Sie sind auf Seite 1von 19

DEFINISI Infark Cerebri adalah Pembentukan daerah nekrosis di otak yang disebabkan oleh iskemia yang berkepanjangan.

ETIOLOGI Infark cerebri dapat disebabkan oleh : 1. Trombosis otak Trombosis adalah obstruksi aliran darah yang terjadi karena proses oklusi pada satu pembuluh darah lokal atau lebih. Trombosis otak umumnya terjadi pada pembuluh darah yang mengalami artherosklerosis yang mula-mula akan menyempitkan lumen pembuluh darah (stenosis) yang kemudian dapat berkembang menjadi sumbatan (oklusi) yang menyebabkan terjadinya infark 2. Emboli otak Emboli adalah pembentukan material dari tempat lain dalam sistem vaskuler dan tersangkut dalam pembuluh darah tertentu sehingga memblokade aliran darah. Penyebab emboli otak pada umumnya berhubungan dengan kelainan kardiovaskuler antara lain : a. Fibrilasi atrial b. Penyakit katub jantung c. Infark miokard d. Penyakit jantung rematik e. Lepasnya plak aterosklerosis pembuluh darah besar intra / ekstra cranial 3. Pengurangan perfusi sistemik umum Pengurangan perfusi sistemik bisa mengakibatkan iskemik. Pengurangan perfusi ini dapat disebabkan karena : a. Kegagalan pompa jantung b. Proses perdarahan yang masif c. Hipovolemik

PATOFISIOLOGI Pada dasarnya terjadinya infark cerebri meliputi dua proses yang saling terkait, yaitu: 1. Perubahan vaskuler, hematologik atau kardiologik yang menyebabkan terjadinya kekurangan aliran darah ke bagian otak yang terserang. Faktor yang mempengaruhi aliran darah ke otak Keadaan pembuluh darah, menyempit akibat stenosis atau ateroma maupun tersumbat oleh trombus/embolus Keadaan darah, viskositas darah yang meningkat, hematokrit yang meningkat (polisitemia) menyebabkan aliran darah ke otak lebih lambat, anemia yang berat menyebabkan oksigenasi ke otak menurun Kelainan jantung, menyebabkan menurunnya curah jantung, dan lepasnya embolus dari jantung yang dapat menimbulkan iskemia otak Tekanan perfusi yang sangat menurun akibat sumbatan di proksimal pembuluh arteri cerebri, seperti sumbatan pada arteri karotis, atau vertebrobasiler Infark cerebri diawali dengan terjadinya penurunan Cerebral Blood Flow (CBF) yang menyebabkan suplai oksigen ke otak akan berkurang. Derajat dan durasi penurunan Cerebral Blood Flow (CBF) kemungkinan berhubungan dengan jejas yang terjadi. Jika suplai darah ke otak terganggu selama 30 detik, maka metabolisme di otak akan berubah. Setelah satu menit terganggu, fungsi neuron akan berhenti. Bila 5 menit terganggu dapat terjadi infark. Bagaimanapun, jika oksigenasi ke otak dapat diperbaiki dengan cepat, kerusakan kemungkinan bersifat reversibel. 2. Perubahan kimiawi yang terjadi pada sel otak akibat iskemia hingga terjadi nekrosis sel neuron, glia dan sel otak yang lain. Dalam keadaan iskemik, kadar kalium akan meningkat disertai penurunan ATP dan kreatin fosfat. Akan tetapi, perubahan masih bersifat reversibel apabila sirkulasi dapat kembali normal. Ion kalium yang meninggi di ruang ekstraseluler akan menyebabkan pembengkakan sel astroglia, sehingga mengganggu transport oksigen dan bahan makanan ke otak. Sel yang mengalami iskemia akan melepaskan glutamat dan aspartat yang menyebabkan influx natrium dan kalsium ke dalam sel.

Kalsium yang tinggi di intraseluler akan menghancurkan membran fosfolipid sehingga terjadi asam lemak bebas, antara lain asam arakhidonat. Asam arakhidonat merupakan prekursor dari prostasiklin dan tromboksan A2. Prostasiklin merupakan vasodilator yang kuat dan mencegah agregasi trombosit, sedangkan tromboksan A2 merangsang terjadinya agregasi trombosit. Pada keadaan normal, prostasiklin dan tromboksan A2 berada dalam keseimbangan sehingga agregasi trombosit tidak terjadi. Bila keseimbangan ini terganggu, akan terjadi agregasi trombosit. Prostaglandin, leukotrien, dan radikal bebas terakumulasi. Protein dan enzim intraseluler terdenaturasi, setelah itu sel membengkak (edema seluler). Akumulasi asam laktat pada jaringan otak berperan dalam perluasan kerusakan sel. Akumulasi asam laktat yang dapat menimbulkan neurotoksik terjadi apabila kadar glukosa darah otak tinggi sehingga terjadi peningkatan glikolisis dalam keadaan iskemia.

KLASIFIKASI The Oxford Community Stroke Project classification (OCSP) juga dikenal sebagai Banford atau Oxford klasifikasi mengelompokkan infark cerebri ke dalam 4 kelompok yaitu: 1. Infark Sirkulasi Anterior Total (TACI) mengacu pada gejala pasien yang secara klinis tampak menderita infark sirkulasi anterior total, tetapi belum mendapatkan pencitraan diagnostik apapun (misalnya CT Scan) untuk mengkonfirmasi diagnosis 2. Infark Sirkulasi Anterior Parsial (PACI) mengacu pada gejala pasien yang secara klinis tampak menderita infark sirkulasi anterior parsial, tetapi belum mendapatkan pencitraan diagnostik apapun (misalnya CT Scan) untuk mengkonfirmasi diagnosis 3. Infark Lacunar (LACI) Infark lacunar adalah jenis infark yang dihasilkan dari oklusi salah satu arteri penetrasi yang menyediakan darah ke struktur-struktur otak bagian dalam. Lacunes (bahasa latin untung ruang kosong) disebabkan oleh oklusi satu arteri penetrasi mendalam yang muncul langsung dari konstituen Lingkaran Willis, arteri cerebellar,

dan arteri basilar. Lesi yang sesuai terjadi pada inti yang mendalam dari otak (37% putamen, 14% thalamus, dan 10% caudatus) serta pons (16%) atau posterior limb dari kapsul internal yang (10%), jarang terjadi pada substansia putih, anterior limb kapsul internal dan cerebellum. 4. Infark Sirkulasi Posterior (POCI). mengacu pada gejala pasien yang secara klinis tampak menderita infark sirkulasi posterior, tetapi belum mendapatkan pencitraan diagnostik apapun (misalnya CT Scan) untuk mengkonfirmasi diagnosis

MANIFESTASI KLINIS 1. TACI (Infark Sirkulasi Anterior Total)


Hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik (kolateral sisi lesi) Hemianopia (kolateral sisi lesi) Gangguan fungsi luhur, misalnya afasia, gangguan visuospasial, hemineglect, agnosia, apraxia.

2. PACI (Infark Sirkulasi Anterior Parsial) Defisit motorik / sensorik + hemianopia Defisit motorik / sensorik + gejala fungsi luhur Gejala fungsi luhur + hemianopia Defisit motorik / sensorik murni Gangguan fungsi luhur saja

3. LACI ( Infark Cerebri Lacunar) Pure motor stroke/hemiparesis Lokasi: posterior limb kapsula interna, basis pontis, corona radiata Gejala: Hemiparesis/hemiplegia yang mempengaruhi wajah, lengan, tungkai Ataxic hemiparesis Lokasi: posterior limb kapsula interna, basis pontis, corona radiata, red nucleus, lentiform nucleus Gejala: merupakan kombinasi gejala cerebelar dan gejala motoris

Dysarthria/clumsy hand Lokasi: basis pontis, anterior limb kapsula interna, corona radiata, basal ganglia, thalamus, cerebral peduncle Gejala: gejala utama adalah disartria dan kelemahan tangan, yang terlihat jelas saat pasien menulis

Pure sensory stroke Lokasi: contralateral thalamus, capsula interna, corona radiata, midbrain Gejala: mati rasa, kesemutan dan sensasi tidak nyaman pada salah satu sisi tubuh

Mixed sensorimotor stroke Lokasi: thalamus and adjacent posterior internal capsule, lateral pons Gejala: kombinasi hemiparesis/hemiplegia dengan gangguan sensoris ipsilateral

4. POCI (Infark Sirkulasi Posterior) Disfungsi saraf otak, satu atau lebih sisi ipsilateral, dan gangguan motorik, sensorik kontralateral Gangguan motorik / sensorik bilateral Gangguan gerakan konjungat mata ( horisontal et vertical) Disfungsi serebral Isolated hemianopia atau buta kortikal

DIAGNOSIS CT scan kepala non kontras baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dan stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke non hemoragik memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan distribusi anatomi dari infark dan mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan lain yang gejalahnya mirip dengan stroke (hematoma, neoplasma, abses). Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus dipahami. Setelah 6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional yang menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat daerah hipodense yang luas di otak maka diperlukan pertimbangan ulang mengenai waktu terjadinya stroke. Tanda lain terjadinya stroke non hemoragik adalah adanya insular ribbon sign, hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan hilangnya perberdaan gray-white matter.

PERUBAHAN GAMBARAN CT SCAN KEPALA PADA STROKE ISKEMIK Infark Hiperakut Pada kasus stroke iskemik hiperakut (0-6 jam setelah onset), CT scan biasanya tidak sensitif mengidentifikasi infark serebri karena terlihat normal pada >50% pasien; tetapi cukup sensitif untuk mengidentifikasi perdarahan intrakranial akut dan/atau lesi lain yang merupakan kriteria eksklusi terapi trombolitik.

Gambaran CT scan yang khas untuk iskemia serebri hiperakut adalah sebagai berikut: Gambaran pendangkalan sulcus serebri (sulcal effacement) Gambaran ini tampak akibat adanya edema difus di hemisfer serebri. Infark serebral akut menyebabkan hipoperfusi dan edema sitotoksik. Berkurangnya kadar oksigen dan glukosa seluler dengan cepat menyebabkan kegagalan pompa natrium-kalium, yang menyebabkan berpindahnya cairan dari ekstraseluler ke intraseluler dan edema sitotoksik yang lebih lanjut. Edema serebri dapat dideteksi dalam 1-2 jam setelah onset gejala. Pada CT scan terdeteksi sebagai pembengkakan girus & pendangkalan sulcus serebri.

Menghilangnya batas substansia alba dan substansia grisea serebri Substansia grisea merupakan area yang lebih mudah mengalami iskemia dibandingkan substansia alba, karena metabolismenya lebih aktif. Karena itu, menghilangnya diferensiasi substansia alba dan substansia grisea merupakan gambaran CT scan yang paling awal didapatkan. Gambaran ini disebabkan oleh influks edema pada substansia grisea. Gambaran ini bisa didapatkan dalam 6 jam setelah gejala muncul pada 82% pasien dengan iskemia area arteri serebri media.

Tanda insular ribbon Gambaran hipodensitas insula serebri cepat tampak pada oklusi arteri serebri media karena posisinya pada daerah perbatasan yang jauh dari suplai kolateral arteri serebri anterior maupun posterior

Hipodensitas nukleus lentiformis Hipodensitas nukleus lentiformis akibat edema sitotoksik dapat terlihat dalam 2 jam setelah onset. Nukleus lentiformis cenderung mudah mengalami kerusakan ireversibel yang cepat pada oklusi proksimal arteri serebri media karena cabang lentikulostriata arteri serebri media yang memvaskularisasi nukleus lentiformis merupakan end vessel.

Tanda hiperdensitas arteri serebri media Gambaran ekstraparenkimal dapat ditemukan paling cepat 90 menit setelah gejala timbul, yaitu gambaran hiperdensitas pada pembuluh darah besar, yang biasanya terlihat pada cabang proksimal (segmen M1) arteri serebri media, walaupun sebenarnya bisa didapatkan pada semua arteri. Peningkatan densitas ini diduga akibat melambatnya aliran pembuluh darah lokal karena adanya trombus intravaskular atau menggambarkan secara langsung trombus yang menyumbat itu sendiri. Gambaran ini disebut sebagai tanda hiperdensitas arteri serebri media (Gambar 4).

Tanda Sylvian dot menggambarkan adanya oklusi distal arteri serebri media (cabang M2 atau M3) yang tampak sebagai titik hiperdens pada fisura Sylvii (Gambar 5).

Infark Akut Pada periode akut (6-24 jam), Hilangnya batas substansia alba dan substansia grisea serebri, pendangkalan sulkus, hipodensitas ganglia basalis, dan hipodensitas insula serebri makin jelas. Distribusi pembuluh darah yang tersumbat makin jelas pada fase ini Infark Subakut dan Kronis Selama subakut (1-7 hari), edema meluas & didapatkan efek massa yang menyebabkan pergeseran jaringan infark ke lateral dan vertikal. Hal ini terjadi pada infark yang melibatkan pembuluh darah besar. Infark kronis ditandai dengan hipodensitas dan berkurangnya efek massa. Densitas infark = cairan serebrospinal (Gambar 6).

PENATALAKSANAAN Target managemen pada infark akut adalah untuk menstabilkan pasien dan menyelesaikan evaluasi dan pemeriksaan termasuk diantaranya pencitraan dan pemeriksaan laboratorium dalam jangka waktu 60 menit setelah pasien tiba. 1. Penatalaksanaan Umum a. Airway and breathing Pasien dengan GCS 8 atau memiliki jalan napas yang tidak adekuat atau paten memerlukan intubasi. Jika terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK) maka pemberian induksi dilakukan untuk mencegah efek samping dari intubasi. Pada kasus dimana kemungkinan terjadinya herniasi otak besar maka target pCO2 arteri adalah 32-36 mmHg. Dapat pula diberikan manitol intravena untuk mengurangi edema serebri. Pasien harus mendapatkan bantuan oksigen jika pulse oxymetri atau pemeriksaan analisa gas darah menunjukkan terjadinya hipoksia. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan hipoksia pada stroke non hemoragik adalah adanya obstruksi jalan napas parsial, hipoventilasi, atelektasis ataupun GERD. b. Circulation Pasien dengan infark akut membutuhkan terapi intravena dan pengawasan jantung. Pasien ini berisiko tinggi mengalami aritmia jantung dan peningkatan biomarker jantung. Sebaliknya, atrial fibrilasi juga dapat menyebabkan terjadinya stroke. c. Pengontrolan gula darah Beberapa data menunjukkan bahwa hiperglikemia berat terkait dengan prognosis yang kurang baik dan menghambat reperfusi pada trombolisis. Pasien dengan normoglokemik tidak boleh diberikan cairan intravena yang mengandung glukosa dalam jumlah besar karena dapat menyebabkan hiperglikemia dan memicu iskemik serebral eksaserbasi. Pengontrolan gula darah harus dilakukan secara ketat dengan pemberian insulin. Target gula darah yang harus dicapai adalah 90-140 mg/dl. Pengawasan terhadap gula darah ini harus dilanjutkan hingga pasien pulang untuk mengantisipasi terjadinya hipoglikemi akibat pemberian insulin.

d. Posisi kepala pasien Penelitian telah membuktikan bahwa tekanan perfusi serebral lebih maksimal jika pasien dalam pasien supinasi. Sayangnya, berbaring telentang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial padahal hal tersebut tidak dianjurkan pada kasus stroke. Oleh karena itu, pasien stroke diposisikan telentang dengan kepala ditinggikan sekitar 30-45 derajat. e. Pengontrolan tekanan darah Pada keadaan dimana aliran darah kurang seperti pada stroke atau peningkatan TIK, pembuluh darah otak tidak memiliki kemampuan vasoregulator sehingga hanya bergantung pada maen arterial pressure (MAP) dan cardiac output (CO) untuk mempertahankan aliran darah otak. Oleh karena itu, usaha agresif untuk menurunkan tekanan darah dapat berakibat turunnya tekanan perfusi yang nantinya akan semakin memperberat iskemik. Di sisi lain didapatkan bahwa pemberian terapi anti hipertensi diperlukan jika pasien memiliki tekanan darah yang ekstrim (sistole lebih dari 220 mmHg dan diastole lebih dari 120 mmHg) atau pasien direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik. Adapun langkah-langkah pengontrolan tekanan darah pada pasien stroke non hemoragik adalah sebagai berikut. Jika pasien tidak direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik, tekanan darah sistolik kurang dari 220 mmHg, dan tekanan darah diastolik kurang dari 120 mmHg tanpa adanya gangguan organ end-diastolic maka tekanan darah harus diawasi (tanpa adanya intervensi) dan gejala stroke serta komplikasinya harus ditangani. Untuk pasien dengan TD sistolik di atas 220 mmHg atau diastolik antara 120140 mmHg maka pasien dapat diberikan labetolol (10-20 mmHg IV selama 1-2 menit jika tidak ada kontraindikasi. Dosis dapat ditingkatkan atau diulang setiap 10 menit hingga mencapai dosis maksiamal 300 mg. Sebagai alternatif dapat diberikan nicardipine (5 mg/jam IV infus awal) yang dititrasi hingga mencapai efek yang diinginkan dengan menambahkan 2,5 mg/jam setiap 5 menit hingga mencapai dosis maksimal 15 mg/jam. Pilihan terakhir dapat diberikan nitroprusside 0,5 mcg/kgBB/menit/IV via syringe pump. Target pencapaian terapi ini adalah nilai tekanan darah berkurang 10-15 persen.

Pada pasien yang akan mendapatkan terapi trombolitik, TD sistolik lebih 185 mmHg, dan diastolik lebih dari 110 mmHg maka dibutuhkan antihipertensi. Pengawasan dan pengontrolan tekanan darah selama dan setelah pemberian trombolitik agar tidak terjadi komplikasi perdarahan. Preparat antihipertensi yang dapat diberikan adalah labetolol (10-20 mmHg/IV selama 1-2 menit dapat diulang satu kali). Alternatif obat yang dapat digunakan adalah nicardipine infuse 5 mg/jam yang dititrasi hingga dosis maksimal 15 mg/jam. Pengawasan terhadap tekanan darah adalah penting. Tekanan darah harus diperiksa setiap 15 menit selama 2 jam pertama, setiap 30 menit selama 6 jam berikutnya, dan setiap jam selama 16 jam terakhir. Target terapi adalah tekanan darah berkurang 10-15 persen dari nilai awal. Untuk mengontrol tekanan darah selama opname maka agen berikut dapat diberikan 1. TD sistolik 180-230 mmHg dan diastolik 105-120 mmHg maka dapat diberikan labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit yang dapat diulang selama 10-20 menit hingga maksimal 300 mg atau jika diberikan lewat infuse hingga 2-8 mg/menit. 2. TD sistolik lebih dari 230 mmHg atau diastolik 121-140 mmHg dapat diberikan labetolol dengan dosis diatas atau nicardipine infuse 5 mg/jam hingga dosis maksimal 15mg/jam. 3. Penggunaan nifedipin sublingual untuk mengurangi TD dihindari karena dapat menyebabkan hipotensi ekstrim. f. Pengontrolan demam Antipiretik diindikasikan pada pasien stroke yang mengalami demam karena hipertermia (utamanya pada 12-24 jam setelah onset) dapat menyebabkan trauma neuronal iskemik. Sebuah penelitian eksprimen menunjukkan bahwa hipotermia otak ringan dapat berfungsi sebagai neuroprotektor. g. Pengontrolan edema serebri Edema serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan stroke non hemoragik dan mencapai puncak keparahan 72-96 jam setelah onset stroke. Hiperventilasi dan pemberian manitol rutin digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan cepat.

h. Pengontrolan kejang Kejang terjadi pada 2-23 persen pasien dalam 24 jam pertama setelah onset. Meskipun profilaksis kejang tidak diindikasikan, pencegahan terhadap sekuel kejang dengan menggunakan preparat antiepileptik tetap direkomendasikan.

2. Penatalaksanaan Khusus a. Terapi Trombolitik Tissue plaminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan secara intravena akan mengubah plasminogen menjadi plasmin yaitu enzim proteolitik yang mampu menghidrolisa fibrin, fibrinogen dan protein pembekuan lainnya. Pada penelitian NINDS (National Institute of Neurological Disorders and Stroke) di Amerika Serikat, rt-PA diberikan dalam waktu tidak lebih dari 3 jam setelah onset stroke, dalam dosis 0,9 mg/kg (maksimal 90 mg) dan 10% dari dosis tersebut diberikan secara bolus IV sedang sisanya diberikan dalam tempo 1 jam. Tiga bulan setelah pemberian rt-PA didapati pasien tidak mengalami cacat atau hanya minimal. Efek samping dari rt-PA ini adalah perdarahan intraserebral, yang diperkirakan sekitar 6%. Penggunaan rt-PA di Amerika Serikat telah mendapat pengakuan FDA pada tahun 1996.(15) Tetapi pada penelitian random dari European Coorperative Acute Stroke Study (ECASS) pada 620 pasien dengan dosis t-PA 1,1 mg/kg (maksimal 100 mg) diberikan secara IV dalam waktu tidak lebih dari 6 jam setelah onset. Memperlihatkan adanya perbaikan fungsi neurologik tapi secara keseluruhan hasil dari penelitian ini dinyatakan kurang menguntungkan. Tetapi pada penelitian kedua (ECASS II) pada 800 pasien menggunakan dosis 0,9 mg/kg diberikan dalam waktu tidak lebih dari 6 jam sesudah onset. Hasilnya lebih sedikit pasien yang meninggal atau cacat dengan pemberian rt-PA dan perdarahan intraserebral dijumpai sebesar 8,8%. Tetapi rt-PA belum mendapat ijin untuk digunakan di Eropa.(15) Kontroversi mengenai manfaat rt-PA masih berlanjut, JM Mardlaw dkk mengatakan bahwa terapi trombolisis perlu penelitian random dalam skala besar sebab resikonya sangat besar sedang manfaatnya kurang jelas. Lagi pula jendela waktu untuk terapi tersebut masih kurang jelas dan secara objektif belum

terbukti rt-PA lebih aman dari streptokinase. Sedang penelitian dari The Multicenter Acute Stroke Trial-Europe Study Group (MAST-E) dengan menggunakan streptokinase 1,5 juta unit dalam waktu satu jam. Jendela waktu 6 jam setelah onset, ternyata meningkatkan mortalitas. Sehingga penggunaan streptokinase untuk stroke iskemik akut tidak dianjurkan.(15)

b. Antikoagulan Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang mengancam. Suatu fakta yang jelas adalah antikoagulan tidak banyak artinya bilamana stroke telah terjadi, baik apakah stroke itu berupa infark lakuner atau infark massif dengan hemiplegia. Keadaan yang memerlukan penggunaan heparin adalah trombosis arteri basilaris, trombosis arteri karotisdan infark serebral akibat kardioemboli. Pada keadaan yang terakhir ini perlu diwaspadai terjadinya perdarahan intraserebral karena pemberian heparin tersebut.(15) 1) Warfarin Segera diabsorpsi dari gastrointestinal. Terkait dengan protein plasma. Waktu paro plasma: 44 jam. Dimetabolisir di hati, ekskresi: lewat urin. Dosis: 40 mg (loading dose), diikuti setelah 48 jam dengan 3-10 mg/hari, tergantung PT. Reaksi yang merugikan: hemoragi, terutama ren dan gastrointestinal. 2) Heparin Merupakan acidic mucopolysaccharide, sangat terionisir. Normal terdapat pada mast cells. Cepat bereaksi dengan protein plasma yang terlibat dalam proses pembekuan darah. Heparin mempunyai efek vasodilatasi ringan. Heparin melepas lipoprotein lipase. Dimetabolisir di hati, ekskresi lewat urin. Wakto paro plasma: 50-150 menit. Diberikan tiap 4-6 jam atau infus kontinu. Dosis biasa: 500 mg (50.000 unit) per hari. Bolus initial 50 mg diikuti infus 250 mg dalam 1 liter garam fisiologis atau glukose. Dosis disesuaikan dengan Whole Blood Clotting Time. Nilai normal: 5-7 menit, dan level terapetik heparin: memanjang sampai 15 menit. Reaksi yang merugikan: hemoragi, alopesia, osteoporosis dan diare. Kontraindikasi: sesuai dengan antikoagulan oral. Apabila pemberian obat dihentikan segala

sesuatunya dapat kembali normal. Akan tetapi kemungkinan perlu diberi protamine sulphute dengan intravenous lambat untuk menetralisir. Dalam setengah jam pertama, 1 mg protamin diperlukan untuk tiap 1 mg heparin (100 unit). c. Hemoreologi Pada stroke iskemik terjadi perubahan hemoreologi yaitu peningkatan hematokrit, berkurangnya fleksibilitas eritrosit, aktivitas trombosit peningkatan kadar fibrinogen dan aggregasi abnormal eritrosit, keadaan ini menimbulkan gangguan pada aliran darah. Pentoxyfilline merupakan obat yang mempengaruhi hemoreologi yaitu memperbaiki mikrosirkulasi dan oksigenasi jaringan dengan cara: meningkatkan fleksibilitas eritrosit, menghambat aggregasi trombosit dan menurunkan kadar fibrinogen plasma. Dengan demikian eritrosit akan mengurangi viskositas darah. Pentoxyfilline diberikan dalam dosis 16/kg/hari, maksimum 1200 mg/hari dalam jendela waktu 12 jam sesudah onset. d. Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit) 1) Aspirin Obat ini menghambat sklooksigenase, dengan cara menurunkan sintesis atau mengurangi lepasnya senyawa yang mendorong adhesi seperti thromboxane A2. Aspirin merupakan obat pilihan untuk pencegahan stroke. Dosis yang dipakai bermacam-macam, mulai dari 50 mg/hari, 80 mg/hari samapi 1.300 mg/hari. Obat ini sering dikombinasikan dengan dipiridamol. Suatu penelitian di Eropa (ESPE) memakai dosis aspirin 975 mg/hari dikombinasi dengan dipiridamol 225 mg/hari dengan hasil yang efikasius. Dosis lain yang diakui efektif ialah: 625 mg 2 kali sehari. Aspirin harus diminum terus, kecuali bila terjadi reaksi yang merugikan. Konsentrasi puncak tercapai 2 jam sesudah diminum. Cepat diabsorpsi, konsentrasi di otak rendah. Hidrolise ke asam salisilat terjadi cepat, tetapi tetap aktif. Ikatan protein plasma: 50-80 persen. Waktu paro (half time) plasma: 4 jam. Metabolisme secara konjugasi (dengan glucuronic acid dan glycine). Ekskresi lewat urine, tergantung pH. Sekitar 85 persen dari obat yang diberikan dibuang lewat urin pada suasana alkalis. Reaksi yang merugikan:

nyeri epigastrik, muntah, perdarahan, hipoprotrombinemia dan diduga: sindrom Reye. Alasan mereka yang tidak menggunakan dosis rendah aspirin antara lain adalah kemungkinan terjadi resistensi aspirin pada dosis rendah. Hal ini memungkinkan platelet untuk menghasilkan 12-hydroxy-eicosatetraenoic acid, hasil samping kreasi asam arakhidonat intraplatelet (lipid oksigenase). Sintesis senyawa ini tidak dipengaruhi oleh dosis rendah aspirin, walaupun penghambatan pada tromboksan A2 terjadi dengan dosis rendah aspirin. Aspirin mengurangi agregasi platelet dosis aspirin 300-600 mg (belakangan ada yang memakai 150 mg) mampu secara permanen merusak pembentukan agregasi platelet. Sayang ada yang mendapatkan bukti bahwa aspirin tidak efektif untuk wanita. 2) Tiklopidin (ticlopidine) dan klopidogrel (clopidogrel) Pasien yang tidak tahan aspirin atau gagal dengan terapi aspirin, dapat menggunakan tiklopidin atau clopidogrel. Obat ini bereaksi dengan mencegah aktivasi platelet, agregasi, dan melepaskan granul platelet, mengganggu fungsi membran platelet dengan penghambatan ikatan fibrinogen-platelet yang diperantarai oleh ADP dan antraksi platelet-platelet. Menurut suatu studi, angka fatalitas dan nonfatalitas stroke dalam 3 tahun dan dalam 10 persen untuk grup tiklopidin dan 13 persen untuk grup aspirin. Resiko relatif berkurang 21 persen dengan penggunaan tiklopidin. Setyaningsih at al, (1988) telah melakukan studi meta-analisis terhadap terapi tiklopidin untuk prevensi sekunder stroke iskemik. Berdasarkan sejumlah 7 studi terapi tiklopidin, disimpulkan bahwa efikasi tiklopidin lebih baik daripada plasebo, aspirin maupun indofen dalam mencegah serangan ulang stroke iskemik. Efek samping tiklopidin adalah diare (12,5 persen) dan netropenia (2,4 persen). Bila obat dihentikan akan reversibel. Pantau jumlah sel darah putih tiap 15 hari selama 3 bulan. Komplikas yang lebih serius, teyapi jarang, adalah pur-pura trombositopenia trombotik dan anemia aplastik.

e. Terapi Neuroprotektif Terapi neuroprotektif diharapkan meningkatkan ketahanan neuron yang iskemik dan sel-sel glia di sekitar inti iskemik dengan memperbaiki fungsi sel yang terganggu akibat oklusi dan reperfusi. Berdasarkan pada kaskade iskemik dan jendela waktu yang potensial untuk reversibilitas daerah penumbra maka berbagai terapi neuroprotektif telah dievaluasi pada binatang percobaan maupun pada manusia.

f. Pembedahan Indikasi pembedahan pada completed stroke sangat dibatasi. Jika kondisi pasien semakin buruk akibat penekanan batang otak yang diikuti infark serebral maka pemindahan dari jaringan yang mengalami infark harus dilakukan. 1) Karotis Endarterektomi Prosedur ini mencakup pemindahan trombus dari arteri karotis interna yang mengalami stenosis. Pada pasien yang mengalami stroke di daerah sirkulasi anterior atau yang mengalami stenosis arteri karotis interna yang sedang hingga berat maka kombinasi Carotid endarterectomy is a surgical procedure that cleans out plaque and opens up the narrowed carotid arteries in the neck.endarterektomi dan aspirin lebih baik daripada penggunaan aspirin saja untuk mencegah stroke. Endarterektomi tidak dapat digunakan untuk stroke di daerah vertebrobasiler atau oklusi karotis lengkap. Angka mortalitas akibat prosedur karotis endarterektomi berkisar 1-5 persen. 2) Angioplasti dan Sten Intraluminal Pemasangan angioplasti transluminal pada arteri karotis dan vertebral serta pemasangan sten metal tubuler untuk menjaga patensi lumen pada stenosis arteri serebri masih dalam penelitian. Suatu penelitian menyebutkan bahwa angioplasti lebih aman dilaksanakan dibandingkan endarterektomi namun juga memiliki resiko untuk terjadi restenosis lebih besar.

DAFTAR PUSTAKA 1. Aliah A, Kuswara F F, Limoa A, Wuysang G. Gambaran umum tentang gangguan peredaran darah otak dalam Kapita selekta neurology cetakan keenam editor Harsono. Gadjah Mada university press, Yogyakarta. 2007. Hal: 81-115. 2. Sutrisno, Alfred. Stroke? You Must Know Before you Get It!. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2007. Hal: 1-13 3. Feigin, Valery. Stroke Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan Pemulihan Stroke. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. 2006. 4. Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2010 May 1st available from: http://emedicine.medscape.com/article/793904-overview 5. Mardjono, Mahar. Mekanisme gangguan vaskuler susunan saraf dalam Neurologi klinis dasar edisi Kesebelas. Dian Rakyat. 2006. Hal: 270-93. 6. Giraldo, Elias. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2010 May 1st available from: http://www.merck.com/mmhe/sec06/ch086/ch086c.html 7. D. Adams. Victors. Cerebrovasculer diseases in Principles of Neurology 8th Edition. McGraw-Hill Proffesional. 2005. Hal: 660-67 8. Chung, Chin-Sang. Neurovascular Disorder in Textbook of Clinical Neurology editor Christopher G. Goetz. W.B Saunders Company: 1999. Hal: 10-3 9. Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2010 May 1st available from: http://emedicine.medscape.com/article/793904-diagnosis 10. Li, Fuhai, dkk. Neuroimaging for Acute Ischemic Stroke. [Online]. Cited 2010 May 1st available from: http://www.emedmag.com/html/pre/fea/features/039010009.asp 11. Price, A. Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal: 966-71. 12. Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2010 May 1st available from: http://emedicine.medscape.com/article/793904-treatment 13. Ngoerah, I Gst. Ng. Gd. Penyakit peredaran darah otak dalam Dasar-dasar ilmu penyakit saraf. Penerbit Airlangga University Press. Hal: 245-58. 14. Hughes, Mark. Miller, Thomas. Nervous System Third Edition. University of Edinburgh, Edinburgh, UK. 15. Majalah Kedokteran Atma Jaya Vol. 1 No. 2 September 2002. Hal: 158-67.

16. Wibowo, Samekto. Gofir, Abdul. Farmakoterapi stroke prevensi primer dan prevensi sekunder dalam Farmakoterapi dalam Neurologi. Penerbit Salemba Medika. Hal: 53-73. 17. Josephson, S. Andrew. Ischemic Stroke. San Fransisco. CA. [Online]. Cited 2010 May 1st available from: http://knol.google.com/k/s-andrew-josephson/ischemicstroke/BF8MGEYK/bAWc9g# 18. Simon, Harvey. Stroke Surgery. Harvard Medical School. [Online]. Cited 2010 May 1st available from: http://www.umm.edu/patiented/articles/what_drugs_used_ treat_stroke_patients_prevent_recurrence_000045_8.htm 19. Barnett, Henry dkk. Drugs and Surgery in the Prevention of Ischemic Stroke. [Online]. Cited 2010 May 1st available from: http://content.nejm.org/cgi/content/ full/332/4/238 20. Aziz, Faisal M.D. Rethinking The Six Weeks Waiting Approach To Carotid Intervention After Ischemic Stroke . The Internet Journal of Surgery. 2007 Volume 11 Number 1. Department of General Surgery. New York Medical College. [Online]. Cited 2010 May 1st available from: http://www.ispub.com/journal/the _internet_journal_of_surgery/volume_11_number_1/article/rethinking_the_six_wee ks_waiting_approach_to_carotid_intervention_after_ischemic_stroke.html 21. Hassmann KA. Stroke Ischemic. [Online]. Cited 2010 May 1st available from: http://emedicine.medscape.com/article/793904-followup 22. Giraldo, Elias. Stroke Ischemic. [Online]. Cited 2010 May 1st available from: http://www.merck.com/mmpe/sec16/ch211/ch211b.html 23. Goldstein LB. Stroke Ischemic. [Online]. Cited 2010 May 1st available from: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000726.htm

Das könnte Ihnen auch gefallen