Sie sind auf Seite 1von 41

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO E BLOK 23

Disusun oleh : Kelompok B5

1. Mutiara Khalida 2. Renal Yusuf 3. Nur Suci Trendy Asih 4. M Arisma D Putra 5. Yuda Lutfiadi 6. Dwi Juwanita Putri 7. Julianda Dini Halim 8. A Rifky Rizaldi 9. Janeva Septiana S 10. Kristian Sudana Hartano 11. Mohd. Quarratul Aiman 12. Sivananthini J Sivakumar

04111401013 04111401015 04111401016 04111401039 04111401051 04111401059 04111401061 04111401067 04111401072 04111401085 04111401089 04111401091

Tutor: Dr. Iskandar Z Ansori, DTM&H DAPK.,M.Kes.,SpParK.

PENDIDIKAN DOKTER UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2014


1

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kami ucapkan atas kehadirat Tuhan YME karena rahmat dan anugerah-Nya lah kami dapat menyelesaikan tugas tutorial dengan topik Skenario E Blok XXIII . Adapun tujuan pembuatan tugas ini adalah untuk melengkapi persyaratan dalam pembelajaran di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas ini sehingga tugas ini dapat terselesaikan tepat waktu dan tepat sasaran sesuai dengan harapan. Kami menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan laporan ini. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan laporan ini. Akhirnya kami berharap kepada teman teman dan para pembaca semoga laporan ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Palembang, 26 Februari 2014

Penyusun Kelompok 5

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR. DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1.2 Maksud dan Tujuan BAB II PEMBAHASAN 2.1 Data Tutorial.. 2.2 Skenario.. 2.3 Paparan... I. Klarifikasi Istilah II. Identifikasi Masalah.. III. Analisis Masalah.. IV. Hipotesis .. V. Kerangka Konsep... VI. Learning Issues. BAB III PENUTUP.... 3.1 Kesimpulan. DAFTAR PUSTAKA...

1 2 3

4 4

5 6 6 6 7 8 24 25 26 39 39 40

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pada laporan tutorial kali ini, laporan membahas blok mengenai Reproduksi dan Perinatologi yang berada dalam blok 23 pada semester 6 dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. Pada kesempatan ini, dilakukan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk menghadapi tutorial yang sebenarnya pada waktu yang akan datang. 1.2 Maksud dan Tujuan Adapun maksud dan tujuan dari materi praktikum tutorial ini, yaitu: 1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. 2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis dan pembelajaran diskusi kelompok. 3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami konsep dari skenario ini.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Data Tutorial Tutor Moderator Sekretaris Meja Sekretaris Laptop : dr. Iskandar Z Ansori, DTM&H DAPK.,M.Kes.,SpParK. : Renal Yusuf : Mutiara Khalida : Mohd. Quarratul Aiman

Hari, Tanggal Peraturan

: Selasa, 25 Februari 2014 : 1. Alat komunikasi di non-aktifkan 2. Semua anggota tutorial harus aktif mengeluarkan pendapat 3. Dilarang makan dan minum

2.2 Skenario E Blok 23 Tahun 2014 A male newborn was referred to MOH. Hoesein Hospital by a midwife who helped his mother, Mrs. Utami delivery with chief complaint of grunting. Mothers history was taken from the midwife. She said that Mrs. Utamis pregnancy was full term. The baby was born 3 hours ago with APGAR score 5 for 1st minute and 8 for 5th minute, birth body weight was 3 kg. The mother had premature rupture of membrane 2 days ago and had bad smell liquor. From the physical examination the baby was hypoactive and tachypnea, no sucking reflex, and there was chest indrawing.

2.3 PAPARAN I. Klarifikasi Istilah 1. Grunting: Suara seperti dengkuran pada akhir ekspirasi. 2. Premature rupture of membrane: Suatu kondisi pada kehamilan didefinisikan sebagai pecahnya membrane kantung ketuban dan chorion lebih dari satu jam sebelum awal persalinan. 3. Bad smelly liquor: bau cairan ketuban (amnion) yang tidak enak. 4. Hypoactive: Penurunan abnormal suatu aktivitas. 5. APGAR score: Penilaian tentang keadaan bayi dalam angka berdasarkan denyut jantung, usaha bernafas,tonus otot, reflex iritabilitas dan warna. 6. Tachypnea: Pernafasan yang sangat cepat ( > 60x/menit). 7. Sucking reflex: Gerakan menghisap pada mulut bayi yang ditimbulkan dengan menyentuh bibir atau kulit di dekat mulut bayi. 8. Chest Indrawing: retraksi dinding dada. 9. Full term : Periode gestasi cukup bulan (37-42 minggu).

II. Identifikasi Masalah 1. A male newborn was referred to Moh. Hoesein Hospital by a midwife who helped his mother, Mrs. Utami delivery with chief complaint of grunting. 2. Mothers history was taken from the midwife. She said that Mrs. Utamis pregnancy was full term. The baby was born 3 hours ago with APGAR score 5 for 1st minute and 8 for 5th minute, birth body weight was 3 kg. 3. The mother had premature rupture of membrane 2 days ago and had bad smell liquor. 4. From the physical examination the baby was hypoactive and tachypnea, no sucking reflex, and there was chest indrawing.

III. Analisis Masalah 1. A male newborn was referred to MOH. Hoesein Hospital by a midwife who helped his mother, Mrs. Utami delivery with chief complaint of grunting. a. Etiologi dan mekanisme merintih? Grunting merupakan suatu bentuk bunyi yang dikeluarkan oleh bayi yang merupakan tanda adanya ganggguan pengembangan paru. Obstruksi jalan nafas, misalnya obstruksi koanae, edema nasalis, ensefalokel. Penyakit parenkim paru-paru, misalnya penyakit membrana hialin, MAS (Meconium Aspiration Syndrom) , atelektasis, Transient Tachypnea of Newborn ,

Bronchopulmonary Displasia, pneumonia. Kelainan perkembangan organ, misalnya agenesis paru-paru, perdarahan paru-paru, hernia diafragmatika. Non pulmonary , misalnya payah jantung, kelainan susunan saraf pusat, asidosis metabolik, dan asfiksia. Mekanisme merintih : Pecah ketuban dini infeksi ascending dimana mikroba dari vagina masuk ke dalam rongga amnion korioamnionitis inhalasi liquor septic pada janin infeksi intraunterine peradangan pada jaringan paru alveolus yang radang gagal mengembang alveoli kolaps terganggunya ventilasi udara hipoksia kompensasi pernafasan dengan usaha lebih untuk menaikkan tekanan akhir ekspirasi penutupan rima glottis timbulnya suara merintih saat ekspirasi grunting/ merintih b. Hubungan jenis kelamin (laki-laki) dengan kasus ini? Insidens lebih sering terjadi pada bayi laki-laki 2 kali lebih besar daripada bayi

perempuan (Nelson, 1999). 2. Mothers history was taken from the midwife. She said that Mrs. Utamis pregnancy was full term. The baby was born 3 hours ago with APGAR score 5 for 1st minute and 8 for 5th minute, birth body weight was 3 kg.

a. Bagaimana klasifikasi APGAR score? Kriteria Penilaian Sign Heart rate Respiration Muscle tone Reflex irritability Colour Cyanosis atau pucat Merah muda, ekstremitas biru Berdasarkan nilai APGAR 1 menit : 8-10 : tidak asfiksia 5-7 3-4 0-2 : ringan : sedang : berat 0 Tidak ada Lemah Tidak ada respon Score 1 <100/ menit Lambat, tidak teratur Beberapa gerakan fleksi meringis

2 100/ menit Baik, menangis Bergerak aktif Batuk, bersin, menangis Seluruhnya merah muda

b. Apa makna APGAR SCORE (score 5 for 1st minute and 8 for 5th minute) ? Skor pada menit 1 menunjukkan seberapa baik bayi menoleransi bernapas dengan paru paru : Skor 5 pada menit pertama menandakan adanya asfiksia ringan . Skor pada menit ke 5 menggambarkan secara umum kondisi bayi untuk hidup di luar rahim : Skor 8 pada menit ke 5 menandakan normal, karena resusitasi sudah berhasil perbaikan APGAR score setelah menit kelima menunjukkan prognosis yang baik. c. Apa makna berat badan bayi 3 kg? Berdasarkan berat badan lahir : 1. Berat badan lahir rendah 2. Berat badan lahir sangat rendah 3. Berat badan lahir sangat ekstrim rendah 4. Berat badan lahir normal 5. Berat badan lahir besar
9

: < 2500 gram : < 1500 gram : < 1000 gram : 2500 3000 gram : > 3500 gram

Bila dikaitkan dengan cukup bulan, maka disimpulkan berat bayi tersebut sesuai masa kehamilan. Ini dapat menyingkirkan diagnosis Hyaline Membrane Disease. 3. The mother had premature rupture of membrane 2 days ago and had bad smell liquor. a. Apa makna klinis pecah ketuban 2 hari yang lalu dengan kelahiran bayi 3 jam yang lalu? Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke dalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran pernafasan maupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabilah ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam. Pada kasus ini pecah ketuban terjadi 2 hari yang lalu dengan kelahiran bayi 3 jam lalu, hal ini menunjukkan ketuban telah pecah selama 45 jam yang mengakibatkan semakin tingginya kontaminasi kuman pada bayi yang dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi intrauterine sehingga menyebabkan sepsis pada bayi baru lahir. b. Apayang dimaksud dengan bau tidak enak pada cairan ketuban pada kasus? Bad smell liquor merupakan bau busuk dari cairan amnion. Kondisi ini merupakan salah satu kriteria dari 4 kriteria Amsel pada bacterial vaginosis yang menandakan telah terjadi kolonisasi m.o. pada cairan ketuban. Infeksi kuman yang sering ditemukan adalah Staphylococcus sp, Streptococus viridans, Klebsiella pneumoniae, Enterobacter sp. Mekanismenya: Ketuban pecah dini infeksi ascenden yang berasal dari traktus urogenital misal vagina serviks masuk dari vagina ke rongga amnion keadaan lingkungan yang alkalis merupakan pH yang cocok untuk berkembangnya flora normal vagina yang menjadi agen patogen menginfeksi cairan amnion mengurai asam organik seperti asam laktat (beta laktamase) menimbulkan bau pada cairan ketuban yang keluar.

10

c. Faktor resiko ketuban pecah dini? Persalinan prematur Infeksi; Resiko terjadinya ascending infection akan lebih tinggi jika persalinan terjadi setelah 18-24 jam onset Ibu : Korioamnionitis (umumnya terjadi lebih dulu sebelum janin terinfeksi) Bayi : Septikemia, pneumonia, omfalitis. Hipoksia dan Asfiksia karena kompresi tali pusat Sindrom deformitas janin d. Etiologi dan mekanisme ketuban pecah dini? Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput ketuban rapuh.Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi ekstraselular matriks. Perubahan struktur, jumlah sel dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah. Faktor resiko untuk terjadinya ketuban pecah dini: Berkurangnya asam askorbik sebagai komponen kolagen Kekurangan tembaga dan asam askorbik yang berakibat pertumbuhan struktur abnormal karena antara lain merokok. Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metalloproteinase (MMP) yang dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease. Mendekati waktu persalinan, keseimbangan antara MMP dan TIMP-1 mengarah pada degradasi proteolitik ini meningkat menjelang persalinan. Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester ketiga selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan gerakan janin. Pada trimester terakhir terjadi perubahan biokimia pada selaput ketuban.

11

4. From the physical examination the baby was hypoactive and tachypnea, no sucking reflex, and there was chest indrawing. a. Interpretasi dan mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik?

Hasil pemeriksaan Hipoaktif Takipneu

Nilai normal Aktif (-)

Interpretasi Gangguan saraf akibat sepsis Gangguan pernafasan

Tidak ada reflex hisap Retraksi dinding dada

Ada reflex hisap Tidak ada retraksi

Gangguan saraf akibat sepsis Gangguan pernafasan

Berdasarkan gejala- gejala pada kasus seperti: grunting, tachypnea, chest indrawing, maka dapat ditegakkan dengan menggunakan tabel Down Score sebagai berikut:

Score < 4 Mild respiratory distress Score 4 -7 Moderate respiratory distress Score > 7 Severe respiratory distress Impending respiratory failure (Blood gases should be obtained) Berdasarkan Down score maka bayi ini mengalami respiratory distress. Kemungkinan penyebab respiratory distress ini adalah bronkopneumonia. Dengan pecahnya ketuban

12

terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat.

Mekanisme hipoaktif: Pecah ketuban dini infeksi ascending dimana mikroba dari vagina masuk ke dalam rongga amnion korioamnionitis inhalasi liquor septic pada janin saraf pusat hipoaktif Mekanisme takipneu Pecah ketuban dini infeksi ascending dimana mikroba dari vagina masuk ke dalam rongga amnion korioamnionitis inhalasi liquor septic pada janin infeksi intraunterine peradangan pada jaringan paru alveolus yang radang gagal mengembang gangguan ventilasi hipoksemia dan retensi CO2 kompensasi dengan mempercepat tarikan nafas agar lebih banyak oksigen yang masuk takipneu Mekanisme tidak ada reflex hisap Pecah ketuban dini infeksi ascending dimana mikroba dari vagina masuk ke dalam rongga amnion korioamnionitis inhalasi liquor septic pada janin saraf pusat tidak ada reflex hisap Mekanisme retraksi dinding dada Pecah ketuban dini infeksi ascending dimana mikroba dari vagina masuk ke dalam rongga amnion korioamnionitis inhalasi liquor septic pada janin infeksi intraunterine peradangan pada jaringan paru alveolus yang radang gagal mengembang gangguan ventilasi hipoksemia dan retensi CO2 penggunaan otot bantu napas supaya paru lebih besar mengembang Nampak otot berkontraksi retraksi dinding dada infeksi intraunterine septicemia pada neonatus gangguan fungsi organ gangguan sistem infeksi intraunterine septicemia pada neonatus gangguan fungsi organ gangguan sistem

13

b. Cara pemeriksaan sucking reflex? Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai kelainan saraf V, VII dan XII. Cara pemeriksaan: Letakkan bayi di tempat tidur atau tempat yang nyaman. Fisioterapis lalu meletakkan jari tangannya di sekitar bibir bayi, lalu perhatikan reaksinya. Interpretasi : bayi akan langsung menghisap jari fisioterapis. Bila taka ada respons, menunjukkan ada kelainan pada susunan saraf. Bayi prematur yang lahir sebelum usia kandungan 34 minggu biasanya belum memiliki refleks mengisap. 5. Diagnosis Banding Anamnesis Sepsis neonatus Gangguan napas Gangguan napas e.c. TTN e.c. pneumonia Grunting Hipoaktif Takipnoe Refleks hisap Retraksi Korioamnionitis 18 jam > + + + + + + + + + +/+ + + +/-

6. Penegakkan Diagnosis Bronkopneumonia 1. 2. Anamnesis Sesak napas Sianosis Retraksi Ekspirasi grunting Pemeriksaan fisik Takipneu

14

Auskultasi : bunyi napas vesikuler meningkat dapat terdengar ronki basah halus nyaring

3. -

Pemeriksaan penunjang Darah : Hb, leukosit, diff.count, trombosit, mikro LED, dan kultur Rontgent thorax

Sepsis Neonatorum 1. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik

Didapatkan gejala sepsis yang terdiri atas: Gejala umum : bayi tampak lemah, terdapat gangguan minum yang disertai penurunan berat badan, keadaan umum memburuh hipotermia/hipertermia Gejala SSP : letargi, iritabilitas, hiporefleks, tremor, kejang, hipotonia/hipertonia, serangan apnea, gerak bola mata tidak terkoordinasi Gejala pernapasan : dispnu, takipnu, apnu, dan sianosis Gejala TGI : muntah, diare, meteorismus, hepatomegali Kelainan kulit : purpura, eritema, pustula, sklerema 2. Pemeriksaan penunjang Darah : Hb, leukosit, diff.count, trombosit, mikro LED, dan kultur LCS : protein, diff.count, pengecatan gram dan kultur

Kriteria diagnosis : Didapatkan gejala sepsis dan pemeriksaan laboratoris. Hasil laboratorium yang membantu untuk diagnosis sepsis adalah bila ditemukan lebih dari satu hasil laboratorium di bawah ini: Leukosit < 5.000/mm3, atau > 34.000/mm3 I/T ratio 0,2 Mikro LED > 15 mm/jam CRP (+) > 9 mg/dl

15

Kriteria klinis pada infeksi bakteri berat (WHO Handbook Integrated Management of Childhood Illness,2000) Satu atau lebih tanda dibawah ini diduga menderita infeksi bakteri serius: RR > 60x/menit Retraksi dinding dada berat Nasal flaring Grunting Bulging fontanelle (fontanella menonjol) Kejang Pus mengalir dari telinga Kemerahan disekitar umbilicus Temperature > 37,7oC (teraba panas) atau <35,5 oC (teraba dingin) Lethargi atau tidak sadar Penurunan gerakan atau hipoaktivitas Tidak bisa makan Tidak ada reflex hisap Tidak bisa menghisap kepada payudara ibunya

7. Diagnosis Kerja Respiratory distress et causa bronkopneumonia dan sepsis neonatorom 8. Pemeriksaan Penunjang Chest x-ray dilakukan untuk memastikan diagnosis bronkopneumonia pada bayi sekaligus mengetahui derajat keparahan penyakit tersebut sehingga dapat membantu dalam penilaian prognosis.

Gambaran radiologi khas pada bronkopneumonia adalah honey comb appearance.

16

Kultur darah dilakukan untuk memastikan jenis agen penginfeksi penyebab korioamnionitis, bronkopneumonia, dan sepsis. Spesimen diambil dari darah bayi dan darah ibu. Setelah memastikan jenis agen penginfeksi, dokter dapat memberikan antibiotik yang sesuai dalam menatalaksana pasien ini. Pungsi lumbal dilakukan untuk mengetahui luasnya penyebaran infeksi di tubuh bayi. Dengan melakukan pungsi lumbal, dapat diketahui apakah infeksi telah menyebar hingga ke otak. Tes ini juga dapat membantu dalam membuat prognosis. Complete Blood Count dilakukan untuk memastikan tanda-tanda infeksi. Beberapa komponen darah yang perlu diperhatikan adalah Hb, WBC, hitung jenis. CRP digunakan untuk menilai perkembangan infeksi dan fungsi hati. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay). CRP (C-Reactive Protein/ protein fase akut) merupakan protein yang disintesis di hati yang berperan dalam keadaan inflamasi. Pada dasarnya, CRP akan berikatan dengan phosphocholine yang merupakan produk bakteri maupun sel-sel yang telah rusak. CRP akan mengikat sel yang mengekspresikan phosphocholine (opsonin) untuk kemudian menarik (chemotacting factor) sel-sel radang lainnya ke tempat terjadinya inflamasi. Gula darah dilakukan untuk memastikan bahwa lemahnya bayi dalam kasus ini tidak disebabkan oleh hipoglikemia. Selain itu, pemeriksaan gula darah juga dapat membantu penatalaksanaan agar memberikan infus yang tepat untuk bayi. 9. Epidemiologi Sepsis neonatorum Angka kejadian sepsis di negara yang sedang berkembang masih cukup tinggi (1.818/1000) disbanding dengan negara maju (1-5 pasien/ 1000 kelahiran). Pada bayi laki-laki resiko sepsis 2 kali lebih besar dari bayi perempuan. Kejadian sepsis juga mneingkat pada BKB dan BBLR. Pada bayi berat lahir amat rendah (<1000 g) kejadian sepsis 26/1000 kelahiran dan keadaan ini berbeda bermakna dengan bayi berat lahir antara 1000-2000 g yang angka kejadiannya antara 8-9/1000 kelahiran. Demikian pula rsiko kematian BBLR penderita sepsis lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi cukup bulan. Secara nasional kejadian sepsis neonatal belum ada. Di RS Cipto Mangunkusumo angka kejadian sepsis neonatal memperlihatkan angka tinggi mencapai 13,7% sedangkan angka kematian mencapai 14%. Walaupun infeksi bacterial berperan penting dalam sepsis neonatal, tetapi infeksi virus tetap perlu dipertimbangkan. Dari pengumpulan data selama 5 tahun terakhir,
17

Shattuck (1992) melaporkan bahwa selain infeksi bakteri, infeksi virus khususnya enterovirus berperan pula sebagai penyebab sepsis neonatal. Asia: 7.1 to 38 per 1000 live births Africa: 6.5 - 23 per 1000 live births South America: 3.5 to 8.9 per 1000 live births United States: 6 - 9 per 1000 live births

Ketuban pecah dini Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan. Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah dini pada kehamilan prematur. Dalam keaadaan normal 8-10 % perempuan hamil aterm akan mengalami ketuban pecah dini. 10. Faktor Resiko

Faktor resiko ibu : Ketuban pecah din dan ketuban pecah > 18 jam. Bila ketuban pecah > 24 jam

maka kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1 % dan bila disertai korioamnionitis maka kejadian sepsis meningkat menjadi 4 kali. Infeksi dan demam (> dari 38 0C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis,

infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh streptokokus group B (GBS), kolonisasi perineal oleh E.coli, dan komplikasi obstetrik lainnya. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau Kehamilan multipel Keputihan yang tidak diobati Infeksi saluran kemih (ISK) yang tidak diobati Leukositosis ibu > 18.000/ml

18

Faktor resiko pada bayi Prematuritas dan berat lahir rendah Resusitasi pada soal kelahiran misalnya pada bayi yang mengalami fetal distres

dan trauma pada proses persalinan. Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, kateter, infus, pembedahan Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E.coli), defek imun atau

asplenia Asfiksia neonatorum Cacat bawaan Tanpa rawat gabung Pemberian nutrisi parenteral Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama

Faktror resiko lain Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering terjadi pada bayi laki-laki dari pada bayi perempuan. Lebih sering pada bayi kulit hitam dari pada kulit putih, lebih sering pada bayi dengan status sosial ekonomi yang rendah, dan sering terjadi akibat prosedur cuci tangan yang tidak benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga pasien.(1) 11. Patogenesis Sejak masa kehamilan sampai ketuban pecah, janin relatif terlindungi dari flora mikroba ibu oleh membran/dinding korioamniotik, plasenta, dan faktor antibakteria dalam air ketuban. Bila ketuban pecah lebih dari 24 jam, bakteri vagina dapat bergerak naik dan pada beberapa kasus menyebabkan inflamasi pada membran janin, tali pusat, dan plasenta. Infeksi pada janin dapat disebabkan oleh aspirasi air ketuban yang terinfeksi, dapat mengakibatkan neonatus lahir mati, persalinan kurang bulan, atau sepsis neonatal. Organisme yang paling sering ditemukan dari air ketuban yang terinfeksi adalah bakteri anaerobik, streptokokus kelompok B, Eschericia coli, dan mikoplasma daerah genital. Infeksi pada ibu saat proses kelahiran terutama infeksi genital adalah jalur utama transmisi
19

maternal dan dapat berperan penting pada kejadian infeksi neonatal. Infeksi hematogen transplasental selama atau segera sebelum persalinan (termasuk saat pelepasan plasenta) dapat terjadi walau infeksi lebih mungkin terjadi saat neonatus melewati jalan lahir. Saat bakteri mencapai aliran darah, sistem monosit-makrofag dapat menyingkirkan organisme tersebut secara efisien dengan opsonisasi oleh antibodi dan komplemen sehingga bakteriemi hanya terjadi singkat. Bakteremia tergantung dari usia pasien, virulensi dan jumlah bakteri dalam darah, status nutrisi dan imunologis, waktu dan asal intervensi terapi, menyebabkan respon inflamasi sistemik dari sumber infeksi berkembang luas. Salah satu infeksi yang paling jelas terlihat pada kasus ini yaitu pada saluran pernafasan akibat aspirasi cairan ketuban yang sudah terinfeksi sehingga menyebabkan salura pernafasan terinfeksi tidak terkecuali alveolus. Bila pertahanan tubuh tidak kuat karena pada
bayi baru lahir sistem imun tubuh belum terbentuk dengan sempurna maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu : Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti) Disebut hiperemia, mengacu pada respon

peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin. Stadium II (48 jam berikutnya) Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh

sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. Stadium III (3 8 hari) Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih

mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh 20

daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti. Stadium IV (7 11 hari) Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan

peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula. Alveolus yang meradang dan gagal mengembang mengakibatkan gangguan ventilasi pada saluran pernafasan yang mengakibatkan berkurangnya oksigen (hipoksemia) dan retensi CO2 di saluran pernafasan sehingga ada beberapa kompensasi dari tubuh untuk mengatasi hal ini yaitu dengan meningkatkan frekuensi pernafasan diharapkan agar volume oksigen yang masuk lebih besar, selain itu tubuh mengerahkan otot-otot bantu nafas agar paru dapat mengembang lebih besar sehingga dapat menampung oksigen yang lebih besar pulsa sehingga terjadilah kontraksi pada dinding dada yang biasa disebut retraksi dinding dada. Tidak hanya pada saluran pernafasan saja melainkan infeksi terjadi pada selurh tubuh yaitu septicemia yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ salah satunya pada sistem saraf pusat yang dapat mengakibatkan beberapa hal seperti hipoaktif dan tidak adanya reflex hisap pada bayi. Produksi mediator (e.g. PG, sitokin, protein hormon) Factor risiko KPD infeksi inkompetensi seviks tek. Intra uterin Kelainan letak Melemahnya kekuatan selaput ketuban Degradasi kolagen yang dimediasi oleh MMP

Pecahnya selaput ketuban

Terbukanya hub. Ekstra dan intrauterin Pembesaran uterus pertahanan terhadap infeksi Kontraksi rahim Gerakan janin Kehamilan aterm Infeksi ascenden (korioamnionitis)

Air ketuban berbau dan keruh

21

12. Penatalaksanaan a. Terapi Suportif Pertahankan suhu tubuh bayi tetap stabil bayi di incubator Beri Vitamin K1 0,5 mg IM ASI melalui NGT ( Parenteral feeding ) jika respiratory distress sudah teratasi Terapi Oksigen intranasal 1-2 liter/menit bila sianosis Terapi Nutrisi, cairan IVDF dekstrose 7,5 % atau 10% 500cc dalam NaCl 15% dengan jumlah yang sesuai b. Terapi Simptomatif dengan sendirinya mengalami perbaikan setelah diterapi suportif & kausatif nya. c. Terapi Kausatif Pada kasus ini, diberikan terlebih dahulu antibiotik spektrum luas, karena belum diketahui secara pasti mikroorganisme penyebab infeksi nya. Ampisilin 100 mg/kgBB/hari IV dalam 3-4 dosis Gentamisin 2,5 mg/kgBB/18 jam IV bila BB > 2000 gram 2,5 mg/kgBB/24 jam IV bila BB < 2000 gram Bila umur > 7 hari berikan tiap 12-18 jam Lama pemberian antara 7 10 hari Bila tidak ada perbaikan dalam 2 hari, ganti antibiotika dengan ceftazidime dosis

50mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis

Antibiotika untuk sepsis neonatal:

22

First line therapy in facility setting (WHO 2003) Ampicillin 50 mg/ kg every 12 hours in 1st week of life every 8 hours from 2 - 4 weeks gentamicin once daily

13. Komplikasi Bronkopneumoni : Empyema, pleuritis, abses paru, bronkiektasis, otitis media akut Sepsis neonatorum : Meningitis yang dapat menjadi hidrosepalus, periventricular
Meningitis Neonatus, dengan meningitis dapat menyebabkan terjadinya hidrosefalus dan/atau leukomalasia periventrikular

Pada sekitar 60 % keadaan syok septik akan menimbulkan komplikasi acute respiratory
distress syndrome (ARDS)

Komplikasi yang berhubungan dengan penggunaan aminoglikosida, seperti ketulian dan/atau


toksisitas pada ginjal.

Komplikasi akibat gejala sisa atau sekuele berupa defisit neurologis mulai dari gangguan
perkembangan sampai dengan retardasi mental

Kematian 14. Pencegahan


Cegah ketuban pecah dini dengan menghindari faktor risiko.

Apabila ketuban sudah pecah dalam 12 jam namun belum ada tanda-tanda in partu pertimbangkan untuk melakukan tindakan induksi ataupun section cesarean untuk mencegah adanya infeksi neonatal

penatalaksanaan yang agresif diberikan pada ibu yang dicurigai korioamnionitis dengan antibiotika sebelum persalinan

persalinan yang cepat bagi bayi baru lahir kemoprofilaksis intrapartum selektif dapat menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas pada infeksi bakteri neonatus

Apabila sudah ada infeksi genital sebelumnya berikan antibiotika sebelum persalinan Menjaga kebersihan daerah genitalia sebelum maupun saat hamil, apabila ada tandatanda infeksi segera periksa ke dokter untuk diobati.

23

15. Prognosis Quo ad vitam Quo ad fungsionam : bonam : dubia ad bonam

16. SKDI Sepsis Neonatorum Tingkat Kemampuan 3B : Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter ( misalnya pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-Ray). Dokter dapat memutuskan dan member terapi pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan (kasus gawat darurat). Bronkopneumonia Tingkat Kemampuan 4: Mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas. Lulusan dokter mampu membuat diagnosi s klinik dan melakukan

penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandi ri dan tuntas. IV. Hipotesis Bayi laki-laki baru lahir, cukup bulan, SMK (sesuai masa kehamilan), lahir spontan 3 jam yang lalu diduga menderita gangguan pernafasan (ARDS) et causa

bronchopneumonia dan sepsis neonatorum.

24

V. Kerangka Konsep

25

VI. Learning Issues 1. Acute Respiratory Distress Syndrome Gagal nafas akut /ARDS adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk

mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkanoleh masalah ventilasi difusi atau perfusi (Susan Martin T, 1997). Gagal nafas akut/ARDS adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen dankarbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan (RS Jantung Harapan Kita, 2001) Gagal nafas akut/ARDS terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001) Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ARDS ( Gagal nafas Akut ) merupakan ketidakmampuan atau kegagalan sitem pernapasan oksigen dalam darah sehingga pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru - paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam sel sel tubuh.sehingga tegangan oksigen berkurang dan akan peningkatan karbondioksida akan menjadi lebih besar. ETIOLOGI 1. Depresi Sistem saraf pusat

Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan dangkal. 2. Kelainan neurologis primer

Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot
26

pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan sangatmempengaruhiventilasi. 3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks

Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafas. 4. Trauma

Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas. Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang mendasar. 5. Penyakit akut paru

Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyababkan gagal nafas. PATOFISIOLOGI Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing masing mempunyai pengertian yang bebrbeda. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara).Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel. Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena kerja pernafasan menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital adalah
27

ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg). Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). MANIFESTASI KLINIS Gejala klinis utama pada kasus ARDS : 1.Peningkatan jumlah pernapasan 2. Klien mengeluh sulit bernapas, retraksi dan sianosis 3. Pada Auskultasi mungkin terdapat suara napas tambahan 4.Penurunan kesadaran mental 5. Takikardi, takipnea 6.Dispnea dengan kesulitan bernafas 7. Terdapat retraksi interkosta 8. Sianosis 9. Hipoksemia 10. Auskultasi paru : ronkhi basah, krekels, stridor, wheezing 11. Auskultasi jantung : BJ normal tanpa murmur atau gallop 2. Ketuban Pecah Dini 1. Definisi Ketuban pecah dini (KPD) atau ketuban pecah sebelum waktunya (KPSW) atau ketuban pecah prematur (KPP) adalah keluarnya cairan dari jalan lahir/vagina sebelum proses persalinan. Ketuban pecah prematur yaitu pecahnya membran khorio-amniotik sebelum onset persalinan atu disebut juga Premature Rupture Of Membrane = Prelabour Rupture Of Membrane = PROM. Ketuban pecah prematur pada preterm yaitu pecahnya membran Chorio-amniotik sebelum onset persalinan pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu atau disebut juga
28

Preterm Premature Rupture Of Membrane = Preterm Prelabour Rupture Of Membrane = PPROM Epidemiologi - PROM - PPROM Etiologi Penyebab dari KPD tidak atau masih belum diketahui secara jelas maka usaha preventif tidak dapat dilakukan, kecuali dalam usaha menekan infeksi. Faktor yang berhubungan dengan meningkatnya insidensi KPD antara lain : Fisiologi selaput amnion/ketuban yang abnormal Inkompetensi serviks Infeksi vagina/serviks Kehamilan ganda Polihidramnion Trauma Distensi uteri Stress maternal Stress fetal Infeksi Serviks yang pendek Prosedur medis Diagnosa Secara klinik diagnosa ketuban pecah dini tidak sukar dibuat anamnesa pada klien dengan keluarnya air seperti kencing dengan tanda-tanda yang khas sudah dapat menilai itu mengarah ke ketuban pecah dini. Untuk menentukan betul tidaknya ketuban pecah dini bisa dilakukan dengan cara : - Adanya cairan yang berisi mekonium (kotoran janin), verniks kaseosa (lemak putih) rambut lanugo atau (bulu-bulu halus) bila telah terinfeksi bau
29

: 6-19% kehamilan : 2% kehamilan

- Pemeriksaan inspekulo, lihat dan perhatikan apakah memang air ketuban keluar dari kanalis servikalis pada bagian yang sudah pecah, atau terdapat cairan ketuban pada forniks posterior - USG : volume cairan amnion berkurang/oligohidramnion - Terdapat infeksi genital (sistemik) - Gejala chorioamnionitis Maternal : demam (dan takikardi), uterine tenderness, cairan amnion yang keruh dan berbau, leukositosis (peningkatan sel darah putih) meninggi, leukosit esterase (LEA) meningkat, kultur darah/urin Fetal : takikardi, kardiotokografi, profilbiofisik, volume cairan ketuban berkurang Cairan amnion Tes cairan amnion, diantaranya dengan kultur/gram stain, fetal fibronectin, glukosa, leukosit esterase (LEA) dan sitokin. Jika terjadi chorioamnionitis maka angka mortalitas neonatal 4x lebih besar, angka respiratory distress, neonatal sepsis dan pardarahan intraventrikuler 3x lebih besar - Dilakukan tes valsava, tes nitrazin dan tes fern Normal pH cairan vagina 4,5-5,5 dan normal pH cairan amnion 7,0-7,5 Dilakukan uji kertas lakmus/nitrazine test Jadi biru (basa) Jadi merah (asam) Tatalaksana Penatalaksanaan ketuban pecah dini tergantung pada umur kehamilan dan tanda infeksi intrauterin. Pada umumnya lebih baik untuk membawa semua pasien dengan KPD ke RS dan melahirkan bayi yang berumur > 37 minggu dalam 24 jam dari pecahnya ketuban untuk memperkecil resiko infeksi intrauterin. Tindakan konservatif (mempertahankan kehamilan) diantaranya pemberian antibiotik dan cegah infeksi (tidak melakukan pemeriksaan dalam), tokolisis, pematangan paru, amnioinfusi, epitelisasi (vit C dan trace element, masih kontroversi), fetal and maternal monitoring. Tindakan aktif : air ketuban : air kencing

(terminasi/mengakhiri kehamilan) yaitu dengan sectio caesarea (SC) atau pun partus
30

pervaginam. Dalam penetapan langkah penatalaksanaan tindakan yang dilakukan apakah langkah konservatif ataukah aktif, sebaiknya perlu mempertimbangkan usia kehamilan, kondisi ibu dan janin, fasilitas perawatan intensif, kondisi, waktu dan tempat perawatan, fasilitas/kemampuan monitoring, kondisi/status imunologi ibu dan kemampuan finansial keluarga. Untuk usia kehamilan <37 minggu dilakukan penanganan konservatif dengan mempertahankan kehamilan sampai usia kehamilan matur. Untuk usia kehamilan 37 minggu atau lebih lakukan terminasi dan pemberian profilaksis streptokokkus grup B. Untuk kehamilan 34-36 minggu lakukan penatalaksanaan sama halnya dengan aterm. Untuk usia kehamilan 32-33 minggu lengkap lakukan tindakan konservatif/expectant management kecuali jika paru-paru sudah matur (maka perlu dilakukan tes pematangan paru), profilaksis streptokokkus grup B, pemberian kortikosteroid (belum ada konsensus namun direkomendasikan oleh para ahli), pemberian antibiotik selama fase laten.. Untuk previable preterm (usia kehamilan 24-31 minggu lengkap) lakukan tindakan konservatif, pemberian profilaksis streptokokkus grup B, single-course kortikosteroid, tokolisis (belum ada konsensus) dan pemberian antibiotik selama fase laten (jika tidak ada kontraindikasi). Untuk non viable preterm (usia kehamilan <24 minggu), lakukan koseling pasien dan keluarga, lakukan tindakan konservatif atau induksi persalinan, tidak direkomendasikan profilaksis streptokokkus grup B dan kortikosteroid, pemberian antibiotik tidak dianjurkan karena belum ada data untuk pemberian yang lama). Rekomendasi klinik untuk PROM, yaitu pemberian antibiotik karena periode fase laten yang panjang, kortikosteroid harus diberikan antara 24-32 minggu (untuk mencegah terjadinya resiko perdarahan intraventrikuler, respiratory distress syndrome dan necrotizing examinations),tidak boleh dilakukan digital cervical examinations jadi pilihannya adalah dengan spekulum, tokolisis untuk jangka waktu yang lama tidak diindikasikan sedangkan untuk jangka pendek dapat dipertimbangkan untuk memungkinkan pemberian kortikosteroid, antibiotik dan transportasi maternal, pemberian kortikosteroid setelah 34 minggu dan pemberian multiple course tidak direkomendasikan. Pematangan paru dilakukan dengan pemberian kortikosteroid yaitu deksametason 26 mg (2 hari) atau betametason 112 mg (2 hari). Agentokolisis yaitu B2 agonis (terbutalin, ritodrine), calsium antagonis (nifedipine), prostaglandin sintase inhibitor (indometasin), magnesium sulfat, oksitosin antagonis (atosiban). Tindakan epitelisasi masih kotroversial, walaupun vitamin C dan trace element terbukti berhubungan dengan terjadinya ketuban pecah terutama dalam metabolisme kolagen untuk maintenance integritas membran korio-amniotik, namun tidak terbukti menimbulkan epitelisasi lagi setelah terjadi PROM.
31

Tindakan terminasi dilakukan jika terdapat tanda-tanda chorioamnionitis, terdapat tandatanda kompresi tali pusat/janin (fetal distress) dan pertimbangan antara usia kehamilan, lamanya ketuban pecah dan resiko menunda persalinan. KPD pada kehamilan < 37 minggu tanpa infeksi, berikan antibiotik eritromisin 3250 mg, amoksisillin 3500 mg dan kortikosteroid. KPD pada kehamilan > 37 minggu tanpa infeksi (ketuban pecah >6 jam) berikan ampisillin 21 gr IV dan penisillin G 42 juta IU, jika serviks matang lakukan induksi persalinan dengan oksitosin, jika serviks tidak matang lakukan SC. KPD dengan infeksi (kehamilan <37 ataupun > 37 minggu), berikan antibiotik ampisillin 42 gr IV, gentamisin 5 mg/KgBB, jika serviks matang lakukan induksi persalinan dengan oksitosin, jika serviks tidak matang lakukan SC Prognosis/komplikasi Adapun pengaruh ketuban pecah dini terhadap ibu dan janin adalah : Prognosis ibu Infeksi intrapartal/dalam persalinan Infeksi puerperalis/ masa nifas Dry labour/Partus lama Perdarahan post partum Meningkatkan tindakan operatif obstetri (khususnya SC) Morbiditas dan mortalitas maternal

Prognosis janin Prematuritas

Masalah yang dapat terjadi pada persalinan prematur diantaranya adalah respiratory distress sindrome, hypothermia, neonatal feeding problem, retinopathy of premturity, intraventricular hemorrhage, necrotizing enterocolitis, brain disorder (and risk of cerebral palsy), hyperbilirubinemia, anemia, sepsis. Prolaps funiculli/ penurunan tali pusat Hipoksia dan Asfiksia sekunder (kekurangan oksigen pada bayi)

32

Mengakibatkan kompresi tali pusat, prolaps uteri, dry labour/pertus lama, apgar score rendah, ensefalopaty, cerebral palsy, perdarahan intrakranial, renal failure, respiratory distress. Sindrom deformitas janin

Terjadi akibat oligohidramnion. Diantaranya terjadi hipoplasia paru, deformitas ekstremitas dan pertumbuhan janin terhambat (PJT) Morbiditas dan mortalitas perinatal

3. Neonatal Sepsis

Pengertian Sepsis neonatorum adalah infeksi berat yang diderita neonatus dengan gejala sistemik dan terdapat bakteri dalam darah. Perjalanan penyakit sepsis dapat berlangsung cepat sehingga sering kali tidak terpantau tanpa pengobatan yang memadai sehingga neonatus dapat meninggal dalam waktu 24 sampai 48 hari. (Surasmi, 2003) Sepsis neonatal adalah merupakan sindroma klinis dari penyakit sistemik akibat infeksi selama satu bulan pertama kehidupan. Bakteri, virus, jamur, dan protozoa dapat menyebabkan sepsis bayi baru lahir. (DEPKES 2007) Sepsis neonatorum adalah infeksi yang terjadi pada bayi dalam 28 hari pertama setelah kelahiran. (Mochtar, 2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi sepsis pada bayi baru lahir dapat di bagi menjadi tiga kategori yaitu: a. Faktor maternal terdiri dari: 1) Ruptur selaput ketuban yang lama 2) Persalinan prematur 3) Amnionitis klinis 4) Demam maternal 5) Manipulasi berlebihan selama proses persalinan 6) Persalinan yang lama b. Pengaruh lingkungan yang dapat menjadi predisposisi bayi yang terkena sepsis, tetapi tidak terbatas pada buruknya praktek cuci tangan dan teknik perawatan, kateter umbilikus arteri dan vena, selang sentral, berbagai pemasangan kateter selang trakeaeknologi invasive, dan pemberian susu formula.
33

c. Faktor penjamu meliputi jenis kelamin laki-laki, bayi prematur, berat badan lahir rendah, dan kerusakan mekanisme pertahanan dari penjamu. (Wijayarini,2005) Patofisiologi Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai neonatus melalui beberapa cara yaitu: a. Pada masa antenatal atau sebelum lahir Pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilikus masuk ke dalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Penyebab infeksi adalah virus yang dapat menembus plasenta antara lain:virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki, influenza, parotitis. Bakteri yang melalui jalur ini antara lain: malaria, sipilis, dan toksoplasma. b. Pada masa intranatal atau saat persalinan Infeksi saat persalinan terjadi karena kuman yang ada pada vagina dan serviks naik mencapai korion dan amnion. Akibatnya terjadi amnionitis dan korionitis, selanjutnya kuman melalui umbilikus masuk ketubuh bayi. Cara lain yaitu pada saat persalinan, kemudian menyebabkan infeksi pada janin dapat terjadi melalui kulit bayi atau port de entre, saat bayi melewati jalan lahir yang terkontaminasi oleh kuman ( misalnya: herpes genetalia, candida albicans, gonorrhea). c. Infeksi pascanatal atau sesudah melahirkan Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran umumnya terjadi sesudah kelahiran, terjadi akibat infeksi nasokomial dari lingkungan di luar rahim (misalnya melalui alat-alat penghisap lendir, selang endotrakea, infus, selang nasogastrik, botol minuman atau dot). Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi, dapat menyebabkan terjadinya infeksi nasokomial. Infeksi juga dapat melalui luka umbilikus. (Surasmi, 2003) Faktor predisposisi Terdapat berbagai faktor predisposisi terjadinya sepsis, baik dari ibu maupun bayi sehingga dapat dilakukan tindakan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya sepsis. Faktor predisposisi itu adalah: Penyakit yang di derita ibu selama kehamilan, perawatan antenatal yang tidak memadai; Ibu menderita eklamsia, diabetes mellitus; Pertolongan persalinan yang tidak higiene, partus lama, partus dengan tindakan; Kelahiran kurang bulan, BBLR, cacat bawaan. Adanya trauma lahir, asfiksia neonatus, tindakan invasif pada neonatus; Tidak menerapkan rawat gabung. Sarana perawatan yang tidak baik, bangsal yang penuh sesak. Ketuban pecah dini, amnion kental dan berbau; Pemberian minum melalui botol, dan pemberian minum buatan.

34

Manifestasi klinis Tanda dan gejala sepsis neonatorum umumnya tidak jelas dan tidak spesifik.Tanda dan gejala sepsis neonatorum yaitu: Tanda dan gejala umum meliputi hipertermia atau hipotermi bahkan normal, aktivitas lemah atau tidak ada tampak sakit, berat badan menurun tiba-tiba; Tanda dan gejala pada saluran pernafasan meliputi dispnea, takipnea, apnea, tampak tarikan otot pernafasan,merintih, mengorok, dan pernafasan cuping hidung; Tanda dan gejala pada system kardiovaskuler meliputi hipotensi, kulit lembab, pucat dan sianosis; Tanda dan gejala pada saluran pencernaan mencakup distensi abdomen, malas atau tidak mau minum, diare; Tanda dan gejala pada sistem saraf pusat meliputi refleks moro abnormal, iritabilitas, kejang, hiporefleksia, fontanel anterior menonjol, pernafasan tidak teratur; Tanda dan gejala hematology mencakup tampak pucat, ikterus, patikie, purpura, perdarahan, splenomegali. Pencegahan a. Pada masa antenatal Perawatan antenatal meliputi pemeriksaan kesehatan ibu secara berkala, imunisasi, pengobatan terhadap penyakit infeksi yang di derita ibu, asupan gizi yang memadai, penanganan segera terhadap keadaan yang dapat menurunkan kesehatan ibu dan janin, rujukan segera ketempat pelayanan yang memadai bila diperlukan. b. Pada saat persalinan Perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptik, yang artinya dalam melakukan pertolongan persalinan harus dilakukan tindakan aseptik. Tindakan intervensi pada ibu dan bayi seminimal mungkin dilakukan (bila benar-benar diperlukan). Mengawasi

keadaan ibu dan janin yang baik selama proses persalinan, melakukan rujukan secepatnya bila diperlukan dan menghindari perlukaan kulit dan selaput lendir. c. Sesudah persalinan Perawatan sesudah lahir meliputi menerapkan rawat gabung bila bayi normal, pemberian ASI secepatnya, mengupayakan lingkungan dan peralatan tetap bersih, setiap bayi menggunakan peralatan tersendiri, perawatan luka umbilikus secara steril. Tindakan invasif harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip aseptik. Menghindari perlukaan selaput lendir dan kulit, mencuci tangan dengan menggunakan larutan desinfektan sebelum dan sesudah memegang setiap bayi. Pemantauan bayi secara teliti disertai pendokumentasian data-data yang benar dan

35

baik. Semua personel yang menangani atau bertugas di kamar bayi harus sehat. Bayi yang berpenyakit menular di isolasi, pemberian antibiotik secara rasional, sedapat mungkin melalui pemantauan mikrobiologi dan tes resistensi. (Sarwono, 2004) Pengobatan Prinsip pengobatan sepsis neonatorum adalah mempertahankan metabolisme tubuh dan memperbaiki keadaan umum dengan pemberian cairan intravena termasuk kebutuhan nutrisi. Menurut Yu Victor Y.H dan Hans E. Monintja pemberian antibiotik hendaknya memenuhi kriteria efektif berdasarkan hasil pemantauan mikrobiologi, murah, dan mudah diperoleh, tidak toksik, dapat menembus sawar darah otak atau dinding kapiler dalam otak yang memisahkan darah dari jaringan otak dan dapat diberi secara parenteral. Pilihan obat yang diberikan ialah ampisilin dan gentamisin atau ampisilin dan kloramfenikol, eritromisin atau sefalasporin atau obat lain sesuai hasil tes resistensi. Dosis antibiotik untuk sepsis neonatorum : Ampisislin 200 mg/kgBB/hari, dibagi 3 atau 4 kali pemberian; Gentamisin 5 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 2 pemberian; Kloramfenikol 25 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 atau 4 kali pemberian; Sefalasporin 100 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 2 kali pemberian;Eritromisin500 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis.(surasmi,2003)
4. Bronchopneumonia

Bronchopneumonia adalah suatu peradangan paru yang biasanya menyerang di bronkeoli terminal. Bronkeoli terminal tersumbat oleh eksudat mokopurulen yang membentuk bercak-barcak konsolidasi di lobuli yang berdekatan. Penyakit ini sering bersifat sekunder, menyertai infeksi saluran pernafasan atas, demam infeksi yang spesifik dan penyakit yang melemahkan daya tahan tubuh. Etiologi Secara umun individu yang terserang bronchopneumonia diakibatkan oleh adanya penurunan mekanisme pertahanan tubuh terhadap virulensi organisme patogen. Orang yang normal dan sehat mempunyai mekanisme pertahanan tubuh terhadap organ pernafasan yang terdiri atas : reflek glotis dan batuk, adanya lapisan mukus, gerakan silia yang menggerakkan kuman keluar dari organ, dan sekresi humoral setempat.

36

Timbulnya bronchopneumonia disebabkan oleh : 1. Bakteri : Streptococcus, Staphylococcus, H. Influenzae, Klebsiella. 2. Virus : Legionella pneumoniae 3. Jamur : Aspergillus spesies, Candida albicans 4. Aspirasi makanan, sekresi orofaringeal atau isi lambung ke dalam paru-paru 5. Terjadi karena kongesti paru yang lama.Sebab lain dari pneumonia adalah akibat flora normal yang terjadi pada pasien yang daya tahannya terganggu, atau terjadi aspirasi flora normal yang terdapat dalam mulut dan karena adanya pneumocystis cranii, Mycoplasma. (Smeltzer & Suzanne C, 2002 : 572 dan Sandra M. Nettina, 2001 : 682) Patofisiologi Bronchopneumonia selalu didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas yang disebabkan oleh bakteri staphylococcus, Haemophillus influenzae atau karena aspirasi makanan dan minuman. Dari saluran pernafasan kemudian sebagian kuman tersebut masukl ke saluran pernafasan bagian bawah dan menyebabkan terjadinya infeksi kuman di tempat tersebut, sebagian lagi masuk ke pembuluh darah dan menginfeksi saluran pernafasan dengan ganbaran sebagai berikut: 1. Infeksi saluran nafas bagian bawah menyebabkan tiga hal, yaitu dilatasi pembuluh darah alveoli, peningkatan suhu, dan edema antara kapiler dan alveoli. 2. Ekspansi kuman melalui pembuluh darah kemudian masuk ke dalam saluran pencernaan dan menginfeksinya mengakibatkan terjadinya peningkatan flora normal dalam usus, peristaltik meningkat akibat usus mengalami malabsorbsi dan kemudian terjadilah diare yang beresiko terhadap gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. (Soeparman, 1991) Manifestasi Klinis Bronchopneumonia biasanya didahului oleh suatu infeksi di saluran pernafasan bagian atas selama beberapa hari. Pada tahap awal, penderita bronchopneumonia mengalami tanda dan gejala yang khas seperti menggigil, demam, nyeri dada pleuritis, batuk
37

produktif, hidung kemerahan, saat bernafas menggunakan otot aksesorius dan bisa timbul sianosis. (Barbara C. long, 1996 :435) Pemeriksaan Penunjang Untuk dapat menegakkan diagnosa keperawatan dapat digunakan cara: Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah Pemeriksaan sputum Analisa gas darah Kultur darah Sampel darah, sputum, dan urin Pemeriksaan Radiologi Rontgenogram Thoraks Laringoskopi/ bronkoskopi

38

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Seorang bayi laki-laki Ny. Utami baru lahir, sesuai masa kehamilan (SMK), cukup bulan, dengan berat badan 3 kg, APGAR score 5-8, lahir spontan disertai asfiksia ringan mengalami distress pernapasan (ARDS) karena Bronkopneumonia dan sepsis neonatorum.

39

DAFTAR PUSTAKA

Cunningham F. Garry, et al. Obstetri Wiliam.Ed 23. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC;2010. Diagnosis Fisis pada Anak, penyunting Corry S Matondang, ISkandar Wahidiyat, Sugindo sastroasmoro. Jakarta: PT Sagung Seto, 2000 Dorland, W. A. Newman.. 2002. Kamus Kedokteran Dorland edisi 29. Jakarta: EGC Hassan, Rusepno., Husein Alatas. 1985. Buku Kuliah jilid 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Neonatalogi.Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI;2008. Pelayanan Kesehatan Materna dan Neonatal. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Prawirohardjo, Sarwono. 2012. Ilmu Kebidanan Edisi keempat Cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;2010. Sholeh, M.Kosim., Ari Yunanto, dkk. 2012. Buku Ajar Neonatologi edisi Pertama cetakan ketiga. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. Wahab, A.Samik dkk (Ed). 1999. Ilmu Kesehatan Anak/Nelson vol 1 edisi 15. Jakarta: EGC -----. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehtan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirihardo

40

41

Das könnte Ihnen auch gefallen