Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
A. Pengertian
Stroke atau cedera serebrospinal (CVA), adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplay darah ke bagian otak. Sering ini adalah kulminasi penyakit serebrovaskular selama beberapa tahun. Stroke adalah deficit neurologist akut yang disebabkan oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak dengan tanda dan gejala sesuai dengan daerah fokal otak yang terkena (WHO, 1989). B. Klasifikasi stroke Berdasarkan proses patologi dan gejala klinisnya stroke dapat diklasifikasikan menjadi : 1. stroke hemoragik Terjadi perdarahan cerebral dan mungkin juga perdarahan subarachnoid yeng disebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Umumnya terjadi pada saat melakukan aktifitas, namun juga dapat terjadi pada saat istirahat. Kesadaran umumnya menurun dan penyebab yang paling banyak adalah akibat hipertensi yang tidak terkontrol. 2. stroke non hemoragik Dapat berupa iskemia, emboli, spasme ataupun thrombus pembuluh darah otak. Umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau angun tidur. Tidak terjadi perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena hipoksia jaringan otak. Stroke non hemoragik dapat juga diklasifikasikan berdasarkan perjalanan penyakitnya, yaitu : a. TIAS (Trans Ischemic Attack) Yaitu gangguan neurologist sesaat, beberapa menit atau beberapa jam saja dan gejala akan hilang sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam. b. Rind (Reversible Ischemic Neurologis Defict) Gangguan neurologist setempat yang akan hilang secara sempurna dalam waktu 1 minggu dan maksimal 3 minggu. c. stroke in Volution
Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan yang muncul semakin berat dan bertambah buruk. Proses ini biasanya berjalan dalam beberapa jam atau beberapa hari. d. Stroke Komplit
Kolesterol tubuh yang tinggi dapat menyebabkan aterosklerosis dan terbentuknya embolus dari lemak.
8. Obesitas Pada obesitas dapat terjadi hipertensi dan peningkatan kadar kolesterol sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada pembuluh darah, salah satunya pembuluh drah otak. 9. Perokok Pada perokok akan timbul plaque pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga terjadi aterosklerosis. 10. kurang aktivitas fisik Kurang aktivitas fisik dapat juga mengurangi kelenturan fisik termasuk kelenturan pembuluh darah (embuluh darah menjadi kaku), salah satunya pembuluh darah otak.
D. Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya infark tergantung pada factor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan local (thrombus, emboli, perdarahan, dan spasme vascular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung. Aterosklerosis sering sebagai factor penyebab infark pada otak. Thrombus dapat berasal dari plak aterosklerotik, atau darah dapat beku pada area yang stenosis, tempat aliran darah mengalami perlambatan atau terjadi turbulensi. Thrombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam aliran darah. Thrombus dapat mengakibatkan iskemi jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar area. Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya edema
klien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh karena thrombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti thrombosis. Jika terjadi septic infeksi akan meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisme pembuluh darah. Hal ini menyebabkan perdarahan serebral, jika aneurisme pecah atau rupture. Perdarahan otak disebabkan oleh rupture arteriosklerotik dan hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering menyebabkan kematian dibandingkan keseluruhan penyakit serebrovaskuler, karena perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan intracranial, dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falks serebri atau lewat foramen magnum. Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nucleus kaudatus, thalamus dan pons. Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral. Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversible untuk waktu 4-6 menit. Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung. Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relative banyak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial dan penurunan tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar dan kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan saraf di area yang terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi. Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Jika volume darah lebih dari 60 cc maka risiko kematian sebesar 93% pada perdarahan dalam dan 71% pada perdarahan lobar. Sedangkan jika terjadi perdarahan serebelar dengan volume antara 30-36 cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75%, namun volume darah 5 c dan terdapat di pons sudah berakibat fatal. (Muttaqin, Arif, 2008)
1. Pengaruh terhadap status mental Tidak sadar : 30% 40% Konfuse : 45% dari pasien biasanya sadar Hemiplegia kontralateral yang disertai hemianesthesia (30%-80%) Afasia bila mengenai hemisfer dominant (35%-50%) Apraksia bila mengenai hemisfer non dominant(30%) hemiplegia dan hemianesthesia kontralateral terutama tungkai (30%80%)
Nyeri spontan pada kepala Afasia bila mengenai hemisfer dominant (35-50%) Sering fatal karena mengenai pusat-pusat vital di batang otak Hemiplegia alternans atau tetraplegia Kelumpuhan pseudobulbar (kelumpuhan otot mata, kesulitan menelan,
emosi labil)
Apabila dilihat bagian hemisfer mana yang terkena, gejala dapat berupa:
Hemiparese sebelah kiri tubuh Penilaian buruk Mempunyai kerentanan terhadap sisi kontralateral sebagai kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan
o o o o
mengalami hemiparese kanan perilaku lambat dan sangat berhati-hati kelainan bidang pandang sebelah kanan
o o o
1. stroke hemisfer kiri F. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. CT Scan Memperlihatkan adanya edema , hematoma, iskemia dan adanya infark. 2. Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri. 3. Pungsi Lumbal
Menunjukan adanya tekanan normal. Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya perdarahan.
4. MRI : Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik. 5. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena. 6. Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal. G. PENATALAKSANAAN STROKE Pencegahan Primer Stroke Pendekatan pada pencegahan adalah mencegah dan mengobati faktor-faktor resiko yang dapat dimodifikasi. Hipertensi adalah faktor resiko paling prevalen, dan telah dibuktikan bahwa penurunan tekanan darah memiliki dampak yang sangat besar pada resiko stroke. Akhir-akhir ini perhatian ditujukan kepada pentingnya hipertensi sistolik saja (isolated systolic hypertension, ISH), yang sekarang dianggap sebagai faktor resiko utama untuk stroke (Domanski et al., 1999). Diuktikan bahwa terapi aktif terhadap ISH secara bermakna menurunkan resiko stroke, terutama pada pasien berusia lanjut. Pada sebuah uji klinis acak, pengidap ISH yang mendapat penyekat saluran kalsium nitrendipin (Cardif, Nitrepin) memperlihatkan penurunan 42% dalam stroke fatal dan nonfatal selama periode rata-rata 2 tahun (JNC VI, 1997;Staessen et al.,1997). The European Stroke Initiative (ESI, 2000) telah mempublikasikan rekomendasi untuk penatalaksanaan stroke yang mencerminkan praktik yang
sekarang dijalankan. Rekomendasi pencegahan primer yang paling terinci dan banyak diteliti adalah bahwa antikoagulasi oral harus digunakan sebagai profilaksis primer terhadap semua pasien dengan fibrilasi atrium yang beresiko tinggi mengalami stroke pengidap hipertensi, usia lebih dari 75 tahun, embolisme sistemik, atau berkurangnya fungsi ventrikel kiri. ESI
merekomendasikan INR sasaran sebesar 2,5 untuk antikoagulasi. INR sasaran lebih rendah (2,0) untuk pasien berusia lebih dari 75 tahun yang beresiko tinggi mengalami perdarahan otak. Karena fibrilasi atrium meningkatkan resiko mengalami stroke hamper lima kali lipat, maka antikoagulasi padapopulasi ini sangatlah penting. Pendekatan pencegahan primer penting yang kedua adalah mempertimbangkan endarterektomi karotis (CEA) pada pasien simtomatik dengan bising karotis, terutama dengan stenosis 60% 90%. Penatalaksanaan diabetes yang baik merupakan faktor penting lain dalam pencegahan stroke primer. Meningkatnya kadar gula darah secara
berkepanjangan berkaitan erat dengan disfungsi endotel yang pada gilirannya memicu terbentuknya aterosklerosis (Laight et al., 1999). Selain itu, terdapat suatu komponen kelainan metabolisme pada diabetes mellitus yang baru diketahui yang disebut sebagai keadaan protrombik, pada keadaan protrombik ini terjadi peningkatan kadar inhibitor activator plasminogen 1 (plasminogen activator inhibitor-1; PAI-1) (Bastard et al., 2000). Kecenderungan membentuk bekuan abnormal semakin dipercepat oleh resistensi insulin sehingga kecendrungan mengalami koagulasi intravascular semakin meningkat (Laakso, 1999). Terdapat dua pendekatan utama pada pencegahan stroke : (1) strategi kesehatan masyarakat atau populasi dan (2) strategi resiko tinggi. Strategi populasi didasarkan pada peraturan dan program pendidikan yang bertujuan mengurangi prilaku beresiko pada seluruh populasi. Strategi resiko tinggi mengarahkan upaya untuk orang-orang yang memiliki resiko stroke di atas rata-rata. Agar hemat biaya, pendekatan resiko tinggi harus didasarkan pada resiko basal (absolut) seseorang mengalami suatu kejadian dan bukan didasarkan pada usia atau pertimbangan resiko relative yang berkaitan dengan satu faktor resiko.
Pada semua kelompok usia dan di semua kategori resiko, perempuan memiliki resiko absolute yang lebih rendah daripada laki-laki. Pencegahan Sekunder Stroke Pencegahan sekunder mengacu pada strategi untuk mencegah kekambuhan stroke. Pendekatan utama adalah mengendalikan hipertensi, CEA dan memakai obat antigregat antitrombosit. Berbagai penilitian seperti the European Stroke Prevention Study of antiplatelet antiaggregant drugs (Diener, 1996) dan banyak meta-analisis terhadap obat inhibitor glikoprotein IIb / IIIa jelas
memperlihatkan efektivitas obat antiagregasi trombosit dalam mencegah kambuhnya stroke (Albers et al., 2001). Aggrenox adalah satu-satunya kombinasi aspirin dan dipiridamol yang telah dibuktikan efektif untuk mencegah stroke sekunder. 1. Nutrisi per oral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. Jika kesadaran menurun atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT 2. Penatalaksanaan spesifik berupa: a. Stroke non hemoragik: asetosal, neuroprotektor, trombolisis,
antikoagulan, obat hemoragik b. Stroke hemoragik: mengobati penyebabnya, neuroprotektor, tindakan pembedahan, menurunkan TIK yang tinggi H. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN STROKE/CVA 1. Pengkajian a. Aktifitas/istirahat Gejala: merasa kesulitan untuk melakukan aktifitas karena kelemahan, kehilangan sensasi atau paralisis (hemiplegia). Merasa mudah lelah, susah untuk beristirahat (nyeri atau kejang otot). Tanda: gangguan tonus otot (flaksid, spatis); paralitik (hemiplegia), dan terjadi kelemahan umum. Gangguan penglihatan, gangguan tingkat kesadaran. b. Sirkulasi Gejala: adanya penyakit jantung: endokarditis bakterial, GJK Tanda: hipertensi arterial, disritmia, perubahan EKG c. Integritas ego
Gejala: perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa Tanda: emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih, dan gembira. Kesulitan untuk mengekspresikan diri. d. Eliminasi Gejala: perubahan pola berkemih, seperti inkontinensia urine, anuria, distensi abdomen, bising usus e. Makanan/cairan Gejala: Nafsu makan hilang, mual muntah selama fase akut (peningkatan TIK), kehilangan sensasi pada lidah, pipi, dan tenggorokan, disfagia, adanya riwayat DM, peningkatan lemak dalam darah Tanda: kesulitan menelan (gangguan pada reflex palatum dan faringeal), obesitas f. Neurosensori Gejala: pusing (sebelum serangan CSV/ selama TIA), sakit kepala, penglihatan menurun, kehilangan daya lihat sebagian, gangguan rasa pengecapan dan penciuman. Tanda: status mental/kesadaran: biasanya terjadi koma pada tahap awal hemoragik. Gangguan fungsi kognitif, ekstremitas: kelemahan atau paralisis, afasia: gangguan atau kehilangan fungsi bahasa mungkin afasia motorik (kesulitan untuk mengungkapkan kata). Reseptif (afasia sensorik) yaitu kesulitan untuk memahami kata kata secara bermakna, atau afasia global yaitu gabungan dari kedua hal di atas. Kehilangan kemampuan untuk mengenali atau menghayati masuknya rangsang visual, pendengaran, taktil (agnosia), seperti gangguan kesadaran terhadap citra tubuh, kewaspadaan, kelainan terhadap bagian tubuh yang terkena, gangguan persepsi. Kehilangan kemampuan menggunakan motorik saat pasien in gin menggerakkannya (apraksia). Ukuran atau reaksi pupil tidak sama, dilatasi atau miosis pupil ipsilateral (perdarahan atau herniasi). Kekakuan muka biasanya karena perdarahan, kejang biasanya karena adanya pencetus perdarahan.
g. Nyeri/kenyamanan Gejala: sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda (karena arteri karotis terkena) Tanda: tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan pada otot atau fasial. h. Pernafasan Gejala: merokok atau faktor resiko Tanda: ketidakmampuan menelan atau batuk atau hambatan jalan nafas. Timbulnya pernafasan sulit dan atau tak teratur, suara nafas terdengar/ronkhi (aspirasi sekresi) i. Keamanan Tanda: motorik atau sensorik: masalah dengan penglihatan, kesulitan dalam menelan, tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sendiri j. Interaksi social Tanda: masalah bicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi 2. Pemeriksaan Fisik Tanda tanda vital yang meliputi tekanan darah, nadi, suhu dan pernafasan Pemeriksaan Neurologi a. Fungsi serebral Terdiri dari status mental, fungsi intelektual, daya pikir, status emosional, persepsi, kemampuan motorik, dan bahasa. b. Pengukuran GCS 1) Eyes ( membuka mata ) Spontan Terhadap rangsangan suara : 3 Terhadap rangsangan nyeri Tidak ada respon 2) Motorik Sesuai perintah Karena nyeri local Menarik daerah nyeri Fleksi abnormal :6 :5 :4 :3 :2 :1 :4
Ekstensi abnormal Tidak ada respon 3) Verbal Orientasi waktu Bicara kacau (kalimat) Kata kata tidak tepat Tidak berespon 4) Saraf cranial
:2 :1
:5 :4 :3
Besar pupil tidak sama, ptosis kelopak mata Nervus : Defisit dari Nervus a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. 4. N. I. : Olfactory
N. II. : Optic N. III. : Oculomotor N. IV : Moto trochlear ( gerakan kebawah / kedalam mata ) N.V : Trigeminal ( Gerakan rahang, muka )
N.VI : Abducens ( Lateral Mata ) N.VII : Facial N.VIII : Acoustic ( cochlea, vestibular ) N. IX : Glosofaringeal N.X : Vogus ( motor, palatum, faring, laring )
Pemeriksaan motorik
Meliputi pengkajian motorik kasar, tes keseimbangan, dan pengkajian motorik halus. 5. Pemeriksaan sensorik
Meliputi sensasi taktil, sensasi suhu dan nyeri, vibrasi dan propriosepsi, dan merasakan posisi. 6. a. Status refleks Refleks bisep
Peregangan tendon bisep pada saat siku dalam keadaan fleksi. Orang yang menguji menyokong lengan bawah satu tangan sambil menempatkan ibu jari dengan menggunakan palu refleks. b. Refleks trisep
Lengan pasien fleksi pada siku dan pronasi dan di posisikan di depan dada. Palpasi 2,5-5 cm di atas siku. Refleks ini menyebabkan kontraksi otot trisep dan ekstensi siku. c. Refleks brachioradialis
Tangan klien diletakkan di atas paha dalam keadaan pronasi.Pukulkan refleks hammer di atas tenson pergelangan tangan, amati fleksi, supinasi dari tangan klien. d. Refleks abdomen
Klien tetap dalam posisi supine tanpa mengenakan baju. Sentuhkan ujung tajam refleks hammer ke kulit bagian abdomen mulai dari arah lateral ke bagian umbilical, dan amati kontraksi otot abdomen. e. Refleks patella
Refleks patella di timbulkan dengan cara mengetok tendon patella tepat di bawah partela. K dalam keadaan duduk atau tidur terlentang. Jika K terlentang, pengkaji menyokong kaki untuk memudahkan relaksasi otot. Konstraksi guadrisep dan ekstensi lutut adalah respon normal. f. Refleks Achilles/ankle
Pegang telapak kaki klien dengan tangan non dominan pemeriksa. Pukul tendon Achilles dengan bagian tumpul refleks hammer dan amati kontraksi otot kuadrisep. g. Refleks plantar
Klien dalam posisi supine dan kedua tungkai bawah sedikit eksternal rotasi, stimulasi telapak kakki klien dengan ujung tajam refleks hammer. Sentuhan dimulai dari tumit kea rah luar telapak kaki klien. Amati gerakan telapak kaki (normal jika gerak plantar fleksi jari-jari kaki) h. Refleks babinsky
Indikasi adanya penyakit SSP. Bila bagian lateral seseorang dengan penyakit SSP digores, maka akan terjadi kontraksi kaki dan menarik bersama-sama. Pada pasien
yang mengalami penyakit SSP, maka pada system motorik jari-jari kaki menyebar dan menjauh. Pada bayi refleks ini normal. i. Refleks kernig
Klien berbaring difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 900 j. Refleks laseque
Klien berbaring difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 60-700 k. Refleks brudzinski
Klien berbaring kemudian tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring, tekukkan kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada. Tangan yang satu lagi sebaiknya ditempatkan di dada klien untuk mencegahnya diangkatnya badan. Bila tanda brudzinski positif, maka tindakan ini mengakibatkan fleksi kedua tungkai. l. Refleks brudzinski II
Klien berbaring satu tungkai difleksikan pada persendian penggul, sedangkan tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan ekstensi lurus. Bila tungkai yang satu ikut terfleksi, maka tanda brudzinski II positif.
3. Diagnosa Keperawatan a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah: gangguan oklusif, hemoragi, vasospasme serebral, edema serebral b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan
neuromuskuler: kelemahan, parestesia, paralisis spastis c. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral, kerusakan neuromuskuler, kehilangan tonus otot/control otot fasial/oral; kelemahan/kelelahan umum d. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi sensori, transmisi, intergari dan stress psikologis e. Resiko ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan penurunan refleks batuk dan menelan. f.
4. INTERVENSI a. Diagnosa 1 : Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah: gangguan oklusif, hemoragi, vasospasme serebral, edema serebral kriteria hasil : Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya mebaik, fungsi kognitif, motorik dan sensorik Mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil dan tak adanya tandatanda peningkatan TIK Menunjukkan tidak adanya kekambuhan defisit Intervensi dan rasional : 1) Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan/penyebab khusus selama koma/penurunan perfusi serebral dan potensial terjadinya peningkatan TIK Rasional: Mempengaruhi penetapan intrevensi. Kerusakan/kemunduran
tanda/gejala neurologis memerlukan tindakan pembedahan dan atau pasien harus dipindahkan ke ICU untuk melakukan pemantauan terhadap peningkatan TIK. 2) Pantau/cata status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan keadaan normalnya Rasional: Mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan TIK dan mengetahui lokasi luas dan kemajuan kerusakan SSP. Dapat menunjukkan TIA yang merupakan tanda terjadi thrombosis CVS baru. 3) Evaluasi pupil, catat ukuran, bentuk, kesamaan, dan reaksinya terhadap cahaya Rasional: Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotorius (III) dan berguna dalam menentukan apakah batang otak tersebut masih baik. Ukuran dan kesamaan pupil ditentukan oleh keseimbangan antara saraf
simpatis dengan parasimpatis. Respon terhadap refleks cahaya merupakan fungsi dari saraf optikus dan okulomotorius. 4) Catat perubahan dalam penglihatan Rasional: Ganguan penglihatan yang spesifik mencerminkan daerah otak yang terkena. 5) Kaji fungsi-fungsi yang lebih tinggi seperti fungsi bicara jika pasien sadar Rasional: Perubahan dalam kognitif dan bicara merupakan indicator dari lokasi/derajat gangguan serebral. 6) Letakkan posisi kepala agak ditinggikan dan dalam posisi anatomis Rasional: Menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan meningkatkan sirkulasi/perfusi serebral. b. Diagnosa 2 : Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan neuromuskuler: kelemahan, parestesia, paralisis spastis kriteria hasil : a. Mempertahankan posisi optimal dan fungsi yang dibuktikan oleh
Intervensi dan rasional a. Kaji kemampuan secara fungsional/luasnya kerusakan awal dan
dengan cara yang teratur Rasional: Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat memberikan informasi mengenai pemulihan.
b.
lebih sering diposisikan pada bagian yang terganggu Rasional: Menurunkan resiko terjadinya trauma/iskemi jaringan. c. Lakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif pada semua
ekstremitas Rasional: Meminimalkan atrofi otot, menaikkan sirkulasi, membantu mencegah kontraktur. d. Sokong ekstremitas dalam posisi fungsionalnya, pertahankan posisi
kepala netral Rasional: Mencegah kontraktur dan memfasilitasi kegunaannya jika berfungsi kembali. e. Tempatkan bantal dibawah aksial untuk melakukan abduksi pada
tangan Rasional: Mencgah abduksi bahu dan fleksi siku f. Tinggikan tangan dan kepala
Rasional: Menaikkan aliran balik vena dan membantu mencegah terbentuknya edema g. Bantu untuk mengembangkan keseimbangan duduk
Rasional: Membantu dalam melatih kembali jaras saraf, meningkatkan respon proprioseptik dan motorik. h. Observasi daerah yang terkena termasuk warna, edema, atau tanda-
tanda lain Rasional: Jaringan yang edema lebih mudah mengalami trauma dan
penyembuhannya lambat.
i.
Anjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan ekstremitas yang tidak sakit untuk
menggunakan
menyokong/menggerakkan tubuh yang mengalami kelemahan Rasional: Dapat berespon dengan baik jika daerah yang sakit tidak menjadi lebih terganggu dan memerlukan dorongan serta latihan aktif. 3. Diagnosa 3 : Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan
sirkulasi serebral, kerusakan neuromuskuler, kehilangan tonus otot/control otot fasial/oral; kelemahan/kelelahan umum Kriteria hasil : a. b. diekspresikan c. Menggunakan sumber-sumber dengan tepat Mengindikasikan pemahaman tentang masalah komunikasi Membuat metode komunikasi dimana kebutuhan dapat
Rasional: Menentukan daerah dan derajat kerusakan serebral yang terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa atau seluruh tahap komunikasi. Pasien mungkin mempunyai kesulitan memahami kata yang diucapkan (afasia sensorik/kerusakan pada area wernick); mengucapkan kata-kata dengan benar (afasia ekspresif/area broca) atau mengalami kerusakan pada kedua area tersebut. b. Minta pasien untuk menulis nama/kalimat yang pendek
Rasional: Menilai kemampuan menulis (agrafia) dan kekurangan dalam membaca yang benar yang juga merupakan bagian dari afasia sensorik dan motorik. c. Berikan metode komunikasi alternative
Rasional: Memberikan komunikasi tentang kebutuhan berdasarkan keadaan/deficit yang mendasarinya. d. Bicaralah dengan nada normal dan hindari percakapan yang cepat
Rasional:
Pasien tidak perlu merusak pendengaran, dan meninggikan suara dapat menimbulkan marah pasien. Memfokuskan respons dapat mengakibatkan frustasi. Kolaborasi e. Konsultasikan dengan/rujuk kepada ahli terapi wicara
Rasional: Pengkajian secara individual kemampuan bicara dan sensori, motorik dan kognitif berfungsi untuk mengidentifikasi kekurangn/kebutuhan terapi. 4. Diagnosa 4 : Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan
resepsi sensori, transmisi, intergari dan stress psikologis Kriteria hasil : a. b. c. Memulai/mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi perceptual Mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan residual Mendemonstrasikan perilaku untuk mengkompensasi terhadap/deficit hasil
Intervensi dan rasional : a. Evaluasi adanya gangguan penglihatan. Catat adanya penurunan lapang
pandang, perubahan ketajaman persepsi, adanya diplopia Rasional: Munculnya gangguan penglihatan akan berdampak negative terhadap kemampuan pasien untuk menerima lingkungan dan mempelajari kembali keterampilan motorik dan meningkatkan risiko terjadinya cedera. b. Kaji kesadaran sensorik, seperti membedakan panas/dingin, tajam/tumpul,
posisi bagian tubuh/otot, rasa persendian Rasional: Penurunan kesadaran sensorik dan kerusakan perasaan kinetic berpengaruh buruk terhadap keseimbangan/posisi tubuh dan kesesuaian dari gerakan yang mengganggu ambulasi. c. Berikan stimulasi terhadap sentuhan
Rsional: Membantu melatih kembali jaras sensorik untuk mengintegrasikan persepsi dan interpretasi stimulasi. d. Lindungi pasien dari suhu yang berlebihan, kaji adanya lingkungan yang
membahayakan
Rasional: Meningkatkan keamanan pasien dan menurunkan resiko trauma. e. Hilangkan kebisingan/simulasi eksternal yang berlebihan sesuai kebutuhan
Rasional: Menurunkan ansietas dan respon emosi yang berlebihan. 5. Diagnosa 5 : Resiko terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang
berhubungan dengan menurunnya refleks batuk dan menelan, imobilisasi 1) Tujuan : Jalan nafas tetap efektif. 2) Kriteria hasil : - Klien tidak sesak nafas - Tidak terdapat ronchi, wheezing ataupun suara nafas tambahan - Tidak retraksi otot bantu pernafasan - Pernafasan teratur, RR 16-20 x per menit Intervensi dan rasional : Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang sebab dan akibat ketidakefektifan jalan nafas Rasional : Klien dan keluarga mau berpartisipasi dalam mencegah terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas Rubah posisi tiap 2 jam sekali Rasional : Perubahan posisi dapat melepaskan sekret dari saluran pernafasan Berikan intake yang adekuat (2000 cc per hari) Rasional : Air yang cukup dapat mengencerkan sekret Observasi pola dan frekuensi nafas Rasional : Untuk mengetahui ada tidaknya ketidakefektifan jalan nafas Auskultasi suara nafas Rasional : Untuk mengetahui adanya kelainan suara nafas