Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
modal, Arthur Lewis (1954) dengan model surplus of labornya memberikan tekanan
kepada peranan jumlah penduduk. Dalam model ini diasumsikan terdapat penawaran
tenaga kerja yang sangat elastis. Ini berarti para pengusaha dapat meningkatkan
produksinya dengan mempekerjakan tenaga kerja yang lebih banyak tanpa harus
menaikkan tingkat upahnya. Meningkatnya pendapatan yang dapat diperoleh oleh kaum
pemilik modal akan mendorong investasi-investasi baru karena kelompok ini mempunyai
hasrat menabung dan menanam modal (marginal propensity to save and invest) yang
lebih tinggi dibandingkan dengan kaum pekerja. Tingkat investasi yang tinggi pada
gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu berkembang pula sebuah model pertumbuhan yang disebut neoklasik.
Teori pertumbuhan neoklasik mulai memasukkan unsur teknologi yang diyakini akan
berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara (Solow, 1957). Dalam teori
neoklasik, teknologi dianggap sebagai faktor eksogen yang tersedia untuk dimanfaatkan
oleh semua negara di dunia. Dalam perekonomian yang terbuka, di mana semua faktor
produksi dapat berpindah secara leluasa dan teknologi dapat dimanfaatkan oleh setiap
negara, maka pertumbuhan semua negara di dunia akan konvergen.
Teori pertumbuhan selanjutnya mencoba menemukan faktor-faktor lain di luar modal dan
tenaga kerja, yang mendorong pertumbuhan ekonomi, yaitu human capital. Teori human
capital berpendapat bahwa investasi sumber daya manusia mempunyai pengaruh yang
besar terhadap peningkatan produktivitas. Menurut Becker (1964) peningkatan
produktivitas tenaga kerja ini dapat didorong melalui pendidikan dan pelatihan serta
peningkatan derajat kesehatan. Selanjutnya, pertumbuhan yang bervariasi di antara
negara-negara yang membangun melahirkan pandangan mengenai teknologi bukan
sebagai faktor eksogen, tapi sebagai faktor endogen yang dapat dipengaruhi oleh berbagai
variabel kebijaksanaan (Romer, 1990). Sumber pertumbuhan dalam teori endogen adalah
meningkatnya stok pengetahuan dan ide baru dalam perekonomian yang mendorong
tumbuhnya daya cipta dan inisiatif yang diwujudkan dalam kegiatan inovatif dan
produktif. Ini semua menuntut kualitas sumber daya manusia yang meningkat.
Transformasi pengetahuan dan ide baru tersebut dapat terjadi melalui kegiatan
perdagangan internasional, penanaman modal, lisensi, konsultasi, komunikasi,
pendidikan, dan aktivitas research & development.
Dalam kelompok teori pertumbuhan ini, terdapat pandangan penting yang dianut oleh
banyak pemikir pembangunan, yaitu teori mengenai tahapan pertumbuhan. Dua di
antaranya yang penting adalah dari Rostow (1960) dan Chenery-Syrquin (1975). Menurut
Rostow, transformasi dari negara yang terkebelakang menjadi negara maju dapat
dijelaskan melalui suatu urutan tingkatan atau tahap pembangunan yang dilalui oleh
semua negara. Rostow mengemukakan lima tahap yang dilalui oleh suatu negara dalam
proses pembangunannya, yaitu tahap traditional society, preconditions for growth, the
take-off, the drive to maturity, dan the age of high mass consumption. Sedangkan
menurut pemikiran Chenery-Syrquin (1975), yang merupakan pengembangan pemikiran
dari Clark dan Kuznets, perkembangan perekonomian akan mengalami suatu
transformasi (konsumsi, produksi dan lapangan kerja), dari perekonomian yang
didominasi sektor pertanian menjadi didominasi oleh sektor industri dan jasa.
Oleh karena itu, berkembang berbagai pemikiran untuk mencari alternatif lain terhadap
paradigma yang semata-mata memberi penekanan kepada pertumbuhan. Maka
berkembang kelompok pemikiran yang disebut sebagai paradigma pembangunan sosial
yang tujuannya untuk menyelenggarakan pembangunan yang lebih berkeadilan. Salah
satu metode yang umum digunakan dalam menilai pengaruh dari pembangunan terhadap
kesejahteraan masyarakat adalah dengan mempelajari distribusi pendapatan. Selain
distribusi pendapatan, dampak dan hasil pembangunan juga dapat diukur dengan melihat
tingkat kemiskinan (poverty) di suatu negara.
Beberapa ahli studi pembangunan berpendapat pula bahwa pemerataan pendapatan akan
meningkatkan penciptaan lapangan kerja (Seers, 1970). Menurut teori ini, barang-barang
yang dikonsumsi oleh masyarakat miskin cenderung lebih bersifat padat tenaga kerja
dibandingkan dengan konsumsi masyarakat yang berpendapatan lebih tinggi. Dengan
demikian, pemerataan pendapatan akan menyebabkan pergeseran pola permintaan yang
pada gilirannya akan menciptakan kesempatan kerja. Dalam rangka perkembangan teori
ekonomi politik dan pembangunan, perlu dicatat pula bahwa aspek ideologi dan politik
turut mempengaruhi pemikiran-pemikiran yang berkembang. Salah satu di antaranya
adalah teori ketergantungan yang dikembangkan terutama berdasarkan keadaan
pembangunan di Amerika Latin pada tahun 1950-an.
Ciri utama dari teori ketergantungan adalah bahwa analisisnya didasarkan pada adanya
interaksi antara struktur internal dan eksternal dalam suatu sistem. Menurut Baran (1957),
keterbelakangan negara-negara Amerika Latin terjadi pada saat masyarakat prakapitalis
tergabung ke dalam sistem ekonomi dunia kapitalis. Dengan demikian, masyarakat
tersebut kehilangan otonominya dan menjadi daerah pinggiran (periphery) negara
metropolitan yang kapitalis. Daerah (negara) pinggiran dijadikan “daerah-daerah jajahan”
negara-negara metropolitan. Mereka hanya berfungsi sebagai produsen bahan mentah
bagi kebutuhan industri daerah metropolitan tersebut, dan sebaliknya merupakan
konsumen barang-barang jadi yang dihasilkan oleh industri-industri di negara-negara
metropolitan tersebut.
Sedangkan aliran kedua melihat masalah ketergantungan dari perspektif nasional atau
regional. Menurut aliran ini, struktur dan kondisi internal pada umumnya dilihat sebagai
faktor yang berasal dari sistem itu sendiri, meskipun struktur internal ini pada masa
lampau maupun saat ini dipengaruhi oleh faktor-faktor luar negeri (lihat misalnya Dos
Santos dan Bernstein, 1969; Tavares dan Serra, 1974; serta Cariola dan Sunkel, 1982).
Oleh karena itu, subjek yang perlu dibangun adalah “bangsa” atau ”rakyat” dalam suatu
negara (nation building). Dalam menghadapi tantangan pembangunan tersebut, konsep
negara atau bangsa perlu dijadikan landasan untuk mengadakan pembaharuan-
pembaharuan dengan dukungan administrasi pembangunan yang memadai.
Paradigma terakhir yang tidak dapat dilepaskan dari paradigma pembangunan sosial dan
berbagai pandangan di dalamnya adalah paradigma pembangunan manusia. Menurut
paradigma pembangunan manusia, tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan
suatu lingkungan yang memungkinkan masyarakatnya untuk menikmati kehidupan yang
kreatif, sehat dan berumur panjang. Pertumbuhan produksi dan pendapatan hanya
merupakan alat saja, sedangkan tujuan akhir pembangunan harus manusianya sendiri.
Dewasa ini muncul pula gagasan pembangunan berkelanjutan yang erat kaitannya dengan
kesejahteraan yang semakin terus meningkat dari generasi ke generasi. Dalam konsep
tersebut, pemakaian dan hasil penggunaan sumber daya alam dan lingkungan yang
merusak sumbernya, tidak dihitung sebagai kontribusi terhadap pertumbuhan tetapi
sebagai pengurangan asset.
Keempat kecenderungan tersebut saling terkait satu sama lain dan kecenderungan
tersebut mengarah kepada administrasi pembangunan. Kecenderungan administrasi
pembangunan berorientasi untuk mendukung pembangunan, dan usaha-usaha ke arah
modernisasi guna mencapai kehidupan yang sejahtera secara sosial dan ekonomi. Namun,
harus pula dipahami bahwa administrasi pembangunan masih mendasarkan diri pada
administrasi publik dan peralatan analisis administrasi negara sehingga administrasi
pembangunan secara disiplin keilmuan belum dapat dipisahkan dari administrasi negara.