Sie sind auf Seite 1von 10

TINJAUAN PUSTAKA STEVEN JOHNSON SYNDROME

1. Definisi Steven Johnson Syndrome adalah gangguan kulit berupa eritema multiform. Sindrom ini mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura.

2. Etiologi Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab adalah: 1. Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)

Penisilline dan semisentetiknya Sthreptomicine Sulfonamida Tetrasiklin Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan paracetamol)

Klorpromazin Karbamazepin Tegretol

Jamu

2. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit) 3. Neoplasma dan faktor endokrin 4. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X) 5. Makanan

3. Tanda dan Gejala Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa: 1. Kelainan kulit Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. 2. Kelainan selaput lendir di orifisium Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genital (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%). Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak yaitu krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esopagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas. 3. Kelainan mata Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtivitis purulen, perdarahan, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.

4. Patofisiologi

Patogenesisnya belum jelas namun diperkirakan disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang. Reaksi Hipersensitif tipe III Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut Reaksi Hipersensitif Tipe IV Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

5. Komplikasi Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.

6. Pemeriksaan Penunjang a. Hematologi Sel darah putih meningkat karena adanya infeksi (normal: 500010.000/mm3) Eosinofil meningkat karena adanya reaksi alergi (normal: 50-500/mm3)

b. Kimia Darah

Glukosa hiperglikemia Kreatinin meningkat karena adanya gangguan fungsi ginjal (normal: 71133 mmol/L) Urea meningkat karena adanya gangguan fungsi ginjal (normal: 2.5-6.1 mmol/L)

c. Analisa Gas Darah Arteri pO2 meningkat (normal: 80-100 mmHg) HCO3 menurun karena acidosis (normal: 22-26 mmol/L) PaCO2 menurun karena alkalosis (normal: 35-45 mmol/L)

d. Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis. e. Imunologi : Dijumpai deposit IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.

7. Penatalaksanaan a. Kortikosteroid Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien stevenJohnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 65 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari. Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan

nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan). b. Antibiotik Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang

menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg. c. Infus dan tranfusi darah Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik. d. Topikal Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in oral base. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.

8. Asuhan Keperawatan a. Pengkajian keperawatan 1. Data Subyektif Klien mengeluh demam tinggi, lemah letih, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan / sulit menelan. 2. Data Obyektif

Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi erosi yang luas, sering didapatkan purpura.

Krusta hitam dan tebal pada bibir atau selaput lendir, stomatitis dan pseudomembran di faring

Kongjungtivitis iridosiklitis.

purulen,

perdarahan,

ulkus

kornea,

iritis

dan

Nefritis dan onikolisis.

3. Data Penunjang

Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema intrasel di epidermis. Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.

c. Diagnosa keperawatan 1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan menelan 2. Nyeri akut b.d agen cedera biologis 3. Kerusakan integritas kulit b.d penurunan imunologis d. Rencana Keperawatan 1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d

ketidakmampuan menelan Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 4x24 jam asupan nutrisi klien membaik Kriteria hasil: NOC:Nutritional status Indikator Severe deviation from Substantial deviation from Moderate deviation from Mild deviation from No deviation from

normal range Intake nutrisi Intake makanan Intake cairan Energi

normal range

normal range

normal range

normal range

NIC:Nutritional Management Intervensi 1. Kaji adanya alergi makanan pada klien 2. Kaji kebiasaan makanan yang 2. disukai/tidak disukai Rasional 1. Menentukan jenis makanan yang akan diberikan pada klien Memberikan pasien/orang

terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi dalam perawatan dan dapat nutrisi memperbaiki pemasukan

3. Berikan makanan dalam porsi 3. Memberikan asupan nutrisi pada sedikit tapi sering klien

4. Kolaborasi dengan ahli gizi 4. Diet TKTP memberikan energi memberikan diet TKTP. pada klien

2. Nyeri akut b.d agen cedera biologis Tujuan: Setelah diberikan intervensi keperawatan selama 3x24 jam nyeri pada klien berkurang Kriteria hasil: NOC: Pain control Indikator Never demonstr ated Rarely demonstrat ed Sometimes demonstrat ed Often demonstrat ed Consistentl y demonstrat ed Mengenali onset nyeri Melaporkan

kontrol nyeri Penggunaan analgesik

NIC: Pain Management Intervensi 1. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya. Rasional 1. Mengetahui derajat atau tingkat keparahan menentukan selanjutnya 2. Ajarkan teknik napas dalam 2. Teknik napas dalam adalalah teknik distraksi yang akan nyeri klien dan

intervensi

membantu merilekskan klien 3. Monitor TTV klien 3. TTV klien dapat menunjukkan tingkat nyeri klien 4. Kolaborasi memberikan 4. Analgesik akan membantu

analgesic sesuai indikasi.

menghiangkan rasa nyeri

3. Kerusakan integritas kulit b.d penurunan imunologis Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 4x24 jam integritas kulit klien membaik Kriteria hasil: NOC: Tissue Integrity: Skin and mucous membranes Indikator Severely Comprom ised Substantial ly Compromi sed Lesi kulit Kemerahan Nekrosis Moderately Compromi sed Mildly Compromi sed Not Compromi sed

Intervensi Keperawatan NIC: Skin Care: Topical Treatments

Intervensi 1. Kaji/catat kedalaman jaringan ukuran luka, warna, perhatikan dan kondisi

Rasional 1. Memberikan tentang informasi dasar

kebutuhan

penanaman

nekrotik

kulit dan kemungkinan petunjuk tentang sirkulasi pada area graft.

sekitar luka.

2. Berikan perawatan luka yang tepat 2. Mengurangi resiko infeksi dan tindakan control infeksi. 3. Evaluasi warna sisi luka 3. Mengevaluasi keefektifan sirkulasi mengidentifikasi terjadinya

perhatikan ada atau tidak adanya dan penyembuhan. 4. Anjurkan pasien

komplikasi. menggunakan 4. Menurunkan iritasi garis jahitan dan

pakaian tipis dan alat tenun yang tekanan dari baju, membiarkan insisi lembut terbuka terhadap udara meningkat proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi. 5. Ajarkan pasien dan keluarga 4. Membantu mempermudah serta mengarahkan keluarga dan pasien dalam perawatan luka. 6. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk 5. Diet TKTP dapat membantu dalam pemberian nitrisi TKTP. proses pembentukan jaringan dan sel baru. 7. Kolaborasi dengan dokter untuk 6. Untuk mencegah infeksi lebih memberikan kortikosteroid pemberian lanjut.

mengenai perawatan luka

DAFTAR PUSTAKA
1. Ho, HHF. 2008. Diagnosis and Mangement of Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. Medical Bulletin Vol.13 No.10 October 2008 2. Smeltzer C.S & Bare Brenda.(2010). Brunner & Suddarths Textbook of Medical Surgical Nursing. 10th Edition. Philadelphia: Lippincott. 3. Doenges, M., Moorhouse, M.F., Murr, A.C. 2010. Nursing Diagnosis Manual: Planning, Individualizing, and Documenting Client Care Edition 3. Philadelpia: Davis Company. 4. Bulechek, G.M., Butcher, H.W. & Dochterman, J.M. 2008. Nursing intervention classification (NIC). (5th edition). St Louis: Mosby Elsevier. 5. Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., Swanson, E. 2008. Nursing outcome classification (NOC). (4th edition). St Louis: Mosby Elsevier

Das könnte Ihnen auch gefallen