Sie sind auf Seite 1von 11

FIXED DRUG ERUPTON Aidawati A.

I.

DEFINISI

Fixed drug eruption (FDE) adalah erupsi alergi obat yang bila berulang akan timbul pada tempat yang sama.FDE ditandai oleh makula hiperpigmentasi dan kadang kadang terdapat bulla atau vesikel di atasnya, yang dapat muncul kembali di tempat yang sama bila minum obat yang sama. Lesi kulit pada FDE biasanya ditemukan pada lengan, kaki,lidah, penis dan daerah perianal. Pasien umumnya akan mengeluh rasa gatal atau rasa seperti panas terbakar pada daerah lesi. Lesi yang sembuh biasanya akan menimbulkan hiperpigmentasi sehingga memberikan warna biru gelap dan keabu-abuan. Lesi juga biasanya ,muncul seawal 30 menit sampai 8 jam dan lebih lama setelah konsumsi obat. Pada konsumsi obat secara yang berulang , lesi tidak hanya timbul di daerah yang sama tetapi lesi yang baru juga biasanya muncul.skin focus.usu

II.

ETIOLOGI

Banyak obat yang dapat menyebabkan FDE. Senarai obat obatan di bawah ini merupakan antara obat obat yang sering menyebabkan FDE.usu

Tabel 1: Daftar obat yang dapat menyebabkan FDE. (Dikutip dari kepustakaan usu)

III.

PATOGENESIS

Pathogenesis FDE sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun diduga karena reaksi immunologi. Namun, beberapa literature juga

mengemukakan teori pathogenesis reaksi obat berdasarkan proses immunologi dan nonimmunologi. Mekanisme immunologik yang terjadi pada reaksi obat dapat berupa IgE mediated drug eruption, immunecomplex dependent drug reaction, cytotoxic drug induced reaction dan cell mediated reaction.AAFp

Reaksi imunologik dibagi 4 tipe oleh Coombs and Gell, yaitu sebagai berikut:

1. Tipe I adalah immunoglobulin E (IgE)dependendent reaction , yang menyebabkan urtikaria, angioedem, dan anafilaksis. Reaksi ini penting dan sering dijumpai. Pajanan pertama kali terhadap obat tidak menimbulkan reaksi yang merugikan. Tetapi pajanan selanjutnya dapat menimbulkan reaksi. Yang berperan ialah Ig E yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil.aafp,bolognia 2. Tipe II adalah reaksi sitotoksik, menyebabkan hemolisis dan purpura. Reaksi tipe ini dapat disebabkan oleh obat, dan memerlukan penggabungan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel. Jika sistem komplemen dipacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis. aafp, bolognia 3. Tipe III adalah reaksi komplek imun, yang hasilnya pada vasculitis, serum sickness, dan urtikaria. Antibodi mengadakan reaksi dengan antigen membentuk komplek antigen antibodi yang kemudian mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh dan mengakibatkan reaksi radang. Dengan adanya aktivasi sistem komplemen terjadi pelepasan anafilatoksin yang merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Dengan adanya aktivasi komplemen, akan terjadi kerusakan jaringan. aafp, bolognia 4. Tipe IV adalah reaksi alekgik seluler tipe lambat, menyebabkan pada dermatitis kontak, reaksi eksantema, dan reaksi fotoalergik. Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitisasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen. Terdapat 2 macam bentuk reaksi : reaksi tipe tuberkulin dan reaksi tipe kontak. aafp, bolognia

2. Mekanisme Non Imunologis Reaksi Pseudo-allergic menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody-dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan kontras media. Teori menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang terlibat; pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel. Reaksi yang terlibat ini secara klinis sukar dibedakan dengan

gambaran klinis pada reaksi hipersensitivitas tipe 1. Namun secara teoritisnya, reaksi pada mekanisme non immunologis ini tidak melibatkan IgE.aafp Selain itu, beberapa mekanisme lain juga turut berperan dalam mekanisme non immunologis ini, misalnya reaksi overdosis, reaksi akibat efek samping obat, cumulative and delayed toxicity, interaksi obat, reaksi akibat perubahan metabolisme dalam tubuh, dan eksaserbasi oleh penyakit. bolognia

IV.

DIAGNOSIS

Anamnesis Anamnesis dan pemeriksaan fisis merupakan hal yang penting dalam mendiagnosis fixed drug eruption ini. Hal-hal yang sangat penting untuk ditanyakan saat berhadapan dengan pasien dalam kasus FDE ini adalah: Indikasi pemberian obat terhadap pasien (mengapa obat diberikan kepada pasien) Nama obat dan komposisi obat yang dikonsumsi Cara pemberian obat (misalnya; intravena atau oral) berserta dosis dan frekuensi penderita menkonsumsi obat tersebut. Waktu pasien mulai mengkonsumsi obat tersebut dan waktu lesi pada kulit mulai timbul. Informasi tentang gambaran lesi kulit yang muncul. Riwayat konsumsi obat alternatif selain daripada obat yang dicurigai mengakibatkan reaksi pada kulit.111cases/usu Pada awalnya lesi biasanya bersifat soliter, tapi jika penderita meminum obat yang sama, maka lesi yang lama akan timbul kembali disertai dengan lesi yangt baru. Namun jumlah lesi biasanya sedikit. Timbulnya kembali lesi di tempat yang sama menjelaskan arti kata fixed pada nama penyakit tersebut. usu Pemeriksaan Fisis Pada inspeksi lesi pada FDE ini, didapatkan lesi bersifat soliter, berbentuk bulat atau coin-shaped dan berwarna kemerahan atau eritematous. Terkadang lesi

disertai dengan vesikel atau bulla. Erupsi biasanya berlangsung mulai dari berhari hari sampai berminggu minggu. Ianya sering muncul pada daerah mukosa membran dengan predileksi pada daerah lengan , kaki, lidah, penis atau perianal.drug induced skin reaction

Gambar 2: Tampak lesi bulat berbatas tegas. (Dikutip dari kepustakaan skin focus)

Gambar 3: Merupakan lesi yang sama tapi dengan penampakan blister. (Dikutip dari kepustakaan skin focus)

Gambar 4: Tanda insipient blister pada genital. (Dikutip dari kepustakaan skin focus)

Pemeriksaan Penunjang/Tambahan Patch testing telah digunakan untuk pasien dengan exanthematous eruptions yang diinduksi oleh ampicillin dan telah digunakan pula sebagai pembantu untuk mendiagnosis FDE. Patch testing memiliki sensitivitas yang lebih tinggi jika dilakukan pada area kulit yang terdapat lesi. Meski pada erupsi kulit yang minor dapat menjadi trigger review klinis untuk sistemik tubuh lainnya, karena derajat keseriusan dari keterlibatan sistemik tidak selamanya

menggambarkan manifestasi yang terdapat pada kulit. Perubahan hepatik, renal, joint, respiratorik, hematologik dan neurologik seharusnya dapat diamati, dan apabila ada gejala sistemik atau tanda yang dapat diinvestigasi. Seperti biaasanya deteksi melalui full blood count, liver dan tes fungsi ginjal serta analisis urin tetap dilakukan.7,8,9

Gambar 5: Positif patch test Xyzal (levocetirizine) (Dikutip dari kepustakaan 7)

Uji provokasi oral merupakan pemeriksaan baku emas untuk memastikan penyebab. Uji ini dikatakan aman dan dapat dipercaya untuk pasien anak. Uji ini bertujuan untuk mencetuskan tanda dan gejala klinis yang lebih ringan dengan pemberian obat dosis kecil biasanya dosis 1/10 dari obat penyebab sudah cukup untuk memprovokasi reaksi dan provokasi biasanya sudah muncul dalam beberapa jam. Karena resiko yang mungkin ditimbulkannya maka uji ini harus dilakukan dibawah pengawasan petugas medis yang terlatih.7,8,9

V.

DIAGNOSA BANDING

Dermatitis Kontak Alergik (DKA)

Jumlah penderita dermatitis kontak alergik lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka (hipersensitifitas). Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak erimatosa yang berbatas tegas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bulla. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). DKA akut di tempat tertentu, misalnya kelopak mata, penis, skrotum, eritema dan edema lebih dominan daripada vesikel. Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fissure, batasnya tidak jelas.9

Gambar 6: Tampak peradangan pada daerah mata. (Dikutip dari kepustakaan 9)

Herpes Simpleks Infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks ( virus herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok

diatas kulit yang sembab dan erimatosa berisi cairan jernih dan kemudian menjadi seropurulen, dapat menjadi krusta dan kadang kadang mengalami ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks. Pada perabaan tidak terdapat indurasi. Kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga memberi gambaran yang tidak jelas.10

Gambar 7: Tampak vesikel pada daerah corpus penis. (Dikutip dari kepustakaan 10)

Insect bite Insect bite merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh gigitan dari hewan. Kelainan kulit disebabkan oleh masuknya zat farmakologis aktif dan sensitasi antigen dari hewan tersebut. Dalam beberapa benit akan muncul papul persisten yang seringkali disertai central hemmoragic punctum. Reaksi bullosa sering terjadi pada kaki anak-anak.11

Gambar 8: Tampak lesi berbentuk bula. (Dikutip dari kepustakaan 11)

VI.

PENATALAKSANAAN

Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan alergi obat adalah dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh., epinephrine adalah drug of choice pada reaksi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis lainnya, dapat digunakan pengobatan simptomatik dengan antihistamin dan kortikosteroid. Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus dihentikan secepat mungkin. Tetapi, pada beberapa kasus adakalanya pemeriksa dihadapkan dua pilihan antara risiko erupsi obat dengan manfaat dari obat tersebut.3,4,5

Pengobatan Sistemik Pemberian kortikosteroid sistemik sangat penting. Dengan prednison 3 x 10 mg/hari. Untuk keluhan rasa gatal pada malam hari yang kadang mengganggu istirahat pasien dan orang tuanya dapat diberikan antihistamin generasi lama yang mempunyai efek sedasi.3,4,5 Pengobatan Topikal Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit apakah kering atau basah. a) Jika lesi basah dapat diberi kompres secara terbuka. Tujuannya adalah untuk mengeringkan eksudat, membersihkan debris dan krusta serta

memberikan efek menyejukkan. Pengompresan dilakukan cukup 2-3 kali sehari, biarkan basah (tetapi tidak sampai menetes) selama 15-30 menit. Eksudat akan ikut mongering bersama penguapan. Biasanya

pengompresan cukup dilakukan 2 sampai 3 hari pertama saja. Cairan kompres yang dapat dipilih antara lain larutan NaCl 0,9%.3,4,5 b) Jika lesi kering dapat diberi krim kortikosteroid misalnya krim hidrokortison 1 % atau 2,5%. Lesi hiperpigmentasi tidak perlu diobati karena akan menghilang dalam jangka waktu lama.3,4 c) Pilihlah potensi kortikosteroid sesuai dengan daerah atau lokasi yang akan diobati, misalnya daerah lipatan (aksila,popok) atau muka sebaiknya menggunakan potensi rendah sedangkan pada badan atau ekstremitas dapat diberikan potensi sedang.3,4,5

DAFTAR PUSTAKA 1. Shear NH, Knowles SR, Sullivan JR, Shapiro L. Cutaneus Reactions to Drugs. In: Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 6th ed. USA: The Mc Graw Hill Companies, Inc. 2003. p: 355-360 2. S.M. Breathnach. Chapter 75 Drug Reaction. In: Tony Burns, Stephen Breathnach, Christopher Griffiths,eds. Rook's Textbook of Dermatology.

10

8th Edition. U.S.A: A John Wiley & Sons Ltd. Publication: 2010; p. 75.175.29 3. Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352 4. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed. Pharmaceutical Press.2006. Access on: June 3, 2007. Available at: http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf 5. Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In: American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access on: June 3, 2007. Available at: www.aafp.org/afp 6. N Gantsho, NP Khumalo, Fixed Drug Eruption.In: Current Allergy & Clinical Immunology. August 2008 Vol 21, No. 3. P. 138-140 7. Mariana Cravo,Margarida Gonalo,Amrico Figueiredo, Fixed Drug Eruption To Cetirizine With Positive Lesional Patch Tests To The Three Piperazine Derivatives, International Journal of Dermatology 2007, 46,p.760762 8. B P Khoo, Y C Giam, Drug Eruptions in Children: A Review of 111 Cases Seen in a Tertiary Skin Referral Centre, Singapore Med J 2000 Vol 41(11) : p.525-529 9. William D. James, Timothy G.Berger, Dirk M.Elston, Andrews' Diseases of the Skin - Clinical Dermatology, 10th Ed (2005),Chapter 6: Contact Dermatitis and Drug Eruption, p.94-96 10. Thomas P., Md. Habif, Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy 4th edition (October 27, 2003), Capter 12:Warts,Herpes Simplex, and other Viral Infection,p. 9,17,306 11. David J.Gawkrodger, Dermatology An Illustrated Colour Text 3rd Ed,2002. Disease-Infection Infestation p.58

11

Das könnte Ihnen auch gefallen