Sie sind auf Seite 1von 16

1

The Influence of Predisposing, Enabling and Reinforcing Factors Related to Sexually


Transmitted Desease Prevention Efforts In localization Warung Bebek Berdagai Serdang,


Evarina Sembiring (Ketua)
Rinawati Sembiring (Anggota)


Universtas Sari Mutiara Indonesia
Jalan Kapten Muslim No. 79 Medan



ABSTRACT
The high prevalence and incidence of Sexually Transmitted Disease (STD) related to the
prevention of STD are still very low. Female Sexual Workers (FSW) is a high-risk behaviors the
STD. The purpose of this study was to analyze the influence of predisposing, enabling and
reinforcing factors related to STD prevention efforts in localization Warung Bebek Berdagai
Serdang,The sampel for this study are 55 of FWS. The data obtained were analyzed through
Correlation and Multiple Linear Regression test. The results showed , majority of the FWS are:
aged 20-30 years (60%), primary and secondary education (84%), long working 6 months
(89%), number of subscribers in the first week 5 peoples (56%). All of the factors have a
significant relationship with the prevention of STD, correlation of 0569, the influence of the
three factors on STD prevention efforts for 0324, while 67.6% influenced by other factors like as
socio-economic factors, the demands of the workers as the FWS and . the ability for negotiate is
low. The most variable influence is Enabling factor for 0000 (P <0.05), beta values for 0558.
It is strongly recommended to the localization manager should work harder and coordinate
with Serdang Berdagai Health Center Personnel,to improve the FWS attitude toward high risk
and prevention of STD. The localization manager should be provide and distribute condoms to
FWS at all times and make the regulations to use condom consistent
Key Words : Predisposing, Enabling and Reinforcing Factors,Sexually Transmitted
Disease









2


PENGARUH PREDISPOSING FACTOR,ENABLING FACTOR DAN REINFORCING FACTOR
TERHADAP UPAYA PENCEGAHAN INFEKSI MENULAR SEKUAL PADA WANITA PEKERJA SEKS
KOMERSIAL DI LOKALISASI WARUNG BEBEK SERDANG BEDAGAI TAHUN 2012











Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia.
Tingginya prevalensi maupun insidens IMS tersebut berkaitan dengan praktek perilaku
pencegahan IMS yang masih sangat rendah, seperti rendahnya angka penggunaan kondom
pada seks berisiko, tingginya angka berganti pasangan. Wanita pekerja seksual (WPS)
merupakan perilaku berisiko tinggi terjadinya infeksi menular seksual.Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif analitik dengan desain asosiatifl. Penelitian ini melibatkan 55
WPS di lokalisasi Warung Bebek Kabupaten Serdang Berdagai, Untuk mengetahui pengaruh
Faktor Predisposising, Faktor Enabling dan Faktor Reinforcing terhadap upaya pencegahan
IMS dilakukan uji hipotesis dengan analis korelasi dan multiple regresi pada taraf = 5%. Hasil
penelitian menunjukan bahwa mayoritas umur 20-30 tahun (60%), pendidikan SD (42%) & SMP
(42%), lama bekerja sebagai WPS 6 bulan ( 89 %), Jumlah pelanggan WPS dalam 1 minggu
5 Orang sebanyak ( 56%). Hasil uji multiple regresi : Faktor Predisposising, Faktor Enabling
dan Faktor Reinforcing, berhubungan dengan upaya pencegahan IMS ditandai dengan korelasi
yang kuat sebesar 0.569, besarnya pengaruh ketiga factor tersebut terhadap upaya
pencegahan IMS adalah sebesar 0.324 sedangkan 67,6 % dipengaruhi oleh faktor lain yaitu
faktor sosial ekonomi dan tuntutan pekerjanya sebagai WPS. Kesimpulan : variabel yang paling
berpengaruh terhadap upaya pencegahan IMS adalah variabel Faktor Enabling yaitu sebesar
0.000 ( P < 0.05), dengan perbedaan besaran nilai signifikan dan nilai beta pada Faktor
Enabling sebesar 0.558. Saran: Sikap WPS terhadap upaya pencegahan IMS lebih
ditingkatkan, dukungan pengelola lokalisasi (mucikari ) dalam menyediakan dan distribusi
kondom lebih ditingkatkan serta membuat peraturan penggunaan kondom secara konsisten,
petugas pencegahan IMS puskesmas Serdang Berdagai hendaknya rutin memberikan
penyuluhan tentang IMS dan penggunaan kondom.
Kata kunci : Faktor Perilaku dan Upaya pencegahan I MS.













3














PENDAHULUAN
Infeksi Menular Seksual
(IMS) sampai saat ini masih
merupakan masalah kesehatan
masyarakat di seluruh dunia, baik di
negara maju (industri) maupun di
negara berkembang. Tingginya
prevalensi maupun insidens infeksi
penyakit menular seksual tersebut
berkaitan dengan praktek perilaku
pencegahan IMS dan HIV/AIDS
yang masih sangat rendah, seperti
rendahnya angka penggunaan
kondom pada seks berisiko, cukup
tingginya angka berganti pasangan.
Diperkirakan 75-80% penularan
terjadi melalui hubungan seksual, 5-
10% diantaranya melalui hubungan
homoseksual. (Pusat Penelitian dan
Pengembangan Pemberantasan
Penyakit, Dep Kes RI 2005).
Pelacuran merupakan
masalah sosial didesa maupun
dikota, yang berhubungan dengan
penularan Infeksi Menular Seksual
(IMS). Untuk menanggulangi
dampak buruk penularannya
lokalisasi merupakan cara terbaik.
Salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk mengurangi IMS
adalah penggunaaan kondom,
karena tidak mungkin menghapus
pelacuran sepanjang ada yang
membutuhkan ( Isfandari, dkk 2005).
Untuk mempengaruhi perilaku
pekerja seks dalam penggunaan
kondom hubungan petugas
kesehatan dengan petugas lokalisai
ataupun keterlibatan orang-orang
yang terdekat dengan pekerja seks
sangat dibutuhkan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Lawrence Green
(Notoatmojo,2007)yangmenganalisis
bahwa faktor perilaku sendiri
ditentukan oleh 3 faktor utama,
yaitu: (a). Predisposing factors
yaitu faktor- faktor yang dapat
mempermudah terjadinya perilaku
pada diri seseorang,antara lain
adalah pengetahuan dan sikap. (b).
Enabling factors adalah faktor
faktor yang memungkinkan atau
yang memfasilitasi terjadinya
perilaku seseorang. (c). Reinforcing
factor adalah faktor faktor yang
mendorong atau mempermudah
terjadinya perilaku,yang terwujud
dalam sikap dan perilaku petugas
kesehatan atau petugas lain yang
merupakan kelompok referensi dari
perilaku.
Berdasarkan hasil survey
awal yang dilakukan oleh peneliti di
Lokalisasi Warung Bebek Kabupaten
Serdang Bedagai, ada 40 orang

4

pekerja seks komersial, 30 orang
diantaranya adalah wanita pekerja
seks (WPS ) dari 30 orang WPS
ditemukan 8 orang penderita Sifilis,
4 orang penderita kandidiasis, 5
orang menderita trikomoniasis dan 1
orang menderita HIV. (Sumber :
Data Puskesmas Kabupaten Serdang
Bedagai 2012). Menurut hasil
wawancara peneliti dengan 2 orang
WPS mereka mengakui enggan
menggunakan kondom karena tamu
juga tidak ingin menggunakan
kondom saat berhubungan seksual.
Selain itu, WPS juga bersikap tidak
peduli terhadap resiko penularan
infeksi menular seksual akibat
hubungan seksual yang tidak aman.
Walaupun mereka sudah
mendapatkan pembagian kondom
dan informasi dari petugas
kesehatan tentang bahaya Infeksi
Menular Seksual.
Berdasarkan fenomena di
atas, peneliti menilai perlu untuk
melakukan penelitian ini sehingga
memberikan solusi alternative untuk
mengatasi perkembangan penyakit
infeksi menular seksual (IMS) pada
wanita pekerja seks komersial di
Lokalisasi Warung Bebek Kabupaten
SerdangBedagai.


METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan
metode deskriptif analitik dengan
desain asosiatifl, yang bertujuan
untuk mengetahui pengaruh
predisposising factor,enabling factor
dan reinforcing factor terhadap
upaya pencegahan infeksi menular
seksual (IMS) di lokalisasi Warung
Bebek Kabupaten Serdang Bedagai.
Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh wanita pekerja seks
komersial (WPS) dilokalisasi
Warung Bebek Sei Rampah
kabupaten Serdang Berdagai di
lokalisasi Warung Bebek Kabupaten
Serdang Bedagai sebanyak 55 orang
yang keseluruhannya dijadikan
sampel (Total Sampling).
Instrumen pengumpulan data
yang digunakan adalah kuesioner.
Sebelum data dikumpulkan terlebih
dahulu dilakukan uji coba instrumen
yang bertujuan untuk mengukur
validitas dan reliabilitas instrumen.

Analisa data dilakukan secara
deskriptif yang bertujuan untuk
melihat distribusi frekuensi masing-
masing variabl. Selanjutnya untuk
mengetahui pengaruh variabel
bebas terhadap variabel
terikat,dilakukan uji hipotesis dengan
analis korelasi dan multiple regresi
pada taraf = 5% .

HASIL PENELITIAN

Dari 55 responden yang di
wawancarai mayoritas didapatkan
hasil sebagai berikut : karakteristik
responden berdasarkan umur yang
paling besar proporsinya adalah
kelompok umur 20-30 tahun (60%),
proporsi tingkat pendidikan yang
terbesar adalah SD (42%) & SMP
(42%), lama bekerja sebagai WPS
6 bulan adalah sebanyak ( 89 %),
Jumlah pelanggan WPS 5 Orang
adalah sebanyak ( 56%). Mayoritas
WPS mendapatkan Informasi
tentang IMS & HIV/AIDS dan

5

pencegahannya yang didapat dalam
setahun terakhir yaitu ada sebanyak
40 orang (72%)
Untuk mengetahui factor
predisposisng factor WPS terhadap
upaya pencegahan IMS ditentukan
oleh pengetahuan dan sikap WPS.
Dari hasil analisa tabel distribusi
dapat diketahui bahwa mayoritas
Predisposising Factor WPS adalah
baik, dimana pengetahuan WPS
tentang IMS dan pencegahannya
adalah baik yaitu ada sebanyak
29 orang (52,7%).tetapi sikap WPS
terhadap pencegahan IMS adalah
kurang. Baik yaitu ada sebanyak
31 orang (56,4%).
Untuk mengetahui enabling
factors( faktor yang memungkinkan)
atau faktor yang memfasilitasi
terjadinya perilaku WPS dalam
mempengaruhi Upaya Pencegahan
Infeksi Menular Seksual (IMS),
ditentukan adanya ketersediaan dan
kualitas kondom yang baik. Dari
hasil analisa tabel distribusi dapat
diketahui bahwa mayoritas
Enabling Factor WPS adalah
kurang baik yaitu ada sebanyak 34
orang ( 61.8%).
Untuk mengetahui reinforcing
factor WPS terhadap upaya
pencegahan IMS ditentukan oleh
sikap pengetugas kesehatan dan
sikap pengelola lokalisasi WPS.
Dari hasil analisa tabel distribusi
dapat diketahui bahwa mayoritas
Reinforcing Factor WPS adalah baik
yaitu ada sebanyak 34 orang (
61.8%). Sikap petugas kesehatan
terhadap WPS adalah baik tetapi
Sikap pengelola lokalisasi terhadap
WPS adalah kurang baik. Dari
hasil analisa tabel distribusi dapat
diketahui bahwa mayoritas Upaya
Pencegahan IMS pada WPS adalah
kurang baik yaitu ada sebanyak 37
orang ( 67.3%).
Hasil analisa uji multiple regresi
antara Faktor Predisposising, Faktor
Enabling dan Faktor Reinforcing,
dapat di ketahui variabel yang paling
berpengaruh terhadap upaya
pencegahan IMS adalah varaiabel
Faktor Enabling yaitu sebesar 0.000 (
P < 0.05), hal ini ditandai dengan
perbedaaan basaran nilai signifikan
dan nilai beta pada Faktor Enabling
yaitu sebesar 0.558 ( lebih besar dari
pada nilai beta Faktor Reinforcing 0.
019 dan nilai beta Faktor
Predisposising 0. 014 ). Besarnya
koefisien korelasi antar Faktor
Predisposising, Faktor Enabling dan
Faktor Reinforcing, terhadap upaya
pencegahan IMS adalah sebesar 0.569
( korelasi kuat). Sedangkan besarnya
pengaruh Faktor Predisposising,
Faktor Enabling dan Faktor
Reinforcing, terhadap upaya
pencegahan IMS adalah sebesar 32,4
% ( R square sebesar 0.324)
sedangkan 67,6 % ( 0.67,6)
dipengaruhi oleh faktor lain. Hal ini
berarti bahwa Faktor Predisposising
dan Faktor Reinforcing
mempengaruhi upaya pencegahan
IMS dan sebagian lain dipengaruhi
oleh faktor lain seperti faktor social
ekonomi,kemampuan negosisasi WPS
yang kurang dan sikap pelanggan
yang kurang terhadap resiko infeksi
menular seksual (IMS).
PEMBAHASAN

6

Dari hasil penelitian dapat
diketahui bahwa umur WPS yang
paling besar proporsinya adalah
kelompok umur 20-30 tahun (60%).
Hal ini menunjukan bahwa WPS di
lokalisasi warung bebek tsb sangat
berisiko terinfeksi IMS / HIV karena
mempunyai mukosa vagina dan
jaringan serviks yang mudah
terinfeksi penyakit menular sekual.
Data tahun 2007 menunjukkan
bahwa pekerja seks yang berumur
lebih muda, yang baru menjajakan
seks cenderung tertular infeksi HIV
dengan cepat. Mereka yang baru
terinfeksi juga berpotensi besar
menularkan virus. Proporsi tingkat
pendidikan WPS yang terbesar
adalah SD (42%) & SMP (42%),
sedangkan tingkat pendidikan WPS
mayoritas SD dan SMP tetapi
pengetahuan mereka tentang faktor
risiko IMS dan pencegahannya
adalah baik yaitu (52,7%). Dari
hasil jawaban responden terhadap
pertanyaan yang diajukan kepada
WPS, mayoritas WPS
berpengetahuan baik. Responden
tahu cara untuk mengurangi resiko
dan pencegahan IMS dan HIV adalah
dengan menggunakan kondom
dengan benar setiap kali melakukan
hubungan seks dan tetap
mengunakan kondom walaupun
sudah menderita HIV, WPS tahu
mengurangi resiko IMS dengan
saling setia pada setiap pasangan dan
mengurangi jumlah pasangaan
seks.Responden juga tahu bahwa
seseorang yang sudah terinfeksi IMS
dan HIV tidak dapat hanya dengan
melihatnya saja.
Walaupun pengetahuan WPS
mayoritas baik tentang IMS dan
mayoritas pernah mendapatkan
informasi tentang IMS serta
pencegahannya dari petugas
kesehatan. tetapi tidak
mempengaruhi WPS dalam
melakukan upaya pencegahan IMS,
mereka tetap saja melakukan
tindakan berisiko, seharusnya bila
pengetahuan WPS baik maka upaya
pencegahan IMS juga baik. Isfandari
dkk (2005) mengatakan bahwa pada
umumnya pengetahuan masyarakat
tentang Infeksi Menular Seksual
(IMS) dan HIV/AIDS cukup tinggi
namun praktek perilaku pencegahan
IMS dan HIV/AIDS masih sangat
rendah, seperti rendahnya angka
penggunaan kondom pada seks
berisiko, cukup tingginya angka
berganti pasangan dikalangan non
pekerja seksual dan tingginya angka
berbagi jarum suntik dikalangan
pengguna Napza suntik (Dep.Kes
2007). Hasil penelitian ini juga
sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Widyastuti (2007)
tentang perilaku menggunakan
kondom pada wanita penjaja seks
jalanan di Jakarta. Hasil penelitian
diatas menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan, lama bekerja,
pengetahuan tentang IMS, serta
keterpaparan informasi tidak
berhubungan secara bermakna
dengan perilaku menggunakan
kondom.
Dari hasil penelitian secara
deskriftip didapat bahwa mayoritas
Faktor Predisposising ( pengetahuan
WPS baik tetapi Sikap kurang
baik,) Faktor Enabling (ketersediaan
kondom) kurang baik , Faktor
Reinforcing ( sikap petugas
kesehatan baik tetapi sikap
pengelola lokalisasi kurang baik)
dan Upaya pencegahan IMS
mayoritas kurang baik, dengan
demikian resiko Infeksi Menular

7

Seksual tetap saja dapat terjadi
dilokalisasi tersebut. Hasil
penelitian ini berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan Pribadi
Setio (2004) yang menunjukkan
bahwa sebagian besar pekerja seks
komersial kurang baik dalam
pengetahuannya tentang kondom
sedangkan pengetahuan lain sudah
baik, keyakinan dan sikapnya
terhadap pemakaian kondom pada
saat melakukan hubungan seksual
sudah baik.
Resiko terjadinya Infeksi
Menular Seksual dilokalisasi
tersebut jugadi pengaruhi oleh
karena dukungan mucikari dalam
menyediakan kondom masih kurang
baik. Upaya yang dilakukan oleh
pekerja seks komersial akan
pencegahan penularan penyakit
HIV/AIDS sebagian besar sudah
baik.
Dari hasil analisa uji multiple
regresi antara Faktor Predisposising,
Faktor Enabling dan Faktor
Reinforcing, dapat di ketahui
variabel yang paling berpengaruh
terhadap upaya pencegahan IMS
adalah varaiabel Faktor Enabling
yaitu sebesar 0.000 ( P < 0.05), hal
ini ditandai dengan perbedaaan
basaran nilai signifikan dan nilai beta
pada Faktor Enabling yaitu sebesar
0.558 ( lebih besar dari pada nilai
beta Faktor Reinforcing 0. 019 dan
nilai beta Faktor Predisposising 0.
014.
Hal ini berarti diantara ketiga
factor- faktor diatas, keberadaan
factor enabling sangat
mempengaruhi WPS dilokalisasi
Warung bebek dalm upaya
pencegahan IMS. Faktor enabling
(enabling factors) adalah adalah
faktor - faktor yang memungkinkan
atau yang memfasilitasi terjadinya
perilaku seseorang atau masyarakat.
Yang dimaksud dengan faktor -
faktor pemungkin adalah sarana dan
prasarana atau fasilitas untuk
terjadinya perilaku. Faktor
pendukung (Enabling Factor) dalam
penelitian ini adalah ketersediaan
kondom pada WPS, yang
merupakan salah satu factor yang
sangat mempengaruhi WPS dalam
upaya pencegahan IMS.
Dari hasil penelitian pada
WPS dilokalisasi warung bebek
dapat diketahui bahwa dari 55
responden mayoritas enabling factor
adalah kurang baik yaitu sebanyak
( 61.8%). Hal ini berarti bahwa
faktor pendukung atau ketersediaan
kondom yang kurang baik dari
segi kuantitas dan kualitas akan
sangat mempengaruhi WPS dalam
upaya pencegahan IMS ( Infeksi
menular seksual ) dengan demikian
upaya pencegahan yang dilakukan
terhadap IMS tidak dapat dilakukan
dengan baik di Lokalisasi Warung
Bebek Kabupaten Serdang
Bedagai.Dari hasil jawaban dapat
diketahui bahwa penggunaan
kondom relatif rendah pada WPS
dilokalisasi warung bebek, hal ini
adalah karena tidak tersedianya
kondom yang cukup di tempat
lokalisasi, WPS hanya kadang-
kadang saja mempunyai persediaan
kondom setiap saat melakukan
hubungan seks yang seharusnya
WPS tetap konsisten menggunakan
kondom. Penggunaan kondom yang
konsisten seharusnya dilakukan oleh
WPS untuk mencegah transmisi dan
berjangkitnya penyakit-penyakit
yang ditularkn lewat hubungan
seksual, seperti gonorrhea, sifilis,

8

HIV, dan hepatitis.
WPS dilokalisasi warung
bebek juga hanya kadang-kadang
saja terlebih dahulu memeriksa
adanya kebocoran dan kadar luarsa
kondom, kemungkinan kualitas
kondom yang digunakan juga kurang
baik sehingga rersiko terjadinya
infeksi menular seksual tetap saja
bisa terjadi. Selain perilaku
penggunaan kondom, kualitas
kondom yang ada di pasaran ternyata
masih kurang baik karena beberapa
wanita pekerja seks langsung
menyatakan pernah mengalami
kerusakan kondom yang digunakan
saat hubungan seks. Kegagalan
kondom juga sering disebabkan
pemakainya tidak menggunakannya
dengan benar, dan bukan karena
mutu kondom itu sendiri. Kegagalan
penggunaan kondom antara lain
mungkin disebabkan penyimpanan
kondom yang kurang baik,
Pemakaian kondom yang sudah
kadarluarsa, Pemakaian kondom
yang tidak tepat pemasangannya dan
kondom tersebut robek ketika dibuka
dari bungkusa ( Depkes, 2011).
Sebenarnya apabila WPS dilokalisasi
tersebut menggunaan kondom
dengan baik dan konsisten akan
mencegah transmisi dan
berjangkitnya penyakit-penyakit
yang ditularkn lewat hubungan
seksual, seperti gonorrhea, sifilis,
HIV, dan hepatitis. ).
Dari hasil analisa uji multiple
regresi juga dapat diketahui bahwa
besarnya koefisien korelasi antar
Faktor Predisposising, Faktor
Enabling dan Faktor Reinforcing,
terhadap upaya pencegahan IMS
adalah sebesar 0.569. Sedangkan
besarnya pengaruh Faktor
Predisposising, Faktor Enabling
dan Faktor Reinforcing, terhadap
upaya pencegahan IMS adalah
sebesar 32,4 % ( R square sebesar
0.324). Hal ini berarti Faktor
Predisposising,factor enabling dan
Faktor Reinforcing saling
berhubungan dan mempengaruhi
upaya pencegahan IMS. sedangkan
67,6 % dipengaruhi oleh faktor lain
seperti faktor social ekonomi dan
tutntutan pekerjaannya sebagai WPS
yang lebih mengutamakan keinginan
pelanggan dan sikap pelanggan yang
tidak peduli terhadap resiko
penularan penyakit Infeksi Menular
Seksual (IMS).
Faktor predisposisi atau
faktor-faktor yang mempermudah
terjadinya perilaku pada WPS yang
terwujud dalam pengetahuan dan
sikap,hasil pengukuran terhadap
Faktor Predisposising WPS adalah
kurang baik, yaitu sebanyak 25
orang (45, 5%) hasil pengukuran
Faktor Predisposising didapatkan
berdasarkan hasil pengukuran
pengetahuan dan sikap WPS tentang
faktor-faktor risiko IMS dan upaya
pencegahannya. Hasil pengukuran
pengetahuan WPS tentang faktor-
faktor risiko IMS dan upaya
pencegahannya adalah baik tetapi
sikap WPS kurang baik untuk
mencegah terjadinya faktor
risikoIMS. Walaupun pengetahuan
WPS baik tetapi bila sikap WPS
kurang baik,maka tidak akan
mempengaruhi upaya WPS untuk
mencegah terjadinya infeksi menular
seksual. Hasil penelitian sesuai
dengan penelitian yang dilakukan
Chandra & Rudi (2012) hasil
penelitian menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan yang bermakna antara
pengetahuan PSK dengan tindakan

9

pencegahan penyakit Infeksi
Menular Seksial (IMS) dengan
(p=0,50) dan tidak ada hubungan
yang bermakna antara sikap PSK
dengan tindakan pencegahan
penyakit Infeksi Menular Seksual
(IMS) dengan (p=0,10). Sikap WPS
yang kurang baik terhadap upaya
pencegahan IMS merupakan salah
satu faktor yang mempermudah atau
mempredisposisi WPS dalam
melakukan tindakan berisiko terkena
infeksi menular seksual. Hal ini
dapat dilihat dari hasil penelitian
yang telah dilakukan bahwa dari 55
responden mayoritas sikap WPS
tentang IMS & Pencegahannya
adalah kurang baik yaitu ada
sebanyak 31 orang (56,4%). Dari
hasil jawaban responden terhadap
beberapa pertanyaan yang telah
diajukan dapat dilihat bahwa
mayaoritas WPS kurang setuju
menggunakan kondom setiap kali
berhubungan seksual, kurang setuju
menolak pelanggan yang tidak ingin
menggunakan kondom, kurang
setuju menawarkan penggunaan
kondom pada pelanggan saat
berhubungan seksual sehingga WPS
bisa terhindar dari IMS dan HIV,
selain itu WPS juga kurang setuju
mengutamakan manfaat kondom dari
pada keinginan pelanggan.
Hal ini berarti bahwa WPS
yang mempunyai sikap yang kurang
tentang faktor risiko / cara penularan
dan cara pencegahan IMS dan
HIV/AIDS akan lebih besar
melakukan tindakan beresiko tinggi
IMS dan HIV dan upaya
pencegahannya IMS tidak dapat
dilakukan dengan baik, sebaliknya
bila WPS yang mempunyai sikap
yang baik WPS tentang faktor risiko
/ cara penularan dan cara pencegahan
IMS dan HIV/AIDS akan lebih
besar menghindarkan tindakan
beresiko tinggi IMS dan upaya
pencegahan IMS dapat dilakukan
dengan baik.
Berdasarkan pendapat
tersebut dapat diketahui bahwa
sikap WPS yang kurang baik, maka
upaya pencegahan IMS tidak dapat
dilakukan dengan baik sehingga akan
memberi peluang besar terhadap
penularan IMS pada WPS dilokalisai
warung bebek kabupaten Serdang
Berdagai. Hasil penelitian ini sama
dengan hasil penelitian Supardi
(2010) di Kabupaten Merauke yang
menunjukan adanya hubungan
bermakna antara sikap dengan
penggunaan kondom pada wanita
pekerja seks.
Sikap WPS yang kurang baik
juga dipengaruhi oleh tuntutan
pekerjaannya sebagai WPS dan
keinginan dari pelanggan serta
kurangnya dukungan dari pengelola
lokalisasi. Menurut Niel Niven
(2002), kekuatan sikap tergantung
dari banyak faktor, faktor yang
terpenting adalah faktor yang
mempengaruhi terbentuknya sikap
antara lain adalah pengaruh orang
lain yang dianggap penting.
Kecenderungan ini dimotivasi oleh
keinginan untuk menghindari konflik
dengan orang lain. Hasil penelitian
ini didukung oleh pendapat
Thursonte yang dikutip Ahmadi
(2002) yang menyatakan bahwa
sikap sebagai tindakan
kecenderungan yang bersifat positif
atau negatif yang berhubungan
dengan objek psikologi. Sikap positif
yaitu sikap yang menunjukan atau
memperlihatkan, menerima,
mengakui, menyetujui serta

10

melaksanakan norma-norma yang
berlaku dimana individu itu berada.
Sedangkan sikap negatif adalah sikap
yang menunjukkan atau
memperlihatkan penolakan atau
tidak menyetujui terhadap norma-
norma yang berlaku dimana individu
itu berada. Hal ini sejalan dengan
pendapat Niel Niven (2002), sikap
seseorang adalah kompenen yang
sangat penting dalam perilaku
kesehatannya, yang kemudian
diasumsikan bahwa adanya
hubungan langsung antara sikap dan
perilaku seseorang. Sikap positif
seseorang terhadap kesehatan
kemungkinan tidak otomatis
berdampak pada perilaku seseorang
menjadi positif, tetapi sikap yang
negatif terhadap kesehatan hampir
pasti berdampak negatif pada
perilakunya.
Dari hasil jawaban WPS
tersebut juga diketahui bahwa WPS
mayoritas kurang mampu membujuk
pelanggan untuk menggunakan
kondom kemungkinan juga karena
pelangan tidak merasa puas bila
menggunakan kondom saat
berhubungan seksual. Hutapea. R
(2003) mengatakan bahwa kondom
mengurangi sensasi seks terutama
pada pria,sehingga banyak orang
mengeluh tentang kondom dan
mereka mengatakan bahwa kondom
membuat seks menjadi kurang
spontan karena sat menikmati seks
harus berhenti untuk memasangnya.
Dengan demikian WPS akan
mengikuti keinginan pelanggan
untuk tidak menggunakan kondom
pada saat berhubungan seks. Selain
itu WPS juga lebih mengutamakan
keinginan pelanggan dan lebih
mengutamakan uang dari pada resiko
IMS yang akan dialaminya. Hasil
penelitian ini sesuai dengn penelitian
kualitatif yang dilakukan oleh
Kresno (2001) tentang mencari
pengobatan pada penderita IMS di
Jakarta menunjukkan bahwa
penggunaan kondom juga relatif
rendah dengan alasan rasa tidak
nyaman menggunakan kondom dan
lemahnya kemampuan WPS dalam
melakukan negosiasi dengan
pelanggan. Dari uraian diatas dapat
diketahui walupun pengetahuan
WPS baik tetapi sikap WPS kurang
baik maka faktor predisposising
WPS menjadi tidak baik,sehingga
upaya pencegahan IMS kurang baik
dilokalisasi warung Bebek
Kabupaten Serdang Berdagai.
Untuk mengetahui faktor-
faktor yang memperkuat (reinforcing
factors) terjadinya perilaku WPS
dalam upaya pencegahan penyakit
infeksi menular sekual (IMS) di
Lokalisasi Warung Bebek Kabupaten
Serdang Berdagai juga ditentukan
sikap petugas kesehatan dan
pengelola lokalisasi, setelah
dilakukan pengukuran terhadap
sikap petugas kesehatan dan sikap
pengelola lokalisasi dalam upaya
pencegahan IMS, dapat diketahui
bahwa dari 55 responden mayoritas
Reinforcing factor WPS adalah
baik yaitu ada sebanyak 61.8%,
dimana Sikap petugas kesehatan
terhadap WPS adalah baik yaitu
ada sebanyak 69.1% tetapi hasil
pengukuran Sikap pengelola
lokalisasi terhadap WPS adalah
kurang baik yaitu ada sebanyak
63,5%.
Untuk mempermudah atau
untuk mendorong perilaku WPS
dalam upaya pencegahan IMS
perilaku para petugas kesehatan dan

11

pengelola lokalisasi terhadap WPS
akan mendukung dan memperkuat
terbentuknya perilaku WPS dalam
upaya pencegahan IMS. Dari hasil
penelitian terlihat bahwa sikap
petugas kesehatan dalam upaya
pencegahan IMS pada WPS sudah
cukup baik,dimana petugas
kesehatan rutin melaksanakan
penapisan setiap bulan, yaitu pada
minggu kedua atau ketiga di
lokalisasi warung bebek. Petugas
kesehatan yang melakukan
penapisan pada lokalisasi di warung
bebek terdiri dari: 1 orang dokter,1
orang bidan dan 2 orang analis.
Adapun kegiatan yang dilakukan
pada waktu penapisan adalah :
Conseling, Pemeriksaan fisik,
pemeriksaan Infeksi Menular
Seksual dengan pemeriksaan secret
vagina dan darah, pemeriksaan
darah dilakukan setiap 3 bulan (
khusus untuk kasus HIV/ Sipilis)
serta memberikan informasi tentang
pencegahan penyakit menular
seksual, serta memberikan
pengobatan bagi pekerja seks yang
mengalami infeksi menular seksual.
Dalam penelitian ini terlihat
bahwa kegiatan yang dilakukan
petugas kesehatan dalam upaya
pencegahan sudah baik. Menurut
Daili (2009) Upaya yang dapat
dilakukan untuk pencegahan dan
pengobatan IMS adalah : Promosi
penggunaan kondom pada mereka
yang berisiko,mengobati kasus PMS
dan pasangannya, meningkatkan
kemampuan diagnosis dan
pengobatan serta anjuran untuk
mencari pengobatan yang tepat dan
membatasi komplikasi dengan
melakukan pengobatan dini dan
efektif untuk yang simtomatik
maupun asimtomatik serta pasangan
seksualnya. Upaya petugas kesehatan
pada WPS di lokalisasi warung
bebek tesebut juga sesuai menurut
Dep.Kes (2006) pencegahan infeksi
menular seksual terdiri dari dua
bagian, yakni pencegahan primer dan
pencegahan sekunder. Pencegahan
primer terdiri dari penerapan
perilaku seksual yang aman dan
penggunaan kondom. Sedangkan
pencegahan sekunder dilakukan
dengan menyediakan pengobatan
dan perawatan pada pasien yang
sudah terinfeksi oleh infeksi menular
seksual. Pencegahan sekunder bisa
dicapai melalui promosi perilaku
pencarian pengobatan untuk infeksi
menular seksual, pengobatan yang
cepat dan tepat pada pasien serta.
Walaupun sikap petugas
kesehatan baik terhadap Upaya
pencegahan IMS pada WPS
dilokalisasi warung bebek tetapi
tidak mempengaruhi WPS dalam
melakukan upaya pencegahan IMS
hal ini kemungkinan dikarenakan
Sikap pengelola lokalisasi terhadap
WPS adalah kurang baik yaitu ada
sebanyak 65,5%. Dari hasil
jawaban WPS dapat diketahui bahwa
mayoritas WPS mengatakan bahwa
pengelola lokalisasi hanya kadang-
kadang mengingatkan WPS agar
tetap menggunakan kondom ketika
anda hendak melayani tamu, Bila
WPS kehabisan kondom pengelola
lokalisasi warung bebek hanya
kadang-kadang memberikan kondom
kepada WPS, petugas warung bebek
tidak pernah menegur tamunya bila
tidak ingin menggunakan kondom
pada saat layani WPS, pengelola
lokalisasi hanya kadang-kadang saja
menyediakan kondom untuk setiap
tamu. Dalam hal ini terlihat bahwa
pengelola lokalisasi kurang

12

menekankan begitu pentingnya
upaya pencegahan IMS, hal ini
mungkin saja disebabkan karena
pengelola lokalisasi juga lebih
mengutamakan keinginan
pelanggannya yang datang dan lebih
mengutamakan uang.
Dari uraian diatas walaupun
sikap petugas kesehatan baik tetapi
bila sikap pengelola lokalisasi
kurang baik tidak akan
mempengaruhi WPS dalam upaya
pencegahan IMS ( Infeksi menular
seksual ). Kurangnya dukungan atau
sikap pengelola lokalisasi juga
merupakan salah satu faktor yang
memperkuat (reinforcing factors)
terjadinya Infeksi Menular Seksual
(IMS) di Lokalisasi Warung Bebek.
Berdasarkan hasil penelitian
diatas dapat diketahui bahwa faktor
enabling yang kurang baik, sikap
WPS yang kurang baik dan sikap
pengelola lokalisasi yang kurang
baik akan mempengaruhi upaya
pencegahan infeksi menular seksual
di lokalisasi warung bebek, artinya
upaya pencegahan IMS dilokalisasi
warung bebek juga tidak dapat
dilakukan dengan baik. Hal ini dapat
dilhat dari hasil penelitian bahwa
dari 55 responden mayoritas Upaya
Pencegahan IMS pada WPS adalah
kurang baik yaitu ada sebanyak (
67.3%).
Hal ini dapat diketahui dari hasil
jawaban WPS sebagai berikut ini :
Dalam 1 minggu terakhir WPS
hanya kadang-kadang saja memakai
kondom setiap melayani pelanggan,
jika tamu menolak menggunakan
kondom, WPS juga hanya kadang-
kadang saja menawarkannya kepada
pelanggan, dari uraian tersebut maka
dapat diketahui bahwa upaya
pencegahan dengan penggunaan
kondom yang secara terus menerus
dan konsisten masih sangat rendah
sehingga resiko tertularnya infeksi
menular sekual tetap saja dapat
terjadi pada WPS tersebut.
Upaya pencegahan IMS yang
dilakukan WPS melalui
pemeriksaan kesehatan hanya
didapat ketika petugas kesehatan
dari puskesmas Serdang Berdagai
datang kelokalisasi,yaitu setiap
bulan pada minggu kedua atau
sesuai dengan jadwal yang telah
ditetapkan oleh petugas kesehatan,
bila ada WPS mengalami keluhan
pada alat kemaluan seperti
gatal,luka, keluar cairan kuning dan
berbau, WPS hanya kadang-kadang
saja melakukan pemeriksaan ke
petugas kesehatan dan lebih sering
mengobati sendiri dengan membeli
obat-obatan di apotik sehingga
kemungkinan pengobatan nyang
dilakukan oleh WPS juga tidak
sesuai dengan diagnosis penyakit
yang dialaminya. Bila salah satu
keluhan - keluhan tersebut ada yang
dialami WPS seharusnya WPS
segera mengobatinya dengan tuntas
agar tidak terjadi komplikasi. WPS
melakukan pemeriksaan secret
(lendir) dari vagina ( alat kemaluan)
hanya sesuai jadwal yang dianjurkan
petugas kesehatan dan Bila WPS di
beri obat (antibiotik) oleh petugas
kesehatan WPS tidak meminum
obatnya sampai habis. Dari uraian
tersebut dapat diketahui bahwa
upaya pencegahan IMS yang
dilakukan WPS masih kurang, hal
ini didukung oleh sikap WPS dan
sikap pengelola lokalisasi yang
masih kurang, sehingga IMS
dilokalisasi warung bebek tersebut
tetap saja dapat terjadi.

13

Dari hasil pemeriksaan secret
pada WPS yang dilakukan oleh
petugas kesehatan dari Puskesmas
Serdang Bedagai pada waktu
penapisan (29 Agustus 2012)
didapatkan data sebagai berikut ini :
Servitis 17 orang, Vaginitis 17
orang,Trichomonas 4 orang, kandida
9 orang,Sifilis 4 orang dan
Gonorhea 4 orang. Beberapa faktor
yang menyebabkan tingginya IMS
adalah tingkat pemakaian kondom
yang rendah, cakupan penapisan dan
pengobatan IMS yang masih kurang
dan regimen diagnostik dan
pengobatan yang tidak efektif.
Meskipun cakupan WPS dengan
penapisan rutin telah cukup tercapai
di beberapa kota, cakupan harus
ditingkatkan dan lebih konsisten
untuk mengurangi prevalensi IMS.
Data menunjukkan hanya setengah
dari WPS mencari pertolongan
dokter ketika mengalami tanda IMS.
Sisanya mengobati sendiri, pergi ke
layanan non-medis atau tidak diobati
sama sekali. Konsekuensi ini,
ditambah dengan kebal terhadap
sejumlah obat pertama untuk IMS
dan kepatuhan yang kurang
terhadap pengobatan. Pengobatan
sifilis yang lebih intensif sangat
dibutuhkan. Fakta bahwa pendekatan
sindrom memiliki sensitifitas dan
yang rendah pada wanita, dan cara
ini yang telah dicoba di beberapa
klinik di Indonesia belum efektif
dari segi biaya. Mengingat angka
prevalensi IMS yang tinggi pada
WPS di seluruh Indonesia,
presumptive periodic treatment
(PPT) untuk WPS dengan
menggunakan obat dalam dosis
tunggal yang langsung diamati
perlu dipertimbangkan (Dep.Kes
2007).
Menurut Daili (2009) prinsip
umum pengendalian IMS adalah
dengan meningkatkan diagnosis dan
pengobatan serta anjuran mencari
pengobatan yang tepat,membatasi
komplikasi dengan melakukan
pengobatan dini dan efektif baik
untuk yang simptomatik maupun
yang asimptomatik.


KESIMPULAN
1. Karakteristik WPS yang paling
besar proporsinya adalah kelompok
umur 20-30 tahun (60%), proporsi
tingkat pendidikan yang terbesar
SD (42%) & SMP (42%), lama
bekerja sebagai WPS 6 bulan
sebanyak ( 89 %), Jumlah pelanggan
WPS dalam 1 minggu 5 Orang
sebanyak ( 56%)
2. Dari 55 respoden mayoritas Faktor
Predisposising ( pengetahuan WPS
baik tetapi Sikap kurang baik ),
Faktor Enabling (ketersediaan
kondom) kurang baik , Faktor
Reinforcing ( sikap petugas
kesehatan baik , tetapi sikap
pengelola lokalisasi kurang baik )
dan Upaya pencegahan IMS
mayoritas kurang baik.
3. Hasil uji multiple regresi, variabel
yang paling berpengaruh terhadap
upaya pencegahan IMS adalah
variabel Faktor Enabling yaitu
sebesar 0.000 ( P < 0.05), dengan
perbedaaan basaran nilai signifikan
dan nilai beta pada Faktor Enabling
yaitu sebesar 0.558. Besarnya
korelasi antar Faktor
Predisposising, Faktor Enabling
dan Faktor Reinforcing, terhadap
upaya pencegahan IMS adalah
sebesar 0. 569 ( korelasi kuat) .

14

Pengaruh Faktor Predisposising,
Faktor Enabling dan Faktor
Reinforcing, terhadap upaya
pencegahan IMS adalah sebesar
32,4 % ( R square sebesar 0.324)
67,6 % dipengaruhi oleh faktor lain,
seperti faktor social ekonomi,
tuntutan pekerjaan sebagai WPS
dan sikap pelanggan yang kurang
baik.


SARAN
1. Sikap WPS terhadap pencegahan
IMS dan penggunaan kondom lebih
ditingkatkan dan membuat
kesepakatan atau negosiasisi untuk
menggunakan kondom atau menolak
pelanggan bila tidak menggunakan
kondom saat berhubungan seks.

2. Kepada pengelola lokalisasi untuk
lebih meningkatkan kerjasama
dengan petugas kesehatan
Puskesmas Serdang Berdagai untuk
meningkatkan sikap WPS terhadap
pencegahan dan penularan IMS,
pengelola lokalisasi setiap saat
menyediakan dan mendistribusi
kondom kepada WPS serta
membuat peraturan penggunaan
kondom secara konsisten,


UCAPAN TERIMA KASIH

1. Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan Dan
Kebudayaan yang telah memberikan
bantuan dana penelitian bagi peneliti.

2. Koordinator Kementerian
Pendidikan Dan Kebudayaan
Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta
Wilayah I

3. Kepala Puskesmas Sei Rampah
Serdang Berdagai yang telah
memberikan izin untuk melakukan
penelitian di salah satu lokalisasi
WPS di wilayah kerja puskesmas Sei
Rampah Serdang Berdagai

4. Kepada team petugas kesehatan
Infeksi Menular Sekual (IMS)
Puskesmas Sei Rampah Serdang
Berdagai yang telah membantu
peneliti didalam pelaksanaan
penelitian ini

5. Kepada kepala lingkungan lokalisasi,
petugas lokalisasi dan WPS yang
ada di lokalisasi Warung Bebek Sei
Rampah Serdang Berdagai

6. Ketua STIKes Mutiara Indonesia
Medan yang telah memberikan
kesempatan kepada peneliti untuk
melakukan penelitian

7. Ketua Lembaga Pengembangan
Pendidikan Penelitian Dan Pelatihan
(LP4) STIKes Mutiara Indonesia
Medan yang telah membimbing
peneliti di dalam menyelesaikan
penelitian ini

15









DAFTARPUSTAKA

Ahmadi,Abu, 2002. Psikologi Sosial,
Edisi Revisi,Cetakan kedua, Jakarta:
Rineka Cipta

Azrul, Azwar., dan Joedo Prihartono.,
2003.Metodologi Penelitian Kedokteran
dan Kesehatan Masyarakat, Jakarta :
Binarupa Aksara.

Arikunto.Suharsimi., 2005. Manajemen
penelitian, Jakarta : Rineka cipta

Atkinson,R, 2004. Pengantar Psikologi ,
Jakarta, Erlangga.

Budiarto Eko.,2004. Metodologi
Penelitian Kedokteran, Jakarta : EGC

Chandra & Rudi,2012,Hubungan
Pengetahuan,Sikap WPS dengan
tindakan pencegahan IMS di Bandar
Baru,USU.Co.id./handle/123456789/346
15.

Daili, F.S, dkk, 2009, Infeksi Menular
Seksual, Balai Penerbit FKUI, Cetakan
Pertama, Jakarta.

Dep.Kes (2006) . Pedoman Pelayanan
Konseling dan Testing HIV/AIDS
,Jakarta secara sukarela (Voluntary
Counseling and Testing ), Dirjen P2 &
PL, Jakarta

-------------2007, Surveilans Terpadu
Biologis Perilaku, Jakarta

------------ 2011, Surveilans Terpadu
Biologis Perilaku, Jakarta.



Hidayat, A. Aziz Alimul, 2009, Metode
Penelitian Keperawatan Dan Teknik
Analisa Data, Salemba Medika, Jakarta.

Hutapea, Ronald, 2003, AIDS & PMS
dan Perkosaan, Rineka Cipta, Cetakan
Pertama, Jakarta.

Isfandari,Siti ; Sedyaningsih R.Endang
dan Mahamit, 2005.Kajian Penelitian
Sosial dan Perilaku yang berkaitan
dengan Infeksi menular Seksual,
HIV/AIDS di Di Indonesia, Dep Kes RI
bekerjasama dengan KPAN, Jakarta.
Kartono, Kartini, 2011, Patologi Sosial,
Rajawali Pers, Cetakan-12, Jakarta.

Neil Niven,2002.Psikologi Kesehatan
Pengantar untuk Perawat & Profesional
Kesehatan lain, EGC,Jakarta

Nurul Fitriana Arifin dkk,2012,
Penggunaan kondom, vaginal hygiene
sebagai factor resiko terjadinya Infeksi

16

Menular Seksual,Jurnal Kesehatan
Masyarakat,http;//ejournals.
undip.ac.id./index. php/jkm.

Notoatmojo Soekijo, 2007. Promosi
Kesehatan , dan Ilmu perilaku , Rineka
Cipta,Jakarta.

-------------,2007,Kesehatan Masyarakat
Ilmu & Seni, Rineka Cipta, Jakarta.

Pinem, Saroha, 2009, Kesehatan
Reproduksi dan Kontrasepsi, Trans Info
Media, Cetakan Pertama, Jakarta.

Program Pemberantasan Penyakit
Menular,2012 Data-Data Infeksi
Menular Seksual,Puskesmas Kabupaten
Serdang Bedagai.



Pribadisetio,2004, Perilaku Pemakaian
kondom pada PSK Dalam Upaya
Penceghan HIV/AIDS di Kabupaten
Pontianak,Pdf,http///ww.f.k.m.
Undip.ac.id.

Riyanto, Agus, 2009, Pengolahan dan
Analisis Data Kesehatan, Medical Book,
Cetakan Pertama, Yogjakarta.

UNAIDS / WHO, 2005. Info Terkini
Epidemi AIDS

Yanri .W. 2009, Kondom tidak sekedar
alat kontrasepsi,majalah
FARMACIA,ed Juni 2010,Vol.9.no 11.

Widyastuti, Yani 2009, Kesehatan
Reproduksi, Cetakan Pertama, Penerbit
Fitramaya.

Dep.Kes (2006) . Pedoman Pelayanan
Konseling dan Testing HIV/AIDS
,Jakarta secara sukarela (Voluntary
Counseling and Testing ), Dirjen P2 &
PL, Jakarta

-------------2007, Surveilans Terpadu
Biologis Perilaku, Jakarta

------------ 2011, Surveilans Terpadu
Biologis Perilaku, Jakarta.

Das könnte Ihnen auch gefallen