Sie sind auf Seite 1von 22

1.

Nama Blok

: Genitourinary System

2. Fasilitator

: dr. Maya Savira, M. Kes

3. Data Pelaksanaan: a. Tanggal tutorial b. Pemicu ke-3 c. Pukul : 10.30-13.00 (31 Agustus 2010) 07.00-09.30 (7 Mei 2010) d. Ruangan : Ruang Diskusi B-3 : 31 Agustus 2010 dan 3 September 2010

4. Pemicu: Seorang laki-laki umur 52 tahun datang ke pratek dokter dengan keluhan sesak napas. Sesak napas baru dirasakan 3 hari dan semakin memberat. Pasien juga mengeluh mual-mual serta selera makan berkurang. Selama ini penderita rutin kontrol ke dokter keluarganya dengan penyakit Diabetes Melitus.Pada pemeriksaan dijumpai TD 180/100 mmHg, nadi 100 x/menit, pernapasan 32x/menit, cepat dan dalam. Pucat (+), tidak dijumpai tanda edema paru, pemeriksaan abdomen dalam batas normal, edema ringan pada tungkai bawah.

More Info I: Hasil pemeriksaan darah rutin, didapati Hb 6,4 g/dl, leukosit 8.200/mm3. Dari hasil urinalisis protein (+), reduksi (++), sedimen dalam batas normal.

More Info II: Thorax foto dijumpai kardiomegali. EKG dijumpai LVH. USG dijumpai pengecilan ukuran ginjal. Ureum 250 mg/dl, Creatinin 9,4 mg/dl

5. Tujuan Pembelajaran:

Menjaring kemampuan mahasiswa dalam memahami salah satu kelainan pada sistem perkemihan. Tujuan Khusus: Mempelajari segala hal mengenai gagal ginjal yang sesuai dengan standar kompetensi dokter umum. 6. Pertanyaan yang muncul dalam curah pendapat: a. Definisi, etiologi, dan klasifikasi Acute Kidney Injury b. Patofisiologi Acute Kidney Injury c. Diagnosa Acute Kidney Injury d. DD Acute Kidney Injury e. Penatalaksanaan Acute Kidney Injury f. Komplikasi dan Prognosa Acute Kidney Injury g. Definisi, etiologi, dan klasifikasi Chronic Kidney Disease h. Patofisiologi Chronic Kidney Disease i. Diagnosa Chronic Kidney Disease j. DD Chronic Kidney Disease k. Penatalaksanaan Chronic Kidney Disease l. Komplikasi dan Prognosa Chronic Kidney Disease m. Hubungan diabetes, hipertensi, dan Gagal Ginjal

7. Pembahasan: a. Definisi, Etiologi, dan Klasifikasi Acute Kidney Injury Acute Kidney Injury(AKI) adalah penurunan secara tiba-tiba dari fungsi glomerulus dan tubulus reversibel yang menyebabkan kegagalan ginjal untuk menyekresikan sisa produk nitrogen dan gangguan dalam mempertahankan kesimbangan cairan, elektrolit dan asambasa.

Penyebab gagal ginjal akut meliputi: 1. Gangguan pre-renal(organ di luar sebelum ginjal) 55%

- Hilangnya atau deplesi volume intravaskular. Penyebab: pendarahan, poliuria, diare, muntah, keringat berlebihan. - Vasodilatasi perifer. Penyebab: sepsis, syok anafilaksis, obat antihipertensi. - Curah jantung berkurang. Penyebab: gagal jantung, syok kardiogenik, perikarditis, tamponade jantung, emboli paru berat. - Peningkatan resistensi renovaskular. Penyebab: sidrom hepatorenal, obat vasokontriktor, anestesi. - Berkurangnya tekanan intraglomerular. Penyebab: obat ACE-I. 2. Gangguan renal40% - Gangguan pada pembuluh darah besar. Penyebab: stenosis arteri renalis, trombosis, emboli. - Gangguan pada pembuluh darah kecil. Penyebab: vaskulitis, ateroemboli, mikroangiopati trombotik. - Gangguan pada glomerulus. Penyebab: glomerulonefritis, sindroma nefrotik. - Gangguan pada interstitial. Penyebab: interstitial nefritis akut akibat obat-obatan seperti antiobiotik, diuretik, NSAID, allopurinol. - Gangguan pada tubulus(nekrosis tubular akut). Penyebab: iskemia(pendarahan, syok, trauma, infeksi, pankreatitis), obat nefrotoksik(antibiotik, antineoplatik, anestesi, zat kontras), endogen(mioglobin, hemoglobin, asam urat). 3. Gangguan post-renal(organ di luar setelah ginjal) 5% - Batu saluran kemih(urolithiasis) - Hiperplasia prostat jinak - Striktur uretra

Konsensus internasional kedua dari The Acute Dailysis Quality Initiative (ADQI) Group pada tahun 2004 telah menetapkan klasifikasi RIFLE untuk AKI, yaitu sebagai berikut: Kriteria Tahapan Risk Injury Failure Peningkatan kreatinin serum 1,5 2 Penurunan GFR 25% 50% Pengeluaran urin < 0,5 ml/kg/jam selama 6 jam < 0,5 ml/kg/jam selama 12 jam < 0,3 ml/kg/jam atau anuria selama 12 jam(oliguria)

3 atau kreatinin 75% serum telah 4 mg/dL

Loss ESKD

AKI yang persisten Hilangnya fungsi ginjal selama 4 minggu End Stage of Kidney Disease Hilangnya fungsi ginjal selama 3 bulan

b. Patofisiologi Acute Kidney Injury

Keseluruhan gangguan prerenal menyebabkan hipovolemia. Keadaan hipovolemia akan menyebabkan aktifnya sistem RAA(Renin-Angiotensin-Aldosteron) untuk mempertahankan cairan tubuh. Akibatnya, terjadi vasokonstriksi vaskular sistemik dan hipoperfusi ke ginjal. Keadaan ini disebut keadaan akut dalam AKI yang ditandai dengan oliguria. Hipoperfusi akan di respon ginjal dengan mekanisme kompensasi autoregulasi untuk mempertahankan GFR. Angiotensin II meningkat biosintesis vasodilator(PGE 2, PGI2 dan NO) yang menyebabkan vasodilatasi arteriol aferen. Di samping itu, angiotensin II menginduksi vasokontriksi arteriol aferen dengan mediator zat vasoaktif konstriktor seperti ET-1. Akibatnya, GFR akan kembali seperti semula. Keadaan ini merupakan sepanjang perjalanan fase sekunder sampai fase recovery AKI. Gejal klinis berupa poliuria sampai urinari kembali normal.

Hampir seluruh gangguan renal penyebab AKI disebabkan oleh nekrosis tubular akut. Patogenesis AKI akibat gangguan vaskular renal:

Gangguan postrenal jarang menyebabkan baik AKI maupun CKD sebab bila terjadi sumbatan pada salah satu ginjal, ginjal satunya masih dapat melakukan fungsi fisiologis ginjal. Obstruksi postrenal akan menyebabkan pengeluaran prostaglandin sebagai vasodilator. Akibatnya, terjadi peningkatan tekanan pelvis renalis dan GFR akan menurun.

c. Diagnosa Acute Kidney Injury Ketika pasien datang yang kita lakukan pertama kali adalah menentukan apakah gagal ginjal tersebut akut atau pun kronik. Beberapa perbedaan gagal ginjal akut dan kronik Pada anamnesa, perlu ditanyakan obat-obat yang digunakan sebelumnya seperti diuretik, NSAIDS, ACE-inhibitor, atau ARB. Juga, perlu diperhatikan faktor-faktor resiko pada penderita Acute Kidney Injury seperti hipertensi, gagal jantung kongestif, diabetes, Multiple Myeloma, infeksi kronik, dan kelainan mieloproliferatif.
5

Pemeriksaan fisik biasanya dilakukan untuk mengetahui etiologi dari gagal ginjal akut. Seperti apabila pada kulit didapati petekie, purpura, ecchymosis menandakan kemungkinan gagal ginjal akut yang berhubungan dengan pembuluh darah. Sedangkan apabila ditemukan uveitis mengindikasikan adanya nefritis interstitial dan necrotizing vasculitis. Ocular palsy menandakan keracunan etilen glikol atau necrotizing vasculitis. Gejala Klinik Prerenal AKI mencakup rasa haus, hipotensi orthostatik, penurunan tekanan vena jugularis, berkurangnya turgor kulit, dan membran mukosa yang kering. Untuk gangguan sirkulasi yang menyebabkan prerenal ARF, dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik penyakit hati kronik, gagal jantung lanjut, sepsis, dan sebagainya (tergantung etiologi).

Pemeriksaan lanjutan untuk gagal ginjal akut berupa pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan biasanya adalah pengukuran BUN dan kreatinin serum, darah rutin, urinalisa, dan elektrolit urin. Sedangkan pemeriksaan radiologis yang dilakukan adalah USG dan Doppler USG. Tabel 1. Evaluasi pada Pasien dengan Acute Kidney Injury Meningkatnya BUN merupakan pertanda khas untuk gagal ginjal. Namun, pada pasien dengan intake protein yang tinggi, akan ditemukan juga nilai BUN yang tinggi. BUN juga mungkin meningkat pada pasien dengan perdarahan pada mukosa dan saluran pencernaan, dan pengobatan steroid. Apabila didapati rasio BUN dengan kreatinin adalah 20 : 1 (terjadi kenaikan absorpsi urea) menandakan prerenal AKI.

Pemeriksaan

Informasi yang dicari

Anamnesa dan pemfis

Tanda-tanda penyebab, beratnya gangguan metabolik, perkiraan status volume (hidrasi)

Mikroskopik urin

Pertanda inflamasi, ISK, kristal

Biokimia darah

Ukur GFR, gangguan metabolik

Biokimia urin

Membedakan GGA renal dan prerenal

Darah

perifer lengkap

Anemia, leukositosis, trombositopenia

USG ginjal

Ukuran ginjal, obstruksi, kelainan parenkim ginjal

Bila diperlukan

CT scan abdomen

Struktur abnormal ginjal dan salurannya

Pemindaian radionuklir

Perfusi ginjal yang abnormal

Pielogram

Evaluasi perbaikan dari obstruksi


7

Biopsi ginjal

Menentukan penyakit ginjal berdasarkan patologi

Pada urinalisa, ditemukan sel darah merah dalam darah merupakan hal yang patologis. Apabila ditemukan, sel darah merah dalam keadaan eumorfik maka kemungkinan perdarahan yang terjadi pada sistem pengumpul, sedangkan apabila ditemukan sel darah merah yang dismorfik atau ditemukan RBC cast, hal ini menunjukkan adanya inflamasi glomerulus atau glomerulonefritis. Adanya sel darah putih atau WBC cast menunjukkan pielonefritis atau nefritis interstitial akut. Proteinuria menunjukkan adanya gangguan pada glomerular atau interstitial. Pada gagal ginjal, ultrasonografi digunakan untuk evaluasi penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya dan mengetahui apakah terjadi obstruksi pada tubulus pengumpul. Selain itu, apabila didapati ukuran ginjal yang lebih kecil biasanya adalah temuan yang sugestif untuk gagal ginjal kronik. Doppler ultrasonografi untuk mengetahui aliran darah ginjal. Doppler ultrasonografi berguna pada AKI yang disebabkan emboli atau penyakit pembuluh darah renal. d. DD Acute Kidney Injury DD AKI adalah CKD. Pada gagal ginjal akut, biasanya ditemukan peningkatan BUN ( Blood Urea Nitrogen) dan creatinine. Sedangkan pada gagal ginjal kronik dapat ditemukan anemia, osteodystrophy ginjal (dari gambaran radiologis dan laboratorium), dan ginjal yang berukuran lebih kecil. Namun, terkadang anemia juga dapat menyebabkan ARF, dan ukuran ginjal juga dapat juga normal atau membesar pada beberapa gagal ginjal kronik (diabetik nefropati, amiloidosis, penyakit ginjal polikistik, nefropati yang berhubungan dengan HIV).

e. Penatalaksanaan Acute Kidney Injury Penatalaksanaan prerenal AKI pada pasien yang dehidrasi dapat diberikan cairan. Namun, bila pasien masih hipotensi dapat diberikan dopamin 1-5 g/kg/BB. Dopamin dalam dosis rendah akan membuat dilatasi pembuluh darah renalis, meningkatkan perfusi ginjal. Dopamin juga mengurangi absorpsi natrium sehingga meningkatkan aliran urin yang akan membantu menghambat obstruksi thoraks tubulus. Penggunaan diuretik berguna untuk homeostasis. Namun, penggunaannya dengan cairan natrium klorida isotonik masih diperdebatkan. Natrium klorida berfungsi untuk membuat pasien dalam keadaan euvolemik atau hipervolemik. Diuretik yang digunakan biasanya adalah furosemide. Furosemid bekerja dengan menghambat reabsorpsi natrium dan klorida pada bagian ansa Henle tebal yang menaik dan tubulus kontortus distal. Diuretik digunakan karena dapat menjaga output urin. Penatalaksanaan intrarenal AKI yaitu mengeradikasi infeksi yang ada dengan antimikroba yang sesuai, pemakaian obat immunosuppresan untuk penyakit autoimun yang mendasari terjadinya AKI, menghindari bahan-bahan toksik. Apabila terjadi hiperkalemia, perlu diberikan sodium bikarbonat, kayexalate 25 50 gram, glukosa dan insulin secara intravena, dan pemberian kalsium secara intravena untuk mencegah irrabilitas jantung.

Peritoneal dialisis atau hemodialisis juga dapat digunakan untuk menghindari atau mengurangi gejala uremia, hipokalemia atau hipervolemia.

f. Komplikasi dan Prognosa Acute Kidney Injury Prognosis, baik AKI maupun CKD, berhubungan dengan ada tidaknya penyakit penyerta. Mortalitas AKI sendiri 7-50% (survival rate bisa mencapai 90%) dan meningkat bila penderita juga menderita sepsis maupun gangguan kardiovasular. Prognosis AKI lebih baik dari CKD sebab kerusakan ginjal masih bersifat reversibel. g. Definisi, etiologi, dan klasifikasi Chronic Kidney Disease Chronic Kidney Disease(CKD) adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Kriteria definisi CKD: 1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional dengan atau tanpa laju filtrasi glomerulus dengan manifestasi kelainan patologis(yang ditentukan secara radiologik misalnya, terdapatnya kista, massa, scarring, atropi ginjal; yang ditentukan secara histologik, misalnya kelainan pada hasil biopasi ginjal) atau ditemukannya marker kerusakan ginjal seperti mikroalbuminuria, proteinuria, hematuria, cast(hipertensi tidak termasuk). 2. GFR kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Penyebab gagal ginjal kronik

Kelainan parenkim ginjal

Penyakit obstruktif ginjal (prevalensi termasuk 10% pada lain-lain)

Nefropati diabetik 50% Hipertensi 27%1,6 Glomerulonefritis13%1,6 Lain-lain 10%1,6 (Penyakit ginjal polikistik, SLE, TBC)

- Urolithiasis - BPH - Striktur uretra

National Kidney Foundation-Kidney Disease Outcome Quality Initiative (NKFDOQI) pada tahun 2002 telah menetapkan stadium dalam CKD, yaitu sebagai berikut:

Stadium 1 2 3 4 5

Deskripsi GFR(ml/menit/1,73 m2) Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau >90 meningkat Penurunan GFR ringan Penurunan GFR sedang Peningkatan GFR berat Gagal ginjal 60-89 30-59 15-29 <15 atau memerlukan dialisis

h. Patofisiologi Chronic Kidney Disease a. Edema - Hipernatremia, hipertensi dan kerusakan ginjalpeningkatan tekanan hidrostatik dan permeabilitas kapileredema. - Proteinuriahipoalbuminuriacairan intravaskular merembes ke interstitialedema. - Cairan merembes ke interstitial menyebabkan cairan di intravaskular berkurang(hipovolemia). Hipovolemia akan merangsang sistem RAA retensi air dan natriummemperburuk edema. b. Hiperkalemia atau hipokalemia. Hipokalemia terjadi bila terapi diuretik berlebihan disertai dengan kurangnya asupan K. Biasanya, penderita PGK mengalami hiperkalemia sebab GFR yang menurun. Hiperkalemia tampak bila GFR sudah turun dibawah 15 ml/menit. GFR diatas 15 ml/menit masih memungkinkan kompensasi sekresi K+ oleh aldoteron pada tubulus distal. c. Hiperfosfatemia dan hipokalsemia berkaitan dengan PTH dan tulang. Mulai tampak sejak stadium 2. Fosfat meningkat akibat defek ekskresi dan kebutuhan kompensasi untuk asidosis metabolik. Fosfat dan PTH akan menurunkan absorpsi kalsium dan menyebabkan berbagai gangguan pada tulang, seperti osteomalasia, osteodistrofi. Keadaan ini diperburuk dengan defek aktivasi vitamin D oleh ginjal yang rusak. Gangguan keseimbangan magnesium minimal sebab terjadi mekanisme sekresi di tubulus distal dan collecting duct. d. Metabolik asidosis. Pada keadaan gagal ginjal, tubulus tidak dapat menyekresikan ion hidrogen(H+) dari tubuh, sehingga menyebabkan peningkatan asam dalam tubuh. Keadaan metabolik asidosis ditandai dengan kurangnya ion basa bikarbonat(HCO3 -) akibat terus digunakan untuk mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh. e. Gangguan hematologik Anemia normokromatik normositik biasanya baru tampak pada stadium 3 CKD, tetapi anemia telah ada sejak awal progresi CKD. Anemia bisa disebabkan gangguan produksi EPO, defisiensi besi/folat/vit.B12, gangguan faktor III pada stage 5 CKD. PTH yang meningkat menyebabkan fibrosis pada sum-sum tulang.Toksin uremik didapatkan dapat mensupresi fungsi sum-sum tulanganemiapucat, sel darah putih sistem imun berkuranginfeksi . Trombosit juga berkurangtrombositopeniagangguan koagulasi. Anemia menyebabkan hipertropi ventrikel eksentrik sebab pada anemia, selain VK harus bekerja memompa lebih kuat, disertai dengan vasodilatasi perifer
10

sebagai mekanisme kompensasi akibat oksigenasi yang berkurang. Akibatnya, venous return bertambah sehingga penebalan VK diikuti dilatasi VK. Jadi, koreksi dan diagnosis anemia secara dini dapat memperlambat penurunan fungsi ginjal. f. Gangguan kardiovaskular 30-45% pasien ESRD mengalami gangguan kardiovasular. Komplikasi akibat gagal ginjal terbanyak pada sistem kardiovaskular adalah hipertensi. Gangguan kardiovaskular sendiri merupakan gangguan terbanyak yang menyebabkan mortalitas dan morbititas pada pasien gagal ginjal.

i. Diagnosa Chronic Kidney Disease Diagnosa defenitif untuk CKD adalah biopsi ginjal. Dari biopsi ginjal, dapat ditentukan diagnosa, pengobatan apa yang akan dilakukan dan prognosa penyakit. Namun, pemeriksaan ini berisiko tinggi dan dapat menimbulkan komplikasi. Anamnesa pasien biasanya sering ditemukan adanya riwayat keluarga yang mengalami CKD, sedangkan pada pasien remaja muda akan dikeluhkan gangguan pertumbuhan. Pada pemeriksaan fisik, biasanya gagal ginjal kronik bersifat asimptomatik apabila stage yang dialami baru 1-3. Gejala gagal ginjal kronik baru akan terlihat jika stage sudah mencapai 4 atau 5, gejala kliniknya dapat berupa pernapasan dan detak jantung yang cepat, fatigue, berkurangnya berat badan, anoreksia, nokturia, dan pruritus. Gejala ini terjadi akibat dari akumulasi bahan-bahan yang bersifat toksin yang tidak dapat dibuang oleh tubuh. Namun, gejala klinis yang muncul sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti DM, ISK, nefrolithiasis, hipertensi, dan lainnya. Umumnya pemeriksaan fisik pada CKD tidak begitu membantu namun dapat mengetahui etiologi atau komplikasi yang telah terjadi. Apabila CKD sudah menimbulkan komplikasi, maka gejala yang akan muncul adalah hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida). Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk membantuk menegakkan diagnosa CKD antara lain urinalisa, hitung darah lengkap serta pengukuran BUN dan kreatinin serum. Pemeriksaan elektrolit juga merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan pada penderita CKD. Pada urinalisa, apabila didapati hasil positif pada pemeriksaan proteinuria dengan menggunakan dipstick menunjukkan kemungkinan adanya gangguan pada glomerulus atau tubulus dengan interstitium ginjal. Sedangkan pada sedimen urin apabila ditemukan sel darah menunjukkan dan RBC cast menunjukkan proliferatif glomerulonefritis. Piuria dan/atau WBC cast menunjukkan adanya nefritis interstitial atau adanya infeksi saluran kemih. Serum BUN dan kreatinin akan meningkat pada pasien dengan CKD. Selain itu, juga dapat didapati serum albumin turun pada pasien yang dikarenakan kehilangan protein melalui urin atau malnutrisi. Pada hitung darah lengkap, dapat ditemukan anemia normokromik normositik, sering juga ditemukan disfungsi platelet akibat uremia.
11

Pemeriksaan elektrolit akan dijumpai hiperkloremia yang disebabkan uremia. Biasanya akan dijumpai normokalemia, kecuali jika GFR mencapai dibawah 5 ml/menit, diabetik nefropati, penyakit interstitial ginjal, dan gouty nefropati. Juga dapat ditemukan peningkatan serum fosfat dan penurunan kalsium. Ini disebabkan karena pada ginjal terjadi penurunan pembentukan kalsitriol. Pemeriksaan lipid juga sebaiknya dilakukan pada semua pasien CKD karena pasien CKD juga beresiko untuk terkena penyakit kardiovaskuler. Sedangkan untuk pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan untuk membantu pemeriksaan adalah foto polos abdomen KUB ( Kidney Ureter Bladder), Ultrasound renal, CT scan, dan MRI. Tidak semua pemeriksaan ini dilakukan mengingat keterbatasan di Indonesia. Foto polos abdomen biasanya dilakukan untuk melihat adanya batu radioopaq. Ultrasound renal biasanya digunakan untuk mengetahui ukuran ginjal. Ginjal kecil ditemukan pada CKD. Sedangkan pada diabetik nefropati lanjut ditemukan ukuran ginjal yang normal, namun awalnya ginjal akan membesar karena terjadi hiperfiltrasi. Selain itu, ultrasound ginjal digunakan untuk skrinig hidronefrosis yang tidak tampak pada awal obstruksi. CT scan berguna untuk menentukan masa renal dan kista dengan lebih baik dibandingkan USG. CT scan juga merupakan test yang paling sensitif untuk mengetahui batu ginjal. Penggunaan kontras iv untuk CT scan tidak dianjurkan pada penderita gangguan ginjal (pada kasus ini gagal ginjal kronik dengan tingkat sedang sampai berat) karena dapat menyebabkan gagal ginjal akut. MRI sangat berguna pada pasien yang membutuhkan pemeriksaan CT scan tetapi tidak dapat menggunakan kontras intravena. MRI bisa juga untuk mendiagonsa terjadi trombosis vena renalis seperti pada CT scan. Namun, perlu diketahui bahwa pemeriksaan MRI sangat mahal. Tes lainnya seperti penghitungan dengan rumus Cockcroft-Gault digunakan untuk mengukur fungsi residu ginjal pada semua pasien dengan CKD. Perhitungan ini memerlukan pemeriksaan serum creatinin pasien. Rumus Cockcroft-Gault sebagai berikut: CrCl (pria) = ([140-age] X weight in kg)/(serum creatinine X 72) CrCl (wanita) = CrCl (male) X 0.85 j. DD Chronic Kidney Disease DD untuk CKD adalah AKI. Untuk membedakan kedua hal ini, ultrasound ginjal akan memberikan banyak informasi. Abnormalitas ginjal pada ultrasound, seperti ginjal berukuran kecil pada glomerulonefritis kronik atau kista besar pada penyakit kista ginjal akan tampak pada pasien CKD. Sedangkan untuk membedakan akut pada gagal ginjal kronik dapat dilihat dari gejala yang mengindikasikan CKD tetapi juga mengindikasikan penyebab kerusakan akut fungsi ginjal seperti infeksi.

k. Penatalaksanaan Chronic Kidney Disease


12

Penatalaksanaan yang dilakukan berupa terapi konservatif sampai pasien merasa tidak dapat melakukan hidupnya seperti biasa. Terapi konservatif mencakup pembatasan protein (0.5 g/kg/hari), potassium, dan fosfor, juga pembatasan asupan natrium. Pencegahan osteodistrofi uremik dan hiperparatiroidisme sekunder dengan pengawasan terhadap keseimbangan kalsium dan fosfor.

Pada semua stadium CKD, dianjurkan untuk dilakukan pengukuran fungsi ginjal dan tes laboratorium lainnya tergantung tingkat rusaknya ginjal. Untuk penatalaksanaan non farmakologis CKD mencakup beberapa hal. Pertama, untuk kesehatan secara umum pasien disarankan untuk menghentikan merokok, kurangi berat badan, lakukan olah raga yang bersifat aerobik, membatasi konsumsi alkohol, dan kurangi konsumsi sodium. Kemudian, pasien CKD juga harus bahan-bahan yang bersifat nefrotoksik seperti agen radiokontras intravena, NSAID, aminoglikosida, dan bahan-bahan lainnya. Untuk mencegah efek gagal ginjal kepada jantung, pasien dengan resiko penyakit jantung lebih dari 20% untuk 10 tahun diberikan aspirin dan obat-obat penurun kadar lipid. Selain itu, perlu pemantauan tekanan darah. Antihipertensi diberikan apabila: Ratio protein dan kreatinin urin di bawah 100 mg/mmol: dengan ambang hipertensi 140/90 mmHg, diberikan antihipertensi sampai tekanan darah 130/80 mmHg. Ratio protein dan kreatinin urin di atas 100 mg/mol, ambang hipertensi 130/80 mmHg, diberikan antihipertensi sampai tekanan darah 125/75 mmHg.1

Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor atau angiotensin receptor blocker (ARB) diberikan apabila: Ratio protein dan kreatinin urin di atas 100 mg/mmol. Pada pasien diabetes dengan mikroalbuminuria. Serum kreatinin dan kalium harus diperiksa sebelum diberikan pengobatan. Jika hiperkalemia (serum kalium di atas 6 mmol/L) ACEi atau ARB harus dihentikan.

Jika Hb di bawah 11 g/dL dan semua penyebab anemia sudah dieksklusi, pasien diberikan eritropoiesis-stimulating agents dan preparat besi. Pemberian ini dihentikan apabila serum ferritin telah melebihi 500mcg/L. Pemberian eritropoietin secara cepat akan mencegah timbulnya hipertrofi ventrikel kiri. Jika hiperfosfatemia diberikan fosfat binder dan restriksi fosfat seperti lanthanum karbonat (fosrenal) yang bekerja dengan cara mengikat fosfor pada traktus pencernaan sehingga menghambat absorpsi fosfor. Hipokalsemia diobati dengan suplemen kalsium dan kalsitriol. Hiperparatiroidisme diobati kalsitriol atau analog vitamin D. Dari penelitian yang dilakukan Fishbane dkk diketahui bahwa pemberian paricalcitriol dapat menurunkan proteinuria sebanyak 10% dari kelompok kontrol.
13

Asidosis pada penderita CKD harus diobati secepat mungkin Apabila terjadi keadaan asidosis yang kronik dapat menyebabkan hiperkalemia, menghambat sintesa protein, dan mempercepat hilangnya kalsium dari tulang. Untuk asidosis yang diderita pasien bisa diberikan bikarbonat. Renal Replacement Therapy (RRT) mencakup hemodialisa, peritoneal dialisis, CAPD (Chronic Ambulatory Peritoneal Dialysis) atau transplantasi renal. Indikasi untuk dilakukan RRT adalah sebagai berikut: a. Kreatinin di atas 500 mmol/L b. Ada gejala-gejala uremia seperti perikarditis, encefalopati, neuropati perifer, gagal tumbuh, dan malnutrisi. c. Asidosis metabolik berat: bikarbonat kurang dari 12 mmol/L d. K serum > 6mEq/L e. Ureum darah > 200 mg/dL f. pH darah < 7.1 g. Anuria berkepanjangan (> 5 hari) h. Kelebihan cairan. Untuk terapi pengganti ginjal, terdiri dari dua jenis yaitu dialisis dan transplantasi ginjal. Adapun terdapat dua jenis dialisis, dialisis peritoneal dan hemodialisis. Transplantasi ginjal dapat berasal dari donor hidup atau donor jenazah. Sebelum dilakukan hemodialisa, dilakukan dulu penyambungan antara vena dan arteri (akses vaskular). Terdapat 3 jenis akses vaskular yaitu fistula, graft, dan kateter. Fistula dan graft merupakan akses yang permanen sedangkan kateter merupakan akses yang sementara dan digunakan sampai pasien siap untuk membuat fistula atau graft. Tujuan dibuatnya akses ini agar vena tidak kolaps ketika dilakukan dialisis. Karena vena mempunyai dinding yang lemah. Beberapa minggu atau bulan sebelum dialisis, ahli bedah akan membuat akses ini.

Gambar 1. Prinsip fistula


14

Graft adalah penggabungan vena dan arteri dengan menggunakan pipa atau potongan vena pada kaki. Graft dilakukan apabila fistula tidak dapat dilakukan. Pada saat akan dilakukan dialisis, dua jarum yang telah dimasukkan ke pipa dimasukkan ke dalam akses vaskular. Jarum yang satu berfungsi menarik darah ke mesin, sedangkan yang lain berfungsi untuk mengembalikan darah. Dialisis dilakukan 3 kali seminggu dan dilakukan seumur hidup atau dilakukan sampai transplantasi ginjal. Prinsip kerja hemodialisa dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan atau disebut juga dialiser yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Masingmasing dari kompartemen tersebut dipisahkan oleh selaput semipermeabel buatan. Kemudian darah pasien dialirkan ke salah satu kompartemen, sedangkan kompartemen yang lain, yaitu kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Selanjutnya, karena perbedaan konsentrasi zat terlarut di kedua kompartemen, akan terjadi perpindahan zat terlarut secara difusi, dari cairan konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah (dari darah ke cairan dialisat). Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif dan reverse osmosis pada kompartemen cairan dialisat. Proses ini disebut ultrafiltrasi. Cairan dialisat yang digunakan tidak perlu steril. Karena selaput semipermeabel akan menyaring endotoksin dan bakteri. Tetapi perlu juga diingat bahwa kuman harus dijaga kurang dari 200 koloni/mL. Kadar natrium dalam cairan dialisat berkisar antara 135-145 mEq/L. Bila kadar natrium rendah, maka akan terjadi resiko gangguan hemodinamik karena berpindahnya natrium. Sebaliknya, jika natrium tinggi, akan meningkatkan kadar natrium pascadialisis sehingga akan membuat pasien haus dan minum lebih banyak. Dialiser dapat didaur ulang untuk mengurangi biaya pengobatan. Untuk mendaur ulang, perlu dibersihkan terlebih dahulu dengan cairan dialisat yang banyak untuk menghilangkan bekuan darah yang ada. Selanjutnya, dialiser disimpan dengan cairan antiseptik (formaldehid 4%). Jika ingin dipakai kembali, cuci kembali dengan cairan dialisat. Dialiser dapat dipakai bila volume dialiser masih 80%. Cairan dialisat yang digunakan ada 2 macam, asetat dan bikarbonat. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk gagal ginjal kronik, biasanya dipakai cairan bikarbonat karena dapat menetralkan asidosis, juga tidak menimbulkan vasodilatasi yang dapat ditimbulkan oleh cairan asetat. Selain itu, perlu diingat pemberian heparin pada pasien yang akan menjalani dialisis karena pada saat aliran darah berada pada luar tubuh, akan terjadi aktivasi sistem koagulasi. Untuk peritoneal dialisis, dimanfaatkan membran peritoneal yang bersifat semipermeabel. Keuntungan dialisis peritoneal secara teknik lebih sederhana, cukup aman dan efisien, serta tidak memerlukan fasilitas khusus. Prinsip dasar peritoneal dialisis adalah dipasang kateter stylet (kateter peritoneum) pada abdomen di dalam kavum peritoneum, ujung kateter berada di dalam kavum Douglasi. 2 liter cairan dialisis akan dimasukkan ke dalam kavum peritoneum melalui kateter tersebut. Membran peritoneum bertindak sebagai membran dialisis yang memisahkan antara cairan dialisis dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam pembuluh darah di peritoneum. Setelah pengisian rongga peritoneum dengan cairan dialisat, maka larutan dialisat dibiarkan
15

di rongga abdomen selama 4 6 jam untuk dibiarkan terjadinya dialisis. Sisa-sisa metabolisme pada penyakit ginjal kronik akan berada dalam konsentrasi tinggi dalam darah akibat tidak dapat dibuang oleh ginjal. Karena tingginya kadar ini, maka zat-zat ini akan berpindah secara difusi ke cairan dialisat. Setelah ditunggu selama 4 6 jam, dengan bantuan gravitasi cairan dikeluarkan dari dalam tubuh. Cairan yang dikeluarkan akan berwarna kuning jernih. Waktu pengeluaran cairan sekitar 10 20 menit. Komposisi elektrolit dialisat seperti pada plasma darah normal. Pada umumnya cairan dialisat, tidak mengandung kalium karena tujuannya untuk mengeluarkan kalium. Namun, jika pasien dengan kadar kalium normal maka kadar kalium dalam dialisat dapat disamakan dengan plasma. Indikasi pemakaian dialisis peritoneal: 1. Gagal ginjal akut 2. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit atau asam basa 3. Intoksikasi obat atau bahan lain 4. Gagal ginjal kronik Prinsip Rehabilitasi Gagal Ginjal Rehabilitasi adalah suatu proses yang menghasilkan pemulihan fungsi dan prestasi individu ke tingkat maksimal yang diharapkan. Bagi orang-orang dengan penyakit ginjal, rehabilitasi mencakup restorasi kesejahteraan, kinerja fisik, kestabilan emosi, penyesuaian sosial dan kapasitas kerja.

Seorang yang divonis menderita gagal ginjal pasti akan mengalami penurunan percaya diri yang mengakibatkan penurunan prestasi dalam aktivitas, perkerjaan dan pergaulan sosial. Berbagai gangguan elektrolit maupun organ, khususnya anemia menyebabkan penurunan ketahanan tubuh. Ketahanan tubuh yang berkurang akan mengakibatkan pasien CKD dianggap seperti pasien cacat yang tidak dapat bekerja lagi. Secara psikis, penderita penyakit kronik seperti gagal ginjal akan merasa depresi, marah dan merasa bersalah. Sehingga, perlu rehabilitasi untuk meningkatkan fungsi fisik dan psikis penderita CKD.

Prinsip rehabilitasi pada penderita gagal ginjal meliputi restorasi kesejahteraan(mengembalikan tubuh pada keadaan yang lebih sehat, misalnya dengan olahraga aerobik rutin), kestabilan emosi(berpikir positif), penyesuaian sosial(menikmati pergaulan sosial dengan keluarga maupun teman) dan kapasitas kerja(tetap berpikir diri sendiri berguna). Selain itu, penderita CKD harus tetap menjaga pola makan diet dan menurunkan resiko penyakit penyerta. Hendaknya, pasien CKD diperhatikan oleh pemerintah dengan memberikan pelayanan kompensasi dalam pekerjaan, seperti yang diterapkan di negara maju.

16

CKD termasuk sillent killer karena pada tahap awalnya, bahkan sebelum kerusakan nefron 70% kerap kali tidak menimbulkan gejala apapun. CKD tidak dapat dicegah, tetapi ginjal dapat dilindungi dari kerusakan dan memperlambat progresivitas kerusakan.

Prinsip prevensi di mulai dengan mengidentifikasi pasien yang beresiko tinggi menderita gagal ginjal dan kemudian lakukan skrining teratur serta menatalaksana penyakit yang menjadi faktor resiko tersebut. Skrining meliputi: periksa secara teratur dan kontrol tekanan darah(diet dan olahraga, usahakan TD 130/80 mmHg); periksa secara teratur proteinuria dan mikroalbuminuria; periksa secara teratur dan kontrol kadar gula darah; diet rendah protein hewani dan hentikan merokok bagi yang memiliki riwayat keluarga menderita gagal ginjal; cegah dan atasi infeksi saluran kemih serta pantau kadar obat-obatan nefrotoksik yang dikonsumsi.

l. Komplikasi dan Prognosa Chronic Kidney Disease Komplikasi CKD dapat berupa anemia. Anemia yang terjadi dapat mengakibatkan LVH ( left ventricular hypertrophy), kelelahan, gangguan fungsi kognitif. Pada CKD, dapat berkomplikasi pada hipertensi. Hipertensi juga dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri, gagal jantung, stroke, dan penyakit jantung lainnya. Selain itu, akan terjadi juga gangguan neurologis akibat penumpukan urea, seperti ensefalopati uremik, neuropati perifer. Penyakit Ginjal Kronik juga dapat menyebabkan gangguan koagulopati, renal osteodistrofi, overload cairan, malnutrisi, intoleransi glukosa akibat resistensi insulin ,dan perubahan struktur tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder. Prognosis Penyakit Ginjal Kronik biasanya pasien berakhir pada ESRD ( End-Stage Renal Disease). Kecepatan perubahan tergantung diagnosa, keberhasilan tindakan preventif sekunder, dan tergantung pada individu pasien. Kebanyakan kerusakan oleh PGK terjadi secara awal sehingga intervensi yang dini akan lebih memperbaiki prognosa. Pasien dengan dialisis kronik mempunyai insidens tinggi akan morbiditas dan mortalitas. Pasien dengan ESRD yang menjalani transplantasi ginjal akan bertahan lebih lama daripada dengan dialisis kronik. Penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian yang paling umum pada PGK. Tidak ada medikamentosa yang dapat mengembalikan kerusakan irreversibel nefron pada CKD, pengobatan hanya untuk memperlambat progresifitas perburukan penyakit dan penyakit penyerta. Tatalaksana secara dini ditemukan dapat meningkatkan harapan hidup sebanyak 5-8 tahun dibandingkan gagal ginjal yang baru diketahui pada stadium lanjut.

17

m. Hubungan diabetes, hipertensi, dan Gagal Ginjal

18

19

8. Ulasan Masih ada beberapa hal yang kurang jelas pada pemicu kali ini, seperti terjadinya diabetes, hipertensi, dan gagal ginjal. Pada kasus ini, kurang jelas apakah hipertensi yang menyebabkan gagal ginjal terlebih dahulu atau gagal ginjal menyebabkan hipertensi. Namun, setelah merujuk beberapa referensi didapat hasil seperti di bawah ini:

Terdapat perbedaan istilah gagal ginjal yang digunakan sebelum tahun 2002 dan setelahnya. Acute Kidney Injury merupakan istilah baru untuk Acute Renal Failure. Begitu pula dengan Chronic Kidney Disease menggantikan istilah Chronic Renal Failure. Asosiasi ginjal internasional menetapkan AKI dan CKD dengan pertimbangan etiologi, patogenesis dan untuk kesetaraan istilah yang berlaku secara internasional. Ada beberapa hal yang masih kurang jelas tentang gagal ginjal dan hipertensi. Di satu sisi, gagal ginjal mempromosikan terjadinya hipertensi melalui perantara aktivasi sistem RAA. Tetapi, ginjal yang rusak akan mempersulit konversi prekursor renin, prorenin menjadi renin. Tentunya, mekanisme ini akan menurunkan resiko terjadinya hipertensi. Dan setelah meninjau berbagai pustaka dan jurnal. Ternyata masih ada faktor pemicu hipertensi yang berarti selain renin yaitu ginjal yang rusak tidak dapat memproduksi prostasiklin, suatu vasodilator kuat. Pada pleno pakar juga disebutkan bahwa renin dapat dihasilkan dari tempat lain selain ginjal. Jadi, CKD tetap menjadi suatu faktor resiko terjadinya hipertensi yang berujung ke fase gagal jantung.

9. Kesimpulan

20

Pasien menderita diabetes melitus yang menyebabkan komplikasi gagal ginjal dan hipertrofi ventrikel kiri. Untuk terapi, pasien harus dirujuk kepada dokter nefrologis dan ahli gizi. DAFTAR PUSTAKA Andreoli TE, Bennett JC, Carpenter CJ, Plum F. Acute renal failure; Chronic renal failure. In: Abdulezz SR, Bunke M, Singh H, Shah SV, editors. Cecil essentials of medicine 4 th edition. Philadelphia: WB Saunders Company; 2001. p. 231-251. Campbell MF. Etiology, pathogenesis, and management of renal failure. In: Walsh PC, Vaughan, Wein AJ, editors. Campbell urology 8th edition. Philadelphia: WB Saunders Company; 2002. p. 273-303. Chronic kidney disease, NICE Clinical Guideline (September 2008); Early identification and management of chronic kidney disease in adults in primary and secondary care Clinical practice guidelines: complications of chronic kidney disease, 4th edition; Clinical practice guidelines: complications of chronic kidney disease, Renal Association (December 2007) [Best Evidence] Fishbane S, Chittineni H, Packman M, et al. Oral paricalcitol in the treatment of patients with CKD and proteinuria: a randomized trial. Am J Kidney Dis. Oct 2009;54(4):647-52. [Medline]. Haemodialysis- a treatment option. National Renal Resource Centre and KHA Kidney and Urinary Advisory Group: March 05;1-5 Ingram RH, Brady HR, Brenner BM, Karl S, Jacob G, Singh AK. Dyspnea; Acute renal failure; Chronic renal failure; Dialysis in the treatment of renal failure. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo LL, Jameson JL, editors. Harrisons principles of internal medicine 16th edition. New York: Mc-Hill Company; 2005. p. 201-204, 1653-1667. Levey AS, Bosch JP, Lewis JB, et al; A more accurate method to estimate glomerular filtration rate from serum creatinine: a new prediction equation. Modification of Diet in Renal Disease Study Group. Ann Intern Med. 1999 Mar 16;130(6):461-70. [abstract] Mahendra Ahagrarkar: Acute Renal Failure: Overview, Differential Diagnose, and Workup, Treatment & Medication. Emedicine medscape.2010 June 29 McCullough PA, Vassalotti JA, Collins AJ, Chen SC, Bakris GL. K/DOQI National kidney foundations kidney early evaluation program(KEEP) annual data report 2009: executive summary. American Journal of Kidney Disease [serial on the internet]. 2010 [cited 2010 September 16]; 55:3(2):[about 3 p.]. Available from: http://www.kidney.org/news/keep/pdf/adr2009/KEEP_Executive_Summary_09.pdf. S Amend WJ, Vincenti FG. Acute renal failure; Chronic renal failure & dialysis. In: Tanagho EA, McAninch JW, editors. Smiths general urology 17th edition. New York: McGrawHill Company; 2008. p. 520-532,539-545 Suwitra K, Markum HMS. Penyakit ginjal kronik; Gagal ginjal akut. In: Sudoyo AR, Setiyohadi N, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam
21

jilid 1 edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 574-584. The Renal Association; UK Guidelines for the management of Chronic Kidney Disease. January 2009 Work Group and Evidence Review Team of National Kidney Foundation-Kidney Disease Outcomes Quality Initiative. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification and Stratification. American Journal of Kidney Disease [serial on the internet]. 2002 [cited 2010 September 01]; 39(1):[about 356 p.]. Available from:

22

Das könnte Ihnen auch gefallen