Sie sind auf Seite 1von 17

LEGAL AND ETHICAL ASPECT OF DISORDER OF SEXUAL DEVELOPMENT MANAGEMENT

Sofwan Dahlan*

________________________________________________________________ PENDAHULUAN Menentukan jenis kelamin berdasarkan tanda-tanda kelamin sekunder atas bayi yang dilahirkan normal tidaklah sulit sehingga orang awampun dapat melakukannya dengan tepat. Namun untuk bayi tertentu, penentuan jenis kelamin tidaklah mudah dan sederhana. Masalahnya adalah karena ada beberapa bentuk ambigu (rancu) yang menggambarkan adanya kombinasi karakteristik laki-laki dan perempuan dengan berbagai tingkat variasinya. Maka jika seandainya bentuk laki-laki yang sempurna ditempatkan pada satu kutub dan bentuk perempuan sempurna pada kutub lain dan kemudian ditarik garis kontinum yang menghubungkan kedua kutub tadi, akan ada bentuk-bentuk antara yang sering disebut intersex, kelamin ganda, kerancuan genital (sexual ambiguity) atau lebih tepatnya Disorders of Sexual Development. Para ahli mengelompokkan intersex tersebut menjadi 3 bentuk; yaitu merms (male pseudohermaphrodite), herms (true hermaphrodite) dan ferms (female pseudohermaphrodite). Maka pertanyaan krusial yang sering dilontarkan oleh para aktifis ialah, apakah ketiga bentuk intersex tersebut diatas tidak boleh diakui sebagai jenis kelamin tersendiri berdasarkan konsep manusia sebagai spesies dengan 5 jenis kelamin (pentamorphic species)? Apakah kita akan tetap mengakui manusia sebagai dimorphic species sehingga ketiga jenis kelamin tersebut diatas merupakan problem kesehatan (Disorders of Sexual Development) sehingga memerlukan penanganan khusus? Jika kalangan medis setuju sebagai jenis kelamin tersendiri sebagaimana dituntut para aktifis maka konsekuensinya, masyarakat harus bersedia mengakui adanya 3 bentuk normal lain disamping jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Tetapi jika kalangan medis mengakuinya sebagai problem kesehatan yang memerlukan penanganan, tentunya semua pihak juga harus memberikan respon

yang memadai sebab persoalan sexual ambiguity (kerancuan genital) sangat komplek dan bukan hanya menjadi tanggungjawab kalangan kedokteran saja, melainkan seluruh masyarakat (termasuk psikolog, psikiater, ahli hukum, tokoh agama, pendidik, pekerja sosial, LSM dan utamanya orang tua pasien). Semua pihak harus dapat memahami bahwa perkembangan jenis kelamin seseorang memerlukan waktu lama sehingga kadangkala untuk memastikannya dengan pasti harus menunggu 3 hingga 7 tahun, sementara untuk menentukan jenis kelamin itu sendiri sekurang-kurangnya ada 5 aspek yang perlu dipertimbangkan; yakni kromosom, alat kelamin primer (kelenjar gonad), alat kelamin sekunder, aktifitas hormonal dan psikologik. Kaitannya dengan operasi korektif (corrective surgery) kalangan medis perlu berhati-hati dan tidak terlalu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan yang akan menentukan masa depan bayi, sebab dalam banyak kasus, kebijakan medis yang bersifat irreversible dan terlalu tergesa-gesa (immediate corrective surgery), ternyata di belakang hari banyak ditolak oleh pasien yang bersangkutan ketika mereka mulai beranjak dewasa seperti kasus John/Joan dan Cheryl Chase. Para dokter harus mampu memahami secara konprehensif seluruh aspek yang berkaitan dengan sexual ambiguity sehingga kebijakan medisnya dapat dipertanggungjawabkan; baik dari segi moral, etik dan hukum. Kasus John/Joan, Cheryl Chase dan mungkin juga kasus-kasus lain yang serupa patut dijadikan pelajaran berharga. PENENTUAN JENIS KELAMIN Dalam penentuan jenis kelamin seseorang, sekurang-kurangnya ada 5 aspek penting yang perlu dipertimbangkan, yaitu: 1. Aspek kromosom. 2. Aspek alat kelamin primer (organ kelamin dalam yaitu testis dan ovarium). 3. Aspek alat kelamin sekunder (organ kelamin luar yaitu penis serta vulva dan vagina). 4. Aspek hormonal.

5. Aspek psikologik. Laki-laki yang normal ditandai oleh adanya kromosom XY, testis (yang memproduksi spermatozoa dan hormon laki-laki), organ penis, dominasi testosteron dan sifat kelaki-lakian. Sedangkan perempuan yang normal ditandai oleh adanya kromosom XX, ovarium (yang akan memproduksi ovum dan hormon perempuan), alat kelamin perempuan (vulva, clitoris, labium mayus, labium minus dan vagina), dominasi progesteron serta sifat kejiwaan sebagai layaknya seorang perempuan. Pada kenyataannya keempat aspek tersebut tidak selamanya berjalan sinkron sehingga kemudian muncul problem kesehatan berupa intersex, transsexual dan lain-lain. Terminologi intersex sebenarnya muncul akibat adanya konsep manusia sebagai makhluk dimorphic species, yaitu hanya terdiri dari laki-laki dan perempuan saja. Sementara bentuk-bentuk lain yang merupakan bentuk antara dianggap sebagai problem kesehatan yang memerlukan penanganan khusus. Dikatakan sebagai problem kesehatan karena: 1. Pada merms (sebutan untuk male pseudohermaphrodite) ditemukan organ testis disertai beberapa aspek dari genetalia wanita. 2. Pada herms (sebutan untuk true hermaphrodite) ditemukan organ testis disertai ovarium. 3. Pada ferms (sebutan female pseudohermaphrodite) ditemukan ovarium disertai beberapa aspek dari genetalia laki-laki. Sedangkan transexual merupakan problem kesehatan lain akibat adanya aspek psikolologik yang tidak sejalan dengan aspek-aspek lainnya. Terminologi transsexual itu sendiri mulai diperkenalkan oleh Magnus Hirshfeld tahun 1921 dan kemudian Cauldwell pada tahun 1949 menyebutnya sebagai psychopathia transexualism. Fenomena tersebut sebetulnya bukan merupakan fenomena baru sebab dari sebuah legenda kuno yang berasal dari India diperoleh petunjuk bahwa gejala transeksual sudah lama dikenal orang. Legenda tersebut mengkisahkan seorang raja yang berubah menjadi seorang wanita ketika mandi di sebuah sungai yang amat keramat dan kemudian menolak untuk kembali ke jenis kelaminnya semula karena merasa bercinta sebagai seorang wanita jauh

lebih menyenangkan meski konsekuensinya ia harus melahirkan tidak kurang dari 100 orang anak. Masalah transeksual baru memperoleh perhatian secara luas dan inten dari berbagai disiplin ilmu sesudah seorang remaja Amerika, George Jorgensen, pergi ke Denmark tahun 1952 untuk menjalani operasi penggantian kelamin dan kemudian pulang kembali ke kampung halamannya tahun 1953 dengan nama Christine Jorgensen. Banyak teori yang kemudian dikembangkan oleh para ahli, diantaranya yang perlu dikemukakan (meski banyak ditentang) adalah teori yang menganggap transeksual sebagai gejala delusi dari penyakit schizophrenia. Teori yang banyak diterima adalah yang mengkaitkannya dengan perkembangan psikologik, dengan asumsi bahwa semua orang pada dasarnya dilahirkan dengan jenis kelamin netral. Bahwa kemudian secara psikologik menjadi laki-laki atau perempuan adalah karena berbagal variabel; di antaranya dengan siapa seseorang lebih dekat bergaul serta bagaimana kultur yang ada di sekitarnya. Sejauh menyangkut variable kultur mungkin ada benarnya sebab kalau di negara-negara barat umumnya terdapat seorang penderita transeksual untuk setiap 100.000 sampai 130.000 penduduk, namun di suatu kota pantai di Oman terdapat seorang penderita untuk setiap 50 orang penduduknya. Oleh sebab itulah Wikan (1977), mentengarai adanya keterkaitan erat antara kultur dan sosial budaya dengan terjadinya gejala transeksual.

ASPEK ETIKA Dalam pembahasan masalah etika kaitannya dengan sexual ambiguity, saya akan lebih memfokuskan pada aspek penanganan kliniknya mengingat banyaknya operasi korektif dini atas bayi dengan sexual ambiguity yang dikemudian hari justru bertentangan dengan keinginan pasien yang bersangkutan ketika mereka beranjak dewasa; seperti yang dialami oleh John/Joan, Cheryl Chase dan beberapa kasus lainnya.

Sebagaimana dilaporkan bahwa John dilahirkan dengan sexual ambiguity yang kemudian, sesuai rekomendasi dokter, dilakukan operasi korektif kearah perempuan serta diganti namanya menjadi Joan. Dalam perkembangan selanjutnya selepas operasi, Joan sempat menyukai pakaian dan model rambut perempuan sehingga dokter yang menanganinya dengan bangga mengklaim tindakannya sebagai sebuah sukses besar. Namun sesudah dewasa ternyata Joan menolak jatidirinya sebagai perempuan dan memilih hidup sebagai laki-laki dengan nama David Reimer. Meski tanpa penis dan testis karena sudah dibuang ketika menjalani operasi korektif, David Reimer menikahi seorang perempuan serta mengadopsi seorang anak. Sedangkan Cheryl Chase, yang sekarang menjadi aktifis dalam masalah intersex juga mengalami nasib serupa, dioperasi secara tergesa-gesa menjadi seorang laki-laki, sehingga ia sekarang harus hidup tanpa clitoris sebagai konsekuensi dari operasi tersebut. Pertanyaan yang perlu diketengahkan disini ialah, apakah tindakan medis oleh dokter sebagaimana yang dilakukan terhadap John/Joan, Cheryl Chase dan mungkin juga kasus-kasus intersex lainnya dapat dibenarkan dari sudut moral dan etika? Bolehkah orangtua mewakili kepentingan anak-anaknya yang belum memiliki kompetensi untuk menyatakan keinginannya? Jika boleh, lalu standar yang mana yang seharusnya dijadikan acuan? Meski jawaban yang memuaskan mungkin tidak akan pernah didapat, namun saya berharap bahwa tulisan ini dapat menuntun menemukan jawabannya. Sudah tentu kita harus melakukan analisis filsafati lebih dahulu dengan mengkaji ulang mengenai tujuan hakiki dari profesi medis itu sendiri; yaitu to aim at human happiness, to aim at the prolongation of life, atau the maintenance or restoration of (some semblance of health) . Selain itu juga mengkaji hakekat dan essensi manusia (human nature) lengkap dengan kebutuhan-kebutuhannya (physical demands, psychological and social demands dan intellectual and spiritual demands). Melalui pendekatan ini diharapkan para dokter, entah sebagai ilmuwan ataukah profesional, akan memperoleh orientasi kritis dan

arahan yang benar dalam melihat eksistensi dirinya sendiri sebagai subjek sehingga mampu menempatkannya pada posisi yang tepat di tengah situasi yang serba tidak menentu akibat perkembangan ilmu dan teknologi di bidang kedokteran, dan dengan orientasi dan arahan itu pulalah diharapkan para dokter mampu memperlakukan manusia di luar dirinya secara benar berdasarkan moralitas yang dapat diterima. Kita harus menyadari bahwa hakekat etika adalah falsafah moral sehingga dalam pengkajian berbagai masalahnya tidak dapat dilepaskan sama sekali dari disiplin ini. Pesan William Barrett dalam bukunya The Illusion of Technique (sebagaimana dikutip oleh Titus, Smith dan Nolan dalam buku Living Issues in Phylosophy) adalah bahwa pada masa-masa sekarang ini seharusnya lebih dari masa-masa lampau, yaitu perlu menempatkan kembali seluruh gagasan mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi kedalam jalinan baru dengan kehidupan umat manusia. Untuk itu beliau mengingatkan agar filsafat modern memberikan respon yang memadai atas kemajuan ilmu dan teknologi, atau kalau tidak maka umat manusia akan kehilangan tujuan, arahan dan kebebasan secara permanen. Kita perlu menyinggung sedikit mengenai filsafah karena pemikiran dan kritisinya dapat memberikan pencerahan dalam menentukan baik buruknya suatu perbuatan dari sisi moral, sementara moral memberikan landasan bagi penentuan keetisan dalam menyelesaikan dilemma etik. Berkaitan dengan masalah moral tersebut maka Beauchamp dan Childress (1983), menghendaki agar para dokter mengindahkan prinsipprinsipnya (moral principles), yakni: 1. Beneficence; that is the clinicians duty to do good to the patient. 2. Nonmalficence; that is the clinicians duty to do no harm to the patient. 3. Autonomy; that is the cilinicians duty to respect the patients preferences.

4. Justice; that is the clinicians duty to be fair (as a fairness or as a distributive justice). Agar mudah diaplikasikan maka Jonsen, Siegler dan Winslade (2006) mengemas keempat prinsip moral tersebut menjadi etika klinik (clinical ethics); yaitu suatu disiplin praktis yang memberikan pendekatan terstruktur guna membantu para dokter dalam mengambil keputusan dengan mengidentifikasi, menganalisis dan memecahkan isu-isu etika dalam kedokteran klinis. Keempat prinsip tersebut diatas kemudian diterjemahkan menjadi sebuah pedoman praktis yang terdiri atas: 1. Medical indications. 2. Patient preferences. 3. Quality of life. 4. Contextual features. Topik medical indications menuntut dokter agar dalam melakukan tindakan medis mendasarkan pada indikasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral dengan mempertimbangkan, bagaimana patien dapat memperoleh keuntungan dari tindakannya (medical and nursing care) dan bagaimana pula patien dapat dihindarkan dari hal-hal yang menyakitkan. Untuk itu perlu dipertimbangkan: 1. Apa sesungguhnya problem kesehatan pasien; meliputi riwayat, diagnosis, prognosisnya? 2. Apakah problem tersebut akut, kronis, urgen ataukah reversiblel? 3. Apa tujuan dari tindakan medis? 4. Bagaimana probabilitas kesuksesannya? 5. Apa rancangan selanjutnya jika seandainya tindakan medis mengalami kegagalan? Topik patients preferences pasien. menuntut Untuk dokter itu agar tindakannya harus memperhatikan keinginan para dokter

mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1. Apakah pasien dalam kondisi mentally incapable dan legally competent serta apa buktinya jika pasien dalam kondisi incapacity?

2. Jika pasien kompeten, apakah ia menyatakan sendiri keinginannya untuk diobati? 3. Apakah pasien telah diberi informasi tentang keuntungan dan risikonya serta telah memahami dan memberikan persetujuan? 4. Jika pasien dalam kondisi incapacity maka siapakah sebenarnya yang berhak mewakili kepentingannya standar yang serta benar apakah dalam mereka telah menggunakan keputususannya? 5. Apakah pasien sebelumnya telah menyatakan keinginannya (misalnya advance directives)? 6. Apakah pasien tidak bersedia atau tidak mampu bersifat kooperatif dengan tindakan medis dan jika ya lalu mengapa sebabnya? Topik quality of life menuntut dokter agar memperhatikan kualitas hidup pasien dengan mempertimbangakan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Apa prospeknya, baik dengan atau tanpa tindakan medis, untuk kembali menuju kehidupan normal? Apa kekurangan yang masih akan dialami pasien jika seandainya tindakan pengobatan mengalami keberhasilan? Apakah ada bias penilaian dokter menyangkut kualitas hidup pasien? Apakah kondisi sekarang atau akan datang diinginkan oleh pasien untuk meneruskan hidupnya? Adakah rancangan atau masuk akalkah untuk menolak pengobatan? Apakah rancangan untuk membebaskannya dari penderitaan serta perawatan paliatif? Sedangkan topik contextual features menuntut dokter untuk memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: 1. Adakah isu-isu keluarga yang dapat mempengaruhi keputusan medis? 2. Adakah isu-isu provider (dokter dan perawat) yang dapat mempengaruhi keputusan medis? menentukan

3. Adakah faktor-faktor finansial dan ekonomi yang dapat mempengaruhi keputusan medis? 3. Adakah faktor-faktor agama dan kultur yang dapat mempengaruhi keputusan medis? 4. Adakah keterbatasan-keterbatasan menyangkut konfidensialitas? 5. Adakah problem-problem menyangkut sumber daya? 6. Bagaimana hukum mempengaruhi keputusan medis? 7. Adakah keterkaitan dengan program riset atau pendidikan? 8. Adakah konflik kepentingan dari sebagian provider (dokter dan perawat) dan institusi? Kesimpulannya, teori etika mencoba memberikan suatu sistem yang mengandung prinsip-prinsip dasar (moral principles), standar-standar serta aturan-aturan (rules) dalam menyelesaikan dilemma etik, yaitu suatu situasi yang memerlukan keputusan dari berbagai alternatif yang mungkin sama-sama tidak menyenangkan atau saling berselisihan. Oleh sebab itu teori etika memuat keyakinan-keyakinan dasar tentang benar tidaknya perbuatan secara moral serta memberikan alasan-alasan guna mendukung keyakinan tersebut. Kalau dihubungkan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang terdiri atas kebutuhan fisik (physical demands), kebutuhan psikologi dan sosial (psychological and social demands) serta kebutuhan intelektual dan spiritual (intellectual and spiritual demands); maka sesungguhnya orang akan selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan moral (moral alternatives). Sudah tentu tidak mudah dan sederhana untuk membuat keputusan yang benar dari berbagai macam alternatif yang tersedia. Jika konflik interes muncul maka solusinya membutuhkan intelegensia dan kemauan baik (good will). Kadangkala orang merasa ragu apakah tindakannya sudah benar. Maka dalam mempertimbangkan sesuatu perbuatan harus dikaitkan pula dengan motif, cara dan akibat dari perbuatan itu. Dalam kasus bayi dengan sexual ambiguity, peluang terjadinya dilema etik menjadi lebih besar mengingat mereka sebagai pasien belum berkompetan dan belum mampu menyampaikan preferensinya. Inti permasalahan sebenarnya

ialah, siapakah sesungguhnya yang berhak mewakili kepentingan bayi-bayi tersebut; orang tua, dokter ataukah masyarakat? Dalam pandangan saya pribadi mengenai masalah sulit dan sensitif ini, posisi dokter bukan saja penting tetapi juga sangat menentukan sebab hanya merekalah yang mampu menganalisis potensi risiko dan keuntungan. Konsekuensinya, mereka juga dituntut kewajiban untuk melakukan analisis yang fair, terbuka dan tidak berat sebelah. Keputusan akhir seyogyanya tidak sepenuhnya diserahkan kepada para dokter sebab monopoli ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berarti monopoli terhadap etika dan kearifan. Juga tidak boleh diserahkan hanya kepada pasien (atau orangtuanya) sebab bias kepentingan dapat mempengaruhi mereka dalam membuat keputusan. Masyarakat luas juga menempati posisi yang tak kalah penting sehingga oleh karenanya diperlukan komunikasi dan pembangunan opini publik. ASPEK HUKUM Pada hakekatnya hukum dan etika beranjak dari landasan yang sama, yaitu moral, sehingga apa yang umumnya dirasakan baik dan buruk atau benar dan salah oleh etika juga dirasakan demikian oleh hukum. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Dworkin, bahwa Moral principle is the foundation of Law (Laws Empire, 1986). Hanya saja bidang hukum tidak mencakup hal-hal sepele yang kurang relevan untuk dicampuri. Pelanggaran terhadap norma etik yang sifatnya kecil dan ringan dianggap belum mengganggu ketertiban umum sehingga belum perlu diatur dan diberi sanksi oleh hukum. Masyarakat dinilai masih mampu mengendalikannya tanpa menimbulkan gejolak. Tetapi untuk halhal yang besar, apalagi yang dapat mengancam hak asasi manusia , intervensi hukum memang diperlukan. Meski di satu sisi profesi medis perlu tetap dipertahankan sebagai profesi yang harus mengatur dirinya sendiri (otonom) dan harus pula bebas memutuskan tindakannya yang diyakini benar, tetapi di sisi lain dipertanyakan mengapa harus profesi itu sendiri yang mengatur segalanya, sebab membiarkan profesi ini menentukan nasib dan masa depan pasien, akan dapat menimbulkan

10

ancaman terhadap hak azasi manusia. Sejalan dengan pandangan ini maka hukum, walaupun tidak selamanya benar, keberadaannya paling tidak akan dapat dijadikan sarana untuk mengontrol profesi medis. Pandangan inilah yang kemudian melahirkan aliran legalisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa hukum tanpa landasan moral tidak akan pernah adil sementara moral tanpa hukum tidak akan pernah nyata. Oleh karenanya aliran ini menghendaki agar prilaku etik diikuti oleh peraturan hukum sehingga konsekuensinya, hak dan kewajiban perlu ditentukan. Agaknya tak semua ahli dapat menerima pandangan ini mengingat legalisasi moral dan moralisasi hukum akan membaurkan fungsi hukum dan fungsi moral. Meski secara umum hukum dan etika punya tujuan sama, yaitu ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat, tetapi secara khusus berbeda dilihat dari sifat dan tujuan khususnya, tolok ukur, akibat, sanksi dan ruang lingkupnya. Intinya adalah bahwa moral dan etika menghendaki agar orang menggunakan hati nuraninya untuk melakukan yang baik dan yang benar serta menghindari perbuatan buruk dan salah, sedangkan hukum mengatur etika secara garis besar yang berlaku umum dalam kehidupan masyarakat dan bertujuan menciptakan kedamaian serta ketertiban. Atas dasar perbedaan inilah maka Lord Chief Justice Coleridge menyatakan: It would not be correct to say that every moral obligation involves a legal duty, but every legal duty is founded on a moral obligation. Masalahnya adalah, bagaimana menentukan suatu batasan dimana kebijakan medis perlu diamati dan dikontrol oleh hukum? Untuk pertanyaan diatas saya sendiri tak punya jawabannya, namun dalam hal-hal yang ada kaitannya dengan hak asasi manusia, konvensi PBB menekankan kepada setiap negara agar membuat peraturan perundangundangan untuk melindungi hak asasi manusia, termasuk hak-hak anak (the rights of the child). Atas dasar konvensi tersebut maka lembaga legislatif bersama-sama pemerintah menertbitkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Tujuan dari undang-undang itu ialah untuk menjamin terpenuhinya hakhak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara

11

optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Asas yang digunakan dalam Undang-Undang Prlindungan Anak adalah sebagai berikut: a. Non diskriminasi. b. Kepentingan yang terbaik bagi anak. c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan. d. Penghargaan terhadap pendapat anak. Undang-undang tersebut juga mengatur hak anak untuk mendapatkan nama sebagai identitas diri dan memperoleh pelayanan kesehatan serta jaminan sosial sesuai kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial. Menyangkut anak dengan sexual ambiguity memang tidak diatur secara eksplisit, namun Undang-Undang Perlindungan Anak mengindikasikan agar semua pihak (termasuk para dokter dan orang tuanya), menghormati hak anak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Sedangkan mengenai hak mendapatkan nama sebagai identitas diri (yang tentunya meliputi pula jenis kelamin) perlu ada penjelasan lebih lanjut mengingat perkembangan jenis kelamin anak seringkali memerlukan waktu lebih lama (yaitu 3 sampai 7 tahun) sehingga penentuan jenis kelamin anak mungkin saja belum dapat dilakukan segera setelah dilahirkan. ISU-ISU SEPUTAR SEXUAL AMBIGUITY 1. Istilah sexual ambiguity. Istilah Intersex lebih dirokemendasikan dari pada sexual ambiguity dan ini sudah diterapkan secara luas dalam berbagai publikasi baru. Intersex merefer pada berbagai macam kondisi dari jenis percampuran anatomi sex. Kadangkadang seorang dengan intersex menunjukkan ambigous genitalia, tetapi ambiguity tsb tidak selalu dijumpai (secara jelas) dengan pemeriksaan luar.

12

Atas dasar adanya polymorphism dalam biology, konsep identitas sexual manusia sebagai dimorphic species memperoleh tantangan. Saat ini, konsep identitas sexual sebagai suatu continuum (spectrum) lebih memperoleh dukungan katimbang konsep dimorphic. Namun ada perbedaan antara identitas sexual (biologis) dengan identitas gender. Yang terahhir ini adalah suatu konsep psiko-sosial (social construct) dimana lebih berkaitan dengan faktor-faktor sosial, adat budaya dan kepercayaan setempat. Konsep gender yang berlaku sekarang bisa diterima ISNA (Intersex Society of North America) merekomendasikan agar anak yang baru lahir tidak dipaksakan dalam klasifikasi identitas sexual biologis tertentu, namun tidak menentang untuk pemberian identitas gender; dengan catatan identitas gender tsb sifatnya provisional, artinya merupakan suatu persiapan atau pelatihan sampai kelak yang bersangkutan sudah mempunyai pemahaman sendiri mengenai identitas sexualnya dan memutuskan identitas gendernya secara permanent. 2. Perkembangan Biologi. Dengan semakin berkembangnya ilmu Biologi semakin terungkap bahwa sexual differentiation merupakan proses yang sangat kompleks. Ada 5 aspek yang turut berperan dalam pembentukan identitas sexual, yakni 1) genetic (or genotypic) sex, 2) gonadal sex, 3) hormonal sex, 4) phenotypic sex and 5) psychological sex. Anggapan bahwa genotypic sex yang menentukan jenis kelamin seseorang tidak lagi bisa dibenarkan. Seseorang dengan karyotyping XX bisa merupakan laki-laki bila ternyata terjadi translokasi dari bagian tertentu chromosom Y ke chormosom X. Sebaliknya orang bisa punya karyotiping XY dan berdiferensiasi menjadi seorang wanita bila ternyata terjadi deletion pada bagian tertentu dari kromosom Y. Disamping itu, bisa pula terjadi bermacammacam kombinasi karyotyping kromosom seks yang kompleks, seperti 45X/47XYY dimana menunjukkan genotypic yang mosaic. Tidak menutup kemungkinan bahwa diferensiasi seks juga dikontrol oleh gen-gen pada kromosom autosomal.

13

Dalam situasi normal penentuan identitas sexual bukanlah hal yang sulit. Orang awampun bisa menentukan identitas sexual anak yang baru lahir tanpa kesulitan. Namun dalam kasus intersex terdapat bukti-bukti bahwa medical profesional tidak selalu berkompeten dalam menentukan identitas sexual yang bersangkutan. 3. Kasus John/Joan. Hal yang dapat dijadikan pelajaran pada kasus John/Joan adalah adanya keterbatasan dari medical professional dalam menentukan identitas sexual seseorang. Adalah penting untuk senantiasa meninjau kembali dan memperbarui standard praktek dari penanganan kasus-kasus kemajuan ilmu intersexualitas dengan mengikutkan pula perspektif dan pengetahuan, biologi,

psychology, ethics, dst. Kasus tsb menunjukkan pula notion lama bahwa identitas sexual sesorang ditentukan melalui pendidikan, lingkungan sosial, lifestyle, dst, adalah tidak benar. Identitas sexual disepakati merupakan kondisi yang "built in", yang terbentuk melalui 5 aspek biologis diatas. Kondisi intersex adalah kondisi dimana proses diferensiasi sex mengalami variasi biologis yang paling kompleks yang tidak bisa dengan mudah ditentukan pada waktu lahir. Dalam kasus intersex proses diferensiasi dari identitas sexual boleh jadi masih berlangsung sampai anak tsb mencapai kedewasaan. Oleh karena itu merupakan suatu resiko untuk menyerahkan semata kepada medical profesional dalam menentukan identitas sexual dari kasus intersex, terlebih bila disertai tindakan intervensi medis (operasi) untuk disesuaikan dengan keputusan tsb. Kasus John/Joan dan kasuskasus etika intersex lainnya menunjukkan bahwa intervensi medis sering tidak membantu ybs melainkan hanya menambah "insult", beban dan penderitaan terhadap ybs. 4. Riwayat Penanganan kasus Intersex. Berbeda dengan orang-orang yang mengalami koreksi bedah karena kasus cleft palates, pasien dengan intersex kebanyakan mengutuk intervensi

14

medis atas kondisi tsb dan merahasiakannya dari mereka. Ini didukung oleh berbagai laporan kasus koreksi bedah terhadap pasien intersex eg kasus John/Joan, dan laporan dari penelitian Renier. Wanita-wanita yang mengalami koreksi bedah terhadap pembesaran klitoris dilaporkan sebagian tetap punya kemampuan orgasme namun sebagian lain punya keluhan kesakitan dan insensitivity. Study yang dilakukan terhadap pasien intersex yang tidak mengalami koreksi menunjukkan mereka bisa hidup seperti manusia biasa, tidak merasa sebagai manusia yang cacat yang harus hidup terisolir. Dari 20 kasus orang dewasa dengan micropenis semuanya bisa mengalami ereksi dan orgasme. Sembilan orang bisa melakukan persetubuhan dengan partner dengan memuaskan; tujuh orang menikah dan satu orang menjadi ayah. Tidak pernah pula dilaporkan bahwa wanita dengan pembesaran klitoris mengalami resiko kesehatan atau kerugian psikososial. Kebanyakan orang tidak menyadari ada pembesaran clitoris sampai dokter mendiagnosanya dan menyarankan untuk operasi koreksi. 5. Assesment dan Penanganan kasus Intersex. Pada dasarnya ISNA tidak merekomendasikan adanya tindakan koreksi bedah apapun terhadap pasien intersex kecuali bila ada indikasi membahayakan kesehatan. ISNA menekankan adanya informasi yang terbuka mengenai kondisi pasien intersex kepada orang tua dan pasien ybs bila beranjak dewasa. Identitas sexual anak tidak perlu ditentukan (dipaksakan) dengan cepat sampai semua kondisi biologis dipahami dan anak mencapai dewasa dan sanggup memahami keadaanya dan mengambil keputusan sendiri mengenai identitas sexual yang sesuai. Pemberian identitas gender terhadap pasien intersex secara dini tidaklah ditentang. Terutama dalam masyarakat Timur yang masih menjunjung adat dan budaya tradisional, penentuan identitas gender dari anak yang baru lahir merupakan hal yang sangat penting. Penentuan gender mesti melalui investigasi dari kondisi bayi dalam bulan-bulan pertama dalam hidupnya. Pasien dengan

15

kondisi CAH (Congenital Adrogen Hyperplasia) yang merupakan kondisi yang tersering dapat ditentukan dengan relatif mudah yakni dengan memeriksa kadar 17 alpha-ketosteroid dan karyotype wanita. Namun kondisi-kondisi intersex lain mungkin perrlu pemeriksaan lain yang lebih komplit seperti ultrasonography, laparocospy, genitoscopy, biopsi dan lain-lain. Penentuan identitas gender dari pasien berdasar pada prognosa dari kondisi biologisnya. Intervensi medis seperti operasi dapat dibenarkan untuk tujuan menghindarkan kematian atau meningkatkan kualitas kesehatan. Beberapa kondisi seperti bladder exstrophy, dan jenis tertentu dari CAH perlu intervensi medis untuk menghidarkan resiko kesakitan atau kematian. Hal lain yang perlu menjadi pertimbangan adalah fungsi sexual, yakni kemampuan ybs dalam melakukan sexual intercourse. Apakah ada fungsional penis atau vagina? Dimensi lain adalah adanya erotic potensial. Merupakan hal yang umum bahwa praktek koreksi bedah sering mengorbankan erotic sensitivity yang berakibat terganggunya kemampuan untuk melakukan hubungan intim. ooooooooo * Staf Pengajar FK Undip ----------------------------------------------------------------------------------------------------------DAFTAR PUSTAKA 1. Stephen F. Kemp. The Role of Genes and Hormones in Sexual Differentiation.Ethics and Intersex. 2006. 2. Mary B. Mahowald. Reproductive Genetics and Gender Justice. The American Journal of Bioethics. 3. Kemmeth Kipnis and Milton Diamond. Pediatric Ethics and the Surgical Assignment of Sex. The UK Intersex Association. 4. Jyotsna Kirtane. Ethics in Intersex Disorders. IJME. 5. Mason, J, K., Smith, R, A.: Law and Medical Ethics, Butterworths & Co, London, 1983.

16

6. Monagle, J, F., Thomasma, D, C.: Health Care Ethics, Critical Issues for the 21 st , Aspen Publisher Inc, Gaithersburg, Maryland, 1998. 7. Jonsen, A, R., Siegler, M., Winslade, W, J. : Clinical Ethics, Practical Approach to Ethical Decision in Clinical Medicine, 6th ed, Mc Graw-Hill Inc, 2006. 8. Arras, J., Hunt, R. : Ethical Issues in Modern Medicine, 2 nd Ed, Mayfield Publishing Comp, Mountain View, 1983. 9. Catalano, J, T. : Ethical and Legal Aspect of Nursing, 2nd Ed, Mc Grawhill Inc, 1991. 10. Titus, H, H., Smith, M, S., Nolan, R, T. : Living Issues in Philosophy, 7 th Ed, D. Van Nostrand 1979. 11. Dahlan, S.: Hukum Kesehatan, Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter, edisi 2, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000. 12. Johnstone, M, J.: Bio Ethics, a Nursing Persective, W B Saunders Bailliere Tindall, Sydney, Philadelphia, London, Toronto, 1989. 13. Beauchamp, T, L. Childress, J, F. : Principles of Biomedical Ethics, 3 rd Ed, Oxford University Press, Oxford, New York, 1989. 14. Lim, S, M. Chew, S, C, Ratnam, S,. C.: Transexualism, I Surgical Treatment in Singapore, A publication of The Medico Legal Society of Singapdre 1981: 8594. 15. http:// www.zenithfoundation ca, Definition of Medical Terms and Diagnostic Criteria for Gender Identity Disorder. Comp, New York, Cincinati, Toronto, London, Melbourne,

ooooooooooo

17

Das könnte Ihnen auch gefallen