Sie sind auf Seite 1von 8

Manusia Abangan

Oleh : ELBUYZ Pemilik situs: www.ebookbisnis.siteindo.com www.bisnisonlineindonesia.siteindo.com www.membuatwebsitegratis.siteindo.com

Anda memiliki 100% Hak Penuh untuk memberikan, menyebarkan, atau mendistribusikan e-book ini kepada siapapun orang yang anda kenal. Jadikan e-book ini BONUS atau Special Gift untuk orangorang yang anda tahu ingin mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Saya optimis, mereka pasti akan sangat berterimakasih kepada anda. Namun anda Dilarang Keras mengubah isi, tulisan, gambar atau apappun pada ebook ini.

Aku si anak manusia yang sedang bertanya pada dunia, tentang kelayakanku menjalani hidup. Hari-hariku hanya bertempat di kumuh rumah, hidup di keluarga berdrajat kecil, dan di lingkungan yang keruh sebagai pelengkap terperosok hina. Bertingkah langkah bandel selalu aku pamerkan pada orang yang bertingkah sok mengatur hidupku. Bertingkah garang selalu aku teriakan pada orang yang di anggap sasaran untuk merampas harta, memperkosa dan membunuh. Aku tampakkan tingkahku untuk menghina drajat manusia. Kini Aku berada di daerah Pondok Buntet Pesantren. Berawal dari cerita dua orang santri Buntet sewaktu di terminal. Tapi mereka pergi waktu aku mengajak bicara. Aku pun datang kemari, sendiri, dengan hati sadarku. Ingin mencari orang yang mau membimbingku. Aku duduk di halaman masjid. Baru pertama kali aku duduk di masjid dengan penyadaran diri, kedamaian hati. Masjid yang katanya sebagai rumah Allah, diduduki orang yang tak mengerti hidup, sepertiku. Aku teringat, kisahku setengah tahun yang lalu. Tepatnya di dalam masjid yang berada di terminal Cirebon. Bersama teman-teman, jam 12 malam mainkan sekumpulan kartu judi walau tidak sedang bermain judi. Hadirkan pula botol-botol minuman keras sebagai penikmat. Setelah itu kami tertidur di dalam masjid. Malam pun selesai bertugas menggelapkan dunia. Waktu subuh akan datang. Penjaga masjid melihat aku dan teman-teman. Ia marah besar melihat rumah Allah terhina. Masya Allah, ini masjid!!! Rumah Allah!!! Bangun!! Dasar syetan! sembari mengguyur dengan air kearahku dan teman-teman. Kata-kata itu terdengar olehku. Aku pun ikut geram seakan syetan yang menggerakkan tubuhku. Aku mendekat lalu aku hajar penjaga masjid itu, Brengsek!!! Lo apa-apaan?? Dasar orang tua bau tanah! Lo udah Ngeganggu orang tidur! Astahfirullah. Aku tak terima! Semoga Allah membalas perbuatan kalian!! Lalu, teman-teman pun ikut melakukan hal yang sama. Memberikan ganjaran tinjuan pada penjaga masjid itu yang berumur kira-kira empat puluhan. Penjaga masjid pun pingsan. Keadaan masih sepi. Setelah melakukan, kami pergi sembari tertawa lepas. Seakan kami tidak mempunyai dosa.

Setelah kejadian itu. Beberapa hari kemudian hatiku terluka penuh bara. Orang tuaku meninggal dunia. Mereka terbunuh oleh lintah darat, rentenir, karena orang tua selalu tidak membayar utang yang berjuta-juta. Itu salahku! Bukan salah mereka! Aku yang meminjam untuk kebejatanku bukan mereka! Seharusnya aku yang dibunuh, amarahku. Aku marah pada si lintah darat keparat! Aku tak terima. Aku kejar. Akan aku bunuh dia dan bawahannya! Tapi aku sanggup mencari lagi. Entah mengapa, aku jadi teringat kelakuanku dalam masjid itu dan di tempat lain. Aku menyesal sudah melakukan kebejatan. Aku urungkan niat untuk membunuh. Sadarku seolah menepuk kencang pada amarahku. Aku bertambah pilu. Setelah orang tuaku meninggal dunia, kini temanteman yang dulu ikut mabuk bersamaku, mereka meninggal dunia. Sebagian karena kecelakaan, yang lain karena minuman keras oplosan. *** Mataku sorot pandang terang mengajak lihat pada seorang pemuda yang menghampiri masjid ini. Terlihat, mungkin ia bertempat megah rumah. Terlihat pula ia berpakaian kain mewah, ala kiyai priayi. Melangkah dalam jalan saleh. Dan mungkin juga hidup dalam keluarga berderajat besar. Dia menghampiri masjid. Firasatku mengatakan kalau ia sepertinya siap untuk membimbingku. Aku pun ikut langkah dia, yang sedang menuju tempat air cuci muka. Aku termangu. Berkaca pada dia, tentang diriku siapa. Terlihat noda-noda hitam pekat menempel pada jiwaku. Aku bercermin pada dia, yang sudah menjadi cermin untuk semua. Hati dan pikiranku tertutup kemiskinan dan kejam lingkungan. Sampai angin pun tak mampu berbisik, menyelusup lembut di hatiku. Hati hanya bara, membakar yang lempar lara. Sampai diriku tak mampu mengurai makna hidup. Dan kini hanya merasakan taburan debu ke arahku dari bara yang dulu aku layangkan pada setiap orang yang menantang. Dahulu keluarga hanya mengajariku makan dalam keterbatasan. Mungkin jiwa sadar dan penuh syukur akan menikmati walau lapar mengoyak-oyak hidup. Tapi tidak. Aku tidak sadar dan tidak bersyukur. Sehingga aku brontak! lari di ke jalanan bersama teman jalanan pula. Keluarga pun hanya mengajariku mencari makan dalam kebodohan. Sehingga makanan yang didapatkan hanyalah hasil dari kebodohan saya. Aku tak mengerti aturan. Yang penting aku puas punya banyak uang,

lebih dari sekedar untuk makan. Kebebasan melakukan tanpa aturan itulah kehidupanku. Tapi kutatap dia, yang mungkin dalam belaian hati keluarga tentang kehidupan sejati. Dan dia mengetahui dan tersadarkan diri. Terbukti dia sangat khusyu shalat walau aku tak mengerti dia shalat apa. Dari dulu aku tak mengetahui tentang ilmu kehidupan yang terbingkai dalam ilmu keagamaan. Aku memang tak tersadarkan di setiap aliran nasihat berulang hantam hatiku. Malah hatiku aku gunakan untuk menghadang niat suci aliran pemuda-pemudi dalam beribadah. Ya Alah, Tuhanku. Kini, orang tua dalam panggilMu. Bersembunyi di balik nyata. Tak mungkin mereka hadir dan merawat diriku, bagai masa silam kecilku. Diriku beban umur 35, tanpa arti. Semua kemelut dalam hidup dan siap membunuhku. Izinkan langkah kakiku dalam jalanMu, tengadah kedua tanganku berharap ampunan Tuhan, sampai berderai air mata membasahi pipi. Tiba-tiba terdengar suara, Tak ada kebaikan, dalam simpang jalan. Dan aku pun menoleh ke arah kanan. Ternyata pemuda yang aku bahas tadi. Pancaran wajahnya memancarkan kesolehan. Seketika aku melemas. Pemuda yang seumuran denganku itu tersenyum, Maaf, Bapak siapa? Bapak dalam masjid, alangkah baiknya shalat lalu setelah itu berdoa. Aku pun berdiri dan masuk masjid untuk segera melakukan shalat. Tapi, aku pun teringat. Aku tidak pernah belajar ilmu tentang shalat. Bagaimana aku melakukannya. Sudah tidak bisa, bejat pula tingkahku. Aku Karto,Pak. Pak, siapa yang pernah mengajariku untuk shalat? Aku tidak bisa shalat. Aku malu sama Bapak. Aku hanya pendosa yang tidak di terima shalatnya! Wajah pemuda itu terlihat merah padam. Seakan ingin memarahiku. Apa gunanya berdoa, tapi gerakan raga tidak menuruti doa. Apakah Bapak ingin mengikuti langkah Allah?! Ikutilah bersama manusia yang melangkah di jalan Allah. Lihat para jamaah, mereka menunggu Bapak untuk shalat! Maaf! Aku tidak punya banyak waktu! Pemuda itu marah lalu pergi meninggalkan aku.

Keringat keluar deras, dingin menyelimuti tubuh. Badan gemeteran. Aku tak mengerti. Kepala pusing seakan ada sesuatu yang akan keluar dari tubuhku lewat kepala. Segera aku keluar dan kembali duduk di luar. Aku tak berani memasuki masjid di saat aku tidak shalat. Allahuakbar, Allaaaahuakbar. Terdengar kalimat merdu dari dalam masjid. Seakan jiwa bejadku seketika terkoyak. Badanku lemas. Keringat dingin tetap mengalir. Melihat para jamaah sedang melakukan shalat, aku semakin terkucil dalam keramaian. Seakan hidup menyuruhku tetap dalam remang hidup, dan menikmati maksiat. Tapi hidup yang satu lagi menyuruhku mengadu pada orang yang mampu membimbing, agar keluar dari jaring-jaring maksiat. Aku bingung. Masa laluku yang kelam, penuh kebengisan, kini semakin jelas terbayang. Membuat kepalaku makin pusing. Terasa berat kepala ini. Aku tak tahu apa yang akan terjadi pada diriku ini. Yang jelas, aku kini berbaring dalam lantai dengan mata terpejam. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Ucapan itu terdengar menggetarkan hati. Ah, ragaku panas. Kepalaku berat. Seakan ada sesuatu yang ingin keluar. Aku berontak, dalam kesadaran yang kini mulai terganggu. Tak lama, aku pun bertingkah anaeh. Aku tak sadar. Huahaahahhaha!! aku tertawa tapi tak mengerti apa yang ditertawakan. Terlihat dengan pandangan tak sadarku, seketika banyak yang mengelilingiku. Entah siapa dia. Manusia atau syetan. Aku meronta-ronta. Aku tidak mau di lihat. Pergi kalian, pergi!! Teriakku. Gumam suara tak jelas apa yang diucapkan. Yang jelas badanku panas dan tetap meronta-ronta. Seketika ada yang memegangku. Aku berusaha melepas, tapi usahaku sia-sia. Dia memegangku erat-erat. aku tak mau di pegang. Tubuhku makin panas dan sakit yang aku rasakan. Aku ingin pergi, tapi dia tetap memegang erat. Aaaah! Panas! Panas! Ampun, ampun. Pergi kamu dari sisi, pergi! kataku pada yang menguasai gerak ragaku.

Seketika siulan lembut aku rasakan. Merdu sekali. Entah mengapa tubuhku tidak kepanasan lagi, dan cukup tenang. Sedikit-demi sedikit suara terdengar jelas. Ternyata suara itu adalah bacaan yang berbahasa arab. Aku tak tahu, itu bacaab apa. Sesaat kemudian terlihat ada pemuda itu yang berada di sampingku. Dan banyak orang yang melihat diriku dengan tatapan penuh ketegangan. Aku tidak tahu apa yang di lihat mereka sewaktu aku tak sadar. Ada apa ini? Kenapa banyak orang? Aku bertanya pada semua orang. Astaghfirullah, astaghfirullah, segera kau ucapkan! Pemuda itu meneriakkan kata itu padaku. As, as, astagpirulooh. Seketika badanku menjadi lemas kembali. Aku menangis seketika dan memeluk pemuda itu. Aku tak malu di lihat banyak orang. Aku tak mengerti, ikatan apa yang terjadi padaku dan pemuda itu. Sampai aku tak ingin dia lepas begitu saja. Aku ingin bimbing dia. Khawatir aku kembali dalam lembah hitam. Maafkan aku ya Allah, maafkan aku. Terimakasih, engkau telah menolongku walau baru pertama melihatku! Engkau belum tahu siapa! Aku mohon, bimbing aku dalam menjalani hidup. Aku tahu. Kau adalah hamba Allah. Kembalilah jiwamu pada jalan Allah. Tidak ada kebaikan dalam penyimpangan dari jalan Allah SWT. Dan isi jiwamu dengan ilmu dan ibadah kepada Allah SWT terus menerus. Sehingga jiwamu terisi penuh dengan kebaikan. Ruang gerak kejahatan sulit menguasai jiwa. Tapi jika jiwamu kosong ilmu dan ibadah, maka kejahatan akan leluasa masuk di jiwamu. Ya sudah, aku siap membimbing. Tangis pun semakin menjadi dan sembari berkata, Ya Allah, Engkau Maha Tahu segala ucapan hambanya. Aku ingin seorang untuk membimbingku, dan Allah pun menjawabnya. Terimakasih Ustadz! *** Cirebon, 2010

-----Inspirasi Sajak: Abangan

Das könnte Ihnen auch gefallen