Bantuan untuk orang-orang yang diperdagangkan harus berlandaskan pada prinsip-prinsip perlindungan dan penghormatan atas HAM perempuan dan anak-anak, non-diskriminasi, akses ke keadilan, keamanan dan perlakuan yang adil, kehendak bebas dan tidak ada kerugian terjadi.88 Langkah pertama dan terpenting dalam suatu sistem bantuan dan rujukan adalah mengidentifikasikan dengan benar seorang korban perdagangan orang. Berkaitan dengan definisi dari cakupan perdagangan, maka sangat penting untuk melakukan identifikasi bahwa seseorang telah diperdagangkan. Kegagalan dalam melakukan hal ini akan mengakibatkan pengingkaran lebih lanjut atas hak-hak orang tersebut. Orang-orang dan instansi-instansi yang mungkin akan berhubungan dengan para korban perdagangan orang harus mampu mengidentifikasikan mereka dengan benar dan merujuk mereka kepada bantuan.89 Perdagangan orang artinya lebih dari sekedar pergerakan manusia untuk mendapatkan keuntungan. Faktor tambahan yang penting yang membedakan antara perdagangan orang dengan penyelundupan orang adalah adanya kekuatan, paksaan, dan/atau penipuan sepanjang atau pada beberapa tahap dari proses penipuan, kekuatan, atau paksaan seperti itu dipakai untuk tujuan eksploitasi. Meski unsur-unsur tambahan yang membedakan tersebut terlihat begitu jelas, dalam banyak kasus unsurunsur tersebut
87

sulit

dibuktikan

tanpa

penyidikan

yang

aktif.

Kegagalan

Ibid., hal. 45. Ibid., hal. 79. Ibid., hal. 81.

88

89

50

mengidentifikasi akan mengakibatkan pengingkaran lebih lanjut atas hak-hak orang yang telah diperdagangkan. Oleh karena itu Negara Pihak wajib untuk menjamin bahwa pengidentifikasian dapat dan memang dilakukan. Selain juga wajib untuk melakukan uji tuntas (due diligence) dalam mengidentifikasikan pelaku perdagangan orang, termasuk mereka yang terlibat pengontrolan dan eksploitasi orang-orang yang diperdagangkan. Kemudian penting untuk tidak mengkriminalisasi orang yang diperdagangkan. Baik di negara tujuan maupun negara asal, para perempuan yang diperdagangkan seringkali diperlakukan sebagai penjahat ketimbang sebagai korban. Di negara-negara tujuan, mereka mungkin diusut dan ditahan karena bermigrasi tanpa dokumen resmi dan/atau status kerja mereka. Kembali ke negara asal mereka, mereka mungkin akan diusut karena penggunaan dokumen palsu, meninggalkan negara secara tidak resmi atau pernah bekerja di industri seks. Sayangnya baik Protokol Palermo maupun Konvensi PBB untuk Kejahatan Transnasional tidak memasukkan secara tegas kewajiban negara untuk menahan diri dari mengkriminalisasikan orang-orang yang diperdagangkan. Pun hukum negara yang berkaitan dengan pelacuran dapat memiliki dampak penting pada perlakuan terhadap para korban perdagangan. Pendekatan yang progresif dan non-moralistik akan membedakan antara pelacuran perorangan dengan struktur-struktur terorganisir dari industri seks, dan untuk mendekriminalisasikan pelacuran.90 Orang-orang yang diperdagangkan biasanya tidak memiliki status tinggal yang resmi di negara tujuan, baik karena mereka tiba tanpa ijin tinggal atau karena ijin tinggal mereka telah kadaluarsa. Bagaimanapun, status tinggal yang tetap adalah prasyarat dari setiap strategi perlindungan korban yang efektif. Tanpa status tinggal yang resmi, orang-orang yang diperdagangkan biasanya akan diusir dan oleh sebab itu tidak akan memiliki akses ke bantuan dan perlindungan maupun peradilan, termasuk untuk ganti rugi secara perdata. Disamping itu, pengusiran terhadap orang-orang yang diperdagangkan juga akan berakibat pada tidak adanya saksi-saksi yang bersedia untuk membantu dalam melakukan pengusutan terhadap pelaku perdagangan orang. Status tinggal yang resmi dari orang-orang yang diperdagangkan disamping memampukan mereka untuk mendapatkan hak-hak mereka dilindungi dan dapat juga menguntungkan kepentingan Negara dalam melakukan pengusutan tindak pidana

90

Ibid., hal. 84.

51

perdagangan orang secara efektif. Protokol Palermo menyebutkan tapi tidak mewajibkan Negara-Negara Pihak untuk memberikan status tinggal yang teratur bagi orang-orang yang diperdagangkan yang berada di negara tujuan.91 Selanjutnya orang yang diperdagangkan mempunyai hak untuk pemulihan, dimana termasuk didalamnya akomodasi di rumah singgah yang aman dan bukan di pusat tahanan/penjara, akses ke pelayanan kesehatan termasuk tes HIV/AIDS yang sifatnya rahasia/tertutup, akses ke pelayanan dan konseling hukum dalam bahasa yang mereka mengerti, akses ke konseling psikologis, dan akses ke kesempatan untuk pekerjaan, pendidikan dan pelatihan. Langkah-langkah tersebut diberikan dalam standar-standar internasional.92 Bantuan dan perlindungan korban yang memadai juga dihubungkan dengan status perempuan dan anak perempuan yang diperdagangkan dalam proses hukum, baik proses pidana terhadap pelanggar dan juga proses perdata untuk menuntut ganti rugi. Sarana-sarana pokok untuk mendukung orang-orang yang diperdagangkan dalam proses penuntutan hukum termasuk: penyediaan informasi dan nasehat; penyediaan pengacara dan jasa penterjemah secara cuma-cuma selama proses pengadilan; metode-metode penyidikan dan interogasi yang yang berperspektif korban dan peka-jender; langkah-langkah untuk melindungi kerahasiaan/privasi dan keamanan fisik mereka; dan akses untuk menuntut ganti rugi secara perdata.93 Bantuan untuk penyatuan dan repatriasi juga adalah penting bagi orang yang diperdagangkan. Karena sebagian besar negara tidak memberikan status tinggal sah yang permanen kepada orang-orang yang diperdagangkan, maka mereka dideportasi atau pulang secara sukarela ke negara asal mereka. Dalam perjalanan dan ketika tiba di kampung halaman, para perempuan dan anak perempuan mungkin menghadapi beberapa resiko tambahan, termasuk ditangkap kembali oleh para pedagang. Mereka mungkin juga mengalami trauma berat dari pelanggaran-pelanggaran yang mereka derita, dan khususnya mereka yang pernah bekerja di industri seks mengalami ketakutan akan stigmatisasi dan penolakan oleh keluarga dan masyarakat mereka. Banyak negara asal tidak memiliki program tertentu untuk penyatuan kembali para korban perdagangan orang dan bahkan mungkin menjadikan mereka sasaran
91

Ibid., hal. 85. Ibid., hal. 89. Ibid., hal. 91.

92

93

52

diskriminasi lebih lanjut. Contohnya, di Nigeria, korban perdagangan orang yang dideportasi pulang ditahan pada saat kedatangan dan dijadikan sasaran tes HIV/AIDS yang dipaksakan dan data-data pribadi mereka direkam untuk mencegah mereka pergi secara sah ke luar negeri lagi.94 Kerangka respon penting lainnya adalah pengusutan hukum terhadap para pelaku perdagangan orang. Hal ini adalah prasyarat yang paling dasar untuk mencegah perdagangan dan menghentikan pendaur-ulangan para perempuan dan anak perempuan. Jika tidak dilakukan, maka tindakan anti-perdagangan akan merangsang migrasi tidak resmi dan perdagangan daripada menguranginya. Programprogram pemulangan akan menjadi perusahaan jasa perjalanan cuma-cuma yang digunakan oleh para pelaku perdagangan orang untuk mengirim dengan biaya dari masyarakat internasional, para perempuan dan anak perempuan yang mereka pilih untuk dilepaskan.95 Pada saat ini, pengusutan hukum mungkin adalah bagian terlemah dari keseluruhan sistem anti-perdagangan. Hambatan utamanya adalah kurangnya itikad politik dan tindakan terhadap para pedagang; kurangnya perundang-undangan yang mengatur soal perdagangan orang; kegagalan untuk menerapkan undang-undang yang berlaku kecuali untuk soal pelacuran; kurangnya penegakan hukum karena korupsi dan kurangnya pemahaman mengenai perundang-undangan tentang perdagangan orang; kurangnya informasi dan pelatihan untuk petugas kepolisian dan pengadilan; kesaksian tertulis dari para korban bukan merupakan bukti yang cukup di pengadilan; tidak adanya jaminan perlindungan dan keamanan terhadap para saksi; dan kurangnya kerjasama dan pertukaran informasi skala internasional.96 Untuk mengatasi hambatan-hambatan ini dan meningkatkan pengusutan atas pelaku perdagangan orang, dilakukan langkah-langkah penting berupa penetapan pelanggaran yang jelas dan perumusan dari perdagangan orang. Tidak akan ada pengusutan hukum tanpa perumusan yang jelas tentang kejahatan. Undang-Undang pidana di banyak negara tidak memasukkan pelanggaran tegas tentang perdagangan orang sebagaimana dijelaskan diatas. Persyaratan utama adalah harus menetapkan pelanggaran tegas tentang perdagangan orang secara cukup luas untuk mencakup
94

Ibid., hal. 93. Ibid., hal. 95. Ibid., hal. 97.

95

96

53

semua bentuk perdagangan, termasuk sekurang-kurangnya unsur cara, proses, dan tujuan dalam definisi perdagangan orang.97 Langkah lainnya adalah dengan menjatuhkan sanksi pencegahan yang efektif. Pada saat ini, sanksi-sanksi yang ada di berbagai negara untuk perdagangan orang tidak memiliki efek pencegahan karena sanksinya terlalu lemah. Dalam banyak kejadian, hukuman untuk membawa narkoba jauh lebih berat daripada untuk jual-beli manusia. Selain itu, penting juga untuk menjadikan entitas/badan hukum bertanggungjawab secara pidana. Para pelaku perdagangan orang kadang bertindak melalui entitas hukum/badan hukum, seperti perusahaan jasa perjalanan, perusahaan jasa pernikahan, bar, hotel, dan perusahaan jasa tenaga kerja. Jika pengusutan dibatasi pada perseorangan yang dikirim ke penjara, maka perusahaan dapat berlanjut operasionalnya dengan orang lain yang menjalankannya.98 Kemudian, untuk memutus lingkaran perdagangan orang adalah penting untuk menjamin bahwa semua kegiatan dan semua perantara pada setiap tahap manapun dari proses perdagangan orang dituntut secara hukum. Dan karena perdagangan orang saat ini adalah usaha yang terorganisir baik dengan struktur dan jejaring yang teliti, semua pelaku juga perlu diusut. Artinya perlu untuk mengkriminalisasikan semua kegiatan yang berkaitan dengan perdagangan orang. Orang-orang yang bukan bagian dari kelompok kejahatan tapi gagal untuk bertindak, seperti penjaga perbatasan yang menutup mata ketika para pelaku perdagangan orang melewati perbatasan, juga dapat dikenai pengusutan.99 Perdagangan orang sering hanya dianggap sebagai kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang yang diperdagangkan. Untuk dapat menjamin bahwa hukuman yang dijatuhkan mencerminkan beratnya kejahatan yang dilakukan terhadap orangorang yang diperdagangkan, maka sebagai tambahan dan pengusutan terhadap para pelaku perdagangan orang karena kejahatannya, Negara-Negara wajib mengaktifkan penggunaan ketentuan-ketentuan hukum pidana lainnya yang dapat diterapkan. Karena kejahatan-kejahatan ini termasuk, tapi tidak terbatas pada perbudakan, praktek-praktek yang mirip perbudakan, perhambaan terpaksa, kerja paksa, perhambaan karena hutang, perkawinan yang dipaksakan, aborsi yang dipaksakan,
97

Ibid. Ibid., hal. 98. Ibid., hal. 99.

98

99

54

kehamilan yang dipaksakan, penyiksaan, kekejian, perlakuan tidak manusiawi dan menghinakan, perkosaan, penyerangan seksual, mencederai badan, pembunuhan, penculikan, penahanan diluar hukum, eksploitasi tenaga kerja, penyembunyian identitas dan lainnya. Pada akhirnya penting untuk menetapkan yurisdiksi ekstra-teritorial. Perdagangan orang sering meluas melewati tapal batas nasional. Oleh karenanya yurisdiksi ekstrateritorial adalah penting agar memungkinkan bagi pihak berwenang untuk menuntut para pelaku perdagangan orang, dan juga mencegah para pelaku kabur dari pengusutan di suatu negara dengan cara memindahkan kegiatannya ke negara lain.100 Kerangka respon tersebut akan terkoordinasi dan efektif hanya jika semua pihak, seperti pejabat pemerintah, penegak hukum, organisasi-organisasi pekerja dan pengusaha serta ornop/LSM, bersama-sama memusatkan perhatian pada kejahatan yang sama dan mengidentifikasi kelompok korban yang sama serta kelompok pelaku kejahatan yang sama. Perdagangan orang harus diperlakukan sebagai suatu kejahatan tersendiri dan tidak dicampur-adukkan dengan penyelundupan atau pelacuran. Perdagangan orang bukan hanya untuk eksploitasi seksual, namun meliputi semua bentuk kerja paksa, perbudakan dan perhambaan di sektor ekonomi apapun. Karena perdagangan orang adalah kejahatan yang multi tahap, maka seluruh negara asal, transit dan tujuan dalam siklus perdagangan orang harus terlibat dalam kerangka komprehensif yang bertujuan untuk mencegah perdagangan orang; memperluas perlindungan dan dukungan kerja yang tepat untuk semua orang-orang yang diperdagangkan; menyelidiki, mengadili dan memberikan pidana yang layak kepada para pelaku perdagangan orang; memperlengkapi orang-orang yang diperdagangkan, sebagai korban pelanggaran HAM, dengan akses ke penyelesaian yang memadai dan tepat.101 Pencegahan perdagangan orang tidak hanya melalui kerangka hukum yang efektif, melainkan juga melalui mekanisme penegakan hukum yang kuat dan kerjasama antar Pemerintah. Selain itu, pencegahan juga harus memusatkan perhatian pada faktor-faktor persediaan maupun permintaan dan menangani penyebab utama yang melatarbelakangi perdagangan orang, termasuk kemiskinan, pengangguran,
100

Ibid., hal. 100. Ibid., hal. 42.

101

55

ketidakadilan dan berbagai bentuk diskriminasi dan prasangka. Terhadap orang-orang yang diperdagangkan juga harus dilindungi dan diperluas dukungannya dengan tanpa diskriminasi dan dengan menghormati hak-hak dan kebutuhan mereka yang telah diperdagangkan. Pun penyelidikan, pengadilan dan pemidanaan yang layak harus diterapkan kepada para pelaku perdagangan orang dan kaki tangan mereka dengan sepenuhnya memperhatikan hak-hak pembelaan diri tanpa mengkompromikan hakhak korban. Dan pada akhirnya, orang-orang yang diperdagangkan mesti dilengkapi dengan akses ke penyelesaian yang memadai dan tepat, termasuk akses terhadap keadilan, hak untuk bebas dari ancaman pembalasan, hak untuk pemulihan, hak-hak untuk menuntut secara hukum, dan kesanggupan untuk menghidupi diri mereka sendiri dan keluarga mereka.102 Suatu kerangka respon harus memiliki landasannya di dalam kedaulatan hukum. Sehingga menjadi penting untuk menciptakan standar hak-hak hukum dan kebijakan yang menjamin legitimasi sosial dan akuntabilitas. Perundang-undangan harus mampu melindungi, mempromosikan dan memberikan pengaruh praktis pada hak-hak orang yang diperdagangkan. Kebutuhan akan penyelarasan legislatif juga harus dicermati. Kurangnya penyelarasan legisltaif telah diidentifikasikan sebagai halangan utama dalam penuntutan hukum dan upaya perlindungan yang efektif, menghalangi upaya apapun dalam kerjasama lintas-perbatasan antara pihak berwenang nasional masing-masing di negara asal, transit dan tujuan. Namun penyelarasan yang sedemikian tidak boleh terbatas semata-mata pada penafsiran atas hukum yang ada, tetapi harus dilakukan dalam rangka standar-standar HAM internasional dan regional.103 Kurangnya perundang-undangan yang khusus dan/atau yang memadai tentang perdagangan orang di tingkat nasional telah diidentifikasi sebagai salah satu hambatan penting dalam perang menentang perdagangan orang. Ada kebutuhan mendesak untuk menyelaraskan definisi hukum, prosedur dan kerjasama pada tingkat nasional dan regional sesuai dengan standar internasional. Pembentukan suatu kerangka hukum yang tepat, dan konsisten dengan perangkat dan standar internasional yang relevan akan sangat berguna dalam pencegahan perdagangan orang dan eksploitasi terkait. Negara wajib mempertimbangkan untuk menggunakan perundang-undangan nasional
102

Kantor Perburuhan Internasional, hal. 57. Ibid.

103

56

yang sesuai dengan standar internasional sehingga kejahatan perdagangan orang terumuskan secara tepat di dalam hukum nasional dan pedoman terperinci diberikan mengenai berbagai elemennya yang dapat dikenakan pidana. Semua praktek-praktek yang tercakup dalam perumusan tentang perdagangan orang, seperti perhambaan karena hutang, kerja paksa dan pelacuran terpaksa, juga harus dijadikan tindak pidana. Perundang-undangan juga harus secara tepat diberlakukan, dimana pidana untuk badan-badan hukum atas kejahatan perdagangan orang disamping

pertanggungjawaban perseorangan. Juga penting untuk mengkaji undang-undang, pengawasan dan usaha-usaha yang mungkin berfungsi sebagai kedok untuk perdagangan orang seperti misalnya biro jodoh, perusahaan jasa tenaga kerja, perusahaan jasa perjalanan, hotel dan pelayanan pengantar.104

E.Upaya Pemberantasan dan Pencegahan Perdagangan Orang Melalui Hukum Positif Indonesia Di Indonesia, perdagangan orang telah terjadi dalam kurun waktu yang lama. Namun, karena tiadanya undang-undang yang komprehensif dengan hukum penegakan dan ditambah dengan kurangnya kepekaan pejabat pemerintah serta kesadaran masyarakat, kejahatan ini terus menjadi persoalan dan tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat. International Organization for Migration (IOM), sejak tahun 2005 telah mengidentifikasi dan membantu korban perdagangan orang di Indonesia sebanyak 3.339 orang. Dimana hampir 90% dari korban adalah perempuan, dan lebih dari 25% adalah anak-anak. Tentunya, data tersebut tidak menggambarkan jumlah kasus perdagangan orang yang sesungguhnya, melainkan hanya yang terlaporkan saja.105 Indonesia tidak hanya diakui sebagai negara pengirim, akan tetapi juga merupakan negara transit dan tujuan bagi para korban. Hal ini terjadi karena fakta bahwa beberapa daerah di negeri ini dikenal sebagai daerah dimana korban perdagangan berasal. Sementara daerah lainnya adalah tempat-tempat dimana korbankorban perdagangan orang dieksploitasi atau perjalanan mereka ke tujuan akhir. Perempuan dan anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terhadap kejahatan

104

Ibid., hal. 58 International Organization for Migration, hal. 69.

105

57

ini. Mereka diperdagangkan tidak hanya di dalam negeri tetapi juga ke luar negeri, termasuk ke Malaysia, Arab Saudi, dan Jepang. Indonesia berada di bawah pengawasan masyarakat internasional ketika Pemerintah AS dalam laporan tahunannya mengenai perdagangan orang

menempatkan Indonesia pada Tier III, yaitu menunjuk sebagai negara yang tidak memenuhi standar minimum dalam menekan perdagangan orang dan negara yang tidak menerapkan langkah-langkah yang signifikan untuk merespon isu ini.106 Sehingga pada tahun 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, dengan tujuan utama untuk mempromosikan dan / atau mendorong Undang-Undang yang berkaitan dengan perdagangan orang, terutama yang melibatkan perempuan dan anak-anak. Hingga pada tanggal 5 Maret 2009, pemerintah Indonesia mengesahkan dan mengundangkan dengan ratifikasi Protokol Palermo melalui UU Nomor 14 Tahun 2009, dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 5 ayat (2) huruf c dan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 15 ayat (2).107 Sedangkan sejak 12 Januari 2009, diberlakukan UU Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan the United Nations Convention against Transnational Organized Crime (Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi). Dan pada 16 Maret 2009, Indonesia memberlakukan UU Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pengesahan the Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Childrean, Supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime. Protokol Palermo mendorong agar setiap Negara Pihak harus menetapkan langkah-langkah legislative dan langkah-langkah lain yang dianggap perlu untuk mencegah, menindak, dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan dan
106

Annual Report by US Government , Department of State, Office to Monitor and Combat Trafficking inPersons, June 5, 2002. Adapun yang dimaksud dengan Declaration (Pernyataan) adalah pernyataan sepihak suatu negara tentang pemahaman atau penafsiran mengenai suatu ketentuan dalam perjanjian internasional, yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan perjanjian internasional yang bersifat multilateral, guna memperjelas makna ketentuan tersebut dan tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi hak dan kewajiban negara dalam perjanjian internasional. Sedangkan yang dimaksud dengan Reservation (Pensyaratan) adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral.
107

58

anak-anak. Di Indonesia, sebelum mengundangkan pengesahan Protokol Palermo, sejak tanggal 19 April 2007, Indonesia mengundangkan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO). Sesuai dengan judulnya, pendekatan UU ini mengarah pada aspek tindak pidana perdagangan orang. Sebelum Undang-Undang tersebut disahkan, sudah ada beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan dalam hukum nasional yang ditujukan untuk menanggulangi tindak kejahatan perdagangan orang. Yaitu diantaranya adalah:108 a. Paragraf ke-4 dari Pembukaan UUD 1945, yang memuat Pancasila, dimana bunyi sila ke-2 adalah Kemanusiaan yang Beradab. Yang mana melarang keras dilakukannya praktek-praktek perbudakan, sebagaimana lebih jauh diperkuat oleh ketentuan yang ada dalam Pasal 28 (I) dimana Negara mejamin hak untuk bebas dari perbudakan. b. Pasal 297 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Memperniagakan perempuan dan laki-laki yang belum dewasa, dihukum penjara selamalamanya enam tahun. Kenyataannya, korban perdagangan tidak hanya terbatas pada anak-anak yang belum dewasa, tapi juga termasuk orang-orang yang ada dalam posisi rentan, termasuk laki-laki dan perempuan dewasa. Selain itu pasal ini juga memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang. c. Pasal 324 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Barangsiapa dengan ongkos sendiri atau dengan ongkos orang lain menjalankan perniagaan budak belian atau melakukan perbuatan perniagaan budak belian atau dengan sengaja turut campur dalam segala sesuatu itu, baik dengan langsung maupun dengan tidak langsung dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. Pasal 324 KUHP dimaksudkan untuk Perdagagan Budak Belian, namun pengaturan mengenai perbudakan telah dibatalkan oleh Pasal 169 dari Indische Staatsregeling pada 1 Januari 1960 dengan pertimbangan bahwa perbudakan tidak akan pernah terjadi lagi di era modern. Asumsi ini jelas terlihat salah, seperti yang terlihat di era globalisasi ini perbudakan kembali muncul dalam bentuk yang lebih rumit dan terang-terangan, yang mana bisa terjadi secara sembunyisembunyi atau terbuka. Pekerja domestik perempuan seringkali diperlakukan seperti budak, dipaksa bekerja tanpa bayaran dan dilarang pulang ke kampung halaman serta dirampas kemerdekaannya. d. Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mencegah perdagangan, penjualan, atau penculikan anak untuk kepentingan seseorang atau untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan. Sayangnya, peraturan perundang-undangan tersebut tidak memuat definisi yang jelas mengenai perdagangan orang. Disadari adanya kekurangan dalam hukum dan regulasi, maka diperlukan satu instrumen hukum yang khusus untuk mengatur
International Organizations Migration, Guidelines for Law Enforcement and the Protection of Victims of Trafficking in Handling Trafficking in Persons Cases, hal. 17.
108

59

substantif dan landasan legal-formal yang akan menanggulangi perdagangan orang. Hukum yang baru ini mesti memuat definisi perdagangan orang yang jelas dan solid, dimana meliputi tindakan, metode, dan tujuan-tujuan eksploitatif seperti praktek perdagangan orang: apakah membawa orang untuk diperdagangkan didalam negeri atau ke luar negeri, dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang. Sehingga, dibentuknya Undang-Undang Anti-Perdagangan Orang menjadi sebuah keniscayaan. Hukum sebagai produk kebijakan makro harus memastikan bahwa muatannya mengakomodasi kepentingan publik. Hal ini akan dapat tercapai melalui sejumlah advokasi gagasan-gagasan akan kehendak dan kepentingan dari masyarakat. UndangUndang Anti-Perdagangan Orang dirancang pada tahun 2002 yang mana subjek persoalannya telah didiskusikan oleh Pemerintah dibawah koordinasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Di tahun 2004, hasilnya berupa rancangan undang-undang disampaikan kepada DPR untuk disahkan. Kemudian Pemerintah mengeluarkan rancangan undang-undang dengan sejumlah penyesuaian dan mengikuti aturan baru yang dimuat dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Atas dukungan dari kelompok perempuan dan masyarakat yang peduli dengan isu perdagangan orang, DPR melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP), yang mana pada akhirnya menentukan dalam mendorong RUU Perdagangan Orang (saat itu) sebagai inisiatif dari DPR dan masuk dalam agenda pembahasan 2005 2009. Panitia Khusus (Pansus) kemudian dibentuk untuk membahas dan menghasilkan draft yang akan diajukan kepada Pemerintah untuk dikaji, dan juga menyiapkan Daftar Isian Masalah (DIM). Kementerian Pemberdayaan Perempuan kemudian membentuk tim ahli dan tim inti untuk mengeluarkan RUU Perdagangan Orang dan membentuk jaringan dengan komunitas yang memiliki kepedulian akan persoalan perdagangan orang. Kementerian juga mengkoordinasikan pertemuan kelompok kerja yang dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian yang terkait, aparat penegak hukum, organisasi masyarakat dan masyarakat internasional untuk mengembangkan diskursus sekaligus mendapatkan masukan atas rancangan undang-undang dengan harapan akan menciptakan kebijakan yang kuat dan komprehensif. Beberapa konten yang mendapatkan perhatian adalah yang terkait dengan definisi perdagangan orang sesuai dengan Protokol PBB, bentuk-bentuk eksploitasi, perlindungan korban, dan kerjasama internasional. Setelah proses advokasi dan pembahasan yang panjang, pada akhirnya RUU disahkan oleh DPR dan diundangkan 60

menjai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Proses panjang disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dilalui dan diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia dan internasional. Pengesahan undang-undang tersebut menjadi penanda akan sebuah capaian, sebagaimana UU tersebut dilihat sebagai aturan yang komprehensif dan mencerminkan persyaratan yang diatur dalam Protokol PBB, Indonesia sebagai negara penandatangan Protokol PBB terikat perjanjian dengan masyarakat internasional untuk melihat perdagangan orang sebagai kejahatan yang kompleks dan membutuhkan pendekatan yang komprehensif, diantaranya melalui lima pendekatan penting: penegakan hukum, pencegahan, rehabilitasi sosial, perlindungan korban, dan kerjasama masyarakat serta partisipasi. UU Perdagangan Orang memuat kelima tahap pendekatan ini. Secara internasional, proses UU Perdagangan Orang berperan terhadap kemajuan posisi Indonesia menjadi negara Tier II, negara yang menunjukkan upaya signifikan untuk memerangi perdagangan orang. Dengan perundangan yang mengkriminalisasi segala bentuk eksploitasi manusia, aparat penegak hukum sekarang memiliki alat untuk menyidik, mengadili pelaku dan juga sekaligus melindungi korban.109 Namun, bagaimanapun solid dan komprehensifnya suatu dokumen hukum, tetap saja tidak akan berguna dan rapuh jika tidak diimplementasikan secara patut. Adalah menjadi tugas aparat penegak hukum untuk menerapkan prosedur dan penegakkan dengan cara yang professional. Memerangi kejahatan perdagangan orang dianggap mendesak karena perdagangan orang dianggap sebagai "industri yang

paling menguntungkan" dibandingkan dengan bentuk lain dari kejahatan yang terorganisir, seperti perdagangan narkoba dan senjata. Hal ini karena manusia dalam kasus ini diperlakukan sebagai "komoditas didaur ulang", yang memungkinkan korban yang akan berulang kali dieksploitasi, disiksa dan diperlakukan dengan cara yang tidak manusiawi demi keuntungan para penjahat. Hal ini sungguh berbeda dengan obat-obatan yang merupakan komoditas sekali pakai. Khususnya yang berkaitan dengan prostitusi paksa, fakta menunjukkan bahwa korban sudah beberapa kali dieksploitasi sejak berusia 15 tahun. Di sisi lain,

109

Ibid., hal. 25.

61

pekerja rumah tangga bisa dijual ke banyak majikan selama periode bertahuntahun.110 Negara bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan bagi warganya untuk mencegah mereka dari terjerumus atau dirugikan oleh praktek-praktek perdagangan orang. Dalam hal itu, jelas diperlukan kesadaran di antara pembuat kebijakan, masyarakat, dan aparat penegak hukum untuk lebih peduli pada orangorang yang berada dalam penderitaan, mereka yang hak-haknya telah dilanggar, atau yang menjadi korban perlakuan sewenang-wenang dan tidak manusiawi oleh pihak lain. Dan UU PTPPO dibuat untuk memenuhi tanggungjawab tersebut, yang mana UU ini dipuji banyak pihak sebagai UU yang lahir dari proses yang partisipatif.111 Sesuai dengan judulnya, pendekatan UU ini mengarah pada aspek tindak pidana. Itu mengapa misalnya, UU PTPPO ini dapat dikatakan keras dalam ketentuan pidananya. Hal ini dapat dilihat dalam bunyi pasal dengan ketentuan dipidana dengan pidana penjara paling singkat.tahun dan pidana denda paling sedikit .. Bab I Umum di Bagian Penjelasan UU ini menjelaskan bahwa Penyusunan Undang-Undang ini juga merupakan perwujudan komitmen Indonesia untuk melaksanakan Protokol PBB tahun 2000 tentang Mencegah, Memberantas dan Menghukum Tindak Pidana Perdagangan Orang, khususnya Perempuan dan Anak (Protokol Palermo) yang telah ditandatangani oleh Pemerintah. Oleh karenanya, ketentuan dalam UU PTPPO ini banyak mengadopsi ketentuan-ketentuan yang ada dalam Protokol Palermo termasuk soal definisi yang mendekati standar internasional dan melarang semua aktor yang didefinisikan dalam Protokol Palermo. Menurut UU PTPPO yang dimaksud dengan: 1. Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. 2. Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja
110

Ibid., hal. 27. Ibid.

111

62

atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil Untuk dapat memahami definisi perdagangan orang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 tersebut, definisi tersebut dapat diturunkan menjadi tiga elemen kunci sebagai berikut: a. Tindakan/Aktivitas, meliputi perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang. b. Cara/Metode, yaitu dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara. c. Tujuan/Maksud, yaitu untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Eksploitasi termasuk tapi tidak terbatas pada prostitusi, kerja paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan, kekerasan fisik, kekerasan seksual, penyalahgunaan organ reproduksi, atau perpindahan/transplantasi organ tubuh secara tidak resmi. Tujuan eksploitasi disebut sebagai delik formil. Artinya apabila terbukti adanya minimal satu tindakan/proses, dilakukan dengan minimal satu cara untuk tujuan minimal satu bentuk eksploitasi, pelaku dapat dijerat dengan UU PTPPO. Apabila seorang perempuan direkrut sebagai pelayan restoran, ternyata kemudian dilacurkan secara paksa, dan perempuan tersebut berhasil diselamatkan sebelum ia melayani pelanggan, maka kasus ini adalah TPPO.112 Jadi, jika unsur-unsur perbuatan sudah dibuktikan, bahkan tanpa harus menimbulkan akibat, dapat dikategorikan sebagai TPPO. Demikian pula ketentuan dalam Protokol Palermo yang mewajibkan Negara untuk mengkriminalisasi setiap orang yang melakukan percobaan, terlibat sebagai kaki tangan dan mengorganisir atau menyuruh orang lain dalam kejahatan perdagangan orang. UU PTPPO memenuhi hal ini yang termaktub dalam Pasal 8
112

R. Valentina Sagala, op. cit., hal. 96.

63

11. Dalam Pasal 12, UU PTPPO ini mengkriminalisasi setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang untuk menruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang. Jadi ketentuan ini menargetkan tuntutan dasar yang mengarah pada perdagangan dengan jalan yang kreatif. Tidak ada persyaratan ini dalam Protokol Palermo atau yang lainnya dalam hukum internasional. Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia ingin memberikan perlindungan yang lebih besar untuk anak, lebih dari apa yang dipersyaratkan oleh hukum internasional.113 Dari tinjauan materi UU PTPPO dalam konteks hak anak, terutama terkait dengan Protokol Palermo, terdapat sejumlah kelemahan dari UU PTPPO ini Tidak diaturnya definisi perdagangan anak sesuai dengan Protokol Palermo, secara substansi mengakibatkan tidak adanya pengaturan lebih rinci soal perdagangan anak yang berbasis hak asasi anak.114 Artinya, UU PTPPO tidak mengakui anak sebagai kasus khusus karena tidak ada pengecualian utama. UU ini tidak mengenal kerentanan anak dan anak tidak dapat menyetujui untuk diekspoitasi. UU ini tidak mengkriminalkan perdagangan anak tanpa memperhatikan unsur cara yang digunakan oleh pelaku. Jika anak diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi tanpa menggunakan unsur cara, tindakan ini tidak dapat terjangkau oleh UU PTPPO. Meski UU PTPPO mengatur mengenai anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang, misalnya dalam Pasal 17, sebagaimana diatur dalam Pasal 2,3, dan 4 yang dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga). Namun, UU PTPOO tidak mengakui adanya situasi khusus anak sebagaimana dalam Pasal 3 bagian c Protokol Palermo yang menghilangkan keharusan adanya unsur cara. Artinya, untuk kasuskasus anak, tetaplah diperlukan unsur proses/tindakan, cara, tujuan/maksud, sebagaimana halnya pada kasus orang dewasa. Hal inilah salah satu kelemahan mendasar UU PTPPO.115 Persoalan tentang anak lainnya adalah jika dikaitkan dengan konteks perdagangan manusia, definisi anak dalam UU PTPPO adalah seseorang yang belum
Emmy LS, Implementasi UU PTPPO bagi Anak Korban Perdagangan dalam Jurnal Perempuan 68: Trafficking dan Kebijakan, (Yayasan Jurnal Perempuan: Jakarta, 2010), hal. 77.
114 113

Ibid., hal. 15 R. Valentina Sagala, op. cit., hal. 97.

115

64

berusia 18 (delapan belas) tahun, termasukanak yang masih dalam kandungan. Selain tidak selaras dengan definisi dalam Protokol Palermo yang menyatakan bahwa anak adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun, definisi ini juga tidak dapat menjelaskan siapa yang menjadi korban perdagangan, apakah ibu yang mengandung atau anak yang dikandung, bagaimana bentuk eksploitasinya. Hal ini mengingat yang disebut perdagangan anak selain memenuhi salah satu elemen proses (rekrutmen, perpindahan, serah terima) juga bentuk eksploitasinya. Berkaitan dengan definisi anak, salah satu implikasinya, banyak pihak yang memasukkan janin dalam kandungan ibu yang diperdagangkan yang kemudian lahir sebagai anak korban perdagangan.116 Persoalan lain terkait dengan UU PTPPO adalah soal pendefinisian dari eksploitasi seksual yang dimuat dalam Pasal 1 angka 8: (8) Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan Pendefinisian eksploitasi seksual ini merupakan yang pertama dalam peraturan perundang-undangan Indonesia di tingkat nasional. Selain ketentuan Pasal 1 angka 7 yang mengatur mengenai eksploitasi, ketentuan Pasal 1 angka 8 secara langsung mengaitkan perdagangan orang dengan pelacuran, sehingga mengkriminalisasi segala bentuk pelacuran, termasuk mereka yang secara bebas memilih untuk menjadi pekerja seks. Dalam hal ini, sangat dimungkinkan upaya pemberantasan perdagangan orang menggunakan kerangka pemberantasan semua bentuk pelacuran yang pada kenyataannya kerap mengkriminalisasi perempuan.117 Selain itu, masih ada persoalan mengenai kebijakan operasional terkait dengan pelaksanaan UU PTPPO. Saat ini masih terdapat upaya-upaya umum terkait dengan pelaksanaan pencegahan, tindakan, dan perlindungan. Terkait dengan perlindungan, UU PTPPO memang sudah mewajibkan penyediaan bentuk-bentuk perlindungan dan pelayanan yang berhak diterima oleh saksi dan korban perdagangan orang. Hak-hak

116

Ibid. Ibid.

117

65

yang dicantumkan misalnya jaminan perlindungan dalam pemberian kesaksian,118 hak untuk didampingi pembela,119 hak atas layanan pemulihan dan rehabilitasi,120 dan hak untuk mendapatkan ganti rugi/restitusi dari pelaku.121 Namun pengaturan mengenai hal ini masih harus dielaborasi dalam peraturan perundangan operasional, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Kapolri, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, dan peraturan di tingkat daerah. Hal ini menjadi penting untuk dimunculkan sebab kasus perdagangan orang seperti gunung es. Banyak yang menjadi korban tapi karena belum terlindungi secara maksimal karena mekanisme operasionalisasinya belum jelas, korban dan para saksi tidak berani melapor ke polisi dan bersaksi. Alih-alih melapor ke polisi, rehabilitasi untuk korban pun tidak jelas. Padahal kalau tidak direhabilitasi korban akan punya beban psikologis yang luar biasa berat mengingat umumnya mereka korban eksploitasi.122 Hal tentang kebijakan operasional menjadi sangat penting untuk dikritisi karena implementasi dari upaya pemberantasan perdagangan orang akan dilakukan berdasarkan peraturan-peraturan ini. Sebagai contoh, sebagaimana dimandatkan Pasal 46 ayat 1 dan 2 UU PTPPO, pemerintah Indonesia menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang akan dikembangkan di setiap kabupaten/kota bagi saksi dan/atau korban perdagangan orang. Peraturan Pemerintah ini kemudian memandatkan dibuatnya Peraturan Menteri mengenai Standar Pelayanan Minimal dan Standar Prosedur Operasional mengenai pemulangan dan integrasi. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 sangatlah penting. Untuk itu perlu dikritisi beberapa potensi pelanggaran HAM di dalam kebijakan-kebijakan operasional. Sebagai contoh apakah peraturan berpotensi menahan seseorang meninggalkan negaranya karena mereka dianggap rentan terhadap perdagangan orang.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 21 Tahun 2007, LN No. 58 Tahun 2007, TLN 4720, ps 47.
119

118

Ibid., ps 35. Ibid., ps 51. Ibid., ps 48. International Organizations Migration., op. cit., hal. 32.

120

121

122

66

Isu lain adalah terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi. Dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi, pelaksanaan utama dari pemberantasan perdagangan orang terkait dengan pemerintah daerah. Hal ini juga diatur dalam UU PTPPO, Bab VI tentang Pencegahan dan Penanganan dimana Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang.123 Seringkali Undang-Undang yang secara semangat sudah pada jalur yang benar, meskipun jauh dari sempurna, dalam perkembangan politik di Indonesia khususnya sejak berlangsungnya proses desentralisasi dan pemerintahan daerah, justru mengalami titik balik yang sangat tidak menguntungkan bagi korban. Fakta seringkali menunjukkan bahwa kekuatan hukum yang dibentuk oleh instrumen hukum internasional dan hukum nasional dilemahkan oleh instrumen hukum lokal (daerah) berkaitan dengan program atau aksi yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Hal ini yang sudah semestinya dicermati. Hingga saat ini, telah ditetapkan Perda Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak di beberapa daerah, antara lain Jawa Barat, Kab. Indramayu Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kepulauan Riau Riau, Riau, Sulawesi Selatan, Lampung, Sulawesi Utara, Kab. Sambas Kalimantan Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Dan telah ditetapkan Rencana Aksi Daerah di beberapa daerah, antara lain Jawa Barat, Surakarta Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kota Dumai Riau, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, dan Lampung.124 Rencana Aksi Daerah tersebut mengikuti Rencana Aksi Nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai langkah-langkah strategis. Diantaranya adalah Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002, Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2002, dan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2002. Kemudian Kepres Nomor 87 dan 88 ini dievaluasi dan diterbitkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang
123

Ibid., ps 57. Emmy LS, op. cit., hal. 12.

124

67

Kesejahteraan Rakyat Nomor 25 Tahun 2009 mengenai Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak 2009 2014.125 Hingga saat ini, sesuai dengan amanat Pasal 58 UU PTPPO, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 tentang tata cara dan mekanisme pusat pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. Selain itu juga telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.126 Sebagian ahli hukum melihat bahwa UU PTPPO sulit untuk ditegakkan di Indonesia. Hal ini karena, salah satunya UU PTPPO konsekuensi yuridisnya seperti halnya lingkupnya yang juga sangat luas, terikat dengan banyak UU. Diantaranya UU Perlindungan Anak, UU Keimigrasian, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, UU Ketenagakerjaan, UU Administrasi Kependudukan, UU Kewarganegaraan, UU Perlindungan Saksi dan Korban.127 Sosialisasi dan kurangnya peningkatan kapasitas bagi aparat penegak hukum akan menimbulkan kebingungan dalam implementasi UU PTPPO. Masih banyak kasus yang terjadi ketika diproses secara hukum, masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang lain seperti KUHP dan bukan UU PTPPO sebagai payung hukum nasional untuk perdagangan orang. Ketika kejadian antar wilayah, persoalan lokus kejadiannya menjadi hambatan jika polisi masih sulit menerapkan UU PTPPO. Dan ketika peristiwa dalam satu wilayah, dianggap tidak ada perpindahan, padahal jelas ada perpindahan dan transportasi. Artinya ada persoalan kapasitas aparat penegak hukum dalam menafsirkan UU PTPPO.128 Ketidakmampuan aparat penegak hukum dalam menggunakan UU PTPPO dapat berakibat upaya pencegahan, perlindungan terhadap orang yang

diperdagangkan, dan penghukuman terhadap pelaku perdagangan orang menjadi tidak

125

Ibid., hal. 11. Ibid., hal 12. Ibid., hal. 14. R. Valentina Sagala., op. cit., al. 99.

126

127

128

68

optimal. Masih banyak kasus terjadi dimana pelaku perdagangan orang dibebaskan ataupun kalau dihukum dengan hukuman yang ringan saja.129 Seperti juga dengan aparat penegak hukum, sejatinya masyarakat pun punya andil dalam upaya penanggulangan terhadap perdagangan orang. Namun karena sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah masih belum optimal dan elitis, sebagian besar masyarakat masih belum mempunyai pemahaman yang utuh mengenai perdagangan orang. Alih-alih berempati terhadap korban perdagangan orang, masyarakat seringkali menempatkan korban perdagangan orang dalam situasi yang sulit dengan melekatkan stigma kepada mereka sebagai sampah masyarakat. Tentunya hal ini sangat tidak sesuai dengan prinsip bantuan dan perlindungan yang perlu diberikan kepada orang-orang yang dikorbankan dalam tindak pidana perdagangan orang. Menjadi tugas bersama segenap bangsa Indonesia untuk bisa menanggulangi kejahatan perdagangan orang yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kesimpulan Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Pertama, Saat ini, masyarakat internasional telah memiliki Protokol PBB untuk mencegah, menindak dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak (United Nations Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children) tahun 2000 atau dikenal juga sebagai Protokol Palermo. Protokol ini sifatnya melengkapi the United Nations Convention against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi). Sebelum lahirnya Protokol Palermo, sudah ada berbagai macam instrumen internasional yang berisi aturan-aturan dan langkah-langkah praktis untuk memerangi eksploitasi orang, terutama perempuan dan anak-anak. Namun saat itu belum ada instrumen universal yang menangani semua aspek perdagangan orang. Beberapa aturan yang dimaksud antara lain adalah The International Convention on the Elimination of All forms of Discrimination Against Women/CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan). Dimana Pasal 6 CEDAW mewajibkan semua negara untuk menekan segala bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi prostitusi perempuan. Peraturan lainnya adalah The

129

Ibid.

69

International Convention on the Rights of the Child/CRC (Konvensi Hak Anak). Pasal 32 CRC menegaskan bahwa setiap negara wajib mengedepankan perlindungan anak dari segala macam bentuk eksploitasi atau pekerjaan yang mengakibatkan kerusakan atau mengganggu pendidikan anak, atau yang mengancam kesehatan fisik, mental, spiritual anak, maupun perkembangan sosial lainnya. Pasal 35 CRC juga mewajibkan pemerintah membuat langkah-langkah multilateral untuk mencegah penculikan dan perdagangan anak untuk tujuan apapun, serta memberikan pula pelayanan program sosial, menyediakan dukungan yang sesuai dengan anak. Selain itu, The International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Internasional untuk Perlindungan Hak-Hak Migran dan Keluarganya). Pasal 10 Konvensi ini menegaskan bahwa pekerja migran dan keluarganya wajib dihindarkan dari segala macam bentuk siksaan, hambatan, dan perilaku yang tidak manusiawi, termasuk didalamnya larangan untuk memperbudak, perlakuan yang tidak manusiawi (Pasal 11). Kemudian Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia), mengatur tentang larangan memperlakukan seseorang menjadi sasaran penyiksaan, dan perlakuan hukuman lain yang kejam dan tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Sehingga dengan demikian, telah ada upaya pengaturan pemberantasan dan pencegahan perdagangan orang melalui instrumen hukum internasional walaupun dalam pelaksanaannya masih belum efektif. Kedua, Di Indonesia, perdagangan orang telah terjadi dalam kurun waktu yang lama. Namun, karena tiadanya undang-undang yang komprehensif dengan hukum penegakan dan ditambah dengan kurangnya kepekaan pejabat pemerintah serta kesadaran masyarakat, kejahatan ini terus menjadi persoalan dan tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat. International Organization for Migration (IOM), sejak tahun 2005 telah mengidentifikasi dan membantu korban perdagangan orang di Indonesia sebanyak 3.339 orang. Dimana hampir 90% dari korban adalah perempuan, dan lebih dari 25% adalah anak-anak. Tentunya, data tersebut tidak menggambarkan jumlah kasus perdagangan orang yang sesungguhnya, melainkan hanya yang terlaporkan saja.

70

Indonesia tidak hanya diakui sebagai negara pengirim, akan tetapi juga merupakan negara transit dan tujuan bagi para korban. Hal ini terjadi karena fakta bahwa beberapa daerah di negeri ini dikenal sebagai daerah dimana korban perdagangan berasal. Sementara daerah lainnya adalah tempat-tempat dimana korbankorban perdagangan orang dieksploitasi atau perjalanan mereka ke tujuan akhir. Perempuan dan anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terhadap kejahatan ini. Mereka diperdagangkan tidak hanya di dalam negeri tetapi juga ke luar negeri, termasuk ke Malaysia, Arab Saudi, dan Jepang. Indonesia berada di bawah pengawasan masyarakat internasional ketika Pemerintah AS dalam laporan tahunannya mengenai perdagangan orang

menempatkan Indonesia pada Tier III, yaitu menunjuk sebagai negara yang tidak memenuhi standar minimum dalam menekan perdagangan orang dan negara yang tidak menerapkan langkah-langkah yang signifikan untuk merespon isu ini. Sehingga pada tahun 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, dengan tujuan utama untuk mempromosikan dan / atau mendorong Undang-Undang yang berkaitan dengan perdagangan orang, terutama yang melibatkan perempuan dan anak-anak. Sehingga dengan demikian, perdagangan orang di Indonesia menjadi permasalahan yang sangat penting untuk di bahas, mengingat bahwa banyak warga Indonesia yang menjadi objek dari perdagangan orang itu sendiri sehingga perlu adanya upaya terpadu dari semua pihak, terutama pihak pemerintah. Ketiga, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pengesahan UU PTPPO adalah bagian dari harapan keinginan atas perubahan keadaaan sebagian besar laki-laki dan perempuan yang diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual maupun kerja paksa. Situasi ekonomi yang sulit dan kurangnya akses terhadap pendidikan serta kebudayaan yang memberi peluang terjadinya perdagangan orang adalah penyebab utama atas tindakan perdagangan orang ini memungkinkan untuk diatasi melalui kebijakan atau aturan hukum yang spesifik. Kebijakan ini pun disambut oleh beberapa daerah dalam bentuk peraturan daerah seperti di provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, Lampung, Jawa Timur, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sejumlah gugus tugas, aturan pelayanan khusus serta standar pelayanan terpadu juga sudah ditetapkan. 71

Namun, Indonesia masih belum bisa dikatakan bebas dari persoalan perdagangan orang. Hal itu karena masih banyak sejumlah tantangan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum, karena sebagian pengamat menilai bahwa UU PTPPO ini sulit untuk diterapkan sepenuhnya di Indonesia. Pertama, karena UU PTPPO memiliki konsekuensi yuridis yaitu terikat dengan banyak peraturan perundangan lainnya seperti perlindungan anak, imigrasi, KUHP, tenaga kerja, kewarganegaraan, perlindungan saksi dan korban, serta penempatan tenaga kerja luar negeri. Bahwa UU PTPPO ini mencakup lintas sektor, apalagi bila korban ditemukan ternyata juga adalah pelaku perdagangan orang. Kedua, ada persoalan kurangnya pengetahuan para penegak hukum dalam menjalankan UU PTPPO ini, serta koordinasi lintas sektor yang perlu dilakukan secara intensif dalam melakukan penanganan kasus. Ketiga, masih kurang keterlibatan serta kontribusi dari masyarakat, yang bisa juga disebabkan karena kurangnya pengetahuan, sehingga alih-alih menempatkan perlindungan yang memadai, kita lebih sering menempatkan pekerja seks komersial ditempatkan dalam stigma dan tudingan sebagai pelaku kriminal dan sampah masyarakat. Padahal besar kemungkinannya mereka adalah korban dari perdagangan orang yang mengalami eksploitasi seksual. Pada akhirnya, Indonesia tetap harus bergembira atas adanya UU PTPPO ini. Tentunya dengan catatan sejumlah tantangan berat dalam pelaksanaannya.

Saran Dari pembahasan dan kesimpulan diatas, dapat dirumuskan beberapa saran sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan sosialisasi dan peningkatan kapasitas di kalangan aparat penegak hukum beserta Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagai pelaksana UU PTPPO dan Peraturan Daerah yang terkait dengan perdagangan orang. Sosialisasi juga perlu dilakukan kepada masyarakat luas, termasuk dengan melakukan diseminasi informasi secara luas sampai ke masyarakat pedesaan dan daerah terpencil mengenai bahaya dan modus perdagangan orang. 2. Dalam melakukan peningkatan kapasitas di kalangan penegak hukum dan pelaksana kebijakan, Pemerintah perlu untuk memasukkan muatan

pemahaman akan HAM dan prinsip-prinsipnya. Sehingga nilai-nilai HAM

72

bisa terintegrasi di dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan pelaksana kebijakan lainnya, baik di tingkat pusat maupun daerah. 3. Pun dalam melakukan sosialisasi kepada seluruh masyarakat, penting untuk juga menerapkan prinsip pemberdayaan selain soal peningkatan kesadaran hukum. Terutama diantara perempuan dan anak perempuan yang rentan serta keluarga mereka. Dengan demikian mereka mengerti hukum dan dapat menuntut serta mempertahankan hak-hak mereka sebagaimana termaktub dalam undang-undang. 4. Seluruh aparat penegak hukum di Indonesia segera menerapkan UU PTPPO dan Perda yang terkait dalam melakukan penanganan kasus perdagangan orang. Tidak lagi hanya menggunakan KUHP. Dan membangun konsistensi mekanisme kontrol (monitoring) terhadap penerapan UU PTPPO untuk melihat efektivitas implementasi UU PTPPO bagi perlindungan buruh migran, perempuan dan anak. 5. Mengharmonisasikan segala kebijakan, hukum dan peraturan yang telah dan akan ada dengan UU PTPPO dan Perda yang terkait sebagai payung hukum dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. 6. Menyiapkan perangkat, infrastruktur dan tenaga untuk implementasi UU PTPPO dari tingkat pusat sampai desa (Pusat Layanan Terpadu, Pos Pengaduan Ramah Korban di Kantor Polisi, Dana untuk pemulangan, Rehabilitasi medis-psikososial dan integrasi sosial bagi korban dan keluarganya). 7. Menjalin kerjasama dengan negara transit dan negara penerima/tujuan untuk menghormati hak-hak buruh migran dan tidak memperlakukan mereka yang passportnya hilang/ditahan majikan sebagai imigran gelap. Termasuk memberi kesempatan kepada buruh migrant untuk tetap berada di negara penerima dan memperoleh kesempatan untuk mendapatkan penghidupan yang layak. 8. Mengawasi lebih ketat dan menutup tempat penampungan Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang melakukan penipuan dan pembatasan ruang gerak para calon buruh migran. 9. Memperkuat jaringan organisasi non-pemerintah anti perdagangan orang secara nasional maupun internasional agar perlindungan perempuan dari perdagangan orang sesuai dengan standar HAM.

73

10. Memperkuat pendokumentasian (database) tentang tindak pidana perdagangan perempuan dan anak dari berbagai pihak sebagai bahan advokasi kebijakan pemerintah dan bahan kampanye pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Daftar Pustaka Aronowitz, Alexis A., Human Trafficking, Human Misery: the Global Trade in Human Beings, 2009, New York. Gerung, Rocky., Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum dan Kasus, 2006, Jakarta. Global Alliance against Traffic in Women, Human Rights and Trafficking in Persons: A Handbook, Desember, Bangkok. Kapur, R., The global war on trafficking, terror and human rights, Juli 2002. Lee, Maggy., Human Trafficking, 2007, London. LS, Emmy., Implementasi UU PTPPO bagi Anak Korban Perdagangan dalam Jurnal Perempuan 68: Trafficking dan Kebijakan, 2010, Jakarta. Mashika, Rachel., Gender, Trafficking and Slavery, 2007, London Miller, dan Stewart (Chair dan Rapporteur), Report from the Roundtable on the Meaning of "Traffic in Persons": A Human Rights Perspective, 2000, London. Office of the High Commissioner for Human Rights, Trafficking in Migrants Quarterly Bulletin No .26, September 2002, Jenewa. UNDP Regional HIV and Development Programme Team, You and ADIS The HIV and Development Magazine for Asia Pacific, Vol.2 Terbitan No. 1, Agustus 2003, Jenewa. UNIFEM dan UN Project on Human Trafficking in the Mekong Sub-region, Trafficking in Persons: A Gender and Rights Perspective Briefing Kit. United States of America Department of State, Victims of Trafficking and Violence Protection Act 2000 Trafficking in Persons Report, 2003, Washington D.C. Sagala, R. Valentina., Membaca UU PTPPO dalam Perspektif HAM dalam Jurnal Perempuan 68: Trafficking dan Kebijakan, 2010, Jakarta. Segev, Nava., Trafficking Inside Cells: Pathways, Mechanism and Regulation, 2009, New York. Shelley, Louise., Human Trafficking: A Global Perspective, 2010, New York.

74

Das könnte Ihnen auch gefallen