Sie sind auf Seite 1von 3

Pemilu 2014: Sudah Siapkah Indonesia Memilih Calon Pemimpinnya?

Indonesia adalah sebuah negara demokratis dengan semboyan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Oleh karena itu, Pemilu atau pemilihan umum adalah suatu ajang
yang sangat esensial selain untuk memilih sosok yang akan memimpin bangsa Indonesia,
juga sebagai ajang yang paling konkrit dan dapat kita lihat dalam pelaksanaan demokrasi.
Pemilu sering juga disebut-sebut sebagai pesta demokrasi. Dalam pemilihan umum inilah,
rakyat dapat memilih langsung sosok yang dianggap paling pantas dalam memimpin bangsa
Indonesia serta mewakili bangsa Indonesia di kancah dunia internasional. Namun apakah
calon-calon legislatif (caleg) pada Pemilu 2014 adalah calon-calon yang cukup kompeten dan
berintegritas dalam memimpin bangsa kita ini? Juga bagaimana dengan kondisi pemilih pada
Pemilu 2014? Apakah rakyat Indonesia sudah mendapat informasi yang cukup mengenai
profil caleg untuk memilih orang yang tepat? Atau justru sebaliknya, masyarakat berpikiran
skeptis sehingga tidak memiliki keinginan sama sekali untuk tahu mengenai sosok pemimpin
bangsa dan memilih untuk golput?
Pemilu mendatang yang akan diselenggarakan pada tanggal 9 April 2014 (untuk
pemilihan legislatif) dan tanggal 9 Juli 2014 (untuk pemilihan presiden) ini diwarnai oleh
wajah-wajah yang ternyata sudah tidak asing lagi di mata kita. Calon-calon ini ternyata sudah
sebelumnya mencalonkan diri sebagai wakil rakyat, sehingga terkesan hanya yang berkuasa
sajalah yang mampu mencalonkan diri. Calon-calon lama nampaknya tidak memberikan
kesempatan kepada kaum yang lebih muda, lebih fleksibel dalam mengikuti perkembangan
jaman, serta berpikir out of the box. Bahkan ada beberapa calon yang sudah dijatuhi vonis
penjara akibat melakukan tindak pidana korupsi namun karena belum resmi masuk ke dalam
jeruji besi, mereka berdalih bahwa mereka masih memiliki hak untuk mencalonkan diri. Ada
juga beberapa calon yang mencalonkan diri tanpa memiliki kompetensi apapun, hanya untuk
mencari sensasi saja. Jangankan integritas, kompetensi saja masih meragukan. Keterpilihan
pasangan calon wakil rakyat ini pun bukannya ditentukan oleh integritas dan kompetensi
melainkan ditentukan oleh paling sedikit tujuh variabel yaitu: elektabilitas, partai,
kemampuan finansial,program, luas jejaring sosial, kontra politik hitam,dan momentum
politik. Pemilu pun hanya menjadi panggung politik yang memainkan ketujuh variabel itu
bagi mereka yang ingin mendapatkan kekuasaan, dan bukan bagi mereka yang benar-benar
menginginkan majunya Indonesia. Parpol mesti mengerti bahwa rakyat bukanlah konsumsi
politik semata. Rakyat adalah tuan dari Parpol, dimana caleg terpilih adalah wakil rakyat
yang harus mewakili aspirasi rakyat. Gambaran calon-calon wakil rakyat yang menyedihkan
ini juga adalah akibat dari mekanisme Parpol dalam menyaring tokoh masyarakat yang
kurang baik. Dalam kondisi seperti ini, kita masih sangat berharap dan bergantung pada
kejelian dan nurani Parpol agar bekerja dengan profesional untuk memilih calon legislatif dan
presiden yang unggul.
Apakah hanya calon legislatif yang dapat disalahkan mengenai ketidakmapanan
Pemilu? Tentu tidak, mari kita tinjau sisi yang paling familiar dengan kita, yaitu kita sendiri,
para pemilih. Dalam proses memilih pemimpin bangsa yang paling baik, tentu selain
memiliki calon yang berkompetensi tinggi, diperlukan juga pemilih yang mendapat informasi
cukup mengenai calon legislatif dan tentunya kompetensi untuk memilih. Oleh karena itu,
pemilih kita pun perlu dipersiapkan dalam menyongsong Pemilu mendatang. Adalah fakta
bahwa hanya 2 persen pemilih yang benar-benar mengetahui mengenai Pemilu padahal
Pemilu hanya tinggal 2 bulan lagi. Hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei
Indonesia bekerja sama dengan IFES; lembaga survei asal Washington DC, Amerika Serikat;
ini menyatakan bahwa sebanyak 52 persen responden mengaku belum mendapatkan cukup
informasi mengenai Pemilu 2014. Sebanyak 21 persen responden lainnya bahkan mengaku
belum mendapatkan informasi sama sekali. Hanya 20 persen masyarakat yang mengaku
cukup mengetahui mengenai Pemilu 2014. Sementara itu, yang benar-benar mengetahui
hanya 2 persen. Sisanya, sebanyak 5 persen tidak menjawab. Survei tersebut dilakukan pada
17-30 Desember 2013. Survei melibatkan 1.890 responden yang tersebar di 33 provinsi
Indonesia. Margin of error lebih kurang 2,3 persen dengan tingkat kepercayaan 95
persen.Hasil survei yang sangat memilukan ini ditambah lagi dengan masalah kesenjangan
sosial yang ada di Indonesia. Jarak antar tingkatan sosial sangatlah jauh sehingga tingkat
pendidikan dan kesejahteraan masyarakat memiliki jarak yang sangat jauh satu sama lain.
Hingga Maret 2013, berdasarkan data BPS tercatat 28,07 juta jiwa penduduk miskin di
Indonesia dan rata-rata pendidikan yang dienyam penduduk Indonesia adalah lulusan SMP
atau sederajat. Oleh karena itu, dari segi pendidikan dan ekonomi, tentu kita sama-sama
mengetahui kualitas pemilih pada Pemilu kita kali ini. Karena perekonomian yang cenderung
kurang, pemilih cenderung dapat diguna-gunai dengan imbalan uang tunai atau money
politics. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia, 41.5 persen
responden di 39 dapil menganggap money politics sebagai suatu hal yang wajar di Indonesia.
Tentu angka ini sudah mencapai tingkat warning dan berbahaya serta akan sangat
mempengaruhi kualitas pemimpin yang akan terpilih nantinya. Bila yang terpilih adalah calon
legislatif atau presiden yang melakukan money politics, sudah dapat dipastikan bahwa
pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang tidak memiliki integritas, tidak sportif, dan
dari segi kompetensi juga belum tentu baik. Belum lagi masalah pandangan masyarakat yang
sudah pesimis terhadap kondisi bangsa. Banyak masyarakat sudah berpikiran bahwa kondisi
Indonesia sudah terpuruk dan tidak akan bisa diubah lagi. Hal ini akan menimbulkan kaum
golput yang semakin banyak. Sedihnya lagi, banyak dari kaum golput ini justru berasal dari
masyarakat yang berpendidikan (lulusan SMA dan perguruan tinggi). Mereka sudah tidak
menaruh kepercayaan lagi terhadap calon-calon pemimpin yang ada di Indonesia. Bila
masyarakat yang berpendidikan tidak memilih dan masyarakat kalangan bawah yang memilih
dengan dipengaruhi oleh money politics, apa jadinya Pemilu mendatang?
Bila kita melihat kondisi Pemilu mendatang yang sudah begitu dekat namun begitu
tidak siap dan tidak mapan, lalu apa yang dapat kita lakukan sebagai seorang mahasiswa?
Sebagai mahasiswa yang berumur 17 tahun ke atas, tentu kita sudah memiliki hak untuk
memilih. Hal yang bisa kita lakukan untuk Pemilu mendatang adalah dengan memilih.
Dengan memilih, tentunya calon yang berkualitas menurut pandangan kita masing-masing,
kita sudah berkontribusi dalam mengubah kondisi bangsa kita ini. Selain memilih, kita juga
bisa memberikan informasi mengenai Pemilu mendatang dan calon-calon legislatif dan
presidennya kepada orang-orang di sekitar kita. Dengan menginfokan orang-orang yang ada
di sekitar kita, kita sudah mengurangi jumlah pemilih di Indonesia yang tidak mengetahui
apa-apa. Kita juga bisa mendorong orang-orang di sekitar kita untuk tidak abstain dalam
Pemilu mendatang dan mengajak mereka untuk memilih. Tindakan nyata ini mungkin terlihat
kecil dan terlihat tidak akan berefek apapun pada Pemilu, namun suatu tindakan kecil akan
lebih baik dari tidak berbuat apa-apa.

Oleh: Grace Priscilla Siahaan (EAK 2013)

Das könnte Ihnen auch gefallen