Sie sind auf Seite 1von 8

Diabetes Melitus dan Tuberkulosis Paru

Harsinen Sanusi Subbagian Endokrinologi & Metabolik Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Pusat Diabetes dan Lipid (PUSDILIP) Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar SUMMARY Diabetes mellitus is a group of metabolic diseases characterized by hyperglicemia resulting from defects in insulin secretion, insulin action, or both. The chronic hyperglicemia of diabetes is associated with long-term damage, dysfunction and failure various organs, especially the eyes, kidneys, nerves, heart and blood vessels. Diabetes may increase general susceptibility to infection , especially tuberculosis. Hyperglicemia can interfere with crucial activities of phagocytic cells , notably the respiratory burst responsible for intracellular killing of microorgasnisms, which is attenuated by poylol pathway activation. Infection cause hyperglycemia and may precipitate diabetic ketoacidosis. This is due to increased counter-regulatory hormone secretion, which stimulates gluconeogenesis and to sympathetically mediated inhibition of insulin release. Diabetic patients tended to have pulmonary tuberculosis confined to the lower lobes, non segmental, severe and reactivation of previous disease. The treatment for diabetic patient with pulmonary tuberculosis consist high calorie, high protein diet, and insulin. Oral antidiabetic drugs are containdication especially sulphonyureas and biguanides. Recommended antituberculosis treatment for diabetic patients remains quadruple therapy (rifampicin, isoniazid, pyrazinamide and ethambutol). Its should be remembered that rifampicin induces the hepatic enzymes that inactivate sulphonylureas and so can exacerbate hyperglycemia. (J Med Nus. 2004; 25:45-49) RINGKASAN Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat defek sekresi insulin , kerja insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik berhubungan dengan kerusakan, disfungsi dan gangguan berbagai-bagai organ khususnya mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah. Hiperglikemia dapat menyebabkan menurunnya aktifitas sel fagosit khususnya terganggunya respiratory burst untuk membunuh mikroorganisme dalam lekosit. Infeksi menyebabkan hiperglikemia dan dapat mempresipitasi ketoasidosis diabetika dan dapat meningkatkan sekresi hormon counter regulatory, merangsang glukoneogenesis dan menekan sekresi insulin. Pasien DM rentan mendapat TB paru dan gejala TB paru perlangsungannya lebih berat, mengenai lobus bawah, non segmental dan menyebabkan reaktivasi penyakit sebelumnya. Pada umumnya pengobatan meliputi pengobatan terhadap DM nya dengan pemberian diet diabetes dan insulin. Obat anti diabetes oral sebaiknya tidak diberikan pada DM dengan TB paru karena adanya efek rifampicin dan isoniazid yang mengurangi efek obat tersebut. Penting sekali monitor glukosa darah sendiri dengan memakai meter untuk memantau kadar glukosa secara teratur.(J Med Nus. 2004; 25:45-49)

Pendahuluan Diabetes melitus (DM) tipe2 adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat defek sekresi insulin , kerja insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik berhubungan dengan kerusakan, disfungsi dan gangguan berbagai-bagai organ khususnya mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah.1 Patogenesis DM tipe 2 sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, namun peranan faktor genetik dan faktor lingkungan dalam proses terjadinya DM tipe 2 sudah diketahui dengan pasti. Disamping itu defisiensi sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan resistensi insulin diperifer merupakan 2 keadaan yang ditemukan secara bersamaan pada DM tipe2. Yang menjadi masalah adalah proses mana yang lebih dahulu terjadi belum diketahui dengan pasti.1 Diagnosis DM tipe 2 ditegakkan berdasarkan kriteria WHO, yaitu bila ditemukan gejala klinis yang khas DM seperti poliuri, polidipsi dan polifagi serta penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya dan kadar glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl maka diagnosis DM dapat ditegakkan. Sebaliknya apabila tidak ada keluhan maka perlu dilakukan pemeriksaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan mengukur kadar glukosa plasma puasa dan 2 jam setelah beban glukosa 75 gram. Bila kadar glukosa plasma puasa > 126 mg/dl dan atau kadar glukosa 2 jam setelah beban > 200 mg/dl maka diagnosis DM sudah dapat ditegakkan.1 Dalam perjalanannya DM tipe 2 sering mengalami komplikasi selain komplikasi mikroangiopati yang erat kaitannya dengan kontrol glukosa plasma yang jelek seperti retinopati dan nefropati diabetik, juga komplikasi makroangiopati yang erat kaitannya dengan aterosklerosis seperti penyakit kardiovakuler (PKV), stroke dan gangren diabetik. Diabetes melitus dapat mengakibatkan individu rentan infeksi yang disebabkan oleh faktor predisposisi yaitu kombinasi antara angiopati, neuropati dan hiperglikemia. Gangguan mekanisme pertahanan tubuh akibat gangguan fungsi granulosit, penurunan imunitas seluler, gangguan fungsi komplemen dan penurunan respons limfokin, dapat mengakibatkan lambatnya penyembuhan luka.2 Infeksi sendiri dapat menyebabkan hiperglikemia dan dapat mempresipitasi ketoasidosis diabetik yang disebabkan oleh kenaikan sekresi counterregulatory hormoneyang merangsang glukoneogenesis dan meningkatkan sistim syaraf simpatis yang menekan pengeluaran insulin.3 Resistensi insulin dapat meningkat karena respons pengeluaran sitokin akibat infeksi. 3 Pada pasien DM yang terinfeksi pengobatan biasanya diganti dengan pengobatan insulin sampai infeksinya membaik dan bagi pasien DM yang sudah mendapat insulin maka dosis insulin perlu ditingkatkan.3 Dalam naskah ini akan dibicarakan pengaruh TB paru pada DM khususnya kepekaan terhadap infeksi, efek metabolik akibat infeksi, manifestasi klinis dan pengelolaan DM pada TB paru. Diabetes melitus dan kepekaan terhadap infeksi Meningkatnya kepekaaan pasien DM terhadap infeksi disebabkan oleh berbagai faktor. Pada umumnya efek hiperglikemia sangat berperan mudahnya pasien DM terkena infeksi. Hal ini disebabkan karena hiperglikemia mengganggu fungsi neutrofil dan

monosit (makrofag) termasuk kemotaksis, perlengketan, fagositosis dan mikroorganisme yang terbunuh dalam intraseluler.3,4,5 Diabetes melitus oleh WHO dianggap sebagai suatu penyakit imunodefisiensi sekunder yang karakteristik oleh adanya resolusi bila kausa yang mendasarinya dieleminasi; perlangsungan lebih lama dan lebih berat disertai infeksi sering rekuren. Gangguan salah satu mekanisme respons imun biasanya granulosit polimorfonuklear (PMN) dan atau aktifitas subset limfosit. Bila mengenai PMN maka manifestasi kemotaksis dan fagositosis terganggu.4,5 Lekosit PMN ditarik ke tempat infeksi oleh substansi kemotaksis yang disekresikan oleh mikroorganisme dan oleh aktifasi komplemen dan faktor-faktor yang di pengaruhi secara lokal oleh PMN. Pada penelitian invitro sel-sel pasien DM mempunyai kemotaksis yang menurun., terutama pada keadaan DM yang tidak terkontrol.4,5. {mospagebreak} Fagositosis juga terganggu pada DM dikaitkan dengan defek intrinsik dari PMN. Hiperglikemia juga berkaitan dengan killing activity (aktifitas membunuh) dari enzim lisosom yang menurun. Pada keadaan hiperglikemia cenderung terbentuk sorbitol yang disebabkan oleh enzim aldose reduktase dengan bantuan Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate (NADPH) menjadi NADP melalui metabolisme polyol pathway. Akibat NADPH banyak digunakan untuk membentuk sorbitol maka aktifitas membunuh mikroaorganisme intrasselular yang memerlukan NADPH menurun karena respiratory burst. Normalisasi kadar glukosa darah akan segera meningkatkan aktifitas membunuh dalam 48 jam (gambar 1).5 Gambar 1: Disfungsi sel fagositik Dikutip dari Pickup JC , William: Text book of diabetes 1997;2:70,1-70, 12 Faktor-faktor lokal juga menyebabkan kecenderungan pasien DM mudah infeksi yaitu: hiperglikemia memberi kecenderungan infeksi bakteri dan fungi pada pasien DM. Insufisiensi vaskuler dan hipoksia jaringan menyebabkan pertumbuhan organisme anaerob, terbatasnya mekanisme pertahanan tubuh; neuropati menyebabkan gangguan distribusi tekanan, yang berperan pada infeksi dan ulserasi pada kaki. Pada kandung kemih neuropati menyebabkan atoni buli-buli yang menyebabkan retensi urinaria yang cenderung bakteriuria.4,5 Efek metabolik infeksi Infeksi adalah penyebab utama krisis hiperglikemia pada DM. Tercatat 30 % episode ketoasodosis diabetik diprepisitasi oleh infeksi dan umumnya pada DM tipe 2.3 Infeksi ringan pada DM biasanya menaikkan toleransi glukosa dengan meningkatkan kadar glukosa darah dan meningkatkan kebutuhan insulin pada pasien DM tipe 1. Pada DM tipe 2 memerlukan pengobatan insulin selama ada infeksi dan pada orang-orang non diabetik atau normal adanya infeksi dapat meningkatkan kadar glukosa darah (hiperglikemia).4 Efek metabolik infeksi pada DM diawali oleh kenaikan kadar glukosa darah karena glukoneogenesis yang distimulasi oleh meningkatnya sekresi counter-regulatory hormones (glukagon, kortisol, growth hormon dan katekolamin) maupun penekanan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Katekolamin dalam hal ini simpatis dan adrenalin

dihasilkan oleh medula adrenal, keduanya menyebabkan meningkatnya glukoneogenesis dan penekanan sekresi insulin. Vasopresin bekerjasama dengan hormon antagonis dan ini juga berperan pada stadium awal.3,5 Tahap selanjutnya walaupun sekresi meningkat pada non diabetik maupun pada DM tipe 2 akan tetapi akibat adanya resistensi insulin, hiperglikemia menetap dan malahan cenderung meningkat dan dapat menyebabkan ketoasidosis diabetik. Resistensi insulin terutama pada otot skelet dimana insulin tidak mampu meningkatkan asupan glukosa demikian pula di hati. Mekanisme yang mendasarinya belum diketahui dengan pasti. Namun kadar kortisol yang meningkat didalam sirkulasi dan sitokin yang disekresi oleh sel imun akibat infeksi ikut berperan. Selanjutnya interleukin dan tumor necrosis factor mengganggu kerja insulin diperifer dengan menekan tyrosine kinase activity pada reseptor insulin.3 Kenaikan kadar glukagon terutama pada defisiensi insulin akan merangsang ketogenesis yang terkait erat dengan terjadinya ketoasidosis pada infeksi DM.3 Infeksi Tuberkulosis pada DM Tuberkulosis sering ditemukan menyertai DM dan menyebabkan resistensi insulin dan brittle diabetes. Di negara-negara barat insidens tuberkulosis sudah menurun walaupun insidensnya masih tinggi pada populasi imigran dan terutama pada pasien dengan Acquired Immun Defisensi Syndrome (AIDS).3 Didaerah dimana tuberkulosis masih bersifat endemik maka insiden tuberkulosis pada DM masih tinggi.3 Perlangsungan TB paru pada DM lebih berat dan kronis dibanding non diabetes. Hal ini disebabkan pada DM, kepekaan terhadap kuman TB meningkat, reaktifitas fokus infeksi lama, mempunyai kecenderungan lebih banyak cavitas dan pada hapusan serta kultur sputum lebih banyak positif, keluhan dan tanda-tanda klinis TB paru toksik tersamar sehingga tidak pernah didiagnosis atau dianggap TB paru ringan oleh karena gangguan syaraf otonom dan pada keadaan hiperglikemia pemberian obat kemoterapi pada umumnya tidak efektif. Pada pemeriksaan radiologis biasanya yang terkena infeksi adalah lobus bawah paru-paru kadangkadang lebih dari satu lobus dan tidak segmental.6.7 {mospagebreak} Prevalensi TB paru pada DM meningkat 20 kali dibanding non DM, aktifitas kuman tuberkulosis meningkat 3 kali pada DM berat dibanding DM ringan .4 Penelitian TB paru pada DM di Indonesia masih cukup tinggi yaitu antara 12,8-42% dan bila dibanding dengan luar negeri maka prevalensi di Indonesia masih tinggi.5 Laporan baru-baru ini menunjukkan bahwa tuberkulosis cenderung mengenai lobus bawah dan tengah paru dan dalam jangka yang tidak terlalu lama dapat mengenai beberapa lobus (multiple-lobe) dan biasanya timbul kavitas dan distribusinya non segmental. Belum dapat dipastikan bahwa apakah lobus tengah /bawah juga lebih sering pada pasien DM bila pemeriksaan computed tomography dikerjakan.3,6,7 Selain itu pasien DM juga terbukti mempunyai risiko tinggi mendapat mukormikosis paru yang telah dibuktikan pada beberapa pasien DM hemoptisis. Tuberkel basilus cenderung resistens dengan berbagai antibiotik apabila reaktivasi tidak terjadi.8 Telah diketahui sejak dahulu ada hubungan bermakna antara DM dengan TB paru khususnya pada pasien DM yang tidak terkontrol baik.6

Survey Philadelphia pada tahun 1952 menunjukkan bahwa dari 3106 pasien DM yang diteliti ditemukan 8,4% pasien TB paru berdasarkan pemeriksaan radiologis dibanding dengan 71.767 kontrol non DM ditemukan hanya 4,3%.7 Penelitian oleh Ezung dkk (2002) melaporkan 100 pasien DM yang berobat jalan dan nginap di Imphal India menunjukkan 27% didiagnosis tuberkulosis paru dan 6% didiagnosis dengan pemeriksaan sputum. Pemeriksaaan radiologis ditemukan 11 pasien lesi minimal, 7 pasien lesi moderat, 9 pasien dengan lesi berat atau far advanced lesions; kavitasi ditemukan pada 3 pasien, fibrosis 4, opasitas homogen 6, opasitas heterogen 10, efusi pleura pada 3 pasien dan 1 pasien dengan fibrosis dan konsolidasi. Umur rata-rata pasien berumur diatas 40 tahun (mean age 55,4 tahun) , 23 pasien (85,18%) mengidap DM rata-rata 7,6 tahun . Hasil penelitian menunjukkan tidak ada korelasi antara lamanya DM dengan prevalensi tuberkulosis paru. Demikian pula tidak ditemukan adanya korelasi dengan riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis.7 Penelitian menunjukkan bahwa TB paru pada DM berkorelasi dengan meningkatnya umur. Sejumlah penelitian menunjukkan prevalensi TB paru pada DM rata-rata diatas 40 tahun.6 Faktor umur berperan dalam meningkatkan prevalensi TB paru pada DM karena umur lebih tua meningkatkan kepekaan terhadap tuberkulosis, Pada DM,infeksi tuberkulosis biasanya tersamar (mask tuberculous infection) sehingga diagnosis tuberkulosis paru umumnya sudah terlambat. Pada usia lanjut, disamping fungsi sel beta lebih terganggu, juga pada usia lanjut umumnya sudah lama menderita DM serta kontrol DM biasanya labil. Pasien DM lakilaki mempunyai kemungkinan 2 kali mendapat TB paru dibanding wanita. Dan 71% adalah pasien DM non obes, 15% obes dan hanya 14% kurus. Sedang peneliti lainnya menemukan sebagian besar DM yang menderita TB paru mempunyai berat badan normal.7Keluhan pasien menunjukkan 53% mengeluh perasaan lemah, 14% batuk-batuk, 8% poliuria, 7% hemoptisis, 6% sesak napas, demam dan polifagi masing-masing 3%, sedang perasaan kesemutan, berat badan menurun, perasaan terbakar pada tungkai hanya 1% Pengobatan DM pada TB paru Pengobatan DM pada TB paru meliputi pengobatan terhadap DM nya dan pengobatan terhadap TB parunya. Pengobatan DM adalah sama saja pengobatan DM pada umumnya yang meliputi terapi perencanaan makan /diet, anti diabetes oral maupun insulin. Perencanaan makan selain untuk menormalkan kadar glukosa darah , juga untuk mengembalikan berat badan ke berat badan ideal. Bila pasien DM kurus diberikan diet DM yang lebih tinggi kalori sedang apabila gemuk maka diturunkan berat badan. Pada umumnya pengobatan diet diabetes berkisar 2000-2400 kalori. Pemberian obat anti diabetes pada DM disertai dengan TB paru dipilih pengobatan dengan insulin. Bagi pasien yang sementara dapat pengobatan anti diabetes oral, seperti sulfonilurea dan biguanid sebaiknya diganti dengan insulin. Pemberian sulfonilurea pada DM dengan TB paru adalah kontra indikasi karena tuberkulosis dianggap penyakit dengan infeksi serius yang intercurrent. Sedang biguanid tidak diberikan karena pada umumnya TB paru mempunyai keluhan nafsu makan menurun , berat badan menurun

dan adanya malabsorbsi glukosa, dimana metformin mempunyai mekanisme kerja sama diatas. Pemberian rifampicin pada DM dengan TB paru dapat mempercepat metabolisme obatobat anti diabetik oral, menginaktifasi sulfonilurea dan meningkatkan kebutuhan insulin. Disamping itu rifampicin menyebabkan early hyperglicaemia pada non DM maupun non TB paru dan meningkatkan absorbsi glukosa di usus. Sebaliknya isoniazid dapat mengganggu absorpsi karbohidrat di usus dan bekerja antagonis dengan sulfonilurea. Walaupun jarang isoniazid menyebabkan pankreatitis dan menghambat efek metformin pada absorbsi glukosa di usus. {mospagebreak} Pada DM tipe 2 disertai tuberkulosis paru pemberian insulin dianjurkan selama infeksi masih aktif.3 Telah dikenal berbagai macam insulin mulai kerja cepat, pendek, sedang sampai lama yang disuntikkan sendiri (tunggal) atau mixed dalam satu semprit. Saat ini tersedia insulin analog yang kerja cepat yaitu insulin lispro dan insulin aspart. Sedang untuk kerja pendek tersedia Actrapid, HumulinR, kerja sedang seperti monotard, insulatard dan humulin N. Sedang kerja lama atau panjang adalah ultra lente, insulin glargine(lantus).3,8 Insulin yang dikombinasi (tercampur) antara insulin kerja pendek dan sedang adalah Insulin mixtard, yang terdiri Monotard 70% dan Actrapid 30%. Insulin yang beredar sekarang insulin murni atau human insulin yang dibuat dengan teknologi rekombinan DNA dan mempunyai kerja lebih cepat dan lama kerja lebih pendek dibanding dengan insulin babi.7 Di Indonesia hanya beredar insulin dengan dosis 40 unit per ml dan 100 unit per ml. Di luar negeri tersedia pula insulin dengan dosis 500 unit per ml yang ditujukan pada kasus-kasus resistensi insulin dimana memerlukan insulin dosis besar.8,9 Pemberian insulin pada DM dengan TB paru diindikasikan pada keadaan penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia berat apalagi disertai ketosis, perlu penanganan lebih ketat kadar glukosa darah dan obat-obat anti TB paru mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes. Pemberian insulin sebaiknya dimulai dengan insulin kerja cepat seperti actrapid atau humulin R dengan dosis kecil 5 unit diberikan tiap jam sebelum makan dan dosis ditingkatkan 2-4 unit dalam waktu 2-4 hari. Macam dan jadwal pemberian insulin dapat diubah sesuai respons pasien.8,9 Bila pengendalian DM berlangsung baik dan keadaan TB paru sudah membaik maka insulin kerja pendek dapat dilanjutkan dengan insulin kerja menengah seperti monotard atau Humulin N dengan dosis 2/3 dari dosis total insulin kerja pendek. Bila dosis total perhari diperlukan kurang 30 unit perhari maka cukup pemberian insulin kerja menengah sekali perhari dan apabila dosis lebih 30 unit maka pemberian insulin diberikan 2 kali perhari yaitu 2/3 dosis sebelum makan pagi dan 1/3 dosis sebelum makan malam.9 Pemberian insulin mixed lebih baik dalam menormalkan kadar glukosa darah dibanding insulin tunggal. Namun demikian insulin campuran sebaiknya mengikuti petunjuk dan prosedur standar pemberian seperti penyuntikan dilakukan 15 menit sebelum makan, dianjurkan hanya pada pasien yang sudah terkontrol baik. Tidak dianjurkan menggambungkan antara lente insulin dengan NPH karena Zink pospat dapat mempresipitasi sehingga insulin kerja lambat akan menjadi kerja pendek. Demikian pula

insulin glargine tidak dapat dicampur dengan insulin lainnya karena pH rendah karena akan saling mengencerkan.7,10 Dosis insulin pada pasien DM tergantung respos glikemik setiap individu dan asupan makanan serta latihan jasmani. Pada umumya pada pemberian awal diberikan 3 kali atau lebih suntikan perhari dengan insulin kerja pendek untuk memperoleh derajat euglikemik. Jadwal penyuntikan tergantung dari kadar glukosa darah, jumlah asupan makanan, aktifitas fisik (olahraga) dan tipe insulin yang dipakai.. Pada umumnya penyuntikan dilakukan 30 menit sebelum makan khusus untuk insulin kerja pendek karena penyuntikan setelah makan atau segera sebelum makan akan menyebabkan hipoglikemia atau insulin tidak efektif menekan kenaikan glukosa darah postprandial.7,9 Pada saat ini setiap pemberian insulin khususnya dalam periode lama seperti DM dengan TB paru maka perlu monitor glukosa darah sendiri .7 Untuk memantau kadar glukosa dapat dipakai darah kapiler dengan memakai meter. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah dengan meter dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala , hasil pemantauan dengan cara meter atau reagens kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional.9 . Waktu pemeriksaan untuk pemantauan adalah pada saat sebelum makan dan waktu tidur untuk menilai risiko hipoglikemia. Pemeriksaan glukosa darah 2 jam setelah makan untuk menilai ekskursi maksimal glukosa selama sehari.10 Pengobatan antituberkulosis untuk pasien dengan DM adalah terapi quadripel yang meliputi rifampicin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol. Selama 2 bulan pertama, dan diikuti 4 bulan berikutnya dengan pengobatan rifampicin dan isonoazid. 3 {mospagebreak} Pemberian rifampicin pada DM dengan TB paru dapat mempercepat metabolisme obatobat anti diabetik oral dan meningkatkan kebutuhan insulin. Sebaliknya isoniazid dapat mengganggu absorpsi karbohidrat di usus dan bekerja antagonis dengan sulfonilurea.3 Sebagai petunjuk atau guidelines untuk pengelolalaan DM selama infeksi adalah sebagai berikut : Pada pasien yang berobat jalan tindakan adalah : Monitor kadar glukosa plasma sekurang-kurangnya 4 jam terakhir. Pada pasien yang sudah mendapat pengobatan dengan insulin, dosis insulin ditingkatkan untuk mengantisipasi hiperglikemia persisten. Kebutuhan kalori disesuaikan dengan berat badan. Bagi pasien yang kurus kebutuhan kalori lebih besar dari yang semestinya, demikian pula pada pasien gemuk, kalori yang diberikan lebih rendah dari kalori standard. Indeks massat tubuh dipertahankan antara 18,5-23. Kendalikan DM seoptimal mungkin yaitu mempertahankan kadar glukosa darah puasa antara 80-109 mg/dl, 2 jam setelah makan antara 80-144 mg/dl, A 1c <6,5, Kendalikan kadar dari fraksi lipid antara lain kadar kolesterol total dipertahankan < 200 mg/dl, kolesterol LDL < 100mg/dl, kolesterol HDL>45, trigliserid <150 mg/dl. Tekanan darah dipertahankan < 130/80 mgHg . Awasi bila timbul muntah-muntah atau terjadi hiperglikemia berat atau hipoglikemia dan tindaki segera. Pada pasien rawat nginap tindakan adalah sebagai berikut:

Monitor kadar glukosa plasma 4 jam terakhir; tingkatkan dosis insulin untuk mengatasi hiperglikemia bila perlu berikan insulin intravena atau tetes. Pada pasien yang memakai obat hipoglikemia oral pertimbangkan untuk mengganti atau menambah dengan insulin. Atasi dan awasi kemungkinan adanya dehidrasi. Daftar RUJUKAN 1. The Expert Committtee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Report of the expert committeee on the diagnosis and Classification of diabetes mellitus. Diabetes care.2002;25:S5-S20. 2. Tan JS. Infectiuos complications in patients with diabetes mellitus. Int Diab Monit.2000;12:1-5(1) 3. JohnstonCLW Infections and diabetes mellitus in Pickup JC, Williams G. Textbook of diabetes 2nd ed.vol.2 Blackwell Science Ltd. 1997;S71-70.14. 4. Litonjua DA. Other Complications of Diabetes in Diabetes in the new millennium edited by John R Turtle.Toshio Kaneko and Shuichi Osato. The Endocrinology and Diabetes Research Foundation of the University of Sydney.1999;415-422. 5. Pickup JC, William G.Textbook of Diabetes .2nd edit. Vol 2 Blackwell Science ltd. 1997: Infection & Diabetes mellitus. 1997; 70.170.14. 6. Askandar Tj,Hedromaqrtono, Djoko I.Santoso, Jusuf Wibisono. Pengobatan dan perawatan penderita diabetes mellitus dengan tuberkulosa paru. Acta Medica Indosiana.1983;14(BagII):196-206 7. Ezung T, Taruni Devi NG, Singh NT, Sing THB. Pulmonary tuberculosis and Diabetes mellitus-A Study JIMA 2002;100:1-2. 8. Matthay MA. The lungs and endocrine disease in Text book of Respiratory Med. Edit by Murray, Nadel . 2nd ed. WB Saunders Comp. Adev of Harcourt Brace comp. Philadelphia.1994;2463-5. 9. American Diabetes Association. Insulin Administration Diabetes Care.2002;25 (suppl.1):S112S115. 10. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia . Buku konsensus pengelolaan diabetes melitus tipe 2 edisi 2002, 2002;8-23 Last Updated (Monday, 29 May 2006 07:22)

Das könnte Ihnen auch gefallen