Sie sind auf Seite 1von 9

Segitiga

Oleh : ELBUYZ Pemilik situs: www.ebookbisnis.siteindo.com www.bisnisonlineindonesia.siteindo.com www.membuatwebsitegratis.siteindo.com

Anda memiliki 100% Hak Penuh untuk memberikan, menyebarkan, atau mendistribusikan e-book ini kepada siapapun orang yang anda kenal. Jadikan e-book ini BONUS atau Special Gift untuk orangorang yang anda tahu ingin mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Saya optimis, mereka pasti akan sangat berterimakasih kepada anda. Namun anda Dilarang Keras mengubah isi, tulisan, gambar atau apappun pada ebook ini.

Teman-temanku masih selalu saja tak mengerti tentang perubahanku. Merasa heran tetang keajaiban yang aku peroleh. Mereka masih mengira aku tetap seperti dulu. Mereka tak mengetahui, bila pandangan mereka itu salah besar, sebelum atau sesudah aku menjadi orang sukses. Mereka masih saja berbicara tentang keadaan yang terlihat mata: Keadaanku yang selalu mengurung diri dalam rumah, keadaanku yang bodoh, keadaanku yang lemah, kemampuan komunikasi yang rendah, dan segala kekuarangan lainnya. Mereka tidak melihat ruang pikiranku yang selalu berkeliaran bebas. Bagi mereka, seolah kehidupan hanyalah pandangan empiris. Memang aku selalu mengurung diri dalam rumah. Tapi, bukan berarti pikiran ikut terkurung; tak berkeliaran memandang kehidupan. Kau harus berpikir segitiga kefilsafatan, kata ayaku padaku sewaktu aku sedang duduk melamun memandang lingkungan. Waktu itu aku masih kelas satu SMP. Apa itu Ayah? Ketuhanan, kemanusia, dan kealaman. Semenjak mendapat perkataan itu, jiwaku seakan mendapat beban yang berat. Pikiran goyah. Bayang-bayang kebodohanku semakin tampak jelas. Berubahlah cara pandangku mengenai hidup. Aku lebih memilih menyendiri untuk memikirkan segitiga itu. Dan, aku renggangkan hubunganku dalam dunia pergaulan. Ayahku menyetujui dan memahami cara pandang kehidupanku: Lebih banyak merenung dalam kesunyian. Tentu, mengurung diri dalam rumah adalah hal yang masuk akal untuk melakukan perenungan. Merenung segitiga, kataku pada teman-teman. Lantas mereka ketawa keheranan. Tapi, teman-temanku tak memahami. Dan yang paling sering mengomentari itu dua teman dekatku: Sanusi dan Linda. Kau perlu bergaul. Bila kau tak bergaul, tetap saja impianmu akan sulit tercapai. Kau itu makhluk sosial, kata Sanusi. Kau tak akan mendapat pengalaman yang banyak. Kau akan sulit mendapat pekerjaan, kata Linda. Seberapa besar keuntungan dalam pergaulan di saat tiap kelompok menghancurkan impian, membawa bencana, dan membuat bodoh dalam

pergaulan itu sendiri? Aku katakan pada mereka, aku pun mengerti tentang pentingnya pergaulan. Lantas, pergaulan yang manakah yang akan mendukung kehidupan? Apakah aku termasuk teman yang membawa bencana? kata Sanusi. Bukan kamu dan bukan juga Linda. Aku membahas tentang pergaulan orang lain. Sejak merubah cara pandangku, aku berminat dalam menulis. Aku pilih menulis karena itulah yang mampu mencatat hasil dari pikiran. Tentu, dengan daya ingatku yang lemah, akan mudah hilang hasil dari pikiran. Dan aku sangat senang bila tulisan itu bergaya cerita. Lebih menyentuh pada jiwa, raga dan pikiran. Aku pun, lebih bebas dalam menulis tentang gejala kehidupan. Tidak melulu mencari kutipan yang tepat untuk mendukung pendapatku. Kau mau jadi tukang dongeng? Linda banget. Lebih baik kau menulis artikel atau buku. Aku diamkan saja perkataan Sanusi ini. Tapi keadaan ragaku tak lagi mendukung dalam kegiatan menulis. Keadaan lingkungan kota membuatku selalu berhadapan dengan tebaran pencemaran. Paru-paruku terserang penyakit. Aku tak kuat lagi dalam menulis, bahkan dalam membaca tulisan. Aku hanya mampu berbaring. Raga melemah. Jiwa semangat seakan terhalangi, tak terturuti; ragaku tak mampu mendukung jiwa semangatku. Pikiran tak kuat lagi dalam mengolah rangkaian kalimat yang meluas dan mendalam. Jiwa, raga dan pikiran merupakan rangkaian segitiga yang terputus. Kau tak mampu lagi berbicara? kata Sanusi. Aku lemah, kataku singkat sembari tetap mengatur nafas. Kau perlu istirahat. Lebih baik, kita jangan mengganggumu dulu, Linda memberikan kepedulian. Lebih baik begitu. Aku tak mau mereka tertular. Katanya, penyakit paru-paruku bisa tertular pada orang lain. Entahlah. Yang jelas, dokter menjelaskan pada ayahku begitu. Aku sering pakai masker saat berhadapan dengan ayah. Kini, cara pandangku untuk mengurangi dunia pergaulan bukan hanya niat hati, tapi juga karena kondisiku yang tidak memungkinkan untuk bergaul. Ditambah, tentang maksud kepergian ibu yang telah lama tidak

pulang-pulang. Dengan berat hati, ayahku bilang, kalau ia bukan istrinya lagi. Bercerai. Ya, mereka berdua telah bercerai. Maksud dan masalahnya aku tak mau mengetahuinya. Yang jelas aku sangat terpukul. Sangat sedih. Berbulan-bulan, sampai hampir setahun, aku patah semangat dalam hidup. Itulah yang terjadi padaku. Teman-temanku selalu memberikan dukungan lewat SMS atau telepon, tapi tak ada yang masuk dalam telingaku. Bahkan nasihat ayah pun tak aku hiraukan. Aku hanya hanyut dalam kehidupan kelemahan. Aku ingin berhenti sekolah. Ayah tak bisa melarang keinginanmu. Tapi, hidup menunggumu agar kau datang dengan membawa ilmu. Aku mengerti maksud Ayah. Banyak alasan yang membuatku memutuskan untuk berhenti sekolah. Tapi, aku tetap belajar walau hanya di rumah. Aku hanya menuruti keinginan Ayah. Lagi pula, aku tersentuh dengan perkataan ayah: Hidup menugguku, dan aku mendatanginya dengan membawa ilmu. Berhari-hari aku mencoba menguatkan mental untuk menghadapi tantangan dalam belajar. Belikan aku buku tentang menulis, buku tentang kesehatan, buku tentang keagamaan, kataku. Baiklah, Nak. Aku mencoba melawan penyakit, melawan kelemahan dengan menfokuskan diri mempelajari yang aku inginkan. Waktu itu aku bingung sendiri, kenapa aku hanya ingin mempelajari ketiga ilmu tersebut. Tak lama dalam kelupaan, aku teringat kembali tentang perkataan ayah: tentang segitiga kefilsafatan. Rupanya, alam bawah sadar memberitahuku lewat alam sadar tentang niatku untuk mendalami segitiga kefilsafatan lewat jalur perenungan diri dalam kesunyian. Memang dalam kelemahan, kini, jiwaku tak lagi merasa lemah. Aku kuatkuatkan belajar walau hanya mampu membaca setengah lembar. Selebihnya aku kuat-kuatkan lagi untuk banyak berpikir cara menyehatkan ragaku, menguatkan ragaku, melatih kemampuan menulisku walau hanya satu baris kalimat yang berisikan ide-ide pikiran. Sampai semua itu menjadi gaya hidupku. Bagaimana keadaamu? kata Linda waktu meneleponku.

Agak mendingan. Ya Tuhan, sudah hampir dua tahun kau masih saja sakit. Yang tabah ya? Tapi kau tabah. Tentu. Aku menyadari tentang nasihat darimu dan dari teman-teman lainnya. Tahu gak? Ada berita bahwa seorang anak terkena penyakit hati...aku lupa namanya, sampai ibunya mengkabarkan lewat media, berharap bantuan dari semua lapisan masyarakat. Biaya pengobatan pun terkumpul banyak. Tapi, takdir berkata lain, anak itu menginggal. Dan kasus serupa pun ada, dan meniggal pula. Walau aku sakit, aku tahu perkembangan berita. Oh ya, Anak teman ibuku terkena penyakit kanker otak, tapi kini telah meninggal karena bunuh diri. Konyol itu namanya. Yang jelas, dia meninggal karena takdir Tuhan. Tapi, itu karena manusianya sendiri. Alam kita pun mempengaruhinya. Maksudmu? Alam kita telah bermusuhan dengan manusia. Itu karena manusianya merusak lingkungan. Maksudku itu. Alam semesta rusak karena memang ulah manusia juga. Tapi, apa hubungannya kasus bunuh diri dengan kerusakan kelingkungan? Stres, hahahah. Ih dasar. Temanku ini sangat pantas bila menjadi pengarang. Kerjaannya selalu saja membicarakan orang. Padahal ia tak suka bila dirinya dibicarakan orang lain. Kisah Linda itulah cerita fiksi pertama yang aku buat, dengan judul Tukang Cerita.

Seperti yang aku kira: Kelemahan menghantui diriku. Aku tak kuat menulis. Aku belum bisa menulis. Butuh waktu lama cerita itu usai. Tapi aku pun harus berusaha melawan. Kemungkinan butuh waktu yang lama untuk menguatkan keadaan fisikku. Lama aku memikirkan bagaimana memulihkan keadaan. Lantas timbullah suatu pemikian bahwa semangatku akan melemah bila fisik tak selalu mendukung; aku menulis bukan hanya kemampuan merangkai kata tetapi juga butuh kekuaatan fisik, jiwa dan pikiran untuk memaksimalkan tulisan; aku menulis harus dengan bergerak cepat sebagaimana membaca. Dan timbullah suatu kesimpulan ide yaitu melatih kekuatan segitiga. Segitiga Penulisan, kataku memberikan nama pada kesimpulan ide itu. Kabar mengejutkan lagi bahwa dokter menganggap penyakit paru-paruku sudah sembuh?walau raga masih lemah. Aku sangat beruntung dengan pemberitaan ini. Kegiatan untuk membangun rencana besar semakin menemukan titik kemudahan. Sedikit demi sedikit aku lakukan segitiga penulisan itu. Sedikit demi sedikit tiap tulisan cerpen aku kirimkan ke banyak media masa. Berkali-kali, sampai dengan jumlah yang banyak. Tak bosan, tak lelah juga tak menyerah aku bergulat dalam dunia penulisan; karen itulah kegunaan segitiga penulisan. Sampai tulisan pertama muat di salah satu koran. Bulan berikutnya, aku tak menyangka, tulisan cerpen dimuat kembali. Lantas berbulan-bulan namaku semakin didengungkan orang. Karyaku banyak yang dimuat di koran-koran dan begitu dahsyat tiap karyaku yang dimuat. Aku mencoba mengirimkan ke penerbitan buku. Begitu mudah buku kumpulan cerpen dan juga novel itu terbit. Bahkan buku selain kedua itu pun terbit. Karena memang, namaku sudah menjadi cerpenis yang lumayan ternama, bersanding dengan cerpenis terdahulu. Tiap bulan aku mampu mengirimkan satu buku kumpulan cerpen atau novel. Kenapa tidak? Dengan segitiga penulisan itu, aku mampu menulis secara cepat, bermutu tinggi, dan menghasilkan banyak karya dalam sehari. Kini, namaku semakin diakui menjadi penulis. Dan sekarang, aku akan menghadiri seminar perdana?di Cirebon?sebagai pembicara. Kamu harus hadir untuk mengamati seminar itu. Kamu kan wartawan, San. Tentu. Lagi pula aku mendapat tugas untuk meliput kegiatanmu. Jujur, aku masih tak percaya dan tak mengerti tentang perubahanmu. Aku tahu

bagaimana dulu keadaanmu. Aku lebih unggul daripada kau dalam keaktifan menuntut ilmu. Sudah lah. Yang jelas sekarang aku berbeda seratus delapan puluh derajat! Karena apa? Ide! Waktu segera menjemputku. Aku hadirkan jiwa, raga dan pikiranku pada acara seminar perdana ini yang akan membahas novelku yang berjudul Segitiga?telah dianggap novel best seller. Waktu telah menyuruhku berbicara. Saatnya aku berbicara kepada para hadirin. Mereka terlihat antusias mendengarkan ucapanku. Dengan asik, aku menjelaskan latar belakang terbentuknya novelku. Aku terinspirasi dengan perkataan Ayahku, dibaluti dengan kisah kelemahan diriku, dan tak lupa perjuangan keras keluar dari kelemahan. ...Aku telah mendatangi hidup, Ayah. Aku datang dengan membawa ilmuku. Terimakasih. Tentu, untuk Ibu, walau tak pernah bertemu, aku berterimakasih padamu, kataku mencurahkan hati pada keramaian acara ini. Dan ini pembicaraan terakhirku tentang pembahasan novel Segitiga. Pembicaraan selesai. Gemuruh tepuk tangan menyambutku. Acara pun selesai. Setelah berbincang-bincang dengan para wartawan, aku mengkhususkan diri berbicara dengan temanku. Luar biasa! Tapi aku masih tak percaya, Gus, sembari tangan Sanusi menepuk-tepuk pundakku. Sudahlah. Dari segi penampilan kau nampak masih seperti dulu, telihat bodoh. Hahaha... Kenyataannya masih bodoh. Tahu sendiri kan? Aku hanya belajar tentang menulis. Tapi dari menulis, akhirnya menyebar ke yang lain. Oh, ya. Linda kok gak hadir di sini? Katanya jadi guru SD? Tukang cerita sekarang jadi guru, Aku tiba-tiba teringat Linda. Dia ada kegiatan pramuka. Hobi dia yang suka bicara, akhirnya dilampiaskan untuk kegiatan mengajar.

Aku ingin mengajaknya menikah. Masih tetap sendiri kan? Masih. Tapi kamu tak ada rasa kan? Apa? Tidak ada! Barangkali ada, ya, silahkan untuk kamu saja. Aku tak mau ada cinta segitiga. Lagipula, aku mengajak Linda menikah bukan karena cinta, tapi karena kecocokan. Dari dulu kau memang egois dalam hal cinta. Penginnya wanita dulu yang mencintai. Hahaha.... Lebih baik kau membuat lembaga pelatihan penulisan, Gus. Pasti. Tapi, itu masih rahasia dapurku sebelum ada hak cipta. ***

Cirebon, Oktober 2010

Das könnte Ihnen auch gefallen