Sie sind auf Seite 1von 18

Assalamualaikum wr.wb.

Untuk mempermudah pehamanan mahasiswa terhadap materi Kekerasan dalam Rumah Tangga (Domestic Violence) dan peran dokter dalam menangani kasu-kasus yang ada, silakan (wajib) anda membaca tulisan berikut mengenai Makalah Kekerasan dalam Rumah Tangga (Oleh: dr. Oktavinda Savitry, SpF) dan Pusat Krisis Terpadu RSCM, sebagai Mata Rantai Penanganan Korban Kekerasan terhadap Perempuan di DKI Jakarta (Oleh: Prof. Dr. dr. Budi Sampurna, SpF., SH.) serta Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan di Tingkat Pelayanan Dasar (Depkes, Dirjen Binkesmas) Wassalamualaikum.

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)1


dr. Oktavinda Savitry, SpF.2
Dengan disahkannya UU RI no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalm Rumah Tangga (UU PKDRT), maka domestic violence, yang diterjemahkan sebagai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukan lagi menjadi urusan dalam satu keluarga semata. Batasan KDRT merupakan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah ratangga. Lingkup rumah tangga, meliputi : a. Suami, isteri dan anak. Termasuk anak angkat dan anak tiri. b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud huruf a karena hubungan darah, perkawinan (mertua, menantu, ipar atau besan), persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga dan atau c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Sumber: Idries, AM., Tjiptomartono, AL., 2008, Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan, CV. Sagung Seto, Jakarta. Bab-16, halaman 216-218. 2 Departemen Kedokteran Forensik dan Medikolegal, FK UI/RS Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta.

Kekerasan Fisik Adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Setiap orang yang melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga diancam dengan pidan 5-15 tahun penjara atau denda 15-45 juta rupiah. Kekerasan fisik yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan/poencahariann meruapakan delik aduan. Kekerasan psikis Adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan seksual Meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut serta pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasanaseksual diancam dengan hukum pidanma 12-20 tahun atau denda 36-500 juta rupiah. Namun demikian, tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.

Penelantaran Adalah tidak menjalankan kewajiban untuk memberikan penghidupan, perawatan atau pemeliharaan, termasuk membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam maupun di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (tergantung secara ekonomi). Karakteristik KDRT Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya, membuat laporan tertulis dan VetR atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang mempunyai kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti. Pelayanan kesehatan tersebut harus bisa didapatkan pada sarana kesehatan milik pemerintah maupun swasta. Tenaga kesehatan memang seringkali menjadi orang pertama yang ditemui oleh korban KDRT, karena itu kita selaku dokter harus mampu menangani kasus semacam ini, megingat sebagian akan menceritakan peristiwa yang sebenarnya yang mereka alami, sebagian tidak,

Korban KDRT umumnya datang dengan keluhan yang bisa dikategorikan ringan, misalnya memar atau luka lecet. Ada pula yang datang dengan keluhan sakit kepala, mual, sakit perut atau diare serta keluhan nonspesifik lainnya. Pada kasus-kasus tersebut, umumnya ketahanan mental mereka yang runtuh, namun tidak tahu harus ke mana sehingga saran kesehatan lah yang mereka tuju. Ciri lain adalah mereka datang terlambat, dalam arti kejadian sudah satu atau dua hari sebelum mereka datang ke sarana kesehatan. Korban dengan cedera kepala ringan atau sedang, baru datang berobat satu atau dua hari kemudian dengan alasan baru mampu (secara fisik) untuk keluar rumah saat itu. Korban dengan luka yang cukup berat dan membutuhkan tindakan medis, jarang datang sendiri. Biasanya mereka datang didampingi oleh pelaku. Setiap pernyataan yang kita (dokter) ajukan dijawab oleh si pengantar dan umumnya jika dianalisis terdapat ketidaksesuaian antara cerita dengan luka yang ditemukan. Satu contoh misalnya, pasien seorang anak umur 6 tahun datang dengan memar dan bengkak yang cukup besar pada pada lengan atas sisi dalam, dekat ketiak yang kita curigai adanya fraktur. Pada saat dianamnesis, orang tua yang menjawab bahwa pasien jatuh. Pada saat dieksplorasi lebih lanjut mengenai proses jatuhnya, orang tua (pelaku) yang sibuk menjelaskan. Saat dokter meminta sang anak untuk bercerita, orangtua tidak memberi kesempatan sama sekali, padahal kita tahu bahwa anak umur 6 tahun sudah dapat bercerita mengenai peristiwa yang dialaminya. Umumnya dapat kita simpulkan bahwa cerita tersebut tidak sesuai dengan perlukaan yang ada. Pelaku juga umumnya tidak memberi kesempatan pada pemeriksa untuk berdua saja dengan korban. Ciri lain dari kasus KDRT adalah luka yang berbeda umurnya. Karena perilaku abusive adalah perilaku yang berulang, maka pada korban dapat ditemukan luka baru dan luka lama secara bersama-sama pada saat pemeriksaan. Pemeriksaan Kedokteran Forensik Dokter dapat dimintakan bantuan untuk melakukan pemeriksaan forensik terhadap korban kekerasan fisik dan seksual. Sebagai seorang dokter, tentu kita selalu berorientasi pada kesehatan dan keselamatan pasien. Pada kasus yang berhubungan dengan tindak kriminal, kita juga dituntut untuk mampu menjadi penilai/assesor. Dalam menghadapi kasus dengan kecurigaan KDRT, yang pertama dapat dilakukan adalah mengupayakan anamnesis lebih mendalam terhadap korban tanpa didampingi oleh pihak penganta. Apabila dokter dan korban berbeda jenis kelamin, sebaiknya didampingi oleh perawat. Yakinkan pasien bahwa ia dapat bercerita dengan aman tanpa didengar oleh pelaku (pengantar). Setelah itu, lakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh dan seksama untuk menilai luka-luka yang baru serta mencari kemungkinan luka-luka lama yang dapat

menunjukkan adanua kekerasan berulang. Apabila diperlukan, lakukanlah pemeriksaan penunjang untuk memastikan kecurigaan seperti pemeriksaan bone-scan pada kasus kekerasan terhadap anak. Jangan lupa untuk membuat catatan rekam medis yang lengkap dan mudah dibaca. Pada pemeriksaan terhadap kekerasan fisik, dalam rangka pembuatan kesimpulan VetR, perlu memperhatikan klasifikasi luka yang mengacu pada pasal 44 UU PKDRT, yaitu : a. Tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari. b. Mengakibatkan jatuh sakit atau luka berat c. Mengakibatkan mati

Pada pemeriksaan terhadap korban kekerasan seksual, dalam rangka pembuatan kesimpulan VetR, selain mencari bukti-bukti adanya hubungan seksual dan tanda-tanda kekerasan, harus pula dinilai apakah korban : a. Mendapatkan luka yang tidak memberikan harapan akan sembuh sama sekali b. Mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya 4 minggu terusmenerus atau satu tahun tidak berturut-turut c. Gugur atau matinya janin dalam kandungan d. Akibat tindakan tersebut mengalami tidak berfungsinya alat reproduksi

Wajib Lapor Mereka yang datang dengan laporan bahwa mereka mengalami KDRT belum tentu bersedia untuk melaporkan tindak pidana tresebut kepada yang berwajib. Alasan yang sering dikemukakan adalah wilayah domestik, cinta, takut kehilangan sosok kepala keluarga, anak dsb. UU PKDRT tidak menyebutkan secara jelas bahwa tenaga kesehatan yang menemukan kasus harus melaporkannya. Ia hanya menyatakan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya KDRT wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan pada korban, memberikan pertolongan darurat serta membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. UU no. 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, memang sudah ditetapkan. Ia memberikan perlindungan pada saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan. Di dalamnya terdapat pasal-pasal yang mengatur bahwa saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan kesaksian yang akan, sedang dan telah diberikannya. Proses

perlindungan dilakukan melalau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang saat ini sedang dalam proses pembentukan. -------*****------

SEBAGAI MATA RANTAI PENANGANAN KORBAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DI DKI JAKARTA Oleh : Budi Sampurna Definisi kekerasan ternyata belum disepakati oleh semua pihak.

PUSAT KRISIS TERPADU RSCM

Pengertian kekerasan berbeda dari satu individu ke individu lain, dari suatu

negara ke negara lain dan dari budaya yang satu ke budaya yang lain. Kekerasan dalam bentuk verbal dan emosional tidak dianggap sebagai kekerasan pada beberapa budaya atau negara. Demikian pula kekerasan fisik pada tingkat bukan kekerasan pada budaya dan negara tertentu (UN Publ, 1992). Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap
c

tertentu, terutama terhadap hubungan pelaku korban tertentu, juga dianggap Perempuan

memberikan pengertian tentang kekerasan terhadap perempuan sebagai setiap

tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau

dalam kehidupan pribadi. Sementara pasal 2 Deklarasi ini membagi kekerasan terhadap perempuan, meskipun tidak membatasinya, ke dalam 3 kelompok, kekerasan yang dilakukan atau dibenarkan oleh negara.d yaitu kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam masyarakat luas, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita merumuskan tindak pidana

kekerasan dengan pengertian seperti tersebut di atas ke dalam berbagai pasal,

seperti pasal-pasal 89-90 (kekerasan dan luka berat), 351356 (penganiayaan), kemerdekaan), 310-321 (penistaan), dll. Tetapi pasal-pasal di atas pada umumnya perempuan, kecuali pada kejahatan susila.e tidak membedakan antara korban laki-laki dengan

285301 (kejahatan susila), 338340 (pembunuhan), 324-337 (penghilangan korban

Hukum dan budaya Inggris dan Amerika Utara kuno memberi kewenangan kepada suami / pasangan untuk mengajar atau mendidik isterinya dengan kekerasan fisik asalkan tidak meninggalkan cedera yang menetap. Beberapa budaya mengenal istilah rule of thumb, yaitu tongkat pemukul isteri tersebut tidak lebih besar dari ibu jari . d Pasal 2 Deklarasi Penghapusan kekerasan terhadap perempuan : a. tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan kanak-kanak dalam rumah tangga, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan, pengrusakan alat kelamin perempuan dan praktek-praktek kekejaman tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami / pasangan-isteri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi; b. kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa; c. kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh negara, dimanapun terjadinya. e Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
c

DKI Jakarta, 17 Juli 2001

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT atau domestic violence) terjadi

apabila seseorang dengan menggunakan kekerasan, pemaksaan, ancaman,

intimidasi, isolasi, atau penyalahgunaan emosi, seksual atau ekonomi untuk mempertahankan kekuasaan atau pengendalian terhadap pasangannya. Nama lain dari KDRT yang sering digunakan adalah partner violence, relationship violence, dating violence, teen dating violence, intimate partner abuse, spouse korban atau survivor KDRT adalah perempuan dan pelakunya adalah laki-laki agama, kelompok umur dan sosial-ekonomi. abuse, domestic abuse, wife abuse, wife beating dan battering. Hampir seluruh (Snyder, 1998)1. Selain itu, KDRT mengenai perempuan dari segala suku bangsa, Sebuah survei di Amerika Serikat menemukan bahwa setidaknya 2 juta

perempuan setiap tahunnya mengalami kekerasan yang dilakukan oleh partnernya. Catatan FBI menyebutkan bahwa setiap tahunnya terdapat 1500 perempuan korban pembunuhan oleh suami, pacar, mantan suami atau mantan pacar. Statistik Amerika Serikat secara keseluruhan melaporkan bahwa

perempuan mengalami 3,8 juta kekerasan dan 500.000 pemerkosaan per-tahun pelakunya telah dikenal oleh korbannya. 2 Indonesia. Namun banyak organisasi
3

antara tahun 1992 1993; dan sebagaimana statistik di negara lain, 75% dari Sementara itu, hingga saat ini belum tersedia angka kekerapan KDRT di kemasyarakatan yang melaporkan

banyaknya kasus yang mereka tangani, yang sebenarnya hanya merupakan ujung suatu gunung es dari seluruh KDRT di dalam masyarakat. Kalyanamitra menangani advokasi korban KDRT sebanyak 35 kasus pada periode Juli Desember 1999 dan sebanyak 19 kasus pada periode Januari Juli 2000. Pusat Krisis Terpadu RSCM telah menangani bidang medis, mediko-legal dan psiko-

sosial terhadap 112 orang korban KDRT dalam kurun waktu 12 bulan. Angka ini masih belum termasuk 185 anak perempuan korban kekerasan seksual yang perempuan dewasa korban kekerasan seksual. penanganan KDRT. Sebagian 5 diantaranya dilakukan oleh orang-orang di dalam keluarganya sendiri, dan 66 Banyak negara telah membuat peraturan perundang-undangan di bidang diantaranya mengharuskan dilakukannya

pelaporan kepada instansi penegak hukum atau institusi perlindungan sipil.

Sebagian lainnya menyatakan bahwa keharusan pelaporan tersebut justru merupakan suatu kontraindikasi yang mutlak bila tanpa permintaan atau ijin langsung dari korban. Paham yang belakangan berpendapat bahwa pelaporan yang merupakan keharusan hukum (mandatory reporting) mempertinggi rasa ketidakberdayaan korban dan dapat meningkatkan risiko terjadinya kekerasan di masa mendatang, termasuk risiko pembunuhan.
4

seringkali

DKI Jakarta, 17 Juli 2001

yaitu di bidang perlindungan anak, perjanjian pra-nikah dan ketenagakerjaan. Anak-anak dari suatu keluarga yang di dalamnya terjadi KDRT seringkali menjadi sasaran kekerasan atau abuse secara fisik ataupun emosional serta penculikan yang dilakukan oleh korban ataupun pelaku KDRT. Masalah lain adalah bahwa di masa dewasanya kelak, para anak dalam lingkungan keluarga KDRT ini seringkali berkembang menjadi pelaku KDRT. Korban KDRT seringkali juga akan banyak mangkir dari pekerjaan sebagai akibat dari luka-lukanya, proses penyidikan dan peradilan, serta kinerjanya dapat terganggu sebagai akibat dari depresi, ketakutan dan efek psikologis lainnya.

KDRT juga mempengaruhi peraturan perundangundangan di bidang lain,

Di Amerika Serikat para korban KDRT yang dapat menunjukkan adanya

bahaya kekerasan (lanjutan) yang nyata dapat memperoleh perlindungan sipil (civil protection order = CPO), baik bersifat temporer (2-4 minggu) pada masa darurat persidangan (hearing). Pada umumnya CPO dapat diterbitkan pada adanya ataupun masa yang lebih lama (1-3 tahun) setelah melalui

tindakan abuse terhadap korban, ancaman, gangguan atas kebebasan korban, pelecehan, pembuntutan (stalking), abuse emosional, percobaan kekerasan, kekerasan seksual, pemerkosaan dalam rumah tangga, penyerangan, penculikan, perusakan dll. Perintah perlindungan sipil dapat berupa stay away, no contact, orders to vacate atau property rights. Beberapa negara meng-kriminalisasi pelanggaran tersebut dapat ditegakkan melalui hukum pidana ataupun hukum perdata. pelanggaran CPO dapat ditahan. CPO sehingga

Perlindungan sipil pelaku

terjadi hubungan yang abusive beberapa lama dan tampak seolah-olah korbannya dapat mentoleransinya. Walker (1984) mengatakan bahwa dalam hal yang ditandai dengan adanya sedikit tindakan kekerasan fisik ataupun ini terdapat 3 fase hubungan yang abusive, yaitu the tension-building phase emosional, the acute battering phase yang ditandai dengan meningkatnya frekuensi atau derajat kekerasan, dan the loving contrition phase yaitu permintaan maaf pelaku disertai dengan kasih sayang dan janji untuk tidak jarak waktu yang semakin pendek atau intensitas yang semakin tinggi. Banyak

Kadang-kadang antara perempuan korban KDRT dengan pelakunya telah

melakukan hal serupa di kemudian hari.5 Ketiga fase ini akan berulang dengan faktor dapat dimasukkan sebagai faktor penyebab ataupun faktor pencetus terjadinya KDRT, seperti pernikahan yang terpaksa, dugaan perselingkuhan, sosial-ekonomi, tekanan pekerjaan, gangguan psikologis atau psikiatris, atau penyalahgunaan alkohol atau obat.

DKI Jakarta, 17 Juli 2001

KEKERASAN SEKSUAL

Kekerasan seksual adalah setiap penyerangan yang bersifat seksual

terhadap perempuan, baik telah terjadi persetubuhan ataupun tidak, dan tanpa memperdulikan hubungan antara pelaku dengan korban. Dalam KUHP dikenal beberapa pasal yang mengatur kejahatan seksual.

Pada dasarnya kejahatan seksual (susila) dalam KUHP adalah setiap aktifitas consentnya. (Kejahatan seksual sesama jenis tidak akan dibicarakan dalam

seksual yang dilakukan oleh orang lain terhadap seseorang perempuan tanpa makalah ini). Kejahatan seksual ini dapat dilakukan dengan pemaksaan atau tanpa pemaksaan, baik berupa kekerasan fisik maupun ancaman kekerasan. dan berakibat trauma psikologis yang dalam bagi perempuan, sedangkan pelanggaran seksual tanpa pemaksaan fisik, meskipun tidak mengakibatkan trauma fisik namun tetap dapat mengakibatkan dampak psikologios di kemudian hari, terutama bila dilakukan terhadap anak perempuan. 1. Pelanggaran seksual tanpa unsur pemaksaan. Pelanggaran seksual tanpa unsur pemaksaan dilakukan dengan bujukan atau tindakan lain dengan cara mengakali korban yang umumnya terjadi penalarannya, belum dapat memberikan persetujuannya secara pada anak-anak. Anak-anak, oleh karena keterbatasan pengalaman dan sempurna, sehingga hukum menganggap persetujuan yang diberikan persetujuan yang sah. Kemungkinan terjadinya tindakan ini telah lama kitab undang-undang hukum pidana. Seorang anak yang berusia 12 - 15 Kejahatan seksual dengan unsur pemaksaan fisik akan menimbulkan perlukaan

oleh anak dengan usia di bawah 15 tahun tidak dianggap sebagai disadari oleh para ahli hukum sehingga delik-deliknya telah diatur dalam tahun dianggap belum dapat memberikan persetujuannya (consent) yang

sempurna sehingga dijadikan delik aduan, sedangkan seorang anak yang berusia belum 12 tahun dianggap belum bisa memberikan consent yang dilakukan oleh sesama jenis yang melibatkan anak di bawah umur. perbuatan seksual tanpa paksaan dengan seorang laki-laki tidak mengakibatkan ancaman pidana bagi si laki-laki. 2. Pelanggaran seksual dengan unsur pemaksaan. Pelanggaran seksual dengan unsur pemaksaan ini diberi terminologi khusus yaitu perkosaan. Delik ini telah diatur dalam pasal 285 KUHP yang kekerasan, adanya persetubuhan, dan korban adalah perempuan yang bukan isterinya. Ketiga unsur tersebut harus terbukti secara kumulatif. sehingga dijadikan delik biasa. KUHP juga mengancam perbuatan seksual Namun perempuan dewasa yang belum terikat perkawinan melakukan

antara lain harus memenuhi unsur adanya kekerasan / ancaman

DKI Jakarta, 17 Juli 2001

Perbuatan pemaksaan persetubuhan oral atau anal, atau perbuatan paksa memasukkan sesuatu yang bukan penis ke dalam vagina atau anal, ataupun pemaksaan persetubuhan terhadap isterinya sendiri tidak demikian KUHP mengenal adanya perbuatan cabul dengan paksa yang

termasuk ke dalam terminologi perkosaan menurut KUHP. Meskipun diancam dengan pasal 289 yang dapat digunakan pada kasus-kasus di atas, kecuali pada marital rape. Pelaku marital rape dapat diancam dengan pasal 352, 351 dll tentang penganiayaan. Banyak pandangan keliru yang mengaburkan pengertian antara perkosaan dan persetubuhan lain yang bermasalah atau diancam pidana. Dari seluruh perempuan yang mengadu ke Polda Metro Jaya karena mengaku diperkosa pemerkosaan. Selebihnya umumnya adalah kasus-kasus ingkar janji yang akibat dari tidak dapat dibuktikannya perkosaan secara yuridis dan medis. diduga mengalami kekerasan seksual. Perlu dicatat bahwa 45
f

seorang laki-laki, ternyata hanya 25 % diantaranya yang memenuhi unsur-unsur dilakukan teman laki-lakinya. Angka ini akan semakin diperkecil lagi sebagai Dalam tahun 1994-1998 di RSCM telah diperiksa 919 korban wanita yang korban

diantaranya masih balita (meskipun tidak terjadi persetubuhan), dan 226 korban atau berstatus gadis.

(24,6%) masih berusia antara 5-14 tahun. 92 % korban belum pernah menikah Persetubuhan dilaporkan terjadi pada 80% kasus, disertai dengan kekerasan

pada 246 kasus (26,8%), dengan menggunakan obat-obatan atau alkohol pada kasus diantaranya diakui korban dilakukan dengan sukarela.

104 kasus (11,3%), dengan ancaman pada 111 kasus (12,1%), sedangkan 200 Kekerasan telah mengakibatkan 24 korban mengalami luka sedang, 38 korban mengalami luka ringan dan tidak satu orangpun mengalami luka berat. kasus (5%). Sedangkan persetubuhan yang mengakibatkan kehamilan ditemukan pada 46

Dari 251 kasus kekerasan seksual yang ditangani PKT RSCM selama

satu tahun, penetrasi terbukti pada 150 kasus dengan adanya robekan selaput dara dan persetubuhan yang dilaporkan positif terbukti pada 18 kasus dengan ditemukannya sperma dan atau uji fosfatasenya positif kuat.

Sampurna B. Pengaruh visum et repertum kejahatan seksual terhadap putusan pengadilan, Muktamar PDFI, 1997.

DKI Jakarta, 17 Juli 2001

10

DAMPAK JANGKA PENDEK KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Umumnya yang dimaksud dengan dampak jangka pendek kekerasan

adalah cedera fisik yang diderita oleh korban (luka-luka, patah tulang, kehilangan fungsi alat tubuh atau indera, keguguran kandungan, dll), gejala sisa di bidang kesehatan dan psikologis (anxietas, depresi, battered woman trauma

syndrome, rape trauma syndrome, alcohol and drug abuse, dan resiko melakukan bunuh diri), serta dampak terhadap pendidikan dan pertumbuhan anak terutama bila dalam kasus kekerasan rumah tangga. Kekerasan terhadap perempuan juga dapat menimbulkan dampak jangka dalam rumah tangga. Dampak tersebut dapat berupa
g,

panjang, terutama pada kekerasan yang berulang dan berlangsung lama seperti pada kekerasan ketidakharmonisan keluarga yang berakibat kepada terganggunya pertumbuhan dan perkembangan anak, child abuse, cycle of violence perkembangan mental dan perilaku seksual, dll DAMPAK KEKERASAN JANGKA PANJANG tumbuh dari keluarga yang biasa dengan kekerasan terhadap perempuan atau Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa anak-anak yang gangguan

juga terhadap anak, akan melakukan perbuatan yang sama pada saat mereka menjadi dewasa dan berumahtangga sendiri. Anak laki-laki belajar dari ayahnya dalam melakukan kekerasan terhadap isterinya, sedangkan anak perempuan menerima teori bahwa kekerasan adalah perilaku yang diperoleh dari belajar dan bersifat siklik.

belajar dari ibunya untuk menjadi korban kekerasan. Masyarakat luas telah

Jaffe dkk mengatakan bahwa bahwa anak laki-laki yang tumbuh dari keluarga dengan kekerasan akan lebih mungkin mengalami kesulitan penyesuaian dan manifest menjadi masalah perilaku. Bahkan Fischer yang melakukan studi longitudinal selama 30 tahun mengatakan bahwa adanya pertengkaran dan prediksi yang bermakna untuk timbulnya kejahatan terhadap orang pada saat ia dewasa kelak, seperti penyerangan, percobaan
h 6

kekerasan yang dilakukan orang tuanya selama ia kanak-kanak merupakan perkosaan, perkosaan,

percobaan pembunuhan, penculikan dan pembunuhan, tetapi tidak prediktif untuk kejahatan terhadap barang / properti. PERAN TENAGA KESEHATAN

kadang menjadi orang pertama yang mengetahui adanya KDRT secara tidak
Child abuse seringkali dapat diterangkan sebagai perilaku yang dipelajari dan sering terjadi di dalam keluarga yang sering terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Demikian pula kanak-kanak seperti ini memiliki angka prediktif yang bermakna untuk menjadi pelaku kejahatan sewaktu dewasa kelak (UN Publ, 1989). h Violence against women, UN Publ, 1989, hal 23-24.
g

Tenaga kesehatan dan atau tenaga medis adalah profesi yang kadang-

DKI Jakarta, 17 Juli 2001

11

sengaja atau selama dalam praktek pelayanan kesehatan rutinnya sehari-hari, namun hanya menanganinya dari segi medis. Sementara itu, dapat dikatakan bahwa pada umumnya para korban KDRT tidak

dikenali atau ditangani oleh para profesional, termasuk dokter, konsultan keluarga, psikoterapis dan aparat penegak hukum. Sebenarnya profesional dan kesehatan keluarga, dapat melakukan diagnosis, terapi, rehabilitasi, dan kesehatan, baik sebagai klinikus maupun sebagai tenaga kesehatan masyarakat merujuknya ke ahli lain bila diperlukan serta melakukan upaya pencegahan pengulangan peristiwa ataupun terjadinya hal serupa pada anggota keluarga lainnya. Para dokter dapat menemukan kasus dengan melakukan wawancara

(anamnesa) yang terarah secara efisien tetapi efektif, menemukan tanda kekerasan yang khusus atau mencurigakan, mendokumentasikan temuannya, menilai keselamatan di masa datang dan mengkomunikasikan kepada korban pilihan penyelesaian yang realistik. Beberapa pertanyaan dapat dijadikan pertanyaan rutin penapis dalam rangka diagnostiki. Diagnosis juga dapat ditegakkan dengan melihat ciri-ciri tertentuj
7

Tracy (1996) melaporkan pengalamannya menerapkan pertanyaan rutin

penapis terhadap pasien-pasien ginekologis yang tidak ada hubungannya dengan KDRT, tentang apakah pernah mengalami kekerasan fisik selama dalam perkawinannya. Dari 8 pasien yang datang berurutan ternyata semuanya pernah mengalami kekerasan fisik pada tahun-tahun sebelumnya.
8

Tenaga kesehatan juga dapat menilai besarnya risiko bahaya kekerasan

di masa mendatang dengan menilai : meningkatnya frekuensi kekerasan, senjata api atau mulai digunakannya senjata tajam, dan catatan kriminal pelaku. Dalam menatalaksana korban KDRT, selain melakukan terapi di bidang atau memperlihatkan bahwa ia juga memperhatikan

meningkatnya ancaman pembunuhan atau bunuh diri dari pasangannya, adanya

medis tenaga kesehatan juga dapat melakukan hal-hal : 1. Menyatakan

2. Memberikan nasihat atau merujuk pasien untuk terapi medis khusus, penanganan mediko-legal, konseling psikologis dan atau psiko-sosial,
i

keselamatan korban / pasien guna menumbuhkan kepercayaan korban.

Contoh pertanyaan tersebut adalah : (a) Apa yang terjadi apabila terdapat ketidaksepakatan antara Anda dengan suami / pacar di rumah? (b) Pernahkah Anda menerima kekerasan atau tindakan serupa dari suami atau pacar? (c) Pernahkah Anda mengalami ancaman, intimidasi atau dibuat takut oleh pasangan? (d) Apakah Anda merasa aman dan selamat bila berada di rumah? (e) Apakah Anda merasa takut atas keselamatan Anda atau anak Anda yang diakibatkan oleh ulah orang yang hidup di rumah Anda? dan (f) Pernahkah Anda pergi ke dokter karena mengalami kekerasan atau ketakutan di rumah? Beberapa ciri dapat disebutkan : (a) cedera bilateral atau multipel, (b) beberapa cedera dengan beberapa tahap penyembuhan, (c) tanda kekerasan seksual, (d) keterangan pasien yang tidak sesuai dengan cederanya, (e) keterlambatan berobat, atau (f) berulangnya kehadiran di rumah sakit akibat trauma.

DKI Jakarta, 17 Juli 2001

12

antara tenaga kesehatan dengan LSM yang bergerak di bidang ini diperlukan tepat.

bantuan hukum, support group atau ke rumah aman (shelter). Kerjasama

3. Membatasi terapi obat penenang atau obat tidur kecuali atas indikasi yang 4. Menilai perlu atau tidaknya pelaporan ke pihak berwenang KENDALA TENAGA KESEHATAN DALAM BERSIKAP

pendidikan atau pelatihan khusus tentang kekerasan dalam rumah tangga dan tata-laksana penanganannya. Bagaimana tenaga kesehatan bersikap terhadap para korban kekerasan terhadap perempuan lebih ditentukan oleh pengalamannya dan interaksinya dengan nilai-nilai sosial, budaya dan agama

Pada umumnya tenaga kesehatan tidak ada yang pernah menerima

yang diyakininya. Banyak ahli yang telah mengupas bagaimana dampak dari sosialisasi gender, pengukungan sosial dan cara-cara bersikap seseorang. Penyangkalan mengganggu persepsi kita dan membawa kita ke cara rasionalisasi yang dan ketidakmampuan mentoleransi sesuatu nilai dapat

protektif dalam melihat sikap kita sendiri, orang lain, dan dunia. Para klinisi dengan itu pula mereka mengkonstruksikan identitas dirinya.

menyerap berbagai pandangan masyarakat tentang gender dan kekuasaan, dan Tenaga kesehatan bukan saja kurang dibekali dengan pemahaman

tentang issue psiko-sosial-legal yang kompleks dan bagaimana menanganinya, melainkan juga proses dan sosialisasi profesi di bidang kesehatan / kedokteran itu sendiri telah memadamkan kapasitas yang sebelumnya telah mereka miliki. Tenaga kesehatan terlalu terbiasa bertemu dengan sakit, nyeri, sedih,

kekerasan, kemarahan dan berbagai luapan emosional lain. Tekanan emosional ini diperberat dengan tekanan waktu dalam kegiatan mereka sehari-hari, baik selama dalam pendidikan maupun dalam praktek pelayanan. Pengalaman mengakibatkan mereka terlatih untuk bisa membuat jarak dan melindungi diri cenderung untuk memilih cara-cara yang efektif untuk memperoleh hasil yang tidak efisien. Keadaan-keadaan itu pada akhirnya akan mengakibatkan menurunnya kepekaan tenaga kesehatan dalam menyikapi suatu gejala sosial segi medis yang terukur dan efisien.

terhadap kemungkinan dampak psikologis bagi mereka sendiri 9. Mereka juga

dapat diprediksi dan terukur, bukan menggunakan cara yang melingkar dan

yang bermanifestasi di dalam kasus medis dan cenderung memandangnya dari Richman dkk (1992) dan Baldwin dkk (1991) mensinyalir bahwa

lingkungan pendidikan kedokteran yang dianggap mereka bersifat abusive (fisik, emosi, waktu, dan ekonomi) juga mempengaruhi kemampuan para klinisi dalam berhubungan dengan pasien yang mengalami abuse.
10

11

Ketidakmampuan para klinisi untuk memahami tindakan abusive dalam

DKI Jakarta, 17 Juli 2001

13

kehidupannya

mentoleransinya, membuat semakin sulitnya mereka meraba-rasakan (empati) perempuan korban kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian telah terjadi pe-reduksi-an masalah psiko-sosio-legal

sendiri,

baik

personal

atau

profesional

dan

bagaimana

yang kompleks menjadi masalah kedokteran tertentu (diagnosis) saja. Dokter

dapat mengenal berbagai masalah kesehatan seperti kehamilan tak diinginkan, penyakit hubungan seksual, aborsi, penyalahgunaan obat, kekerasan terhadap perempuan, HIV dan lain-lain dalam konteks yang terpisah-pisah; tetapi belum tentu memahami hubungannya satu dengan lainnya dan kaitannya dengan kehidupan psiko-sosio-legalnya. Suatu masalah sosial yang kompleks telah direduksi hanya menjadi diagnosis medis yang terpotong-potong. Para penyelenggara pelayanan kesehatan juga mengalami kendala yang

bersifat struktural. Dalam iklim pelayanan kesehatan seperti saat ini, maka

efisiensi biaya sangat diutamakan dalam mengevaluasi setiap jenis pelayanan yang akan dan sedang dilakukan. Waktu konsultasi yang terlalu panjang, penyediaan tenaga kesehatan dengan kemampuan tertentu yang tidak perlu atau jarang terpakai, jenis pemeriksaan rutin yang berlebihan, pelayanan yang perempuan yang dinilai tidak efektif dan efisien. Agar tujuan pelayanan komprehensif non profit, adalah beberapa aspek pelayanan korban kekerasan terhadap terhadap korban kekerasan

terhadap perempuan dapat terlaksana, maka kemampuan dan pengalaman yang

diperoleh tenaga kesehatan selama dalam pendidikan tersebut di atas harus

didukung oleh institusi pelayanan kesehatan tempat mereka bekerja dengan memberikan lingkungan kerja yang kondusif. Paradigma pelayanan kedokteran yang kompartemental harus diubah ke arah problem-based yang lebih holistik. dan inter-instansi dalam menangani masalah-masalah yang berbasis sosial. Rumah sakit harus berkolaborasi dengan lembaga masyarakat pemberi advokasi Paradigma ini mengharuskan dikembangkannya suatu jaringan inter-disipliner

kasus kekerasan terhadap perempuan dan child abuse, sistem perlindungan bantuan hukum. PUSAT KRISIS TERPADU

anak, penyedia rumah aman (shelter), aparat penegak hukum dan institusi

Pusat Krisis adalah suatu pusat pelayanan kepada para korban kekerasan

terhadap perempuan, dalam hal ini yang berbasis rumah sakit. Krisis diartikan

sebagai krisis sosio-psikologis yang dialami korban, bukan sebagai krisis medis

yang memerlukan perawatan atau pengobatan segera. Sedangkan kata terpadu diberikan pada pusat krisis dengan penitik-beratan kepada layanan yang namun juga penanganan sosial, psikologis dan yuridis. Dengan demikian di komprehensif dan holistik; tidak hanya penanganan medis dan mediko-legal,

DKI Jakarta, 17 Juli 2001

14

dalam sebuah Pusat Krisis Terpadu tidak hanya tersedia tenaga dokter atau perawat saja, melainkan juga tenaga pekerja sosial, psikolog dan ahli hukum. Dengan memperhatikan kenyataan sebagaimana diuraikan sebelumnya,

maka tenaga kesehatan yang akan ditempatkan di dalam Pusat Krisis Terpadu haruslah tenaga kesehatan yang telah memiliki sensitivitas terhadap masalah gender; memahami aspek sosial, psikologis dan yuridis dari tindak kekerasan terhadap pemeriksaan mediko-legal dan memberikan konseling. Tenaga perawat dan telah memadai, dan bahkan lebih efektif daripada seorang dokter spesialis perempuan; serta memiliki ketrampilan di dalam

melakukan

atau pekerja sosial berjenis kelamin perempuan yang dididik khusus untuk itu obstetri-ginekologi yang sibuk. Jenis kelamin perempuan bukan dimaksudkan untuk memberlakukan diskriminasi, melainkan berdasarkan atas kenyataan terbuka kepada tenaga kesehatan yang berjenis kelamin sama. bahwa para perempuan korban kekerasan lebih mudah bicara dan mudah Pusat Krisis Terpadu RSCM didirikan pada bulan Juni 2000 dengan

diprakarsai oleh Komnas Perempuan dan didukung pendanaannya oleh UNFPA / UNIFEM. Setiap saatnya PKT RSCM menyediakan tenaga dokter, perawat dan pekerja sosial. Mereka melakukan pemeriksaan dan sekaligus memberikan konseling psiko-sosial pada pertemuan pertama dengan pasien atau klien. Mereka juga memberikan informasi tentang aspek hukum serta tentang layanan LBH. Psikolog dihadirkan dua kali dalam seminggu guna melanjutkan konsultasi pendampingan, shelter dan advokasi hukum yang disediakan oleh para LSM dan di bidang psikologis. Psikiatri dihadirkan dalam hal telah terlihat adanya gejala psikiatris pada korban kekerasan terhadap perempuan tersebut. Kunjungan ke rumah diperlukan apabila masalah sosial dirasakan perlu ditangani. Dalam melakukan layanan yang komprehensif tersebut, PKT RSCM

bekerjasama dengan berbagai LSM dan LBH yang tergabung dalam sebuah Jakarta. PKT RSCM juga bekerjasama dengan beberapa institusi pendidikan yang

Jaringan Kerja Penanganan Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di terkait, seperti FISIP-UI jurusan Kesejahteraan Sosial, Fakultas Psikologi UI, dan Fakultas Ilmu Keperawatan UI. Hubungan dengan penyidik ditingkatkan melalui kerjasama informal dengan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Polri yang diawaki oleh para Polwan dan Kompartemen Kedokteran Kepolisian RS Polri.

Langkah yang cukup penting adalah melaksanakan kerjasama atau

membuat jaringan kerja dengan para LSM dan LBH yang dapat menyediakan upaya pendampingan, konseling psiko-sosial, advokasi hukum, dan bila ada penyediaan rumah aman (shelter). Kerjasama yang baik dengan para LSM dan LBH tersebut dapat mengakibatkan efisiensi, oleh karena rumah sakit tidak dan LBH tersebut. perlu menyediakan layanan-layanan yang telah disediakan oleh jaringan LSM

DKI Jakarta, 17 Juli 2001

15

di negara kita, perlu dipikirkan siapakah atau institusi manakah yang dasar suatu layanan publik. Layanan-layanan publik

Dalam kaitannya dengan biaya operasional PKT RSCM atau PKT-PKT lain

bertanggung-jawab? Dalam hal ini kita harus mengembalikannya ke prinsip seperti keamanan, penegakan hukum dan keadilan haruslah menjadi tanggung-jawab negara, layanan yang berkelanjutan, dan bukan layanan yang bersifat proyek.

bukan tanggung-jawab masyarakat. Layanan seperti juga harus merupakan PKT RSCM, atau PKT lain, adalah suatu institusi yang memberikan layanan

penting bagi para korban kekerasan terhadap perempuan yang termasuk ke dalam kategori layanan publik di atas. Oleh karena itu sudah sewajarnya apabila

negara lah yang bertanggung-jawab, atau dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah. Pada kesempatan ini pula saya menghimbau kepada Pemerintah DKI Jakarta untuk mengulurkan tangan dalam membantu menyediakan biaya operasional PKT RSCM di masa sesudah 2001. KESIMPULAN

Dokter dan tenaga kesehatan lainnya diharapkan menjadi salah satu

profesi yang paling mungkin menemukan kasus kekerasan terhadap perempuan dan memulai rantai penanganannya, atau setidaknya menjadi salah satu mata rantai penanganan korban kekerasan terhadap perempuan. Untuk itu

kemampuan mengenali kasus kekerasan terhadap perempuan pada waktu memberikan pelayanan kesehatan rutin perlu dikembangkan. Di sisi lain, paradigma institusi pelayanan kesehatan yang selama ini me-medikalisasi-kan masyarakat yang inter-disiplin dan multi-instansi harus pula dikembangkan menjadi suatu sistem terpadu penanganan kasus kekerasan perempuan.

masalah psiko-sosio-legal agar diluruskan kembali. Pada akhirnya, jaringan terhadap

DKI Jakarta, 17 Juli 2001

16

DAFTAR KEPUSTAKAAN
1

Snyder JW. Domestic Violence. In Sanbar et al (eds) : Legal Medicine. 4Th ED. St louis: Crowell & Burgess. Understanding Violence against Women. Washington : NRC, 1996. emergency department population, 273 JAMA 1763 (1995) Mosby, 1998

2 3

Abbott et al. Domestic Violence against women : Incidence and prevalence in an

Sampurna B Memberdayakan tenaga kesehatan dalam menangani kekerasan dalam Walker LE. The battered women syndrome. New York : Springer Publ, 1984. Violence against women, UN Publ, 1989, hal 23-24 Saunders, 1997 rumah tangga. Jurnal Kriminologi Indonesia. vol 1 No II, Februari 2001

5 6 7

Alpert. Domestic Violence. In Conn et al. (eds) Current Diagnosis 9. Philadelphia : WB

8 9

Tracy. Domestic violence: the physicians role, 275 JAMA 1708 (1996)

Warshaw C. Domestic violence: Changing theory, changing practice. In Monagle JF and Maryland:Aspen Publ., 1998. Thomasman DC (eds) Health care ethics: critical issues for the 21st century.

10

Richman JA et al. Mental health consequences and correlates of reported medical Baldwin D et al. Student Perceptions of mistreatment and harassment during medical school: a survey of ten United States Schools. Western J Med. 155 (1991) studentabuse. JAMA 167 (1992)

11

DKI Jakarta, 17 Juli 2001

17

ABSTRAK Kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebagai akibat dari adanya diskriminasi gender dari segi sosial, ekonomi, politik dan hukum, serta sebagai akibat dari perbedaan keadaan fisik perempuan dibandingkan laki-laki. Kekerasan terhadap perempuan mengakibatkan dampak yang besar bagi korbannya, baik dari segi fisik, psikis, sosial, hukum dan ekonomi. Sementara itu, tenaga kesehatan sangat mungkin menjadi orang pertama yang menemukan korban dan sekaligus menjadi tempat mencari perlindungan bagi korban. Dengan mengingat dampak kekerasan terhadap perempuan yang kompleks, maka penatalaksanaan korban juga harus bersifat menyeluruh dan multi-disiplin. Pusat Krisis Terpadu yang berbasis rumah sakit adalah salah satu cara mengantisipasinya. Kata kunci : Pusat Krisis Terpadu Kekerasan terhadap perempuan Curriculum vitae penulis Nama Tempat / tahun lahir Pendidikan formal Pekerjaan Organisasi : Budi Sampurna : Bandung, 1954 : Dokter umum, FKUI Spesialis forensik, FKUI Sarjana Hukum, FHUI : Staf Pengajar Fakultas Kedokteran UI Ketua Bagian Ilmu Kedokteran Forensik FKUI, 1994-2000 Ketua Pusat Krisis Terpadu RCM, sejak 2000 : Sekretaris Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia Ketua Badan Pembinaan dan Pembelaan Anggota PB IDI.

DKI Jakarta, 17 Juli 2001

18

Das könnte Ihnen auch gefallen