Sie sind auf Seite 1von 98

1.

Niat dan Kedudukannya Sesungguhnya perbuatan itu bergantung pada niatnya dan bagi setiap orang apa yang ia niatkan. Siapa saja yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena dunia atau wanita yang akan dia nikahi maka hijrahnya adalah pada apa yang dia tuju itu (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, atTirmidzi, an-Nasai, Ibn Majah, Ahmad, al-Humaidi, Ibn al-Jarud, Ibn Hibban, ath-Thahawi, ath-Thayalisi, ad-Daraquthni dan lainnya) Hadis ini adalah hadis gharb. Menurut Imam an-Nawawi dalam Syarh al-Arban, itu karena hanya Umar bin al-Khaththab ra. yang meriwayatkannya dari Rasulullah saw. Dari Umar hanya diriwayatkan oleh Alqamah bin Abi Waqash; dari Alqamah hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim at-Taimi; dari Muhammad bin Ibrahim hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Said al-Anshari. Dari Yahya bin Said barulah diriwayatkan oleh banyak orang hingga lebih dari dua ratus orang yang kebanyakan adalah para imam. Menurut mayoritas ulama, lafal innam adalah untuk membatasi (li al-hashr). Maknanya adalah bahwa perbuatan itu bergantung pada niatnya. Artinya, tidak ada perbuatan kecuali dengan niat. Penafian yang dimaksud adalah penafian konsekuensi hukum perbuatan itu dari sisi keabsahannya. Artinya, niat menentukan status perbuatan. Hadis ini juga menunjukkan bahwa seseorang hanya akan mendapatkan dari perbuatannya sesuatu yang sesuai dengan apa yang dia niatkan. Jadi, hadis ini menyiratkan dua hal. Pertama: niat dari sisi motif suatu perbuatan. Kedua: niat sebagai penentu perbuatan. Ibn Rajab al-Hanbali dalam Jmi al-Ulm wa al-Hikm menyatakan bahwa niat dalam pembicaraan para ulama ada dua makna: Pertama, penentuan maksud (motif) perbuatan apakah karena Allah, karena yang lain atau karena Allah bersama yang lain. Jadi niat di sini masuk dalam bahasan ikhlas. Kedua, penentu atau pembeda suatu ibadah dari yang lain; misal shalat, apakah shalat zhuhur atau asar, wajib atau sunnah; puasa apakah wajib atau sunnah, dsb. Dari sini akan jelas lingkup perbuatan yang dicakup oleh makna niat itu. Niat dalam makna motif (maksud) perbuatan apakah karena Allah atau bukan jelas meliputi semua perbuatan dan tindakan yang keluar dari manusia. Jika ikhlas semata karena Allah maka akan mendapatkan pahala. Sebaliknya, jika tidak maka tidak akan mendapat pahala. Hadis ini mencontohkan orang yang berhijrah. Jika dia melakukankannya dengan niat (maksud) menuju keridhaan Allah maka ia akan mendapat pahala. Jika dia melakukannya dengan niat (motif) mendapat dunia (harta, dsb) atau untuk menikahi wanita, maka ia hanya akan mendapatkan dunia atau wanita itu, namun tidak mendapat pahala di sisi Allah. Untuk mengetahui ikhlas atau tidak, mudahnya adalah jika seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena perintah dan larangan Allah, yaitu karena halal dan haram, maka saat itu dia ikhlas. Jika orang berpuasa Ramadhan atau shalat zuhur, karena keduanya wajib, maka itu tanda ikhlas. Jika seseorang menolak suap, tidak berjudi, dsb, karena semua itu haram, maka ia meninggalkan semua itu karena ikhlas. Hal itu karena semua itu dilakukan atau tidak dilakukan karena perintah dan larangan Allah; artinya karena Allah dan itu adalah ikhlas.

Niat dalam konteks kedua, yaitu menentukan suatu perbuatan, maka hal itu tidak berlaku dalam semua perbuatan. Ibn Abdis Salam seperti dikutip oleh Ibn Hajar dalam Fath al-Br menyatakan tentang hadis ini: kalimat pertama untuk menjelaskan perbuatan yang dinilai; kalimat kedua untuk menjelaskan hasil/konsekuensi perbuatan. Hadis ini memberikan faedah bahwa niat hanya disyaratkan dalam ibadah yang tidak bisa dibedakan dengan sendirinya. Adapun yang bisa dibedakan dengan sendirinya ditentukan menurut deskripsinya seperti zikir, berdoa dan tilawah karena itu sudah jelas sebagai ibadah. Ibn Rajab al-Hanbali dalam Jmi al-Ulm wa al-Hikam menjelaskan, banyak generasi belakangan menganggap, maksudnya adalah perbuatan yang sahih, mutabar atau diterima. Atas dasar ini, yang dimaksud tidak lain adalah perbuatan syari yang memerlukan niat. Adapun yang tidak memerlukan niat seperti kebiasaan makan, minum, berpakaian atau mengembalikan amanah dan jaminan, seperti titipan dan ghashab, maka tidak memerlukan niat. Semuanya dikhususkan dari keumuman perbuatan yang disebutkan di sini. Untuk lebih jelasnya, tindakan (tasharruf) manusia itu dua jenis. Jenis pertama: tindakan berupa kata-kata (tasharruf qawliyah), yaitu sempurna dengan kata-kata (redaksi). Dalam hal ini: 1. Tindakan itu bisa berasal dari seseorang sebagai timbal-balik terhadap pihak lain. Tindakan seperti ini disebut akad. 2. Berasal dari satu orang saja, misal pengakuan utang atau suatu perbuatan, komitmen, wasiat, dsb, dan disebut tasharruf saja. Dalam kedua jenis tasharruf ini tidak dimasuki unsur niat dan niat tidak menentukan sahtidaknya akad dan tasharruf itu. Sah-tidaknya ditentukan oleh deskripsi, lafal dan redaksinya. Jenis kedua: tindakan dalam bentuk perbuatan (tasharruf filiyah), penentunya adalah perbuatan, bukan lisan. Dalam hal ini: 1. Perbuatan inderawi yang pelaksanaannya sudah menunjukkan maksud (niat) pelakunya sehingga tidak memerlukan niat. Contoh: mengolah tanah sudah jelas untuk bercocok tanam. 2. Perbuatan inderawi yang dilakukan atau dihindari secara fisik seperti wudhu, shalat, berperang, memberi harta, membangun masjid, safar, penyembelihan, dsb; semua perbuatan semacam ini memerlukan unsur niat untuk menjelaskan maksud atau tujuannya. Semua ibadah masuk kategori ini. Dalam perbuatan seperti inilah, niat menjadi penentu. Wallh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman]

Islam, Iman dan Ihsan Umar bin Khaththab berkata: Suatu hari, saat kami duduk di dekat Nabi saw., datang kepada kami seorang laki-laki yang mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya sangat hitam. Padanya tidak ada bekas perjalanan. Tidak seorang pun dari kami yang mengenalnya. Ia lalu duduk di hadapan Nabi saw. dan menempelkan lututnya ke lutut Nabi saw. serta meletakkan tangannya di paha Nabi saw. Kemudian ia berkata, Muhammad, beritahu aku tentang Islam. Nabi saw. menjawab, Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa bulan Ramadhan dan berhaji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya. Orang itu berkata, Engkau benar. Umar berkata: Kami heran, ia bertanya, tetapi ia sendiri yang membenarkan jawaban Nabi saw.. Lalu orang itu berkata lagi, Beritahu aku tentang Iman. Nabi saw. menjawab, Engkau mengimani Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir serta mengimani qadar baik dan buruknya (dari Allah). Orang itu berkata, Engkau benar. Beritahu aku tentang ihsan. Nabi saw. menjawab, Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya; jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatmu. (HR Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad, Ibn Hibban dan Ibn Khuzaimah. Lafal ini menurut Muslim) Hadis ini adalah potongan dari hadis yang lebih panjang. Para ulama menyebut hadis ini ummu as-sunnah (induknya as-sunnah) karena mengandung pokok-pokok agama yang bisa dikatakan menjadi induk ajaran Islam yaitu: pokok-pokok keimanan, Islam dan ihsan. Hadis ini memberikan beberapa pelajaran pokok, di antaranya: Pertama, Jibril datang untuk bertanya dalam rangka mengajarkan tentang pokok ajaran agama kepada para Sahabat dan umat Muhammad. Bertanya hakikatnya untuk mendapat pengetahuan. Namun, bertanya boleh dijadikan uslb untuk mengajarkan sesuatu. Uslb demikian akan menarik perhatian orang-orang dan membuat mereka memperhatikan pengajaran yang diberikan dalam bentuk jawaban pertanyaan itu. Uslb inilah yang digunakan Jibril as di dalam hadits ini. Kedua, Jibril memberi contoh adab bertanya dan menemui ulama, yaitu: berpakaian bersih, rapi, tidak dekil dan acak-acakan, dengan kondisi tubuh yang bersih dan rapi; bersikap santun menunjukkan penghormatan dalam sikap dan ucapan (misal: cara dan intonasi berbicara, pilihan kata, cara duduk, perhatian, jarak dari guru, dsb; juga mempersiapkan kondisinya sehingga ia siap menerima pelajaran dengan baik. Ketiga, penjelasan Nabi saw. tentang Islam bukan untuk menyatakan definisi apa itu Islam, melainkan untuk menerangkan pokok-pokoknya (baca: rukun Islam). Di sini Nabi saw. menafsirkan Islam dengan amal-amal lahiriah dan tidak menyertakan di dalamnya amalamal batiniah. Ini bermakna bahwa Islam adalah ketundukan lahiriah. Hal itu dikabarkan dengan dua kalimat syahadat dan menegakkan rukun-rukun amaliah yang empat. Syahadat merupakan amal lisan. Siapa saja yang mengucapkan dua kalimat syahadat secara formal ia

menjadi Muslim. Penafsiran beliau dalam hadis sini menyatakan lima pilar Islam. Kelimanya terbagi dalam amal lisan, yaitu syahadat yang menjadi kunci seseorang menjadi Muslim; amal badani seperti shalat dan puasa; amal finansial seperti zakat; dan yang merupakan gabungan badani dan finansial seperti berhaji. Ini mewakili semua bentuk amal lahiriah. Di dalam riwayat Ibn Hibban dll juga dinyatakan umrah, mandi junub dan menyempurnakan wudhu. Ini mengisyaratkan bahwa semua kewajiban lahiriah termasuk bagian dari Islam. Banyak riwayat lain juga menjelaskan bahwa islam juga mencakup berbagai amal ketaatan, meninggalkan apa yang dilarang, bahkan meninggalkan sesuatu yang kurang berguna. Keempat, Nabi saw. menafsirkan iman sebagai: mengimani Allah, para malaikat, kitab-kitabNya, rasul-rasul-Nya, Hari Kiamat serta qadar (ilmu Allah) baik maupun buruk dari-Nya. Iman sendiri adalah pembenaran yang pasti, sesuai dengan fakta dan bersumber dari dalil/bukti. Penafsiran Nabi saw. di sini bukanlah pembatasan, tetapi sekadar menyebutkan pokokpokok keimanan (baca: rukun iman). Penafsiran iman oleh Nabi saw. ini juga terbatas pada amal batin. Hadis ini sekaligus menunjukkan adanya pembedaan antara iman yang merupakan amal batin dan Islam yang lebih merupakan amal lahiriah, terutama jika iman dan Islam itu dikaitkan dalam satu nash. Kelima, ihsan (al-ihsn) secara bahasa artinya kebaikan dan kemurahan hati. Di sini Nabi saw. menafsirkan ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seolah -olah melihat-Nya; jika engkau tidak melihatnya maka sungguh Dia melihatmu. Jadi ihsan pada hakikatnya adalah merasakan dan meyakini kehadiran Allah dan murqabah (pengawasan) Allah dalam semua ibadah, perilaku, amal dan keadaan kita. Wallhu alam. [Yahya Abdurrahman]

Rukun Islam Islam dibangun di atas lima pilar: kesaksian bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji; dan puasa Ramadhan (HR Ahmad, al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibn Hibban). Hadis ini diriwayatkan dari jalur Ibn Umar ra. Oleh Imam Ahmad, al-Bukhari, Muslim, atTirmidzi, an-NasaI, Ibn Hibban dan ad-Daraquthni. Dari jalur Jarir bin Abdillah oleh Imam Ahmad, Ibn Abi Syaibah, Abu Yala, ath-Thabarani, al-Baihaqi dan adh-Dhiya; dari jalur Abu Hurairah ra. Oleh Ibn Najar. Dalam mayoritas lafal hadis ini, haji disebutkan lebih dahulu. Namun, dalam salah satu riwayat Muslim dari Ibn Umar, haji disebutkan setelah puasa Ramadhan. Saat seseorang berkata, Berhaji dan puasa Ramadhan, Ibn Umar berkata, Tidak, puasa Ramadhan dan haji. Begitulah aku mendengarnya dari Rasulullah saw. Para ulama mengatakan bahwa hadis ini termasuk pokok agama. Imam an-Nawawi mencantumkannya sebagai hadis ketiga di dalam Al-Arban an-Nawawiyah setelah hadis niat dan hadis Jibril tentang iman, Islam dan ihsan. Hadis ini menyatakan lima pilar bangunan Islam. Lafal Muhammad bin Nashr al-Marwazi di dalam Tazhm Qadri ash-Shalh menegaskan hal itu; Buniya al-Islm al khamsi daim (Islam dbangun di atas lima pilar). Penyerupaan kelimanya seperti pilar bangunan untuk memberikan deskripsi yang jelas tentang pentingnya kelima hal itu. Bangunan tidak akan ina kokoh jika pilar-pilarnya tidak kokoh. Kelima pilar tegaknya bangunan Islam itu adalah: Pertama, dua kalimat syahadat. Syahadat adalah keyakinan (pengetahuan) di dalam hati yang diucapkan dengan lisan dan diberitahukan kepada khalayak. Karena itu, yang dimaksud dalam hadis ini adalah mengikrarkan dengan lisan di hadapan orang-orang bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dengan itu seseorang secara formal menjadi Muslim dan terkena semua seruan syariah. Kedua, menegakkan shalat. Maknanya adalah melaksanakan shalat sesuai dengan ketentuannya baik waktu, rukun, syarat; wajib dan sunnahnya; azimah dan rukhsah-nya; serta memelihara keajegan pelaksanaannya. Menegakkan shalat dicantumkan setelah syahadat menunjukkan betapa pentingnya shalat dalam Islam. Seperti wasiat Nabi saw. Kepada Muadz bin Jabal, shalat merupakan tiang agama. Di dalam hadis shahih juga dinyatakan bahwa shalat adalah simpul yang paling akhir hilang. Shalat juga yang pertama dihisab di akhirat nanti dan mempengaruhi baik dan buruknya amal-amal lainnya. Shalat

merupakan ibadah badaniah, pelaksanaannya ina terlihat kasatmata, dan manfaat langsungnya bersifat personal; yaitu hikmahnya mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dari sisi waktu, shalat merupakan ibadah yang sifatnya kontinu harian. Ketiga, menunaikan zakat. Zakat dicantumkan setelah shalat, karena di dalam a-Quran dan as-Sunnah, pada galibnya zakat dikaitkan dengan shalat. Zakat merupakan ibadah yang bersifat inancial dan manfaatnya secara materi melampaui pelakunya. Allah mewajibkannya dalam harta orang kaya dalam bentuk yang memberikan manfaat kepada orang fakir dan tidak membahayakan orang kaya, karena zakat itu hanyalah jumlah sedikit dari harta yang banyak. Zakat merupakan ibadah yang sifatnya inancia tahunan karena wajib ditunaikan setelah berlalu satu haul; kecuali zakat hasil pertanian dan buah-buahan yang inancia setiap kali panen. Keempat, berhaji. Berhaji disebutkan setelah zakat sebelum puasa Ramadhan. Urutan demikian adalah periwayatan secara maknawi, sementara secara lafzhi, seperti yang dinyatakan Ibn Umar dalam riwayat Muslim, berhaji disebutkan setelah puasa Ramadhan. Mayoritas riwayat menyebutkan berhaji lebih dulu dan ini pulalah yang dipilih Imam alBukhari. Berhaji mewakili jenis ibadah ketiga setelah shalat dan zakat, yaitu merupakan ibadah yang bersifat badaniah sekaligus inancial. Dari sisi waktu, berhaji bukanlah ibadah yang sifatnya inancia karena berhaji diwajibkan hanya sekali seumur hidup, itu pun bagi mereka yang mampu untuk berhaji. Di dalam ibadah haji itu terdapat hikmah berupa berbagai manfaat baik inancial maupun bukan dan ina dirasakan oleh semua orang bukan hanya yang fakir saja (lihat QS al-Hajj [22]: 28). Kelima, puasa Ramadhan. Sebagian riwayat menyebutkan puasa Ramadhan sebelum berhaji, sesuai dengan urutan waktu pensyariatannya. Puasa Ramadhan disyariatkan pada tahun ke dua, sedangkan berhaji disyariatkan (diwajibkan) pada tahun ke enam atau ketujuh hijriyah. Dalam riwayat yang menyebut puasa Ramadhan dalam urutan terakhir, ada indikasi bahwa puasa merupakan ibadah badaniah dan hikmah langsungnya juga bersifat personal. Sifat itu sudah diwakili oleh shalat. Dari sisi periode, sifatnya tahunan dan sifat demikian sudah terwakili oleh zakat. Puasa Ramadhan disebutkan sebagai pilar (rukun) Islam, karena keistimewaan yang pelaksanaannya tidak ina begitu saja terlihat secara kasatmata. Jadi sifatnya sangat personal antara seorang hamba dengan Allah. Allah SWT juga memposisikan puasa sebagai ibadah yang khusus untuk-Nya dan hanya Dia saja yang menentukan besaran pahalanya. Kelima rukun (pilar) tersebut mewakili semua jenis dan sifat ketaatan, yang berisfat badaniah, inancial atau keduanya; periode harian, tahunan atau sekali seumur hidup; dan manfaat langsungnya bersifat personal, dirasakan orang fakir atau bersifat umum untuk orang kebanyakan; pelaksanaannya ina terlihat langsung secara kasatmata ataupun tidak karena lebih khusus antara hamba dengan Allah. Alhasil, hadis ini mendeskripsikan bahwa bangunan Islam itu dibangun dan tegak di atas semua jenis dan bentuk ketaatan serta ketundukan total kepada Allah SWT. WaLlh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman]

Menjaga Diri Dari Su al-Khatimah Imam an-Nawawi menilai hadis ini termasuk pokok agama sehingga beliau memilih dan memasukkannya di dalam Al-Arban an-Nawawiyah sebagai hadis keempat setelah hadis tentang Rukun Islam. Dari hadis ini bisa dipetik faedah-faedah berikut: Pertama, proses perkembangan janin di dalam rahim; yaitu 40 hari pertama terbentuk zigot hasil pertemuan sel sperma dan sel telur. Keduanya yang semula terpisah dan terpencar kemudian dihimpun di dalam rahim, bertemu dan berpadu sehingga terbentuk bakal janin (yujmau khalquhu f bathni ummihi). Proses tersebut juga dijelaskan di dalam al-Quran QS al-Hajj [22]: 5 dan al-Muminun *23+: 14. Hadis ini merupakan salah satu bukti kenabian Muhammad saw. karena informasi seperti itu tidak mungkin disampaikan oleh seorang yang ummi kecuali karena mendapat informasi dari Allah, Zat Yang mengetahui kejadian itu. Pengetahuan tersebut secara sains baru bisa dibuktkan setelah ada penemuan alat modern pada abad 20. Kedua, hadis ini menjelaskan bahwa pada usia kehamilan 120 hari, Allah mengutus Malaikat dan meniupkan ruh ke janin tersebut. Lalu Malaikat itu diperintahkan untuk menuliskan rezeki, ajal, amalnya dan apakah bahagia ataukah sengsara. Dalam riwayat Imam al-Bukhari, proses penulisan empat perkara itu sebelum ruh ditiupkan. Ketiga, keadaan atau perbuatan di akhir hidup menentukan nasib manusia di Hari Akhir nanti apakah di neraka atau di surga. Al-Kitab dalam hal ini bukan berarti bahwa Allah menakdirkan seseorang menjadi penghuni surga hingga bagaimana pun perbuatan orang itu sepanjang hidupnya, ia tetap saja akan mengakhiri hidup dengan perbuatan ahli surga, maka ia pun masuk surga. Atau sebaliknya, Allah menakdirkan seseorang menjadi ahli neraka hingga bagaimanapun hidupnya, dia tetap akan mengakhiri hidup dengan perbuatan ahli neraka, maka ia pun masuk neraka. Sebab, jika demikian maka itu artinya Allah menzalimi hamba. Mahasuci Allah dari yang demikian dan sekali-kali Dia tiada menzalimi hamba-Nya (QS Fushshilat [41]: 46). Makna al-kitab dalam masalah ini tidak lain adalah ilmu Allah. Artinya, sejak awal Allah mengetahui akhir kehidupan seorang hamba, apakah mengerjakan perbuatan ahli surga sehingga akan masuk surga, ataukah mengerjakan perbuatan ahli neraka sehingga akan masuk neraka. Hadis ini menyatakan akhir perbuatan manusia menentukan nasibnya di Hari Akhir, di surga atau di neraka. Hadis ini juga menyatakan bisa saja orang yang secara lahiriah melakukan

perbuatan ahli surga ternyata mengakhiri hidup dengan perbuatan ahli neraka, atau sebaliknya. Hadis ini mengindikasikan agar seseorang tidak berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah. Sebab, meski ia telah lama mengerjakan perbuatan ahli neraka, maka kalau ia bertobat dengan tawbat[an] nashh, Allah akan menerima tobatnya dan mengampuninya, dan bisa saja ia mendapat husnu al-khtimah dan nanti akan masuk surga. Hadis ini sekaligus merupakan peringatan agar kita tidak tertipu dengan perbuatanperbuatan baik yang telah kita lakukan. Namun, hendaknya setiap kita berharap perbuatan baik itu diterima oleh Allah, sekaligus khawatir akan akhir perbuatan kita. Hendaknya setiap kita khawatir perbuatan yang sedang dilakukan akan menjadi akhir perbuatannya. Sebab, ajal telah ditetapkan oleh Allah, namun tiada seorang pun yang mengetahui kapan datangnya jadi bisa datang kapan saja. Karena itu, jangan sampai kita lengah hingga melakukan kemaksiatan, perbuatan buruk, perbuatan ahli neraka, apalagi sampai kafir dan syirik, lalu itu menjadi akhir perbuatan dan kita mendapatkan s al-khtimah. Wa al-iydz biLlh. Karena itu pula, hendaknya setiap kita terus-menerus menjaga perbuatan agar merupakan ketaatan, perbuatan baik, perbuatan ahli surga, hingga jika itu menjadi akhir perbuatan di dunia, kita mendapatkan husnu al-khtimah, dan di Hari Akhir akan masuk surga. Sebagai hamba yang lemah, sepantasnya kita mengulang-ulang doa sebagaimana yang diulang-ulang oleh Nabi saw.: Allhumma y muqalliba al-qulb tsabbit qulban al dnika wa y musharrifa al-qulb sharrif qulban il thatika (Ya Allah, duhai Zat Yang membolak-balik hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu; duhai Zat Yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami menuju ketaatan kepada-Mu). [Yahya Abdurrahman]

Semua Yang Menyalahi Islam Tertolak Siapa saja yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami ini, yang bukan bagian darinya, maka tertolak (HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah) Hadis ini diriwayatkan dari jalur Abdullah bin Jafar al-Makhrami az-Zuhri dan Ibrahim bin Saad. Keduanya dari Saad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf, dari al-Qasim bin Muhammad, dari Aisyah ra. Hadis ini juga diriwayatkan dengan lafal: Siapa saja yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan kami maka tertolak (HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah, dll). Al-Muhdatsah adalah sesuatu yang diada-adakan, atau sesuatu yang baru, yang belum ada contoh sebelumnya. Lafal f amrin maknanya adalah f dnin (di dalam agama kami). Kata radd[un] maknanya adalah mardd[un] (tertolak)dalam bentuk mashdar dalam makna mafl; seperti kata khalq yang bermakna makhlq (yang diciptakan). Imam an-Nawawi memasukkannya di dalam Hadis Arbain, hadis ke lima. Hadis ini mengandung kaidah induk dalam Islam. Ibn Rajab al-Hanbali di dalam Jmi al-Ulm wa alHikam menyatakan, Hadis ini adalah salah satu pokok agung dari Islam. Ia merupakan neraca amal pada lahiriahnya; sebagaimana hadis perbuatan itu bergantung pada niat adalah neraca amal pada batinnya. Setiap amal yang tidak ditujukan meraih ridha Allah maka pelakunya tidak mendapat pahala sedikitpun. Demikian juga setiap amal yang tidak sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya adalah tertolak. Setiap hal baru dalam perkara agama ini yang tidak diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya bukanlah bagian dari agama sedikitpun (tertolak).

Manthq kedua hadis ini menyatakan bahwa setiap hal baru dan setiap perbuatan yang menyalahi ketentuan Islam, yakni menyalahi syariah, adalah tertolak. Adapun dari mafhmnya bisa dipahami, bahwa amal dan hal baru yang tidak menyalahiartinya yang sesuai dengan ketentuan Islam dan syariahnyaadalah diterima. Jadi makna hadis ini adalah bahwa siapa saja yang amal perbuatannya keluar dari syariah, tidak terikat dengan syariah, adalah tertolak. Hadis di atas menyatakan tidak semua hal yang baru tertolak. Karena hadis itu bukan hanya menyatakan man ahdatsa, tetapi melengkapinya dengan sifat m laysa minhu (yang bukan bagian darinya). Jadi yang tertolak adalah hal baru apa sajabaik pendapat, ucapan atau perbuatanyang menyalahi atau keluar dari koridor agama atau syariah. Sabda Nabi saw. laysa alayhi amrun mengindikasikan bahwa semua amal perbuatan seseorang harus berada dalam koridor hukum-hukum syariah dan hukum syariah menjadi pemutus atas amal perbuatannya itu melalui perintah dan larangannya. Jadi, siapa yang perbuatannya berjalan di bawah hukum-hukum syariah, sesuai dengan hukum-hukum syariah, adalah diterima. Sebaiknya, siapa yang perbuatannya keluar dari hal itu adalah tertolak. Dengan demikian, hadis ini menegaskan wajibnya terikat dengan syariah. Tentang perbuatan menyalahi perintah maka harus dilihat. Perintah syariah adakalanya disertai penjelasan tentang tatacara atau langkah-langkah praktis pelaksanaannya (kayfiyah al-ad), artinya kayfiyah al-ad-nya telah ditetapkan atau telah dibatasi. Contohnya shalat, haji, dan sebagian besar ibadah. Karena itu, melakukannya dengan tatacara yang berbeda, menyalahi dan keluar dari tatacara yang telah ditetapkan itu, adalah haram dan disebut telah melakukan bidah. Misalnya, bersujud tiga kali dalam satu rakaat, melempar jumrah sebanyak delapan kali, dan sebagainya. Inilah yang secara istilah disebut bidah, yaitu menyalahi tatacara syari yang telah dijelaskan oleh syariah dalam melaksanakan perintah syariah. Sebagian besar ibadah dijelaskan kayfiyah al-ad-nya. Adakalanya perintah bersifat umum atau mutlak tanpa disertai penjelasan kayfiyah al-adnya. Misal, Rasul memerintahkan agar melakukan transaksi salam dalam timbangan, takaran dan tempo yang jelas; menukarkan emas dengan emas dan perak dengan perak harus semisal dan sama; dsb. Namun, kayfiyah al-ad atau langkah-langkah praktis pelaksanaannya tidak dijelaskan. Langkah-langkah melakukan transaksi ituapakah harus berdiri, duduk, saling berjabat tangan, membaca ayat lebih dahulu, dsbtidak dijelaskan. Misal lain, Rasul memerintahkan berdiri ketika ada jenazah lewat, tetapi bagaimana berdirinya tidak dijelaskan. Rasul juga memerintahkan untuk memilih istri/suami yang agamanya baik, tetapi beliau tidak menjelaskan bagaimana tatacara memilihnya. Dalam masalah muamalah kondisinya seperti ini, yakni tidak dijelaskan kayfiyah al-ad atau langkah-langkah praktis pelaksanaannya. Perintah dalam masalah muamalah ini bersifat umum atau mutlak. Penyimpangan terhadap perintah syariah dalam masalah muamalah ini tidak disebut bidah. Akan tetapi, penyimpangan itu ada dalam cakupan hukum syariah. Jika berkaitan dengan hukum taklfi maka disebut haram, makruh atau mubah. Tidak berdiri saat jenazah lewat tidak disebut bidah, tetapi dikatakan itu adalah mubah. Sebab, riwayat Imam Muslim menyatakan bahwa beliau tetap duduk ketika ada jenazah lewat. Seseorang yang

tidak menutup auratnya di hadapan orang asing tidak dikatakan telah berbuat bidah, tetapi dikatakan telah melakukan keharaman. Jika penyimpangan itu dalam hukum wadhi maka disebut batil atau fasad. Inilah yang berlaku dalam seluruh akad. Jika menyalahi ketentuan tentang pokok atau substansi akad misalnya menyalahi ketentuan ijab qabul, obyek akadnya tidak jelas (majhl) atau yang berakad bukan orang yang berhak melakukannya, maka akadnya batil. Adapun jika penyimpangan itu bukan tentang pokok atau substansi akad, misal mahar tidak disebutkan dalam akad nikah, gaji belum disebutkan saat akad kerja, dsb, maka dikatakan akadnya fasad. Demikianlah seterusnya. WalLhalam. [Yahya Abdurrahman]

Menjauhi Syubhat Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar (syubhat) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Siapa saja yang menjaga diri dari syubhat maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Siapa saja yang jatuh ke dalam syubhat maka ia hampir terjatuh pada yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar hima (daerah terlarang); hampir-hampir ia (terjatuh) menggembala di dalamnya. Ingatlah, setiap raja memiliki hima. Ingatlah, hima Allah adalah apa-apa yang Dia haramkan, dan ingatlah di dalam tubuh ada sekerat daging, jika ia baik, seluruh tubuhpun baik dan jika ia rusak maka rusak pulalah seluruh tubuh. Ingatlah itu adalah kalbu (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasai, Ibn Majah, Abu Dawud, at-Tirmidzi, ad-Darimi, al-Baihaqi). Hadis dari an-Numan bin Basyir ini disepakati kesahihannya. Menurut para ulama, hadis ini termasuk di antara pokok terpenting dalam agama. Hadis ini menjelaskan, bahwa sesuatu dan perbuatan itu ada yang sudah jelas halal dan haramnya. Di antaranya ada yang samar (syubhat); halal ataukah haram bagi banyak orang, tetapi jelas bagi sebagian orang, yaitu ulama. Bagi siapa saja yang halal-haramnya sesuatu atau perbuatan masih samar (syubhat), hendaknya ia tidak mengambil atau melakukannya hingga jelas baginya bahwa itu halal, khawatir terjerumus dalam keharaman. Kesamaran (syubhat) tentang status hukum sesuatu atau perbuatan itu bisa datang dari beberapa faktor. Pertama: faktor nash, yaitu ketika dallah nash-nash yang ada belum dipahami dengan jelas menunjukkan halal atau haram. Misalnya, karena adanya dua nash

yang terlihat bertentangan, yang satu menunjukkan halal dan lain menunjukkan haram. Selama belum jelas maka hendaknya menahan diri, tidak mengambil atau melakukannya, sampai kemudian jelas halal atau haramnya, baik dengan menjamak (mempertemukan) nash-nash itu atau akhirnya harus dilakukan tarjh. Tentu untuk melakukan itu diperlukan ilmu syariah yang cukup sehingga hanya ulama yang bisa melakukannya. Kedua: faktor kesamaran terkait dengan sesuatu itu sendiri. Ini ada beberapa hal: 1. Karena prosesnya atau apa yang terjadi di dalamnya. Contoh: akad/transaksi yang di dalam prosesnya ada kesamaran sehingga menimbulkan keraguan tentang halal dan haramnya. Namun, syubhat itu tidak untuk semua orang. Bagi mereka yang memiliki pemahaman memadai tentang fakta hukum (manth) yang dideskripsikan oleh nash tentang akad/transaksi dan memiliki kemampuan membedah fakta, menganalisis dan memilah prosesnya sehingga bisa mendiagnosisnya dengan detil dan tepat, akad/transaksi itu jelas halal dan haramnya. Contoh lain: tempat-tempat yang sering/banyak dilakukan kemaksiatan di dalamnya sehingga identik sebagai tempat maksiat, seperti night club, bioskop karena iktilth (campur-baur) di dalamnya, bar, dsb. 2. Adanya kemiripan pada sesuatu itu. Contoh: riwayat Bukhari bahwa Saad bin Abi Waqash dan Abdu bin Zamah berselisih tentang perwalian Ibn Walidah Zamah. Saad mengakuinya sebagai anak saudaranya, Utbah bin Abi Waqash, sesuai pesan Utbah dan karena begitu mirip dengan Utbah. Adapun Abdu bin Zamah mengakuinya sebagai saudaranya karena dilahirkan di tempat tidur Zamah. Rasul saw. memutuskan, yang berhak atas perwalian Ibn Walidah Zamah adalah Abdu bin Zamah. Artinya, secara formal ia adalah saudaranya Abdu bin Zamah dan Saudah binti Zamah, Ummul Mukminin. Namun, karena adanya kemiripan dengan Utbah bin Abi Waqash, Rasul saw. menyuruh Saudah binti Zamah untuk berhijab kepada Ibn Walidah Zamah. 3. Karena kesamaran sebab perolehan atau kehalalannya. Contoh: riwayat al-Bukhari dari Adi Bin Hatim. Ia berburu dengan anjing dan ketika melepasnya ia menyebut asma Allah. Namun, saat anjingnya kembali, ada anjing lain yang juga ikut menggigit hewan buruannya. Rasul saw. menyuruhnya untuk meninggalkan buruan itu karena syubhat; jika anjingnya yang membunuh hewan itu maka ia halal; tetapi jika anjing yang lain yang membunuhnya maka ia haram; sementara tidak bisa diputuskan anjing yang mana yang melakukannya. Contoh lain: orang berburu dengan senapan, namun buruannya jatuh terjebur air sehingga syubhat buruan itu mati karena pelurunya atau karena terjebur air. Contoh lain: orang menyembelih ayam dan langsung dicelupkan ke dalam air panas sehingga syubhat: ayam itu mati karena disembelih atau dicelupkan air panas. 4. Samar dalam kepemilikan atau adanya hak orang lain di dalamnya. Contoh: riwayat bahwa Rasul menemukan sebutir kurma di rumah, dan Beliau hendak memakannya, lalu Beliau urungkan, khawatir itu kurma sedekah; karena Beliau pernah membawa kurma sedekah ke rumah sebelum dibagikan. 5. Kesamaran tentang fisik bendanya. Contoh: Saat Abu Hanifah berbelanja, satu keping dinarnya jatuh, saat beliau mau mengambilnya ternyata ada dua keping dinar, maka beliau pun tidak jadi mengambilnya. Ketika si penjual bertanya mengapa, beliau menjawab, Yang

mana uang dinarku?. Contoh lain, harta yang bercampur dengan harta yang haram dan tidak bisa dipisahkan yang halal dari yang haram. Siapa saja yang bersiap wara meninggalkan semua syubhat itu, maka ia telah menyelamatkan agamanya, yakni selamat dari dosa dan azab Allah, dan menyelamatkan kehormatannya, yaitu selamat dari anggapan/penilaian buruk dari orang-orang. Wa m tawfqi ill biLlh [Yahya Abdurrahman]

Agama Itu Nasihat Nabi saw. bersabda, Agama itu nasihat. Kami (para Sahabat) bertanya, Untuk siapa? Nabi saw. menjawab, Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslim dan untuk kaum Muslim secara umum. (HR Muslim, Abu Dawud, an-Nasai). Hadis ini dikeluarkan oleh al-Humaidi dari Sufyan. Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini dari jalur Abdurrahman bin Mahdi, dari Sufyan; dari jalur Yahya bin Said, dari Sufyan; dari jalur Abdurrazaq, dari Sufyan; dari jalur Waki, dari Sufyan; dan dari jalur Sufyan bin Uyainah. Imam Muslim dari jalur Muhammad bin Hatim, dari Ibn Mahdi, dari Sufyan; dari jalur Umayyah bin Bistham, dari Yazid bin Zurai, dari Rawh bin al-Qasim. Abu Dawud dari jalur Ahmad bin Yunus, dari Zuhair. An-Nasai dari jalur Yaqub bin Ibrahim, dari Abdurrahman dari Sufyan. Keempatnya (Sufyan bin Uyainah, Sufyan ats-Tsauri, Rawh bin al-Qasim, Zuhair) dari Suhail bin Abi Shalih, dari Atha bin Yazid al-Laitsi, dari Tamim ad-Dari. Hadis ini juga dikeluarkan oleh Imam Ahmad, at-Tirmidzi dan an-Nasai dari jalur Abu Hurairah. Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani berkata: hadis hasan sahih. Ad-Darimi mengeluarkan hadis ini dari Ibn Umar. Hadis ini termasuk pokok agama. Imam an-Nawawi memasukkannya dalam Al-Arban hadis ke-tujuh.

Ad-Dn an-Nashhah (Agama itu Nasihat) maknanya adalah mayoritas atau bagian terbesar (muzham), pilar dan tiang agama ini adalah nasihat. Ini seperti hadis, Al-Hajj Arafah (Haji itu wukuf di Arafah). Asal kata nashhah diambil dari: Pertama, nashaha al-asala (memurnikan madu) yang artinya khallasha (memurnikan) sehingga nashhah artinya kemurnian. Kedua, diambil dari nashaha ar-rajulu tsawbahu idz khthahu (Laki-laki itu nashaha bajunya jika ia menjahitnya). Menjahit adalah mempertautkan dua ujung kain dengan jahitan hingga bertaut erat. Orang yang memberi nasihat diserupakan dengan itu karena ia mengehendaki kebaikan bagi orang yang diberi nasihat seperti ia menghendaki kebaikan baju atau menambal bolongnya dengan menjahitnya. Karena itu, nasihat diartikan menghendaki atau mengantarkan kebaikan kepada orang yang dinasihati dengan ucapan ataupun perbuatan. Huruf al-lm dalam frasa lilLh adalah lil istihqq (menyatakan yang berhak). Jadi agama adalah nashhah yang harus ditunaikan kepadasebagai hakAllah, Rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin kaum Muslim dan kaum Muslim secara umum. Dalam konteks ini arti nashhah yang pertama lebih tepat ditujukan kepada Allah, Rasul-Nya dan Kitab-Nya; artinya adalah memurnikan penunaian apa saja yang diperuntukkan kepada Allah, Rasul-Nya dan Kitab-Nya. Nasihat untuk Allah maknanya adalah mengimani Allah dengan sepenuh makna dan cakupannya; mentauhidkan Allah secara rububiyah, uluhiyah, asma wa shifat dan hakimiyah; taat kepada-Nya atas dasar cinta yang menghimpun harapan dan rasa takut dengan menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang; menyeru manusia kepada-Nya; membangun loyalitas dan disloyalitas karena-Nya; berjihad di jalan-Nya; dsb. Nasihat untuk Kitab-Nya adalah mengimaninya sebagai kalamullah dan mengamalkan segala isinya; mengagungkannya; membacanya dengan benar, khusyuk saat membaca dan mendengarnya; membelanya dari orang yang mengotorinya dan memalingkan atau mengacak-acak maknanya; mempelajari dan memahaminya; serta mengajarkan dan memahamkannya kepada manusia; dsb. Nasihat untuk Rasul-Nya adalah mengimani kenabian dan risalah beliau; membenarkan apa saja yang beliau bawa; menaati perintah dan larangan beliau; membela beliau; membangun loyalitas dan disloyalitas karena beliau; mengambil, mengikuti, mempelajari, memahami, menghidupkan dan menyebarkan sunnah beliau; memenuhi seruan beliau; mencintai keluarga dan para sahabat beliau; dsb. Nasihat dalam arti kedua lebih tepat diperuntukkan kepada para pemimpin kaum Muslim dan kepada kaum Muslim umumnya. Nasihat untuk pemimpin kaum Muslim mencakup membantunya di atas kebenaran; menaatinya dalam kemakrufan; memberi tahu yang mereka lupa; menyampaikan hak-hak kaum Muslim; amar makruf nahi mungkar kepadanya dan mengoreksinya jika salah; membantu dan mendorongnya untuk mewujudkan penghambaan semata kepada Allah dan menjauhi kesyirikan dalam hal rububiyah, uluhiyah, asma wa shifat dan hakimiyah Allah; berjihad di belakangnya; dsb.

Adapun nasihat untuk kaum Muslim pada umumnya maknanya adalah dengan menunjuki mereka kepada kebaikan dan kemaslahatan mereka di dunia dan diakhirat; tolongmenolong dalam ketakwaan bukan dalam kemaksiatan; menutup aurat dan aib mereka; menambal kekosongan mereka; merealisasi manfaat untuk mereka dan menolak madarat dari mereka; amar makruf dan nahi mungkar kepada mereka; menunaikan hak-hak mereka; tidak menzalimi dan tidak menipu mereka; tidak memakan harta mereka secara zalim; menyukai untuk mereka apa yang disukai untuk diri sendiri dan membenci untuk mereka apa yang dibenci untuk diri sendiri serta mendorog mereka untuk menunaikan semua bentuk nasihat di atas; dsb. Bahkan Rasulullah saw. bersabda: ): ( Hak Mukmin terhadap Mukmin lainnya ada enam: (di antaranya) jika ia meminta nasihatmu maka nasihati dia (HR Muslim). Memberikan nasihat kepada kaum Muslim seperti yang dituturkan Jarir bin Abdullah termasuk materi baiat yang diambil Nabi saw. dari para Sahabat. Di antara praktiknya, Ibn Baththal menukil dari Ibn AJlan, dari Awn bin Abdullah, bahwa jika Sahabat yang mulia Jarir bin Abdullah menawarkan dagangan, ia menjelaskan cacatnya lalu ia berkata kepada pembeli, Jika mau, belilah, dan jika tidak, tinggalkan. Saat dikatakan, Jika engkau melakukan itu maka tidak akan terjadi jual-beli untukmu. Jarir menjawab, Kami telah membaiat Rasulullah agar menasihati setiap Muslim. Ini menunjukkan keluasan makna nasihat dalam konteks hadis ini. Wa m tawfqi ill bilLh. [Yahya Abdurrahman]

Syahadat Memelihara Darah dan Harta Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali (mereka melakukan kesalahan yang boleh dihukum) menurut ketentuan Islam dan perhitungan amal mereka terserah pada Allah (HR al-Bukhari dan Muslim). Imam al-Bukhari mengeluarkan hadis ini dari jalur Abdullah bin Muhammad al-Musnadi, dari Abu Rawh al-Harami bin Ammarah. Imam Muslim mengeluarkannya dari jalur Abu Ghasan al-Mismai Malik bin Abdul Wahid, dari Abdul Malik bin Shabah. Keduanya (al -Harami bin Ammarah dan Abdul Malik bin Shabah) dari Syubah, dari Waqid bin Muhammad, dari Muhammad bin Zaid, dari Ibn Umar ra.

Frasa umirtu maknanya adalah Allah memerintahku. Sebab, ketika frasa itu diucapkan oleh Nabi saw. maka yang memerintahkan tidak lain adalah Allah SWT. Kalimat umirtu an uqtila an-nsa (aku diperintahkan untuk memerangi manusia) bukan bermakna perintah untuk memulai atau menginisiasi perang terhadap seluruh manusia. Banyak riwayat seperti riwayat Buraidah yang menjelaskan bahwa perang adalah langkah terakhir. Sebelum perang itu harus didahului oleh proses dakwah menyeru mereka untuk masuk Islam. Kalau tidak mau, mereka diseru menggabungkan wilayah mereka ke wilayah Daulah Islam (Dr al-Muhjn). Jika mereka tidak mau, lalu ditawarkan untuk membayar jizyah. Jika mereka tidak mau juga, baru diperangi. Nabi saw. tidak akan memerangi suatu kaum hingga terlebih dulu menyerukan Islam kepada mereka. Dalam pelaksanaannya Nabi saw. selalu menunggu pagi hari dan memastikan tidak terdengar azan di wilayah itu. Jika terdengar azan maka perang beliau urungkan. Kata an-ns (manusia) merupakan kata umum yang meliputi seluruh manusia. Hanya saja, perang terhadap manusia itu terhalang atau harus dihentikan ketika mereka mengucapkan dua kalimah syahadat. Dari kata hatt dalam hadis ini dapat ditarik mafhum mukhalafahnya, yaitu jika belum bersyahadat maka manusia itu akan terus diperangi. Hanya saja, mafhum mukhalafah ini hanya berlaku bagi kaum musyrik Arab dan tidak berlaku pada selain mereka. Dari kaum musyrik Arab tidak akan diterima apapun kecuali mereka masuk Islam. Jika mereka menolak mereka diperangi (lihat: QS at-Taubah [9]: 5). Adapun bagi selain mereka maka nash-nash yang ada menyatakan bahwa perang dihentikan jika mereka mau tunduk di bawah sistem Islam dan membayar jizyah, meski mereka tidak masuk Islam dan tetap dalam keyakinan dan agama mereka. Ini berlaku untuk kalangan Ahlul Kitab (QS at-Taubah [9]: 29). Adapun untuk kaum kafir selain Ahlul Kitab, yaitu kaum musyrik selain kaum musyrik Arab, maka perlakuannya didasarkan pada sabda Nabi saw. yang memperlakukan Majusi Hajar sesuai dengan perlakuan kepada Ahlul Kitab. Begitu pula orang-orang Persia ketika di-futuhat pada masa Umar bin al-Khaththab ra.; mereka dibiarkan tetap dalam keyakinan mereka, ketika mereka mau tunduk pada sistem Islam dan membayar jizyah. Tidak seorang pun Sahabat yang mengingkari hal itu sehingga hal itu merupakan Ijmak Sahabat. Hadis ini juga menyatakan bahwa dengan bersyahadatyaitu bersaksi dengan mengucap L ilha ill al-Lh Muhammad rasl al-Lhdarah dan harta orang yang mengucapkannya terpelihara. Hal itu jelas dinyatakan oleh salah satu lafal hadis ini dalam riwayat Imam alBukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah ra., riwayat Imam Muslim dari Jabir ra. dan dalam riwayat dari Anas bin Malik ra. Rasulullah saw. juga pernah sangat marah kepada Khalid atau Usamah karena membunuh musuh di medan perang yang ketika akan dibunuh ia mengucapkan syahadat. Adapun frasa yuqm ash-shalta wa yut az-zakta maka itu karena keistimewaan posisi shalat dan zakat. Hal itu mengindikasikan bahwa syahadat atau keimanan itu melahirkan konsekuensi untuk beramal salih. Amal saleh itu kadang berupa amal badani dan shalat adalah amal badani yang paling utama. Bisa pula berupa amal finansial dan zakat adalah yang paling utama.

Jika seseorang sudah bersyahadat maka darah dan hartanya terpelihara, tidak boleh dilanggar oleh siapapun; ill bihaqqi al-islm atau ill bihaqqih, yaitu kecuali karena orang itu melakukan perbuatan yang menurut ketentuan Islam harus dikenai sanksi. Ini pula yang dijadikan argumentasi oleh Abu Bakar ketika memutuskan memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat seperti dijelaskan di dalam Shahihayn, yaitu karena zakat itu adalah haq alislm dalam bentuk haq al-ml. Karena itu, ketika mereka menolak kewajiban zakat itu dan mereka sudah dinasihati, diperingatkan dan diminta tobat, namun mereka justru membangkang dengan kekuatan, maka Abu Bakar ra. memutuskan mereka harus diperangi. Ibn Masud juga menuturkan bahwa Nabi saw. bersabda: : Tidak halal darah seorang Muslim yang bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku adalah Rasulullah kecuali karena salah satu dari tiga perkara: orang yang sudah menikah yang berzina, jiwa dengan jiwa dan orang yang meninggalkan agamanya dan memecahbelah jamaah (HR Bukhari dan Muslim). Frasa wa hisbuhum al Allh maknanya adalah hukum menurut lahiriahnya. Selama seseorang telah mengucap syahadat maka ia harus dihukumi sebagai Muslim. Adapun apa yang disembunyikan, baik kekufuran dalam kasus orang munafik, atau pelanggaran yang tersembunyi dalam kasus Muslim yang bermaksiat namun tidak terungkap, maka hisabnya terserah kepada Allah SWT. WalLh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman]

Adab Bertanya, Melaksanakan Perintah Dan Menjauhi Larangan Biarkan aku apa yang aku biarkan kepada kalian. Sesungguhnya kebinasaan umat sebelum kalian adalah karena pertanyaan dan penyelisihan mereka kepada nabi-nabi mereka. Jadi, jika aku melarang sesuatu atas kalian maka tingggalkanlah dan jika aku memerintahkan sesuatu maka lakukanlah sesuai batas kemampuan kalian (HR Ahmad, al-Bukhari, Muslim, al-Humaidi, Ibn Hibban, Abu Yala, dll) Hadis ini dikeluarkan oleh al-Humaidi dari Sufyan. Imam Ahmad mengeluarkannya dari Yazid dari Muhammad bin Ishaq. Imam al-Bukhari mengeluarkannya dari Ismail bin Abi Uwais dari

Malik. Imam Muslim mengeluarkannya dari Qutaibah bin Said dari al-Mughirah al-Hizami dan dari Ibn Abi Umar dari Sufyan. Abu Yala mengeluarkannya dari Wahab dari Khalid, dari Abdurrahman bin Abi Ishaq al-Madini. Ibn Hibban mengeluarkannya dari al-Fadhl bin alHubab al-Jumahi, dari Ibrahim bin Basyar dari Sufyan. Kelimanya (Sufyan bin Uyainah, Muhammad bin Ishaq, Malik, al-Mughirah al-Hizami, Abdurrahman bin Ishaq al-Madini) dari Abu az-Zinad, dari al-Araj, dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shahr ad-Dawsi ra. Imam Muslim, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, Ibn Hibban, Ibn Khuzaimah dan lainnya juga mengeluarkan hadis tersebut dengan redaksi sedikit berbeda melalui beberapa jalur dari penuturan Abu Hurairah ra. Imam an-Nawawi memasukkan hadis ini dalam Al-Arban an-Nawawiyah hadis ke sembilan. Hadis ini termasuk bagian dari salah satu pokok ajaran agama, yang memberikan tuntunan sikap bagi seorang Muslim terhadap larangan dan perintah. Lafal dzarn wa ikhtilfihim al anbiyihim meski redaksinya berita, maknanya adalah larangan menyelisihi nabi dan banyak bertanya. Menyelisihi nabi sudah diketahui oleh semua bahwa hukumnya adalah haram. Adapun bertanya maka qarinah yang ada menunjukkan larangan itu bermakna makruh dan itu pun hanya untuk jenis pertanyaan tertentu, bukan umum untuk semua pertanyaan. Sebab, Allah SWT justru memerintahkan untuk bertanya kepada ulama jika kita tidak tahu (QS an-Nahl [16]: 43; al-Anbiya *24+: 7). Dalam beberapa hadis Rasul saw. juga memerintahkan untuk bertanya. Begitupun para Sahabat banyak bertanya kepada Rasul saw., beliau tidak melarangnya dan beliau pun menjawab pertanyaan mereka. Ringkasnya, pertanyaan itu ada dua jenis. Pertama: pertanyaan yang dilarang. Di antaranya pertanyaan yang menimbulkan keraguan (tasykkiyah) dalam akidah atau tentang kelayakan syariah. Juga pertanyaan tentang perkara yang berada di luar jangkauan akal manusia, seperti pertanyaan tentang ruh (nyawa), tentang zat Allah, tentang zat/hal gaib, tentang jin, malaikat, dsb. Juga dilarang pertanyaan dalam rangka mendebat (li al-jidl), pertanyaan yang berputar-putar menyulitkan untuk membuat yang ditanya agar tampak bodoh (asilah taannutiyah) dan pertanyaan untuk mengejek atau memperolok (istihz). Begitu pula dilarang pertanyaan tentang detil suatu masalah secara berlebihan yang sebenarnya tidak perlu (tanathui), seperti pertanyaan apakah haji diwajibkan setiap tahun, yang menjadi asbabul wurud hadis ini. Juga pertanyaan yang dibuat-buat (takalluf) atau pertanyaan yang mengada-ada; termasuk pertanyaan: kalau, jika, seandainya begini bagaimana; yakni tentang sesuatu yang bersifat asumtif, bukan yang faktual atau dugaan kuat akan dijalani atau dihadapi. Dalam hal ini, para Sahabat, tabiun dan tabiut tabiin, tidak menyukai pertanyaan tentang sesuatu yang belum ada atau belum terjadi karenanya mereka bersikap tawaquf tidak mau menjawab atau membahasnya. Kedua: pertanyaan yang diperintahkan dan disyariatkan, yaitu pertanyaan dalam rangka talim, di antaranya agar lebih paham atau lebih jelas memahami nas dan hukum. Juga pertanyaan dalam rangka pengajaran untuk pembelajar yang lain supaya pelajaran yang diberikan guru, deskripsinya jadi lebih jelas, lebih lengkap atau lebih mudah dipahami para pembelajar. Bahkan bagi orang yang akan melakukan sesuatu dan dia belum/tidak tahu hukumnya, maka bertanya tentang hukum sesuatu itu sebelum dia melakukannya adalah

wajib. Sebab, tanpa itu dia tidak akan bisa melaksanakan kewajiban terikat dengan syariah dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu itu. Hadis ini memberi tuntunan sikap seorang Muslim. Terhadap perintah, dilaksanakan sesuai batas kemampuan. Maknanya bukanlah minimalis, tetapi justru maksimalis. Sebab, makna istithaah adalah aqsha thqah (kemampuan maksimal). Adapun larangan, maka ditinggalkan, dan itu tanpa dikaitkan dengan istithah. Sebab, meninggalkan adalah manahan diri, tidak melakukan, atau tidak mengambil yang dilarang itu, atau berhenti lalu menjauhinya jika terlanjur dikerjakan. Hadis ini mengisyaratkan bahwa dari pada menyibukkan diri dengan pertanyaan yang dilarang itu, hendaknya seorang Muslim lebih menyibukkan diri memahami apa yang dibawa oleh Nabi baik al-Quran maupun as-Sunnah, mendalami maknanya dan menggali hukumnya bagi yang mampu atau memahami hukum-hukum yang digali darinya oleh para mujtahid. Semuanya dalam rangka mempedomani dan mengamalkannya. Jika itu termasuk perkara pembenaran, hendaklah menyibukkan diri untuk membenarkannya baik ghalabah zhan ataupun mengimaninya sesuai tuntutan nas itu. Jika merupakan perkara amaliah, hendaklah mengerahkan segenap daya upaya untuk melaksanakannya sesuai batas kemampuan jika itu berupa perintah; dan meninggalkan serta menjauhinya jika berupa larangan. Jika masih ada waktu lebih, bolehlah memikirkan hukum apa yang mungkin akan terjadi menurut asumsi dengan maksud untuk dipedomani andai benar terjadi. Jadi tafaqquh fi ad-dn itu terpuji jika untuk amal dan tercela jika untuk riya dan perdebatan, apalagi untuk menimbulkan kerancuan, kebingungan dan keraguan di banyak orang. WalLh alam. [Yahya Abdurrahman]

Allah Hanya Menerima Yang Baik ( .) ( ) Hai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kaum Mukmin apa yang telah diperintahkan kepada para Rasul. Allah berfirman (artinya), Hai para Rasul, makanlah dari

sesuatu yang baik dan berbuat salehlah Dia juga berfirman (artinya), Hai orang-orang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah kami karuniakan kepada kalian. Lalu Rasul saw. menyebutkan seorang laki-laki yang telah melakukan perjalanan jauh dalam rangka ketaatan dan ibadah rambutnya kusut dan tubuhnya berdebu, ia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berseru. Ya Rabb, ya Rabb, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan dengan yang haram. Bagaimana bisa permintaanya akan dikabulkan? (HR Muslim, al-Bukhari, at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi dan Abd ar-Razaq) Hadis ini dikeluarkan oleh Abd ar-Razaq dari ats-Tsauri; Imam Ahmad dari Abu an-Nadhr; Imam Al-Bukhari di dalam Rafu al-Yadayn dan ad-Darimi dari Abu Nuaim; Imam Muslim dari Abu Kuraib Muhammad ibn al-Ala`, dari Abu Usamah; dan at-Tirmidzi dari Abd ibn Humaid dari Abu Nuaim. Keempatnya (Sufyan ats-Tsawri, Abu an-Nadhr Hasyim ibn alQasim, Abu Nuaim al-Fadhl ibn Dukain dan Abu Usamah Hamad ibn Usamah) dari Fudhail ibn Marzuq dari Adi ibn Tsabit dari Abu Hazim dari Abu Hurairah ra. Hadis ini menjelaskan empat poin. Pertama: bahwa Allah SWT adalah thayyib, yaitu suci dari segala kekurangan dan aib. Allah SWT hanya akan menerima yang baik-baik saja, apakah itu perbuatan, perkataan, keyakinan maupun harta. Perbuatan yang baik adalah perbuatan yang dilakukan ikhlas semata untuk Allah SWT, dilakukan sesuai tuntunan syariah, dan bebas dari hal-hal yang merusaknya seperti riya dan ujub. Harta yang baik (ml thayyib) adalah harta yang halal lagi baik. Allah SWT tidak menerima sedekah, infak, penunaian kewajiban seperti nafkah, zakat dsb, dari harta yang haram. Rasul pernah bersabda: Allah tidak akan menerima shalat tanpa kesucian (dari hadats dan najis) dan juga tidak menerima sedekah dari harta haram (HR Muslim, Ibn Majah, at-Tirmidzi dan Ahmad). Kedua: Allah SWT memerintahkan kaum Mukmin seperti yang diperintahkan kepada para rasul, yaitu untuk makan dari harta yang thayyib dan beramal salih. Yang diperintahkan adalah makan dari rezeki yang thayyib. Artinya, kehalalan itu harus diperhatikan bukan hanya pada makanannya saja, tetapi juga pada harta yang digunakan untuk membeli atau mendapatkan makanan itu. Makanan yang thayyib itu adalah makanan yang halal dan tidak membahayakan. Makan dari rezeki yang thayyib dan beramal salih dikaitkan dengan huruf wawu athaf mengisyaratkan adanya hubungan antara kehalalan makanan dengan amal salih. Dalam hal ini para ulama mengatakan bahwa makanan haram akan menghalangi atau setidaknya mengurangi diterimanya amal salih. Karena itu, para ulama salaf sangat memperhatikan kehalalan makanan, minuman dan pakaian mereka karena khawatir amal mereka tidak diterima oleh Allah SWT. Ketiga: hadis ini menjelaskan sebagian adab berdoa dan kunci dikabulnya doa, yaitu ada empat:

1. Ithlah as-safar. Safar dalam rangka ketaatan dan ibadah. Ini bisa juga dimaknai, memperbanyak ibadah, ketaatan dan amal salih, lalu bertawasul dengan ibadah, ketaatan dan amal salih itu untuk memohon kepada Allah SWT. 2. Asyatsa aghbara (berambut kusut dan tubuh berdebu). Bisa dimaknai menampakkan ketundukan, kelemahan, kerendahan keringkihan dan kefakiran di hadapan Allah SWT. Para ulama salaf jika hendak berdoa sengaja menjauhi pakaian indah, ada hiasannya, mahal dan bergengsi. Mereka sengaja memakai pakaian sederhana tanpa hiasan. Kemudian berdoa seraya menampakkan ketundukan, kelemahan, kerendahan, keringkihan dan kefakiran dalam sikap, suara dan ucapan. 3. Mengangkat tangan dengan tatacara sesuai kondisinya seperti yang dijelaskan dalam banyak hadis. Mengangkat tangan ketika berdoa adalah sunnah. 4. Mengawali dan mengulang-ulang sebutan rububiyah Allah SWT (Ya Rabb, ya Rabbi, Rabbiy, Rabban), asmaul husna atau bacaan Allhum (ya Allah). Keempat: Sebagian penghalang doa. Meski keempat adab dan kunci di atas terpenuhi, doa akan terhalang jika orang yang berdoa itu, makanan, minuman dan pakaiannya haram dan dia dikenyangkan dengan sesuatu yang haram. Harta itu mayoritasnya diperoleh dari muamalah. Sayangnya, banyak dari kaum Muslim yang tidak peduli akan kehalalan dan kesyari-an muamalah mereka. Mungkin karena itulah doa kaum Muslim tidak segera dikabulkan oleh Allah SWT; atau jangan-jangan kita termasuk di antaranya? Maka dari itu, siapa saja yang ingin mustajab doanya, ia harus memastikan makanan, minuman dan pakaiannya adalah halal baik dari sisi zat maupun dari tatacara perolehannya. Dia pun harus memastikan bahwa dia hanya dikenyangkan dengan sesuatu yang halal zat dan tatacara perolehannya. Itulah pesan Rasul saw., kunci diijabahnya doa, yang dipegang teguh oleh Saad bin Abi Waqash ra. yang menjadikannya salah seorang di antara sahabat yang mustajab doanya. Satu karamah beliau, setelah berdoa maka beliau dan seluruh pasukannya beserta kuda-kuda dan perlengkapan merekakecuali dua orang- ketika futuhat Persiabisa menyeberangi sungai Tigris layaknya berjalan di atas air. WalLh alam. [Yahya Abdurrahman]

Tinggalkan Yang Meragukan Tinggalkan apa yang meragukanmu menuju pada apa yang tidak meragukanmu (HR Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasai, ad-Darimi, Ibn Hibban, al-Hakim dan Ibn Khuzaimah)

Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dari Yahya ibn Said, dan dari Muhammad ibn Jafar; oleh ad-Darimi dari Said ibn Amir; oleh at-Tirmidzi dari Abu Musa al-Anshari, dari Abdullah ibn Idris dan dari Muhammad ibn Jafar al-Makhrami; oleh an-Nasai dari Muhammad ibn Aban, dari Abdullah ibn Idris; oleh Ibn Khuzaimah dari Bundar dan Abu Musa dari Muhammad ibn Jafar; oleh Ibn Hibban dari Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Aw n, dari Ahmad ibn al-Hasan at-Tirmidzi, dari Muamal ibn Ismail dari Syubah; oleh al-Hakim dari Ahmad ibn Kamil, dari Abdul Malik ibn Muhammad dari Said ibn Amir dan Afan dari Syubah, dan dari Abu Abdillah Muhammad ibn Yaqub dari Yahya ibn Muhammad, dar i Musadad. Keenamnya (Yahya Ibn Said, Muhammad ibn Jafar, Said ibn Amir, Abdullah Ibn Idris, Syubah, Musadad) dari Buraid ibn Abi Maryam, dari Abu al-Hawra as-Sadi namanya adalah Rabiah ibn Syaiban- dari al-Hasan bn Ali ibn Abi Thalib ra. dari Nabi saw. Imam atTirmidzi berkata, Ini adalah hadis hasan sahih. Al-Hakim mengatakan, Hadis ini sanadnya sahih meskipun Imam al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya. Dalam riwayat at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi dan Ibn Khuzaimah hadis itu masih ada kelanjutannya yaitu: Kejujuran itu menenteramkan, sedangkan kebohongan menimbulkan rasa was-was. Dalam riwayat Ibn Hibban dan al-Hakim kelanjutannya Kebaikan itu menentramkan, sedangkan keburukan menimbulkan rasa was-was. adalah:

Hadis ini merupakan salah satu pokok ajaran Islam untuk perilaku seorang Muslim agar tidak terjatuh pada pelanggaran dan maksiat. Hadis ini adalah salah satu hadis yang memberi tuntunan menghadapi syubhat. Al-Minawi di dalam Faydh al-Qadr menjelaskan: Da m yarbuka, yaitu tinggalkan apa yang engkau ragu keberadaannya sebagai terpuji atau tercela, halal atau haram; il m l yarbuka yaitu beralihlah pada apa yang tidak ada keraguan di dalamnya, yakni apa yang engkau yakini keterpujian dan kehalalannya. Fa inna ash-shidqa/al-khayr thumannah, yaitu hati merasa tenteram karena kejujuran atau kebaikan dan merasa tenang, artinya di dalamnya ada tempat dan sebab ketenteraman. Wa inna al-kadziba/asy-syarr rbatun, yaitu kebohongan atau keburukan itu membuat hati gelisah merasa was-was dan merasa kacau. Ath-Thayibi berkata: Maknanya, jika engkau mendapati jiwamu merasa was-was tentang sesuatu maka tinggalkanlah, sebab hati seorang Mukmin itu merasa tenteram karena kejujuran dan kebaikan dan merasa was-was karena kebohongan dan keburukan. Rasa waswasmu karena sesuatu mengabarkan keberadaan sesuatu itu mengarah pada kebatilan, maka hati-hatilah; sedangkan ketenteramanmu karena sesuatu mengabarkan kebenarannya, maka pegangilah. Ibn Rajab al-Hanbali di dalam Jmi al-Ulm wa al-Hikam mengatakan, Makna hadis ini kembali pada sikap berhenti pada saat menghadapi syubhat dan menjaga diri darinya. Sebab, yang halal murni itu tidak akan melahirkan was-was dan gelisah di hati seorang Mukmin. Sebaliknya, jiwanya akan tenang karena yang halal itu dan hatinya tenteram karenanya. Adapun syubhat akan melahirkan kegelisahan dan rasa was-was di hati akibat dari keraguanakan kehalalannya. Namun, para ulama mengingatkan bahwa kegelisahan dan ketenteraman hati bisa dijadikan pertanda yang mengarah pada kebatilan atau kebenaran itu hanya terjadi pada orang yang kondisinya lurus dan istiqamah, yang hatinya dipenuhi nuansa keimanan dan ia senantiasa

taat. Artinya, itu adalah hati seorang Mukmin; bukan hati orang yang suka bermaksiat atau hati orang kafir. Bahkan hati orang biasa saja atau orang kebanyakan tidak bisa dijadikan patokan dalam hal itu. Dengan demikian, manthuq hadis ini memerintahkan untuk meninggalkan apa sajabaik perkataan, perbuatan, muamalah, benda atau sesuatujika kita ragu akan status hukumnya, termasuk kebenaran atau kebatilan, halal ataukah haram. Adapun mafhum hadis ini memerintahkan kita agar hanya mengambil sesuatu atau melakukan suatu perbuatan atau muamalah kalau kita tidak syakk (ragu atau bimbang) lagi bahwa sesuatu itu halal dan terpuji. Kondisi itu kita peroleh jika kita sudah sampai pada dugaan kuat (ghalabah azh-zhann) atau keyakinan (yaqn)bergantung pada nas dan obyeknyabahwa sesuatu itu halal atau terpuji. Dengan begitu, hati kita akan merasa tenteram dan tenang ketika mengambil sesuatu itu atau mengerjakan perbuatan atau muamalah tersebut. Sebab kita, sudah mendapat dugaan kuat (ghalabah azh-zhann) atau keyakinan (yaqn) bahwa kita mengambil atau melakukan sesuatu yang halal dan diridhai oleh Allah dan bahwa kita tidak bermaksiat. Karena itu, hati pun akan tenteram dan tenang. Jika sesuatu yang diragukan saja diperintahkan untuk ditinggalkan, maka tentu sesuatu yang sudah jelas keharamannya harus ditinggalkan. Sesuatu yang sudah jelas haram, jika diambil, sudah jelas pula akan mengakibatkan rasa was-was dan kegelisahan hati, dan ketenteraman serta ketenangan pun jelas jauh dari hati yang seperti itu. Hadis ini juga mengandung perintah agar kita membangun semua urusan kita tidak di atas rbah atau syakk (keraguan). Sebab, kita diperintahkan untuk mengambil apa yang tidak meragukan atau yang di dalamnya tidak mengandung syakk. Lalu bagaimana hal itu kita wujudkan? Tentu saja kita harus mencari tahu status hukum sesuatu atau perbuatan dan muamalah yang kita hadapi. Jika kita belum tahu atau pengetahuan kita masih belum cukup sehingga kita masih ragu dan bimbang maka kita harus menahan diri tidak mengambil atau melakukannya sampai kita tidak ragu lagi, yaitu sampai kita memiliki dugaan kuat (ghalabah azh-zhann) atau yakin (yaqn) sesuatu atau perbuatan dan muamalah itu adalah halal. WalLh alam bi ash -shawb. [Yahya Abdurrahman]

Meninggalkan Perkara Tak Berguna

Sebagian dari kebaikan keislaman seseorang adalah ia meninggalkan apa saja yang tak berguna baginya (HR at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, Ibn Hibban, al-Baihaqi dan Malik). Hadis ini dikeluarkan oleh at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hibban dalam Shahh Ibn Hibban; alBaihaqi dalam Syuab al-mn; dan al-Qadhai dalam Musnad Syihb. Hadis ini riwayat azZuhri dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah ra. At-Tirmidzi berkomentar, Ini merupakan hadis gharib. Kami tidak mengetahuinya dari hadis Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw. kecuali dari jalur ini. Hadis ini juga dikeluarkan oleh at-Tirmidzi; Malik dalam Al-Muwatha; Abdurrazaq dalam Mushannaf; al-Baihaqi dalam Syuab al-mn. Hadis ini riwayat Ibn Syihab az-Zuhri dari Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Riwayat dari Ali bin al-Husain ini statusnya mursal sebab ia adalah tabiun dan tidak disebutkan perawi Sahabatnya. Menurut at-Tirmidzi riwayat ini lebih sahih daripada riwayat yang pertama. Hadis ini pun dikeluarkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad, al-Askari dalam Al-Amtsl, athThabrani, Abu Nuaim, Ibn Abdil Bar dalam At-Tamhd dan al-Qadhai dalam Musnad Syihb. Hadis ini riwayat Ali bin al-Husain dari bapaknya (Husain bin Ali bin Abi Thalib). Hadis ini juga dikeluarkan oleh al-Hakim dalam Al-Kunya, Abu Nuaim al-Ashbahani dalam Marifah ash-Shahabah dari Abu Bakar ash-Shiddiq, dan asy-Syairazi dalam Al-Alqb dari Abu Dzar. Imam an-Nawawi menilai hadis ini hasan. Al-Haitsami dalam Majma az-Zawid menilai riwayat Ahmad dan ath-Thabrani dalam Mujam al-Kabr dari Ali bin al-Husain bahwa para perawinya tsiqah. Imam Ibn Taimiyah dalam Al-Imn li Ibn Taymiyah, al-Albani dalam Shahh al-Jmi dan az-Zarqani dalam Syarh az-Zarqni menilainya sahih. Makna Hadis Kata yanmashdar-nya inyahartinya adalah sangat memperhatikan sesuatu. Dikatakan anhu yanhi jika dia memperhatikannya dan mencarinya. Karena itu, makna m l yanhi adalah sesuatu yang perhatian besarnya tidak terpaut dengannya sehingga sesuatu itu bukan yang dia maksud dan dia cari. Jadi, sesuatu itu tidak penting atau tidak berguna untuknya. Ibn Rajab menjelaskan hadis ini, bahwa di antara kebaikan keislaman seseorang adalah ia meninggalkan apa yang tidak penting baginya, baik ucapan atau perbuatan. Sebaliknya, ia membatasi pada perkataan dan perbuatan yang penting atau (lebih) berguna. Al-Qari menjelaskan maksud tarkuhu m l yanhi : yaitu apa yang tak penting dan tak pantas/tak layak untuknya baik berupa ucapan, perbuatan, pandangan atau pikiran. Hakikat sesuatu yang tidak berguna baginya adalah apa yang tidak diperlukan dalam kepentingan agama dan dunianya dan tidak memberi manfaat kepadanya dalam meraih keridhaan Allah. Hidupnya tanpa sesuatu itu tetap mungkin. Dengan selainnya keadaan hidupnya masih bisa baik-baik saja. Hal itu juga mencakup perbuatan-perbuatan tambahan dan ucapan berlebih.

Imam al-Ghazali menjelaskan, batasan apa yang tidak berguna bagimu adalah engkau berbicara sesuatu yang andai engkau tidak mengatakannya maka engkau tak berdosa dan tidak rugi baik kondisi atau harta. Malah menurut al-Ghazali, dengan mengambil/melakukan apa yang tak berguna, orang itu rugi sebab waktu dan kesempatan yang tidak bisa diulang itu berlalu dan sumberdayanya yang tidak bisa diambil lagi itu terbuang untuk sesuatu yang tak berguna, padahal bisa dia gunakan untuk sesuatu yang lebih penting dan lebih berguna. Namun, Ibn Rajab mengingatkan bahwa yang dimaksud bukanlah meninggalkan sesuatu yang tak penting, tak berguna atau tak diinginkan menurut putusan dan tuntutan hawa nafsu. Namun, yang dimaksud adalah menurut putusan dan tuntutan syariah dan islam. Karena itu, Rasul saw. menjadikannya sebagai bagian dari kebaikan keislaman seseorang. Jika keislaman seseorang itu baik, di antara tandanya adalah ia meninggalkan apa yang tidak berguna baginya di dalam Islam baik ucapan, perbuatan atau lainnya. Jadi, kebaikan keislaman itu mengharuskan untuk meninggalkan keharaman, kemakruhan, berbagai hal yang syubhat dan kemubahan lebih yang tidak diperlukan. Semua itu tidak berguna bagi seorang Muslim jika keislamannya sempurna dan mencapai tingkatan ihsan, yakni ia terusmenerus menyadari dan merasakan kehadiran dan pengawasan Allah atas dirinya dalam segala keadaan. Dari penjelasan para ulama tersebut, apa yang menurut Iislam termasuk m l an: Pertama, semua keharaman. Kedua, kemakruhan. Dalam hal ini, meski jika melakukan kemakruhan tidak berdosa, tetapi meninggalkannya akan mendatangkan ganjaran. Ketiga, syubhat, yaitu apa sajabenda, ucapan atau perbuatan termasuk muamalah yang bagi seseorang masih samar status halal-haramnya. Syubhat hendaknya ditinggalkan. Meninggalkan syubhat ini akan bisa melatih dan membangun sikap kehati-hatian, seksama, ketelitian dan tidak menganggap remeh satu perkara; sekaligus bisa meminimalkan peluang tergelincir pada kekeliruan, kesalahan atau lebih buruk lagi keharaman. Keempat, kemubahan berlebih. Ini meliputi ucapan atau perbuatan mubah yang jika ditinggalkan tidak masalah, tidak berdosa dan tidak rugi. Ini juga mencakup benda atau sesuatu termasuk harta lebih dari yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan. Artinya, tanpa benda, sesuatu atau harta itu, hidup akan tetap bisa berjalan baik. Contohnya adalah sesuatu untuk sekadar tren atau gaya hidup. Mengambil kemubahan-kemubahan berlebih ini pada galibnya karena dorongan untuk merasakan kenikmatan, kelezatan atau kepuasan lebih atas dorongan yang muncul semata dari insting atau gharizah. Jadi, pada dasarnya, yang termasuk m l yan itu adalah apa sajaucapan, perbuatan dan sesuatu atau bendayang tidak mempertebal keimanan, tidak menambah kedekatan kepada Allah, tidak memperbesar capaian atas ridha Allah dan tidak membuat warna ketaatan makin kental. Secara duniawi semua itu juga tidak membuat seseorang makin memberi manfaat kepada sesama. Maka dari itu, meninggalkan semua itu sungguh merupakan tanda baiknya keislaman seseorang. Allhummarzuqn tawfqa. [Yahya Abdurrahman]

Mencintai Kebaikan Untuk Saudara Tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa saja yang ia cintai untuk dirinya sendiri (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, atTirmidzi, an-Nasai, Ibn Majah, ad-Darimi, Abdul bin Humaid, dll) Hadis ini diriwayatkan dari tiga jalur: dari Syubah, Hammam bin Yahya dan Husain al Muallim Ibn Dzakwan. Ketiganya dari Qatadah, dari Anas bin Malik ra., dari Nabi saw. para ulama sepakat tentang kesahihan hadis ini. Frasa L yuminu ahadukum (Tidak beriman salah seorang di antara kalian) maksudnya: tidak beriman dengan keimanan yang sempurna. Jika seperti itu maka pokok keimanan tetap terealisasi bagi orang yang tidak memiliki sifat tersebut (Imam an-Nawawi, Syarh alArbain). Hal itu dijelaskan dalam salah satu lafal riwayat Ibn Hibban di dalam Shahh-nya: Seorang hamba belum mencapai hakikat keimanan hingga ia menyukai untuk manusia kebaikan yang ia sukai untuk dirinya sendiri. Artinya, yang dinafikan bukan keimanan itu sendiri baik total ataupun sebagian, tetapi kesempurnaan pengaruh keimanan. Hal ini menjelaskan bahwa di antara tolok ukur kesempurnaan iman adalah adanya sifat tersebut dalam diri kita. Sifat yang dimaksud adalah mencintai untuk saudara apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri, yakni berupa kebaikan, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Ahmad dan anNasai. Hal itu mencakup semua bentuk ketaatan dan kemubahan baik ukhrawi maupun duniawi, dan tidak mencakup apa saja yang dilarang. Seseorang akan menyukai untuk saudaranya apa yang dia sukai untuk dirinya sendiri tidak lain jika dia selamat dari sifat hasad, iri, dengki dan curang. (Ibn Hajar al-Ashqalani, Fath al-Br). Hadis di atas menunjukkan bahwa seorang Mukmin harus merasa senang dengan apa yang menyenangkan saudaranya yang Mukmin, dan menginginkan untuk saudaranya kebaikan yang dia inginkan untuk dirinya sendiri. Itu semua tidak lain hadir dari kesempurnaan keselamatan dada dari iri, dengki, curang dan hasad. Sebab, hasad mengharuskan orang yang iri-dengki itu tidak suka dilampaui atau bahkan disamai oleh seorang pun dalam kebaikan. Ia ingin melampaui manusia dan menyendiri dengan keutamaannya, sementara iman mengharuskan kebalikannya, yaitu semua Mukmin menyertainya dalam kebaikan apa saja yang diberikan Allah kepadanya tanpa mengurangi darinya sedikitpun (Ibn Rajab alHanbali, Jmi al-Ulm wa al-Hikam).

Ringkasnya, seorang Mukmin harus menyukai untuk sesama Mukmin apa yang dia sukai untuk dirinya sendiri dan tidak suka untuk sesama Mukmin apa yang tidak dia sukai untuk dirinya sendiri. Jika dia melihat dalam diri saudaranya yang Muslim kekurangan dalam hal agama maka ia berupaya sungguh-sungguh untuk memperbaikinya. Di antaranya adalah memperlakukan saudara dengan perlakuan yang kita sukai dilakukan kepada kita. Imam alGhazali di dalam Ihy Ulmuddn berpesan, Ketahuilah, tidak sempurna iman seseorang selama ia belum menyukai untuk saudaranya apa yang dia sukai untuk dirinya sendiri. Minimal derajat ukhuwah adalah memperlakukan saudaranya dengan perlakuan yang dia sukai dilakukan kepadanya. Rasul saw. bersabda: Siapa yang suka dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, hendaklah kematian menghampirinya, sementara dia mengimani Allah dan Hari Akhir, dan hendaknya ia mendatangkan kepada manusia apa yang dia sukai didatangkan kepadanya (HR Muslim) Sifat itu pada diri seseorang bisa dijabarkan dalam empat kondisi. Pertama: ketika kelebihan atau kebaikan ukhrawi maupun duniawi ada pada diri saudaranya Muslim maka ia turut merasa senang akan hal itu dan tidak ingin kebaikan itu hilang dari saudaranya, sebagaimana ia tidak suka jika kebaikan seperti itu hilang darinya. Saat yang sama ia pun ingin dan berusaha agar juga memiliki kebaikan itu, khususnya dalam hal kebaikan agama dan ukhrawi, bukan yang bersifat duniawi. Sebab, Rasul saw. mengajarkan agar dalam hal agama atau ukhrawi kita melihat orang yang lebih dari kita, sedangkan dalam hal duniawi melihat orang yang kurang dari kita. Kedua: ketika kekurangan atau keburukan ada pada diri saudaranya yang Muslim maka ia berusaha untuk memperbaikinya dan membantu agar kekurangan atau keburukan itu hilang dari saudaranya baik dengan memberinya nasihat, saran ataupun bantuan termasuk bantuan materi. Ketiga: ketika kekurangan ada pada dirinya maka ia ingin agar kekurangan itu hilang darinya. Ia tidak ingin kekurangan itu ada pada diri saudaranya, sebagaimana ia tidak ingin hal itu ada pada dirinya. Maka dari itu, seiring dengan upayanya menghilangkan kekurangan itu dari dirinya, ia pun memperingatkan saudaranya dari kekurangan itu dan menghalanginya dari saudaranya yang Muslim itu. Keempat: ketika kebaikan dan kelebihan ada pada dirinya maka ia pun ingin agar saudaranya yang Muslim juga mendapat kebaikan dan memiliki kelebihan itu. Ia akan menularkan kebaikan itu kepada saudaranya dan mendorong serta membantunya untuk merealisasinya. Dalam konteks inilah tahadduts bi an-nimahmembicarakan kenikmatan yang didapat atau kebaikan dan kelebihan yang dimilikidisyariatkan bukan untuk berbangga-bangga atau riya, tetapi untuk mendorong saudaranya untuk berusaha meraihnya juga, yaitu dalam hal kebaikan dan kelebihan agama atau ukhrawi.

Dengan semua itu akan terbentuk dalam diri Muslim simpati dan empati kepada sesamanya. Dengan itu pula di tengah-tengah kaum Muslim akan terbangun iklim saling berlomba dan membantu dalam kebaikan dan ketakwaan, juga saling menasihati dan membantu untuk menjauhi kemaksiatan dan keburukan. Allhumm inn nasaluka mn*an+ kmila. [Yahya Abdurrahman]

Mereka Yang Halal Darahnya (Hadis ke-14) Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah Rasulullah, kecuali karena salah satu dari tiga perkara: orang yang sudah menikah berzina, jiwa dengan jiwa dan orang yang meninggalkan agamanya memecah belah jamaah (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibn Majah) Hadis ini bersumber dari penuturan Ibn Masud. Hadis semakna juga diriwayatkan dari Utsman bin Affan ra, Aisyah ra., Thalhah ra. (lihat, misalnya, as-Suyuthi, Jamu al-Jawmi, hadis no. 1624-1627); juga dari Ibn Abbas, Abu Hurairah dan Anas (Ibn Rajab, Jami al-Ulum wa al-Hikam). Siapa saja yang mengucapkan dua kalimat syahadat maka darah dan hartanya terjaga, kecuali dengan haq al-Islm (Matn al-Arban an-Nawawiyah, Hadis ke-8. Lihat, al-Waie, no119, Juli 2010). Hadis di atas menjelaskan di antara haq al-Islm itu. Pembunuhan karena salah satu dari ketiga hal itu telah disepakati di antara kaum Muslim (Ibn Rajab, Jami alUlum wa al-Hikam, syarh hadis ke-14). Kata ill hadis di atas mengecualikan tiga perkara yang dinyatakan setelahnya dari keharaman darah seorang Muslim. Pertama: ats-tsayyibu az-zni. Ats-tsayyib adalah setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, yang pernah menikah secara syari. Dalam istilah lain disebut muhshan. Adapun zina yang dimaksud adalah zina dalam pengertian syariah, yaitu persetubuhan di luar ikatan pernikahan. Hadis ini menetapkan kehalalan darah Muslim, laki-laki atau perempuan, yang pernah menikah lalu berzina. Hanya saja zina itu harus dibuktikan dengan pembuktian syari. Pembuktian syari itu bisa dengan pengakuan si pelaku seperti dalam kasus al-Ghamidiyah (HR al-Bukhari) dan Maiz al-Aslami (HR Muslim), atau dengan kesaksian empat orang saksi laki-laki yang menyaksikan sendiri persetubuhan itu dengan jelas (QS an-Nur [24]: 4). Pelakunya harus berakal dan melakukannya secara sukarela. Disamping itu, tidak boleh ada syubhat tentang zina itu. Sanksinya adalah dirajam dengan batu hingga mati. Menurut Imam an-Nawawi ini adalah ijmak kaum Muslim (Imam an-Nawawi, Syarh Muslim).

Kedua: an-nafsu bi an-nafsi. Yang dimaksudkan adalah qishash dalam pembunuhan yang disengaja. Adapun untuk selain pembunuhan yang disengaja maka sanksinya bukan dibunuh (qishash) melainkan diyat, yaitu untuk pembunuhan yang mirip disengaja diyat-nya, diyat mughallazhah (100 ekor unta di antaranya 40 ekor sedang bunting). Untuk pembunuhan yang tidak disengaja, dan pembunuhan karena ketidaksengajaan, sanksinya adalah diyat 100 ekor unta dan kaffarah membebaskan seorang budak MukminQS an-Nisa *4+: 92 (Lebih detil, lihat, Abdurrahman al-Maliki, Nizhm al-Uqbt, bab Jinayat, Dar al-Ummah. 1990). Frasa an-nafsu bi an-nafsi itu bersifat umum mencakup pembunuhan siapa saja, artinya darah seorang Muslim menjadi halal, yaitu ia dibunuh karena membunuh sesiapapun dengan sengaja. Hanya saja, terdapat dua kasus yang dikhususkan dari keumuman itu. 1. Seorang Muslim tidak dibunuh karena membunuh kafir harbi. Rasul bersabda: Seorang Muslim tidak dibunuh karena (membunuh) orang kafir (yaitu kafir harbi) dan tidak (dibunuh) pula orang yang memiliki perjanjian (karena membunuh kafir harbi) (HR Ahmad dan Abu Dawud). 2. Orangtua tidak dibunuh karena membunuh anaknya. Dari Umar bin al-Khaththab ra., bahwa Rasul saw. bersabda: Orangtua tidak dibunuh karena (membunuh) anaknya (HR Ibn Majah, al-Baihaqi, adDaraquthni dan Ahmad). Ketiga: at-triku lidnihi al-mufriqu li al-jamah (orang yang meninggalkan agamanya dan memecah-belah jamaah). Yang dimaksudkan adalah orang yang murtad dari Islam dengan cara apapun baik dengan keyakinan, ucapan atau perbuatan. Ibn Qudamah di Al-Mughni mengatakan, Para ulama telah sepakat atas kewajiban membunuh orang murtad. Hal itu diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Muadz, Abu Musa, Ibn Abbas, Khalid dan lainnya sehingga merupakan ijmak. (Lihat, rubrik Hadis Pilihan, al-Waie, no. 91). Namun sebelumnya, terlebih dulu ia diminta bertobat dan kembali ke pangkuan Islam. Jika ia tidak mau bertobat, baru ia dibunuh. Pada ketiga perkara tersebut dibenarkan dengan sengaja membunuh pelakunya. Selain ketiganya itu, nas syariah juga menyatakan perkara lain yang dibenarkan dengan sengaja membunuh seorang Muslim, yaitu jika orang itu melakukan homoseksual atau menyetubuhi binatang sebagaimana yang dinyatakan oleh hadis Nabi saw. Adapun dalam kasus qutha ath-turuq (pembegal dan pengacau keamanan) maka pelakunya akan dibunuh jika dalam aksinya melakukan pembunuhan. Dibenarkan juga membunuh seorang Muslim sebagai konsekuensi tindakan syari terhadapnya. Misalnya, terhadap pelaku bughat atau orang yang dibaiat lebih akhir sebagai khalifah. Secara syari mereka boleh diperangi dalam rangka tadib, dan itu bisa membunuh mereka.

Namun, dalam semua perkara itu, harus dengan keputusan Imam/Khalifah atau orang yang mewakilinya termasuk keputusan qadhi di pengadilan. Di luar itu, baik perorangan ataupun kelompok tidak boleh melakukannya, baik saat Khalifah ada atau tidak. Di luar semua itu, terhadap orang yang menyerang, maka dibenarkan membunuhnya dalam rangka mempertahankan diri, harta atau kehormatan. Hal itu benar dilakukan oleh perorangan baik ada Khalifah ataupun tidak; semata-mata karena jiwa, harta atau kehormatannya terancam. WalLh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman]

Hak Tetangga dan Tamu Siapa saja yang mengimani Allah dan Hari Akhir hendaklah berkata yang baik atau diam. Siapa saja yang mengimani Allah dan Hari Akhir hendaklah memuliakan tetangganya. Siapa saja yang mengimani Allah dan Hari Akhir hendaklah memuliakan tamunya (HR Ashhab atTisah dan lainnya). Hadis ini bersumber dari penuturan empat orang Sahabat: Abu Hurairah, Aisyah, Anas bin Malik dan Abu Syuraih. Abu Syuraih adalah Khuwailid bin Amru al-Khuzai al-Kabi, salah seorang Sahabat besar, wafat tahun 68 Hijrah. Makna Hadis Man kna yuminu biLlh wa al-yawm al-khir maknanya: siapa yang beriman kepada Allah yang telah menciptakannya dan beriman bahwa ia akan diberi balasan atas semua perbuatannya, maka hendaklah melakukan poin-poin yang disebutkan di atas (lihat: Ibn Hajar, Fath al-Br). Pertama: falyaqul khayran aw liyashmutdalam riwayat lain liyaskut (hendaklah berkata yang baik atau diam). Berkata yang baik adalah yang diridhai oleh Allah SWT. Jika bukan yang khayr, maka hendaklah diam. Dalam hal ini, banyak cakap tentang kebaikan tentu bukan hanya boleh malah diperintahkan seperti: menyuruh manusia bersedekah atau lebih umum agar membelanjakan harta di jalan kebenaran dan kebaikan; menyuruh kemakrufan; atau mengadakan perdamaian di antara manusia (lihat QS an-Nisa [4]: 114); mencegah kemungkaran, saling menasihati dalam kebenaran, ketakwaan, kesabaran dan segala kebaikan lainnya. Kedua: falyukrim jrahu (hendaklah memuliakan tetangganya). Dalam riwayat lain: falyuhsin il jrihu (hendaklah berlaku baik kepada tetangganya) dan fal yudzi jrahu (hendaklah tidak menyakiti tetangganya). Di dalam al-Quran, Allah memerintahkan berbuat baik kepada tetangga, baik yang dekat maupun yang jauh (QS an-Nisa *4+: 36).

Ibn Hajar dalam Fath al-Br menyatakan: Memuliakan, berbuat baik dan tidak menyakiti tetangga itu dijelaskan dalam banyak hadis. Ath-Thabarani mengeluarkan hadis dari Bahz bin Hakim, dari bapaknya dari kakeknya; alKharaithi dalam Makrim al-Akhlq, dari hadis Amru bin Syuaib, dari bapaknya dari kakeknya; Abu asy-Syaikh dalam Kitb at-Tawbkh dari hadis Muadz bin Jabal: Mereka (para Sahabat) bertanya, Wahai Rasulullah, apa hak tetangga atas tetangga? Rasul menjawab, Jika ia berutang kepadamu, hendaklah engkau utangi. Jika meminta bantuan, hendaklah engkau bantu. Jika sakit, hendaklah engkau jenguk. Jika membutuhkan, hendaklah engkau beri. Jika jadi miskin, hendaklah engkau bantu. Jika ia mendapat kebaikan, hendaklah engkau beri selamat. Jika ia tertimpa musibah, hendaklah engkau turut berbela sungkawa (bertakziyah). Jika ia meninggal, hendaklah engkau mengantarkan jenazahnya ke pemakaman. Jangan meninggi-kan bangunan di atas bangunannya hingga menghalangi angin darinya, kecuali dengan izinnya. Jangan mengganggunya dengan aroma masakanmu, kecuali engkau memberinya (berilah barang sedikit). Jika engkau membeli buah, maka hadiahi dia, dan jika engkau tidak melakukannya, maka masukkan sembunyi-sembunyi dan jangan engkau biarkan anakmu keluar membuat anaknya marah (karena menginginkannya). Redaksinya saling berdekatan dan jalurnya kebanyakan merujuk kepada Amru bin Syuaib. Dalam hadis penuturan Bahzu bin Hakim dinyatakan, Jika ia menjadi lemah, maka engkau tutupi dia. Sanad-sanadnya lemah (whiyah), tetapi beragamnya jalurnya mengindikasikan hadis tersebut memiliki asal. Ketiga: falyukrim dhayfahu (hendaklah ia memuliakan tamunya). Memuliakan tamu itu di antaranya dengan menampakkan kegembiraan kepadanya; berkata-kata baik kepadanya; serta memberi makanan, menyediakan tempat istirahat dan apa yang dia perlukan tanpa merasa terbebani. Termasuk memuliakan tamu itu adalah dengan melayaninya langsung, bukan dengan menyuruh orang lain. Tentang memuliakan tamu ini Rasul saw. juga bersabda: Siapa saja yang mengimani Allah dan Hari Akhir hendaklah ia memuliakan tamunya, jizatahu adalah sehari semalam, dan bertamu itu tiga hari, lebih dari itu adalah sedekah kepadanya dan tidak halal tetap berdiam di situ hingga tuan rumah mengeluarkannya (HR al-Bukhari dan Muslim). Jizatahu yaitu penghormatan dengan menjamu tamu lebih dari yang biasa dikonsumsi. Waktunya adalah sehari semalam. Sementara itu, waktu bertamu adalah tiga hari. Dua hari berikutnya memuliakan tamu dilakukan dengan menjamunya dengan apa yang ada tanpa harus bersusah-payah atau memaksakan diri. Artinya, menjamunya cukup dengan makanan seperti yang dimakan oleh tuan rumah. Adapun selepas tiga hari maka menjamu dan menyediakan keperluan tamu itu terserah pada kemauan tuan rumah. Namun, seseorang tidak boleh bertamu lebih dari tiga hari, sebab hadis di atas menyebutkan l yahillu (tidak halal); kecuali atas permintaan, keinginan, izin atau persetujuan dari tuan rumah. Hal ini diambil dari mafhm al-mukhlafah dari frasa hatt

yukhrijahu. Selain itu juga tidak sampai menyusahkan atau membebani tuan rumah. Ini diambil dari mafhm al-mukhlafah sabda Rasul saw.: hatt yutsimahu berikut: . : Bertamu itu tiga hari dan pengutamaannya adalah sehari semalam. Tidak halal bagi seorang laki-laki Muslim berdiam di rumah saudaranya hingga membuatnya berdosa. Mereka (para sahabat) berkata, Wahai Rasulullah, bagaimana membuatnya berdosa? Rasul saw. menjawab, Berdiam di rumahnya, sementara ia tidak punya sesuatu untuk menjamu tamu itu (HR Muslim). WalLh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurahman]

Jangan Marah : : : . . Dari Abu Hurairah ra.: bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw., Berilah aku wasiat (pesan). Nabi saw. bersabda, Jangan engkau marah. Laki-laki itu mengulanginya beberapa kali. Nabi pun bersabda, Jangan engkau marah. (HR al-Bukhari, Ahmad dan atTirmidzi; lafal menurut al-Bukhari). Hadis tersebut dicantumkan Imam an-Nawawi dalam Al-Arban sebagai hadis ke-16. Hadis ini, dengan lafal sedikit berbeda, juga dikeluarkan dari Jariyah bin Qudamah oleh Ahmad, alBaghawi, Ibn Qani, Abu Yala, ath-Thabarani dan al-Hakim dan adh-Dhiya al-Maqdisi; dari Ibn Umar oleh Ibn Abi ad-Dunya dalam dzamm al-ghbah; dari Abdullah bin Amru bin al-Ash oleh Ahmad, Ibn Abi ad-Dunya dan Ibn Hibban; dari Abu Said al-Khudzri oleh Musadad, adhDhiya al-Maqdisi dan al-Baihaqi; dari Abu Darda dan Sufyan bin Abdullah ast -Tsaqafi oleh ath-Thabarani. Larangan Rasul saw. l taghdhab (jangan marah), bukan merupakan larangan atas marah secara mutlak. Sebab, marah adalah bagian dari tabiat alami manusia, termasuk hal jibiliyah, sehingga tidak mungkin bisa dihindari secara mutlak. Karena itu, larangan untuk tidak marah secara mutlak merupakan larangan yang tidak mungkin dipenuhi. Makna larangan itu di antaranya adalah seperti yang diungkapkan oleh al-Mubarakfuri dalam Tuhfah al-Akhwadzi, yaitu larangan dari banyak marah. Artinya, Jangan banyak marah dan jangan mudah marah.

Selain itu, tidak semua marah itu dilarang. Marah karena agama justru disyariatkan. Para ulama mengatakan bahwa ada kalanya marah justru harus (wajib). Misalnya, marah atas penghinaan terhadap Rasul saw., para nabi dan ummahatul mukminin; atas penodaan terhadap al-Quran dan as-Sunnah; atas pelecehan Islam; dan atas kemaksiatan-kemaksiatan lainnya. Adakalanya marah itu sunnah. Misalnya, marah kepada orang yang susah dinasihati dengan dugaan kuat hal itu akan membuatnya mau memperhatikan nasihat atau berhenti dari melakukan hal-hal yang tidak seharusnya, dsb. Marah karena hal-hal duniawi juga mubah, bukan dosa. Begitu pula menampakkan rasa marah seperti dalam bentuk perubahan raut muka, dsb; tidak serta-merta menjadi dosa. Rasul saw. juga menampakkan rasa marah. Misalnya, seperti riwayat Aisyah bahwa Rasul saw. pernah marah, raut muka beliau memerah, saat melihat kelambu yang bergambar makhluk hidup. Begitu pula Rasul saw. murka hingga terlihat jelas dalam raut muka beliau ketika mendapat laporan panjangnya bacaan Muadz bin Jabal saat mengimami shalat berjamaah. Juga masih ada riwayat-riwayat lainnya. Yang tidak boleh adalah jika karena marah lantas melakukan dosa, baik berupa perbuatan seperti menyakiti, memukul, menyerang harta orang lain dsb; atau berupa ucapan seperti mencaci-maki, berkata-kata kotor, dll; atau berupa sikap seperti melecehkan dsb. Dengan demikian, larangan Rasul saw. itu bukan makna hakikinya, tetapi menggunakan makna majazi. Al-Khathabi, seperti dikutif al-Hafizh dalam Fath al-Br, menjelaskan, Larangan Rasul saw., l taghdhab (jangan marah) maknanya adalah: jauhilah sebab-sebab marah dan jangan terjerumus ke dalam apa saja yang dihasilkan oleh marah itu. Marah itu sendiri tidak mungkin dilarang sebab marah adalah tabii (wajar dan alami), merupakan sesuatu yang bersifat jibiliah yang tidak mungkin hilang. Jadi, larangan Rasul, l taghdhab (jangan marah) itu bisa dipahami dari dua aspek. Pertama: larangan atas sebab marah. Artinya, hindarilah sebab-sebab yang membuatmu marah. Bisa juga dengan menghiasi diri dengan sifat-sifat mulia sehingga kita tidak mudah marah. Misalnya, sifat lemah lembut, lapang dada, pemaaf, tidak emosional, dan sifat-sifat lain yang jika sudah menjadi kebiasaan maka seseorang tidak akan mudah marah. Kedua: larangan atas musabab (akibat) marah. Maknanya, jangan turuti rasa marah dan jangan kerjakan apa yang disuruh oleh rasa marah. Namun, lawan hawa nafsumu untuk tidak melaksanakan dan mengerjakan apa yang diperintahkan oleh rasa marah itu. Sebab, jika rasa marah menguasai seseorang, ia akan menjadi seperti pihak yang memerintah dan melarangnya. Jadi, makna larangan Rasul saw. itu adalah jangan turuti rasa marah sehingga kamu melakukan perbuatan, mengucapkan perkataan atau bersikap yang menyebabkan kamu berdosa atau membuat orang lain melakukan dosa. Dengan demikian, ini adalah perintah untuk menahan amarah dan mengendalikan kemarahan. Jika kemarahan itu karena orang lain, maka hendaknya mudah memaafkan orang itu. Allah SWT menjelaskan bahwa di antara karakter muttaqin adalah mampu menahan marah dan memaafkan kesalahan orang (QS Ali Imran [3]: 134). Rasul saw. pun dalam banyak riwayat memuji orang yang bisa mengendalikan kemarahan.

Nabi saw. juga memerintahkan siapa saja yang marah untuk mengambil sebab-sebab yang bisa menolak kemarahan dan meredakannya. Di antaranya jika seseorang marah: hendaknya ia memohon perlindungan kepada Allah dari setan dengan ber-taawudz (riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Sulaiman bin Shurad); hendaknya ia berwudhu (riwayat Ahmad dan Abu Dawud dari Athiyah); hendaknya ia mandi (riwayat Abu Nuaim dari Muawiyah); dan hendaknya ia diam (riwayat Ahmad dari Ibn Abbas). Jika ia sedang berdiri hendaknya duduk. Jika belum reda juga, hendaklah dia berbaring (riwayat Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Dzar). Semua itu memberikan pelajaran bahwa rasa marah bisa ditahan dan dikendalikan dengan tiga hal: Pertama, tidak fokus pada rasa marah dan sebabnya, seraya mengalihkan perhatian pada hal lain. Kedua, menenangkan emosi dan mengembalikan akal sehat sehingga ucapan, perbuatan dan sikap tidak semata karena dorongan emosi tetapi berdasarkan penilaian dan keputusan akal sehat. Ketiga, mengingat Allah dan menghadirkan tauhid yang hakiki agar menyinari penilaian dan keputusan dan berikutnya menyinari ucapan, perbuatan atau sikap yang akan keluar dari diri kita. WalLh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurahman]

Ihsan dalam Segala Hal Sesungguhnya Allah memerintahkan ihsan dalam segala hal. Jika kalian membunuh maka membunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian menyembelih maka menyembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisau dan menyenangkan hewan yang dia sembelih (HR Muslim dan Ashhabus Sunan) Hadis ini sahih sebagaimana jelas hadis ini dicantumkan di dalam Shahh Muslim. Imam atTirmidzi juga berkomentar terhadap hadis ini: hasan sahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh ath-Thayalisi dalam Musnad-nya, Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, al-Bazzar dalam Musnad-nya, ath-Thabarani dalam Mujam al-Kabr, Abd ar-Razzaq dalam Mushannaf, alBaihaqi dalam Sunan al-Kubr, Syuab al-mn, dan yang lainnya. Makna Hadis Sabda Rasul saw.: InnalLh kataba al-ihsn al kulli syayin. Frasa kataba al, menurut ulama ushul artinya mewajibkan. Namun, makna mewajibkan itu tidak bisa diterapkan. Sebab, kulli syayin, yang menjadi sasaran kewajiban, meliputi segala sesuatu, termasuk ghayr mukallaf yang tidak bisa dibebani taklif. Karena itu, menurut mayoritas ulama, kata

al dalam frasa tersebut bermakna f (dalam). Jadi maknanya adalah kataba f. Hal itu seperti jawaban Rasul saw. ketika ditanya tentang amal yang paling disukai: ash-shaltu al waqtih maknanya ash-shaltu f waqtih (shalat pada waktunya). Menurut sebagian ulama, kata al itu selain bermakna f juga bermakna li (untuk). Karena itu, frasa kataba al tersebut bermakna menetapkannya sebagai bagian dari syariah, yakni mensyariatkannya atau memerintahkannya. Hanya saja, karena diungkapkan dengan kataba al maka perintah itu bersifat muakkad (ditekankan). Ath-Thayibi seperti dikutip oleh al-Mubarakfuri dalam Tuhfah al-Akhwadzi menjelaskan makna kata kataba di sini: yaitu mewajibkan, secara mublaghah (melebih-lebihkan), sebab ihsan di sini adalah mustahab (sunnah) dan cakupan ihsan itu adalah makna tafadhdhul (kelebihan/keutamaan). Penggunaan kata al dengan makna f atau li dan bukan menggunakan kata il itu menunjukkan bahwa ihsan yang diperintahkan itu tidak spesifik untuk makhluk tertentu saja, tetapi umum untuk semua makhluk dan dalam segala hal. Dengan begitu ihsan itu diperintahkan dalam hal ibadah, dalam hubungan kita dengan diri kita sendiri dan hubungan kita dengan manusia lainnya; juga mencakup perlakuan kita kepada makhluk lainnya baik hewan, tumbuhan atau alam secara keseluruhan. Kata al-ihsn dalam hadis ini bermakna umum sehingga mencakup semua bentuk dan jenis ihsan. Ihsan dalam hal ini bukan hanya ihsan secara syari yang telah didefinisikan oleh Rasul saw. dalam riwayat Ibn Umar ra.: Ihsan adalah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Dia dan jika engkau tidak melihat Dia maka sesungguhnya Dia melihat engkau (HR al-Bukhari dan Muslim). Sebab, ihsan itu diperintahkan dalam segala sesuatu, sementara ihsan dalam hadis Ibn Umar itu khusus dalam ibadah. Dengan demikian maksud ihsan dalam hadis ini adalah makna bahasanya. Menurut al-Jurjani di dalam At-Tarift, secara bahasa ihsan adalah bagian kebaikan yang seharusnya dilakukan. Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengutip bahwa Ali bin Abi Thalib kw. menafsirkan ihsan dengan tafadhdhul (keutamaan-kelebihan). Asy-Syaukani di dalam Fath al-Qadr ketika menafsirkan QS an-Nahl ayat 90, mengatakan: makna ihsan secara bahasa ini menunjukkan bahwa ihsan adalah tafadhdhul (kelebihan/keutamaan) dengan sesuatu yang tidak wajib seperti sedekah sunnah. Termasuk ihsan adalah perbuatan yang karenanya seorang hamba diberi pahala, berupa apa-apa yang tidak diwajibkan oleh Allah dalam ibadah maupun selain ibadah. Karena itu, menurut Burhanuddin al-Biqai dalam tafsirnya Nazhm ad-Durar, ihsan adalah perbuatan ketaatan menurut profil yang paling tinggi. Jadi hadis ini adalah perintah Allah agar kita melakukan ketaatan dalam segala hal sesempurna mungkin, baik dari sisi kuantitas maupun tatacara, bukan hanya mencukupkan pada yang wajib saja. Kemudian Rasul saw. memberikan contoh ihsan itu dalam perbuatan yang terlihat kejam, yaitu membunuh dan menyembelih: fa ahsin al-qitlata dan fa ahsin ad-dzabhadalam riwayat lain adz-dzibhata-. Kata al-qitlata dan adz-dzibhata bermakna hayah al-qatl wa

adz-dzabhbentuk dan tatacara membunuh dan menyembelih. Jadi yang diperintahkan di sini adalah ihsan dalam hal bentuk dan tatacara membunuh atau menyembelih, yaitu memilih caradalam batas ketentuan syariahyang paling mudah, paling cepat dan paling kecil penderitaannya; tanpa menyiksa, menyayat apalagi mencincang sebelum membunuhnya. Membunuh di sini bersifat umum mencakup qishash, hadd (misalnya hadd murtad), maupun membunuh hewan, misalnya membunuh ular atau binatang buas yang menyerang. Rasul saw. pun lebih mendetilkan ihsan itu dalam hal menyembelih. Beliau menyuruh untuk menajamkan pisau dan menyenangkan hewan yang disembelih. Dengan demikian, ihsan dalam menyembelih itu adalah menyembelih menggunakan pisau setajam mungkin lalu menggerakkan pisau dengan kuat sehingga secepatnya memutus kerongkongan (jalan makanan), tenggorokan (jalan nafas/udara) dan dua urat di sekitar keduanya. Adapun menyenangkan hewan yang disembelih itu dijelaskan dalam beberapa riwayat: memberi minum sebelum disembelih, tidak menyembelih di hadapan hewan lain, tidak menajamkan pisau di depan hewan yang akan disembelih, tidak membantingnya, tidak menginjaknya, tidak memukulnya, dsb; juga membiarkan hewan itu mati sempurna (diam) sebelum dikuliti, disayat dan dipotong-potong. Dengan demikian, hadis ini memerintahkan kita melakukan ketaatan dengan kadar, ukuran, jumlah dan tatacara dari sisi fisik, emosi maupun ekspresi dalam bentuk yang paling baik dan sempurna. Allhumma ijaln min al-muhsinn. [Yahya Abdurahman].

Kebaikan Menghapus Keburukan Bertakwalah kamu kepada Allah dimana dan kapan saja kamu berada, ikutilah keburukan dengan kebaikan niscaya kebaikan itu menghapus keburukan itu, dan pergaulilah manusia dengan ahlak yang baik (HR at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi, al-Hakim, al-Baihaqi, al-Bazar dan Abu Nuaim dari Abu Dzar al-Ghiffari).

At-Tirmidzi berkomentar, Hadis ini hasan shahih. Al-Hakim mengatakan, Hadis ini sahih menurut syarat Syaikhayn, dan adz-Dzahabi menyetujuinya.

Tiga Pesan Nabi Rasulullah saw. berpesan dengan tiga hal. Pertama: ittaqillh haytsu m kunta. Kata haytsu bisa menunjuk tempat atau waktu. Itu artinya, dimana saja dan kapan saja; dalam kondisi apa saja dan sedang apa saja; sendirian atau bersama-sama; kita diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah. Adapun terkait takwa, Ibn Rajab dalam Jmi al-Ulm wa al-Hikam mengatakan, Termasuk dalam takwa yang sempurna adalah mengerjakan kewajiban, meninggalkan keharaman dan syubhat; boleh juga masuk di dalamnya setelah itu mengerjakan yang mandub (sunah) dan meninggalkan apa-apa yang makruh, dan itu derajat takwa yang paling tinggi. Secara bahasa taqw berasal dari wiqyah (perisai). Takwa secara bahasa artinya melindungi diri dari sesuatu yang ditakuti. Takwa kepada Allah artinya melindungi diri dari sesuatu yang ditakuti berasal dari Allah berupa sanksi, siksa, azab dan kemurkaan Allah SWT. Semua itu akan ditimpakan jika yang wajib/fadhu tidak dikerjakan atau yang haram malah dikerjakan. Dengan demikian, seperti yang dikatakan oleh al-Hasan dan Umar bin Abdul Aziz, takwa adalah melaksanakan apa yang difardhukan dan meninggalkan apa yang diharamkan. Ini adalah takwa yang mendasar. Selain itu, untuk makin membentengi diri dari azab Allah di akhirat, kita perlu memperbanyak raihan pahala dari Allah agar kadar timbangan amal baik di akhirat nanti lebih berat. Caranya adalah dengan melaksanakan yang sunnah dan meninggalkan yang makruh, karena dalam keduanya ada pahala dari Allah. Itu juga menjadi bagian dari takwa kepada Allah, tambahan dari ketakwaan yang mendasar. Umar bin Abdl Aziz mengatakan, Siapa yang diberi kebaikan setelah itu maka itu adalah tambahan kebaikan atas kebaikan. Untuk merealisasikan takwa itu juga penting menghindari apa saja yang memungkinkan seseorang jatuh pada yang haram, yaitu menjauhi segala sesuatu yang syubhat. Dari penjelasan itu takwa bisa dideskripsikan sebagai keterikatan dengan hukum syariah, yaitu mengerjakan atau tidak mengerjakan suatu perbuatan; dan mengambil atau tidak mengambil sesuatu, menurut ketentuan hukum syariah.

Kedua: wa atbii as-sayiah al-hasanah tamhuh. Sebagai manusia, meski sudah diperintahkan bertakwa dalam segala keadaan, kadangkala ketakwaan seorang hamba bisa bolong, dan ia melakukan keburukan dengan meninggalkan apa yang diwajibkan atau melakukan apa yang diharamkan. Karena itu, Rasulullah saw. memerintahkan untuk menyusulinya dengan kebaikan, yaitu melakukan yang wajib atau sunnah, agar dosa keburukan itu terhapus. Hal itu karena kebaikan bisa menghapus keburukan. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatanperbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat (QS Hud [11]: 114)

Kata as-sayyiah dan al-hasanah adalah kata umum sehingga mencakup segala bentuk keburukan dan semua jenis kebaikan. Itu artinya apapun keburukan yang dilakukan oleh seorang hamba, hendaknya dia menyengaja untuk menyusulinya dengan kebaikan. Namun, keburukan dan kebaikan itu kadarnya berbeda-beda besar-kecilnya. Tentu untuk bisa menghapus keburukan yang besar tidak cukup dengan kebaikan yang kecil, tetapi harus dengan kebaikan yang kadarnya besar juga. Dalam hal ini para ulama mengatakan bahwa untuk menghapus dosa besar harus dengan taubat nashuha. Di dalam ayat di atas dan beberapa riwayat lain, tidak dinyatakan bahwa kebaikan itu harus dimaksudkan untuk menjadi kaffarah keburukan yang dilakukan. Hadis di atas memerintahkan untuk menyengaja menyusuli keburukan dengan kebaikan. Artinya, kebaikan itu dimaksudkan untuk menghapus keburukan yang dilakukan sebelumnya. Kebaikan disertai niat seperti ini lebih agung untuk bisa menghapus keburukan. Sebab, niat/maksud itu menunjukkan taubat dan penyesalan atas keburukan tersebut dan harapan kepada Allah agar menghapus dosa keburukan itu. Ketiga: wa khliq an-ns bikhuluq[in] hasan[in]. Berakhlak baik kepada sesama adalah bagian dari takwa. Penyebutan perkara ini secara khusus untuk menjelaskan pentingnya hal

itu dan bahwa takwa itu bukan hanya berkaitan dengan hak Allah dan diri sendiri, tetapi juga berkaitan dengan hak dan interaksi dengan sesama. Berakhlak baik kepada sesama itu ditafsirkan mengerahkan kemurahan hati dan menjauhkan bahaya, yaitu mengerahkan kebaikan kepada sesama manusia dan menjauhkan bahaya dari mereka. Berakhlak baik itu juga ditafsirkan berlaku baik kepada sesama manusia dengan berbagai macam kebaikan meski mereka berbuat buruk kepada kita. Diantara patokan dalam hal ini adalah yang dinyatakan dalam sabda Rasul saw.: Siapa saja yang suka dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka hendaklah kematian mendatanginya, sementara ia beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan hendaklah ia mendatangkan kepada manusia apa yang ia suka didatangkan kepadanya (HR Muslim, Ahmad dan an-Nasai).

Wallh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman]

Menjaga Allah SWT (Al-Arban an-Nawawiyah hadits ke-19) : Ibn Abbas berkata: Suatu hari aku ada di belakang Rasulullah saw. Beliau bersabda, Nak, aku ajari kamu beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Allah menjaga kamu. Jagalah Allah, niscaya engkau mendapati Allah di hadapan kamu. Jika kamu meminta maka mintalah kepada Allah. Jika kamu meminta tolong maka mintalah tolong kepada Allah. Ketahuilah, sesungguhnya jika umat bersatu untuk memberi kamu manfaat dengan sesuatu, tiadalah mereka dapat memberikan manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan untuk kamu. Andai mereka bersatu untuk mencelakakan kamu dengan sesuatu, tiadalah mereka dapat mencelakakan kamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan atas kamu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran itu telah kering. (HR atTirmidzi, Ahmad dan al-Hakim).

Rasul saw. saat hendak mengajarkan pelajaran penting, beliau memanggil si murid (Ibn Abbas), Y ghulm inn uallimuka kalimtin (Nak, aku ajari kamu beberapa kalimat). Dengan panggilan yang lembut dan mengungkapkan kasih sayang itu, beliau menarik perhatian murid dan membuat dia siap menerima pelajaran penting. Rasul saw. memberi Ibn Abbas tiga pesan penting. Pesan pertama: ihfazhillh yahfazhka (Jagalah Allah, niscaya Allah menjaga kamu). Pesan Rasul ini, seperti dijelaskan Ibn Rajab dalam Jmi al-Ulm wa al-Hikam dan ash-Shanani dalam Subul as-Salm, maksudnya adalah menjaga hudud, hak-hak, perintah-perintah dan larangan-larangan Allah SWT. Menjaga semua itu adalah dengan menaati perintah-perintah Allah SWT, menjauhi larangan-larangan-Nya, tidak melanggar hudud (batasan-batasan) Allah dan tidak melampaui apa yang Dia perintahkan menuju apa yang Dia larang. Ringkasnya, menurut Imam an-Nawawi dan Ibn Daqiq al-Ayd dalam Syarh al-Arban an-Nawawiyah, makna pesan Rasul itu adalah, Jadilah kamu orang yang menaati Allah, menjalankan perintah perintahNya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Ada beberapa hal yang secara khusus dinyatakan oleh nas agar dijaga, antara lain: shalat pada umumnya, apalagi shalat ashar; taharah yaitu menjaga wudhu, lisan, kemaluan, kepala berikut isinya, perut berikut isinya, dan sumpah. Siapa saja yang melakukan semua ituyaitu menjaga Allahbalasannya adalah Allah akan menjaga dirinya. Menurut Ibn Rajab, penjagaan Allah untuk hamba itu ada dua jenis. Pertama: penjagaan Allah SWT dalam berbagai kemaslahatan dunia, seperti menjaga hamba dalam hal badannya, anaknya, keluarganya dan hartanya; atau menjaga dia dari bahaya. Kedua: ini lebih mulia, yaitu penjagaan Allah SWT dalam agama dan keimanan hamba itu sehingga Allah menjaga dia dari syubhat yang menyesatkan, dari syahwat yang haram, dan pada saat kematiannya sehingga Allah mewafatkan dia di atas iman. Pesan kedua: ihfazhillh tajidhu tujhaka. Imam an-Nawawi menjelaskan maksudnya, Beramallah untuk Allah SWT dengan melakukan ketaatan dan jangan Allah melihat kamu dalam kondisi menyelisihi Dia, maka engkau akan mendapati Allah di hadapanmu saat kamu dalam kesulitan, sebagaimana tiga orang yang terjebak di dalam goa lalu mereka dibebaskan Allah berkat amal saleh mereka. Maka dari itu, siapa yang menjaga hudud Allah, memelihara hak-hak-Nya, niscaya ia dapati Allah bersama dia dalam segala keadaannya. Ke mana saja dia menghadap, Allah melingkupi, menolong dan menjaga dia; memberi dia taufik dan menopangnya. Pesan ketiga: Rasul saw. berpesan agar kita meminta hanya kepada Allah dan minta tolong hanya kepada Dia: idz saalta fa *i+salilLh wa idz istaanta fa*i+stain bilLh. Permintaan adalah doa dan doa adalah ibadah. Jadi ini pesan untuk beribadah, termasuk di dalamnya meminta (berdoa), hanya kepada Allah dan untuk minta tolong hanya kepada Allah. Inilah yang selalu kita baca di QS al-Fatihah [1]: 5. Intinya ini adalah pesan untuk bertawakal menyandarkan segala perkara hanya kepada Allah SWT. Beliau menegaskan bahwa ketahuilah, tidak ada yang bisa mendatangkan manfaat atau madarat kepada seseorang kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk atau atas orang itu. Rasul bersabda: wa alam anna al-ummatawa jaffa ash-shuhuf. Hal itu juga ditegaskan dalam banyak ayat (misalnya, QS at-Taubah [9]: 51; al-Hadid [57]: 22; Ali Imran [3]: 154, dsb) dan hadis.

Jika seorang hamba mengetahui bahwa tiada menimpa dia berupa kebaikan atau keburukan, manfaat atau madarat, kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirinya, dan bahwa upaya seluruh makhluk untuk menyalahi apa yang ditetapkan itu tiada gunanya sama sekali, maka hal itu mewajibkan dia untuk mentauhidkan Allah; untuk takut, menggantungkan harapan, mencintai, meminta, merendahkan diri, berdoa dan minta tolong hanya kepada Allah semata; mewajibkan dia untuk menjaga hudud-Nya, hanya menaati Dia, mengedepankan ketaatan kepada Dia di atas ketaatan kepada seluruh makhluk, dan menghindari kemurkaan-Nya meski harus berhadapan dengan kemurkaan seluruh makhluk. Inilah iman pada takdir baik dan buruknya semata dari Allah SWT. Keimanan ini akan membuat seorang hamba bisa bertawakal dengan benar kepada Allah semata. Ini adalah sumber energi terbesar bagi siapapun untuk terus taat kepada Allah, menjauhi kemaksiatan dan kemurkaan-Nya dalam segala kondisi. Ini adalah energi terbesar bagi setiap Muslim agar mampu terus berjuang membela dan menegakkan agama-Nya apapun yang harus dihadapi. Inilah energi agar bisa menjalani hidup dengan benar. Wa m tawfq ill bilLh. [Yahya Abdurrahman]

Sifat Malu Mencegah Kemungkaran Sesungguhnya di antara yang dipahami masyarakat dari perkataan kenabian yang dulu: jika kamu tidak punya rasa malu maka berbuatlah sesukamu (HR al-Bukhari, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi dan lainnya).

Hadis ini diriwayatkan dari jalur Abi Masud Uqbah bin Amru al-Anshari al-Badri. Imam anNawawi mencantumkan hadis ini dalam Al-Arbaun sebagai hadis ke-20. Sabda Nabi saw., min kalm an-nubuwwah al-l (dari perkataan kenabian yang dahulu), menunjukkan bahwa sifat malu itu merupakan sesuatu yang terpuji dan diperintahkan sejak di dalam syariah para nabi terdahulu. Di dalam syariah Islam, hal itu tidak di-nasakh sehingga sifat malu itu merupakan sesuatu yang disyariatkan. Menurut ash-Shanani dalam Subul as-Salam, secara bahasa malu adalah perubahan yang terjadi pada manusia karena takut atas sesuatu yang dicela atau menjadi aib. Adapun secara syari, malu adalah sifat yang mendorong untuk meninggalkan yang tercela dan menghalangi dari melalaikan hak pihak yang memiliki hak. Sabda Rasul saw., idz lam tastahiy fa *i+shna m syita (jika kamu tidak malu maka berbuatlah sesukamu), bisa dipahami dari tiga aspek. Pertama: disampaikan dengan redaksi perintah, tetapi maknanya adalah celaan dan ancaman. Hal itu seperti firman Allah SWT: Perbuatlah apa yang kalian kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kalian kerjakan (QS Fushshilat [41]: 40).

Jadi maknanya bukan benar-benar perintah: jika tidak merasa malu, berbuatlah sesukamu. Maknanya justru ancaman dan celaan, yakni: jika engkau tidak punya rasa malu, berbuatlah sesukamu dan sesungguhnya Allah akan memberi balasan atas apa saja yang kamu lakukan itu.

Kedua: sabda Rasul saw. Itu, meski disampaikan dalam redaksi perintah, maknanya adalah berita (khabar), yaitu maknanya: jika kamu tidak punya rasa malu maka kamu akan melakukan apa saja sesukamu. Hal itu untuk mengisyaratkan bahwa di antara yang menghalangi seseorang melakukan keburukan adalah sifat malu. Jika ia telah meninggalkan atau melepaskan sifat malu itu, tidak ada lagi yang menghalangi dirinya dari keburukan. Sebaliknya, dengan hilangnya rasa malu, justru ada faktor-faktor yang mendorong dia melakukan keburukan sehingga seolah-olah ia diperintah untuk melakukan keburukan itu, apa saja sesukanya. Dalam konteks sifat malu akan mencegah dari keburukan maka Rasul saw menyatakan hal itu sebagai bagian dari iman, sebab sifat malu itu berperan seperti iman yang mencegah seseorang dari keburukan. Rasul saw. bersabda: Sifat malu itu bagian dari iman (HR Muttafaq alayh).

Dalam hal ini Ibn Qutaibah mengatakan, Maknanya, sifat malu mencegah pemiliknya dari melakukan kemaksiatan sebagaimana iman sehingga malu disebut bagian dari iman. Itu seperti sesuatu yang disebut dengan sebutan perkara yang digantikan posisinya. Sifat malu itu terbentuk dari al-jubnu (rasa takut) dan iffah (menjaga kesucian diri). Ketiga: makna sabda Rasul saw. itu sesuai dengan arti tekstualnya, yaitu: jika sesuatu yang ingin engkau lakukan termasuk sesuatu yang tidak perlu malu melakukannya baik kepada Allah ataupun kepada manusia, karena merupakan ketaatan, termasuk akhlak yang baik atau sopan santun yang dipuji, maka lakukan sesukamu. Sebaliknya, jika termasuk sesuatu yang membuat malu baik kepada Allah atau kepada manusia, maka jangan engkau lakukan. Dengan demikian, kalau dengan alasan malu seseorang melalaikan kewajiban, tidak melakukan kebaikan, tidak mengingkari kemungkaran, tidak memberikan nasihat, dsb, maka menurut para ulama itu bukanlah sifat malu, melainkan merupakan kelemahan dan kerendahan.

Maka dari itu, yang harus diwujudkan adalah sifat malu yang sebenarnya. Itulah yang diperintahkan oleh Rasul saw. Ibn Masud ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: . . Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya! Ibn Masud berkata, Kami berkata, Wahai Rasulullah, kami sungguh merasa malu dan alhamdu lillah. Beliau bersabda, Bukan yang itu. Akan tetapi, malu kepada Allah dengan sebenarbenarnya adalah engkau jaga kepala dan apa yang diwadahinya, engkau jaga perut dan apa yang dimuat/dikumpulkannya dan engkau mengingat kematian dan kerentaan; dan siapa yang menginginkan akhirat ia tinggalkan perhiasan dunia. Siapa saja yang melakukan hal itu, ia telah malu kepada Allah dengan sebenarbenarnya. (HR at-Tirmidzi, Ahmad, al-Hakim dan al-Baihaqi).

Artinya, malu kepada Allah itu diwujudkan dengan menjaga kepala beserta isinya termasuk pikiran, ide dan penilaian, telinga (pendengaran), mata (penglihatan), hidung (penciuman) dan lisan (ucapan) dari apa saja yang tercela, yang menjadi aib bagi kita di hadapan Allah SWT; juga dengan menjaga perut beserta muatannya (makanan) dan apa saja yang dihubungkan oleh perut baik dada (perasaan), tangan (perbuatan), kemaluan dan kaki (langkah-langkah kita) dari apa saja yang tidak diridhai oleh Allah SWT. Dengan demikian, sifat malu yang disyariatkan itu adalah sifat malu yang menjaga dan mencegah kita dan seluruh organ tubuh kita dari segala bentuk kemaksiatan. Sifat malu semacam ini akan mendorong dan membuat kita bergairah menunaikan kewajiban, melaksanakan ke-mandub-an dan melaksanakan berbagai ketaatan. Sifat malu ini terus menyemangati kita untuk merealisasi kewaraan. Itulah sifat malu yang membuat seorang hamba senantiasa terikat dengan syariah Rabb-nya, menjadikan dia sebagai abdullah, bukan budak dunia, hawa nafsu dan setan. Wa m tawfqi ill bilLh [Yahya Abdurrahman].

Iman dan Istiqamah (Al-Arbaun an-Nawawiyah, Hadis ke-21) : : : : Abu Amru Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqafi ra. berkata: Aku berkata, Wahai Rasulullah, katakan kepada diriku perkataan tentang Islam yang tidak perlu lagi aku tanyakan kepada seseorang selain dirimu. Nabi saw. bersabda, Katakanlah, Aku beriman kepada Allah. Kemudian beristiqamahlah. (HR Muslim dan Ahmad).

Hadis ini juga diriwayatkan dengan lafal sedikit berbeda dan disertai tambahan di akhirnya dari Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqafi (HR Ahmad, at-Tirmidzi, Ibn Majah, ad-Darimi dll). Hadis ini memuat pesan induk yang menghimpun semua kalimat. Pesan Rasul saw. ini merupakan jawaban dari permintaan Sufyan bin Abdullah ra. agar diberi pesan yang bisa dijadikan pegangan sehingga ia tidak perlu lagi bertanya atau meminta pesan lainnya kepada orang lain. Rasul saw. berpesan, Katakan (ikrarkan), Aku beriman kepada Allah. Kemudian beristiqamahlah. Pesan ini diambil dari firman Allah dalam surat Fushshilat *41+: 30 dan al Ahqaf [46]:13-14. Pesan ini menunjukkan bahwa keimanan itu merupakan dasar dan yang pertama. Maksud iman kepada Allah itu adalah mentauhidkan Allah SWT. Hal itu mencakup semua bentuk pentauhidan, baik tauhid uluhiyah, rububiyah maupun asma wa shifat; juga mencakup tauhid al-hkimiyahbagian dari tauhid rububiyahyaitu mentauhidkan Allah SWT sebagai satu-satunya yang berhak membuat hukum.

Setelah keimanan, beliau lalu memerintahkan agar kita membangun keistiqamahan atas dasar keimanan itu. Kata tsumma (kemudian) itu menunjukkan urutan. Artinya, keistiqamahan itu bukan sebelum keimanan. Ini menunjukkan, keistiqamahan yang diperintahkan adalah keistiqamahan atas dasar keimananan, bukan yang lain. Perintah agar istiqamah juga dinyatakan dalam firman Allah SWT: Katakanlah, Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, diwahyukan kepada diriku bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan yang Maha Esa. Karena itu, beristiqamahlah kalian menuju kepada-Nya dan mohonlah ampunannya. (QS Fushshilat [41]: 6).

Allah SWT pun memberitahukan bahwa orang yang beriman lalu beristiqamah tidak akan merasa takut, tidak akan bersedih hati dan akan mendapat pahala surga (lihat QS Fushshilat: 30; Al-Ahqaf: 13; al-Jin: 16). Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Ali asy-Syaikh di dalam bukunya Syarh al-Arban an-Nawwiyah menjelaskan, bahwa kata istiqmah itu menggunakan wazan istafala, maknanya bisa thalab (permintaan), misal istaghfara artinya thalab al-gufrn (meminta ampunan); bisa juga bermakna luzm al-washfi wa katsratu al-ittishfi bihi wa azhmu al-ittishfi bihi (menetapi suatu sifat dan banyak serta besarnya menyifati diri dengan sifat itu), misal istaghnLlh (QS at-Taghbun: 6). Kata istiqmah adalah menurut makna yang kedua ini. Jadi dalam konteks ini istiqmah maknanya memiliki sifat iqmah (menegakkan, meluruskan atau mengerjakan), banyak memiliki sifat itu dan menetapi sifat itu, tidak berubah dan tidak berganti dari sifat itu. Karena itu, istiqamah maknanya adalah tegak dan lurus di atas keimanan dan di atas agama Islam, banyak menyifati diri dengan itu dan menetapinya. Ringkasnya, istiqamah adalah ats-tsabt al ad-dn (teguh secara kontinu di atas agama). Karena itu, istiqamah itu seperti dijelaskan oleh Ibn Rajab al-Hanbali di dalam Jmi al-Ulm wa al-Hikam, yakni bertindak sesuai jalan (agama) yang lurus yaitu Islam tanpa menyimpang ke kiri atau ke kanan; dan hal itu mencakup melaksanakan semua aktivitas ketaatan zahir maupun batin, dan meninggal-kan semua yang dilarang.

Imam an-Nawawi di dalam Syarh al-Arban juga menjelaskan, bahwa dalam pesan itu Nabi saw. menyuruh Sufyan (tentu juga kepada kita) untuk memperbarui keimanannya dengan lisannya dan selalu ingat dengan hatinya. Nabi saw. pun menyuruh kita untuk istiqamah di atas amal-amal ketaatan dan menjauhi seluruh penyimpangan. Sebab, istiqamah itu tidak akan datang seiring dengan suatu kebengkokan, sebab itu adalah lawannya. Imam anNawawi juga menambahkan, yakni berimanlah kepada Allah SWT semata, kemudian beristiqamahlah di atas hal itu dan di atas ketaatan sampai dimatikan oleh Allah. Umar bin al-Khaththab berkata, Beristiqamahlah di atas ketaatan kepada Alah dan jangan kalian menyimpang. Maknanya, luruslah dalam memperbanyak ketaatan kepada Allah baik dalam bentuk aqad (muamalah), perkataan atau perbuatan, dan kontinu/langgenglah di atas hal itu. Dengan demikian istiqamah yang sempurna dalam segala hal adalah tegak dan lurus di atas keimanan yang benar dan sempurna, melaksanakan dan menetapi semua bentuk ketaatan serta menjauhi semua bentuk kemaksiatan lahir maupun batin dalam semua keadaan dan kesempatan. Istiqamah secara sempurna dalam segala hal artinya tidak pernah bermaksiat dan itu tentu mustahil. Karena itu, yang diperintahkan adalah agar kita berupaya semaksimal mungkin untuk mendekati keistiqamahan yang sempurna itu dan hendaknya diiringi dengan senantiasa meminta ampunan. Seperti itulah yang diperintahkan Allah SWT dalam QS Fushshilat ayat 6 di atas. Allahumma Anta Rabbun fa[u]rzuqn al-istiqmah. [Yahya Abdurrahman].

Amalan Yang Memasukkan Ke Surga (Al-Arbaun an-Nawawiyah, Hadis ke-22) . Jabir bin Abdullah ra. menuturkan bahwa seorang laki-laki pernah datang kepada Rasulullah saw. lalu bertanya, Bagaimana pendapatmu jika aku menunaikan shalat -shalat wajib, berpuasa Ramadhan, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, sementara aku tidak menambahnya dengan apapun; apakah aku masuk surga? Rasulullah saw. menjawab, Benar. Orang itu berkata, Demi Allah, aku tidak menambahnya dengan sesuatu pun. (HR Muslim dan Ahmad)

Di dalam riwayat lain disebutkan laki-laki itu adalah an-Numan bin Qawqal. Ada beberapa hadis serupa. Semua itu menunjukkan bahwa amal salih mengantarkan seseorang masuk ke surga.

Sebagian ulama memaknai ungkapan ahlaltu al-hall (aku menghalalkan apa yang halal) mencakup dua aspek: Pertama, meyakini atau menganggap yang halal itu adalah halal. Kedua, melakukan yang halal itu. Ungkapan al-hall itu maknanya adalah lawan dari al-harm (yang diharamkan). Sebutan alhall itu mencakup semua benda yang halal, dan tentu tidak mesti semua diambil; juga mencakup semua perbuatan yang halal, dan itu mencakup perbuatan yang wajib, sunah, mubah dan makruh (perbuatan makruh adalah halal sebab siapa yang melakukannya tidak berdosa). Tentu saja perbuatan halal itu tidak harus dilakukan semua. Bahkan ada yang lebih baik ditinggalkan dan dapat pahala karenanya, yaitu perbuatan yang makruh; ada yang sebaiknya ditinggalkan sebagai bentuk ke-wara-an atau kehati-hatian, yaitu yang syubhat atau meragukan; dan ada yang sebaiknya ditinggalkan sebagai cerminan baiknya keislaman seseorang, yaitu perbuatan mubah yang kurang bermanfaat. Karena itu, makna ahlaltu alhall itu lebih tepat adalah meyakini atau menilai yang halal itu adalah halal. Adapun untuk melakukannya tentu bergantung pada status hukum perbuatan itu apakah wajib, sunnah, mubah atau makruh. Cerminan ahlaltu al-hall itu di antaranya adalah tidak mencela orang yang mengambil sesuatu yang halal atau melakukan perbuatan yang halal; termasuk perbuatan mubah atau bahkan makruh sekalipun. Sebab, syariah sendiri tidak menimpakan celaan (dzamm) kepada orang itu. Adapun makna harramtu al-harm (aku mengharamkan apa yang haram) mencakup dua aspek: Pertama, meyakini atau menganggap yang haram itu adalah haram. Kedua, menjauhi/meninggalkan yang haram itu. Meyakini atau menganggap sesuatu (benda atau perbuatan) adalah haram tetapi diambil atau dilakukan dan meninggalkan sesuatu (benda atau perbuatan) yang haram bukan karena meyakini atau mengganggapnya adalah haram, semua itu tidak bisa dikatakan secara sempurna mengharamkan apa yang haram. Dalam hadis ini hanya disebutkan kewajiban dan tidak disebutkan yang sunnah. Ungkapan an-Numan, wa l azdu al dzlika syayan (aku tidak menambah hal itu dengan apapun), menurut para ulama maknanya adalah aku tidak akan menambah kewajiban-kewajiban itu dengan yang sunnah. Dalam hal ini Imam an-Nawawi dalam Syarh al-Arban mengatakan, Pengarang Al-Mufhim mengatakan, Nabi saw. di dalam hadis ini tidak menyebutkan untuk si penanya sesuatupun dari yang tathawwu (sunnah) seluruhnya. Ini menunjukkan

kebolehan meninggalkan (tidak melakukan) yang tathawwu secara keseluruhan. Akan tetapi, siapa yang meninggalkan dan tidak melakukannya sedikitpun maka laba yang banyak dan pahala yang besar telah luput darinya. Siapa yang terus menerus meninggalkan yang sunnah maka itu adalah kekurangan dalam agamanya dan mencederai keadilannya. Jika ia meninggalkannya karena meremehkan dan membencinya, maka itu merupakan kefasikan yang layak mendapat celaan. Ibn Rajab dalam Jmi al-Ulm wa al-Hikam mengatakan, Hadis ini menunjukkan bahwa siapa yang melakukan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan keharaman-keharaman, ia masuk surga. Telah mutawatir hadis-hadis dari Nabi saw. dengan makna ini atau yang mendekati. Hadis ini dan hadis-hadis lain yang semakna menetapkan masuk surganya orang yang melakukan amal-amal salih tertentu, di antaranya adalah shalat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat, berhaji, jihad, dsb. Ada juga hadis yang menetapkan siapa yang mengucapkan kalimat tauhid (syahadat) akan masuk surga. Di sisi lain, ada nas-nas lain yang menyebutkan perbuatan-perbuatan yang menghalangi seseorang masuk surga atau menjerumuskannya ke neraka, seperti memutus shilaturrahmi, takabur, berlaku iri-dengki, berdusta, perbuatan dosa besar, dsb. Di dalam al-Quran juga disebutkan orang yang lebih berat timbangan amal baiknya masuk surga, dan orang yang lebih ringan timbangan amal baiknya akan masuk neraka (lihat QS al-Qariah *101+: 6-8). Adapun orang yang mati dalam keadaan kafir akan kekal di neraka. Di dalam nas, penetapan dan penafian masuknya seseorang ke surga itu ada dua macam: alawwal (sejak awal) dan al-mal (nantinya atau pada akhirnya). Jadi manusia di akhirat terbagi tiga golongan. Pertama: sejak awal masuk surga tanpa diazab dulu di neraka, yaitu orang yang timbangan amal baiknya lebih berat, atau orang yang melakukan amal salih yang membuatnya langsung masuk surga, dosa-dosanya diampuni atau kesalahan-kesalahannya diterima kafaratnya oleh Allah. Kedua: yang nantinya masuk surga, jadi tidak sejak awal, karena diazabdibersihkandulu di neraka, yaitu penganut tauhid yang timbangan amal baiknya lebih ringan dari amal buruknya, dan ia mati tidak dalam keadaan kafir. Ketiga: sama sekali dinafikan masuk surga, artinya sejak awal masuk neraka dan kekal di dalamnya, yaitu orang yang mati dalam keadaan kafir.

Karena itu, hadis ini dan nas serupa harus dipahami tidak semata-mata sebatas hadis itu saja, tetapi harus dipahami secara integral dengan nas-nas lainnya menurut kaidah tersebut. WalLh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman].

Lima Keutamaan (al-Arbaun an-Nawawiyah, Hadis ke-23) l Kesucian itu separuh keimanan, al-hamdu lilLh memenuhi (memberatkan) timbangan, subhnallh wa al-hamdu lillh memenuhi ruang antara langit dan bumi, shalat adalah nr, sedekah adalah burhn dan sabar adalah dhiy dan al-Quran itu adalah hujjah untuk (membela)-mu atau menentangmu. Setiap manusia berusaha sepanjang hari, lalu dia menjual dirinya hingga dia menyelamatkan dirinya atau mencelakakan dirinya (HR Muslim, Ahmad dan ad-Darimi).

Sabda Nabi saw. ini mengandung lima poin. Pertama: ath-thuhr syathru al-mn. Menurut mayoritas penafsiran para ulama, yang dimaksud dengan ath-thuhr adalah thaharah dan tathahhur (menyucikan diri). Sebab, redaksi ful itu menunjuk pada perbuatannya. Dalam hal ini maksudnya ada dua: (1) Membersihkan diri dari kesyirikan dan najis maknawi seperti dalam firman Allah dalam surat al-Araf: 82 dan an-Naml: 56: Innahum unsun yatathahharn (Mereka adalah orang-orang yang membersihkan diri). Jadi yang dimaksud adalah thaharah hati, jawarih dan lisan dari keharaman dan dari meninggalkan kewajiban. Itu adalah separuh dari manifestasi iman. Sebab manifestasi iman itu ada dua: fil*un+ (melakukan) dan tark[un] (meninggalkan). Thaharah adalah tarkun, yaitu membersihkan hati dan jawarih serta lisan dari apa yang diharamkan oleh Allah. Karenanya, ath-thuhr adalah separuh dari iman. (2) Membersihkan diri dari najis hakiki. Itu adalah separuh iman karena Allah SWT menyebut shalat sebagai iman (secara majazi) seperti dalam surat alBaqarah: 143. Thaharah merupakan syarat bagi shalat; shalat tidak sah tanpa thaharah.

Penafsiran ini dikuatkan oleh ungkapan at-Tirmidzi: al-wudh syathru al-mn; dan ungkapan an-Nasai, Ibn Majah dan Ibn Hibban: isbgh al-wudh syathru al-mn Kedua: al-Hamdu lilLh tamla al-mzn wa subhnalLh wa al-hamdu lilLh tamlani m bayna as-samawt wa al-ardhi. Tahmid adalah penisbatan dan penetapan segala pujian hanya untuk Allah SWT dengan menetapkan segala kesempurnaan dan sifat sempurna kepada-Nya. Tasbih maknanya adalah penyucian (tanzh) Allah SWT dari segala kekurangan dan sifat kurang. Cakupan tahmid dan tasbih kepada Allah itu setidaknya atas rububiyah, uluhiyah, asma wa shifat-Nya; atas al-Quran sebagai firman-Nya; atas ketentuan, ketetapan dan hukum kauniyah-Nya, dan atas ketentuan syariah-Nya, termasuk penetapan hak menentukan halal dan haram. Karena itu, kalimat tahmid dan tasbih masing-masing mendatangkan pahala besar yang akan memberatkan timbangan amal baik di Yaum alHisab. Apalagi jika ucapan tahmid dan tasbih itu disatukan, maka pahalanya sangat besar, yang seandainya berwujud fisik akan memenuhi ruang antara bumi dan langit. Kesempurnaan pahala atas ucapan tahmid dan tasbih seperti itu akan tercapai jika disertai dengan mendalami dan meresapi maknanya tersebut. Ketiga: ash-shalt nr, wa ash-shadaqah burhn wa ash-shabru dhiy. Nr, burhn dan dhiy adalah tiga tingkatan cahaya. Jika cahaya itu menerangi disebut nr, dan jika nr disertai kekuatan menyilaukan disebut burhn, dan jika burhn disertai kekuatan membakar, disebut dhiy. Jadi burhn lebih kuat dari nr tetapi lebih lemah dari dhiy. Shalat disifati sebagai nr karena di dalam shalat itu harus diberikan apa yang diperlukan oleh shalat dengan kerelaan dan tumaninah. Sedekah merupakan burhn karena bentuknya mengeluarkan harta, sesuatu yang disukai nafsu, dan untuk itu memerlukan pengorbanan lebih. Sabar merupakan dhiy karena di dalam sabar itu beban dan pengorbanannya lebih besar lagi. Shalat merupakan nr, juga karena bisa menghalangi dari kemaksiatan, mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, dan menunjuki pada yang benar. Shalat juga akan menjadi cahaya di akhirat yang memancar dari wajah orang yang shalat. Hal itu mungkin juga tampak di dunia pada wajah orang yang menegakkan shalat.

Sedekah merupakan burhn. Maknanya, sedekah itu akan mengejutkan seperti halnya burhan, seakan hamba yang bersedekah itu, jika ditanya pada Hari Kiamat tentang pembelanjaan hartanya, sedekah itu akan menjadi burhan dalam jawaban pertanyaan itu. Bisa juga maknanya bahwa sedekah itu menjadi bukti keimanan pelakunya karena orang munafik enggan bersedekah karena tidak meyakininya. Adapun sabar secara bahasa adalah al-habsu (menahan). Sabar itu dalam tiga hal: sabar di atas ketaatan; sabar dari berbagai kemaksiatan; sabar dalam menghadapi qadha dan penderitaan. Dengan kata lain sabar mencakup sabar dalam menahan lahir dan hati agar tetap di atas ketaatan, menahannya dari berbagai kemaksiatan serta menahannya untuk tetap ridha terhadap qadha Allah dan musibah (penderitaan). Keempat: Al-Quran itu adalah hujjah untuk (membela)-mu atau menentangmu. Maknanya, engkau akan mendapat manfaat darinya jika engkau mengikutinya dan beramal sesuai dengannya. Jika tidak maka al-Quran akan menjadi hujjah menentangmu. Nabi saw. bersabda, Siapa yang menjadikan al-Quran di depannya (pemimpinnya), ia akan menuntunnya ke surga. Siapa yang menjadikan al-Quran di belakangnya, ia akan menjebloskannya ke neraka. (HR Ibn Hibban dan al-Baihaqi). Kelima, Setiap manusia berusaha sepanjang hari; dia menjual dirinya maka dia menyelamatkan dirinya atau mencelakannya. Maknanya, siapa yang berjalan dalam ketaatan kepada Allah SWT ia telah menjual dirinya kepada Allah SWT dan membebaskan dirinya dari azab-Nya. Sebaliknya, siapa yang berjalan dalam kemaksiatan kepada Allah SWT, ia telah menjual dirinya dengan kebinasaan atau menjebloskan dirinya dengan dosa yang mendatangkan kemurkaan dan sanksi dari Allah. WalLh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman].

Manusia Itu Lemah dan Fakir (al-Arbaun an-Nawawiyah, Hadis ke-24) :

Allah berfirman, HambaKu, sungguh Aku telah mengharamkan kezaliman atas DiriKu dan telah menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian. Karena itu, janganlah kalian saling menzalimi. HambaKu, kalian semua tersesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk. Karena itu, mintalah petunjuk dari DiriKu, niscaya Aku memberi kalian petunjuk. HambaKu, kalian semua lapar kecuali orang yang Aku beri makan. Karena itu, mintalah makan kepada DiriKu, pasti Aku beri kalian makan. HambaKu, kalian semua telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian. Karena itu, mintalah pakaian kepada DiriKu, pasti Aku beri kalian pakaian. HambaKu, sungguh kalian telah berbuat salah siang dan malam, sementara Aku mengampuni semua dosa. Karena itu, mintalah ampunanKu, niscaya Aku mengampuni kalian. HambaKu, sungguh kalian tidak akan bisa memadaratkan DiriKu dan tidak pula bisa member DiriKu manfaat. HambaKu, andai orang-orang yang terdahulu mapun yang terakhir di antara kalian, manusia maupun jin, semuanya berkumpul pada hati orang yang paling takwa di antara kalian, itu tidak akan menambah sesuatu pun pada kerajaanKu. HambaKu, andai orang-orang yang terdahulu maupun yang terakhir di antara kalian, manusia maupun jin, semuanya berkumpul dalam hati orang yang paling jahat di antara kalian, itu tidak akan mengurangi sedikit pun kekuasaanKu. HambaKu, andai orang-orang yang terdahulu maupun yang terakhir di kalian, manusia maupun jin, semuanya berkummpul di satu tempat dan meminta kepada DiriKu, lalu Aku mengabulkan setiap permintaan mereka, niscaya itu tidak akan mengurangi apa yang ada di sisiKu kecuali seperti sebatang jarum yang dicelupkan ke laut. HambaKu, sungguh semua itu adalah amal perbuatan kalian. Aku memcatat semuanya untuk kalian, lalu Aku membalasnya. Maka dari itu, siapa saja yang

menemukan kabaikan, hendaknya ia memuji Allah; dan siapa saja yang menemukan selain itu, jangan ia mencela kecuali dirinya sendiri. (HR Muslim)

Hadis qudsi ini memberi kita beberapa pelajaran. Pertama: Allah mengharamkan kezaliman secara mutlak. Zalim adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Hal itu mencakup: menzalimi diri sendiri, yaitu mencelakan diri sendiri dengan bermaksiat (yang terbesar adalah kesyirikan dan kekufuran); dan menzalimi orang lain, yaitu mengabaikan apa yang menjadi hak mereka atau melanggar hak mereka. Kezaliman yang kedua disebut secara khusus sebagai penekanan, sebab kezaliman kepada orang lain itu akan menyebabkan kerusakan besar di masyarakat. Kedua: manusia pada awalnya tersesat, tidak mengetahui petunjuk, dan hanya dengan petunjuk Allahlah dia akan mendapat petunjuk. Petunjuk itu tidak serta-merta dia dapatkan. Ia harus memintanya, yaitu menempuh jalan dan mengupayakan diri meraih petunjuk serta mempelajarinya. Dengan itu niscaya Allah memudahkan dirinya dengan memberi taufik dan akhirnya ia mengetahui jalan petunjuk, mengikutinya dan menjadi orang yang tertunjuki. Ketiga: manusia itu amat lemah dan fakir di hadapan Allah SWT. Rezeki manusia, yang digambarkan dengan makanan dan pakaian sepenuhnya ada di tangan Allah. Maka dari itu, untuk memenuhi semua kebutuhan termasuk pangan dan sandang, manusia hendaknya meminta kepada Allah, tentu dengan tata cara yang Dia ridhai. Pada saat yang sama ia harus sadar bahwa rezeki yang ia terima semata-mata pemberian Allah, bukan berasal dari dirinya. Dengan itu ia makin bersyukur kepada Allah SWT. Keempat: manusia tidak luput dari berbuat salah. Lalu ditegaskan bahwa Allah mengampuni dosa semuanyakecuali syiriksebagai dorongan besar agar manusia meminta ampunan Allah. Sebanyak apapun dosa, jika hamba meminta ampunan, niscaya Allah memberi dia ampunan.

Kelima: Manusia sedikitpun tidak bisa memadaratkan atau memberi manfaat kepada Allah SWT. Ketaatan seluruh manusia tidak menambah apapun bagi Allah. Sebaliknya, kejahatan dan kemaksiatan bahkan kesyirikan dan kekufuran seluruh manusia juga tidak mengurangi apapun di sisi Allah. Keenam: Allah Mahakaya. Meski Allah memenuhi seluruh permintaan manusia, itu tidak mengurangi apa yang ada di sisi Allah. Karena itu, jangan takut dan jangan bosan meminta apa saja kepada Allah, selama itu bukan dosa. Sebab, Allah memang menyukai hamba-Nya yang sering meminta kepada DiriNya. Ketujuh: seluruh amal manusia dicatat. Jika yang ada adalah amal baik, maka hendaklah seorang hamba memuji Allah, sebab ia mendapat karunia dan taufikNya sehingga melakukan amal yang baik. Sebaliknya, atas amal buruk, dirinya sendirilah yang harus disalahkan, sebab ia meninggalkan petunjuk serta lebih memilih mengikuti hawa nafsunya dan bisikan setan. Allah Mahaadil. Dia tidak akan menzalimi hambaNya. Tiap amal baik akan diberi pahala. Setiap diri hanya akan dijatuhi sanksi karena perbuatan buruknya sendiri, dan tidak akan sekalipun karena perbuatan buruk orang lain. Wallh al-mustan wa huwa waliyyu at-tawfq. [Yahya Abdurrahman].

Pahala Atas Setiap Ketaatan (Al-Arban an-Nawawiyah, Hadis ke-25) - - - - . .

Abu Dzar ra. menuturkan bahwa ada orang-orang di antara sahabat Nabi saw. berkata kepada Nabi saw., Ya Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala. Mereka mengerjakan shalat seperti kita shalat. Mereka berpuasa seperti kita berpuasa. Mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka. Nabi saw. bersabda, Bukankah Allah telah menjadikan apa saja untuk kalian bersedekah? Sesungguhnya setiap kalimat tasbih (mendapat pahala) sedekah, setiap takbir (mendapat pahala) sedekah, setiap tahmid (mendapat pahala) sedekah, setiap tahlil (mendapat pahala) sedekah, amar makruf (mendapat pahala) sedekah, mencegah kemungkaran (mendapat pahala) sedekah dan di dalam persetubuhan salah seorang di antara kalian dengan istrinya ada pahala sedekah. Mereka bertanya, Ya Rasulullah, apakah seseorang dari kami melampiaskan syahwatnya (kepada istrinya) dan di situ ada pahala? Nabi saw. bersabda, Bukankah kalian tahu, seandainya dia melampiaskan syahwatnya pada yang haram (bukan istrinya) ia berdosa? Demikian pula jika ia melampiaskan syahwatnya pada yang halal maka untuk dia ada pahala. (HR Muslim, Ahmad, Ibn Hibban dan al-Bukhari).

Hadis ini memberikan gambaran bagaimana karakter para sahabat. Para sahabat berlombalomba dalam melakukan ketaatan. Mereka sangat bersemangat dan berkeinginan tinggi untuk melakukan kebaikan dan ketaatan guna meraih pahala Allah SWT. Mereka merasa sedih jika ada kesempatan atau peluang berbuat baik dan taat luput dari mereka. Mereka bahkan sering merasa cemburu dan iri. Mereka bukan cemburu atau iri terhadap hal-hal yang bersifat duniawi. Mereka iri dan cemburu bahwa orang lain bisa meraih pahala Allah lebih banyak. Kecemburuan mereka itu bukan lahir dari rasa iri dan dengki. Kecemburuan itu lahir dari keinginan mereka untuk bisa meraih lebih banyak pahala seperti orang lain yang bisa meraih pahala lebih banyak. Itulah yang terlihat dari pengaduan sebagian sahabat kepada Rasul saw di dalam hadis ini. Mereka komplain kepada Nabi saw. bahwa orang kaya mendapat pahala lebih banyak. Orang kaya bisa menunaikan shalat dan berpuasa seperti mereka. Orang kaya pun bisa bersedekah dengan kelebihan hartanya, sementara mereka tidak bisa melakukan itu karena tidak memiliki kelebihan harta yang bisa mereka sedekahkan seperti halnya orang kaya.

Jadi konteks komplain mereka itu bukan ingin punya harta banyak seperti orang kaya. Akan tetapi, konteksnya adalah mereka ingin mendapat pahala lebih banyak seperti halnya orang kaya dengan sedekahnya. Karena itu, Rasul saw. menjelaskan bahwa banyak hal yang bisa digunakan untuk mendapatkan pahala seperti pahala sedekah sehingga seolah-olah bersedekah dengan hal-hal itu. Rasul bersabda, Bukankah Allah telah menjadikan apa saja untuk kalian bersedekah? Kemudian Rasul saw. menjelaskan bahwa dengan membaca kalimat tasbih, takbir, tahmid, tahlil, memerintahkan kemakrufan dan melarang kemungkaran masing-masing mendatangkan pahala sebagaimana sedekah. Bahkan di dalam persetubuhan seseorang dengan istrinya juga ada pahala. Mengapa hingga di dalam pelampiasan syahwat itu pun ada pahala? Rasul saw menjelaskan, sebab jika dilampiaskan pada yang haram ada dosa, maka jika dilampiaskan dengan yang halal maka ada pahala. Sebab dia meninggalkan yang haram dengan mengambil yang halal. Jadi bukan semata karena pelampiasan syahwat dengan istri, melainkan dengan disertai kesadaran bahwa itulah yang halal dan karena jika dia melampiaskan pada yang haram akan berdosa. Jadi di situ ada pahala sebab merupakan ketaatan, dilakukan dengan kesadaran untuk taat kepada Allah. Karena itu, tidak terbatas pada hal itu saja. Menjauhi yang haram karena sadar itu adalah haram akan berpahala. Mengambil atau melakukan yang halal karena paham itu adalah halal juga akan mendapat pahala. Jadi segala bentuk ketaatan (meninggalkan keharaman, menjauhi yang dilarang, mengambil yang halal atau melakukan yang diperintahkan) yang disertai kesadaran untuk taat kepada Allah, semua itu akan mendapat pahala. Di situlah Rasul saw. bersabda: Setiap kemakrufan (mendapat pahala seperti) sedekah (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ahmad).

Jadi sarana, alat, sebab, perbuatan dan kesempatan untuk meraih pahala itu sangat beragam dan sangat luas. Semua orang memilikinya. Bahkan seluruh hidup kita bisa berpahala jika senantiasa terikat dengan syariah disertai kesadaran untuk taat kepada Allah SWT. Karena itu Rasul saw. menjelaskan, kalau seseorang tidak memiliki satu atau sebagian dari sarana, alat, sebab dan kesempatan itu, hendaknya dia segera menggunakan sarana,

alat, sebab dan kesempatan yang dia miliki untuk meraih pahala semaksimal mungkin. Di dalam hadis qudsi Rasul saw. menjelaskan, bahwa yang paling disukai oleh Allah dalam hal itu adalah apa saja yang Allah fardhukan. Di antara kewajiban yang paling agung adalah kewajiban penerapan syariah dan adanya imam/khalifah serta perjuangan untuk mewujudkannya. Kita semuanya, setiap orang tanpa kecuali, memiliki sarana, sebab, alat dan kesempatan untuk meraihnya. Mau?! Wallh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman]

Aneka Bentuk Sedekah Al-Arbaun an-Nawawiyah, Hadis ke-26 Untuk setiap tulang/sendi manusia harus ada sedekahnya setiap hari yang di dalamnya matahari terbit. Engkau berlaku adil di antara dua orang adalah sedekah. Engkau membantu seseorang di kendaraannya dengan membantu dia naik ke atasnya atau mengangkatkan barangnya ke atas kendaraannya adalah sedekah. Kata-kata yang baik adalah sedekah. Setiap langkah yang engkau ayunkan untuk menunaikan shalat adalah sedekah. Engkau menyingkirkan duri dari jalanan adalah sedekah (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ibn Hibban).

Susunan tulang/sendi dan keteraturannya termasuk nikmat Allah SWT yang paling besar kepada hamba-Nya. Untuk setiap tulang/sendi itu perlu ada sedekah yang disedekahkan sebagai ungkapan syukur atas nikmat tersebut. Syukur atas setiap kenikmatan akan ditanyakan oleh Allah pada Hari Kiamat kelak.

Kemudian kamu pasti akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (QS at-Takatsur [102]: 8)

Keharusan bersyukur dengan bersedekah untuk tiap tulang/sendi itudalam riwayat jumlah sendi/tulang manusia ada 360 buahbersifat harian, yakni setiap hari. Rasul saw. menegaskan: setiap hari yang di dalamnya matahari terbit. Lalu bagaimana itu bisa dilakukan? Rasul saw. memberikan beberapa contohnya dalam hadis ini. Abu Musa al-Asyari juga menceritakan, Rasul saw bersabda: : : : : : : : : Setiap Muslim harus bersedekah. Mereka (para sahabat) berkata, Jika ia tidak menemukan apapun (untuk bersedekah)? Nabi saw. bersabda, Hendaknya ia bekerja dengan tangannya sehingga memberi manfaat kepada dirinya dan bisa bersedekah. Mereka berkata, Jika ia tidak bisa atau tidak melakukannya? Nabi bersabda, Hendaknya ia membantu orang yang membutuhkan yang meminta tolong. Mereka berkata, Jika tidak ia lakukan? Nabi bersabda, Hendaknya ia memerintahkan kebaikan, atau Nabi bersabda, kemakrufan. Mereka berkata, Jika tidak ia lakukan? Nabi bersabda, Hendaknya ia menahan diri dari keburukan karena hal demikian ada pahala sedekah bagi dirinya. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menunjukkan, jika seseorang itu tidak bisa bersedekah dengan harta atau perbuatan apapun, cukuplah bagi dirinya meninggalkan keburukan. Para ulama menyebut ini sebagai syukur dalam derajat wajib. Seseorang menjauhi keburukan itu, seperti yang dikatakan oleh al-Hafizh Ibn Rajab, adalah jika dia melakukan kewajiban dan menjauhi keharaman. Sebab, keburukan terbesar adalah meninggalkan kewajiban. Dari sini sebagian ulama mengatakan, syukur itu adalah meninggalkan kemaksiatan. Sebagian yang lain mengatakan syukur itu tidak menggunakan sedikitpun dari nikmat itu untuk bermaksiat.

Abu Hazim az-Zahid menyebutkan, syukur seluruh badan adalah dengan menjauhkan diri dari kemaksiatan dan menggunakan badan dalam ketaatan. Syukur derajat berikutnya adalah syukur yang mustahab. Setelah melaksanakan kewajiban dan meninggalkan keharaman, hamba itu melaksanakan perbuatan-perbuatan sunnah, baik yang berupa perbuatan, ucapan, bersifat finansial dan sebagainya. Itulah yang di antaranya disebutkan oleh Rasul di dalam hadis ke-26 ini, hadis ke-25 dan hadis lainnya. Rasul saw. memberikan contohjuga dalam hadis ke-25 sebelumnyabermacam-macam kebaikan, yakni ketaatan yang bisa mendatangkan pahala seperti sedekah. Dari situ terlihat bahwa pintu-pintu kebaikan atau sedekah itu sangat luas dan beragam. Karena itu tidak alasan bagi siapapun untuk tidak bisa bersedekah, yaitu melakukan kebaikan dan ketaatan serta mendapatkan pahala seperti sedekah. Di antara contoh yang disebutkan oleh Nabi saw.: Pertama, berlaku adil di antara manusia. Termasuk di dalamnya memutuskan perkara dan melakukan ishlah dengan adil di antara dua orang yang berselisih. Kedua, membantu orang lain menaiki kendaraan atau mengangkatkan barangnya ke atas kendaraan. Ini mewakili bentuk kebaikan yang memberi manfaat kepada orang lain, membantunya dalam hal yang dibutuhkan, meringankan kesulitan, dsb. Termasuk di antaranya: menunjuki jalan, membantu memperbaiki sesuatu, memberi utang,

membebaskan utang sebagian atau seluruhnya, memberi tangguh, menuntun orang buta atau orang tua, dsb. Ketiga, dalam bentuk kata-kata yang baik. Termasuk di antaranya, mengucapkan salam, mendoakan, menasihati, amar makruf nahi mungkar, senyum, menampakkan wajah berseri, dan sebagainya. Keempat, bentuk sedekah yang manfaatnya terbatas pada diri pelaku seperti, berjalan untuk shalat berjamaah, duduk di masjid menunggu shalat, membaca tahlil, takbir, tahmid, tasbih, istighfar, shalawat, membaca al-Quran, mendengarkan kajian, dan sebagainya. Begitu juga dua rakaat shalat dhuha yang dalam satu riwayat dikatakan oleh Nabi saw. bisa memenuhi sedekah untuk semua tulang/sendi pada hari itu.

Kelima, menjauhkan bahaya dari orang lain, seperti menghilangkan duri dari jalanan atau menjauhkan orang dari bahaya lisan dan tangan kita atau orang lain. Dakwah dan perjuangan agar syariah diterapkan untuk mengatur kehidupan dan semua interaksi di masyarakat memiliki posisi sangat tinggi dalam hal ini. Sebab, penerapannya syariah menjadi kunci pelaksanaan kewajiban lainnya, menghalangi keharaman dan kemaksiatan, mewujudkan manfaat dan hak bagi tiap orang, serta menjauhkan bahaya dan kemadaratan dari individu dan umat. Karena itu, keterlibatan di dalam dakwah dan perjuangan penerapan syariah adalah termasuk bentuk syukur yang paling tinggi.

WalLh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman]

Tanda Kebaikan dan Dosa (Al-Arban an-Nawawiyah, Hadis ke-27) An-Nawas bin Saman ra. berkata: Aku pernah bertanya kepada Nabi saw. tentang kebaikan dan dosa. Beliau bersabda, Kebaikan itu adalah akhlak yang baik dan dosa itu apa yang mengkhawatir jiwamu dan engkau tidak suka hal itu diketahui oleh orang-orang. (HR Muslim, Ahmad, at-Tirmidzi dan ad-Darimi) : : : : Wabishah bin Mabad ra. berkata: Aku pernah datang kepada Nabi saw. Lalu Nabi saw. bertanya, Engkau datang bertanya tentang kebaikan? Aku jawab, Benar. Beliau bersabda, Mintalah fatwa kepada hatimu; kebaikan itu adalah apa saja yang menenteramkan jiwa dan menenangkan hati; dosa itu adalah apa saja yang meragukan

jiwa dan menimbulkan kekhawatiran di dalam dada meski orang-orang memberikan fatwa kepadamu berulang-ulang (Imam an-Nawawi berkata: [Hadis ini] diriwayatkan dalam Musnad dua imam, Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam ad-Darimi, dengan sanad hasan). Menurut Ibn Rajab dalam Jami al-Ulum wa al-Hikam, hadis Wabishah tersebut dhaif, karena sanad-nya munqathi (terputus). Zubair Abu Abd as-Salam tidak mendengarnya dari Ayyub bin Abdullah bin Mikraz, sebagaimana dinyatakan oleh salah satu riwayat Imam Ahmad. Zubair sendiri dinilai dhaif, di antaranya oleh ad-Daruquthni dan Ibn Hibban. Namun, ada riwayat lain dengan sanad yang baik Abdullah bin al-Ala, dari Muslim bin Misykam, dari Abu Tsalabah al-Kusyani yang berkata, Ya Rasulullah, beritahu aku apa yang halal dan apa yang haram bagi diriku. Nabi saw. bersabda: Kebaikan itu adalah apa saja yang menenangkan jiwa dan menenteramkan hati. Dosa itu apa saja yang tidak menenangkan jiwa dan tidak menenteramkan hati mmeskipun para mufti memfatwakannya kepadamu (HR Ahmad dan ath-Thabarani).

Al-Birr (kebaikan) adalah ism*un+ jmi, yakni sebutan integral yang mencakup semua jenis kebaikan dan ketaatan (QS al-Baqarah [2]: 177). Al-Birr itu ada yang berupa hubungan hamba dengan Rabb-nya dan ada yang berupa hubungan sesama hamba. Al-Birr antara hamba dengan Allah SWT adalah iman, menunaikan berbagai perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Adapun al-birr dengan sesama hamba adalah berlaku baik kepada orang lain, memperlakukan dan berinteraksi dengan orang lain sesuai syariah dan tanpa melanggarnya. Yang paling agung dan sentral adalah husnu al-khuluq berdasarkan sabda Nabi saw: al-birr husn al-khuluq. Itu seperti sabda beliau: al-hajj arafah (Haji itu wukuf di Arafah). Husn al-khuluq adalah berlaku fair dalam muamalah, lemah lembut dalam perlakuan, adil dalam hukum, mencurahkan daya upaya dalam berbuat baik dan sifat-sifat Mukmin lainnya menurut al-Quran (Imam an-Nawawi, Syarh al-Arban). Ia juga meliputi: mencurahkan kedermawanan, bermurah hati, mencegah pelanggaran, ihsan kepada sesama, membalas

keburukan dengan kebaikan, memperlakukan orang disertai pemaafan dan lapang dada, menahan marah, memberikan apa yang menjadi hak sesama dan disertai dengan yang sunnah, dsb. Menurut hadis di atas, lawan dari al-birr itu adalah al-itsm (dosa). Lalu Nabi saw. menjelaskan tanda-tanda sesuatu itu sebagai dosa agar bisa dikenali. Tanda itu: Pertama, di dalam hati ada ragu atau khawatir, dan di antara tandanya adalah dada berdebar karena khawatir itu adalah dosa. Kedua, tidak suka jika hal itu diketahui orang-orang, karena akan menjadi aib. Jika tanda itu ada, artinya sesuatu itu lebih dekat pada dosa. Di situlah, dalam riwayat Wabishah, Nabi saw. menyuruh dia untuk meminta fatwa kepada hati. Namun para ulama mengingatkan bahwa meminta fatwa kepada hati itu hanya berlaku bagi orang seperti Wabishah, Nawas bin Saman, Abu Tsalabah al-Kusyani; tiga orang sahabat yang bertanya tentang al-birr dan al-itsm kepada Nabi saw. Artinya, hal itu berlaku bagi orang yang hatinya disinari oleh cahaya iman. Adapun bagi pelaku maksiat atau orang fasik maka kemaksiatan tidak membuat hatinya khawatir dan tidak membuatnya malu jika diketahui orang. Terkait keraguan itu ada tiga kondisi: Pertama, dalam perkara yang dinyatakan dengan jelas di dalam nas. Dalam hal ini, tidak boleh ada keraguan di dalamnya (QS an-Nisa *4+: 65). Kedua, perkara ijtihadiah, yakni saat ada dua orang atau lebih memfatwakan hal yang berbeda. Yang wajib adalah mengikuti pendapat yang terbaik (QS az-Zumar [39]: 18), yaitu paling kuat dalilnya, paling jelas pemahamannya, paling komplit diagnosis dan deskripsi fakta masalahnya, dan paling sesuai fakta dengan dalilnya. Hal itu diketahui oleh orang alim atau faqih. Adapun orang awam, cukuplah men-tarjih pen-tarjih, yaitu mengambil perdapat orang yang dianggap paling alim, faqih dan salih serta yang paling dia benarkan pendapatnya, tentu juga yang paling jauh dari interes. Ketiga, seorang alim/faqih memberi fatwa sesuai dengan lahiriah masalah yang tampak bagi dirinya. Sementara itu, kadangkala fakta masalahnya tidak disampaikan secara keseluruhan, atau yang disampaikan bukan fakta kasusnya, tetapi persepsi penanya terhadap kasus tersebut, dan kadang orang yang ditanya itu tidak meminta detil fakta kasus

tersebut. Maka dari itu, wajar jika di hati si penanya masih ada keraguan tentang hal itu. Demi mengamalkan hadis ini, hendaknya sesuatu yang ditanyakan itu ditinggalkan. Jadi hadis ini sebenarnya menegaskan bahwa sesuatu yang syubhat hendaknya ditinggalkan. Itulah sikap yang lebih selamat sebab lebih jauh dari keharaman. WalLh alam bi ashshawb. [Yahya Abdurrahman]

Al-Arbaun an-Nawawiyah, Hadis ke-28 :Berpegang Dengan Sunnah, Menjauhi Bidah (Al-Arbaun an-Nawawiyah, Hadis ke-28) : : : Irbadh bin Sariyah ra. berkata: Rasulullah saw. pernah memberi peringatan kepada kami yang membuat hati bergetar dan mata berlinang. Kami lalu berkata, Ya Rasulullah, seolaholah itu peringatan perpisahan. Maka dari itu, berilah kami wasiat. Beliau bersabda, Aku mewasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun yang memerintah kalian seorang budak. Sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang hidup sesudahku, lalu melihat perselisihan yang banyak, maka kalian wajib berpegang dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk; gigitlah ia dengan gigi geraham; dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru yang diada-adakan sebab semua bidah (perkara baru yang diada-adakan) adalah kesesatan (HR Ahmad, Abu Dawud Ibn Majah, at-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata: hadis hasan shahih).

Dalam hadis ini diceritakan bahwa Rasul saw. memberikan peringatan yang sangat menyentuh dan berpengaruh. Ini adalah contoh bagaimana hendaknya seseorang memberikan peringatan atau nasihat. Hendaknya ia berusaha memberikan nasihat dan peringatan yang menyentuh dan berpengaruh, yaitu yang mudah dipahami, merangsang

untuk memikirkan dan merenungkan serta menyentuh hati; yakni membangkitkan perasaan takut terhadap kemurkaan Allah SWT dan mengharap keridhaan-Nya. Dengan begitu diharapkan orang yang diberi nasihat/peringatan terdorong untuk taat dan menjauhi maksiat. Wasiat Rasul dalam hadis ini ada beberapa poin. Pertama, wasiat untuk takwa kepada Allah SWT. Takwa artinya mewujudkan wiqayah (perisai) diri dari kemurkaan dan azab Allah SWT dengan cara menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Kedua: wasiat untuk mendengar dan menaati pemimpin. Rasul saw. menegaskan pesan ini: meski yang memimpin (menjadi amir) kalian adalah seorang budak. Padahal seorang budak, secara syari tidak boleh dijadikan pemimpin. Sabda Rasul itu menegaskan tentang betapa pentingnya mendengar dan menaati pemimpin (amir), tentu pemimpin (amir) yang syari. Sabda Rasul ini sekaligus mengindikasikan bahwa meski yang dijadikan pemimpin itu pemimpin mafdhl, dimana ada orang lain yang lebih utama dan lebih kafaah, maka mendengar dan menaati pemimpin mafdhl itu tetap wajib. Hanya saja, mendengar dan taat itu dibatasi hanya dalam hal kemakrufan saja. Dalam hal yang merupakan kemaksiatan justru haram untuk mendengar dan taat. Sebab, Rasul saw. membatasi ketaatan itu hanya dalam kemakrufan. Rasul saw. bersabda: Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam hal yang makruf (HR Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasai).

Lalu Rasul saw. bersabda, Sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang hidup sesudahku, lalu melihat perselisihan yang banyak. Perintah untuk mendengar dan taat kepada amir itu penting karena akan ada perselisihan dalam banyak perkara. Ketika terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat, tentu penting untuk memutuskan mana yang harus diambil dan dijalani. Untuk itu diperintahkan agar mendengar dan taat kepada amir, selama bukan kemaksiatan. Ini mengindikasikan bahwa perintah amir itu erat hubungannya dengan

persatuan dan bahwa perintah imam itu menghilangkan perbedaan ( amr al-imm yarfa alkhilf). Ketiga: dalam kondisi itu Rasul saw. memerintahkan kita untuk berpegang teguh sekuatkuatnya dengan Sunnah Nabi saw dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Khulafaur Rasyidin yang disepakati oleh para ulama adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiyallh anhum. Sunnah Khulafaur Rasyidin itu adalah sunnah dalam makna bahasanya, yaitu jejak langkah dan contoh. Artinya, kita diperintahkan Rasul untuk berpegang kuat dengan contoh dan jejak langkah Khulafaur Rasyidin, terutama dalam masalah kepemimpinan sebab konteks pembicaraan hadis ini adalah masalah ketaatan kepada amir. Sistem kepemimpinan dan kenegaraan yang menjadi Sunnah Khulafaur Rasyidin itu adalah al-Khilafah dengan kepala negaranya adalah Khalifah/Amirul Mukminin. Inilah yang harus kita pegang teguh. Meninggalkan bahkan menolak sunnah ini jelas bertentangan dengan wasiat dan perintah Rasul saw. dalam hadis ini. Keempat: wasiat Rasul saw. untuk menjauhi perkara baru yang diada-adakan (muhdatsah), yaitu bidah, sebab bidah itu adalah kesesatan (dhallah). Menurut Imam asy-Syafii, almuhdatsah yang menyalahi al-Kitab atau as-Sunah atau ijmak merupakan bidah dhalalah (Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtj 4/436). Jadi, bidah itu adalah perbuatan yang menyalahi ketentuan syariah. Ini hanya berlaku pada perbuatan yang syariah telah menentukan atau membatasi tatacara (kaifiyah) pelaksanaannya dan seorang Muslim dibebani untuk melaksanakannya sesuai dengan tatacara yang telah ditentukan oleh syariah itu. Jika diteliti, ternyata syariah membatasi tatacara (kayfiyyah) pelaksanaan perbuatan hanya dalam masalah ibadah kecuali jihad. Jadi bidah itu adalah melakukan ibadah dengan tatacara yang menyalahi tatacara yang telah dibatasi/ditentukan oleh syariah. Hal itu adalah haram dan merupakan kesesatan. WalLh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman]

Amalan-amalan Ahli Surga

(Al-Arbaun an-Nawawiyah, Hadis ke-29) : : : : : : : : : : : Muadz bin Jabal ra. menuturkan: Aku berkata, Ya Rasulullah, beritahu aku amal yang bisa memasukkan aku ke surga dan menjauhkan aku dari neraka. Rasul saw. bersabda, Sungguh engkau bertanya tentang perkara yang agung dan sungguh hal itu mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah: engkau menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan Dia dengan apapun; mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan dan berhaji ke Baitullah. Kemudian beliau bersabda, Maukah engkau, aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan? Puasa itu adalah perisai dan sedekah itu menghapus kesalahan seperti air memadamkan api dan shalat seseorang di tengah malam. Kemudian beliau membaca ayat (yang artinya): Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedangkan mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap; mereka pun menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan (TQS as-Sajdah [32]: 16-17). Kemudian beliau bersabda, Maukah engkau, aku beritahu kepala, pilar dan puncaknya perkara? Aku katakana, Tentu, ya Rasulullah. Beliau bersabda, Kepala perkara adalah Islam. Pilar-pilarnya adalah shalat. Puncaknya adalah jihad. Kemudian beliau bersabda, Maukah engkau, aku beritahu kunci semua perkara itu? Aku katakan, Tentu, ya Rasulullah. Beliau lalu memegang lisan beliau dan bersabda, Jagalah oleh kamu ini. Aku katakan, Ya Nabi Allah, apakah kita akan dituntut (disiksa) karena apa yang kita katakan? Beliau bersabda, Semoga kamu selamat! Adakah yang menjerumuskan manusia ke neraka di atas wajah-wajah mereka atau di atas batang hidung mereka kecuali buah ucapan lisan mereka. (HR at-Tirmidzi; ia berkata: hasan-shahih).

Hadis ini juga dikeluarkan oleh Imam Ahmad, an-Nasai dan Ibn Majah. Muadz bin Jabal bertanya tentang amal yang bisa memasukkan dirinya ke dalam surga dan menjauhkan dirinya dari neraka. Hal itu merupakan perkara agung yang berat dan susah untuk dilakukan. Namun, hal itu akan mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah (lihat: QS al-Lail [96]: 57). Pemberian kemuda-han oleh Allah itu harus didahului oleh upaya dari manusia. Itulah taufik yang ditegaskan oleh hadis ini hanya datang dari Allah. Karena itu Rasul saw. di antaranya berdoa: Berilah aku petunjuk dan mudahkanlah petunjuk itu untuk diriku (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan al-Bukhari dalam Adab al-Mufrad).

Hadis ini juga menunjukkan bahwa amal itu jadi sebab orang masuk surga. Hal itu seperti yang dinyatakan di dalam al-Quran surat az-Zukhruf [43]: 72. Amal yang memasukkan pelakunya ke dalam surga dan menjauhkan dirinya dari neraka itu adalah menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan Dia dengan apa pun (tauhid), menegakkan shalat, berpuasa Ramadhan, menunaikan zakat dan berhaji ke Baitullah. Itulah rukun Islam dan semuanya adalah amal wajib. Artinya, amal-amal wajib itu bisa menjadi sebab seorang Muslim masuk surga. Lalu Rasul saw. menunjukkan pintu-pintu kebaikan, maksudnya adalah amalan-amalan sunnah. Sebab, kebaikan setelah amal-amal wajib itu adalah amal-amal sunnah. Pintu-pintu kebaikan itu adalah puasa, sedekah dan shalat malam. Puasa akan menjadi perisai, yaitu tameng yang melindungi pelakunya dari kemaksiatan di dunia dan dari siksa neraka di akhirat. Sedekah bisa menghapus al-khathah (kesalahan), yaitu dosa-dosa kecil. Adapun dosa besar harus disertai degan tobat nashuha. Shalat malam juga menghapus al-khathah. Rasul membaca ayat di atas untuk menunjukkan keutamaan shalat malam. Rasul juga pernah bersabda:

Shalat paling utama setelah shalat wajib adalah shalat di tengah malam (HR Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibn Majah, ad-Darimi dan al-Baihaqi)

Berikutnya Rasul saw. memberitahukan kepala, pilar dan puncak perkara (agama Islam). Ras al-amri (kepala atau pokok agama) adalah Islamatau syahadatayn dalam riwayat lainnya. Ungkapan rasu (kepala) itu menunjuk-kan, Islam (syahadatayn) menjadi pokok yang membuat semua hal (amal) menjadi hidup di sisi Allah. Seperti makhuk jika dipotong kepalanya akan mati, begitu juga tanpa syahadatayn (Islam), semua amal akan mati, yaitu tiada berguna, sia-sia, di sisi Allah tidak diterima. Adapun pilar perkara (agama Islam) itu adalah shalat. Jika shalat tidak ditegakkan, agama ini runtuh, seperti bangunan tanpa pilar. Sementara itu, puncak (dzirwah as-sanm) dari agama ini adalah jihad. Ini mengindikasikan dua hal. Pertama: jihad adalah salah satu amal yang paling tinggi, tentu setelah keimanan. Kedua: jihadlah yang bisa menjulangkan Islam menjadi yang tertinggi di antara agama-agama dan ideologi di dunia. Jihad menjadi thariqah untuk menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Dengan jihad, halangan fisik yang menghalangi dakwah Islam bisa dihancurkan sehingga Islam bisa masuk dan tersebar di suatu negeri. Dengan jihad pula, perlawanan terhadap penyerang dan penjajah serta pembebasan negeri dan penduduknya dari penjajahan dan perbudakan bisa dilakukan. Karena itu Rasul saw. pernah bersabda: Amal yang paling utama adalah mengimani Allah, kemudian jihad di jalan Allah (HR alBukhari dan Muslim).

Selanjutnya Rasul saw. menunjukkan kunci dari semua perkara itu, yaitu menjaga lisan. Artinya, menjaga dan mengontrol lisan merupakan pokok semua kebaikan. Hadis ini menunjukkan, di antara yang paling banyak menjerumuskan manusia ke neraka adalah buah dari lisannya. Rasul saw. juga bersabda: :

Yang paling banyak memasukkan manusia ke neraka adalah dua rongga: mulut dan kemaluan (HR Ahmad dan at-Tirmidzi).

Buah lisan itu maksudnya adalah balasan dan sanksi bagi perkataan yang haram. Manusia itu menanam kebaikan atau keburukan dengan perkataan dan amalnya, kemudian dia akan menuai hasilnya pada Hari Kiamat kelak. Siapa saja yang menanam kebaikan berupa perkataan atau amal, ia akan memanen kemuliaan. Sebaliknya, siapa saja yang menanam keburukan berupa perkataan atau amal, ia akan menuai penyesalan. Kemaksiatan ucapan itu banyak sekali, mulai yang paling besar berupa syirik dan kafir, dosa besar dan dosa kecil, berbicara tentang Allah tanpa pengetahuan, bersaksi palsu, sihir, qadzaf, berbohong, ghibah, namimah, berkata jorok, dsb. Buah lisan juga bisa memisahkan suami-istri, membuat saudara saling benci, dan adu domba yang membuat masyarakat saling bermusuhan. Lisan pula yang bisa memutarbalikkan yang benar jadi terkesan batil dan yang batil jadi seolah benar, bisa mempercantik keburukan dan kebatilan, bahkan mengajak pada syirik dan kekafiran. Sebelum berbicara harus benar-benar dipikirkan dan direnungkan bahwa ucapan itu merupakan kebenaran dan kebaikan. Jika ucapan itu sekadar mubah saja, tidak bermanfaat, hendaknya ditinggalkan atau diminimalkan seminimal mungkin sebab jika sibuk dengannya bisa menyia-nyiakan waktu dan itu merupakan kerugian. Apalagi pembicaraan yang jelas merupakan keburukan, maksiat atau dharar dan tidak bermanfaat. Karena itu setiap Muslim harus berusaha semaksimal mungkin untuk mengatur dan mengontrol lisannya. WalLh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman]

Hadis Pilihan Jangan Bertanya Yang Tak Perlu (Al-Arbaun an-Nawawiyah, Hadis ke-30)

Abu Tsalabah al-Khusyaniyyu ra. menuturkan bahwa Nabi saw, pernah bersabda: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbagai kewajiban maka jangan kalian lalaikan; Allah telah menetapkan hudud maka jangan kalian lampaui; Allah telah mengharamkan sesuatu maka jangan kalian langgar; dan Allah diam dari sesuatu sebagai rahmat bagi kalian dan bukan karena lupa, maka jangan kalian bahas (HR ad-Daraquthni, ath-Thabarani dan Ibn Baththah)

Imam an-Nawawi mencantumkan hadis ini dalam Al-Arban an-Nawawiyah hadis ke-30. Beliau menilai hadis ini hasan. Sebelumnya, Al-Hafizh Abu Bakar ibn as-Samani dalam AlAmli telah memberikan penilaian yang sama. Dalam riwayat lainnya, Abu Darda ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda: ) ( : Apa saja yang telah Allah halalkan dalam Kitab-Nya adalah halal; apa saja yang telah Allah haramkan dalam Kitab-Nya adalah haram; apa saja yang Allah diamkan adalah dimaafkan maka terimalah yang dimaafkan dari Allah, dan sesungguhnya Allah tiadalah lupa. Lalu Nabi saw. membaca: Tidaklah Tuhanmu lupa (TQS Maryam [19]: 64) (HR. al-Bazar, ath-Thabarani, al-Baihaqi dan al-Hakim).

Al-Hakim menyatakan, Sanad hadis ini sahih. Al-Bazzar juga menyatakan hal yang sama. Salman al-Farisi ra. juga meriwayatkan, Nabi saw. pernah ditanya tentang minyak samin, keju dan keledai liar. Lalu Nabi saw. bersabda:

Halal adalah apa yang telah Allah halalkan di dalam Kitab-Nya; haram adalah apa yang telah Allah haramkan di dalam Kitab-Nya; dan apa yang didiamkan maka itu termasuk apa yang dimaafkan untuk kalian (HR Ibn Majah dan at-Tirmidzi).

Makna hadis di atas secara singkat adalah bahwa Allah telah menetapkan berbagai kewajiban. Kewajiban itu tidak boleh ditelantarkan, dilalaikan atau ditinggalkan. Allah SWT juga menetapkan hudud. Dari alur pembicaraan (siyq al-kalm), yang lebih tepat makna hudud dalam hadis di atas adalah sesuatu yang diizinkan. Hudud itu, yakni apa-apa yang Allah izinkan baik perbuatan atau benda, tidak boleh dilewati dengan melakukan atau mengambil yang haram. Allah SWT juga mengharamkan sesuatu atau perbuatan sehingga tidak boleh dilanggar dengan justru melakukan perbuatan atau mengambil sesuatu yang haram itu. Berikutnya, Allah SWT diam dari sesuatu, bukan karena Allah lupa, tetapi sebagai rahmat bagi hamba-Nya sehingga kita dilarang untuk membahasnya. Di dalam riwayat Abu Darda dan Salman al-Farisi, apa yang Allah diamkan itu merupakan al-afwu (pemaafan). Sesuatu yang didiamkan itu artinya tidak diwajibkan dan tidak dilarang. Itu menjadi al-afwu, yaitu sesuatu yang dimaafkan penggunaannya sebagai toleransi, keringanan dan kemudahan dalam beban taklif, pemaafan dalam penggunaannya. Al-Mubarakfuri dalam Tuhfah al-Ahwadz, menjelaskan riwayat Salman al-Farisi: fa huwa min m af anhu (itu termasuk yang telah Allah maafkan), yakni dari penggunaannya dan kebolehan memakannya, dan di dalamnya ada kaidah bahwa hukum asal sesuatu (benda) adalah mubah. Lalu bagaimana dengan perbuatan, tatacara dan muamalah yang tidak dinyatakan secara eksplisit oleh nas? Nas syariah kadangkala menjelaskan suatu perintah atau larangan berikut rincian, tatacara dan derivatnya sehingga itu termasuk hudud Allah. Perkara itu harus diambil dan dilaksanakan atau ditinggalkan berikut dengan rincian, tatacara dan derivatnya. Nas syariah kadang menyatakan perintah bersifat umum atau global tanpa menjelaskan rincian, derivat, tatacara atau batasan-batasannya. Mukallaf diberi hak untuk memilih sarana dan cara untuk melaksanakan perintah itu. Di situlah, as-sukt (diam)-nya nas itu menjadi dalil atas kebolehan suatu rincian, derivat, sarana atau cara itu meski tidak secara

spesifik dinyatakan, selama tidak ada nas khusus yang melarangnya. Itu merupakan keringanan, kelapangan, yakni rahmat, wa sakata an asyy`in rahmat*an+ lakum (Allah diam dari sesuatu sebagai rahmat bagi kalian). Begitu juga masalah keduniaan, yaitu masalah sains, teknologi, teknis, deskripsi fakta, dsb; termasuk perkara yang didiamkan dan tidak dinyatakan secara rinci. Semua itu tercakup dalam ketentuan umum sabda Nabi saw.: Antum alamu bi umri dunykum (Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian). Karena itu ia boleh diambil selama tidak dilarang. Adapun muamalah yang belum dinyatakan eksplisit oleh nas bukan berarti otomatis boleh. Pasalnya, syariah telah mengatur muamalah itu dengan kaidah dan hukum tentang akad dan tasharrufat, termasuk di antaranya ketentuan tentang rukun, syarat, sah, batil, fasad dan sebagainya. Semua itu cukup untuk menganalisis dan menentukan status hukum muamalah baru tersebut. Pertanyaan yang dilarang dalam hadits di atas adalah pertanyaan tentang sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dan tidak dituntut oleh perkaranya. Jawabannya kadang sudah tercakup oleh keumuman atau kemutlakan nas, seperti pertanyaan Bani Israel tentang rincian sifat sapi betina, atau pertanyaan tentang bilangan haji, dan sejenisnya; atau pertanyaan tentang sesuatu yang belum terjadi, seandainya terjadi begini dan begitu; atau pertanyaan tentag rincian hal gaib yang tidak dijelaskan nas. Pertanyaan semacam itulah yang dilarang. Jadi yang dilarang bukan pertanyaan tentang hukum sesuatu yang akan diambil atau dilakukan. Sebab, seorang Muslim tidak boleh mengambil atau melakukan sesuatu yang belum ia ketahui hukumnya (QS. al-Isra *17+: 36). Pertanyaan yang kedua ini justru disyariatkan (QS an-Nahl [16]: 43). Wallh alam bi ash-shawb wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

Zuhud: Kunci Agar Dicintai Allah SWT dan Manusia Al-Arbaun an-Nawawiyah, Hadis ke-31 : : : Sahal bin Sad ra. berkata: Seorang laki-laki pernah datang kepada Nabi saw. lalu berkata, Wahai Rasulullah, tunjukkan kepada diriku perbuatan yang jika aku lakukan Allah mencintaiku, demikian pula manusia. Rasul bersabda, Zuhudlah di dunia, niscaya Allah mencintai dirimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia, niscaya manusia pun mencintai dirimu. (HR Ibn Majah, Ibn Hiban, al-Hakim, ath-Thabarani, al-Baihaqi)

Hadis ini diriwayatkan dari jalur Khalid bin Amru al-Qurasyi, dari Sufyan ats-Tsauri dari Abu Hazim, dari Sahal bin Saad. Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak menilai hadis ini sahih. Namun, as-Sakhawi di dalam Maqshid al-Hasanah dan ash-Shanani dalam Subul as-Salm menyatakan bahwa Khalid bin Amru al-Qurasyi disepakati untuk ditinggalkan (riwayatnya) dan dia dinisbatkan pada pemalsuan. Namun, hadis ini juga diriwayatkan dengan jalur lain diantaranya oleh al-Baihaqi dari Abu Qatadah dan Muhammad bin Katsir dari Sufyan atsTsauri. Selain itu Abu Nuaim di dalam Al-Hilyah juga meriwayatkan hadis serupa dari Mujahid dari Anas meski dalam hal ini diperselisihkan apakah Mujahid mendengar hadis ini dari Anas, selain hadisnya dianggap mursal. Imam an-Nawawi meriwayatkan hadis tersebut dalam Al-Arban sebagai hadis ke-31. Ia mengatakan, Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Majah dan yang lainnya dan hadis ini hasan.

Al-Iraqi juga menilai hadis ini hasan. Hadis ini mengandung dua wasiat Rasul saw. Pertama: zuhud di dunia dan itu menjadi kunci untuk meraih kecintaan Allah. Kedua: zuhud terhadap apa yang ada pada manusia dan itu menjad kunci untuk mendapatkan kecintaan manusia. Secara bahasa menurut Ibn Duraid dalam Jumhurah al-Lughah, al-Jawhari dalam Ash-Shihh fi al-Lughah, Ibn Manzhur dalam Lisn al-Arab, Abu al-Baqa al-Kafwami dalam Kitb AlKulliyt dan Zainuddin ar-Razi dalam Mukhtr ash-Shihh, zuhud artinya lawan dari menyukai (khilf/dhiddu ar-raghbah). Menurut al-Jurjani, zuhud artinya meniggalkan kecenderungan pada sesuatu. Jika dikatakan zahada f asy-syai, menurut al-Munawi, artinya minimnya kesukaan terhadap sesuatu itu atau tidak menyukainya. Zuhud juga berarti sesuatu yang kecil yang tidak penting. Dari semua itu secara bahasa zuhud di dunia artinya tidak atau minim suka pada dunia, tidak cenderung pada dunia dan menganggap dunia sebagai sesuatu yang kecil dan tidak penting. Hasilnya adalah mengambil dunia sedikit saja dan tidak terpaut hati dengan dunia. Di situlah secara istilah Murtadha az-Zubaidi menyatakan, Guru kami menukil dari beberapa imam: yang paling shawab tentang zuhud adalah mengambil kecukupan minimal dari apa yang diyakini kehalalannya dan meninggalkan yang lebih dari itu karena Allah SWT. Mula Ali al-Qari mengartikan zuhud di dunia adalah meninggalkan keinginan terhadap dunia dan qanaah dengan apa yang diberikan, bersikap tawaduk, tidak takabur dan tidak sombong. Hasilnya adalah meninggalkan pertemanan dengan harta dan kemewahan. Imam at-Tirmidzi dan Ibn Majah menuturkan dari Abu Idris al-Khaulani (dalam riwayat Ahmad dari Abu Muslim al-Khaulani), Zuhud di dunia itu bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, zuhud di dunia itu hendaknya apa yang ada di tanganmu tidak lebih engkau percayai (jadikan sandaran) daripada apa yang ada di tangan Allah; hendaknya pahala musibah jika sedang menimpa dirimu lebih engkau sukai daripada jika musibah itu tidak ditimpakan kepada dirimu. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Yunus bin Maysarah yang mengatakan, Zuhud di dunia itu bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan dengan menyia-nyiakan harta. Akan

tetapi, zuhud itu hendaknya apa yang ada di tangan Allah lebih engkau jadikan sandaran daripada apa yang ada di tanganmu; hendaklah kondisimu sedang ditimpa musibah dan ketika tidak ditimpa musibah adalah sama saja bagi dirimu; hendaklah pujian orang yang memuji dan yang mencela dirimu di dalam kebenaran adalah sama juga saja bagi dirimu. Jadi, zuhud itu bukan berarti mengasingkan diri meninggalkan dunia; bukan pula tidak mengambil dunia sama sekali atau mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta. Zuhud juga tidak identik dengan miskin. Orang kaya maupun miskin bisa menjadi zuhud. Sebab, zuhud adalah tidak terpautnya hati dengan dunia. Dunia tidak ada di dalam hati, tetapi ada di tangan yang kapan saja bisa dikeluarkan. Bersikap zuhud di dunia artinya mengambil dunia untuk dinikmati sedikit (sekadarnya) saja. Ibarat seorang musafir, ia hanya mengambil dalam kadar yang mencukupi untuk bekal perjalanannya saja, tidak lebih. Itulah yang dipesankan oleh Rasul saw. kepada banyak sahabat. Salman ra. menuturkan: Rasulullah saw. berwasiat kepada kami agar kecukupan salah seorang kami dari dunia ini seperti bekal seseorang yang melakukan perjalanan (HR Ahmad).

Bagi orang zuhud, dunia hanyalah laksana tempat singgah dalam perjalanannya menuju akhirat. Dia tidak akan tinggal di situ dan menjadikan dunia sebagai tujuan. Dia hanya sedikit atau sekedarnya saja dari hal-hal duniawi yang diambil untuk dia nikmati. Hal-hal duniawi yang Allah berikan kepada dirinya dia jadikan alat untuk menuju akhirat. Dia menggunakan semua itu untuk mempercepat dan memperbesar peluang agar mendekat ke negeri impian, yaitu surga di akhirat kelak. Karena itu, meski zuhud itu hakikatnya ada di hati, penampakannya bisa terlihat seperti ringan berinfak bahkan tidak hitung-hitungan, tidak cinta dunia, tidak mengejar dunia, mudah melepaskan hal duniawi untuk meraih akhirat dan terutama hidupnya berputar mengikuti poros Islam dan dakwah. Allhummarzuqn zuhd[an] f ad-duny. [Yahya Abdurrahman]

Tidak Boleh Ada Dharar (Al-Arban an-Nawawiyah, Hadis ke-32) Tidak boleh ada madarat/bahaya dan tidak boleh ada yang membahayakan (HR Ibn Majah, Ahmad, ad-Daraquthni) Imam an-Nawawi mengatakan, Hadis ini hasan, diriwayatkan oleh Ibn Majah, adDaraquthni dan yang lain secara musnad. Imam Malik meriwayatkan hadis ini dalam AlMuwatha secara mursal dari Amru bin Yahya, dari bapaknya, dari Nabi saw., dan ia menggugurkan Abu Said. Hadits ini memiliki beberapa jalur periwayatan yang saling menguatkan sebagian dengan yang lain. Az-Zaylai mengatakan di dalam Nasb ar-Ryah, hadis ini diriwayatkan dari Ubadah bin ashShamit, Ibn Abbas, Abu Said al-Khudzri, Abu Hurairah, Abu Lubabah, Tsalabah bin Malik, Jabir bin Abdullah dan Aisyah ra. Abu Said al-Khudzri ra. juga menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda: Tidak boleh ada madarat (bahaya) dan tidak boleh ada yang menimpakan bahaya. Siapa saja yang menimpakan kemadaratan niscaya Allah menimpakan kemadaratan atas dirinya dan siapa saja yang menyusahkan niscaya Allah akan menyusahkan dirinya (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ad-Daraquthni). Al-Hakim berkata, Hadis ini shahih al-isnad menurut syarat Muslim dan asy-Syaikhayn tidak mengeluarkannya. Adz-Dzahabi juga mengomentari dalam At-Talkhish: menurut syarat Muslim. Para ulama berbeda pendapat tentang makna hadits ini. Sebagian mengartikan bahwa kata dharar dan dhirr bermakna sama. Penyebutan keduanya untuk takd (penekanan/penegasan). Sebagian lain menilai kedua kata tersebut berbeda maknanya. Abu Habib mengatakan, adhdharar adalah ism[un] dan adh-dhirr adalah fiil dengan makna l dharrara (tidak memadaratkan) yakni seseorang tidak boleh menimpakan dharar kepada orang yang lain yang tidak dia timpakan kepada dirinya sendiri. L dhirra bermakna seseorang tidak boleh dimadaratkan karena/oleh orang lain. Maknanya bisa juga bahwa dharar itu dihilangkan di dalam syariah dan menimpakan dharar tanpa hak juga dinafikan di dalam syariah. Al-Muhasini, Ibn Abdil Barr dan Ibn Shalah menguatkan bahwa makna dharar itu adalah menimpakan dharar pada orang lain yang di dalamnya ada manfaat bagi kamu. Adapun adh-dhirr maknanya adalah menimpakan dharar pada orang lain yang di dalamnya tidak

ada manfaat bagi kamu, seperti menghalangi sesuatu yang tidak memadaratkan kamu tetapi dengan begitu orang yang dihalangi terkena dharar. Yang lain mengatakan bahwa makna adh-dharar adalah dharar itu sendiri dan adh-dhirr bermakna timbal balik; hal itu seperti al-qatlu dan al-qitl. Itu artinya, l dharara maknanya memadaratkan orang yang tidak memadarat-kan dirimu; sedangkan l dhirra bermakna memadaratkan orang yang telah memadarat-kan dirimu. Di atas semua itu, yang jelas Nabi saw. menafikan dharar dan dhirr yang tidak dibenarkan (bi ghayr haqq). Adapun jika dharar itu karena orang berbuat kriminal lalu dijatuhi sanksi, atau menzalimi orang lain lalu dijatuhkan sanksi tindakan balas terhadap dirinya maka dharar seperti itu dibenarkan dalam syariah. Kata l dalam hadis ini adalah l nfiyah li al-jinsi (kata l yang menafikan jenis) dan diikuti oleh kata dharara dan dhirra dalam bentuk nakirah sehingga itu bermakna umum. AlMinawi di dalam Faydh al-Qadr mengatakan, Dalam hadis ini terdapat pengharaman semua jenis dharar kecuali dengan dalil, sebab nakirah dalam konteks nafi adalah bersifat umum. Asy-Syaukani di dalam Nayl al-Awthr setelah memaparkan hadis tersebut mengata-kan, Hadis ini mengandung dalil pengharaman adh-dharar apapun sifatnya, tanpa ada perbedaan apakah terhadap tetangga atau yang lain. Dengan demikian, adh-dharar dalam bentuk apapun itu tidak boleh kecuali dengan dalil yang mengkhususkan keumuman ini. Penafian dharar dan dhirr oleh syariah itu menunjukkan bahwa dharar itu adalah haram dan harus dihilangkan. Menghilangkan dharar mengharuskan penghilangan zat atau sebab dharar itu sendiri. Dari sinilah para ulama menetapkan kaidah fikih: Al-Ashlu fi al-Mudhr atTahrm (Hukum asal madarat adalah haram) atau kaidah fikih: Inna adh-Dharara yuzl (Dharar itu harus dihilangkan). Penerapan kaidah ini bisa luas sekali. Contoh: Jika seseorang punya pohon yang dahannya sampai ke rumah tetangganya dan membahayakan dia maka pemilik pohon harus meninggikan dahan itu atau memotongnya. Begitu juga bangunan atau pohon milik seseorang; tidak boleh menjulur ke jalan yang bisa membahayakan orang yang lewat. Jika ada harta bersama yang bisa dibagi, lalu salah satu mitra minta dibagi, maka permintaan pembagian itu dipenuhi meski mitra yang lain menolak sebagai bentuk menghilangkan dharar atasnya. Jika saluran pengairan melalui dua petak sawah, sementara agar air sampai ke petak kedua harus melalui petak pertama, maka pemilik petak pertama tidak boleh menutup saluran ke petak kedua dan menghalangi air sampai ke petak kedua. Jika seekor ayam menelan perhiasan (intan atau permata) berharga milik seseorang maka pemilik perhiasan itu boleh memiliki ayam tersebut dengan mengganti nilainya untuk dia sembelih dan dikeluarkan perhiasan miliknya. Individu atau swasta tidak boleh memiliki pabrik senjata berat, senjata kimia dan sejenisnya sebab di dalam pemilikan semua itu oleh swasta ada dharar. Dilarang membangun pabrik kimia atau lainnya di daerah pemukiman supaya tidak membahayakan penduduk dengan asap, gas, suara bising atau lainnya. Begitu juga peternakan ayam tidak boleh dibangun di

daerah dekat pemukiman supaya penduduk tidak terganggu dengan bau kotoran ayam itu. Berikutnya, pabrik atau siapapun dilarang membuang limbah dan bahan berbahaya yang bisa membahayakan lingkungan dan kesehatan penduduk. Produsen makanan tidak boleh menggunakan bahan-bahan yang bisa membahayakan kesehatan. Jika terbukti dan produknya sudah diedarkan maka perodusen tersebut diharuskan menarik produk tersebut dari peredaran dan memusnahkannya. Demikian seterusnya. WalLh aam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman]

Bukti dan Sumpah dalam Persengketaan (Al-Arban an-Nawawiyah Hadis ke-33) Ibn Abi Mulaikah menuturkan, Aku pernah menjadi qadhi Ibn az-Zubair untuk Thaif. Lalu ia (Ibn Abi Mulaikah) menyebutkan persengketaan yang terjadi antara dua perempuan: Lalu aku menulis surat kepada Ibn Abbas. Ibn Abbas kemudian menulis kepadaku bahwa Nabi saw. pernah bersabda: Seandainya manusia diberi sesuai dengan tuntutan mereka niscaya orang menuntut harta dan darah suatu kaum. Akan tetapi, (menghadirkan) bukti itu menjadi kewajiban penuntut dan sumpah bagi yang mengingkari (HR al-Baihaqi). Imam an-Nawawi di dalam Al-Arban menyatakan, Hadis ini hasan, diriwayatkan oleh alBaihaqi dan yang lainnya begini, dan sebagiannya ada dalam Shahihayn. Hadis ini juga diriwayatkan dengan redaksi yang sedikit berbeda dari Ibn Abi Mulaikah dari Ibn Abbas ra. bahwa Nabi saw. bersabda: Seandainya manusia diberi menurut tuntutan mereka, niscaya manusia menuntut darah dan harta orang-orang. Akan tetapi, sumpah bagi orang yang dituntut (HR Bukhari, Muslim, Ibn Majah dan Ahmad). Abdullah ibn Abi Mulaikah juga meriwayatkan dari Ibn Abbas ra.: Sesungguhnya Rasulullah saw. memutuskan bahwa sumpah itu bagi orang yang dituntut (HR at-Tirmidzi).

Imam at-Tirmidzi mengatakan, Ini adalah hadis hasan shahih. Beramal berdasarkan ini menurut ahlul ilmi dari para Sahabat Nabi saw. dan selain mereka bahwa: Bukti itu menjadi kewajiban orang yang menuntut dan sumpah bagi orang yang dituntut. Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahh Muslim menyatakan, Hadis ini merupakan kaedah besar di antara kaedah-kaedah hukum syariah. Di dalamnya dinyatakan bahwa ucapan orang atas apa yang dia tuntut tidak diterima begitu saja semata karena tuntutannya. Akan tetapi, hal itu memerlukan bukti atau pembenaran dari orang yang dituntut. Jika ia menuntut sumpah orang yang dituntut maka itu untuknya. Ibn Hajar al-Ashqalani di dalam Fath al-Br mengatakan bahwa hadis ini menunjukkan bahwa orang yang menuntut itu lemah sebab ia menyatakan sesuatu yang menyalahi lahiriah sehingga ia dibebani menghadirkan argumentasi yang kuat, yaitu bukti. Sebab, ia tidak bisa mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri dan tidak menolak madarat dari dirinya. Dengan bukti itu kelemahan orang yang menuntut itu bisa menjadi kuat. Sebaliknya, orang yang dituntut itu adalah kuat sebab hukum asal itu adalah kekosongan dalam tanggungannya sehingga ia cukup dengan menyatakan sumpah, dan sumpah itu adalah hujjah yang lemah sebab orang yang bersumpah itu mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri dan menolak madarat dari dirinya. Bukti (al-bayyinah) adalah hujjah orang yang menuntut yang dengannya ia membuktikan tuntutannya adalah benar. Itu adalah burhan untuk membuktikan tuntutan. Hal itu tidak akan menjadi bukti kecuali jika bersifat qathi. Seseorang tidak boleh bersaksi kecuali berdasarkan keyakinan dan tidak boleh berdasarkan dugaan (zhann). Rasul saw. bersabda kepada saksi: Jika engkau mengetahui seperti (terangnya) matahari maka bersaksilah dan jika tidak maka tinggalkanlah (HR al-Baihaqi dan al-Hakim). Begitu pun sumpah; harus berdasarkan keyakinan. Orang yang menuntut ketika bersumpah untuk menetapkan (membuktikan) tuntutannya dalam kondisi dia hanya memiliki seorang saksi dalam tunutan harta dan semisalnya, juga orang yang dituntut saat bersumpah ketika orang yang menuntut tidak mampu membuktikan tuntutannya, masing-masing tidak boleh bersumpah kecuali berdasarkan keyakinan yang pasti. Jika berdasarkan dugaan ( zhann) maka keduanya tidak boleh bersumpah. Abdullah bin Amru bin al-Ash menuturkan, pernah ada seorang badui datang dan bertanya kepada Nabi saw.: : : : : : Apa dosa besar itu? Nabi menjawab, Syirik kepada Allah. Dia bertanya lagi, Lalu apa? Jawab Nabi, Durhaka kepada ibu-bapak. Dia bertanya lagi, Lalu apa? Jawab Nabi lagi, Sumpah bohong. (HR al-Bukhari dan Ibn Hibban).

Para fukaha menjadikan hadis ini sebagai dalil bahwa sumpah yang masih diliputi adanya keraguan itu tidak boleh dan dinilai sebagai al-yamn al-ghums yang termasuk dosa besar. Dari sini, bukti itu harus bersifat pasti. Secara syari yang termasuk bukti adalah kesaksian (syahdah), sumpah, pengakuan (aliqrr) dan dokumen tertulis. Sebab, hanya empat macam itulah yang dinyatakan oleh dalil syariah sebagai bukti. Selain itu, berupa keterangan ahli, bekas-bekas TKP, hasil uji lab, pemberitahuan, dsb, secara syari tidak bisa menjadi bayyinah. Akan tetapi, semuanya bisa digunakan sebagai indikasi atau temuan untuk menyingkap perkara dan mengarahkan sehingga sampai terungkapnya bukti syari itu (Lihat detil tentang hukum pembuktian misalnya dalam Ahkm al-Bayyint oleh Syaikh Ahmad ad-Daur). Nabi saw. menjelaskan hikmah dari ketentuan hadis di atas, yaitu bahwa seandainya orang itu diberi sesuai tuntutan (klaim)-nya, niscaya orang akan mudah menuntut darah dan harta orang lain dan akhirnya darah dan harta siapapun akan mudah begitu saja dilanggar dan direbut. Dengan ketentuan ini, darah, kehormatan dan harta seseorang akan terlindungi kecuali dengan ketentuan yang haq. Dengan begitu setiap orang akan merasa tenteram atas darah, harta dan kehormatannya dan tidak merasa terancam. Eksistensi masyarakat pun akan bisa dijaga kelangsungannya. WalLh aam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman]

Mengubah Kemungkaran Hadis al-Arban an-Nawawiyah ke-34 Siapa saja yang menyaksikan kemunkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya dan yang demikian itu selemah-lemahnya iman. (HR. Muslim dan Ahmad) Hadis ini berbicara tentang hukum mengubah kemungkaran oleh individu secara individual. Hadis ini menyatakan, setiap individu muslim ketika menyaksikan kemungkaran dilakukan atau terjadi di hadapannya, ia wajib mengubahnya dengan salah satu dari ketiga cara yang disebutkan di dalam hadis tersebut sesuai dengan kemampuan dan keharusannya. Itu berlaku untuk orang yang menyaksikannya. Adapun orang yang tidak menyaksikan, meski ia mengetahui kemungkaran itu terjadi misalnya dari berita, diberitahu orang lain, dsb, maka sesuai dengan mafhum syarat, orang itu tidak tercakup dalam seruan hadis ini. Individu muslim siapa saja yang menyaksikan kemungkaran seperti orang meminum khamr, mencuri, akan membunuh orang atau berzina; jika individu itu minimal menduga kuat

dirinya mampu menghilangkan kemungkaran dengan tangannya, ia wajib segera merubah dan menghilangkan kemungkaran itu dengan tangannya. Sehingga ia menghalangi orang itu dari minum khamr, mencuri, membunuh atau berzina. Ia menghalangi semua itu dan menghilangkannya dengan tangannya, sebab dia mampu merubahnya dengan tangan. Hal itu sebagai implementasi dari sabda Rasul saw diatas. Penggunaan tangan yakni kekuatan fisik untuk merubah kemungkaran itu sesuai dengan kemampuan riil, meski itu hanya berdasarkan dugaan kuat (ghalabah azh-zhan). Jika kemampuan itu tidak ada maka tidak digunakan tangan. Sebab penggunaan tangan (kekuatan) pada kondisi itu tidak bisa merealisasi tujuan penggunaan tangan itu, yaitu taghyr dan izlah al-munkar. Fakta (manath) penggunaan tangan yang dinyatakan di dalam hadis di atas bergantung pada kemampuan riil untuk merubah kemungkaran itu. Dalilnya adalah hadis itu menjadikan perpindahan dari merubah kemungkaran dengan tangan ke merubah dengan lisan ketika tidak ada kemampuan untuk merubah dengan tangan. Mengubah kemungkaran dengan lisan tidak bisa dianggap mengubah kemungkaran itu sendiri secara langsung, melainkan mengubah pelaku kemungkaran, yaitu mengingkari dan melarang kemungkaran yang dia lakukan dan menasehatinya supaya berhenti. Jika ia menerima dan berhenti maka kemungkaran itu pun hilang. Jika tidak mampu mengingkari dengan lisannya maka ia wajib membenci kemungkaran itu dengan hatinya dan tidak rela terhadapnya, dan disertai sikap meninggalkan tempat itu, tidak terus duduk dalam majelis itu dan tidak terus menyertai pelaku kemungkaran itu selama ia tetap melakukan kemungkaran itu. Dengan mendalami hadis tersebut dan nas-nas lain dalam masalah ini, nampak bahwa zhahir hadis di atas tidak berlaku secara mutlak. Implementasi dan pemilihan cara taghyr al-munkar dalam hadis itu dilakukan dengan mempertimbangkan ghalabah azh-zhan (dugaan kuat) akan keharusan penggunaannya. Para ulama menjelaskan hukum, ramburambu dan kaedah-kaedah dalam hal itu secara rinci. Terdapat hadis-hadis yang menunjukkan, pemilihan dan penggunaan salah satu cara taghyr al-munkar itu tergantung kepada fakta kemunkaran, kondisi yang melingkupi dan ghalabah azh-zhann orang yang akan mengubahnya akan keharusan, kemampuan dan efektifitasnya. Imam Muslim mengeluarkan hadis dari Anas bin Malik bahwa pernah seorang arab badui kencing di dalam masjid. Saat para sahabat hendak menghalanginya dengan tangan dan lisan, Rasul bersabda jangan hentikan dan biarkan dia, atau dalam riwayat Bukhari dari Abu Hurairah biarkan saja dan siramlah dengan seember air! Nabi saw dan para sahabat jelas mampu menghalanginya dengan tangan dan lisan, namun bukan cara itu yang dipilih. Setelah selesai, baru Rasul menjelaskan kesalahan orang itu dan memahamkan yang benar. Hal itu karena beliau mengetahui, orang itu melakukannya karena ketidaktahuan. Saat ini ditengah kaum muslim banyak orang semisal orang Badui itu. Imam Muslim juga mengeluarkan hadis dari Anas bin Malik bahwa Rasul saw pernah mencabut dan mencampakkan cincin emas dari tangan seorang sahabat. Beliau tidak lebih dahulu menegur atau memberitahu orang itu. Sebaliknya Beliau langsung merubah dengan tangan.

Imam Muslim, Abu Dawud dan Abu Yala mengeluarkan hadis dari Anas bahwa ketika Rasul melihat menara sebuah rumah yang menjulang, Rasul menampakkan kegeraman dan kemarahan. Ketika pemiliknya mengetahui kegeraman dan kemarahan Rasul atas menaranya itu, ia pun meratakannya dengan tanah. Rasul tidak mengubahnya dengan tangan atau menegur pemiliknya, padahal Beliau jelas mampu melakukannya. Tetapi Beliau hanya mengisyaratkan kegeraman dan kemarahan, dan hal itu sudah cukup untuk mengubahnya. Kemunkaran oleh individu saat ini ada dua jenis. Pertama, kemunkaran yang juga dilarang oleh sistem yang ada, misal mencuri, merampas, merampok, membunuh, memperkosa, dsb. Jika muslim yang menyaksikannya ghalabah azh-zhan mampu mengubahnya dengan tangan, ia harus melakukannya. Kedua, kemunkaran yang dibolehkan oleh sistem, misal adanya bank ribawi, lokalisasi pelacuran, adanya bar, night club dan diskotek, wanita keluar tanpa menutup aurat dan tidak berjilbab, dsb. Meski berasal dari individu atau kelomok, hakikatnya itu adalah kemunkaran yang berasal dari sistem, sebab dilakukan karena hukum, UU, sistem dan penguasa membolehkannya. Taghyr kemungkaran jenis kedua ini secara tuntas tidak bisa direalisir dengan misalnya menghancurkan gedung bank, lokalisasi, bar dan diskotek, atau menghalangi wanita tersebet itu keluar rumah. Tetapi taghyr-nya secara tuntas hanya dengan mengubah sistem yang ada dan menggantinya dengan syariah dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Wallh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman]

Jangan Saling Menzalimi (Al-Arbaun an-Nawawiyah, Hadis ke-35) Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: . . . Janganlah kalian saling dengki, jangan saling menipu, jangan saling menjauhi, dan jangan sebagian kalian membeli di atas pembelian yang lain. Jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak boleh menzaliminya, enggan membelanya, membohonginya dan menghinanya. Takwa itu di siniRasul menunjuk dada beliau tiga kali. Keburukan paling keterlaluan seseorang adalah ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap Muslim atas Muslim lainnya itu haram darahnya, hartanya dan kehormatannya (HR Muslim dan Ahmad) Di dalam hadis ini Rasulullah saw. melarang kita dari beberapa perkara. Pertama: l tahsad, jangan saling hasad. Hasad adalah merasa iri/dengki atas kenikmatan/kelebihan orang lain disertai harapan agar semua itu hilang dari orang lain itu, baik disertai harapan agar berpindah kepada dirinya atau tidak. Hasad hukumnya haram, baik dalam hal duniawi

atau hal agama. Apalagi jika hasad itu disertai tindakan, perbuatan atau ucapan, langsung atau tidak langsung, agar kenikmatan/kelebihan itu hilang dari pemiliknya. Adapun berharap agar kenikmatan/kelebihan itu juga dimiliki tanpa berharap agar hal itu hilang dari yang punya, hal seperti itu tidak disebut hasad melainkan ghibthah (cemburu), dan tidak tercela. Hanya saja, jika ghibthah itu dalam hal duniawi maka hendaknya tidak menjadi kebiasaan. Dalam hal duniawi, Nabi saw. menyuruh agar melihat ke yang lebih bawah. Adapun dalam hal agama, Nabi saw. bersabda: Tidak boleh ada hasad kecuali dalam dua hal: lak-laki yang Allah beri harta lalu ia habiskan di dalam kebenaran dan laki-laki yang Allah beri hikmah lalu ia gunakan untuk memutuskan dan ia ajarkan (HR al-Bukhari, Muslim, Ibn Majah, Ahmad) Hasad yang dimaksudkan di sini adalah ghibthah, disebut hasad secara istiarah sebab secara bahasa sama dengan hasad. Kedua: l tanjasy, larangan an-najasy secara umum. Secara bahasa an-najasy artinya memprovokasi sesuatu dengan makar (tipudaya), trik dan tipuan. Jadi makna larangan itu: jangan memperlakukan atau bermuamalah dengan orang lain dengan tipuan, trik atau tipudaya. Ini juga mencakup an-najasy dalam jual beli, yaitu menawar lebih tinggi bukan dengan maksud untuk membeli, melainkan hanya untuk memprovokasi pembeli agar membeli dengan harga yang tinggi. Ketiga, l tabghadh (jangan saling membenci). Maknanya, jangan mempraktikkan apa saja yang bisa menyebabkan saling membenci dan jangan melakukan sesuatu yang bisa mendatangkan sikap saling benci. Keempat: l tadbar, larangan saling memunggungi. Diambil dari sikap tidak suka menemui saudaranya; membelakangi dan memalingkan wajah. Jadi ini adalah larangan untuk memutuskan hubungan dan mendiamkan sesama Muslim. Di dalam Ash-Shahihayn, dari Abu Ayyub ra., disebutkan bahwa Nabi saw. melarang mendiamkan sesama Muslim lebih dari tiga hari. Menurut Ibn Rajab al-Hanbali dalam Jmi al-Ulm wa al-Hikam, semua (tidak halal) itu dalam hal saling memutuskan/mendiamkan karena perkara duniawi. Adapun karena perkara agama, maka boleh lebih dari tiga hari. Hal itu dinyatakan oleh Imam Ahmad. Dalilnya adalah kisah tiga orang yang tertinggal jihad dan Rasul memerintahkan untuk mendiamkan mereka satu bulan. Al-Khathabi (Malim as-Sunan, IV/114) menyebutkan bahwa hajru orangtua terhadap anaknya, suami terhadap istrinya, dan apa yang dalam makna itu sebagai tadib (pendidikan) maka boleh lebih dari tiga hari karena Nabi saw. pernah mendiamkan istri beliau satu bulan. Kelima: larangan membeli di atas pembelian orang lain. Yang harus diperhatikan, keharaman itu jika sudah ada bay (jual-beli), yakni sudah ada keputusan atau kesepakatan atas harga. Misal, terjadi kesepakatan harga sesuatu itu seribu, lalu orang ketiga berkata kepada pembeli, Kembalikan barang itu atau batalkan. Kamu aku kasih harga sembilan ratus. Atau orang ketiga berkata ke penjual, Batalkan atau minta kembali barang itu. Aku beli dari kamu dengan harga seribu seratus. Adapun jika belum terjadi jual-beli, belum

terjadi kesepakatan harga, maka tidak haram. Meski hal itu sebaiknya tetap dijauhi sebab bisa menyebabkan kebencian. Di sisi lain, Nabi saw. memerintahkan agar menjadi hamba-hamba yang bersaudara. Nabi saw. menegaskan bahwa seorang Muslim adalah saudara Muslim lainnya. Karena itu, seorang Muslim terhadap Muslim lainnya tidak boleh menzalimi, enggan membela, membohongi dan menghina. Nabi saw. juga mengisyaratkan bahwa semua itu merupakan bagian dari sikap takwa dan takwa itu bersumber dari apa yang ada di dada, yakni berpangkal dari hati, maksudnya berpangkal dari keimanan. Lalu Nabi saw. mengingatkan, yang termasuk keburukan yang sudah keterlaluan adalah menghina atau merendahkan seorang Muslim. Sebab, sikap seperti itu merupakan bentuk al-kibru (kesombongan). Nabi saw. pun menegaskan bahwa darah, harta dan kehormatan seorang Muslim itu haram dilanggar, kecuali yang dibenarkan oleh syariah. Jadi haram ditumpahkan darahnya tanpa dibenarkan, dicederai secara fisik atau diintimidasi. Hartanya haram diambil tanpa hak, dikelola atau dibelanjakan tanpa izinnya, diambil paksa, diserang, dirusak, dilanggar, dsb. Kehormatannya juga haram dicederai tanpa hak. Ghibah termasuk mencederai kehormatan seseorang. Kehormatan seorang Muslim itu juga mencakup kehormatan istrinya, putrinya, ibunya, anaknya, keluarganya dan siapa saja yang menjadi tanggung jawabnya. WalLh aam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman]

Agar Ditolong Allah SWT (Al-Arbaun an-Nawawiyah, Hadis ke-36) Siapa saja yang menghilangkan satu kesusahan seorang Mukmin di antara kesusahankesusahan dunia niscaya Allah akan menghilangkan dari dirinya satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan pada Hari Kiamat. Siapa saja yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya Allah memudahkan bagi dirinya di dunia dan akhirat. Siapa saja yang menutupi aib seorang Muslim niscaya Allah menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah SWT menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya. Siapa saja yang menempuh jalan mencari ilmu niscaya Allah mudahkan untuknya jalan ke surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu Baitullah, mereka membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka niscaya ketenteraman turun atas mereka, mereka diliputi oleh rahmat dan dikelilingi oleh para malaikat serta Allah menyebutkan mereka kepada

para malaikat yang ada di sisi-Nya. Siapa saja yang lambat amalnya maka nasabnya tidak bisa mempercepatnya (HR Muslim, Ibn Majah, at-Tirmidzi dan Ahmad). Imam an-Nawawi menjelaskan, ini adalah hadis yang agung, yang menghimpun berbaga jenis ilmu, kaidah dan adab. Di dalamnya ada keutamaan menghilangkan kesusahan kaum Muslim dan memberi mereka manfaat yang memudahkan baik berupa ilmu, harta, bantuan atau menunjukkan suatu kemaslahatan atau nasihat atau lainnya. Yassara ala musirin dari sisi harta bisa dilakukan dengan: memberi tangguh dan ini hukumnya wajib jika orang yang berutang itu musir, yaitu kesulitan hingga dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok; atau dengan menggugurkan utangnya, sebagian atau keseluruhan, dan ini sunnah; atau dengan memberi dirinya harta yang bisa menghilangkan kesusahannya. Rasul saw. bersabda: Siapa saja yang memberi tangguh orang yang kesusahan atau menggugurkan (utangnya), Allah akan menaungi dirinya pada hari saat tidak ada naungan kecuali naungan-Nya (HR Muslim). Man satara muslim[an] (Siapa saja yang menutupi aib seorang Muslim). Imam anNawawi menjelaskan, yaitu menutupi kesalahan/kekhilafan, yakni terhadap orang yang tidak dikenal dengan kerusakan. Ini dalam hal menutupi kemaksiatan yang telah terjadi dan telah berlalu. Adapun jika diketahui kemaksiatanya dan ia sedang melakukannya maka wajib segera mengingkari dan melarangnya. Jika tidak mampu, pelakunya harus diadukan ke waliyul amri jika hal itu tidak mendatangkan mafsadat. Dalam hal ini, kemaksiatannya tidak ditutupi sebab jika ditutupi maka itu memberi dirinya energi melakukan kerusakan, pelanggaran dan keharaman dan lainnya. Bahkan pelakunya wajib diadukan kepada Imam jika tidak khawatir akan mendatangkan mafsadat yang lebih besar. Begitu pula yang harus dilakukan dalam jarh (menyatakan cacat kepribadian) perawi, saksi, orang yang diamanahi memegang uang zakat, wakaf, harta anak yatim dan semisalnya. Mereka wajib disebutkan cacatnya sesuai kebutuhan dan tidak boleh ditutupi jika dipandang dari mereka ada sesuatu yang bisa mencederai kelayakan mereka. Ini bukan termasuk ghibah yang haram, bahkan merupakan nasihat yang wajib. Allah SWT menjelaskan bahwa Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba-Nya menolong saudaranya. Jika kita ingin ditolong Allah hendaknya kita menolong saudara Muslim. Ini sekaligus mengisyaratkan bahwa siapa saja yang ingin menolong saudaranya, hendaknya ia tidak takut mengatakan kebenaran atau melakukan pertolongan itu dengan benar, sebab ia yakin Allah akan menolong dirinya. Sabda Nabi saw., man salaka tharqan yaltamisu bihi al-ilma (Siapa saja yang menempuh jalan mencari ilmu). Menempuh jalan di sini mencakup yang hakiki yaitu melakukan perjalanan dengan jalan kaki atau dengan kendaraan; juga mencakup menempuh jalan maknawi yang mengantarkan pada perolehan ilmu seperti menghapal, mempelajari, mengkaji, mengulang, mendiskusikannya, menulis atau memahami ilmu dan semisalnya yang bisa mengantarkan pada perolehan ilmu.

Sahhalallah tharqan il al-jannah (Allah memudahkan jalannya ke surga). Maksudnya, Allah memudahkan untuk dirinya ilmu yang dia cari dan Allah mudahkan dia menempuh jalan ilmu itu. Bisa juga, Allah memberi kemudahan kepada orang yang mencari ilmu jika ia lakukan untuk mendapat keridhaan Allah, yakni Allah mudahkan dia untuk memanfaatkan ilmunya dan beramal sesuai ilmu itu, sehingga menjadi sebab ia tertunjuki. Bisa juga untuk orang yang mencari ilmu itu, Allah mudahkan ilmu-ilmu lainnya dan pemanfaatannya. Hal itu sebagaimana dikatakan di Faydh al-Qadr, Man amila bim yalam awratsahuLlh ilman m lam yalam (Siapa yang beramal dengan apa yang dia ketahui, Allah akan mewariskan kepada dia ilmu yang belum dia ketahui). Hadis ini juga menunjukkan, adalah sunnah sekelompok orang berkumpul di masjid, membaca dan mengkaji al-Quran di antara mereka. Hal itu sebab terhadap mereka akan diturunkan as-saknah (ketenteraman), diliputi oleh rahmat dari segala sisi seperti air yang meliputi badan seseorang ketika dia mandi, dikeliliingi para malaikat dan Allah menyebutkan kepada para malaikat yang ada di sisi-Nya. Adapun sabda Rasul, man bathaa bihi amaluhu lam yusri bihi nasabuhu (siapa yang amalnya lambat tidak akan dipercepat oleh nasabnya), maksudnya siapa saja yang amalnya kurang maka nasabnya tidak akan berguna untuk meninggikan derajatnya. Jadi orang harus berlomba dalam amal dan tidak boleh bersandar pada nasab atau orangtua. WalLh aam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman]

Balasan Kebaikan dan Keburukan (Al-Arbaun an-Nawawiyah, Hadis ke-37) Sesungguhnya Allah mencatat kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan. Lalu Allah menjelaskannya. Siapa saja yang yang bermaksud mengerjakan kebaikan dan tidak dia kerjakan, Allah mencatat di sisi-Nya untuk orang itu satu kebaikan yang sempurna. Jika dia bermaksud mengerjakan kebaikan dan dia kerjakan, Allah mencatat di sisi-Nya untuk orang itu sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kebaikan hingga kelipatan yang sangat banyak. Sebaliknya siapa saja yang bermaksud mengerjakan keburukan dan tidak dia kerjakan, Allah mencatatkan di sisi-Nya untuk orang itu satu kebaikan yang sempurna. Jika dia bermaksud mengerjakan keburukan dan dia kerjakan Allah mencatatkan untuk dia satu keburukan (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad). Sabda Rasul saw.: InnalLh kataba al-hasanti wa as-sayyit. Kata al-hasant dan assayyit menggunakan alil lam marifat sehingga bermakna umum mencakup semua

kebaikan dan semua keburukan. Ini menegaskan, semua kebaikan dan keburukan akan dicatat, tidak ada yang luput sedikitpun. Sabda Rasul, faman hamma bi hasanat*in+yang dimaksud hamma itu adalah maksud kuat untuk melakukan, tekad dan komitmen, bukan sekadar keinginan atau pikiran yang berkelebatan di dalam benak. Hal itu dijelaskan dalam sabda beliau saw.: Siapa yang ingin melakukan kebaikan dan tidak ia lakukan maka Allah mengetahui bahwa ia telah membisikkan hatinya dan berkomitmen atasnya maka dituliskan untuknya satu kebaikan (HR Ahmad) Dalam hadis ini Rasul menjelaskan bagaimana bagaimana Allah SWT memperlakukan kebaikan dan keburukan yang dilakukan oleh hamba. Ada empat kondisi terkait hal itu. Pertama: orang yang bermaksud melakukan kebaikan tetapi tidak dia kerjakan. Untuk dia dituliskan satu kebaikan yang sempurna. Kata kmilah (sempurna) itu merupakan penegasan atas perhatian Allah atas dirinya sehingga dicatat sebagai satu kebaikan penuh tidak kurang sedikitpun. Kedua: orang yang bertekad melakukan kebaikan lalu betul-betul ia lakukan, bagi dia dituliskan kebaikan 10 kali lipat sampai 700 kali lipat, dan untuk orang yang dikehendaki Allah akan dilipatgandakan lebih dari itu. Balasan 10 kebaikan untuk setiap kebaikan yang dilakukan merupakan keniscayaan (Lihat: QS al-Anam *6+: 160). Kebaikan itu juga bisa mendapat ganjaran lebih dari 10 kali lipat hingga 700 kali lipat (QS alBaqarah [2]: 261). Bahkan untuk orang yang dikehendaki, Allah akan melipatgandakan ganjaran kebaikan lebih dari 700 kali lipat, seperti yang dinyatakan dalam hadis di atas, sampai kelipatan yang hanya Allah sendiri yang mengetahuinya (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 245, az-Zumar [39]: 10 dan an-Nisa *4+: 40). Pelipatgandaan ganjaran kebaikan lebih dari 10 kali lipat hingga tak terhitung itu bergantung pada sempurnanya keikhlasan ketika melakukannya, tingkat kebaikan keislaman orang yang melakukannya seperti yang dinyatakan dalam riwayat Abu Hurairah, kesempurnaan pelaksanaannya, sejauh mana keutamaan kebaikan itu dalam hati pelakunya, seberapa besar pengorbanannya dan sejauh mana keperluan terhadap kebaikan itu. Ketiga: orang yang bertekad melakukan keburukan tetapi tidak ia lakukan, bagi dia dituliskan satu kebaikan yang sempurna. Syaratnya, ia tidak jadi melakukan keburukan itu karena Allah SWT. Rasul bersabda: : Allah berfirman, Jika hamba-Ku ingin melakukan keburukan, maka jangan kalian catat hingga ia melakukannya. Jika ia melakukannya maka catatlah satu semisalnya. Jika ia meninggalkannya karena-Ku maka catatlah untuk dia satu kebaikan (HR al-Bukhari).

Adapun jika orang itu tidak jadi melakukan keburukan karena takut kepada orang, atau karena riya maka ia akan tetap dikenai sanksi. Sebab, ia mengedepankan takut kepada makhluk daripada takut kepada Allah. Itu adalah haram. Begitu juga riya adalah haram. Jika ia tidak melakukannya karena terlewat, tidak sempat, malas atau kesempatannya berlalu, sementara ia tidak pernah mengubah keinginan atau azamnya, ia tetap dihukum. Begitu pula jika orang tidak melakukan keburukan itu tetapi ia membicarakan keinginannya itu, ia akan dihukum. Rasul bersabda saw.: Sesungguhnya Allah mengabaikan (tidak menghukum) umatku karena apa yang diniatkan di dalam hatinya selama ia tidak membicarakannya atau melakukannya (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ahmad). Keempat: perbuatan buruk dicatat sebagai satu keburukan. Rasul hanya menyebut whidah, tidak menyebutkan kmilah, isyarat bahwa keburukan itu tidak dilipatgandakan (QS alAnam *6+: 160). Bahkan keburukan itu mungkin terhapus oleh kebaikan yang dikakukan, mungkin juga diampuni oleh Allah sehingga dengan itu dia tidak dihukum karenanya. WalLh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman]

Taqarrub: Kunci Menjadi Wali Allah SWT Allah SWT berfirman, Siapa yang memusuhi wali-Ku, sungguh Aku umumkan perang terhadap dia. Tidaklah hamba-Ku ber-taqarrub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada apa yang telah Aku wajibkan. Hamba-Ku senantiasa ber-taqarrub kepada-Ku dengan melakukan amalan nafilah sehingga Aku mencintai dia. Jika Aku mencintai dia, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan mendengar; menjadi penglihatannya yang ia gunakan melihat; menjadi tangannya yang ia gunakan menggenggam; dan menjadi kakinya yang ia gunakan melangkah. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku beri. Jika ia meminta perlindungan-Ku niscaya Aku lindungi (HR al-Bukhari). Man da l waliyyan, maknanya adalah man ittakhadzahu aduwan (siapa yang menjadikan waliku musuh). Menurut Ibn Hajar al-Ashqalani, memusuhi wali Allah di sini tak lain karena kewaliannya. Allah SWT menjelaskan siapa wali Allah itu dalam firman-Nya:

* Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran pada diri mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa (QS Yunus [12]: 62-63). Jadi, wali Allah itu diketahui dari keimanan dan ketakwaannya. Betapapun sakti seseorang, jika tak beriman, berlaku syirik, tidak takwa, suka bermaksiat maka dia bukan wali Allah, dan bisa jadi adalah wali setan. Sebaliknya, jika orang beriman, takwa, salih, taat syariah, mendakwahkannya dan memperjuangkannya, boleh jadi ia adalah wali Allah meski tidak sakti. Hadis ini memberitahu, derajat wali Allah bisa diraih melalui taqarrub dengan menunaikan apa-apa yang Allah fardhukan, dan menambahnya dengan selalu melakukan amalan-amalan nafilah. Faqad dzantuhu bi al-harb (sungguh Aku mengumumkan perang terhadap dia). Ini adalah ancaman luar biasa, sebab siapa yang Allah perangi niscaya Allah binasakan. Ini menunjukkan bahwa perbuatan memusuhi wali Allah merupakan dosa besar. Hanya ada tiga perbuatan yang dinilai sebagai pernyataan perang terhadap Allah. Pertama: tetap mengambil riba (QS al-Baqarah [2]: 278-279). Kedua: melakukan hirabah (QS al-Maidah [5]: 33). Ketiga: memusuhi wali Allah yang dijelaskan di dalam hadis ini, termasuk juga menyakiti dan merendahkan wali-Nya. Wa m taqarraba ilyya abdi bi syai`in ahabba ilayya min m iftaradhtu alayh. Ini menunjukkan, amalan fardhu merupakan amal yang paling disukai oleh Allah dan paling mendekatkan kepada-Nya. Amalan fardhu itu mencakup fardhu ayn maupun fardhu kifayah. Wa m yazalu abdi yataqarrabu ilayya bi an-nawfil hatt uhibbahu. Al-Fakihani mengatakan, maknanya bahwa jika orang menunaikan berbagai fardhu dan secara ajeg menunaikan berbagai nafilah maka hal itu akan mengantarkan dia pada kecintaan Allah. Ibn Hubairah mengatakan, Dari sini dapat dipahami bahwa nafilah tidak dikedepankan atas fardhu. Sebab, nafilah disebut nafilah karena datang sebagai tambahan atas fardhu. Selama fardu tidak ditunaikan maka tidak terealisasi nafilah. Siapa yang menunaikan fardhu lalu menambahnya dengan nafilah dan mengajegkannya maka terealisasilah keinginan taqarrub. Nafilah posisinya sebagai pelengkap dan penyempurna amalan fardhu. Rasul saw. bersabda: : : : : Sungguh, yang pertama dihisab dari amal manusia pada hari Kiamat adalah shalat. Rabb kita berfirman kepada Malaikat dan Dia Mahatahu, Lihatlah shalat hamba-Ku, dia sempurnakan atau kurang. Jika sempurna maka dituliskan baginya sempurna. Jika kurang darinya sesuatu, Allah berfirman, Lihatlah apakah hamba-Ku punya (shalat) tathawwu

(nafilah). Jika dia punya tathawwu maka sempurnakanlah untuk hamba -Ku faridhahnya dengan tathawwu-nya, kemudian amal-amal dihisab demikian. (HR Ahmad, Abu Dawud). Ibn Hajar mengatakan bahwa dari sini jelaslah bahwa taqarrub dengan nafilah itu terjadi dari orang yang menunaikan yang fardhu, bukan dari orang yang melalaikan yang fardhu. Karena itu para ulama mengatakan, Siapa saja yang disibukkan oleh fardhu dari nafilah maka ia dimaafkan dan sebaliknya siapa yang disibukkan nafilah dari fardhu maka ia tertipu. Fa idz ahbabtuhu kuntu samahu al-ladz yasmau bihi wa basharahu Al-Khathabi mengatakan, ini adalah permisalan. Maknanya adalah taufik dan kemudahan dari Allah kepada hamba-Nya dalam amal-amal yang dia lakukan dengan anggota-anggota tubuh itu, juga dalam meraih mahabbah dengan menjaga tubuhnya dan melindunginya dari terjerumus di dalam apa yang tidak Allah sukai, mendengarkan apa yang melalaikan, melihat apa yang Allah larang, memegang apa yang tidak halal baginya dan berjalan pada kebatilan. Al-Khathabi juga mengatakan, bisa juga ini adalah ungkapan tentang cepatnya Allah mengijabah doa dan keberhasilan dalam permintaan/pencarian. Ath-Thufi mengatakan, para ulama yang ucapannya bisa diteladani bersepakat bahwa ini merupakan majaz (kiasan) dari pertolongan, bantuan dan dukungan terhadap hamba sehingga seolah-olah Allah menurunkan diri-Nya dalam posisi anggota tubuh yang digunakan hamba itu. WalLh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman]

Khilaf dan Lupa yang Dimaafkan dan yang Tidak (Al-Arbaun an-Nawawiyah, Hadis ke-39) Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku kekhilafan, kealfaan dan apapun yang dipaksakan atas mereka (HR Ibn Majah, Ibn Hibban, al-Hakim dan al-Baihaqi). Hadis ini diriwayatkan dari jalur Ibn Abbas oleh Ibn Majah dalam Sunan Ibn Mjah, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, Al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubr dan Ibn Hibban dalam Shahh Ibn Hibbn yang dikomentari oleh Syuaib al-Arnauth: sanadnya sahih menurut syarat alBukhari. Ibn Majah juga meriwayatkan hadis ini dari jalur Abu Dzar al-Ghifari. Al-Hakim berkomentar: hadis ini sahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim meski keduanya tidak mengeluarkannya. Al-Hafizh adz-Dzahabi dalam At-Talkhsh berkomentar: menurut syarat al-Bukhari dan Muslim. Imam an-Nawawi dalam Al-Arbaun juga berkomentar: hadis ini hasan diriwayatkan oleh Ibn Majah, al-Baihaqi dan yang lain. Hadis ini menyatakan bahwa Allah SWT memaafkanyakni tidak menghukum kemaksiatanhamba karena khilaf (al-khatha), lupa (an-nisyn) dan apapun yang dipaksakan. Tentang al-khatha, Allah SWT juga berfirman:

Tidaklah kamu berdosa atas kekhilafahan apa pun yang kalian perbuat, tetapi (yang berdosa itu) apa saja yang disengaja oleh hati kalian (QS al-Ahzab [33]: 5). Namun di sisi lain, Allah SWT juga mengisyaratkan bahwa kemaksiatan karena khilafah (khatha) dan lupa (nisyan) tetap dijatuhi hukuman. Allah SWT berfirman: (Mereka berdoa), Ya Tuhan kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau kami khilaf. (QS al-Baqarah [2]: 286). Ini adalah doa agar Allah SWT tidak menghukum karena lupa atau khilaf. Ini artinya, lupa atau khilaf itu berakibat dosa dan kita memohon agar tidak dijatuhi sanksi karena lupa atau khilaf itu. Jadi hadis dan QS al-Ahzab ayat 5 di atas menyatakan tidak ada dosa atas kemaksiatan karena lupa atau khilaf. Adapun QS al-Baqarah ayat 286 di atas mengisyaratkan adanya sanksi atas kemaksiatan karena lupa atau khilaf. Lalu mana an-nisyn atau al-khatha yang dimaafkan dan mana yang dipertanggung-jawabkan? Syaikh Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah memberi penjelasan di dalam Taysr f Ushl at-Tafsr ketika menafsirkan QS al-Baqarah ayat 286 tersebut: An-Nisyn (lupa) itu asalnya adalah meninggalkan perbuatan tanpa kesengajaan. Jadi yang dimaksudkan di sini adalah menyalahi hukum syariah tanpa sengaja, baik melakukan keharaman atau meninggalkan kewajiban. Ini ada dua bentuk. Pertama: yang tidak ada hubungannya dengan perbuatan ikhtiyari (pilihan). Misalnya, orang yang makan atau minum pada siang hari bulan Ramadhan karena lupa, atau orang yang karena sakit atau usia tua sehingga melupakan sebagian hapalan al-Qurannya. Perbuatan ini dan semisalnya dimaafkan oleh Allah dan tidak berdosa. Kedua: yang ada hubungannya dengan perbuatan ikhtiyari. Misalnya, orang yang menyibukkan diri dengan suatu perbuatan hingga melupakan shalat dan tidak memperhatikan waktunya; lalu ia baru ingat ketika waktunya sudah lewat. Contoh lain, orang yang tidak menaruh perhatian pada al-Quran lalu melupakan sebagian hapalannya, bukan karena sakit atau usia tua; atau orang yang menyibukkan diri dengan berbagai urusannya hingga melupakan janji-janjinya alias tidak mengingatnya; dan semisalnya. Perbuatan-perbuatan itu dan semisalnya berakibat dosa dan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Perbuatan karena khilaf (al-khatha) juga ada dua jenis. Pertama: yang tidak ada hubungannya dengan perbuatan ikhtiyari menyengaja kesalahan itu. Misal: orang yang sudah berusaha serius menentukan matahari sudah tenggelam, sementara dia tidak punya jam, lalu dia berbuka, dan ternyata matahari belum terbenam; atau orang yang tak tahu arah, lalu dia berusaha sungguh-sungguh menentukan arah kiblat, kemudian dia shalat dan ternyata dia tidak menghadap ke arah kiblat; atau orang yang tidak bisa membaca al-Fatihah dengan benar karena kelemahan akalnya atau masalah lisannya sehingga ia melafalkannya secara salah; atau orang yang pada umumnya tidak mengetahui hukum syariah, lalu dia

melakukan perbuatan tidak sesuai syariah karena ketidaktahuannya seperti orang baduwi pada masa Rasul saw. yang mendoakan orang yang bersin, sementara dia sedang shalat, karena dia tidak tahu bahwa itu tidak boleh dan membatalkan shalat, ia tidak tahu karena lokasinya di kampung dan tidak ada yang mengajarinya; dan semisalnya. Perbuatanperbuatan itu dan semisalnya termasuk yang dimaafkan oleh Allah. Kedua: orang yang sengaja melakukan perbuatan keliru meninggalkan yang shawab, yakni melakukan perbuatan menyalahi syariah. Misal: orang yang sengaja berbuka pada siang Ramadhan dan dia tahu; atau orang yang tidak mempelajari hukum syariah yang menjadi tuntutan perbuatan atau kehidupan sehari-harinya, sementara dia mampu mempelajarinya lalu dia melakukan kemaksiatan akibat ketidaktahuan yang disengajanya itu; atau perbuatan semisalnya. Perbuatan-perbuatan itu dan semisalnya tetap berakibat dosa dan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Adapun tentang perbuatan yang dipaksakan, Allah SWT berfirman: Siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan (dia tidak berdosa) (QS an-Nahl [16]: 106). Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang dipaksa kafir, sementara hatinya tetap tenteram dalam keimanan, ia dimaafkan dan tidak berdosa. Jika demikian, perbuatan maksiat yang lebih rendah dari kekufuran, jika dipaksakan, tentu saja tidak berdosa dan dimaafkan. Misal: diancam bunuh jika tidak melakukannya; dipaksa dengan kekuatan; dipaksa secara fisik seperti wanita yang diperkosa, dan dia tidak kuasa menolak atau menghindarinya, maka dia tidak berdosa dan namanya tetap bersih. WalLh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman]

Dunia Hanyalah Persinggahan (Al-Arbaun an-Nawawiyah, Hadis ke-40) - - Dari Abdullah bin Umar ra., ia berkata, Rasulullah saw memegang kedua bahuku dan bersabda, Jadilah kamu di dunia seolah-olah orang asing atau orang yang lewat. Ibn Umar berkata, Jika engkau ada pada waktu sore maka jangan menunggu pagi hari. Jika engkau ada pada waktu pagi maka jangan menuunggu sore hari. Manfaatkanlah sehatmu sebelum

sakitmu dan manfaatkanlah hidupmu untuk bekal matimu (HR al-Bukhari, Ibn Hibban dan alBaihaqi). Dalam riwayat lainnya, Ibn Umar ra., berkata: Rasulullah saw. memegang kedua bahuku dan bersabda: Jadilah kamu di dunia seolah-olah orang asing atau orang lewat dan hitunglah dirimu termasuk penghuni kubur (HR Ahmad, at-Tirmidzi, Ibn Majah, ath-Thabarani dan al-Baihaqi). Dalam hadis ini, Rasulullah saw. memberikan pelajaran agung. Beliau mencontohkan bagaimana menyampaikan nasihat sehingga tertanam dan diingat oleh orang yang diajar atau diberi nasihat. Sebelum menyampaikan nasihat, Rasul saw. memegang bahu Ibn Umar ra. yang akan diberi nasihat. Hal itu menarik perhatian dan antusiasme Ibn Umar atau orang yang diberi nasihat dan membuat kondisi orang itu siap menerima nasihat. Cara itu juga menunjukkan kedekatan dan memberi pesan bahwa nasihat yang akan diberikan adalah penting serta didasari oleh niat baik dan ketulusan. Dengan cara itu nasihat yang disampaikan akan bisa membekas, tertanam kuat dan mempengaruhi perilaku. Nasihat yang disampaikan oleh Rasul saw. merupakan pelajaran yang agung bagaimana menyikapi dunia. Siapa saja yang mengambil nasihat itu tidak akan tertipu dan terpedaya oleh dunia. Rasul saw. berpesan agar seorang Mukmin menganggap dirinya di dunia ini seperti orang asing atau orang yang lewat saja. Orang asing itu tidak memiliki tempat tinggal. Negeri tempat ia berada bukanlah kampung halamannya. Negeri itu hanya tempat ia menyelesaikan keperluannya untuk kemudian kembali ke kampung halamannya. Begitu pula orang yang lewat. Dia akan terus berjalan meski kadang singgah sebentar untuk sekadar berteduh atau mencari bekal, lalu melanjutkan perjalanan menuju tempat tujuannya. Jadi dunia ini bagi seorang Mukmin adalah tempat asing atau persinggahan saja. Tempat tujuan atau kampung halaman bagi seorang Mukmin adalah akhirat yakni surga. Rasul saw. menegaskan: Tidak ada untukku dan untuk dunia ini, sesungguhnya permisalan aku dan dunia itu hanyalah seperti orang yang berkendaraan menempuh perjalanan, lalu ia bernaung di bawah pohon pada hari yang panas, lalu ia beristirahat sejenak, kemudian meninggalkan pohon itu (HR Ahmad, al-Hakim, Abu Yala dan Ibn Abi Syaibah). Ibn Hajar al-Ashqalani menyatakan dalam Fath al-Br: Dalam hal itu ada isyarat untuk mengutamakan zuhud di dunia dan mengambil dunia secukupnya saja. Layaknya seorang musafir, ia tidak memerlukan lebih dari apa yang dia butuhkan sampai ke tujuan perjalanannya. Demikianlah seorang Mukmin di dunia ini; ia tidak memerlukan lebih dari apa yang mengantarkan dirinya sampai ke tujuan (akhirat).

Yang lain berkata, hadis ini merupakan pokok dalam mendorong untuk bersikap lapang dari dunia, zuhud di dunia, menganggap rendah dunia dan qanaah di dunia dengan sekadar atau secukupnya saja. An-Nawawi berkata, makna hadis terebut: janganlah cenderung pada dunia; jangan menjadikan dunia sebagai kampung halaman; jangan bisiki dirimu untuk tetap di dunia; jangan terkait hatimu dengan dunia, sebagaimana seorang asing tidak terkait hatinya dengan sesuatu selain yang ada di kampung halamannya. Yang lain berkata, bir as-sabl adalah orang yang lewat di jalan menuju kampung halamannya. Seseorang di dunia itu seperti seorang hamba yang diutus tuannya dalam satu keperluan ke negeri lain. Ia akan segera melakukan apa yang mesti ia lakukan di situ, lalu segera kembali ke kampung halamannya dan tidak terkait dengan apa pun di situ. Yang lain berkata, yang dimaksud adalah agar seorang Mukmin mendudukkan dirinya di dunia sebagai orang asing sehingga tidak terkait dengan apa pun di negeri asing. Hatinya hanya terkait dengan kampung halaman tempat ia kembali. Ia menjadikan keberadaan dirinya di dunia sekadar untuk menyelesaikan keperluannya dan menyiapkan kepulangannya ke kampung halamannya. Begitulah orang asing. Pemisalan lain, ia hendaknya seperti musafir. Ia tidak diam di tempat itu, tetapi terus berjalan ke negeri tempat tinggalnya. Adapun ucapan Ibn Umar ra. adalah pesan bahwa sakit, miskin dan kematian akan menghalangi orang dari beramal. Sakit, miskin dan kematian itu bisa datang kapan saja. Karena itu, hendaknya setiap orang tidak menunda-nunda untuk beramal ketika ia sehat, tidak miskin, dan masih hidup. Ibn al-Mubarak dalam Az-Zuhd dan Ibn Abi ad-Dunya dalam Mushannaf-nya menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, Sesungguhnya dun ia itu berjalan pergi. Sesungguhnya akhirat itu berjalan mendekat. Masing-masing memiliki anak-anak. Karena itu, jadilah kalian anak-anak akhirat, dan jangan menjadi anak-anak dunia. Sesungguhnya hari ini adalah hari amal dan tidak ada hisab, sementara esok adalah hari penghisaban dan tidak ada lagi amal. Sungguh, dunia ini bukanlah tempat mengumpulkan kekayaan, mencari kemegahan, mengejar prestise dan menikmati segala bentuk kesenangan. Dunia ini hanya tempat mencari bekal menuju akhirat. Dunia hanyalah tempat bercocok tanam, yang hasilnya dipanen di akhirat. Karena itu, hendaknya setiap kita hanya menanami dunia dengan amalamal shalih agar kita menuai hasil keridhaan Allah dan surga di akhirat. WalLh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman]

Das könnte Ihnen auch gefallen