0 Bewertungen0% fanden dieses Dokument nützlich (0 Abstimmungen)
51 Ansichten16 Seiten
This document summarizes a study analyzing the influence of predisposing, enabling, and reinforcing factors related to sexually transmitted disease (STD) prevention efforts among female sex workers in the Warung Bebek Berdagai Serdang localization in Indonesia. The study found that the majority of sex workers were aged 20-30, had primary/secondary education, had worked for 6 or more months, and had 5 or more clients per week. Statistical analysis showed that all three factors - predisposing, enabling, and reinforcing - were significantly correlated with STD prevention efforts. The most influential factor was the enabling factor. The study recommends improving sex workers' attitudes toward prevention, increasing condom access, and consistent condom use regulations.
This document summarizes a study analyzing the influence of predisposing, enabling, and reinforcing factors related to sexually transmitted disease (STD) prevention efforts among female sex workers in the Warung Bebek Berdagai Serdang localization in Indonesia. The study found that the majority of sex workers were aged 20-30, had primary/secondary education, had worked for 6 or more months, and had 5 or more clients per week. Statistical analysis showed that all three factors - predisposing, enabling, and reinforcing - were significantly correlated with STD prevention efforts. The most influential factor was the enabling factor. The study recommends improving sex workers' attitudes toward prevention, increasing condom access, and consistent condom use regulations.
This document summarizes a study analyzing the influence of predisposing, enabling, and reinforcing factors related to sexually transmitted disease (STD) prevention efforts among female sex workers in the Warung Bebek Berdagai Serdang localization in Indonesia. The study found that the majority of sex workers were aged 20-30, had primary/secondary education, had worked for 6 or more months, and had 5 or more clients per week. Statistical analysis showed that all three factors - predisposing, enabling, and reinforcing - were significantly correlated with STD prevention efforts. The most influential factor was the enabling factor. The study recommends improving sex workers' attitudes toward prevention, increasing condom access, and consistent condom use regulations.
Universtas Sari Mutiara Indonesia Jalan Kapten Muslim No. 79 Medan
ABSTRACT The high prevalence and incidence of Sexually Transmitted Disease (STD) related to the prevention of STD are still very low. Female Sexual Workers (FSW) is a high-risk behaviors the STD. The purpose of this study was to analyze the influence of predisposing, enabling and reinforcing factors related to STD prevention efforts in localization Warung Bebek Berdagai Serdang,The sampel for this study are 55 of FWS. The data obtained were analyzed through Correlation and Multiple Linear Regression test. The results showed , majority of the FWS are: aged 20-30 years (60%), primary and secondary education (84%), long working 6 months (89%), number of subscribers in the first week 5 peoples (56%). All of the factors have a significant relationship with the prevention of STD, correlation of 0569, the influence of the three factors on STD prevention efforts for 0324, while 67.6% influenced by other factors like as socio-economic factors, the demands of the workers as the FWS and . the ability for negotiate is low. The most variable influence is Enabling factor for 0000 (P <0.05), beta values for 0558. It is strongly recommended to the localization manager should work harder and coordinate with Serdang Berdagai Health Center Personnel,to improve the FWS attitude toward high risk and prevention of STD. The localization manager should be provide and distribute condoms to FWS at all times and make the regulations to use condom consistent Key Words : Predisposing, Enabling and Reinforcing Factors,Sexually Transmitted Disease
2
PENGARUH PREDISPOSING FACTOR,ENABLING FACTOR DAN REINFORCING FACTOR TERHADAP UPAYA PENCEGAHAN INFEKSI MENULAR SEKUAL PADA WANITA PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI LOKALISASI WARUNG BEBEK SERDANG BEDAGAI TAHUN 2012
Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Tingginya prevalensi maupun insidens IMS tersebut berkaitan dengan praktek perilaku pencegahan IMS yang masih sangat rendah, seperti rendahnya angka penggunaan kondom pada seks berisiko, tingginya angka berganti pasangan. Wanita pekerja seksual (WPS) merupakan perilaku berisiko tinggi terjadinya infeksi menular seksual.Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan desain asosiatifl. Penelitian ini melibatkan 55 WPS di lokalisasi Warung Bebek Kabupaten Serdang Berdagai, Untuk mengetahui pengaruh Faktor Predisposising, Faktor Enabling dan Faktor Reinforcing terhadap upaya pencegahan IMS dilakukan uji hipotesis dengan analis korelasi dan multiple regresi pada taraf = 5%. Hasil penelitian menunjukan bahwa mayoritas umur 20-30 tahun (60%), pendidikan SD (42%) & SMP (42%), lama bekerja sebagai WPS 6 bulan ( 89 %), Jumlah pelanggan WPS dalam 1 minggu 5 Orang sebanyak ( 56%). Hasil uji multiple regresi : Faktor Predisposising, Faktor Enabling dan Faktor Reinforcing, berhubungan dengan upaya pencegahan IMS ditandai dengan korelasi yang kuat sebesar 0.569, besarnya pengaruh ketiga factor tersebut terhadap upaya pencegahan IMS adalah sebesar 0.324 sedangkan 67,6 % dipengaruhi oleh faktor lain yaitu faktor sosial ekonomi dan tuntutan pekerjanya sebagai WPS. Kesimpulan : variabel yang paling berpengaruh terhadap upaya pencegahan IMS adalah variabel Faktor Enabling yaitu sebesar 0.000 ( P < 0.05), dengan perbedaan besaran nilai signifikan dan nilai beta pada Faktor Enabling sebesar 0.558. Saran: Sikap WPS terhadap upaya pencegahan IMS lebih ditingkatkan, dukungan pengelola lokalisasi (mucikari ) dalam menyediakan dan distribusi kondom lebih ditingkatkan serta membuat peraturan penggunaan kondom secara konsisten, petugas pencegahan IMS puskesmas Serdang Berdagai hendaknya rutin memberikan penyuluhan tentang IMS dan penggunaan kondom. Kata kunci : Faktor Perilaku dan Upaya pencegahan I MS.
3
PENDAHULUAN Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di negara berkembang. Tingginya prevalensi maupun insidens infeksi penyakit menular seksual tersebut berkaitan dengan praktek perilaku pencegahan IMS dan HIV/AIDS yang masih sangat rendah, seperti rendahnya angka penggunaan kondom pada seks berisiko, cukup tingginya angka berganti pasangan. Diperkirakan 75-80% penularan terjadi melalui hubungan seksual, 5- 10% diantaranya melalui hubungan homoseksual. (Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit, Dep Kes RI 2005). Pelacuran merupakan masalah sosial didesa maupun dikota, yang berhubungan dengan penularan Infeksi Menular Seksual (IMS). Untuk menanggulangi dampak buruk penularannya lokalisasi merupakan cara terbaik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi IMS adalah penggunaaan kondom, karena tidak mungkin menghapus pelacuran sepanjang ada yang membutuhkan ( Isfandari, dkk 2005). Untuk mempengaruhi perilaku pekerja seks dalam penggunaan kondom hubungan petugas kesehatan dengan petugas lokalisai ataupun keterlibatan orang-orang yang terdekat dengan pekerja seks sangat dibutuhkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Lawrence Green (Notoatmojo,2007)yangmenganalisis bahwa faktor perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu: (a). Predisposing factors yaitu faktor- faktor yang dapat mempermudah terjadinya perilaku pada diri seseorang,antara lain adalah pengetahuan dan sikap. (b). Enabling factors adalah faktor faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang. (c). Reinforcing factor adalah faktor faktor yang mendorong atau mempermudah terjadinya perilaku,yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku. Berdasarkan hasil survey awal yang dilakukan oleh peneliti di Lokalisasi Warung Bebek Kabupaten Serdang Bedagai, ada 40 orang
4
pekerja seks komersial, 30 orang diantaranya adalah wanita pekerja seks (WPS ) dari 30 orang WPS ditemukan 8 orang penderita Sifilis, 4 orang penderita kandidiasis, 5 orang menderita trikomoniasis dan 1 orang menderita HIV. (Sumber : Data Puskesmas Kabupaten Serdang Bedagai 2012). Menurut hasil wawancara peneliti dengan 2 orang WPS mereka mengakui enggan menggunakan kondom karena tamu juga tidak ingin menggunakan kondom saat berhubungan seksual. Selain itu, WPS juga bersikap tidak peduli terhadap resiko penularan infeksi menular seksual akibat hubungan seksual yang tidak aman. Walaupun mereka sudah mendapatkan pembagian kondom dan informasi dari petugas kesehatan tentang bahaya Infeksi Menular Seksual. Berdasarkan fenomena di atas, peneliti menilai perlu untuk melakukan penelitian ini sehingga memberikan solusi alternative untuk mengatasi perkembangan penyakit infeksi menular seksual (IMS) pada wanita pekerja seks komersial di Lokalisasi Warung Bebek Kabupaten SerdangBedagai.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan desain asosiatifl, yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh predisposising factor,enabling factor dan reinforcing factor terhadap upaya pencegahan infeksi menular seksual (IMS) di lokalisasi Warung Bebek Kabupaten Serdang Bedagai. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wanita pekerja seks komersial (WPS) dilokalisasi Warung Bebek Sei Rampah kabupaten Serdang Berdagai di lokalisasi Warung Bebek Kabupaten Serdang Bedagai sebanyak 55 orang yang keseluruhannya dijadikan sampel (Total Sampling). Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner. Sebelum data dikumpulkan terlebih dahulu dilakukan uji coba instrumen yang bertujuan untuk mengukur validitas dan reliabilitas instrumen.
Analisa data dilakukan secara deskriptif yang bertujuan untuk melihat distribusi frekuensi masing- masing variabl. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat,dilakukan uji hipotesis dengan analis korelasi dan multiple regresi pada taraf = 5% .
HASIL PENELITIAN
Dari 55 responden yang di wawancarai mayoritas didapatkan hasil sebagai berikut : karakteristik responden berdasarkan umur yang paling besar proporsinya adalah kelompok umur 20-30 tahun (60%), proporsi tingkat pendidikan yang terbesar adalah SD (42%) & SMP (42%), lama bekerja sebagai WPS 6 bulan adalah sebanyak ( 89 %), Jumlah pelanggan WPS 5 Orang adalah sebanyak ( 56%). Mayoritas WPS mendapatkan Informasi tentang IMS & HIV/AIDS dan
5
pencegahannya yang didapat dalam setahun terakhir yaitu ada sebanyak 40 orang (72%) Untuk mengetahui factor predisposisng factor WPS terhadap upaya pencegahan IMS ditentukan oleh pengetahuan dan sikap WPS. Dari hasil analisa tabel distribusi dapat diketahui bahwa mayoritas Predisposising Factor WPS adalah baik, dimana pengetahuan WPS tentang IMS dan pencegahannya adalah baik yaitu ada sebanyak 29 orang (52,7%).tetapi sikap WPS terhadap pencegahan IMS adalah kurang. Baik yaitu ada sebanyak 31 orang (56,4%). Untuk mengetahui enabling factors( faktor yang memungkinkan) atau faktor yang memfasilitasi terjadinya perilaku WPS dalam mempengaruhi Upaya Pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS), ditentukan adanya ketersediaan dan kualitas kondom yang baik. Dari hasil analisa tabel distribusi dapat diketahui bahwa mayoritas Enabling Factor WPS adalah kurang baik yaitu ada sebanyak 34 orang ( 61.8%). Untuk mengetahui reinforcing factor WPS terhadap upaya pencegahan IMS ditentukan oleh sikap pengetugas kesehatan dan sikap pengelola lokalisasi WPS. Dari hasil analisa tabel distribusi dapat diketahui bahwa mayoritas Reinforcing Factor WPS adalah baik yaitu ada sebanyak 34 orang ( 61.8%). Sikap petugas kesehatan terhadap WPS adalah baik tetapi Sikap pengelola lokalisasi terhadap WPS adalah kurang baik. Dari hasil analisa tabel distribusi dapat diketahui bahwa mayoritas Upaya Pencegahan IMS pada WPS adalah kurang baik yaitu ada sebanyak 37 orang ( 67.3%). Hasil analisa uji multiple regresi antara Faktor Predisposising, Faktor Enabling dan Faktor Reinforcing, dapat di ketahui variabel yang paling berpengaruh terhadap upaya pencegahan IMS adalah varaiabel Faktor Enabling yaitu sebesar 0.000 ( P < 0.05), hal ini ditandai dengan perbedaaan basaran nilai signifikan dan nilai beta pada Faktor Enabling yaitu sebesar 0.558 ( lebih besar dari pada nilai beta Faktor Reinforcing 0. 019 dan nilai beta Faktor Predisposising 0. 014 ). Besarnya koefisien korelasi antar Faktor Predisposising, Faktor Enabling dan Faktor Reinforcing, terhadap upaya pencegahan IMS adalah sebesar 0.569 ( korelasi kuat). Sedangkan besarnya pengaruh Faktor Predisposising, Faktor Enabling dan Faktor Reinforcing, terhadap upaya pencegahan IMS adalah sebesar 32,4 % ( R square sebesar 0.324) sedangkan 67,6 % ( 0.67,6) dipengaruhi oleh faktor lain. Hal ini berarti bahwa Faktor Predisposising dan Faktor Reinforcing mempengaruhi upaya pencegahan IMS dan sebagian lain dipengaruhi oleh faktor lain seperti faktor social ekonomi,kemampuan negosisasi WPS yang kurang dan sikap pelanggan yang kurang terhadap resiko infeksi menular seksual (IMS). PEMBAHASAN
6
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa umur WPS yang paling besar proporsinya adalah kelompok umur 20-30 tahun (60%). Hal ini menunjukan bahwa WPS di lokalisasi warung bebek tsb sangat berisiko terinfeksi IMS / HIV karena mempunyai mukosa vagina dan jaringan serviks yang mudah terinfeksi penyakit menular sekual. Data tahun 2007 menunjukkan bahwa pekerja seks yang berumur lebih muda, yang baru menjajakan seks cenderung tertular infeksi HIV dengan cepat. Mereka yang baru terinfeksi juga berpotensi besar menularkan virus. Proporsi tingkat pendidikan WPS yang terbesar adalah SD (42%) & SMP (42%), sedangkan tingkat pendidikan WPS mayoritas SD dan SMP tetapi pengetahuan mereka tentang faktor risiko IMS dan pencegahannya adalah baik yaitu (52,7%). Dari hasil jawaban responden terhadap pertanyaan yang diajukan kepada WPS, mayoritas WPS berpengetahuan baik. Responden tahu cara untuk mengurangi resiko dan pencegahan IMS dan HIV adalah dengan menggunakan kondom dengan benar setiap kali melakukan hubungan seks dan tetap mengunakan kondom walaupun sudah menderita HIV, WPS tahu mengurangi resiko IMS dengan saling setia pada setiap pasangan dan mengurangi jumlah pasangaan seks.Responden juga tahu bahwa seseorang yang sudah terinfeksi IMS dan HIV tidak dapat hanya dengan melihatnya saja. Walaupun pengetahuan WPS mayoritas baik tentang IMS dan mayoritas pernah mendapatkan informasi tentang IMS serta pencegahannya dari petugas kesehatan. tetapi tidak mempengaruhi WPS dalam melakukan upaya pencegahan IMS, mereka tetap saja melakukan tindakan berisiko, seharusnya bila pengetahuan WPS baik maka upaya pencegahan IMS juga baik. Isfandari dkk (2005) mengatakan bahwa pada umumnya pengetahuan masyarakat tentang Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS cukup tinggi namun praktek perilaku pencegahan IMS dan HIV/AIDS masih sangat rendah, seperti rendahnya angka penggunaan kondom pada seks berisiko, cukup tingginya angka berganti pasangan dikalangan non pekerja seksual dan tingginya angka berbagi jarum suntik dikalangan pengguna Napza suntik (Dep.Kes 2007). Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Widyastuti (2007) tentang perilaku menggunakan kondom pada wanita penjaja seks jalanan di Jakarta. Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan, lama bekerja, pengetahuan tentang IMS, serta keterpaparan informasi tidak berhubungan secara bermakna dengan perilaku menggunakan kondom. Dari hasil penelitian secara deskriftip didapat bahwa mayoritas Faktor Predisposising ( pengetahuan WPS baik tetapi Sikap kurang baik,) Faktor Enabling (ketersediaan kondom) kurang baik , Faktor Reinforcing ( sikap petugas kesehatan baik tetapi sikap pengelola lokalisasi kurang baik) dan Upaya pencegahan IMS mayoritas kurang baik, dengan demikian resiko Infeksi Menular
7
Seksual tetap saja dapat terjadi dilokalisasi tersebut. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Pribadi Setio (2004) yang menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja seks komersial kurang baik dalam pengetahuannya tentang kondom sedangkan pengetahuan lain sudah baik, keyakinan dan sikapnya terhadap pemakaian kondom pada saat melakukan hubungan seksual sudah baik. Resiko terjadinya Infeksi Menular Seksual dilokalisasi tersebut jugadi pengaruhi oleh karena dukungan mucikari dalam menyediakan kondom masih kurang baik. Upaya yang dilakukan oleh pekerja seks komersial akan pencegahan penularan penyakit HIV/AIDS sebagian besar sudah baik. Dari hasil analisa uji multiple regresi antara Faktor Predisposising, Faktor Enabling dan Faktor Reinforcing, dapat di ketahui variabel yang paling berpengaruh terhadap upaya pencegahan IMS adalah varaiabel Faktor Enabling yaitu sebesar 0.000 ( P < 0.05), hal ini ditandai dengan perbedaaan basaran nilai signifikan dan nilai beta pada Faktor Enabling yaitu sebesar 0.558 ( lebih besar dari pada nilai beta Faktor Reinforcing 0. 019 dan nilai beta Faktor Predisposising 0. 014. Hal ini berarti diantara ketiga factor- faktor diatas, keberadaan factor enabling sangat mempengaruhi WPS dilokalisasi Warung bebek dalm upaya pencegahan IMS. Faktor enabling (enabling factors) adalah adalah faktor - faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Yang dimaksud dengan faktor - faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku. Faktor pendukung (Enabling Factor) dalam penelitian ini adalah ketersediaan kondom pada WPS, yang merupakan salah satu factor yang sangat mempengaruhi WPS dalam upaya pencegahan IMS. Dari hasil penelitian pada WPS dilokalisasi warung bebek dapat diketahui bahwa dari 55 responden mayoritas enabling factor adalah kurang baik yaitu sebanyak ( 61.8%). Hal ini berarti bahwa faktor pendukung atau ketersediaan kondom yang kurang baik dari segi kuantitas dan kualitas akan sangat mempengaruhi WPS dalam upaya pencegahan IMS ( Infeksi menular seksual ) dengan demikian upaya pencegahan yang dilakukan terhadap IMS tidak dapat dilakukan dengan baik di Lokalisasi Warung Bebek Kabupaten Serdang Bedagai.Dari hasil jawaban dapat diketahui bahwa penggunaan kondom relatif rendah pada WPS dilokalisasi warung bebek, hal ini adalah karena tidak tersedianya kondom yang cukup di tempat lokalisasi, WPS hanya kadang- kadang saja mempunyai persediaan kondom setiap saat melakukan hubungan seks yang seharusnya WPS tetap konsisten menggunakan kondom. Penggunaan kondom yang konsisten seharusnya dilakukan oleh WPS untuk mencegah transmisi dan berjangkitnya penyakit-penyakit yang ditularkn lewat hubungan seksual, seperti gonorrhea, sifilis,
8
HIV, dan hepatitis. WPS dilokalisasi warung bebek juga hanya kadang-kadang saja terlebih dahulu memeriksa adanya kebocoran dan kadar luarsa kondom, kemungkinan kualitas kondom yang digunakan juga kurang baik sehingga rersiko terjadinya infeksi menular seksual tetap saja bisa terjadi. Selain perilaku penggunaan kondom, kualitas kondom yang ada di pasaran ternyata masih kurang baik karena beberapa wanita pekerja seks langsung menyatakan pernah mengalami kerusakan kondom yang digunakan saat hubungan seks. Kegagalan kondom juga sering disebabkan pemakainya tidak menggunakannya dengan benar, dan bukan karena mutu kondom itu sendiri. Kegagalan penggunaan kondom antara lain mungkin disebabkan penyimpanan kondom yang kurang baik, Pemakaian kondom yang sudah kadarluarsa, Pemakaian kondom yang tidak tepat pemasangannya dan kondom tersebut robek ketika dibuka dari bungkusa ( Depkes, 2011). Sebenarnya apabila WPS dilokalisasi tersebut menggunaan kondom dengan baik dan konsisten akan mencegah transmisi dan berjangkitnya penyakit-penyakit yang ditularkn lewat hubungan seksual, seperti gonorrhea, sifilis, HIV, dan hepatitis. ). Dari hasil analisa uji multiple regresi juga dapat diketahui bahwa besarnya koefisien korelasi antar Faktor Predisposising, Faktor Enabling dan Faktor Reinforcing, terhadap upaya pencegahan IMS adalah sebesar 0.569. Sedangkan besarnya pengaruh Faktor Predisposising, Faktor Enabling dan Faktor Reinforcing, terhadap upaya pencegahan IMS adalah sebesar 32,4 % ( R square sebesar 0.324). Hal ini berarti Faktor Predisposising,factor enabling dan Faktor Reinforcing saling berhubungan dan mempengaruhi upaya pencegahan IMS. sedangkan 67,6 % dipengaruhi oleh faktor lain seperti faktor social ekonomi dan tutntutan pekerjaannya sebagai WPS yang lebih mengutamakan keinginan pelanggan dan sikap pelanggan yang tidak peduli terhadap resiko penularan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS). Faktor predisposisi atau faktor-faktor yang mempermudah terjadinya perilaku pada WPS yang terwujud dalam pengetahuan dan sikap,hasil pengukuran terhadap Faktor Predisposising WPS adalah kurang baik, yaitu sebanyak 25 orang (45, 5%) hasil pengukuran Faktor Predisposising didapatkan berdasarkan hasil pengukuran pengetahuan dan sikap WPS tentang faktor-faktor risiko IMS dan upaya pencegahannya. Hasil pengukuran pengetahuan WPS tentang faktor- faktor risiko IMS dan upaya pencegahannya adalah baik tetapi sikap WPS kurang baik untuk mencegah terjadinya faktor risikoIMS. Walaupun pengetahuan WPS baik tetapi bila sikap WPS kurang baik,maka tidak akan mempengaruhi upaya WPS untuk mencegah terjadinya infeksi menular seksual. Hasil penelitian sesuai dengan penelitian yang dilakukan Chandra & Rudi (2012) hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan PSK dengan tindakan
9
pencegahan penyakit Infeksi Menular Seksial (IMS) dengan (p=0,50) dan tidak ada hubungan yang bermakna antara sikap PSK dengan tindakan pencegahan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) dengan (p=0,10). Sikap WPS yang kurang baik terhadap upaya pencegahan IMS merupakan salah satu faktor yang mempermudah atau mempredisposisi WPS dalam melakukan tindakan berisiko terkena infeksi menular seksual. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa dari 55 responden mayoritas sikap WPS tentang IMS & Pencegahannya adalah kurang baik yaitu ada sebanyak 31 orang (56,4%). Dari hasil jawaban responden terhadap beberapa pertanyaan yang telah diajukan dapat dilihat bahwa mayaoritas WPS kurang setuju menggunakan kondom setiap kali berhubungan seksual, kurang setuju menolak pelanggan yang tidak ingin menggunakan kondom, kurang setuju menawarkan penggunaan kondom pada pelanggan saat berhubungan seksual sehingga WPS bisa terhindar dari IMS dan HIV, selain itu WPS juga kurang setuju mengutamakan manfaat kondom dari pada keinginan pelanggan. Hal ini berarti bahwa WPS yang mempunyai sikap yang kurang tentang faktor risiko / cara penularan dan cara pencegahan IMS dan HIV/AIDS akan lebih besar melakukan tindakan beresiko tinggi IMS dan HIV dan upaya pencegahannya IMS tidak dapat dilakukan dengan baik, sebaliknya bila WPS yang mempunyai sikap yang baik WPS tentang faktor risiko / cara penularan dan cara pencegahan IMS dan HIV/AIDS akan lebih besar menghindarkan tindakan beresiko tinggi IMS dan upaya pencegahan IMS dapat dilakukan dengan baik. Berdasarkan pendapat tersebut dapat diketahui bahwa sikap WPS yang kurang baik, maka upaya pencegahan IMS tidak dapat dilakukan dengan baik sehingga akan memberi peluang besar terhadap penularan IMS pada WPS dilokalisai warung bebek kabupaten Serdang Berdagai. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Supardi (2010) di Kabupaten Merauke yang menunjukan adanya hubungan bermakna antara sikap dengan penggunaan kondom pada wanita pekerja seks. Sikap WPS yang kurang baik juga dipengaruhi oleh tuntutan pekerjaannya sebagai WPS dan keinginan dari pelanggan serta kurangnya dukungan dari pengelola lokalisasi. Menurut Niel Niven (2002), kekuatan sikap tergantung dari banyak faktor, faktor yang terpenting adalah faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap antara lain adalah pengaruh orang lain yang dianggap penting. Kecenderungan ini dimotivasi oleh keinginan untuk menghindari konflik dengan orang lain. Hasil penelitian ini didukung oleh pendapat Thursonte yang dikutip Ahmadi (2002) yang menyatakan bahwa sikap sebagai tindakan kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang berhubungan dengan objek psikologi. Sikap positif yaitu sikap yang menunjukan atau memperlihatkan, menerima, mengakui, menyetujui serta
10
melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada. Sedangkan sikap negatif adalah sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma- norma yang berlaku dimana individu itu berada. Hal ini sejalan dengan pendapat Niel Niven (2002), sikap seseorang adalah kompenen yang sangat penting dalam perilaku kesehatannya, yang kemudian diasumsikan bahwa adanya hubungan langsung antara sikap dan perilaku seseorang. Sikap positif seseorang terhadap kesehatan kemungkinan tidak otomatis berdampak pada perilaku seseorang menjadi positif, tetapi sikap yang negatif terhadap kesehatan hampir pasti berdampak negatif pada perilakunya. Dari hasil jawaban WPS tersebut juga diketahui bahwa WPS mayoritas kurang mampu membujuk pelanggan untuk menggunakan kondom kemungkinan juga karena pelangan tidak merasa puas bila menggunakan kondom saat berhubungan seksual. Hutapea. R (2003) mengatakan bahwa kondom mengurangi sensasi seks terutama pada pria,sehingga banyak orang mengeluh tentang kondom dan mereka mengatakan bahwa kondom membuat seks menjadi kurang spontan karena sat menikmati seks harus berhenti untuk memasangnya. Dengan demikian WPS akan mengikuti keinginan pelanggan untuk tidak menggunakan kondom pada saat berhubungan seks. Selain itu WPS juga lebih mengutamakan keinginan pelanggan dan lebih mengutamakan uang dari pada resiko IMS yang akan dialaminya. Hasil penelitian ini sesuai dengn penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Kresno (2001) tentang mencari pengobatan pada penderita IMS di Jakarta menunjukkan bahwa penggunaan kondom juga relatif rendah dengan alasan rasa tidak nyaman menggunakan kondom dan lemahnya kemampuan WPS dalam melakukan negosiasi dengan pelanggan. Dari uraian diatas dapat diketahui walupun pengetahuan WPS baik tetapi sikap WPS kurang baik maka faktor predisposising WPS menjadi tidak baik,sehingga upaya pencegahan IMS kurang baik dilokalisasi warung Bebek Kabupaten Serdang Berdagai. Untuk mengetahui faktor- faktor yang memperkuat (reinforcing factors) terjadinya perilaku WPS dalam upaya pencegahan penyakit infeksi menular sekual (IMS) di Lokalisasi Warung Bebek Kabupaten Serdang Berdagai juga ditentukan sikap petugas kesehatan dan pengelola lokalisasi, setelah dilakukan pengukuran terhadap sikap petugas kesehatan dan sikap pengelola lokalisasi dalam upaya pencegahan IMS, dapat diketahui bahwa dari 55 responden mayoritas Reinforcing factor WPS adalah baik yaitu ada sebanyak 61.8%, dimana Sikap petugas kesehatan terhadap WPS adalah baik yaitu ada sebanyak 69.1% tetapi hasil pengukuran Sikap pengelola lokalisasi terhadap WPS adalah kurang baik yaitu ada sebanyak 63,5%. Untuk mempermudah atau untuk mendorong perilaku WPS dalam upaya pencegahan IMS perilaku para petugas kesehatan dan
11
pengelola lokalisasi terhadap WPS akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku WPS dalam upaya pencegahan IMS. Dari hasil penelitian terlihat bahwa sikap petugas kesehatan dalam upaya pencegahan IMS pada WPS sudah cukup baik,dimana petugas kesehatan rutin melaksanakan penapisan setiap bulan, yaitu pada minggu kedua atau ketiga di lokalisasi warung bebek. Petugas kesehatan yang melakukan penapisan pada lokalisasi di warung bebek terdiri dari: 1 orang dokter,1 orang bidan dan 2 orang analis. Adapun kegiatan yang dilakukan pada waktu penapisan adalah : Conseling, Pemeriksaan fisik, pemeriksaan Infeksi Menular Seksual dengan pemeriksaan secret vagina dan darah, pemeriksaan darah dilakukan setiap 3 bulan ( khusus untuk kasus HIV/ Sipilis) serta memberikan informasi tentang pencegahan penyakit menular seksual, serta memberikan pengobatan bagi pekerja seks yang mengalami infeksi menular seksual. Dalam penelitian ini terlihat bahwa kegiatan yang dilakukan petugas kesehatan dalam upaya pencegahan sudah baik. Menurut Daili (2009) Upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan dan pengobatan IMS adalah : Promosi penggunaan kondom pada mereka yang berisiko,mengobati kasus PMS dan pasangannya, meningkatkan kemampuan diagnosis dan pengobatan serta anjuran untuk mencari pengobatan yang tepat dan membatasi komplikasi dengan melakukan pengobatan dini dan efektif untuk yang simtomatik maupun asimtomatik serta pasangan seksualnya. Upaya petugas kesehatan pada WPS di lokalisasi warung bebek tesebut juga sesuai menurut Dep.Kes (2006) pencegahan infeksi menular seksual terdiri dari dua bagian, yakni pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer terdiri dari penerapan perilaku seksual yang aman dan penggunaan kondom. Sedangkan pencegahan sekunder dilakukan dengan menyediakan pengobatan dan perawatan pada pasien yang sudah terinfeksi oleh infeksi menular seksual. Pencegahan sekunder bisa dicapai melalui promosi perilaku pencarian pengobatan untuk infeksi menular seksual, pengobatan yang cepat dan tepat pada pasien serta. Walaupun sikap petugas kesehatan baik terhadap Upaya pencegahan IMS pada WPS dilokalisasi warung bebek tetapi tidak mempengaruhi WPS dalam melakukan upaya pencegahan IMS hal ini kemungkinan dikarenakan Sikap pengelola lokalisasi terhadap WPS adalah kurang baik yaitu ada sebanyak 65,5%. Dari hasil jawaban WPS dapat diketahui bahwa mayoritas WPS mengatakan bahwa pengelola lokalisasi hanya kadang- kadang mengingatkan WPS agar tetap menggunakan kondom ketika anda hendak melayani tamu, Bila WPS kehabisan kondom pengelola lokalisasi warung bebek hanya kadang-kadang memberikan kondom kepada WPS, petugas warung bebek tidak pernah menegur tamunya bila tidak ingin menggunakan kondom pada saat layani WPS, pengelola lokalisasi hanya kadang-kadang saja menyediakan kondom untuk setiap tamu. Dalam hal ini terlihat bahwa pengelola lokalisasi kurang
12
menekankan begitu pentingnya upaya pencegahan IMS, hal ini mungkin saja disebabkan karena pengelola lokalisasi juga lebih mengutamakan keinginan pelanggannya yang datang dan lebih mengutamakan uang. Dari uraian diatas walaupun sikap petugas kesehatan baik tetapi bila sikap pengelola lokalisasi kurang baik tidak akan mempengaruhi WPS dalam upaya pencegahan IMS ( Infeksi menular seksual ). Kurangnya dukungan atau sikap pengelola lokalisasi juga merupakan salah satu faktor yang memperkuat (reinforcing factors) terjadinya Infeksi Menular Seksual (IMS) di Lokalisasi Warung Bebek. Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat diketahui bahwa faktor enabling yang kurang baik, sikap WPS yang kurang baik dan sikap pengelola lokalisasi yang kurang baik akan mempengaruhi upaya pencegahan infeksi menular seksual di lokalisasi warung bebek, artinya upaya pencegahan IMS dilokalisasi warung bebek juga tidak dapat dilakukan dengan baik. Hal ini dapat dilhat dari hasil penelitian bahwa dari 55 responden mayoritas Upaya Pencegahan IMS pada WPS adalah kurang baik yaitu ada sebanyak ( 67.3%). Hal ini dapat diketahui dari hasil jawaban WPS sebagai berikut ini : Dalam 1 minggu terakhir WPS hanya kadang-kadang saja memakai kondom setiap melayani pelanggan, jika tamu menolak menggunakan kondom, WPS juga hanya kadang- kadang saja menawarkannya kepada pelanggan, dari uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa upaya pencegahan dengan penggunaan kondom yang secara terus menerus dan konsisten masih sangat rendah sehingga resiko tertularnya infeksi menular sekual tetap saja dapat terjadi pada WPS tersebut. Upaya pencegahan IMS yang dilakukan WPS melalui pemeriksaan kesehatan hanya didapat ketika petugas kesehatan dari puskesmas Serdang Berdagai datang kelokalisasi,yaitu setiap bulan pada minggu kedua atau sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh petugas kesehatan, bila ada WPS mengalami keluhan pada alat kemaluan seperti gatal,luka, keluar cairan kuning dan berbau, WPS hanya kadang-kadang saja melakukan pemeriksaan ke petugas kesehatan dan lebih sering mengobati sendiri dengan membeli obat-obatan di apotik sehingga kemungkinan pengobatan nyang dilakukan oleh WPS juga tidak sesuai dengan diagnosis penyakit yang dialaminya. Bila salah satu keluhan - keluhan tersebut ada yang dialami WPS seharusnya WPS segera mengobatinya dengan tuntas agar tidak terjadi komplikasi. WPS melakukan pemeriksaan secret (lendir) dari vagina ( alat kemaluan) hanya sesuai jadwal yang dianjurkan petugas kesehatan dan Bila WPS di beri obat (antibiotik) oleh petugas kesehatan WPS tidak meminum obatnya sampai habis. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa upaya pencegahan IMS yang dilakukan WPS masih kurang, hal ini didukung oleh sikap WPS dan sikap pengelola lokalisasi yang masih kurang, sehingga IMS dilokalisasi warung bebek tersebut tetap saja dapat terjadi.
13
Dari hasil pemeriksaan secret pada WPS yang dilakukan oleh petugas kesehatan dari Puskesmas Serdang Bedagai pada waktu penapisan (29 Agustus 2012) didapatkan data sebagai berikut ini : Servitis 17 orang, Vaginitis 17 orang,Trichomonas 4 orang, kandida 9 orang,Sifilis 4 orang dan Gonorhea 4 orang. Beberapa faktor yang menyebabkan tingginya IMS adalah tingkat pemakaian kondom yang rendah, cakupan penapisan dan pengobatan IMS yang masih kurang dan regimen diagnostik dan pengobatan yang tidak efektif. Meskipun cakupan WPS dengan penapisan rutin telah cukup tercapai di beberapa kota, cakupan harus ditingkatkan dan lebih konsisten untuk mengurangi prevalensi IMS. Data menunjukkan hanya setengah dari WPS mencari pertolongan dokter ketika mengalami tanda IMS. Sisanya mengobati sendiri, pergi ke layanan non-medis atau tidak diobati sama sekali. Konsekuensi ini, ditambah dengan kebal terhadap sejumlah obat pertama untuk IMS dan kepatuhan yang kurang terhadap pengobatan. Pengobatan sifilis yang lebih intensif sangat dibutuhkan. Fakta bahwa pendekatan sindrom memiliki sensitifitas dan yang rendah pada wanita, dan cara ini yang telah dicoba di beberapa klinik di Indonesia belum efektif dari segi biaya. Mengingat angka prevalensi IMS yang tinggi pada WPS di seluruh Indonesia, presumptive periodic treatment (PPT) untuk WPS dengan menggunakan obat dalam dosis tunggal yang langsung diamati perlu dipertimbangkan (Dep.Kes 2007). Menurut Daili (2009) prinsip umum pengendalian IMS adalah dengan meningkatkan diagnosis dan pengobatan serta anjuran mencari pengobatan yang tepat,membatasi komplikasi dengan melakukan pengobatan dini dan efektif baik untuk yang simptomatik maupun yang asimptomatik.
KESIMPULAN 1. Karakteristik WPS yang paling besar proporsinya adalah kelompok umur 20-30 tahun (60%), proporsi tingkat pendidikan yang terbesar SD (42%) & SMP (42%), lama bekerja sebagai WPS 6 bulan sebanyak ( 89 %), Jumlah pelanggan WPS dalam 1 minggu 5 Orang sebanyak ( 56%) 2. Dari 55 respoden mayoritas Faktor Predisposising ( pengetahuan WPS baik tetapi Sikap kurang baik ), Faktor Enabling (ketersediaan kondom) kurang baik , Faktor Reinforcing ( sikap petugas kesehatan baik , tetapi sikap pengelola lokalisasi kurang baik ) dan Upaya pencegahan IMS mayoritas kurang baik. 3. Hasil uji multiple regresi, variabel yang paling berpengaruh terhadap upaya pencegahan IMS adalah variabel Faktor Enabling yaitu sebesar 0.000 ( P < 0.05), dengan perbedaaan basaran nilai signifikan dan nilai beta pada Faktor Enabling yaitu sebesar 0.558. Besarnya korelasi antar Faktor Predisposising, Faktor Enabling dan Faktor Reinforcing, terhadap upaya pencegahan IMS adalah sebesar 0. 569 ( korelasi kuat) .
14
Pengaruh Faktor Predisposising, Faktor Enabling dan Faktor Reinforcing, terhadap upaya pencegahan IMS adalah sebesar 32,4 % ( R square sebesar 0.324) 67,6 % dipengaruhi oleh faktor lain, seperti faktor social ekonomi, tuntutan pekerjaan sebagai WPS dan sikap pelanggan yang kurang baik.
SARAN 1. Sikap WPS terhadap pencegahan IMS dan penggunaan kondom lebih ditingkatkan dan membuat kesepakatan atau negosiasisi untuk menggunakan kondom atau menolak pelanggan bila tidak menggunakan kondom saat berhubungan seks.
2. Kepada pengelola lokalisasi untuk lebih meningkatkan kerjasama dengan petugas kesehatan Puskesmas Serdang Berdagai untuk meningkatkan sikap WPS terhadap pencegahan dan penularan IMS, pengelola lokalisasi setiap saat menyediakan dan mendistribusi kondom kepada WPS serta membuat peraturan penggunaan kondom secara konsisten,
UCAPAN TERIMA KASIH
1. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan yang telah memberikan bantuan dana penelitian bagi peneliti.
2. Koordinator Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah I
3. Kepala Puskesmas Sei Rampah Serdang Berdagai yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di salah satu lokalisasi WPS di wilayah kerja puskesmas Sei Rampah Serdang Berdagai
4. Kepada team petugas kesehatan Infeksi Menular Sekual (IMS) Puskesmas Sei Rampah Serdang Berdagai yang telah membantu peneliti didalam pelaksanaan penelitian ini
5. Kepada kepala lingkungan lokalisasi, petugas lokalisasi dan WPS yang ada di lokalisasi Warung Bebek Sei Rampah Serdang Berdagai
6. Ketua STIKes Mutiara Indonesia Medan yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk melakukan penelitian
7. Ketua Lembaga Pengembangan Pendidikan Penelitian Dan Pelatihan (LP4) STIKes Mutiara Indonesia Medan yang telah membimbing peneliti di dalam menyelesaikan penelitian ini
Dep.Kes (2006) . Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS ,Jakarta secara sukarela (Voluntary Counseling and Testing ), Dirjen P2 & PL, Jakarta
-------------2007, Surveilans Terpadu Biologis Perilaku, Jakarta
------------ 2011, Surveilans Terpadu Biologis Perilaku, Jakarta.
Hidayat, A. Aziz Alimul, 2009, Metode Penelitian Keperawatan Dan Teknik Analisa Data, Salemba Medika, Jakarta.
Hutapea, Ronald, 2003, AIDS & PMS dan Perkosaan, Rineka Cipta, Cetakan Pertama, Jakarta.
Isfandari,Siti ; Sedyaningsih R.Endang dan Mahamit, 2005.Kajian Penelitian Sosial dan Perilaku yang berkaitan dengan Infeksi menular Seksual, HIV/AIDS di Di Indonesia, Dep Kes RI bekerjasama dengan KPAN, Jakarta. Kartono, Kartini, 2011, Patologi Sosial, Rajawali Pers, Cetakan-12, Jakarta.
Neil Niven,2002.Psikologi Kesehatan Pengantar untuk Perawat & Profesional Kesehatan lain, EGC,Jakarta
Nurul Fitriana Arifin dkk,2012, Penggunaan kondom, vaginal hygiene sebagai factor resiko terjadinya Infeksi