Sie sind auf Seite 1von 24

Kamis, 22 Oktober 2009 Kategori Penerjemahan Lisan Oleh : Havid Ardi, SS., M.Pd (Dosen LB Jur.

BSI)

The aim of this article is to clarify the categorization of interpretation, also understood as oral translation. There are many types of interpretation proposed by scholars. Some of the categorizations are similar, but some are overlapping and show inconsistency. First, existing definitions and classifications of interpretation are reviewed in terminological, conceptual and classification confusions are pointed out. Then, based on analysis, the new interpretation classifications are proposed.

A. PENDAHULUAN

Seperti penerjemahan pada umumnya, penerjemahan lisan (interpretation) merupakan proses pengalihan pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran yang dilakukan secara lisan. Penerjemahan lisan atau pengalihbahasaan memiliki berbagai jenis dan kategorisasi. Beberapa jenis pengalihbahasaan seperti: consecutive interpreting, simultaneous interpreting, whispered interpreting, liaison interpreting, community interpreting, conference interpreting dan lain sebagainya. Namun, beberapa istilah di atas merujuk pada konsep yang sama. Selain itu, kategorisasi yang ditawarkan para ahli dalam pengelompokan jenis pengalihbahasaan juga tumpang tindih dan inkonsisten.

Artikel ini dimaksudkan untuk mereview dan mendiskusikan beberapa jenis penerjemahan lisan dan ciricirinya serta kategorisasi yang ada saat ini. Berikutnya mengajukan model kategorisasi pengalihbahasaan. Artikel ini juga dimaksudkan sebagai kajian awal dalam merancang pelatihan atau pendidikan untuk melahirkan alihbahasawan (interpreter).

B. TINJAUAN PENERJEMAHAN LISAN

Banyak definisi pengalihbahasaan yang telah dikemukan para ahli. Misalnya, Brislin (1976:1), menyatakan:

Interpretation refers to oral communication situations in which one person speaks in the source language, an interpreter processes this input and produces output in a second language, and a third person listens to the source language version.

Definisi ini menegaskan bahwa pengalihbahasaan terjadi dalam setting komunikasi lisan antara komunikator dan komunikan yang menggunakan bahasa berbeda, sehingga alihbahasawan bertugas memproses input (Bsu) dari pembicara pertama dan menghasilkan output dalam versi bahasa (Bsa) yang dipahami oleh orang ke tiga. Input di sini berbentuk lisan.

Phelan (2001:6) menyatakan pengalihbahasaan adalah penerjemahan secara lisan apa yang didengar ke dalam bahasa lain. Ia menambahkan bahwa alihbahasawan terfokus pada gagasan bukan pada kesepadanan pada tataran kata secara terpisah (ibid: 7). Sependapat dengan Phelan, Seleskovitch (1976:92-93) menegaskan bahwa pengalihbahasaan yang dituturkan secara langsung, lebih ditekankan pada kesepadanan ide atau gagasan, daripada kesepadanan linguistiknya (frasa atau kata). Jadi alihbahasawan berkonsentrasi pada pemilihan redaksi kata yang tepat untuk menyampaikan gagasan sesuai waktu dan konteks pada saat itu, bukan menyampaikan sesuai dengan kata-kata seperti pada bahasa sumber (Shuttleworth & Cowie, 1997; Arjona, 1978).

Weber (1984) menambahkan interpretation is the oral transposition of an orally delivered message at a conference or a meeting from a source language into a target language, performed in the presence of the participants. Pendapat ini lebih menekankan fungsi pengalihbahasaan dalam menjembatani hambatan komunikasi lisan karena perbedaan bahasa. Namun pada konteks sekarang kehadiran di sini tidak selalu berada di tempat dan ruang yang sama.

Sementara, Edwards (dalam Kelly, 2005), menyatakan bahwa Interpetation means the unrehearsed transmitting of a spoken or signed message from one language to another. Edwards lebih menekankan proses pengalihbahasaan ini terjadi secara langsung atau spontan dan ia tidak terbatas pada bentuk lisan semata, namun juga dari dan ke bahasa isyarat. Definisi ini mengakomodir pengalihbahasaan dari bentuk lisan ke bentuk bahasa isyarat karena beberapa kesamaan, seperti aspek tekanan kognitif dan kecepatan.

Sementara, Gile (2000:40) menyebutkan, interpreting is the oral translation of oral discourse, as opposed to the oral translation or written texts. The latter is known as sight translation or translation-atsight. Gile membatasi pengalihbahasaan merupakan penerjemahan secara lisan dari wacana lisan, dan hal ini berbeda dengan penerjemahan lisan dari teks tertulis. Sehingga sight translation menurut Gile

(2000) tidak termasuk pengalihbahasaan. Hal ini berdasarkan beberapa perbedaannya dengan pengalihbahasaan - misalnya cognitive stress yang hampir tidak ditemui pada sight-translation (lihat Gile, 1995: xiii & 183). Namun, ia tetap memasukkan sight translation sebagai jenis pengalihbahasaan (lihat Gile, 1995:183). Kemungkinan disebabkan kesamaannya disamping perbedaannya diantara penerjemahan dan pengalihbahasaan (ibid: xiii).

Berdasarkan definisi di atas diperoleh simpulan bahwa pengalih-bahasaan merupakan penggantian bahasa ujaran lisan dan diproduksi kembali dalam bentuk lisan atau bahasa isyarat. Selain itu, pengalihbahasaan selalu terjadi dalam setting komunikasi yang melibatkan paling sedikit dua orang pembicara dan adanya pendengar/peserta yang memiliki bahasa berbeda dan tidak menutup kemungkinan bisa lebih dari dua orang. Pengalihbahasaan dapat melibatkan lebih dari dua bahasa jika yang terlibat dalam komunikasi lintas bahasa tersebut juga lebih dari dua orang dengan latar bahasa dan budaya yang jelas berbeda.

C. KATEGORISASI PENERJEMAHAN LISAN

Banyak kategori atau klasifikasi penerjemahan lisan yang telah diajukan para ahli penerjemahan selama ini, namun, beberapa kategori tersebut masih tumpang tindih dan inkonsisten. Selain itu juga terdapat beragam istilah yang merujuk pada konsep yang sama. Mari kita cermati beberapa kategorisasi penerjemahan lisan berikut.

Kreser dan Weber (dalam Nababan, 2003: 115) mengklasifikasikan penerjemahan lisan berdasarkan cara pengalihbahasaan, yaitu: pengalih-bahasaan secara simultan, konsekutif, berbisik, dan sight translation. Namun, sebenarnya, ada yang tumpang tindih pada klasifikasi ini, misalnya, dalam pengalihbahasaan secara simultan atau konsekutif dapat juga dilakukan secara berbisik. Selain itu juga terdapat keinkonsistenan, misalnya konsekutif dan simultan jika dibandingkan sama-sama berdasarkan waktu pengalihan (time atau moment of speaking) langsung atau menunggu, sementara, sight-translation karena bahasa sumbernya dalam bentuk wacana tulis yang dapat dibaca.

Sementara, Gentile, et al (1996:22) mengkategorikan penerjemahan lisan menjadi dua genre utama, yaitu liaison interpreting dan conference interpreting, sebagai prototipe pengalihbahasaan. Jika kita cermati makna kamus, liaison bermakna agen komunikasi atau penghubung yang merujuk pada fungsi, sementara konferensi merujuk pada tempat. Jadi penamaan ini belum konsisten satu sama lain.

Berikutnya, klasifikasi pengalihbahasaan yang ditawarkan Phelan (2001:6) ada tiga jenis pengalihbahasaan, yaitu: bilateral/liaison, konsekutif, dan simultan. Pengalihbahasaan bilateral (liaison) adalah pengalihbahasaan dua arah oleh alihbahasawan yang sama. Tipe ini biasanya dilakukan dalam setting masyarakat. Sementara simultaneous interpreting dan consecutive interpreting dibedakan berdasarkan cara atau saat alihbahasawan berbicara. Jika kita bandingkan, klasifikasi yang ditawarkan ini juga belum konsisten. Pengalihbahasaan bilateral dibedakan karena sifatnya yang dilakukan dalam bentuk dialog, alihbahasawan yang sama harus mengalihbahasakan ke dalam dua arah. Sementara, pengalihbahasaan konsekutif dan simultan berbeda berdasarkan saat bicara.

Selain berdasarkan genre, Gentile, et al (1996:22) juga mengklasifikasi penerjemahan lisan berdasarkan mode (metode atau cara pengalihbahasaan), yaitu: pengalihbahasaan secara simultan dan konsekutif sebagai dua cara dasar dalam pelaksanaan pengalihbahasaan. Baik liaison maupun conference interpreting dapat menggunakan kedua mode tersebut (ibid: 22). Klasifikasi kedua yang ditawarkan Gentile ini terlihat lebih konsisten karena sama-sama dibedakan berdasarkan mode. Namun, penggunaan istilah mode juga tumpang tindih, misalnya Clifford, berdasarkan mode pengalihbahasaan, ia membagi menjadi conference interpreting (antar dua bahasa lisan) dan sign language interpreting (antara bahasa lisan dan bahasa isyarat) (2001:366). Mode di sini sebenarnya merujuk pada alat atau channel komunikasi yang digunakan..

Dari diskusi sementara terlihat adanya perbedaan dan kesamaan pendapat dari beberapa ahli Secara umum kategorisasi jenis penerjemahan lisan yang telah ditawarkan para ahli dapat kita bandingkan dalam bentuk tabel berikut:

Tabel 1. Perbandingan Klasifikasi Pengalihbahasaan Kategori Gentile, et al (1996:22) Kreser & Weber (dlm Nababan) Pchhacker (2001) Clifford (2001) Phelan (2001: 6) Genre/tipe Spektrum prototipe Liaison, Conference, Community,

Conference bilateral/liaison, konsekutif, simultan. Mode Simultan Konsekutif simultan, konsekutif, berbisik, sight translation conference, sign language

Selain klasifikasi di atas, berdasarkan spesilisasi pekerjaan, liaison interpreting ini juga dibedakan berdasarkan jenis setting pekerjaannya seperti pengalihbahasaan medis (Kelly, 2008) & kesehatan mental, legal setting (court interpreting), bisnis, dan speech pathology (Gentile, 1996: 77-134). Selain itu, berdasarkan jarak antara dan alat yang digunakan juga muncul remote interpreting, yang menggunakan: telephone, video, videoconference (Kelly, 2008; Phelan, 2001), dan pasangannya face-toface atau on-site interpreting (Kelly, 2008; Angelelli, 2004:49-50; Phelan, 2001).

Berdasarkan diskusi di atas dan di atas, ditawarkan kategorisasi pengalihbahasaan berdasarkan: setting interaksi, cara pengalihbahasaan, jarak dan alat yang digunakan, kekhususan bidang pekerjaan, dan berdasarkan wacana input & output.

1. Berdasarkan situasi dan interaksi (mode of interaction & setting)

Berdasarkan situasi dan dan interaksi terdapat dua jenis pengalihbahasaan, yaitu: pengalihbahasaan dalam setting konferensi (conference interpreting) dan masyarakat (community interpreting). Pembagian ini berdasarkan spektrum perbedaan yang ada diantara kedua pengalihbahasaan tersebut. Spektrum perbedaan ini antara lain, dari segi interaksi (multinasional dan nasional), institusi, masyarakat (Pchhacker, 2001:411).

Pengalihbahasaan di masyarakat biasanya dilakukan untuk kebutuhan layanan masyarakat, misalnya pasien dan dokter (Angelelli, 2001; Gentile et al, 1996). Sementara alihbahasawan dalam konferensi biasanya melayani para pejabat negara. Karena perbedaan klien ini, alihbahasawan dalam konferensi biasanya memiliki prestise yang lebih tinggi, sehingga Robert (dalam Angelelli, 2001) lebih memilih istilah community interpreting di samping liason interpreting.

a. Pengalihbahasaan dalam setting konferensi (Conference interpreting) Pengalihbahasaan ini dilakukan dalam setting konferensi, alihbahasawan duduk di tempat terpisah (booth) yang dapat melihat klien/atau peserta konferensi. Masing-masing booth biasanya terdiri dari dua alihbahasawan yang hanya mengalihbahasakan ke satu bahasa saja (Gentile et al, 1996). Mereka dapat dibedakan menjadi alihbahasawan aktif dan alihbahasawan pasif (Gile, 1995). Alihbahasawan aktif bertugas mendengarkan dan mengalihbahasakan wacana lisan yang didengarnya ke dalam bahasa sasaran, sementara alihbahasawan pasif menjadi asisten yang sewaktu-waktu harus siap memberi informasi jika ada bagian yang tertinggal (ibid). Sementara di booth lain alihbahasawan berbeda mengalihbahasakan ke bahasa yang berbeda. Peserta konferensi tinggal memilih saluran bahasa yang tersedia.

Berdasarkan saat bicara, pengalihbahasaan dalam setting konferensi seringkali dilakukan secara simultan, alihbahasawan langsung mengalihbahasakan gagasan yang disampaikan pembicara dalam bahasa sumber ke bahasa sasaran yang ditugaskan padanya pada saat yang sama (Phelan, 2001; Pchhacker, 2001; Gentile et al, 1996). Namun tak jarang juga dilakukan secara konsekutif/bergantian yaitu alihbahasawan diberi waktu untuk mengalihbahasakan, hal ini apabila acara tersebut banyak melibatkan tanya jawab (Gentile et al, 1996).

Dalam conference interpreting, prose pengalihbahasaan hanya dalam bentuk interaksi satu arah, biasanya dari L2 ke L1. Lebih lanjut, berdasarkan: jarak fisik relatif berjauhan, informasi yang dimiliki antar klien dan status antar klien relatif sama, bekerja dalam tim (Gentile, et al, 1996:18).

b. Pengalihbahasaan dalam setting masyarakat (Community interpreting)

Pengalihbahasaan ini terjadi dalam sektor layanan publik untuk memfasilitasi komunikasi antara petugas dan masyarakat awam, seperti di kantor polisi, imigrasi, pusat kesejahteraan sosial, medis dan kesehatan mental, sekolah, dan istitusi sejenis lainnya (Wadensj, 2000:33; Pchhacker, 2001; Gile, 2000). Pengalihbahasaaan ini memiliki banyak nama, namun konsepnya merujuk pada konsep yang

sama. Misalnya, Gentile menggunakan istilah liaison interpreting yang disebutnya sebagai genre pengalihbahasaan yang menuntut alihbahasawan yang sama untuk melakukan pengalihbahasaan dalam dua arah (bi-directional) yang terjadi dalam setting masyarakat (Gentile et al, 1996:17) yang dilakukan secara konsekutif maupun simultan. Sementara, Phelan (2001) menggunakan istilah pengalihabahasaan bilateral atau liaison, dan pengalihbahasaan dialog (dialogue interpreting) atau liaison interpreting (Gentile, 1996).

Alihbahasawan liaison bertugas mengalihkan bahasa ke dalam bentuk interaksi dua arah dalam setting lingkungan masyarakat umum (Gentile, et al, 1996:17). Di beberapa negara istilah pengalihbahasaan ini juga berbeda, seperti di UK pengalihbahasaan jenis ini disebut ad hoc atau public service interpreting, di Skandinavia disebut contact interpreting, dan di Australia disebut three-concerned interpreting atau pengalihbahasaan dialog (dialogue interpreting) (Gentile et al, 1996). Namun prinsip kerjanya sama, alihbahasawan yang sama harus menerjemahkan secara lisan untuk menjembatani dialog antara dua orang (atau lebih) ke dalam bahasa mereka masing-masing.

Lebih lanjut Pchhacker, (2001:415) menjelaskan bahwa dalam community interpreting, dialog antar dua klien lebih dominan dilakukan secara konsekutif bilateral pendek-pendek. Sementara dari segi kliennya, pihak pertama lebih menguasai percakapan biasanya merupakan wakil dari institusi atau layanan publik (service provider atau jasa profesi) yang menyediakan layanan umum. Sementara klien kedua adalah pengguna layanan tersebut yang biasanya tidak menguasai bahasa yang umum dipakai di tempat tersebut.

Persamaan dan perbedaan antara conference dan community interpreting masih sangat sedikit dipelajari (Angelelli, 2000). Roberts (dalam Angelelli, 2000), misalnya, membandingan lima elemen berikut: 1) cara pengalihbahasaan (modes of interpreting) yaitu, simultan, konsekutif, konsekutif pendek; 2) bentuk discourse (modes of discourse) yaitu: monolog & dialog; 3) jenis wacana (discourse types) misal: naratif, prosedur; 4) kriteria evaluasi, misal: gaya penyampaian (style of presentation), akurasi isi; dan 5) prinsip etika, (kerahasian, ketentuan syarat keahlian). Sehingga akhirnya ia menyimpulkan bahwa kedua jenis penerjemahan ini sama berdasarkan jenis keterampilan yang diperlukan. Roberts menambahkan bahwa perbedaan sesungguhnya diantara kedua pengalihbahasaan tersebut hanya lebih banyaknya dialog dalam community interpreting, sementara dalam konferensi waktu untuk tanya-jawab biasanya terbatas (Roberts, dalam Angelelli, 2000: 581-2).

Berdasarkan situasi interaksi dapat dilihat pada tabel berikut (Angelelli, 2000:582-583 & 586):

Tabel 2. Perbandingan Community interpreting dan Conference interpreting (modifikasi dari Angelelli, 2000) Community interpreting Conference Interpreting Bentuk dialog (dialogic mode) Bentuk monolog (monologic mode) (Sebagian besar) Pengalihbahasaan ke dalam kedua bahasa seimbang (2 arah) Sebagian besar pengalihbahasaan ke satu bahasa saja (ke bahasa dengan penguasaan A alihbahasawan) Ada kemungkinan untuk mengontrol arus atau lalu lintas komunikasi. Tidak dapat mengontrol pembicara (kecuali permintaan untuk mengurangi kecepatan, itupun apabila peralatan memungkinkan - dengan menekan tombol speaker) Partisipasi pihak yang terlibat dalam komunikasi kemungkinal bukan pilihan/mutlak (misal pada kasus pasien) Partisipasi pihak yang terlibat dalam komunikasi mungkin opsional (misalnya seorang peserta) Potensi perbedaan latar belakang antara pihak yang terlibat besar Potensi perbedaan latar belakang antara pihak yang terlibat kecil Potensi variasi linguistik dari kode yang sama (dalam kedua bahasa) besar Potensi variasi linguistik dari kode yang sama kecil (biasanya hanya dalam 1 bahasa atau pembicara) Potensi penggunaan register yang berbeda besar. Potensi penggunaan register yang berbeda kecil Situasi komunikasi memungkin alihbahasawan untuk mengklarifikasi yang tidak jelas (Angelelli, 2000:586) Situasi komunikasi tidak memungkinkan alihbahasawan untuk melakukan klarifikasi. Alihbahasawan mengalihbahasakan kedua partisipan (speaker dan hearer) Alihbahasawan hanya mengikuti satu pembicara saja dalam bentuk monolog. Channel input yang digunakan biasanya hanya lisan Alihbahasawan mungkin menerima lebih dari satu input (lisan, tertulis atau visual pada proyektor)

2. Berdasarkan cara pengalihbahasaan (mode of interpreting)

Genre pengalihbahasaan berikutnya dibedakan berdasarkan waktu bicara. Beberapa ahli menggolongkan dua jenis pengalihbahasaan berdasarkan mode (cara) yaitu konsekutif dan simultan (misalnya Gentile et al 1996) dan summary interpreting (Kelly, 2005).

a. Pengalihbahasaan simultan (Simultaneous interpretation)

Pengalihbahasaan simultan disampaikan pada saat alihbahasawan mendengarkan bahasa sumber. Pengalihbahasaan secara simultan sering dilakukan dengan cara alihbahasawan duduk dalam booth kedap suara mendengarkan pembicara melalui headset dan mengalihbahasakanya ke dalam bahasa target dengan menggunakan mikropon sembari tetap mendengarkan. Pembicara dan penerjemah berbicara hampir dalam waktu bersamaan dalam bahasa yang berbeda. Delegasi dalam ruang konferensi mendengarkan alihbahasaanya dalam bahasa target melalui headset (Gile, 2000: 41).

Sebagai mode dasar dalam pengalihbahasaan, simultan dapat dilakukan dalam setting konferensi atau masyarakat Gentile et al (1996). Namun demikian, pengalihbahasaan ini lebih sering dilakukan dalam konferensi. Pengalihbahasaan ini biasanya melibatkan banyak bahasa, alihbahasawan hanya mengalihbahasakan dari satu bahasa ke bahasa pertamanaya atau jenis bahasa A/B. Dalam masyarakat, pengalihbahasaan simultan ini biasanya dilakukan dengan cara alihbahasawan duduk dekat partisipan yang memerlukan bantuannya yang disampaikan dengan cara berbisik (chuchotage) (Gentile et al, 1996:26). Ahli lain menyebutnya whispered interpretation karena alihbahasawan memang berbisik agar tidak mengganggu peserta lain. Namun perlu diingat bahwa hal ini dilakukan bila partisipan yang membutuhkan alihbahasaan dalam bahasa tersebut jumlahnya sedikit sehingga tidak perlu diberikan melalui perangkat sound sistem.

b. Pengalihbahasaan Konsekutif (Consecutive interpretation)

Pengalihbahasaan konsekutif dilakukan secara bergantian (successive) dengan pembicara. Sehingga ada yang menyebut pengalihbahasaan konsekutif dengan successive interpretation. Menurut Gile dalam consecutive interpreting, alihbahasawan mendengarkan segmen-segmen gagasan yang disampaikan

pembicara selama beberapa menit dan membuat catatan (bila perlu), kemudian alihbahasawan menyampaikan ulang gagasan tersebut dalam bahasa target, sementara pembicara diam. Selanjutnya pembicara kembali meneruskan segmen berikutnya dan akan dialihbahasakan setelah ia memberi jeda (Gile, 2000:41). Durasi segmen tuturan pembicara bervariasi mulai dari 6-7 menit (Gentile et al, 1996). Terlihat bahwa waktu berbicara alihabahasawan dan pembicara dilakukan secara bergantian. Pelaksanaannya alihbahasawan dapat duduk bersama dengan peserta/partisipan komunikasi dalam satu ruangan atau diruang terpisah (booth), mencatat apa yang dikatakan pembicara. Bila pengalihbahasaan ini dilakukan dalam masyarakat, terkadang pengalihbahasaan dilakukan kalimat per kalimat..

Pengalihbahasaan konsekutif dapat dilakukan dengan alat atau tanpa alat. Bila partisipan yang memerlukan alihbahasa tersebut banyak maka diperlukan peralatan untuk memudahkan tugasnya. Terkait setting, mode konsekutif bisa dilakukan dalam masyarakat maupun konferensi tergantung kondisinya (Gentile et al, 1996:22). Hal yang menjadi pembeda adalah saat alihbahasawan berbicara dan arahnya. Terkait bahasa yang digunakan, pengalihbahasaan konsekutif dalam setting masyarakat biasanya terjadi pada even komunikasi yang hanya melibatkan dua bahasa dan peserta yang terbatas. Mode pengalihbahasaan konsekutif dalam konferensi dilakukan jika kegiatan konferensi memiliki porsi tanya jawab yang banyak dengan peserta multibahasa dan namun tetap setiap alihbahasawan hanya mengalihbahasakan ke satu bahasa.

c. Pengalihbahasaan secara ikhtisar (Summary Interpreting)

Summary interpreting merupakan cara pengalihbahasaan dengan memparafrase dan memadatkan informasi atau pernyataan dari pembicara. Hal ini berbeda dengan pengalihbahasaan simultan dan konsekutif yang berusaha mengungkapkan pesan tersebut sesuai bahasa aslinya. Biasanya mode pengalihbahasaan ini dilarang dalam legal setting (Kelly, et al, 2005).

3. Berdasarkan Spesialisasi Jenis pekerjaan (work speacialty)

Kekhususan masing-masing bidang pekerjaan seperti medis, bisnis, hukum yang banyak menggunakan istilah, register, kosakata, prosedur, dan konteks tertentu yang berbeda satu sama lain, sehingga memerlukan alihbahasawan yang profesional untuk masing-masing bidang pekerjaan. Gentile et al (1996), membagi jenis pengalihbahasaan ini menjadi bidang kesehatan mental, bidang hukum &

pengadilan (legal setting), bisnis, dan speech pathology. Ahli lainnya juga membedakan antara alihbahasawan medis biasa dan alihbahasawan kesehatan mental (lihat Kelly, 2008).

a. Pengalihbahasaan medis (medical interpreting/Health Care Interpreting)

Pengalihabahasaan medis terkait dengan kekhususan bidang medis atau kedokteran. Alihbahasawan perawatan kesehatan merupakan alih-bahasawan yang dilatih mengenai etika profesional dan protokol, memahami istilah medis, dan mampu menjembatani komunikasi dari satu bahasa ke bahasa lain (Dower, 2003). Pengalihbahasaan ini terdapat di negara yang mempunyai penduduk yang tidak menguasai bahasa yang umum dipakai, seperti California dengan 20% penduduk tidak mampu berbahasa Inggris dengan baik. Oleh karena itu, UU dan peraturan pemerintah mensyaratkan adanya alihbahasawan untuk membantu kesulitan komunikasi pada layanan publik.

b. Pengalihbahasaan dalam bidang kesehatan mental (Mental health setting)

Alihbahasawan kesehatan mental sebenarnya masih termasuk dalam pengalihbahasaan dalam pelayanan kesehatan (health care interpreting) (Kelly, 2007). Namun kesulitan komunikasi pada pasien yang memiliki masalah kesehatan mental berbeda dengan setting layanan kesehatan lainnya sehingga Gentile et al, (1996) menempatnya secara tersendiri. Pasien di rumah sakit kesehatan mental terkadang menunjukkan sikap kurang bekerjasama, aneh dan juga perilaku yang dapat mengancam keselamatan orang lain sehingga menyebabkan komunikasi yang sangat berbeda dengan pasien medis biasa (Gentile, 1996). Dalam setting layanan kesehatan mental alihbahasawan harus memahami maksud wawancara yang dilakukan oleh psikiater dan sesi-sesi terapi, serta peran komunikasi tersebut diantara mereka. Interview ini biasanya mengalami distorsi atau penyimpangan dari pola percakapan biasa, tetapi hal merupakan informasi vital bagi diagnosis dan pemberian tindakan perawatan yang didasarkan pada perilaku verbal, vokal, dan paralinguistik.

c. Pengalihbahasaan untuk bidang gangguan bicara (speech pathology)

Pengalihbahasaan dalam pelayanan gangguan bicara sebanarnya juga termasuk pada pengalihbahasaan dalam seting pelayanan kesehatan, perbedaannya dengan alihbahasawan kesehatan mental, pengalihbahasaan dalam bidang gangguan bicara atau speech therapy ditujukan untuk penyembuhan pada pasien dengan gangguan organ bicara atau mengalami kelainan organ bicara pada anak-anak atau pasca stroke. Jadi kendala komunikasi tidak hanya disebabkan perbedaan bahasa tetapi juga kesulitan

menggunakan organ bicara bukan gangguan mental. Seperti terapi kesehatan mental dalam alihbahasawan juga harus memahami bahwa informasi vital bagi diagnosis dan pemberian tindakan perawatan karena didasarkan pada perilaku verbal, vokal, dan para linguistik yang akan dilakukan therapist.

d. Pengalihbahasaan dalam bidang hukum/pengadilan (Court Interpreting)

Pengalihbahasaan jenis ini berlangsung di lingkungan legal formal. Partisipan yang terlibat adalah jaksa, hakim, pengacara, saksi dan tersangka yang seringkali dilaksanakan secara konsekutif. Orang yang melakukan tugas pengalihbahasaan ini disebut alihbahasawan pengadilan yang bekerja di bawah sumpah. Dia harus menjaga kerahasiaan informasi (confidentiality). Tugas utamanya memperlancar komunikasi dalam proses pengadilan pada aspek kebahasaan bukan memberi nasehat hukum, seperti yang dilakukan oleh pengacara atau pembela. Alihbahasawan tidak boleh memihak siapapun (impartiality).

Dalam wilayah hukum, komunikasi memiliki fungsi penting dalam mencapai tujuan dalam sistem hukum, namun tak jarang pola komunikasi yang muncul menyimpang dari pola komunikasi normal (Gentile et al, 1996:89). Misalnya, dalam ruang sidang, pola komunikasi akan sangat berbeda dengan wacana harian karena keperluan untuk memenuhi aturan legalistik yang ketat (Conley & OBarr dalam ibid: 89). Beberapa aturan pengalihbahasaan dalam setting legal formal, misalnya, alihbahasawan hukum harus mampu melakukan alihbahasa dan sight translation dengan akurat dan lengkap, tanpa mengubah, menghilangkan, menambah apa yang dituturkan atau tertulis, dan ia juga tidak boleh memberikan penjelasan jika tidak diminta atau harus meminta izin terlebih dahulu. Alihbahasawan tidak boleh menunjukkan sikap lebih menyukai atau simpati pada salah satu pihak. Alihbahasawan tidak boleh melakukan percakapan dengan pihak-pihak yang terlibat, saksi, juri, penuntut, atau teman maupun keluarga kedua pihak diluar fungsinya sebagai alihbahasawan selama persidangan. Ia juga harus menghindari mengganggu pandangan dari individu yang terlibat, kecuali jika menggunakan bahasa isyarat atau mode visual lainnya.

Kemudian Edwards menyatakan Two modes of interpreting are used in court by qualified interpreters simultaneous and consecutive. A third common mode is summary interpreting, which should not be used in court settings (dalam Kelly, 2005). Alihbahasawan dalam setting legal formal tidak terbatas hanya mengalihbahasakan ujaran lisan namun juga dilakukan secara sight translation, konsekutif, dan simultan. Alihbahasawan hukum tidak hanya mengalihbahasakan dalam pengadilan, tetapi mulai dari interogasi dengan polisi (di sini tertuduh memiliki hak diam untuk tidak bicara dan tidak boleh dipengaruhi oleh alihbahasawan), dalam pengadilan saat pembacaan tuduhan, pembicaraan

dengan pengacara, selama persidangan, pemberian keterangan oleh saksi-saksi & penunjukan buktibukti dan cek-silangnya, sehingga tersangka bisa mengikuti proses tersebut (Gentile et al, 1996: 90-100).

e. Pengalihbahasaan dalam bidang bisnis (Business setting)

Gentile et al (1996) menggunakan istilah pengalihbahasaan dalam seting bisnis, yang dalam arti sempit adalah membantu dalam pembicaraan bisnis. Pembicaraan ini tidak hanya di kantor namun bisa di berbagai tempat seperti, pabrik, dalam pesawat, perkebunan, hingga restoran. Pada beberapa lokasi alihbahasawan mungkin saja menggunakan mode yang berbeda seperti chuchotage simultan tanpa alat dengan berbisik- untuk partisipan terbatas (seperti di pabrik), sementara dalam presentasi publik alihbahasawan menggunakan mode konsekutif untuk partisipan yang lebih banyak. Dalam seting bisnis, biasanya alihbahasawan disediakan oleh tuan rumah, sehingga biasanya alihbahasawan lebih menjadi agen bagi tuan rumah yang akan lebih banyak memperoleh informasi daripada pihak tamu. Pada saat negosiasi mendekati deadlock, biasanya suhu komunikasi akan meningkat dan melibatkan emosi saat pembicaraan, alihbahasawan harus mampu berdiplomasi dengan penggunaan kata-kata yang lebih lunak agar proses tetap berjalan baik (ibid:122). Sehingga alihbahasawan tidak harus mengutamakan akurasi pada saat tersebut, tapi lebih mengusahakan agar kesepakatan dan proyek bisnis tetap bejalan daripada saling menyakiti.

4. Berdasarkan Jarak dan Alat bantu (physical proximity & modality)

Berdasarkan jarak dan alat bantu terdapat dua jenis pengalihbahasaan, yaitu:

a. Jarak dekat (On-site interpreting/face-to-face interpreting)

Pengalihbahasaan jarak dekat adalah proses pengalihbahasaan berada dalam seting lokasi yang sama sehingga alihbahasawan dapat melihat partisipan secara langsung. Berdasarkan beberapa literatur onsite interpreting ada yang dilakukan dengan menggunakan alat atau tanpa alat.

1) Tanpa alat: berbisik (Whispered interpreting)

Whispered interpretation adalah suatu kegiatan penerjemahan lisan secara berbisik. Proses dilakukan dengan cara membisikkan informasi kepada pendengarnya. Saat bicara antara pembicara dan alihbahasawan dapat dilakukan secara bergantian (consecutive) atau hampir bersamaan (simultaneous). Tetapi penerjemah hanya boleh berbisik-bisik tidak berbicara keras. Ciri khususnya alihbahasawan membisikkan pesan dari bahasa sumber dalam bahasa sasaran ke telinga partisipan agar ia dapat memahami maksud dari pembicara. Pengalihbahasaan ini digunakan jika partisipan yang tidak memahami bahasa yang umum digunakan hanya sedikit dan hanya untuk 1 atau 2 bahasa saja (Gentile et al 1996). Selain itu juga pada lokasi tertentu.

2) Menggunakan alat:

Pengalihanbahasaan jarak dekat yang menggunakan alat cukup banyak yang telah kita kenali seperti menggunakan ruang kaca atau booth kedap suara sebagai tempat kerja alihbahasawan yang dilengkapi dengan headset dan mikropon. Pengalihabahasaan dengan alat ini biasa dilakukan dalam konferensi baik secara simultan maupun konsekutif. Selain itu juga dalam persidangan yang melibatkan tersangka yang berbeda bahasa. Perbedaannya terletak pada jumlah partisipan yang memiliki bahasa berbeda banyak (setting multinasional dan multilingual) sehingga tidak mungkin tanpa menggunakan peralatan.

b. Pengalihbahasaan jarak jauh (Remote Intepreting/RI)

Remote interpreting sebenarnya bukan sebuah ide baru, hal ini sudah dimulai sejak tahun 70-an, (Mouzourakis, 2006). Seiring dengan kemajuan teknologi, saat ini telah memungkinkan komunikasi dapat dilakukan dari jarak jauh baik melalui jaringan telepon, internet maupun televisi. Sehingga layanan pengalihbahasaan menggunakan media komunikasi terkini yang dapat menghubungkan komunikator & komunikan yang berbeda bahasa dengan bantuan alihbahasawan walaupun terpisah jauh. Layanan pengalihbahasaan dengan jarak jauh ini biasa disebut remote interpreting. Namun, juga terdapat beragam definisi mengenai remote interpreting Mouzourakis (2006:46) misalnya menggunakan RI untuk menyatakan keadaan proses pengalihbahasaan yang dilakukan dari tempat terpisah, alihbahasawan tidak berada di tempat rapat. Ia lebih menganggap RI sebagai variasi dari conference interpreting yang telah digunakan di PBB dan Uni Eropa. Namun, di Amerika remote interpreting hanya dilakukan dalam seting konferensi.

Alasan penggunaan RI sebenarnya untuk mengatasi ketidaktersedian alihbahasawan dan penghematan biaya perjalanan. Berdasarkan alat yang digunakan kita dapat membedakan jenis remote interpreting, yaitu:

1) Pengalihbahasaan telepon (telephone interpreting)

Pengalihbahasaan ini memiliki beragam istilah seperti telephone interpreting, over-the-phone interpreting (OPI), telephonic interpreting, atau phone interpreting, namun maksudnya sama, yaitu layanan pengalihbahasaan dua arah yang dilakukan seorang alihbahasawan yang berada lokasi yang jauh untuk menjembatani komunikasi dua individu yang berbeda bahasa melalui telepon (Kelly, 2008; Kelly, 2007). Peralatan yang digunakan seperti headset dan jaringan telepon. Pengalihbahasaan ini biasa diberikan dari rumah atau melalui call center yang disediakan sebuah provider. Institusi yang menyediakan layanan call center ini biasanya menyediakan booth anti suara seperti dalam konferensi (Kelly, 2008).

2) Pengalihbahasaan Videokonferens (videoconference interpreting)

Dilakukan bila alihbahasawan tidak berada di ruang pertemuan tetapi melalui layar dan earphone dan speaker (Mouzourakis, 2006:46). Berbeda dengan definisi videoconference yang biasanya dilakukan untuk membantu komunikasi bagi partisipan yang mengalami memiliki gangguan pendengaran atau bicara sehingga memerlukan bantuan visual karena tidak dapat dilakukan dengan audio saja (telephoning interpreting). Pengalihbahasaan ini dilakukan untuk mengatasi ketidaktersediaan alihbahasawan, mengurangi biaya perjalanan, dan keterbatasan booth. Dengan videoconference, alihbahasawan dapat bekerja dari rumah dengan proses yang sama dengan melalui telepon (Mouzourakis, 46-47).

3) Pengalihbahasaan televisi (television interpreting)

Merupakan pengalihbahasaan jarak jauh yang dilakukan secara live dan disiarkan melalui televisi untuk masyarakat banyak sehingga juga disebut media interpreting. Berbeda dengan subtitling, television interpreting masih mengalami kognitive stress yang sama dengan alihbahasawan biasawa. Biasanya tamu atau sumber berada dari luar negeri yang harus dialihbahasakan ke bahasa sasaran hadir di studio atau dari jarak jauh (remote). Alihbahasawan harus mengalihbahasakan tuturan narasumber pada saat yang hampir bersamaan dan langsung disiarkan. Pada saat serangan ke Palestina beberapa saat yang lalu kita dapat menyaksikan proses pengalihbahasaan dari reporter TV Al Jazeera oleh alihbahasawan ke bahasa Indonesia yang dilakukan secara simultan. 4) Pengalihbahasaan radio (radio interpreting)

Merupakan variasi pengalihbahasaan jarak jauh, biasanya alihbahasawan menerjemahkan secara lisan tuturan lisan dari sumber berita, proses ini juga berlangsung secara simultan atau telah direkam sebelumnya. Seperti television interpreting hal ini juga berlangsung secara langsung pada saat mendengar tuturan nara sumber, alihbahasawan langsung mengalihbahasakan tuturannya dan disiarkan secara langsung ke pendengar.

5. Berdasarkan input & output (mode of discourse)

Masih belum terdapat kesepakatan diantara para ahli mengenai klasifikasi ini. Penerjemahan teks tertulis ke dalam wacana lisan dalam bahasa lain menurut Gile masih tergolong sebagai penerjemahan, ia menyebutnya sebagai sight translation atau translation at sight (bukan sight interpretation). Jika kita bandingkan, baik sight translation maupun dan sign laguage interpretation merupakan pengalihbahasaan yang melibatkan bentuk input dan output wacana yang berbeda (tulis atau lisan).

a. Sight translation

Sight translation merupakan bentuk penerjemahan dari teks tertulis dan dialihbahasakan menjadi bentuk lisan. Ada dua cara pelaksanaan sight translation, yaitu dilakukan secara simultan pada saat pembicara berbicara, atau hanya pada delegasi tertentu yang memerlukan saja (Gile, 1995). Selain itu Kelly (2005) menyatakan bahwa alihbahasawan dalam pengadilan juga harus mampu melakukan penerjemahan ini untuk menerangkan isi dari bukti-bukti tertulis.

b. Pengalihbahasaan bahasa isyarat (sign language interpreting)

Merupakan pengalihbahasaan yang melibatkan partisipan memiliki bahasa berbeda dan juga memiliki gangguan pendengaran atau bicara (tuna grahita), sehingga penerjemah harus mengalihkan bahasa sumber ke dalam bahasa isyarat. Di Amerika dan New Zealand, hal ini sudah dilakukan sebagai bentuk layanan bagi masyarakat. Di Amerika digunakan ASL sementara di New Zealand menggunakan NZSL.

D. PENUTUP

Berdasarkan diskusi dan pembahasan di atas dapat dibuat beberapa simpulan. Pertama terdapat beragam jenis pengalihbahasaan tergantung dari sisi pandang dalam melihat antara satu pengalihbahasaan dan pengalihbahasaan lain. Dari perbedaan interaksi, bentuk wacana (mode of discourse), cara pengalihbahasaan (mode of interpreting), peralatan yang digunakan (modalities), jarak antara alihbahasawan dan klien (space proximity), spesialisasi kerja. Dari beragam jenis tersebut memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan dalam pelaksanaan tugasnya di lapangan, sehingga juga menuntut penguasaan kompetensi yang berbeda satu sama lain. Pemahaman akan pola kerja dari masing-masing jenis penerjemahan di atas akan memberi arahan mengenai pola pelatihan dan tantangan dalam hal tekanan kognitif yang akan dihadapi oleh alihbahasawan. Persamaan dan perbedaan Penerjemahan Tulis dan Lisan

1.

Aspek Persyaratan Keahlian dan Kesulitan yang dihadapi.

Aspek berikutnya yang akan kita bahas berkaitan dengan keahlian penerjemah. Sependapat dengan Jean Mallot, Gile (1991:4) mengemukakan paling tidak ada empat persyaratan pengetahuan dan keterampilan teknis sebagai keahlian penerjemah (translation expertise) yang harus dimiliki penerjemah dan pengalih bahasa. Antara lain: (a) pengalih bahasa dan penerjemah harus memiliki pengetahuan bsa pasif yang baik dari bahasa yang mereka kerjakan, (b) pengalih bahasa dan penerjemah harus memiliki penguasaan Bsa yang baik, (c) pengalih bahasa dan penerjemah harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai bidang teks atau pembicaraan yang diterjemahkan, dan (d) penerjemah (tulis & lisan) harus tahu bagaimana cara menterjemahkan. Dari persyaratan di atas kita melihat bahwa terdapat persamaan untuk menjadi penerjemah tulis dan lisan. Sementara Machali (2000:11), ia menggunakan istilah perangkat untuk pengetahuan dan keterampilan penerjemah ini. Perangkat itu sendiri menurut Machali dibedakan menjadi perangkat intelektual dan perangkat praktis. Perangkat intelektual mencakup: (a) kemampuan yang baik dalam Bsu; (b) kemampuan yang baik dalam Bsa; (c) pengetahuan mengenai pokok masalah yang diterjemahkan; (d) penerapan pengetahuan yang dimiliki; dan (e) keterampilan. Sementara perangkat praktis berupa (a) kemampuan menggunakan sumber-sumber rujukan (kamus manual maupun elektronik, narasumber, dll); dan (b) kemampuan mengenali konteks suatu teks. Sepintas terlihat persamaan pendapat antara Gile dan Machali, namun terdapat perbedaan dalam penggunaan istilah perangkat praktis yang disebutkan Machali di atas. Pada prakteknya penerjemahan lisan, penerjemah tidak memiliki kesempatan luas untuk menggunakan kamus atau bahan referensi lain pada saat penerjemahan berlangsung karena keterbatasan waktu (Gile, 1995:112; Nababan, 2003:116; Suryawinata & Hariyanto, 2003:25). Jadi pengalih bahasa (interpreter) harus mempelajarinya sebelum kegiatan penerjemahan/konferensi berlangsung (Gile, 1995:132).

Lebih lanjut, Suryawinata & Hariyanto (2003:27) merinci persyaratan penerjemah dan interpreter dengan lebih lengkap. Berikut kita bahas persamaan dan perbedaan persyaratan tersebut satu persatu. Pertama, memahami dan menguasai Bsu dan Bsa Ini merupakan kemampuan yang harus sama-sama dimiliki oleh penerjemah baik tulis maupun lisan karena ia tidak akan bisa menterjemahkan dengan tepat tanpa penguasaan Bsu dan Bsa. Kedua, mengenal budaya Bsu dan Bsa. Penguasaan Bsu tanpa pemahaman budayanya akan menghasilkan terjemahan yang salah kaprah karena bahasa tidak terlepas dari konteks dan budaya yang nantinya akan sangat membantu untuk menterjemahkan secara efektif dan dapat menyesuaikannya dengan budaya Bsa. Ketiga, menguasai topik atau masalah yang dibicarakan atau teks yang diterjemahkan. Bagi penerjemah tulis hal ini dapat juga dilakukan saat menterjemahkan, sementara penerjemah lisan harus mempelajari sebelum penerjemahan. Keempat, terkait bahan yang diterjemahkan, maka penerjemah tulis menguasai bahasa tulis tingkat reseptif, sementara penerjemah lisan menguasai bahasa lisan (listening) tingkat reseptif. Berikutnya syarat kelima, terkait produknya, penerjemah tulis harus menguasai kemampuan menulis atau mengungkapkan gagasan dalam Bsa secara tertulis dengan baik (tingkat produktif). Syarat ini mutlak dikuasai penerjemah karena tulisan merupakan medianya dalam komunikasi. Sementara, penerjemah lisan, dituntut kemampuan untuk dapat mengungkapkan gagasan dalam Bsa langsung secara lisan/tingkat reseptif. Walaupun dalam kenyataannya bisa dengan cara membacakan konsep yang telah dibuat sebelumnya (in sight interpreter). Berarti dalam penerjemahan lisan dituntut keterampilan berbicara (rhetoric) yang baik dan suara yang jelas, hal tidak diperlukan dalam penerjemahan tulis. Keenam, bagi pengalih bahasa harus terampil dalam membuat catatan secara bersamaan dan pada detik berikutnya mengungkap catatan tersebut dalam Bsa secara lisan. Seringkali hal ini berlangsung bersamaan. Syarat ini tidak dituntut dalam penerjemahan tulis. Syarat ketujuh, penerjemah tulis harus mampu menggunakan kamus dan bahan referensi lainnya secara efektif selama penerjemahan. Sementara dalam penerjemahan lisan, penerjemah harus mampu mengalihkan pesan dari pembicara dalam Bsu ke bahasa sasaran secara langsung tanpa menggunakan kamus atau referensi lainnya sesuai kondisi kerjanya. Hal ini karena penerjemahan lisan berjalan dalam waktu yang cepat bahkan terkadang bersamaan dengan pembicara sehingga tidak dimungkinkan penggunaan kamus atau referensi lainnya. Terakhir, penerjemah lisan harus memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara cepat dan langsung. Hal ini sesuai dengan pendapat Nababan (2003:116) pengalihbahasaan mempersyaratkan kemampuan yang sangat baik dalam memproses informasi secara cepat dan akurat dalam waktu yang sangat terbatas. Selanjutnya, persyaratan lain yang juga membedakan penerjemahan lisan dan penerjemahan tulis menurut Nababan (2003:116) adalah pengalih bahasa disamping harus memiliki daya simak, tangkap, dan ingat serta reaksi yang baik, ia juga harus mampu dan jeli mengidentifikasikan makna yang tersirat dalam raut wajah, intonasi yang digunakan, gerak tangan dan tubuh pembicara. Jelas kemampuan ini tidak diperlukan penerjemah tulis. Terkait pembaca atau pendengar, Nababan (2003) menambahkan syarat yang harus sama-sama dipertimbangkan. Bagi penerjemahan tulis perlu dipertimbangkan siapa pembacanya, sementara dalam penerjemahan juga perlu dipertimbangkan siapa pendengarnya.

Tambahan, berbeda dengan Machali yang menggunakan istilah perangkat praktis, Suryawinata dan Hariyanto (2003:27) menggunakan istilah perkakas untuk istilah tersebut. Bagi pengalih bahasa perkakas yang digunakan berupa kertas, pensil, headphone dan mikrophone. Sementara penerjemah tulis memerlukan perkakas konvensional dan modern. Perkakas konvensional selain alat tulis meliputi: kamus, tesaurus, dan referensi lain seperti jurnal. Sementara perkakas jurnal berupa kamus elektronik, software komputer, internet. Dari persyaratan di atas tergambar kesulitan yang lebih tinggi pada penerjemahan lisan. Hampir semua permasalahan yang dihadapi dalam penerjemahan tulis juga ditemui dalam penerjemahan lisan. Namun, banyak permasalahan penerjemahan lisan tidak ditemui dalam penerjemahan tulis, seperti aspek lingkungan saat penerjemahan, cara pengucapan atau aksen dari pembicara (Nababan, 2003).

2.

Jenis-jenis penerjemahan tulis dan lisan dan karakternya

Aspek berikutnya yang membedakan penerjemahan tulis dan lisan adalah jenis penerjemahan itu sendiri. Walaupun banyak perbedaan mengenai jenis penerjemahan tulis yang diajukan para ahli, sebenarnya yang membedakan adalah prinsip dari penerjemahan itu sendiri (Rahmadie, 1988:1.24). Savory dalam Rahmadie (1988:1.2) paling sedikit ada 12 prinsip penerjemahan yang membedakan jenis penerjemahan. Sementara Nababan (2003:29) menyebutkan ada 4 faktor yang membedakan penerjemahan tulis, yaitu: (1) perbedaan sistem bahasa, (2) perbedaan jenis materi teks, (3) anggapan mengenai fungsi penerjemahan adalah alat komunikasi, dan (4) tujuan dalam menerjemahkan teks tersebut. Dari perbedaan prinsip atau faktor ini melahirkan beberapa jenis penerjemahan seperti: penerjemahan literal, penerjemahan kata-per-kata, penerjemahan setia, penerjemahan idiomatis, penerjemahan bebas, penerjemahan komunikatif, penerjemahan semantis, penerjemahan komunikatifsemantis. Selanjutnya jenis jenis penerjemahan ini akan dibahas oleh kelompok berikutnya. Sementara itu, penerjemahan lisan dibedakan berdasarkan cara pengalihbahasaannya dilakukan (Nababan, 2003:115). Namun terdapat perbedaan dari para ahli, misalnya Suryawinata dan Hariyanto (2003:26) mengemukakan hanya dua jenis yaitu konsekutif dan simultan. Sementara Kreiser dalam Nababan (2003:115) dan Hidayat dan Sutopo, (2006) mengemukakan empat jenis penerjemahan lisan. Namun dari jenis yang diajukan terdapat kesamaan. Untuk lebih lengkapnya keempat jenis penerjemahan lisan tersebut adalah: (1) sight interpretation, (2) consecutive interpretation, (3) simultaneous interpretation, dan (4) whispred interpretation. Berikut uraian singkatnya: Sight interpretation merupakan suatu kegiatan penerjemahan lisan yang di dalamnya penerjemah tidak mengalihkan pesan dari teks lisan (tuturan), tetapi mengalihkan pesan tertulis dalam Bsu dialihkan/diterjemah/dibaca dalam Bsa. Menurut Hidayat dan Sutopo (2006) penerjemahan seperti ini

seolah olah pembicara ada tetapi nyatanya tidak ada. Jadi, yang dialihkan bukan suara speaker, melainkan pesan tertulis yang ada di dalam kertas. Consecutive interpretation merupakan suatu kegiatan penerjemahan lisan secara bergantian dalam konferensi atau pertemuan. Pelaksanaanya penerjemah duduk bersama peserta dalam satu ruangan, mencatat apa yang dikatakan pembicara. Kemudian penterjemah mengalihbahasakan pernyataan/ujaran tersebut dengan atau tanpa catatan pada setiap akhir ujaran pembicara (jeda). Proses penerjemahan dilakukan dengan cara bergantian, artinya penerjemah menjelaskan ulang setelah pembicara memberi jeda dalam penjelasannya. Jadi, urutan bicaranya adalah pembicara penerjemah pembicara penerjemah, dan seterusnya. Simultaneous interpretation merupakan suatu kegiatan penerjemahan lisan simultan. Dalam penerjemahan ini penerjemah berada di ruang khusus (booth) yang bersembunyi di balik kaca hitam terpisah dengan peserta konferensi. Biasanya dalam penerjemahan lisan simultan peserta memakai head set atau alat dengan yang ditempel di telinganya. Pembicara dan penerjemah berbicara bersamasama dalam bahasa yang berbeda. Bilamana peserta tidak ingin mendengarkan bahasa sasaran, mereka bisa melepas head set yang dipakainya. Peserta dapat memilih bahasa sasaran dengan menekan tombol saluran bahasa yang diinginkan melalui head set. Suara yang didengar itu suara interpreter bukan suara speaker. Whispered interpretation merupakan suatu kegiatan penerjemahan lisan secara berbisik. Penerjemah yang di dalamnya antara interpreter dan speaker berada bersama-sama dalam satu ruangan. Tempat duduk antara interpreter dan speaker tidak jauh. Penerjemah dan speaker duduk berdampingan. Proses penerjemahan ini dilakukan dengan cara membisikkan informasi kepada pendengarnya. Gaya bicara antara speaker dan interpreter bisa bergantian maupun bersama-sama. Tetapi penerjemah hanya boleh berbisik-bisik dilarang berbicara keras.

C. Penutup Berdasarkan diskusi dan pembahasan di atas dapat dibuat beberapa simpulan. Pertama persamaan antara penerjemahan tulis dan lisan dapat dilihat dari aspek fungsi yaitu sama-sama sebagai alat komunikasi. Namun, di sini terdapat perbedaan pada aspek media yang digunakan berdasarkan produk yang dihasilkan. Dari aspek situasi cara kerja dan situasi kerja sangat berbeda sehingga juga menuntut keahlian yang berbeda dari penerjemah tulis dan lisan. Oleh sebab itu, seorang penerjemah tulis tidak otomatis mampu melakukan penerjemahan lisan. Terakhir penerjemahan tulis dan lisan juga berbeda jenisnya. Perbedaan ini muncul akibat cara kerja (pada penerjemahan lisan) sementara pada penerjemahan lisan karena perbedaan prinsip faktor tujuan, materi, fungsi dan sistem bahasanya sendiri.

Daftar Pustaka Bell, Roger T. 1991. Translation and Translating: Theory and Practice. London: Longman Gile, Daniel. 1995. Basic Concept and Models for Interpreter and Translator Training. Amsterdam: John Benjamin Publishing Company Hidayat, Nur dan Anam Sutopo. 2006. Peranan interpreter dalam pengembangan usaha ekspor industri rotan. Dalam Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 7, No. 2, hal: 152-166 Machali, Rochayah. 2000. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Nababan, M.R. 2003. Teori Menerjemah Bahasa Inggris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Newmark, Peter. 1981. Approaches to Translation. Oxford: Pergamon Press. Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. London: Prentice Hall. Rachmadie, Sabrony., Zuchridin Suryawinata, Ahmad Effendi. 1988. Materi Pokok Translation. Jakarta: Karunika Universitas Terbuka. Shi, Aiwei. 2004. Accomodation in Translation, Article in Translation Journal Volume 8, No. 3 July 2004. URL: http://accurapid.com/journal/29accom.htm. diambil tanggal 4 September 2008 pukul 08.43 WIB Suryawinata, Zuchridin dan Sugeng Hariyanto. 2003. Translation (Bahasan Teori & Penuntun Praktis Menerjemahkan). Yogyakarta: Kanisius. Kajian Penerjemahan Lisan Secara Konsekutif Maret 19, 2011 Filed under SKRIPSI

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kaitan antara faktor-faktor yang terlibat dalam penerjemahan lisan, strategi serta teknik yang diterapkan penerjemah lisan dalam suatu kegiatan kebangunan rohani bertajuk Miracle Crusade This is Your Day terhadap kualitas terjemahan yang dihasilkan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif.

Data diperoleh dengan menggunakan beberapa metode, yaitu metode simak catat, observasi tak berperan, kuesioner dari para informan sekaligus rater, serta wawancara dengan mereka. Dengan sumber data yang diperoleh dari rekaman VCD kebaktian kebangunan rohani yang bertajuk Miracle Crusade This is Your Day, penelitian ini merupakan studi kasus yang berorientasi pada proses dan produk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang terdiri atas faktor teknis dan non-teknis,

masing-masing memberi pengaruh baik terhadap kelangsungan kegiatan penerjemahan lisan maupun hasil terjemahannya.

Faktor teknis dalam kegiatan ini berupa sound system yang berkualitas prima dilengkapi dengan peralatan-peralatan penunjang seperti tata panggung yang spektakuler, LCD dan tata lampu yang sangat memadai serta ditunjang dengan kepanitiaan yang profesional. Selain itu sehubungan dengan faktor non-teknis, kompetensi penerjemah lisan tidak diragukan lagi mengingat profesi sebenarnya yang adalah seorang pendeta. Hal ini berkebalikan dengan interaksi antara penerjemah lisan dan pendengar yang adalah beberapa jemaat yang bersaksi di atas mimbar (panggung).

Komunikasi di antara mereka sedikit mengalami kendala. Salah satu strategi yang memberi pengaruh yang sangat positif terhadap kualitas terjemahan adalah kondisi fisik penerjemah lisan yang sangat prima. Selain itu, dalam menyampaikan tuturan target, penerjemah lisan senantiasa berusaha menciptakan rasa dan nuansa yang sama dengan tuturan sumbernya. Hasil analisis menunjukkan ada 12 jenis teknik yang dipakai penerjemah lisan dalam menerjemahkan tuturan sumber. Dari kedua belas teknik tersebut, penerjemahan literal merupakan teknik yang paling banyak digunakan oleh penerjemah. Sehubungan dengan kualitas terjemahan, teknik penerjemahan literal juga memberi kontribusi paling banyak akan terciptanya terjemahan yang berkualitas (akurat, berterima, lancar disampaikan).

Sedangkan terjemahan yang tidak berkualitas paling banyak dipengaruhi oleh teknik penghapusan. Dari analisis hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan penerjemahan lisan dalam kegiatan kebangunan rohani Miracle Crusade -This is your day serta strategi dan teknik yang diterapkan penerjemah lisan dalam kegiatan tersebut memberi dampak yang sangat signifikan terhadap hasil terjemahan

Share this: 03. Persamaan dan Perbedaan Penerjemahan Tulis dan Lisan (Lanjutan) B. Pembahasan Sebelum kita masuk ke persamaan dan perbedaan penerjemahan tulis dan lisan ada baiknya kita pahami dulu pengertian penerjemahan. Ada beberapa definisi penerjemahan yang telah dikemukan oleh para ahli. Definisi-definisi yang diajukan berbeda-beda sesuai dengan latar belakang dan sudut pandangnya, sehingga definisi ini bisa lemah, kuat atau saling isi (Nababan, 2003). Untuk lebih jelasnya mari kita cermati berbagai definisi penerjemahan yang diajukan para ahli tersebut.

Catford dalam Rachmadie (1988:1.2) menyatakan Translation is the replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL). Definisi ini menyatakan penerjemahan sebagai kegiatan mengganti materi teks dalam bahasa sumber (Bsu) ke materi teks yang sepadan (equivalent) dalam bahasa sasaran (Bsa). Berdasarkan definisi jelas bahwa bahwa penerjemahan merupakan proses kegiatan tulis sehingga produknya juga dalam bentuk tertulis (teks). Hal ini didukung oleh McGuire (1980) bahwa penerjemahan merupakan usaha menyampaikan sebuah teks dalam Bsu ke dalam Bsa, dengan mengupayakan (1) makna lahir dari kedua teks sama dan (2) struktur dari Bsu juga sedapat mungkin dipertahankan, namun tidak begitu dekat untuk menghindari penyimpangan struktur pada tata bahasa sasaran. Definisi McGuire memberikan tambahan informasi yang lebih lengkap jika dibandingkan dengan definisi Catford. Penerjemahan tidak semata-mata mengganti teks Bsu ke teks yang ekuivalen dalam Bsa, namun kita harus mempertimbangkan aspek makna dan stuktur kalimat dari teks sumber sedapat mungkin sama. Namun, jika kita cermati definisi ini masih belum menegaskan syarat dari hasil penerjemahan yang baik. Secara tersirat McGuire sebenarnya menyadari adanya perbedaan struktur antar bahasa. Untuk itu, ia menganjurkan untuk mengusahakan dan mempertahankannya. Berbeda dengan definisi di atas, Savory dalam Rahmadie (1988:1.2) menyatakan translation is made possible by an equivalence of thought that lies behind its different verbal expressions atau penerjemahan dimungkinkan dengan (usaha) pemadanan pikiran [pesan] yang tersirat dibalik tuturan verbal yang berbeda. Pendapat ini didukung Pinchuck (dalam Rahmadie, 1988:1.2) yang juga menyatakan penerjemahan adalah proses menemukan suatu tuturan/ujaran yang sepadan dalam Bsa dari satu tuturan/ujaran dalam Bsu. Dari pandangan Savory dan Pinchuck, mereka melihat penerjemahan sebagai kegiatan yang berlangsung secara lisan tuturan lisan. Dari beberapa definisi yang telah disebutkan di atas terdapat perbedaan mendasar mengenai media penerjemahan dan produk yang dihasilkan. Dari sudut pandang Catford dan McGuire mereka membatasi bahwa yang dimaksud penerjemahan hanya berupa pengalihan teks dalam Bsu yang dilakukan secara tertulis sehingga produknya juga berupa teks. Sementara Savory dan Pinchuck menganggap penerjemahan sebagai kegiatan pengalihan pesan secara lisan sehingga media yang digunakan berupa tuturan lisan (verbal expression). Tapi pada sisi lain terdapat persamaan padangan mengenai proses yang terjadi bahwa penerjemahan adalah usaha penggantian atau pemadanan suatu materi teks/ujaran/tuturan dalam Bsu menjadi materi teks/ujaran/tuturan yang sepadan dalam Bsa. Sementara dalam pelaksanaannya kita melihat bahwa penerjemahan (translation) bukan hanya pengalihan bahasa yang dilakukan secara lisan atau tulis saja. Maka definisi Newmark (1981), yang memandang penerjemahan tidak terbatas hanya pada kegiatan tulis atau lisan semata, lebih mewakili kegiatan yang sebenarnya. Menurutnya, penerjemahan merupakan suatu keterampilan atau seni menggantikan sebuah pesan tertulis dan/atau pernyataan dalam suatu bahasa dengan pesan dan/atau pernyataan yang sama dalam bahasa lainnya (Newmark, 1981:7). Dari definisinya, kita pahami bahwa penerjemahan bukan hanya proses pengalihan pesan/amanat secara tertulis namun dapat juga secara

lisan. Hal yang sama dinyatakan oleh Kridalaksana dalam Nababan (2003) dan Nida dalam Shi (2008) bahwa penerjemahan itu adalah pemindahan atau mereproduksi suatu pesan (amanat) dari Bsu ke dalam Bsa dengan padanan terdekatnya pertama-tama dari segi makna, kemudian gaya bahasanya. Di sini, dengan lebih lengkap Kridalaksana dan Nida menyatakan bahwa penerjemahan itu: (1) pengalihan pesan/amanat dari Bsu ke Bsa dalam bentuk tulis maupun lisan, karena pesan dapat saja dalam bentuk tertulis ataupun lisan, (2) namun hal utama yang harus diingat bahwa kesepadanan makna dari pesan yang disampaikan dalam Bsa dengan Bsu merupakan prioritas utama, (3) kemudian mempertahankan gaya bahasa dari Bsu. Maka dari definisi dan penjelasan terakhir diperoleh simpulan bahwa penerjemahan dapat dilakukan secara tulis maupun lisan. Namun satu hal utama yang harus diperhatikan dalam penerjemahan tulis maupun lisan adalah kesepadanan makna/pesan/amanat yang dibuat dan kemudian menampilkan/mengungkapkan amanat/pesan tersebut dengan gaya bahasa yang sama. Berikutnya, perlu juga kita ingat bahwa dalam bahasa Indonesia kita mengenal istilah penerjemahan dan terjemahan. Menurut Nababan (2003:18) penerjemahan mengacu pada PROSES alih pesan, sementara terjemahan mengacu pada PRODUK dari alih pesan tersebut. Lebih lanjut, dalam bahasa Inggris disamping istilah translation kita juga mengenal istilah interpretation. Kedua istilah ini, translation dan interpretation, sebenarnya, sama-sama mengacu pada pengalihan pesan dari Bsu ke Bsa (Nababan, 2003:18; Gile, 1995:2). Tetapi bila translation dan interpretation ini dikaji secara bersamaan, maka translation lebih diklasifikasikan atau mengacu pada pengalihan pesan secara tertulis dan interpretation mengacu penerjemahan lisan (Nababan, 2003:18; Suryawinata & Hariyanto, 2003:25). Berarti simpulan berikutnya yang dapat kita tarik, penerjemahan tulis dikenal dengan istilah translation atau penerjemahan, kemudian penerjemahan lisan dapat juga disebut sebagai interpretation atau pengalihbahasaan. Bertolak dari definisi dan klasifikasi di atas, maka selanjutnya kita akan membahas persamaan dan perbedaan penerjemahan tulis maupun lisan (pengalihbahasaan) ini. Namun dalam membahas penerjemahan kita tidak dapat begitu saja memisahkannya dengan terjemahan (produk) dan penerjemah/pengalih bahasa. Kita sedikit menyinggung hal ini mengingat materi ini terkait dengan penerjemahan. Dari hasil studi pustaka diperoleh kegiatan penerjemahan tulis dan lisan ini memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan pada beberapa aspek berikut

Das könnte Ihnen auch gefallen