Sie sind auf Seite 1von 30

AL QURAN DAN KESETARAAN GENDER * Ahmad Zain An Najah, MA

MUQODDIMAH Perhatian dunia terhadap nasib perempuan dalam tingkat internasional dan dalam format yang sangat jelas, di mulai pada tahun 1975 M, karena pada waktu itu Majlis Umum PBB menetapkannya sebagai ( Tahun Perempuan International ) Dan pada tahun tersebut diadakan konferensi dunia pertama tentang perempuan, tepatnya di Mexico.[1] Kemudian pada tahun 1979, Majlis Umum PBB mengadakan konferensi dengan tema Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Woment , yang di singkat CEDAW ( Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan ) . Secara aklamasi , para peserta konferensi menandatangani kesepakatan yang terdiri dari 30 pasal dalam 6 bagian yang bertujuan untuk menghapus semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan tersebut. Dan yang lebih menarik lagi, kesepakatan ini diperlakukan secara paksa kepada seluruh negara yang dianggap sepakat terhadapnya, baik secara eksplisit maupun implisit. Barang kali sebagian orang menyambut gembira kesepakatan tersebut , karena menjanjikan kemerdekaan , kebebasan dan masa depan perempuan. Namun , tidak semua orang berpikir seperti, paling tidak bagi seorang DR. Fuad Abdul Karim , justru menganggapnya sebagai konferensi yang paling berbahaya yang ada kaitannya dengan perempuan. Beliau menemukan tiga indikasi yang mengarah kesana, yaitu : Pertama : munculnya anggapan bahwa agama merupakan pemicu berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Kedua : mengaitkan hak- hak perempuan pada seluruh segi kehidupan , yang meliputi : ilmu pengetahuan , politik, ekonomi , sosial, budaya dan lainlainya, tentunya dengan pola pikir Barat , yaitu mengusung hak- hak perempuan yang yang berlandaskan dua hal : kebebasan penuh dan persamaan secara mutlak.

Ketiga : Konferensi tersebut, merupakan satu satunya kesepakatan yang mengikat kepada seluruh negara yang ikut menandatanginya , dan harus melasanakan segala isinya, tanpa boleh mengritik pasal- pasal yang ada di dalamnya. Berhubung sebagian perempuan muslimat belum mau mengikuti pola pikiran barat tersebut, maka PBB telah menetapkan bahwa tahun 2000 M , merupakan batas terakhir untuk seluruh negara agar ikut menandatangani kesepakatan tersebut, sekaligus tahun itu di gunakan PBB untuk menetapkan langkah- langkah strategis agar wanita muslimah dengan segera mengikuti dan mempraktekan kesepakatan tesebut. [2] Salah satu langkah strategis yang di tempuh adalah sosialisasi istilah Gender . Istilah ini dilontarkan pertama kalinya pada konferensi Beijing. Pada waktu itu banyak negara dan utusan yang menolak istilah tersebut , karena tidak ada kejelasan. Ternyata dikemudian hari ditemukan bah wa Gender , secara umum digunakan untuk mengindentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial- budaya. Sementara itu, sex secara umum digunakan untuk mengindentifikasi perbedaan laki- laki dan perempun dari segi anatomi biologi. [3] DR. Ishom Basyir, mentri penerangan dan wakaf Sudan, menganggap bahwa sosialisasi istilah jender merupakan langkah- langkah yang bertujuan untuk menghapus jati diri umat Islam dengan melalui jalur perundangundangan. Menurut beliau, bahwa konsekwensi logis dari defenisi jender di atas, adalah seorang perempuan berubah menjadi laki- laki, dan seorang perempuan bisa menjadi seorang suami dan menikah dengan perempuan lain. [4] Dari kenyataan tersebut , maka tidak aneh kalau DR. Fuad Abdul Karim memandang bahwa sosialisasi istilah jender ini bertujuan untuk melegitimasi praktek homosex, yaitu hubungan sex yang dilakukan antara sesama laki- laki ( gay ) ataupun sesama perempuan ( lesbian ) [5] Masalah gender ini kemudian mendapat perhatian masyarakat Dunia Islam , diantaranya Qotar, Yaman, Mesir, Tunis dan termasuk di dalamnya masyarakat Indonesia juga. Maka pada tahun 1984 , di tetapkan Undangundang tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Dan pada tahun 1999 di tetapkan UndangUndang tentang HAM yang isinya sangat menekankan upaya perlindungan

dan penguatan terhadap perempuan menuju kepada terwujudnya kondisi kesetaraan dan keadilan gender dalam seluruh aspek kehidupan warga : sosial, ekonomi, dan politik. Dan pada tahun 2000, presiden mengeluarkan INPRES no. 9 tentang Gender Mainstreaming ( Pengarus utamaan Gender ) yang menekankan perlunya pengintegrasian gender dalam seluruh tahap pembangunan nasional : mulai perencanaan sampai tahab evaluasi.[6] Kemudian fenomena ini, dikuti dengan munculnya kajian- kajian ilmiyah tentang gender, walupun masih relatif sedikit , diantaranya yang paling menyolok adalah Argumen Kesataraan gender Perspektif Al Quran , karya DR. Nasarudin Umar, MA . Namun sangat disayangkan, usaha- usaha untuk mengangkat derajat perempuan tersebut tidak dibarengi dengan kepekaan terhadap konspirasi international untuk menggulung umat Islam lewat isu gender dan minimnya bekal keilmuan agama. Sehingga, kadang terlalu semangatnya, bukan saja mereka mengkritisi masalah- masalah yang seharusnya memang wajar di kritik, tapi bahkan mereka berani mengkritisi hal- hal yang sudah baku dalam agama Islam, seperti masalah poligami , warisan, pemegang tanggung jawab dalam keluarga , hak tholak, hijab, dan lain-lainnya. . Dalam makalah ini, penulis berusaha untuk mendiskusikan kembali isuisu tersebut , dan berusaha untuk menjawab syubhat- syubhat yang sering dilontarkan dengan menukil beberapa pernyataan ulama seputar isu- isu tersebut. Karena terbatasnya waktu dan tempat, penulis hanya membahas beberapa ayat gender , yang sering dijadikan menjadi bahan justifikasi oleh para pengusung isu gender. Diantaranya yang ada di dalam surat al Nisa.

SURAT Al NISA DAN KESETARAAN GENDER Al Quran secara umum dan dalam banyak ayatnya telah membicarakan relasi gender, hubungan antara laki- laki dan perempuan, hak- hak mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan bersifat adil. Al Quran yang diturunkan sebagai petunjuk manusia, tentunya pembicaraannya tidaklah terlalu jauh dengan keadaan dan kondisi lingkungan dan masyrakat pada waktu itu. Seperti apa yang disebutkan di dalam Q.s. Al- Nisa, yang memandang perempuan

sebagai makhluk yang mulia dan harus di hormati, yang pada satu waktu masyarakat Arab sangat tidak menghiraukan nasib mereka. Sebelum diturunkan surat Al- Nisa ini, telah turun dua surat yang sama sama membicarakan wanita, yaitu surat Al Mumtahanah dan surat Al- Ahzab . Namun pembahasannya belum final, hingga diturunkan surat al-Nisa ini. Oleh karenanya, surat ini disebut dengan surat Al Nisa al Kubro , sedang surat lain yang membicarakan perempuan juga , seperti surat al Tholak, disebut surat alNisa al Sughro. [7] Surat Al Nisa ini benar- benar memperhatikan kaum lemah, yang di wakili oleh anak- anak yatim, orang-orang yang lemah akalnya, dan kaum perempuan. Maka , pada ayat pertama surat al-Nisa kita dapatkan , bahwa Allah telah menyamakan kedudukan laki- laki dan perempuan sebagai hamba dan makhluk Allah, yang masing- masing jika beramal sholeh , pasti akan di beri pahala sesuai dengan amalnya. Kedua-duanya tercipta dari jiwa yang satu ( nafsun wahidah ) , yang mengisyaratkan bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya. Semuanya di bawah pengawasan Allah serta mempunyai kewajiban untuk bertaqwa kepada-Nya ( ittaqu robbakum ) . Kesetaraan yang telah di akui oleh Al Quran tersebut, bukan berarti harus sama antara laki- laki dan perempuan dalam segala hal.Untuk menjaga kesimbangan alam ( sunnatu tadafu ) , harus ada sesuatu yang berbeda, yang masing-masing mempunyai fungsi dan tugas tersendiri. Tanpa itu , dunia, bahkan alam ini akan berhenti dan hancur. Oleh karenanya, sebgai hikmah dari Allah untuk menciptakan dua pasang manusia yang berbeda, bukan hanya pada bentuk dan postur tubuh serta jenis kelaminnya saja, akan tetapi juga pada emosional dan komposisi kimia dalam tubuh. Hal ini akibat membawa efek kepada perbedaan dalam tugas ,kewajiban dan hak. Dan hal ini sangatlah wajar dan sangat logis. Ini bukan sesuatu yang di dramatisir sehingga merendahkan wanita, sebagaimana anggapan kalangan feminis dan ilmuan Marxis. Tetapi merupakan bentuk sebuah keseimbangan hidup dan kehidupan, sebagiamana anggota tubuh manusia yang berbeda- beda tapi menuju kepada persatuan dan saling melengkapi.Oleh karenanya, suatu yang sangat kurang bijak, kalau ada beberapa kelompok yang ingin memperjuangkan kesetaraan antara dua jenis manusia ini dalam semua bidang.

Al Quran telah meletakkan batas yang jelas dan tegas di dalam masalah ini, salah satunya adalah ayat- ayat yang terdapatdi dalam surat al Nisa. Terutama yang menyinggung konsep pernikahan poligami, hak waris dan dalam menentukan tanggungjawab di dalam masyarakat dan keluarga.

* Makalah ini dipresentasikan dalam diskusi rutin yang di selenggarakan oleh FORDIAN ( Forum Study Al Quran ) di wisma Nusantara , Kairo , 20 Agustus 2003 [1] . Kemudian di ikuti konferensi berikutnya di Kopenhagen, pada tahun 1980 M dan Konferensi di Nairobi, Kenya, tahun 1985 M , dan yang terakhir konferensi yang di adakan di Beijing , Cina pada tahun 1997 M. ( lihat DR. Fuad bin Abdul Karim Ali Abdul Karim, al Marah al Muslimah baina mudlotu tagyir wa mujatui taghrir , Majalah Al Bayan, edisi 189 , juli 2003 ) [2] Dr. Fuad, op cit. [3] Dr. Nasaruddin Umar, MA , Argumen Kesetaraan Jender, Pespektif Al Quran , Jakarta : Paramidana, 1999, Cet. I hlm 35. [4] Majalah al Wayu al Islamy, edisi : [5] Majalah al Bayan, edisi 189, Juli 2003 M. [6] DR. Siti Musdah Mulia, MA, Gerakan Feminisme diIndonesia, makalah tersebut disampaikan pada Lokakarya dan Silaturohmi Kader NU Luar Negri yang diselenggakan oleh PCINU Mesir, ( 30 Juni s/d 1 Juli 2003 , di Kairo. ) [7] Syekh Muhammad al Madani , al Mujtama al Islamy kama tunadhimuhu surat an Nisa ( Kairo : Kementrian Wakaf, Majlis Ala li syuuni Islamiyah , 1991 ) cet.. I , hlm. 13-14.

MELURUSKAN PEMAHAMAN TENTANG HUKUM POLIGAMI ( 1 ) Ahmad Zain An Najah , MA

Orang orang Barat yang fanatik, menyerang Islam dengan terangterangan dan menjadikan isu poligami sebagai bentuk penghinaan dan diskriminasi terhadap perempuan. Padahal dalam masalah poligami , Islam tidaklah sendirian, agama Yahudi sendiri justru membolehkan poligami, bahkan tanpa batas. Para Nabi yang disebutkan di dalam Taurat semuanya, tanpa terkecuali mempunyai isti lebih dari satu, bahkan disebutkan di dalam Taurat bahwa nabi Sulaiman mempunyai 700 istri merdeka dan 300 budak. Bahkan , bangsa- bangsa terdahulu telah mempraktekan konsepsi poligami, seperti bangsa Atsin, Cina, India, Babilion dan Atsur dan Mesir. Pada bangsa- bangsa tersebut poligami tidaklah di batasi sampai empat seperti yang ada dalam ajaran Islam. Dalam perundang- undangan Bangsa Cina dahulu, seorang laki- laki di perbolehkan berpoligami sampai 130 perempuan. Bahkan beberapa penguasa Cina memiliki 30.000 istri. [1] Bahkan dalam agama Kristen sendiri, walaupun di dalam Injil tidak di sebutkan secara tegas konsepsi poligami ini , namun dalam surat Paulus I di dapati pernyataan bahwa bagi seorang petingi agama diharuskan mempunyai istri satu saja. Dan ini mengisyaratkan bahwa selain petinggi agama dibolehkan untuk beristri lebih dari satu. Ini terbukti dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh Wester Mark pakar yang dipercaya dalam bidang sejarah pernikahan yang isinya : Bahwa poligami yang diakui Gereja masih ada hingga abad 17 M. Dan inipun tejadi pada keadaan- keadaan yang tidak bisa di dideteksi oleh Gereja dan Negara [2] Di dalam Islam , konsepsi poligami telah diatur di dalam Q.s. Al Nisa , ayat 3. Allah berfirman : Jika kamu takut untuk tidak bisa berbuat adil terhadap perempuan perempuan yatim ( jika mengawininya ) , maka nikahilah perempaunperempuan lainnya yang kamu sukai : dua , tiga, empat . Jika kamu takut tidak bisa berbuat adil maka kawinilah satu saja

Sebab turunnya ayat di atas : Di sana ada beberapa sebab diturunkannya ayat di atas, diantaranya, yang paling kuat adalah apa yang diriwayatkan oleh Urwah bin Zubair ketika beliau bertanya kepada Aisyah ra, tentang ayat tersebut : ( wain khiftum ala tuqsitu filyatama ) , Aisyah berkata : Wahai anak saudaraku , ini diturunkan kepada anak perempuan yatim, yang hidup di rumah walinya, dia ikut makan harta walinya tersebut, dan kebetulan walinya juga mengincar harta anak yatim tadi dan terpesona dengan kecantikannya, wali tersebut hendak menikahinya tapi tidak mau berbuat adil di dalam memberikan maharnya , dia ingin memberikan mahar sama dengan mahar perempuan- perempuan lainnya, maka Allah melarang untuk menikahinya kecuali kalau bisa berbuat adil di dalam memberikan mahar yang sederajat dengannya, dan memerintahkan untuk menikahi perempuan selainnya. Berkata Urwah , berkata Aisyah: Sesungguhnya para sahabat bertanya kepada Rosulullah saw setelah ayat ini, sehingga Allah menurunkan ayat ( wa yastaftunaka fi nisai ) Berkata Aisyah : Adapun firman Allah ( watarghobuna an tankihuhunna ) artinya jika salah satu dari kamu tidak mau menikahi anak yatim asuhannya, karena sedikit hartanya dan tidak cantik. Berkata Aisyah : Maka mereka dilarang menikahi anak yatim jika hanya mengejar kecantikan dan hartanya , kecuali kalau berbuat adil . Hal itu dikarenakan mereka tidak mau menikahinya jika mereka jelek dan sedikti hartanya [3] Dalam menanggapi ayat di atas ada beberapa perbedaan pandangan : Syekh Muhammad Thohir Asyur di dalam tafsirnya menguatkan apa yang dikatakan Aisyah ra. [4]. Sebelumnya, Ibnu Katsir, walaupun tidak terus terang, beliau cenderung juga untuk membenarkan riwayat Aisyah ini, dengan bukti bahwa hanya riwayat ini saja yang diungkapkan dalam tafsirnya dan menganggapnya riwayat yang paling shohih, padahal di sana ada riwayat- riwayat lain. [5] Sayangnya sebagian orang menafsirkan ayat tersebut dengan penafsiran yang salah. Dengan mengikuti metode tafsir maudlui yang bersifat holistis , yaitu yang bersifat menyeluruh, menurut anggapan mereka, maka mereka membuat komparasi tiga ayat yang terkaitan dengan poligami. Yang pertama, adalah Qs. Al-Nisa : 3, ayat ini semacam memberi kesempatan untuk poligami. Kedua, adalah ayat yang memberi peringatan atau warning agar belaku adil: fain khiftum all tadil fawhidah (kalau engkau sangsi tidak dapat berlaku

adil, satu saja). Ketiga, Q.S. Al Nisa : 129 : walan tashtat an tadil bainan nis walau harashtum. ( kamu sekalian (wahai kaum laki-laki!) tidak akan bisa berbuat adil antara isteri-isterimu, sekalipun engkau berusaha keras). kesimpulannya adalah satu ayat membolehkan poligami, sementara dua ayat justru (seakan-akan) menafikan terwujudnya syarat pokok berpoligami, yaitu masalah keadilan. Kalau menggunakan proporsi seperti tadi, akan dihasilkan perbandingan dua ayat banding satu. Maka yang menang adalah yang dua ayat, sehingga poligami di larang dalam Islam. Bahkan untuk memperkuat argumen tersebut, mereka menambahkan bahwa ayat yang membolehkan poligami konteksnya adalah perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang. Gaya penafsiran seperti itu, walaupun ada perbedaan sedikit telah dilakukan oleh Qosim Amin dalam bukunya Tahrir al Marah [6], kemudian diikuti oleh DR. Nasaruddin Umar, MA, Pembantu Rektor IV IAIN Syarif Hidayatulah Jakarta [7], Faqihuddin Abdul Kodir, MA, dosen STAIN Cirebon dan alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah[8], Dra. Maria Ulfah Anshori, Ketua Umum Fatayat NU [9], Khofifah Indar Parawangsa, mantan Ketua PP. Muslimat NU [10], M. Hilaly Basya peneliti YISC Al Azhar Jakarta , yang juga dosen Fisip di Universitas Muhammadiyah dalam tulisannya : Dari Konsumerisme hingga Ekstasi Seksual, [11] Bahkan juga oleh SyafiI Maarif , Ketua Umum Muhammadiyah, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin bisa di sebut di sini semuanya. Gaya penafsiran seperti itu, menurut Syekh Muhammad Muhammad Madani , didalam ilmumantiq disebut Safsathoh , yaitu seperti orang yang menunjuk kepada gambar kuda, kemudian dia mengatakan : Ini kuda dan setiap kuda pasti bisa meringkik, maka ini bisa meringkik [12] Lebih ironisnya lagi, cara menafsirkan ayat dengan sistem voting tersebut telah dijadikan pijakan di dalam pelarangan poligami di Tunis, yaitu tersebut di dalam pasal yang ke delapan belas , dan yang melanggarnya akan kena hukuman satu tahun penjara dan membayar denda sebesar 240 ribu frank [13] . Ayat tersebut, menurut Pemerintahan Tunis, merupakan bukti bahwa keadilan di dalam poligami tidak akan pernah terwujud selama-lamanya.[14] Para ulama menyebutkan bahwa kata Adil pada ayat yang pertama ( Q.s al- Nisa : 3 ) artinya adalah keadilan di dalam nafkah dan tempat tinggal serta giliran tidur , dan juga hal lain- lainnya yang masih di dalam kemampuan

manusia. Sedang adil pada Q.s. al- Nisa : 129 : walan tastathiu an tadilu baina an nisai walau harastum ( Kamu tidak akan bisa berbuat adil, walaupun engkau berusaha keras ) adalah adil di dalam memberikan cinta alami yang ada dalam hati, dan ini memang di luar kemampuan manusia [15] . Maka dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa tabiat manusia itu sendiri sesuai dengan sifat yang diciptakannya tidak akan bisa mengendalikan kecintaannya kepada sebagian orang saja.[16] Penafsiran semacam ini di dukung dengan dengan hadits Rosulullah saw , ketika beliau berdoa kepada Allah mengadu tentang perbuatannya selama ini di dalam berpoligami : Ya Allah inilah pembagian saya ( kepada istri- istriku ) yang bisa saya perbuat, maka janganlah Engkau cela aku pada hal- hal yang Engkau mampu sedang saya tidak mampu ( yaitu kecintaan di dalam hati ) [17]. Ini juga di kuatkan dengan bunyi ayat berikutnya : fala tamilu kulla mail fatadzaruha kal mualaqoh ( Maka , hendaknya janganlah engkau terlalu cintai , sehingga yang lainnya menjadi terkatung- katung ) Ayat ini menerangkan dengan sangat jelas bahwa dalam masalah hati, Nabi Muhammad pun tidak bisa berlaku adil, karena bagaimanapun derajatnya seseorang , dia pasti ada kecenderungan untuk lebih mencintai kepada orang yang cocok dan sesuai dengannya . Masing- masing dari diri kita , tidak akan mungkin bisa mengingkari hal seperti itu, sebagaimana telah kita rasakan bersama dengan oran orang yang kita cintai. Dan inilah fitrah manusia, dan Allah tidak akan meletakkan konsepsi yang bertentangan dengan fitroh yang telah Ia letakkan pada diri manusia. Karena tidak ada kemampuan untuk memaksa hatinya dan membagi rata rasa cinta tersebut , maka Allah mewanti- wanti rosul-Nya agar tidak terlalu cenderung sekali kepada yang di cintainya dengan sikap yang membabi buta dan sangat menyolok , sehingga mengakibat istri- istri lainnya terkatungkatung. [18] Kalau seandainya benar- benar Allah telah mengharamkan poligami dengan menggabungkan dua ayat di atas, kenapa Rosululah saw membiarkan para sahabat berpoligami dan tidak di larang sama sekali, padahal kedua ayat tersebut telah turun, kemudian diikuti oleh mayoritas kaum muslimin sepanjang sejarah, hingga datang metode penafsiran matematika yang unik tersebut , Ini sama saja menuduh kaum muslimin selama ini telah melakukan bentuk

kemungkaran yang di haramkan oleh Allah, yaitu poligami. [19] Masalah ini, nampaknya tidak pernah tersentuh oleh mereka yang mengharamkan poligami. Keterangan di atas , paling tidak , bisa menjawab apa yang dilontarkan oleh DR. Nasaruddin Umar[20] dalam Desertasinya yang mengatakan bahwa ayat Q.s. Al- Nisa/ 4: 129 ini dapat di artikan menolak poligami. Dan dari keterangan tersebut , beliau menyimpulkan bahwa metode penafsiran maudlui lebih ketat dan lebih tegas terhadap poligami dari pada metode tahlili [21]. Beliau juga mengatakan bahwa metode maudlui secara umum akan menghasilkan penafsiran yang lebih moderat terhadap ayat- ayat gender daripada metode tahlili, karena- menurutnya- metode ini ( mudlui) tidak banyak mengintrodusir budaya Timur Tengah yang cenderung memposisikan laki- laki lebih dominan daripada perempuan.[22] Penulis, sangat kurang sependapat dengan apa yang beliau ungkapkan, karena terdapat kejanggalan dan kontradiksi di dalamnya. Keterangannya ada dalam beberapa point di bawah ini : Pertama : Metode tahlili yang dipakai jumhur ulama sebenarnya , tidak sekedar menjadikan teks sebagai fokus perhatian saja, tanpa melihat apa dan bagaimana kasus itu terjadi. Kita temukan dalam buku- buku tafsir yang menggunkan metode tahlili, para mufasiirun menyebutkan juga asbanu nuzul, yang berarti memperhatikan apa dan bagaimana kasus tersebut hingga terjadi. Hampir rata- rata buku- buku tafsir yang besar ( muthowalat ) selalu menyebutkan asbabun nuzul, seperti tafsir at Thobari, tafsir al Qurtubi, tafsir IbnuKatsir dan lain-lainnya. Yang tidak menyebutkan asban nuzul hanyalah tafsir tafsir yang ringkas, seperti , atau tafsir- tafsir yang cenderung membahas bahasa. Bahkan Ibnu Katsir , walaupun menggunakan metode tafsir tahlili, tapi dalam kenyataannya beliau juga menggunakan metode maudlui, walau tidak secara tuntas. Para ulama sering menyebut tafsirnya sebagai tafsir al Quran bil Quran, artinya beliau tidak terpaku pada teks yang ada, tetapi juga meihat teks teks lain yang terkait dengannya. Metode ini ( pendekatan tekstual dan kontekstual ) juga di pakai oleh Imam Qurtubi , walaupun lebih cenderung kepada masalah-masalah hukum. Mufassir kontemporer yang menggunakan metode tahlili, tapi tidak terfokus pada teks itu saja, adalah tafsir Adwaul Bayan , karya Muhammad Amien Syenkiti. Dan banyak contoh- contoh lainnya. Hal ini diakui sendiri DR. Quraisy Syihab , beliau menyakinkan kita, sebagaimana yang di ungkap oleh DR. Siti Musdah Mulia , bahwa pada prinsipnya hampir

seluruh mufassir menggunakan pendekatan tekstual dan konstektual dalam menarik makna dan pesan- pesan al Quran, atau upaya mereka mengistimbathkan dari teks- teks keagamaan, yang berbeda hanyalah intensitas penggunaan kedua pendekataan tersebut.[23] Kedua : Gaya penafsiran yang dicontohkan oleh DR. Nasaruddin Umar dalam membahas ayat poligami, yang menurutnya adalah metode Maudlui, atau metode penafsiran secara holistis, yakni penafsiran al Quran secara menyeluruh , pada hakekatnya belum memenuhi syarat dan banyak cacatnya. Karena beliau menggabungkan dua ayat yang berbeda artinya, sehingga menghasilkan kesimpulan yang salah. Itu , akibat dari pembahasanya yang tidak menyeluruh , karena tidak menyertakan hadits yang bisa menafsirkan ayat tersebt, sebagaimana yang di sebut di atas. Lagi pula beliau juga tidak menggabungkan dengan ayat lain seperti dalam Qs. Al Nisa : 82 ( Apakah mereka tidak mau tadabbur ( merenungi ) al-Quran , seandainya al-Quran tersebut bukan dari sisi Allah, tentunya mereka akan mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya ) . Beliau tidak memperhatikan , bahwa menyimpulkan dua ayat poligami tersebut dengan metode yang beliau pakai, sebetulnya secara tidak langung menganggap ayat ayat di dalam al-Quran saling bertentangan. Karena dalam satu ayat, Allah membolehkan poligami dengan syarat adil, sedangkan dalam ayat lain Allah menafikan adanya keadilan. Selain itu juga, beliau tidak memperhatikan dampak dampak sosial, moral dan psikologi manusia. Sehingga, kesimpulan yang di dapat kurang tepat dan cenderung kontradiksi. Intinya, metode penafsiran yang beliau anggapnya bersifat holistis ataupun mencakup secara keseluruhan , justru kenyataannya malah parsial, sedang penafsiran para ulama dahulu yang di tuduh parsial dan hanya terfokus pada ayat tertentu, ternyata kenyataannya justru malah holistis dan menyeluruh. Adapun firman Allah yang berbunyi : wain khiftum ala tuqsithu fil yatama , syarat tersebut tidak mempunyai mafhum, sebagaiamana yang dikatakan Imam Qutubi. Artinya , rasa kawatir untuk tidak berbuat adil terhadap anak- anak yatim , bukanlah syarat seseorang untuk melakukan poligami . Dan ini, menurut Imam Qurtubi sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin. [24] Yang di katakan oleh Imam Qurtubi tersebut , sesuai dengan ayat lain yang terdapat dalam ( Q.s al- Nisa , ayat : 101 ) : ( Apabila kamu bepergan di atas bumi ini, maka tidaklah mengapa, kamu meng-qhosor sholatmu , jika kamu kawatir akan diserang orang- orang kafir )

Syarat dalam ayat di atas, tidaklah mempunyai mafhum, artinya kekawatiran untuk di serang orang kafir, bukanlah syarat untuk dibolehkan melakukan sholat qoshor. Ajaran Islam yang membolehkan seorang laki-laki berpoligami sampai empat istri dengan syarat adil, bukanlah bentuk diskriminasi atas perempuan, karena ajaran tersebut merupakan salah satu bentuk konsepsi yang diletakkan oleh Islam untuk menyeimbangkan kehidupan sosial. Islam di dalam meletakan ajarannya, melihatnya dengan pandangan yang jauh dan dengan pertimbangan yang bersifat universal serta mempertimbangkan segala seginya, tidak melihatnya dengan pandangan picik dan parsial. Tidak pula dengan melihat kepentingan satu pihak dengan mengorbanan kepentingan pihak yang lain. Artinya menghapus kebolehan seorang laki- laki berpoligami sampai empat istri, merupakan bentuk diskriminasi terhadap laki- laki dan mengekang kemampuan kreatifitas suami, sebaliknya membolehkan berpoligami lebih dari empat merupakan bentuk diskriminasi dan de humanisasi perempuan serta membunuh perasaannya yang halus. Syarat berlaku adil untuk dibolehkannya berpoligami , seperti yang disebutkan dalam Surat anNisa ayat : 3, nampaknya kurang cukup, menurut sebagian orang , sehingga perlu di tambah syarat lain yaitu harus dalam keadaan darurat . Kalau diteliti secara seksama syarat yang di usulkan untuk ditambahkan dalam berpoligami selain berbuat adil, kurang banyak manfaatnya, karena syarat adil itu sudah mencakup ke arah tersebut. Dan sayang nya lagi yang mengusulkan syarat baru tersebut, belum menjelaskan batasan dlarurat yang sebenarnya. Sebagian orang yang menolak adanya poligami, menyandarkan pendapat mereka pada larangan Rosulullah saw kepada Ali untuk menikah lagi, dan memadu putrinya, Fatimah.[25] Mereka mengatakan bahwa larangan ini menunjukkan bahwa Rosulullah saw sendiri melarang poligami. Jadi, metode penafsiran matematika tadi belumlah dianggap kuat untuk menumbangkan dalil- dalil dibolehkannya poligami, sehingga hadits ini , dimunculkan ke permukaan. Para ulama , alhamdulillah telah menerangkan kedudukan dan maksud hadits di atas. Syekh Sayid Sabiq, memberikan judul pada hadist Fatimah tadi dengan bunyi : Hak perempuan untuk mensyaratkan agar tidak dimadu [26]

Artinya bahwa larangan Rosulullah kepada Ali untuk memadu Fatimah, bukan karena Rosulullah melarang poligami. Akan tetapi Rosulullah ingin agar Ali ra menepati syarat yang telah diajukan oleh Rosulullah saw, dalam hal ini sebagai wali Fatimah, ketika menikahkannya dengan Fatimah. Apabila seorang wali perempuan mensyaratkan kepada mempelai laki- laki agar anaknya tidak di madu. Apabila mempelai laki- laki setuju, maka syarat itu syah dan wajib dilaksanakan , serta tidak boleh di langgar. Seandainya dilanggar, maka istri berhak mengajukan gugatan untuk membatalkan pernikahan .Begitulah , kirakira arti dari judul yang di tulis Syekh Sayid Sabiq. Mungkin muncul sebuah pertanyaan, apakah syarat tersebut disebutkan dalam akad antara Ali ra. Dengan Fatimah ra ? Jawabannya, bahwa para Fuqoha telah menetapkan sebuah kaidah. al Masyrut Urfan kal masyrut lafdhon ( sesuatu yang di syaratkan dengan kebiasaan bagaikan syarat yang di ucapkan ) Artinya walaupun Rosulullah saw tidak mengucapkan syarat tersebut di dalam akad nikah, akan tetapi syarat tersebut mestinya sudah dipahami , menurut kebiasaan, bahwa putri Nabi Muhammad saw, tidak boleh di madu. Dalam kasus ini, menurut teks hadist ini bahwa Fatimah hendak di madu dengan anknya Abu Jahal , pentolan orang musyrik yanh menjadi musuh utama Rosulullah saw. Di sana ada jawaban versi lain, yaitu larangan Ali untuk memadu Fatimah berkait dengan konspirasi politik yang ada di baliknya. Diriwayatkan, Rasulullah saw berkhutbah di hadapan khalayak ramai, Sejumlah keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bi Abi Thalib. Ketahuilah aku tidak mengizinkan (tiga kali). Seperti disebutkan dalam Sirah Ibnu Hisyam, larangan tersebut karena Abu Jahal bermaksud meminang Ali untuk menikahi puterinya. Abu Jahal punya maksud tertentu di balik perkawinan politis ini. Hal inilah yang membuat Rasulullah saw tegas melarangnya. Tak mungkin berkumpul puteri Nabiyullah dan musuh Allah dalam satu rumah, tegas Rasulullah saw.[27] Seandainya larangan itu ditujukan kepada poligami, tentulah beliau melarang para sahabatnya berpoligami. Kalau itu terjadi, tak mungkin ada sahabat yang mau berpoligami. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Banyak para sahabat yang berpoligami. * Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana , Fakultas Studi Islam, Universitas Al Azhar, Mesir.

( Tulisan ini dinukil dari makalah : Kesetaraan Gender dalam Pandangan Al Quran 2003 karya ; Ahmad Zain An Najah, MA )

[1] DR. Musthofa SibaI , al Marah baina al Fiqh wa al Qonun , Kairo: Darus Salam, 1998 Cet. I hlm . 48 [2] DR. Musthofa, SibaI , op.cit , hlm 49 [3] HR Bukhari , Shohih Bukhari, dicetak bersama Fathul Bari, karya Ibnu Hajar al Asqolani, Kairo, Darul Hadits, 1998, Cet. I 8/296 no hadist : 4574 , lihat juga Qurtubi, al Jami liahkamil al Quran, Beirut, Darul Kutub Ilmiyah, 1996, Cet. V 5/9-10, Sayid Qutub, Fi dhilali al Quran, ( Beirut, Darul al Syuruq, 1994 ) cet. XXIII, 1/ 577, Muhammad Al Thohir bin Asyur, Tafsir Al Tahrir wa al Tanwir, Tunis : Dar Tunisiyah ni nasyr , 1984 , 4/222 [4] Muhammad Al Thohir bin Asyur, op.cit . 4/222 [5] Ibnu Katsir, Tafsir al Quran al Adhim, Beirut : Darul Marifat, 1996, Cet. XIII, 1/ 460 [6] Tahrir al Marah hlm 153-154, yang dinukil oleh Muhammad Bintaji di dalam Makanatul Marah fi al- Quran al Kariem dan al Sunah al- Shohihah, Kairo : Darul al Salam, 2000) cet. I hlm : 207 [7] DR. Nasaruddin Umar, MA , op.cit., hlm : 283. [8] lihat, wawancara Ulil Abshor Abdilah dengan Faqihuddin di situs www. Islamlib.com ( 1/6/ 2003 ) . [9] ibid, 28/ 4/ 2002 [10] Dalam Acara Perspektif Perempuan , sajian stasiun televisi ANTV, Sabtu malam (09/08) yang di muat pada majalah Sabili edisi Agustus 2003 [11] ibid. [12] Syekh Muhammad Madani, op. cit , hlm : 192 [13] DR. Muhammad Bintaji , op.cit, hlm : 214 [14] Ibid, hlm. : 174. [15] Ibid,hlm 193, Muhammad Thohir bin Asyur, op. cit : 4/ 226 , Sayid Qutb, op.cit, 1/ 582, Hasyim bin Hamid al RifaI , Mahasin taadudi zaujat , ( Jizah : Maktabah Tauiyah Islamiyah, 1994 ) cet II. Hlm. 20

[16] Qurthubi, op.cit hlm 261 [17] HR Abu Daud , Tirmidzi , Nasai, Ibnu Majah, Imam Ahmad, Al Hakim dan Ibnu Hibban . Imam Al Hakim berkata : Hadist ini shohih berdasarkan syarat yang telah di tetapkan Imam Muslim dan di setujui oleh Ad Dzahabi . Lihat Abu Daud, al-Sunan, Beirut, Darul Fikr, 1995 ) dicetak bersama Aunul Mabud, karya Syamsul Hak Adhim Abadi, Kitab : Nikah, Bab : al Qosam baina al Nisa , hadist no : 2134 , Tirmidzi, al Sunan, ( Beirut : Darul Fikr, 1995 ) Dicetak bersama Tuhfatul Ahwadhi karya Abdurohima al-Mubarfukuri, Kitab : Nikah, Bab : Ma jaa fi taswiyah baina dhoroir, (hadits no : 1140), Nasai, al- Sunan, ( Beirut : Darul Fikr, 1995 ) dicetak bersama syareh : Jalaluddin Suyuti dan hasyiah : Imam Sindy , Kitab : Nikah, Bab : mail rojulila badhi nisaihi duna badhin, ( hadist no : 3949 ), Ibnu Majah, al-Sunan,Beirut , Darul Fikr, 1995 ,Kitab : Nikah, Bab : qismah baina Al nisa , (hadist no : 1971) , Imam Ahmad, al-Musnad, ( 7/ 207 )al-Hakim , al-Mustadrok, ( 2/ 187 ). Ibnu Hibban , as-shohih, Kitab : Nikah, Bab : Al Qosm, hadist no : 4192 ) [18] . Lihat DR. Muham. Bintaji, op.cit, hlm. 176, DR. Abdus Salam Madkur , Dirasat fi Tsaqofah Islamiyah, hlm 283, sebagaimana yang dikutip oleh Hasyim bin Hamid al RifaI , op. cit., hlm 26. [19] DR. Muh. Bintaji, op.cit. , hlm : 174 [20] Sengaja penulis mengambil contoh DR. Nasaruddin untuk mewakili kelompok yang lain yang mempunyai pandangan sama dengan beliau, di karenakan tulisan beliau adalah sebuah Desertasi yangdi tulis selama enam tahun dan setelah melakukan riset di banyak negara. [21] DR. Nasaruddin Umar . op. cit . ,hlm 284 [22] Ibid hlm 285. [23] Dr. Siti Musdah Mulia, op. cit., . hlm. 4 [24] Quthubi, op.cit., 5/11, DR. Muh. Bintaji, op.cit., hlm. 178 [25] HR. Bukhori, Kitab : Nikahm, Bab: Dzabbu al Rojuli an Ibnatihi fial Ghiroh wa al Inshof. Juga diriwayatkan oleh Muslim, Kitab : Fadhoil al Shohabah, Bab : Fadhoil Fatimah binti Nabi saw. [26] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Kairo : Dar al Fath lil Ilam al Arobi, 1999, Cet. II hlm 388 [27] Jawaban ini , adalah versi yang dimuat di dalam majalah Sabili, edisi Agustus 2003 .

MELURUSKAN PEMAHAMAN TENTANG HUKUM POLIGAMI (2) Ahmad Zain An Najah , MA

Hikmah- hikmah dibalik Poligami Paling tidak, ada tiga bentuk maslahat yang bisa di dapat dari dibolehkanya poligami sampai empat istri.[1] : Maslahat sosial : yaitu melonjaknya jumlah perempuan jauh di atas jumlah lakilaki. Menurut data statistik Finladia, disebutkan bahwa setiap empat bayi yang lahir, maka tiga diantaranya adalah perempun, sedang sisanya adalah laki- laki. Menurut salah satu sumber yang dipercaya, bahwa jumlah wanita Indonesia 68 %, dan pria hanya 32 %. Bahkan, di AS jumlah perempuan delapan kali lebih banyak daripada laki-laki. Di Guena ada 122 perempuan untuk 100 laki-laki. Nathan and Julie Here Hare di dalam Crisis in Black Sexsual Politics mengungkapkan bahwa di AS ada krisis gender pada masyarakat kulit hitam. Satu dari 20 pria kulit hitam meninggal dunia sebelum berumur 21 tahun. Bagi yang berumur 20-35, penyebab kematian utama adalah pembunuhan. Di samping itu banyak laki-laki kulit hitam yang tidak punya pekerjaan, dipenjara atau kecanduan obat . Bahkan Philip L. Kilbridge di dalam tulisannya , Plural Marriage for Our Times mengatakan : Akibatnya satu dari 4 perempuan kulit hitam, pada umur 40 tidak pernah menikah, dan pada perempuan kulit putih terdapat satu dari 10 perempuan tidak pernah menikah pada usia yang sama. Banyak perempuan kulit hitam menjadi single mother sebelum usia 20 tahun. Akibat ketimpangan dalam man-sharing, perempuan-perempuan ini banyak yang kemudian berselingkuh dengan laki-laki yang sudah menikah [2] Ini dalam keadaan damai. Adapun dalam keadaan perang, maka jumlah laki- laki akan turun drastis dari jumlah perempaun. Di Eropa, ketika terjadi perang dunia dua kali selama seperempat abad, telah terbunuh berjuta- juta laki- laki. Ini menyebabkan beribu- ribu perempuan menjadi janda dan tanpa suami. Sehingga di sebagian negara Eropa, terutama Jerman , muncul berbagai demonstrasi yang dilakukan

oleh perhimpunan perhimpunan wanita menuntut di perlakukannya poligami . Karena jumlah perempuan di Jerman adalah 7,3 juta lebih banyak daripada laki-laki (3,3 jutanya adalah janda). Banyak di antara perempuan-perempuan itu membutuhkan laki-laki bukan hanya sebagai pendamping, tapi juga pemberi nafkah keluarga. [3] Bahkan sebelum Jerman, di Perancis, setelah Perang Dunia I , bermunculan permintaan untuk menghapus aturan yang menghukum seseorang yang menikah lebih dari satu istri, dan permintaan untuk dibolehkannya poligami, ini bertujuan untuk menghindari kerusakan yang timbul akibat meluapnya jumlah perempuan yang tidak terurusi. [4] Kenyataan ini , mampu menepis anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa data statistik yang ada hanya menyebutkan banyaknya jumlah wanita itu hanya yang sudah berusia senja ( di atas 65 tahun) ataupun dibawah 20 tahun . Apalagi kalau kita lihat akhir- akhir ini, setelah terjadinya perang di Afghonistan dan Iraq dan berpagai kontak senjata yang ada di negara lainnya , tentunya yang banyak terbunuh adalah laki- laki yang ikut perang. Yang kedua : maslahat pribadi, dan ini sangat banyak sekali, diantaranya , jika istrinya mandul, padahal suaminya punya keinginan untuk mempunyai banyak anak, dan ini merupakan fitroh manusia. Dalam hal ini, hanya ada hanya ada dua pilihan : mencerai istrinya atau menikah lagi. Tentunya pilihan terakhir akan lebih ringan bagi wanita. Jika istri tertimpa penyakit menahun yang menghalangi suami untuk bisa berhubungan. Jika suami banyak bepergian dalam berbagai urusan kenegaraan atau yang lainnya. Jika suami mempunyai kekuatan sex yang sangat tinggi. Yang ketiga : masalahat akhlak. Pelarangan untuk berpoligami, akan mengakibatkan dampak yang sangat jelek terhadap akhlak. Karena perempuan perempuan yang tidak mendapatkan suami , mereka akan bekerja mencari nafkah sendiri, dan karena kebutuhan sex yang tidak terpenuhi mengakibatkan kegoncangan jiwa, ketidak tenangan di dalam bersikap , kekecewaan , kegelisahan , mudah tersingung dan sebagainya. [5] Karena tidak tersalurkan, sebagian mereka dengan terpaksa atau sukarela melampiaskannya dengan jalan yang haram, sehingga timbulah perzinaan dimana- mana sebagaimana kita lihat sekarang.

Termasuk dampak pelarangan poligami adalah membengkaknya jumlah anak yang lahir hasil perzinaan. Koran As Syab edisi Agustus 1959 menyebutkan : bahwa anak yang lahir diluar pernikahan di Amerika Serikat mencapai 200 ribu anak pertahun. [6] Selain itu, juga akan bermunculan penyakit- penyakit kelamin akibat terjadinya hubungan di luar pernikahan , seperti AIDS dan sejenisnya. Juga, secara otomatis akan menyebabkan retaknya hubungan keluarga dan hilangnya nasab . Oleh karenanya, melihat dampak dilarangnya poligami tersebut , Jerman akhirnya mengijinkan rakyatnya untuk melakukan poligami. Dan tidak menutup kemungkinan negara- negara Eropa lainnya akan mengikuti jejak Jerman. [7] Selain itu disana ada beberapa faedah lainnya, sebagaimana di sebutkan oleh salah seorang wanita karir, Sitoresmi Prabuningrat, istri ketiga Deby Nasution bahwa poligami sangat menolong karir. Karena kesibukan wanita karir dalam kiprahnya tak dapat dihindari. Saat wanita karir itu menjadi istri tunggal, suami akan terabaikan karena sempitnya peluang waktu buat suami. Poligami sangat menolong wanita karir untuk tetap eksis. Artinya, kekurangannya memberikan perhatian kepada suami telah dibantu pemenuhannya oleh istri-istri lain. Inilah solusi yang paling bijaksana. [8] Bahkan, bukan hanya wanita karir saja yang bisa merasakan, bagi wanita yang berfisik lemah, akan banyak terbantu dengan adanya poligami, karena istri- istri lainnya bisa membantunya merawat anak, atau menyelesaikan urusan dapur dan perawatan rumah. Karena menurut pengalaman dan kenyataan yang ada, seorang perempuan yang lemah fisiknya tidak akan mungkin mampu menyelesaikan urusan rumah tangga yang begitu banyak dan berat , belum lagi untuk merawat anak- anak yang masih kecil, yang harus di tunggui setiap saat. Waktu dan tenaga seorang istri, sangatlah terbatas untuk mengerjakan itusemua tanpa bantuan suami atau istri lainnya. Begitu juga, poligami menjadikan kesempatan fastabiqul khairat (saling berlomba dalam kebaikan) bagi istri-istri, untuk berbakti diri kepada suami, karena hal itu merupakan ibadah. Poligami menjadikan ajang kompetisi positif antar istri-istri untuk semakin meningkatkan intensitas ibadah tersebut. Bagi Kyai Nur Iskandar bahkan poligami lebih banyak manisnya., dari pada pahitnya. Salah satu nilai positif yang beliau petik dari poligami adalah lebih

freshnya pikiran. Sebab, dengan poligami dia dapat melakukan sharing dengan istri-istri, mendiskusikan banyak hal sehingga beban pikiran pun terasa ringan, terutama beban dakwah. Mereka ikut berpartisipasi menangani beberapa pesantren yang di asuhnya secara langsung. Jadi, beliau tidak perlu repot-repot mengurusi sekian banyak pesantren. Sebab, istri-istrinya sangat siap membantu. [9] Beberapa keterangan tentang faedah poligami di atas, bukan berarti di sana tidak ada madhorot akibat di bolehkannya poligami. Dalam praktek di lapangan, ternyata tidak semua yang melakukan poligami bisa adil dan mengalami kebahagian , sebagaimana yang di sebutkan di atas. Dan itu kenyataan yang harus kita akui. Akan tetapi untuk menyelesaikan masalah tersebut , solusinya bukan dengan melarang syareat poligami dan berusaha dengan segala cara,walau tanpa dasar ilmu, untuk mengharamkan poligami , bahkan sekalipun harus menyetir dalil- dalil yang saling kontradiksi dan secara parsial. Beberapa pemikir dan pemimpin reformasi dalam masyarakat Islam berusaha untuk mencari solusinya. Kita dapatkan, umpamnya Syekh Muhammad Abduh, ketika melihat kenyataan pahit yang terjadi di masyarakat akibat poligami, beliau melontarkan solusinya dengan memperketat bolehnya poligami yaitu seorang yang ingin berpoligami harus melaporkan kemampuan untuk berbuat adil kepada yang berwenang dan pemrintah diminta untuk menghukum poligamitor yang tidak berbuat adil. Begitu juga harus di terapkan hukuman hajr terhadap poligamitor kecuali ada masalah darurat yang diketahui oleh pengadilan , seperti istri yang sakit atau mandul [10] . Qosim Amin mengusulkan agar pemerintah mengeluarkan peraturan yang isinya melarang poligami , baik dengan syarat maupun tanpa syarat demi kemaslahatan umat.[11] Hal senada juga dilontarkan oleh Syekh Rosyid Ridlo. [12] Solusi-solusi yang dilontarkan tersebut, kalau diteliti secara seksama, kuranglah pas untuk di terapkan. Hal itu berdasarkan beberapa pertimbangan , diantaranya : Pertama : Mafsadahnya jauh lebih banyak dari pada masalahat dibolehkannya poligami seperti aslinya dengan syarat adil. Mafsadah tersebut berupa menyebarnya zina dan rusaknya keharmonisan rumah tangga , lahirnya bayi-

bayi terlantar ,ketimpangan- ketimbangan sosial dan lain-lainnya, sebagaimana yang telah di terangkandi atas. Kedua : Terbukti di lapangan bahwa kerusakan yang terjadi di masyarakat sebagian besar bukanlah akibat praktek poligami yang salah. Bahkan empat puluh lima tahun yang lalu, ketika poligami sangat berkembang pesat di Mesir, melalui data statistik Kantor Lembaga Pelayanan Masyarakat, dari banyak terlantarnya keluarga, hanya 3% saja di akibatkan oleh praktek poligami yang tidak memenuhi syarat adil. Adapun yang 97 % di akibatkan masalah lain[13]. Itu pada saat poligami tumbuh subur . Kalau lihat sekarang, baik itu di Mesir, ataupun di negara lainnya, terutama di Indonesia, sangat sedikit sekali orang Islam yang mempraktekkan poligami,di banding yang bermonogami, terutama karena kondisi ekonomi dan politik yang tidak menentu. Maka , sangat tidak relevan untuk di terapkan undang- undang yang melarang Poligami. Adapun keharusan orang yang mau berpoligami untuk melapor ke KUA atau Kantor Pendilan, ,supaya bisa dipertimbangkan kemampuannya , walupun usulan tersebut lebih moderat dibanding usulan yang pertama , akan tetapi, masih juga belum diperlukan manakala keadaannya seperti yang diterangkan di atas. Bahkan, Suria pernah memprakrelakn usulan tersebut , tapi berakhir dengan kegagalan. [14] * Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana , Fakultas Studi Islam, Universitas Al Azhar, Mesir. ( Tulisan ini dinukil dari makalah : Kesetaraan Gender dalam Pandangan Al Quran 2003 karya ; Ahmad Zain An Najah, MA )

[1] DR. Ali Ali Ali Syahin, al Ilam binaqdli ma jaa fi kitab maqolatun fil Islam, Kairo, Darut Tibaah alMuhammadiyah , 1998 Cet. I hlm . 472. [2] Majalah Sabili, edisi Agustus 2003 [3] DR. Ali Syahin, op.cit., hlm 473 . [4] DR. Muh Bintaji, op.cit., hlm 193

[5] Prof. DR. dr. Dadang Hawari psikiater, Al- Quran , Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa , Jakarta : PT Dana Bhakti Prima Yasa, hlm 317. [6] Sayid Sabiq, op.cit hlm 394-395 [7] Abdu al Nasir Taufik al Athhor, Taaddu al Zaaujaat mina nawahi diniyah wal ijtimaiyah wal qonuniyah , yang dinukil oleh DR. Ali Syahin, op.cit. hlm 476. [8] Majalah Sabili, Agustus. 2003 [9] Ibid [10] Muh Abduh, Rosyid Ridlo, Tafsir Al-Manar, Kairo : Haihah al Misriyah al Ammah lil Kitab, 4/ 286-287. [11] Tahrir al-Marah : 154-155, Lihat Muh Bnitaji , op. cit, hlm 208. [12] Muhammad Abduh , Rosyid Ridlo, op. cit, 4/ 297-298 [13] Syekh Mahmud Syltut, Islam Aqidan wa syariatan , Kairo: Idaroh Amah li al Tsaqofah al Islamiyah, AlAzhar, 1959, hlm 180 [14] Muh Bintaji , op.cit., hlm 231

PEMIMPIN RUMAH TANGGA, HAK PATEN LAKI-LAKI ATAU PEREMPUAN ?

Ahmad Zain An Najah , MA

Penulis merasa heran, ketika mendapati sebagian keluarga di Mesir sini, ternyata yang memegang tampuk kepemimpinan keluarga adalah seorang perempuan , walaupun itu tidak mutlak, artinya bisa saja itu tidak disepakati secara resmi, namun sangat sering penulis , mendapatkan seorang laki- laki (

suami ) merasa mlinder dan takut untuk berbicara kebenaran atau sekedar berbicara ataupun ketika memutuskan sesuatu yang sebetulnya menjadi wewenangnya ketika istrinya ada di depannya. Itu ternyata , setelah di teliti , walau secara sekilas, di dapatkan bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah , karena seorang istri lebih kaya dari suaminya, sehingga dengan hartanya , dia leluasa untuk mengatur suami dan keluarganya. Atau sang istri terlalu cantik di banding suaminya yang biasa- biasa saja, sehingga sang suami selalu kawatir kalau istrinya yang cantik ini marah dan minta cerai. Ataupun sang istri tersebut, selain cantik, juga jauh lebih muda di banding suaminya yang sudah loyo dan lanjut usia. Faktor- faktor tersebut ternyata , sedikit banyak mempengaruhi kejiwaan relasi dan hubungan antara suami istri, sekaligus membuat suami merasa mlinder dan takut dengan istrinya. Ditambah kebodohan sang suami terhadap ajaran agamanya . Kasus tersebut , menunjukkan betapa telah terjadi pergeseran nilai di dalam masyarakat. Untuk meneliti lebih lanjut wewenang kepemimpinan dalam keluarga maupun di dalam masyarakat, apakah itu hak paten milik laki-laki ataupun perempuan, alangkah baiknya kita kutip dahulu Firman Allah di dalam QS al- Nisa : 34 : Kaum laki- laki itu adalah pemimpim kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka ( laki- Laki) atas sebagian yang lain ( wanita ) dan karena mereka menginfakkan sebagian harta mereka Sebab turun ayat : Adalah sebagai tanggapan dari kasus Saad bin Abi Robi yang memukul istrinya yang bernama Habibah binti Zaid, karena durhaka kepadanya, kemudian kasus ini di adukan kepada Nabi, lalu Nabi menyuruhnya untuk qishos. Kemudian turun ayat ini. [1] Di sana ada sebab- seba lain, tapi ini dianggap mewakili.

Ayat di atas secara jelas dan tegas menunjukan bahwa laki- laki adalah pemimpin bagi wanita. Dan Allah telah menciptakan laki-laki dalam bentuk pastor tubuh dan sifat- sifat yang bisa di jadikan bekal untuk menjadi pemimpin. Karena kepemimpinan memerlukan pendayagunaan akal secara maksimal dan

memutuhkan stamina tubuh yang kuat , khususnya di dalam menghadapi berbagai rintangan dan kendala, dan tatkala memecahkan berbagai problematika yang cukup rumit. . Dan dalam satu waktu , Allah adalah Dzat Yang Maha Adil , tidak mau mendholimi seseorang . Sehingga, dipilihlah laki- laki sebagai pemimpin rumahtangga dan pemimpin bagi kaum wanita secara umum. Karena tabiat perempuan yang lemah lembut, mudah terbawa arus perasaan , yang mengandung dan menyususi , serta merawat anak, sangatlah tidak relevan untuk dibebani sebagai pemimpin bahtera rumah tangga yang begitu besar dan berat. Dari sini, sangatlah tepat ayat di atas . Keterangan di atas, oleh sebagian orang di sebut nature, yaitu sebuah teori yang beranggapan perbedaan fungsi dan peran laki- laki dan perempuan disebabkan oleh perbedaan alamiyah, sebagaimana tercemin di dalam perbedaan anatomi biologi kedua makhluk tersebut. [2] Walaupun teori ini banyak di kritik , khususnya oleh Karl Marx, namun , menurut hemat penulis, masih menjadi pijakan alasan atau penafsiran yang paling sesuai di dalam membicarakan relasi gender, pembagian tugas , hak dan kewajiban antara lakilaki dan perempuan. Dan jumhur ulama , hingga sekarang masih menggunakan alasan di atas. Penolakan terhadap teori ini , di sebabkan kesalah pahaman bahwa perbedaan tugas identik dengan penindasan dan diskriminasi . Padahal al- Quran ketika membedakan tugas- tugas tersebut , tidaklah bermaksud untuk melakukan hal itu, dan bahkan kenyataannya setelah dipraktekan dengan syaratsyaratnya, maka penindasan dan diskriminasi yang di takutkan itu tidak pernah ada. Keterangan di bawah ini bisa menjelaskan masalah tersebut . Qowwam menurut Imam Qurthubi artinya melakukan sesuatu dan bertanggung jawab terhadapnya dengan cara meniliti dan menjaganya dengan kesungguhan. Maka tanggung jawab laki-laki terhadap perempuan dalam batasan tersebut. Yaitu dengan mengurusi, mendidik dan menjaga dirumahnya dan melarangnya untuk keluar ( tanpa ada keperluan ) . [3]

Dari situ bisa dipahami bahwa kepemimpinan laki-laki terhadap wanita bukanlah kepimpinan otoriter, tapi lebih cenderung seperti kepemimpinan untuk memperbaiki dan meluruskan yang bengkok. Walaupun begitu, kepimpinan laki-laki dalam rumah tangga adalah kepimpinan mutlak, sebagaimana para pemimpin negara terhadap rakyatnya, artinya dia

berhak untuk memerintah , melarang mengurusi dan mendidik. Di situlah rahasia kenapa Al Quran menggunakan kata sifat ( al Rijal Qowwamuna ) [4] Dalam satu sisi kepimpinan laki- laki terhadap perempuan bukan seperti kepemimpinan militer atau administrasi, yang menyuruh dan melarang tanpa diikut sertakan anggota rumahtanga. Akan tetapi kepemimpina tersebut lebih cenderung kepemimpina yang dijalankan melaui musyawarah , saling memamahami dan saling merelakan. [5] Bahkan menurut Syekh Muhammad Ismail Muqoddim[6] , bahwa kepemimpinan laki- laki terhadap perempuan, bukan sekedar kekuasaan dan kediktatoran , akan tetapi sudah menjadi sebuah sistem. Sistem ini harus diterapkan oleh masyarakat, agar terjadi keserasian di dalam kehidupan ini. Sistem ini, mirip sistem yang dipakai dalam sebuah negara. Artinya kepimpinan cenderung ditetapkan demi sebuah keserasian dan keteraturan. Oleh karenanya, seorang muslim akan di katakan berdosa, kalau dia keluar dari sistem ini, walaupun dia lebih utama dari pemimpin negara. Begitu juga, seorang perempuan akan di katakan berdosa , jika ia keluar dari kepemimpinan laki- laki ini , walau secara dlhohir , dia mungkin lebih afdhol ( utama ) dalam beberapa segi. Dan inilah rahasia , kenapa al Quran tidak menggunakan kalimat ar Rijal Sadah ala Nisa Sadah berarti tuan.

Sangat menarik sekali apa yang di tulis oleh DR. Abdul Munim Sayid Hasan , ketika mengomentari ayat di atas. Beliau menyebutkan bahwa dalam ayat tersebut, Allah tidak menggunakan kata perintah , tetapi menggunkan metode pemberitahuan , yang mengandung perintah dan keharusan . Menurut beliau, metode ini menunjukkan bahwa masalah kepemimpinan dan tanggung jawab seorang suami dalam keluarga, seakan- akan sesuatu konsep yang sudah di sepakati oleh manusia, , bahkan kesepakatan ini , bisa di katakan sudah ada sebelum ayat tersebut diturunkan .[7] Pernyataan seperti ini , dikuatkan oleh J.C. Mosse, yang menyatakan bahwa pola relasi jender seperti yang diterangkan di dalam Al Quran tersebut , dimana laki-laki memegang tangguang jawab keluarga, mempunyai kemiripan di seluruh belahan bumi bagian utara, termasuk Eropa dan Amerika. Bahkan menurut konsep keluarga dalam tradisi Yunani dan Romawi, kepala rumah tanggapun di pegang oleh laki- laki . [8]

Untuk menafsirkan arti Qowamah yang lebihjelas lagi, Syekh Muhammad Madani justru mengaitkannya dengan lanjutan ayat yang berbunyi( bima fadolahu badhohum ala badhin ) yaitu karena Allah memberikan kelebihan sebagian mereka ( laki- laki ) di atas sebagian yang lain ( wanita ) . Allah menyebutkan bahwa laki -laki merupakan bagian dari perempuan , begitupun sebaliknya . Hal ini , mengisyaratkan bahwa keutamaan laki-laki terhadap perempuan dalam ayat ini, bukan berarti laki- laki lebih super, lebih mulia dari perempuan, dan bahwa perempuan itu lebih lemah, lebih rendah dan berada di kelas kedua dari laki- laki. Akan tetapi artinya , bahwa laki- laki mempunyai ciri dan tugas tersendiri yang tidak di miliki oleh perempuan. Sebagaimana perbedaan antara anggota tubuh manusia itu sendiri, seperti tangan , kaki, mata, telinga, hidung dan mulut. Masing masing dari anggota tubuh tadi mempunya fungsi dan kelebihan sendiri yang tidak di milki oleh anggota lain. [9] * Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana , Fakultas Studi Islam, Universitas Al Azhar, Mesir. ( Tulisan ini dinukil dari makalah : Kesetaraan Gender dalam Pandangan Al Quran 2003 karya ; Ahmad Zain An Najah, MA )

SEKILAS TENTANG HUKUM WARISAN DALAM ISLAM Ahmad Zain An Najah , MA

Allah Berfirman : Allah telah mensyreatkan kepadamu ( tentang pembagian pusaka ) untuk anak- anakmu, yaitu : bagian anak laki- laki sama dengan dua bagian anak perempuan ( Q. S. Al Nisa : 11 ) Sebab turunnya ayat : Berkenaan dengan Jabir ibnu Abdillah yang dibesuk oleh Rosululah bersamam Abu Bakar da Bani Salamah, ketika ia sakit dan tidak sadarkan diri. Rosulullah meminta air lalu mengambil air wudlu, kemudian memercikan air kepadanya, lalu ia sadarkan diri. Setelah itu, Jabir bertanya kepada Rosulullah saw perihal

hartanya, maka turunlah ayat ini[1]. Di sana banyak riwayat- riwayat lain tentang turunnya ayat di atas ,namun untuk sementara, riwayat Jabir tersebut , dirasa sudah cukup untuk mewakili. Ayat di atas menjelaskan bahwa laki- laki akan mendapatkan jatah warisan seperti dua bagian perempuan.

Dalam ayat tersebut, nampak terjadi diskrimasi terhadap perempuan dan perlakuan tidak adil dalam pembagian warisan. Dan inilah yang dipahami oleh beberapa orang , namun pada hakekakatnya kalau di teliti secara seksama dan direnungkan secara akal sehat dan jiwa yang jernih, justru yang demikian itu adalah pembagian yang adil, karena adil bukanlah harus sama , akan tetapi adil adalah menempatkan sesuatu pada porposinya masing- masing, karena laki- laki akan mempunyai tanggung jawab di dalam masyarakat nanti, karena di saat dia mau menikah , dialah yang harus membayar mahar dan menanggung nafakah keluarga. Berbeda dengan perempuan yang tidak banyak mempunyai tanggung jawab, bahkan ketika dia setelah menikah, maka kewajiban nafakah di bebankan kepada suaminya,oleh karenanya sangatlah adil pembagian tersebut. Alasan di atas, oleh beberapa orang , diantaranya Thohir al Haddad [2] , dan DR. Nasr Abu Zaid [3], kemudian diikuti oleh Munawir Syadali , tidak berlaku untuk masa kini dengan alasan bahwa keadaan berbeda, bahkan mungkin sebagian orang dengan rasa bangga menngunakan kaidah di dalam fikih taghoyurul ahkam bi taghoyuri zaman wal makan ( Suatu hukum bisa berubah jika keadaan dan waktunya berubah juga ). Mereka mengatakan , bahwa perempuan hari ini telah ikut berpartisipasi bersama laki- laki di dalam menjalani kehidupan ini dalam segala aspeknya : Ekonomi, Budaya, Pendidikan , dan Politik. Perempuan hari ini bekerja mencari nafkah, sebagaimana laki-laki , bahkan di sebagian daerah, menurut Munawir Syadali, seperti Solo, perempuanlah yang berkeja mencari nafkah, sedangkan lakilakinya hanya di rumah , memelihara burung. Lain lagi, dengan apa yang diungkap oleh DR. Nasr Abu Zaid yang mencontohkan dirinya dan istrinya yang sama- sam a menjadi dosen dan sama sama menjadi anggota sidang program doktoral, di sini tidak ada perbedaan sama sekali.[4] Kemudian lebih lucunya lagi, dia menyamakan pendapat yang ia lontarkan tersebut , dengan ijitihad Umar bin Khottob ra. Sangat ironis, memang. Oleh karenanya, menurut

pendapatnya, pembagian jatah warisan dengan membedakan antara perempuan dengan laki- laki adalah tidak adil dan mendiskriminasikan perempuan. Dan ajaran Islam sendiri pada dasarnya tidaklah menutup untuk adanya kesetaraan gender secara sempurna antara laki- laki dan perempuan , termasuk di dalamnya dalam menerima jatah warisan, jika memang terwujud didalamnya masalahat dan keadilan. Menurutnya, bahwa apa yang telah di tetapkan Rosulullah saw , bukanlah segala- galanya yang tidak ada perubahan setelahnya.

Syek Ismail Muqoddim menyebutkan bahwa pertama kali yang melontarkan ide penyamaan jatah waris laki-laki dan perempuan adalah Negara Turki pada masa Musthofa Kamal At Taturk , yaitu dengan jalan mengganti Hukum Syareat dengan Hukum Swedia. Kemudian kesesatan ini berpindah ke Tunis melalui tangan Burqaibah, kemudian ke Somalia. Bahkan pemimpin Somalia Ziyad Barri pada tahun 21 Oktober 1970 mengumumakan lewat siaran radio bahwa pemerintahannya telah memeluk aliran Marxis Lenin. Setelah itu, dia mengatakan di dalam koran resmi : Dahulu kami mendengar pendapat yang mengatakan bahwa jatah warisan ada yang seperempat, sepertiga, seperlima, dan seperenam, tapi kita mengatakan : sesungguhnya itu semua sudah tidak ada sejak hari ini, yang ada bahwa anak laki-laki dan perempuan sama jatahnya di dalam warisan [5]

Apa yang diungkapkan di atas hanyalah sekedar lamunan dan ucapan yang berdasarkan pandangan yang sekilas , parsial dan picik. Allah swt sendiri pada akhir ayat warisan telah menyebutkan dengan tegas bahwa jatah warisan yang telah di tentukan tersebut merupakan batasan yang sakral dan tidak boleh dirubah- rubah atau di langgar , seraya menyebutkan ancaman yang sangar bagi siapa yang berusaha melanggarnya . Allahberfirman ( hukum- hukum ) tersebut adalah ketentuan- ketentuan dari Allah , barang siapa yang mentaati Allah dan rosul-Nya , niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam syurga syurga yang mengalir sungai- sungai dari bawahnya. Itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rosul-Nya dan melanggarketentuan- ketentuan-Nya , niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam neraka, dia kekal di dalamnya dan mendapatkan adzab yang pedih ( Q.s. An Nisa : 13-14 )

Adapun kaidah fikih yang meyebutkan perubahan hukum , mengikuti perubahan waktu dan keadaan itu hanya berlaku pada hukum- hukum ijitihadiyah, atau hukum hukum yang di tetapkan berdasarkan maslahat sementara atau keadaan sementara, seperti hukum tazir dengan mencambuk peminum khomr 80 kali cambukan, sistem dan metode pendidikan, administrais negara dan lain- lainnya . Adapun hukum- hukum yang telah di tetapkan oleh Syareat batasannya , seperti hukum warisan ini, maka kaidah tersebut tidak bisa dipakai.

Padahal kalau pembagian tersebut diteliti secara seksama, ternyata yang diuntungkan adalah perempuan . Sebagai permisalan saja, seandainya seorang laki- laki mati dan meninggalkan dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Maka, masing masing mendapatkan jatah seperti yang telah di tetapkan dalam al Quran, yang laki-lak mendapatkan dua jatah perempuan. Bagaimana perkembangan harta tersebut pada masing-masing pihak ? Bagi anak perempuan, uang tersebut akan bertambah dan tidak berkurang, kenapa ? karena ketika menikah dia akan mendapatkan mahar dari suaminya, dan akan bertambah pula , jika uang tersebut dia kembangkan dalam bentuk perniagaan. Bahkan harta tersebut tidak berkurang, karena semua kebutuhanya di tanggung oleh Orangtua, ketika dia belum menikah dan oleh suaminya , ketika dia sudah menikah. Adapun bagi anak laki- laki yang mendapatkan jatah dua bagian dari saudaranya yang perempuan, maka hartanya akan berkurang pertama kalinya , ketika dia menikah untuk keperluan mahar, perabotan rumah tangga, dan keperluan hidup sehari- hari. [6] Dari perbandingan tersebut akan terlihat jelas , bahwa sebenarnya yang di untungkan adalah pihak perempuan, yang tidak mempunyai tanggungan apaapa , tapi dalam satu waktu mendapatkan jatah setengah dari jatah laki- laki. Permasalahan tersebut pernah di lontarkan oleh DR. Musthofa SibaI kepada para mahasiswa dan mahasisiwi fakultas hukum, dengan ditambahkan sebuah pertanyaan lagi : apakah pembagian tersebut menunjukkan bahwa Islam

mendholimi perempuan atau mengurangi hak- haknya atau melecehkan kehormatannya ? mendengar pertanyaan tersebut, semua mahasiswa serempak menjawab, bahwa Islam cenderung berpihak kepada perempuan dengan mengorbankan jatah laki- laki. Sedangkan para mahasiswi cenderung untuk diam seribu bahasa, cenderung merasa malu , karena mereka merasa di untungkan. Diantara mereka bahkan , ada yang berterus terang mengakui bahwa Islam sungguh sangat adil ketika menentukan pembagian seorang laki- laki mendapatkan dua kali jatah perempuan.[7] Bahkan, karena melihat keadilan Islam di dalam membagi harta warisan, banyak orang orang Qibty yang tinggal di Mesir berbondong- bondong pergi ke Dar al Ifta Misriyah , meminta supaya harta warisan mereka di bagi berdasarkan hukum Islam[8].Subhanallah, orang orang Kristen merasa lega dan senang dengan hukum Islam tapi justru orang Islam sendiri merasa gerah dengan aturan- aturan agamanya.

* Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana , Fakultas Studi Islam, Universitas Al Azhar, Mesir. ( Tulisan ini dinukil dari makalah : Kesetaraan Gender dalam Pandangan Al Quran 2003 karya ; Ahmad Zain An Najah, MA )

[1] Qurtubi, op.cit. 5/39 [2] Lihat Thohir Haddad, Imroatuna fi syareat wal mujtama , hlm. 35-38 ( in dinukil oleh DR. Muh. Bintaji, hlm. 144 )

[3] DR. Nasr Abu Zaid adalah staf pengajar Study al Quran, di Fakultas Adab ,Uninersitas Darul Ulum, Kairo. Karya- karyanya yang muncul pada tahun 1993 M, memicu keresahan masyarakat Islam di Mesir, sehingga menyeratnya ke Pengadilan Mesir, yang mengakibatkan dia divonis kafir dan keluar dari Islam pada tanggal 14/ 6/ 1995 M ( Lihat DR. M Bintaji, op. cit. hlm 148 ) [4] Koran al Arobi , 26/6/1995 M . Ibid ,hlm 149. [5] Koran Somaliyah 13/1/1974 , lihat Ismail Muqoddim, Audatul Hijab, Kairo, Darul al Shoffah, 199, cet. XIII 2/138. [6] Syekh Ismal Muqoddim. Op. cit 2/ 137-138. Perbandingan tersebut juga pernah ditulis oleh DR. Hamdi Zaqzuq , Mentri Wakaf Mesir di koran Shout al Azhar edisi 26, 24 Maret 200 M [7] DR. Musthofa SibaI , hlm : 25-26. [8] Lihat koran Shout al Azhar , edisi 26, 24 Maret 2000hhh M

Das könnte Ihnen auch gefallen