Sie sind auf Seite 1von 24

Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur

163

MERINTIS KAMPANYE PENYELAMATAN CANDI BOROBUDUR


Oleh : Daoed Joesoef Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia 1978 - 1983

Tiga belas abad yang lalu sekumpulan

generasi Indonesia kontemporer yang terdidik, berusaha keras mencari nama asli tersebut berdasarkan berbagai naskah kuno (prasasti) dan keterangan-keterangan lisan penduduk di sekitarnya. Pemikiran analitis ini pada gilirannya mencetuskan aneka tafsiran. Namun pada akhirnya ada kesepakatan bahwa Borobudur adalah nama candi ini. Selain dari itu, tidak diketahui dengan pasti bilamana Candi Borobudur didirikan. Tidak ada pula keterangan barang sedikit tentang raja mana yang mengusahakan pembangunannya dan siapa arsiteknya. Juga menjadi pertanyaan berapa lama waktu yang dibutuhkan dan bagaimana caranya untuk melaksanakan terwujudnya bangunan yang begitu megah dan indah. Atas dasar petunjuk-petunjuk ilmu purbakala (arkeologi), ilmu sejarah dan ilmu
Borobudur setelah direstorasi oleh Th. van Erp

rohaniawan dan seniman yang sampai

sekarang tidak diketahui namanya, mendirikan

sebuah bangunan dari batu massif di suatu daerah yang dianggap keramat di Jawa Tengah dan dilingkungi oleh beberapa gunung berapi. Ada di antara mereka yang kiranya menyadari tak akan berkesempatan menyaksikan penyelesaian konstruksi yang telah dimulai itu, namun yakin bahwa generasi-generasi mendatang akan menyempurnakannya, mengagumi ciptaan awal mereka dan berusaha merawatnya. Menurut penalaran arkeologi bangunan ini tergolong pada apa yang disebut candi. Tidak ada satu pun catatan kuno yang mengungkapkan namanya sebagaimana yang ditetapkan oleh para pembangunnya dahulu. Para ilmuwan asing, terutama Belanda, dan

164

Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur

tulisan kuno, menurut Prof. Dr. Soekmono, diperkirakan bahwa Candi Borobudur didirikan sekitar tahun 800 Masehi oleh keluarga Raja Syailendra. Dapat diketahui pula bahwa rencana bangunan candi itu pernah mengalami perubahan, yang dilaksanakan waktu sebagian besar bangunannya telah berdiri. Walaupun begitu, tetap merupakan tanda tanya kapan pembangunannya dimulai, bila diadakan perubahan dan waktu persis penyelesaiannya. Terlepas dari misteri yang menyangkut nama, waktu dibangun, berapa lama dan oleh siapa,

bentuk dan konstruksi Candi Borobudur memang pantas dikagumi. Bertitik puncak di sebuah stupa sentral, ia menjulang sampai lebih dari 30 meter di atas tanah, berdiri tegak dalam bentuk piramida yang elok dan anggun. Khaki terselubung menopang empat buah teras berbentuk persegi-panjang dengan tiga buah teras berbentuk ligkaran. Panjang setiap sisi dasar candi yang berbentuk bujur sangkar itu adalah 123 meter, sehingga luasnya mencapai sedikit lebih dari satu hektar. Teras berbentuk persegi panjang yang berada di atas tanah itu menyangga tembok berukir yang panjangnya tidak kurang dari tiga kilometer dan terdiri dari 1.300 panel relief-dangkal (bas-relief) serta menopang 432 buah Arca Buddha. Pada teras bundar diatas setiap persegi panjang ini terdapat 72 buah stupa yang berhiaskan garisgaris lurus dan berisi sebuah Arca Buddha. Tanpa mengabaikan kehebatan teknik konstruksi yang telah diterapkan lebih dari 1100 tahun yang lalu, Borobudur berhak disebut sebagai peninggalan budaya universal bukan hanya karena besarnya. Cirinya yang sangat menonjol adalah keharmonisan antara bentuk dan maknanya yang luar biasa. Penampilan fisik Borobudur jelas menunjukkan bahwa ia adalah sebuah Candi Buddha. Agama Buddha yang berkembang di Indonesia adalah Mahayana Maha Agung

Sketsa Candi Borobudur karya Daoed Joesoef

Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur

165

yang memiliki tujuan khas dan yang juga terbesar di Nepal, Tibet, Mongolia, China, Korea dan Jepang. Di Jawa agama itu berbaur dengan Tantrisme Hindu-Jawa kuno yang mempunyi kebiasaan membaca mantra-mantra magis. Hal inilah yang menjadi tradisi Borobudur yang tercermin dalam hiasan dan melalui penataan batu-batunya yang berwarna lembut. Setiap tataran dari gunung-buatan Borobudur bersesuaian dengan salah satu dari tiga lingkup ajaran atau dhatu yang merupakan ajaran Buddha tentang kehidupan: K amadhatu ajaran mengenai nafsu, Rupadhatu ajaran tentang bentuk, dan Arupadhatu ajaran tentang ketanujudan. Dasar candi atau Kaki Terselubung melambangkan Kamadhatu dan ke-160 reliefnya menggambarkan dengan jelas tentang nafsu dan kenikmatan serta hukuman yang berkaitan dengannya. Beberapa ahli beranggapan bahwa relief ini sangat mempesona hingga mereka berpendapat bahwa relief itu memang ditutup untuk menyembunyikannya dari pandangan para peziarah yang sedang mencari ketenangan hidup. Namun ada teori lain yang bersifat lugas, dengan dukungan bukti hasil kajian modern tentang tanah, menyatakan bahwa batu-batu itu ditumpuk di sekitar dasar candi dengan maksud agar tumpukan batu tadi berfungsi sebagai

fondasi kedua setelah mereka mengetahui adanya proses tanah lorot. Sesungguhnya, tataran kedua, yaitu Rupadhatu atau ajaran tentang bentuk yang terdiri dari empat buah teras berbentuk persegi panjang telah menampilkan teka-teki yang sangat menarik bagi para peneliti. Panel-panel berukir yang jumlahnya ratusan di dinding teras dan langkan di hadapannya merupakan ajaran keagamaan yang dilukis pada batu yang, menurut pendapat umum, mungkin telah membuat para peziarah terdahulu terkesan. Ilmu pengetahuan modern harus dapat menarik kesimpulan tentang maknanya dengan cara menghubungkan hal itu dengan kitab kuno Buddha. Jenis telaah ini membuktikan bahwa para arsitek Borobudur telah merencanakan hal itu untuk membekali para peziarah beragama Buddha dengan suatu latihan spiritual yang menegangkan dan penuh mistik, tetapi juga praktis. Hal ini mirip kiranya dengan seorang Katolik yang telah lulus melewati Penderitaan 14 Salib, orang Islam telah mengerjakan tawaf mengelilingi Ka'bah atau orang Hindu yang telah melakukan tujuh langkah di sekitar api suci. Pembangunan sesuatu candi, menurut Prof. Dr. Soekmono, pada umumnya bermaksud memuliakan seorang raja yang telah wafat dan telah bersatu kembali dengan dewa yang menjadi asalnya. Maka candi sekaligus

166

Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur

merupakan ungkapan yang nyata dari rasa hormat yang mendalam terhadap keluhuran orang tua dan kesadaran yang meresap terhadap kebesaran agama. Dalam hal ini Candi Borobudur merupakan contoh yang sangat menarik: bentuknya sebagai punden berundakundak mewakili ciri khas bangunan yang diperuntukkan bagi pemujaan roh nenek moyang dan susunannya yang diperjelas dengan ukiran-ukiran menggambarkan pandangan hidup agama Buddha. Berapa lamanya Candi Borobudur menjalankan fungsinya sebagai mercu suar kebesaran keluarga Raja Syailendra dan keagungan agama Buddha tidak diketahui sama sekali. Kekuasaan wangsa Syailendra lenyap dari Jawa Tengah pada pertengahan abad IX dan seabad kemudian semua kegiatan politis dan cultural pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Namun tentang Borobudur tidak ada kabar beritanya selama sembilan abad. Baru pada abad XVIII agak terkuak tabir kegelapan yang menyelubungi bangunan ini, namun jati dirinya sebagai candi belum juga tampil secara wajar. Dari tahun 1811 sampai 1815 negara kita menjadi jajahan Inggris dengan Sir Thomas Stanford Raffles selaku Kepala Pemerintah. Dia berkedudukan di Jakarta tetapi sering berkeliling Jawa karena minatnya yang luar

biasa terhadap sejarah. Ketika berkunjung di Semarang pada tahun 1814 kepadanya diberitakan tentang keberadaan sebuah candi di Desa Bumisegoro dekat Magelang yang dia belum kenal dan oleh rakyat disebut Borobudur. Karena tidak sempat pergi sendiri dia memerintahkan seorang pejabat bernama Cornelius, yang konon sudah berpengalaman dengan candi-candi, untuk segera melakukan penyelidikan. Yang dijumpai Cornelius adalah sebuah bukit ditumbuhi pohon-pohon rindang dan semak belukar yang cukup lebat. Di sela-sela tetumbuhan liar itu memang tampak dengan jelas batu-batu berukir yang banyak sekali jumlahnya dan yang di berbagai tempat masih kelihatan dalam keadaan tersusun sebagai bagian bangunan. Dengan bangunan tidak kurang dari 200 orang penduduk desa dia melakukan pembersihan. Dua bulan kerja tanpa henti belum mampu menampakkan kembali keseluruhan bangunan. Kalau semua pepohonan yang tumbuh liar dicabut paksa pasti akan ada bagian-bagian tertentu dari bangunan yang runtuh karena justru akar-akar pepohonan itu yang mengikat bagian-bagian satu sama lain. Usaha pembersihan yang menyeluruh terhadap Candi Borobudur mulai dilakukan di tahun 1834 oleh Hartmann yang sejak 1832

Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur

167

menjabat Residen Kedu. Berkat kerja ini di tahun 1835 Borobudur tidak lagi merupakan puncak belaka dari sebuah bukit melainkan betul-betul tampak sebagai bangunan yang berdiri di atas puncak bukit atau, lebih persis, mencakup sebuah bukit. Sejak itu mulai usaha-usaha dari pihak penguasa Indonesia untuk lebih menampakkan lagi eksistensi Borobudur, berupa pembersihan unsur-unsur yang selama ini menimbunnya hingga luput dari pandangan manusia, yaitu debu Gunung Merapi, semak belukar, bahkan pohon beringin. Usaha pembersihan diikuti dengan usaha penyelamatan candi dari ancaman keruntuhan. Namun hasilnya tidak terlalu spektakuler karena usaha-usaha itu dilakukan secara tambal-sulam, tidak menyeluruh sekaligus. Kendala utamanya adalah pembiayaan yang tidak kecil. Keberadaan Candi Borobudur telah saya ketahui sejak masa remaja di zaman penjajahan. Di kota tempat saya lahir dan dibesarkan, Medan, saya sempat belajar sampai ke tingkat MULO, SMP-Belanda ketika itu. Salah satu mata pelajarannya membahas aneka candi di Jawa dan Sumatera, diantaranya Borobudur, yang dikatakan terbesar dan termegah, sebanding dengan Candi Angkor Wat di Kamboja. Saya sungguh bersyukur telah diberi kesempatan oleh sejarah turut secara langsung

menangani usaha penyelamatan Candi Borobudur dari keruntuhannya yang alami dan total. Walaupun selama tiga tahun revolusi kemerdekaan (1946-149) saya bersekolah dan bermukim di Yogyakarta, jadi secara geografis relatif dekat dengan tempat kedudukan sang Candi, kontak fisik saya yang pertama dengan monumen budaya nasional ini baru terjadi di tahun 1953. Satu-satunya kendaraan umum yang bertarif relatif murah kearah candi dari Yogyakarta adalah kereta api sampai Magelang. Dari kota ini ke kompleks Borobudur, yang berjarak puluhan kilometer, hanya tersedia andong yang ongkosnya tidak terjangkau oleh kocek perantau yang sedang belajar, harus bisa

Sketsa pemandangan Candi Borobudur dari Desa Majaksingi karya Daoed Joesoef

168

Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur

hidup hemat. Sejak tahun 1951 saya mengikuti kuliah di Universitas Indonesia dan bermukim di Jakarta. Ketika itu saya mendapat kabar bahwa salah seorang sahabat karib sejak remaja, Adi Putera Parlindungan, telah berada di Yogyakarta dan menjadi mahasiswa di Universitas Gadjah Mada. Saya pun bergegas pergi ke Kota Pelajar yang terkenal ini untuk bernostalgia, melepaskan rindu, sekaligus dengan sang kota dan dengan sahabat lama yang sudah lama tak bertemu. Pada waktu itulah Adi Putera saya ajak jalanjalan ke Borobudur yang memang belum pernah dikunjunginya. Kami dapati Candi Borobudur dalam keadaan yang memprihatinkan. Loronglorongnya, yang penuh bertaburkan relief, tidak ada satu pun yang tegak lurus. Semuanya serba miring dan berlumut. Di sana-sini bahkan bermunculan tunas-tunas kecil pohon kayu yang tumbuh dari kotoran burung atau kelelawar. Ketika kami tiba di situ, di halaman candi yang relatif luas, sepasukan prajurit TNI sedang latihan berbaris. Ada anak-anak desa bergerombol menonton latihan ini, ada pula yang sedang bermain sepak bola atau sekedar berkejar-kejaran, umunya hanya bercelana tanpa kemeja. Kemudian ada kambing, domba dan ayam serta itik yang berkeliaran dengan
Kemiringan kemelesakan dinding Candi Borobudur sebelum pemugaran II

Bahkan ada ayam yang bertengger seenaknya di pagar langkan pertama dan kemudian membuang kotorannya di situ, sungguh menjijikkan. Orang yang betul-betul ingin mengunjungi candi pada hari kerja itu kelihatannya hanya kami berdua. Pemilik warung yang kami singgahi memberi peringatan supaya berhatihati kalau menaiki candi karena sewaktu-waktu ia bisa runtuh, lebih-lebih kalau tiba-tiba ada gempa. Kami berdua tetap memberanikan diri naik ke Borobudur yang tak berjaga seorang pun. Setiap orang kelihatannya bebas naik dan turun di candi ini. Di puncak tertinggi Borobudur kami duduk sambil melepaskan pandangan ke semua penjuru di tengah-tengah kesunyian dan kebisuan puluhan stupa dan arca. Dari tempat tertinggi ini kelihatan betul tidak hanya panorama indah tetapi juga betapa parahnya kerusakan candi. Di sana-sini bahkan ada goresan kenangan, tanda cinta kasih, lengkap dengan nama dan tanggalnya; tega benar mereka berbuat begitu! Karena mengetahui sedang musim bulan purnama, sejak berangkat dari Yogyakarta kami sudah berniat untuk bermalam dan menikmati sinar bulan penuh di puncak candi. Rupanya yang berniat begitu tidak hanya kami berdua. Sejak maghrib di halaman candi

bebas tanpa menghiraukan keberadaan candi.

Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur

169

semakin ramai dengan penjual makanan dan minuman: ada kacang, ketela dan jagung rebus, pecel dan aneka ragam minuman panas dan dingin. Sudah tentu ada pula nasi gudeg, tongseng dan mi rebus. Jumlah orang yang menaiki candi juga tidak sedikit, ada yang sendirian, berpasangan berdua-dua atau bergerombolan beramai-ramai dan ada pula yang menyendiri bersemadi sambil membakar kemenyan dan setanggi. Maka itu tidak mengherankan bila lorong-lorong candi menjadi kotor, penuh dengan buangan daun dan kulit pisang, kertas pembungkus, puntung rokok, tongkol jagung dan sisa-sisa makanan lainnya, bagai tempat sampah saja. Kabarnya Borobudur baru dibersihkan dari sampah kotoran tersebut bila ada berita kunjungan dari pembesar, pejabat atau inspeksi dari dinas kepurbakalaan. Terlepas dari semua kejorokan, keburukan dan celaan ini harus kami akui bahwa ketika berada dalam keadaan bulan purnama di puncak tertinggi Borobudur terasa seakan-akan tak ada lagi jarak antara langit dan bumi dan dari peleburan yang syahdu menjadi keseluruhan ini memancar makna kehidupan yang mencuat hingga ke dalam keabadian. Pengalaman saya di Borobudur ini betulbetul menyentuh nurani. Ia membuat saya murung sampai berhari-hari setelah saya kembali di Jakarta. Orang-orang begitu tega

mencemarkan peninggalan nenek moyang yang seharusnya dirawat dengan baik karena memang pantas dibanggakan. Kalaupun jumlah penganut agama Buddha memang sudah begitu berkurang hingga mereka sudah terlalu lemah untuk tetap peduli pada Borobudur, bukankah kita, warga Indonesia, selalu berpotensi berupa manusia berbudi luhur dan beradab? Mana buktinya?! Puluhan tahun kemudian terjadilah kontak saya yang kedua dengan Borobudur, namun kali ini berupa kontak idiil atau boleh disebut kontak batin. Ketika itu saya sedang belajar di Sorbonne dan bermukim di Paris. Sejak remaja, sejak duduk di kelas tertinggi HIS, sekolah dasar berbahasa Belanda di zaman kolonial, saya

Siotuasi Candi Borobudur tahun 1969

170

Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur

sudah bercita-cita untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi Prancis yang bergengsi ini, yang didirikan oleh Robert de Sorbon di tahun 1253. Saya jatuh cinta pada Sorbonne jauh sebelum saya mengenalnya secara fisik dan alamiah. Hal ini diawali dengan membaca buku, sebuah risalah perjalanan, dari Djamaloedin Adi Negoro, seorang wartawan senior di Medan. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka, sebanyak empat jilid. Salah satu bab dari buku ini memaparkan perkembangan intelektual, kelilmuan, dan keberadaan perguruan tinggi yang terkait dengan itu di Eropa Barat, termasuk Sorbonne, yang sungguh memukau bagi anak yang sedang bergairah belajar. Kemudian ada anjuran dari orang-orang Belanda berpangkat setelah melihat lukisan dan sketsa saya. Guru gambar saya di sekolah, Meneer Ter Haase dan koleganya Meneer Van Hooyer, tekeleeraar di HBS, menganjurkan supaya saya belajar di Paris. Anjuran yang sama datang dari Wali Kota Medan, Burgermeester Mr. Pittlo. Pembesar Belanda ini punya kebiasaan bersepeda keliling kota di hari Minggu dan pernah memergoki saya sedang membuat sketsa di kompeks Pasar Sentral. Dia ternyata berjiwa liberal dan pengagum berat Perancis. Ketika tentara Belanda menduduki Yogyakarta di kuartal akhir tahun 1948, saya

tertangkap dan ditahan. Kepala tahanan adalah seorang Letnan KL (Koningkelijk Leger) dan kami sering berdiskusi. Sikapnya ramah karena dia mengetahui saya adalah anggota Tentara Pelajar. Dia sendiri bukan serdadu profesional tetapi mahasiswa yang kena wajib militer Belanda. Dia belajar arsitektur di Ecole de Beaux-Arts Paris dan ingin kembali ke sana setelah masa wajib militernya selesai. Maka setelah melihat sketsa saya tentang dirinya yang sengaja duduk berpose atas permintaan saya, dia juga menganjurkan supaya saya belajar di Paris dan berharap bisa saling bertemu kelak di Ibu Kota Budaya dari dunia ini. Dia bahkan mengajar saya berbahasa Perancis. Sejak tahun 1954 saya menjadi pembantu dari dua orang Guru Besar di FE-Ui (Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia). Pertama, sebagai asisten-akademis dari Prof. Dr. Scheffer, untuk ilmu ekonomi moneter. Kedua, asistenadministratif Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, untuk pendirian fakultas ekonomi di beberapa daerah luar Jawa menurut model the Jakarta School of Economics yang dipeloporinya. Di samping menjadi Ketua Jurusan Ekonomi Umum, saya mendirikan pula jurusan baru, yaitu Ekonomi Pemerintahan (Public Economic Administration) dengan bantuan keuangan dari Ford Foundation. Berkat prestasi akademis dan administratif saya tersebut, lembaga filantropis

Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur

171

Amerika ini di tahun 1963 memberikan saya beasiswa untuk melanjutkan studi (S-3) ke luar negeri. Saya memilih Sorbonne, bukan Berkeley, dan Ford Foundation tidak keberatan, setelah saya jelaskan alasan-alasannya. Sudah tentu sebagai alasan-alasan utama yang saya ajukan adalah pertimbangan-pertimbangan akademis, keilmuan, baru menyusul kultural, jadi meliputi semua aspek kepribadian intelektual menurut ukuran Barat, terutama Eropa. Namun sungguh aneh bin ajaib, pimpinan Fakultas Ekonomi tidak menyetujuinya. Dekan, atas anjuran Pembantu Dekan I, meminta saya belajar ke Amerika, sama dengan dosen-dosen muda lainnya. Prof. Sumitro sudah menyingkir ke luar negeri untuk menghindari arestasi pemerintah karena turut PRRI-Permesta memberontak terhadap rezim Soekarno. Karena itu tidak ada dosen senior yang berkompetensi untuk membantu dan membela saya. Berhubung pimpinan FE-UI menolak, Ford Foundation menjadi ragu-ragu, namun tidak menarik tawaran beasiswanya. Ia baru bersedia memberi kalau Pemerintah Indonesia menyetujui kepergian saya ke Perancis. Sementara itu hubungan bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat mulai memburuk dan Bung Karno sudah mulai mengusir beberapa perusahaan dan lembaga Amerika.
Sketsa Arca Budha Borobudur karya Daoed Joesoef

172

Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur

Menurut proses perizinan belajar ke luar negeri yang berlaku, izin awal harus datang dari Dekan. Izin Dekan ini menjadi dasar pertimbangan dasar dari Rektor dan dari sini baru ke Biro Menteri. Berhubung Dekan menolak pemberian izin, saya akhirnya memutuskan untuk langsung menemui Menteri. Ketika itu pendidikan tinggi berada di bawah wewenang Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) dan menterinya adalah Prof. Dr. Syarief Thayeb. Sesudah mendengarkan uraian saya Pak Menteri, yang juga berasal dari Aceh, ikut heran dan sentimen nasionalnya kelihatan agak tersinggung. Menurut dia penolakan Dekan tak masuk di akal. Di zaman penjajahan dahulu

semua anak Indonesia digiring ke negeri Belanda melulu. Sekarang, di zaman kemerdekaan, dikerahkan belajar ke Amerika saja? Lebih aneh lagi, Lembaga Amerika, Ford Foundation bersedia memberikan beasiswa untuk belajar ke luar negeri bukan Amerika, kenapa pimpinan FE-UI menolaknya mentahmentah. Dengan pendirian seperti itu, Menteri Syarief Thayeb pada saat itu juga memberikan izin tertulisnya, atas nama pemerintah Indonesia, seperti yang diminta oleh Ford Foundation. Seminggu kemudian, di pertengahan bulan Oktober 1964, saya sekeluarga bisa terbang ke Paris. Istri saya, Sri Soelastri, yang adalah dosen Hukum Adat di UI, sebenarnya

Sketsa patung singa yang ditempatkan dalam palet-palet pada saat pemugaran II ( karya Daoed Joesoef)

Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur

173

mendapat tawaran dari the Rockefeller Foundation, untuk menempuh pendidikan S-3 di mana saja yang dia kehendaki, kalau perlu ke Perancis. Namun istri saya dengan berat hati menolaknya mengingat anak kami ketika itu, yang sudah kami tunggu-tunggu selama empat tahun, baru berusia satu tahun dua bulan, berarti memerlukan perhatian penuh dari ibunya. Tiga minggu kemudian Bung Karno memutuskan untuk menutup kantor Ford Foundation yang terletak di bilangan Kebon Sirih. Namun pemberian beasiswa tetap terjamin karena langsung dikirim dari kantor pusat Ford Foundation yang ada di New York. Dua tahun kemudian jumlah beasiswa bahkan dinaikkan, tanpa saya minta, berdasarkan atas prestasi belajar saya di Sorbonne yang secara teratur saya laporkan. Belakangan saya dengar hal tersebut malah menambah geregetan pimpinan FE-UI, karena dosen-dosen yang belajar di Amerika tidak dilayani seperti itu. Selain menjadi Ibu Kota Republik Perancis, Paris ditetapkan PBB sebagai tempat kedudukan UNESCO, yaitu lembaga PBB yang mengurus soal-soal pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Secara teratur saya mengunjungi lembaga internasional ini karena perpustakaannya relatif lengkap sekali, seminarnya terbuka untuk setiap orang tanpa bayaran, demikian pula pameran-pameran

karya seni dan budaya dari berbagai bangsa, baik yang berasal dari zaman prasejarah, sejarah kuno dan kontemporer. Melalui kegiatan-kegiatan UNESCO inilah saya mengetahui bahwa lembaga PBB yang satu ini memupuk dana yang khusus disediakan untuk membiayai pemugaran monumen nasional yang diakui punya makna penting bagi kemanusiaan sebagai keseluruhan. Dana internasional ini akan bebas dalam tempo duatiga tahun lagi untuk diperebutkan di antara negara-negara anggotanya. Ketika itu dana tersebut sedang dipakai membiayai proyek Abu Siimbel, di tepi Sungai Nil. Proyek ini untuk menyelamatkan patung-patung besar yang terpahat di batu karang di tepi Sungai Nil yang terancam terbenam oleh kenaikan permukaan berhubung Presiden Nasser dari Mesir membendung sungai ini hingga terbentuk sebuah dam besar untuk pembangkit tenaga listrik dan penyaluran air irigasi yang lebih merata dan meliputi area pertanian yang lebih luas. Indonesia adalah sebuah member-state dari UNESCO, tetapi berbeda dengan kebanyakan negara-negara merdeka lainnya, Negara-Bangsa kita ini tidak mempunyai suatu perwakilan khusus untuk dan di lembaga intelektual PBB yang satu ini. Hubungan dan urusan dengannya dirangkapkan pada

174

Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur

Kedutaan Besar RI di Paris. Maka tidak mengherankan kalau sikap Kedutaan kita ini dingin-dingin saja ketika saya laporkan ada kesempatan baik bagi Indonesia di UNESCO untuk mendapatkan dana yang sangat diperlukan bagi perbaikan Borobudur. Alih-alih mengambil langkah yang diperlukan demi merebut kesempatan emas tersebut, para diplomat senior di Kedutaan malah bersikap menunggu sampai ada petunjuk dari Jakarta. Padahal saya dengar pemerintah pernah mengajukan permintaan bantuan UNESCO untuk perbaikan candi kita tersebut di tahun 1955. Justru karena sudah ada permintaan itu maka mereka lebih bersikap wait and see karena tidak mau dianggap ngerusuhi kerjaan lembaga internasional ini. Padahal setiap tahun kita selalu melunasi iuran keanggotaan kita di situ. Namun saya tidak mau pasrah begitu saja. Saya terus mendesak Pak Dubes untuk bersikap proaktif. Bagaimana mungkin Pemerintah Pusat di Jakarta akan memberi petunjuk kalau KBRIParis tidak memberi laporan bahwa akan ada dana di UNESCO yang tersedia untuk diperebutkan oleh negara-negara anggota bagi pemugaran bangunan kuno yang dikategorikan sebagai human heritage yang ada di wilayahnya. Dan Borobudur pasti berhak disebut demikian mengingat sejak ditemukan

kembali di tahun 1814, ia sudah dalam keadaan terlantar, abandoned, sudah tidak berfungsi lagi sebagai tempat ibadah. Pada asasnya UNESCO memang tidak memugar tempat ibadah, tidak berurusan dengan masalah agama. Menurut penampilannya sekarang Borobudur tinggal berupa peninggalan budaya universal yang tidak ada duanya di belahan bumi sebelah Selatan, yang menunjukkan kekhususan yang mencerminkan kebudayaan Indonesia par excellence, walaupun pembangunannya dahulu tidak bebas dari pengaruh agama Buddha Mahayana yang juga menjadi kepercayaan religius di berbagai daerah di Asia. Pak Dubes dan staf diplomatnya kelihatan tidak tertarik pada semua argumen yang saya ajukan. Namun keengganan mereka untuk bertindak seperlunya saya kira, lebih karena tidak siap untuk berdiskusi secara akademis mengenai hal-hal yang bersifat kultural, historis, apalagi keilmuan. Alih-alih membalik-balik buku yang bermutu di perpustakaan, mereka lebih senang membolak-balik brosur penawaran mobil mewah dan menggunakan waktu senggangnya di setiap weekends dan harihari libur untuk sight-seeing di Eropa, mumpung ada kesempatan. Melihat sikap yang menjijikkan ini saya pernah berniat membuat buku yang berjudul the ugly Indonesians. Kebencian rupanya memang bisa timbal-

Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur

175

balik. Mereka jadi bersikap memusuhi saya. Saya dilarang belajar di kelder KBRI, padahal sebagai gudang bawah tanah, tempat menyimpan barang-barang yang rusak tidak terpakai lagi, kehadiran saya di situ mengganggu proses kerja para diplomat kita. Lagi pula saya berstatus pegawai negeri seperti mereka, yang sedang bertugas belajar, bedanya hanya dalam paspor masing-masing, mereka berpaspor diplomatik sedangkan saya berpaspor dinas. Saya memang sesekali, tidak setiap hari, belajar di kelder itu karena di situ ada white board yang masih bisa dipakai untuk latihan matematika yang terkait dengan ekonometri atau mempersiapkan seminar wajib doktoral dua minggu lagi. Selain ini saya dilarang, selaku Ketua PPI-Perancis, untuk memakai alamat KBRI sebagai alamat pos PPI yang sudah berjalan lama, jadi saya hanya meneruskan saja kebiasaan yang saya anggap baik. Padahal saya tahu persis bahwa nyaris semua mahasiswa Amerika yang belajar di Paris, mengalamatkan surat-surat pribadi mereka ke kantor Kedutaan Besar Amerika yang ada di Paris. Lagi-lagi saya tidak mau menyerah begitu saja. Malah situasi yang tidak membantu ini saya anggap sebagai suatu tantangan pribadi yang harus saya respons selayaknya selaku warga

negara Indonesia yang bertanggung jawab yang menyadari masalah krusial bangsa dan selaku pegawai negeri di jajaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang bertugas mengurus Borobudur, bangunan kultural. Saya tetap hadir dan aktif ikut bicara selaku intelektual independen dalam diskusi-diskusi interaktif UNESCO yang membahas masalah human heritage. Saya berusaha menyakinkan dunia internasional tentang urgensi penyelamatan Candi Borobudur bagi kemanusiaan dan peradaban yang karenanya perlu dibantu. Saya

Sketsa laboratorium Borobudur karya Daoed Joesoef

176

Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur

terus-menerus mengucapkan, ...we, Indonesians, are not lacking wants for higher means, but we are lacking mean for higher wants... Untuk memperoleh data mutakhir yang akurat tentang keadaan candi saya minta bantuan adik saya, Soelaiman Joesoef, seorang antropolog lulusan UI, yang menjabat sebagai kurator di Museum Pusat Jakarta. Akhirnya saya menulis surat langsung kepada Pak Mashuri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang sudah saya kenal sejak zaman revolusi fisik, selaku sesama anggota Tentara Pelajar, dia dari daerah Surakarta, saya dari daerah Yogyakarta. Selain menjelaskan

adanya kesempatan untuk turut rebutan dana UNESCO, saya memerlukan identitas resmi membenarkan saya untuk mengambil keputusan, tidak hanya sekedar menjelaskan masalah selama diskusi. Respons Pak Mashuri sangat positif. Dia mengangkat saya sebagai penasihat Delegasi Indonesia untuk UNESCO yang secara formal berkunjung ke Paris dua tahun sekali untuk menghadiri General Conference dimana dibahas dan diputuskan program kerja dan anggaran yang terkait dengan itu selama dua tahun mendatang. Karena ketiadaan dana pemerintah kita tidak bisa mengirim fungsionarisnya dari Jakarta ke Paris untuk menghadiri setiap kali diadakan diskusi arkeologis dan usaha penyelamatan monumen nasional. Sebenarnya kekurangan ini tidak terlalu menghambat usaha perebutan dana pemugaran kalau saja KBRI kita di Paris menjalankan fungsinya dengan baik. Dari Pak Mashuri saya ketahui bahwa Dubes Indonesia di Paris sebenarnya bertugas ganda, sebagai Ketua Perwakilan RI di Republik Perancis dan Ketua Perwakilan RI di UNESCO yang kebetulan bermarkas di Paris. Jadi dia dan/atau staf diplomatnya yang sebenarnya harus menghadiri diskusi-diskusi harian yang membahas kepentingan RI di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Namun karena mereka tidak

Sketsa situasi pemugaran II Candi Borobudur karya Daoed Joesoef

Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur

177

peduli, saya bertekad terus berjuang sendirian, adakalanya harus membolos kuliah, untuk mendapatkan dana pemugaran Borobudur. Apalagi yang menjadi saingan candi kita ini dalam rebutan dana internasional yang dikelola oleh UNESCO ketika itu cukup berbobot juga, yaitu kota air Venesia (Italia) yang terancam tenggelam dan Mohenjodaro, sebuah ruin kerajaan tua di Pakistan. Keadaan berubah secara diamentral ketika terjadi perubahan Dubes kita di Paris. Dubes baru ini juga seorang perwira tinggi AD, Letjen Askari (1969). Tiga hari setelah mulai bertugas, saya langsung mengajukan permohonan audiensi. Dalam pertemuan pertama ini, yang berlangsung hampir tiga jam, saya paparkan keadaan mahasiswa Indonesia di Perancis and Eropa, selaku Ketua PPIPerancis dan masalah Borobudur, selaku penasihat Delegasi Indonesia untuk UNESCO. Sikap Pak Askari sangat reasonable. Dia tidak hanya menghargai pendapat saya tetapi juga menerima keterbukaan dan keterusterangan saya. Dia berkata memahami benar temperamen orang Aceh karena selama periode revolusi fisik dia ditugaskan oleh Pemerintah Pusat untuk mendampingi Daoed Bereuh di Aceh. Dia sepakat dengan usul saya agar Presiden menetapkan sebuah perwakilan tersendiri bagi dan di UNESCO yang dipimpin

oleh seorang Dubes yang direkrut dari jajaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. PPIPerancis diijinkan kembali beralamatkan KBRI karena KBRI adalah milik semua warga Indonesia yang sedang bermukim di Perancis. Dia tidak keberatan saya belajar di kantor yang dipimpinnya, bahkan akan menyediakan satu kamar khusus, tidak lagi di khelder. Hal ini saya tolak, saya sudah senang diijinkan belajar kembali di khelder, sebab tidak setiap hari, hingga penggunaan kantor bisa lebih efisien dan efektif kalau digunakan untuk kegiatan diplomatis murni. Dia bahkan mendanai saya pulang ke Indonesia selama sebulan, menemui pejabat-pejabat terkait masalah Borobudur agar mereka betul-betul memahami apa yang sedang dipertaruhkan. Sementara menunggu keputusan dari Pemerintah Pusat, Pak Askari meminta saya tetap bertugas di UNESCO di samping berkuliah di Sorbonne. Seorang diplomat dari KBRI dia perintahkan mendampingi saya dalam melaksanakan tugas perwakilan RI di UNESCO. Kemudian dia mengharapkan saya mulai mencari calon-calon yang kapabel selaku staf lokal dari perwakilan kita di UNESCO. Akhirnya Borobudur keluar sebagai pemenang dalam perebutan dana internasional yang kita butuhkan bagi usaha pemugarannya. Pada bulan Januari 1971 International Panel

178

Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur

Meeting yang diadakan di Yogyakarta unanimously agrees that the only way to save Borobudur from disintegration is to dismantle and rebuild the square terraces. Terkait erat dengan keputusan itu, pada bulan April di tahun yang sama, Pemerintah Indonesia membentuk Badan Pemugaran Candi Borobudur, yaitu instansi resmi yang bertanggung jawab atas penanganan semua aspek yang terkait dengan karya besar restorasi dan UNESCO, bersamaan dengan itu, menetapkan petugasnya sebagai koordinator. Karena lembaga PBB ini sudah menyetujui untuk membantu pemugaran Borobudur, ia semakin sering mengirim

delegasinya ke Indonesia, yang terdiri dari ilmuwan dari berbagai disiplin dan pakar dalam berbagai bidang yang diperlukan oleh kerja penyelamatan candi. Di Indonesia mereka ini mendapat kesempatan tidak hanya mengunjungi Borobudur, tetapi lebih-lebih bertemu dan bertukar pikiran dengan tenaga ahli kita sendiri, memang relatif sedikit jumlahnya, tetapi merupakan orang-orang yang serius dan handal di bidangnya masing-masing. Rupanya ahli-ahli asing itu sangat terkesan dengan kemampuan ahli-ahli kita tersebut dalam bersama-sama menyusun rencana kerja yang terpadu, terarah, sistematik dan rasional. Begitu rupa hingga UNESCO memberitahukan negara-negara Asia yang mempunyai juga candi-candi yang terancam runtuh, dengan persetujuan Pemerintah Indonesia, agar memanfaatkan kerja pemugaran Candi Borobudur sebagai tempat training fungsionaris mereka untuk mendapat pengalaman, pengetahuan dan ketrampilan teknis yang diperlukan bagi usaha penyelamatan warisan budaya/monumen nasional masing-masing. Pada pertengahan tahun 1972 Pemerintah Indonesia memutuskan untuk membentuk sebuah perwakilan khusus di UNESCO dan bermarkas di kompleks perkantoran duta besar dari negara-negara anggota lainnya yang

Sketsa situasi pemugaran II Candi Borobudur karya Daoed Joesoef

Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur

179

disediakan oleh UNESCO demi kemudahan dan kelancaran berkomunikasi satu sama lain. Dubes kita di situ direkrut dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, persis seperti yang pernah saya anjurkan dan diperjuangkan oleh Pak Askari dengan gigih. Pak Dubes adalah Prof. Drs. Soepojo Padmodipoetro, Sekjen Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan mantan Rektor Universitas Gadjah Mada. Saya pun berhasil mendapatkan staf lokal yang handal untuk perwakilan kita di UNESCO ini. Dia adalah saudara M. Zaini, alumnus IKIP Malang, yang melanjutkan studi kependidikannya di Amerika dan Belanda, dan kemudian ke Paris untuk mendalami seni lukis. Pada bulan Desember di tahun yang sama UNESCO membentuk Consultative Committee dan melansir international appeal for the restoration of Borobudur. Pada tanggal 27 Januari 1973 Pemerintah Indonesia dan UNESCO menandatangani a formal agreement for the implementation of the Borobudur Restoration Project. Karena merasa tugas saya sudah selesai, saya mengundurkan diri dari keterlibatan saya dengan urusan-urusan UNESCO, guna memusatkan kembali perhatian sepenuhnya pada studi doctoral di Sorbonne. Walaupun begitu saya menyatakan selalu bersedia memberikan pendapat bila dianggap perlu.

Hubungan persahabatan antara Pak Askari dan saya berkembang semakin akrab. Karena saya tidak lagi belajar di khelder berhubung ujian mata pelajaran ekonometri telah saya tempuh dengan baik, dia sesekali mengundang saya ke kantornya untuk bertukar pikiran tentang hakikat aneka peristiwa di Eropa Barat dan Timur yang sedang bergejolak dalam rangka Perang Dingin. Dia senang karena dalam berdiskusi saya selalu menggunakan idiom militer yang membentuk penalarannya selama ini. Saya mampu berbuat demikian karena saya mengikuti juga kuliah strategi yang diberikan oleh Jenderal Beauffre yang diakui sebagai

Sketsa bengkel peralatan pemugaran Candi Borobudur karya Daoed Joesoef

180

Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur

bapak persenjataan nuklir Perancis. Undangan berdiskusi semakin kerap, hingga kadangkadang saya terpaksa menolak, ketika PBB menetapkan Paris sebagai tempat permanen untuk pembicaraan perdamaian tiga segi antara Vietnam Utara, Vietnam Selatan dan Amerika Serikat. Diskusi-diskusi ini semakin menyuburkan hasrat saya untuk kelak mendirikan suatu lembaga pengkajian strategis dan hubungan internasional. Kerja besar pemugaran Borobudur secara resmi dimulai pada tanggal 10 Agustus 1973. Lembaga tertinggi pemerintah yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pemugaran ini adalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pada tahun 1978, lima tahun setelah saya kembali ke Tanah Air, saya ditetapkan oleh Presiden Soeharto sebagai Menteri dari departemen tersebut dan dengan sendirinya berkewajiban mengawasi kelancaran kegiatan pemugaran Candi Borobudur. Maka terjadilah kontak-kontak fisik dan idiil yang serba intensif antara sang candi dengan saya yang saya tanggap dan hayati sebagai suatu panggilan sejarah yang harus dipenuhi, kalaupun bukan sebagai suatu suratan takdir (destiny). Setiap kali saya mengadakan kunjungan
Prasasti peresmian dimulainya pemugaran Candi Borobudur pada tanggal10 Agustus 1973

mendengar serta membahas progress report dari para teknisi-penanggung jawab kerja di lapangan, saya menyempatkan diri untuk membuat sketsa tentang kegiatan-kegiatan yang ada di situ. Melalui sketsa-sketsa ini saya ingin mengabadikan bagaimana anak-anak bangsa dari generasi abad XX berusaha menyelamatkan karya monumental dari generasi abad VIII dengan menggunakan alatalat konstruksi modern yang ketika itu tidak ada dan mungkin pula belum terbayangkan oleh para pembangun candi pada masanya. Pada bulan Oktober 1982, setelah bekerja keras, tekun, teliti dan sistematik, kerja restorasi candi dinyatakan selesai. Biaya yang telah dikeluarkan tercatat sebesar dua puluh juta US dolar dan dua per tiga di antaranya berasal dari kas Pemerintah Indonesia. Dari jumlah sebesar ini, setelah diperiksa oleh auditor internasional, tidak ada satu sen pun yang dikorup. Jadi betulbetul suatu karya yang bermartabat dari orangorang yang bermartabat. Bukan tidak ada kritik terhadap usaha pemugaran ini. Tidak kurang dari seorang Sutan Taksir Alisyahbana, seorang intelektual dan budayawan kondang, yang menganggap pengeluaran uang sebesar itu tidak efektif bagi perjalanan bangsa. Adalah lebih bermanfaat, menurut dia, kalau dana itu bukan dipakai untuk merehabilitasi masa lalu tetapi membangun

kerja ke tempat pemugaran untuk melihat sendiri hasil kerja yang sudah dicapai dan

Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur

181

masa depan, berupa pembangunan pendidikan dan infrastruktur yang diperlukan bagi pembangunan ekonomi nasional. Sebagai jawaban saya katakan bahwa pendidikan adalah bagian dari kebudayaan, berupa sistem nilai yang kita hayati. Borobudur adalah salah satu dari nilai tersebut dan begitu tinggi nilai itu hingga kalau kita biarkan pupus begitu saja tidak akan bisa dimaafkan oleh nurani. Pemugaran candi ini merupakan kekaguman dan penghormatan kita kepada semua pencipta Candi Borobudur dahulu, para local genius yang sampai sekarang tidak kita ketahui namanya. Pemugaran ini dalam dirinya adalah juga hasil renungan syntypical tentang sejarah sebuah bangsa dimana sejarahnya sendiri dilihat sebagai satu dari unsur-unsur pola kebudayaannya. Sebagai suatu Negara-bangsa boleh saja kita dianggap muda, tetapi selaku makhluk manusia yang kini berhasil mengelompok menjadi satu Bangsa, kita ternyata mempunyai suatu masa lalu yang cukup tua, cukup panjang dan cukup gemilang, bernenek moyang terampil dan berbudi tinggi. Salah satu bukti dari semua itu adalah Candi Borobudur. Kecaman yang pedas juga ternyata datang dari kelompok orang-orang yang mengaku beragama Islam. Isi kecaman bahkan bersifat sangat pribadi. Bagaimana mungkin,

menurut mereka, seorang muslim yang notabene bernama Daoed Joesoef, nama dari dua orang nabi, keturunan Aceh, bekerja keras membangun kembali berhala menjelang runtuh. B e r b e d a d e n g a n s i k a p S u t a n Ta k d i r Alisyahbana yang secara gentleman menemui saya di kantor untuk menyatakan pandangan kritisnya, kelompok yang mengatasnamakan Islam ini bergerak secara sembunyi di malam hari. Mereka menyebarkan surat selebaran di dalam kegelapan dan sesekali melemparkan batu ke arah proyek. Maka kepada para pekerja, yang sebagian besar adalah penganut agama Islam, saya katakan supaya bekerja terus tanpa

Sketsa situasi pemugaran II Candi Borobudur karya Daoed Joesoef

182

Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur

ragu dan takut. Kepada mereka saya katakan bahwa hidup ini sebaiknya bercermin pada kehidupan sebuah sungai. Sebagai tanda hidup ia terus mengalir, selalu bisa mengatasi hambatan, mengarah ke tujuannya yang terakhir. Namun dalam tetap mengalir itu ia tidak pernah memutuskan diri dari sumbernya barang sedetik, ia tetap berhubungan dengan asal-usul kejadianya. Bagi manusia yang hidup dan terus bergerak menuju akhir kehidupan itu, asal-usul yang tidak boleh dilupakannya adalah kebudayaannya, sistem nilai yang dihayatinya. Dan Candi Borobudur merupakan sebuah karya seni-budaya yang cukup membanggakan dan bahkan turut dikagumi oleh manusia-manusia dari bangsa-bangsa lain yang terpelajar dan beradab. Pa d a t a n g g a l 2 3 Fe b r u a r i 1 9 8 3 pemugaran Candi Borobudur dengan resmi dinyatakan berakhir dengan sukses, sesuai dengan rencana kerja semula, oleh Presiden Republik Indonesia dengan disaksikan Direktur Jenderal UNESCO. Di antara tokoh-tokoh nasional yang diundang menghadiri hari bersejarah ini, saya tetapkan Adi Putera Parlindungan, yang sementara itu sudah menjadi Guru Besar dan Rektor dari Universitas Sumatera Utara. Sayang dia tidak dapat memenuhi undangan tersebut hingga tidak
Prasasti peresmian selesainya pemugaran II Candi Borobudur tanggal 23 Februari 1983

lakukan 30 tahun yang lalu, sewaktu masih sama-sama mahasiswa, yaitu duduk berduaan di puncak tertinggi Candi Borobudur. Hasrat ini baru dapat terwujud dua minggu kemudian ketika dia sudah sembuh dari penyakit yang ketika itu membuatnya berhalangan hadir. Kalau dahulu dari atas kelihatan sekali betapa kumuh dan reyotnya Borobudur, kini kami berdua menyaksikan dari ketinggian sebuah bangunan kuno yang asri dan megah dan anggun sekali. Kami berdua lebih banyak diam saja, tidak ingin menganggu suasana yang kebetulan sedang hening, sunyi dan sepi. Kami tahu sudah tidak muda lagi, sudah berumah tangga dan punya anak. Namun kami menyadari bahwa masingmasing memegang jabatan publik yang punya tanggung jawab besar di bidang pendidikan dan kebudayaan, yang langsung menentukan perkembangan kecerdasan kehidupan bangsa, seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945. Menurut perhitungan para teknikus, dengan pemugaran ini Borobudur akan mampu bertahan selama 1000 tahun lagi. Bila sesudah itu candi ini runtuh dan tidak terselamatkan lagi, orang-orang Indonesia seharusnya mampu menciptakan nilai-nilai spektakuler lain sebagai pengganti yang bisa dibanggakan sesuai dengan pandangan hidup zamannya. Sampai sekarang kalau sesekali saya berkesempatan menatap bulan purnama, saya

dapat saya ulangi lagi apa-apa yang kami

Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur

183

tentu terkenang Borobudur, my ageless Borobudur. Saya bangga bisa belajar keluar negeri, di perguruan tinggi yang saya pilih sendiri, yang merupakan impian sejak kecil, dengan dibiayai oleh lembaga filantropis asing, jadi tidak mengusik pajak rakyat dan dengan persetujuan pemerintah. Saya bangga telah berani melawan kehendak pimpinan FE-UI dan tidak menyesak telah berseteru dengan salah seorang Dubes dari KBRI-Paris. Andaikata saya tidak ke Paris, tidak ada yang mau tahu bahwa ada dana pemugaran dari UNESCO. Andaikata saya bersikap tidak peduli demi hubungan baik dengan sang Dubes, bapak komunitas Indonesia di Perancis, dana pemugaran itu pasti jatuh ke tangan negeri lain. Dengan kata lain, Borobudur runtuh, who cares?! Setelah saya pikir-pikir sekarang, Tuhan beralasan memberkahi sikap nonkonformis saya. Saya ditakdirkan olehNya untuk menyelamatkan Borobudur selama 1000 tahun lagi dan tidak sekedar menjadi warga Indonesia pertama yang berhasil meraih gelar Docteur d'Etat di Sorbonne, jenis gelar akademis tertinggi yang bergengsi di lingkungan pendidikan universitas Perancis. Sekali merangkuh dayung dua-tiga pulau terlampaui.
Foto udara situasi pemugaran II Candi Borobudur

Situasi pemugaran II Candi Borobudur

184

Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur

BIODATA PENULIS Prof. Dr. Daoed Joesoef, lahir di Medan pada tanggal 8 Agustus 1926. Setelah lulus SMA tahun 1949 di Yogyakarta, meneruskan kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Sempat bekerja sebagai dosen di almaternya tersebut (19581965), berturut-turut meraih gelar Certificate Doctorate de l'Universite, mention droit pada tahun 1967, Diploma d'Etudes Superiurs tahun 1973 dan Docteur es Sciences economiques tahun 1973, kesemuanya dari Universite de Paris. Selain karir di bidang akademik, terdapat pula karir di bidang militer sebagai seorang tentara pelajar dengan jabatan terakhir sebagai Letnan Muda di Komando Militer Kota Besar Jakarta Raya (1950 1952). Selain itu juga pernah menjabat sebagai direktur CSIS pada tahun 1970-1973. Puncak karir tercapai ketika menjabat sebagai Menteri Kebudayaan dan Pendidikan pada tahun 19781983 yang membuatnya terlibat aktif dalam Pemugaran II Candi Borobudur.

Das könnte Ihnen auch gefallen