Superantigen Staphylococcous aureus dan Peranannya dalam Terjadinya Penyakit
Polip Nasal Eosinofilik.
Summary Polip nasal adalah sebuah penyakit kronik pada saluran nafas atas yang mempengaruhi kualitas hidup pasien. Beberapa studi menunjukkan bahwa jalur inflamasi yang berbeda berhubungan dengan respon imun adaptif. Apalagi, fenotip yang berbeda tedapat pada pasien dari kelompok etnik yang berbeda. Artikel ini menampilkan data terbaru tipe-tipe dari inflamasi, profil sitokin, makrofag, sel dendrit, dan pengaruh dari bermacam-macam organisme (terutama Staphylococcus aureus dan super ante gen-nya ) dan hubungannya dengan penyakit saluran pernapasan bawah (terutama asma). Introduction Polip hidung adalah massa lunak berwarna putih keabu-abuan di hidung. Polip hidung seringkali selalu berhubungan dengan inflamasi kronik pada hidung dan sinus paranasal, yang disebut rhinosinusitis. Secara histologi, polip nasal menunjukkan adanya edema jaringan interstisial, pembentukan pseudokista, pemecahan matriks kolagen dengan infiltrasi sel inflamasi yang sangat banyak. Biasanya, gambaran-gambaran yang terdapat pada pemeriksaan secara histologi, dihasilkan dari meatus nasi media dan superior ke dalam cavum nasi, menyebakan gejala-gejala rinologi seperti hidung tersumbat, rinorea anterior, rinorea posterior, dan penciuman terganggu. Etiologi dari polip nasal masih belum diketahui. Beberapa hipotesis, yaitu: hipotesis fungal, peranan pembentukan biofilm, dan pengaruh spesifik superantigen dan enterotoksin Staphylococcus aureus sebagai pemodifikasi penyakit. Hipotesis biofilm fungal dapat termasuk salah satu kemungkinan etiologi, tetapi peran Staphylococcus aureus didukung dengan adanya berbagai bukti dan lebih relevan secara klinis. Biofilm mungkin merupakan reservoir untuk Staphylococcus aureus dalam keadaaan yang tidak spesifk. Pada polip nasal seringkali menunjukkan adanya inflamasi eosinofil kronik. Terapi lini pertama adalah glukokortikosteroid topikal spray atau tetes. Bagaimanapun, apabila pasien tidak berespons terhadap pemberian steroid, atau terdapat kekambuhan penyakit, maka pilihan berikutnya adalah pembedahan. Polip dapat kambuh dan sampai menjalani 10 kali pembedahan selama kehidupan, hal ini tidak berefek untuk kasus polip yang sangat parah (seringkali pada pasien yang sensitif dengan aspirin). Selain itu, inflamasi dapat mengekspansi saluran nafas bawah dan menginduksi asma. Kira- kira 1/3 penderita asma yang parah memiliki polip nasal. Terdapat beberapa pilihan terapi untuk kasus polip yang parah dengan atau tanpa komorbiditas. Percobaan percobaan terbaru menghasilkan beberapa pilihan, seperti doksisiklin, anti interleukin 5 (anti IL-5), anti Ig E (anti immunoglobulin E). Artikel ini menyajikan pengetahuan mengenai polip nasal dan kaitannya dengan berbagai penyakit, terutama asma. Artikel ini fokus pada hipotesis superantigen, Pembentukan biofilm dan adaptasi imunitas pada penyakit polip nasal. Polip nasal: Tipe-tipe inflamasi yang berbeda dari polip nasal. Menurut European Position Paper on Polyposis and Sinusitis (EPOS), rhinosinusitis dapat dikategorikan menjadi akut, subakut, rekuren, dan rhinosinusitis kronis (CRS). CRS diklasifikasikan menjadi rhinosinusitis kronis dengan polip nasal (CRSwNP) dan tanpa polip nasal (CRSsNP). CRS dengan dan tanpa polip nasal dibedakan satu sama lain dengan beberapa marker yang berhubngan dengan remodeling inflamasi dan jaringan. Polip nasal merupakan proses inflamasi kronik dan remodeling dari mukosa nasal. Publikasi dari Eropa dan US melaporkan bahwa histology polip nasal mengandung edema yang menonjol dan jaringan eosinofil. Infiltrasi dari esosinofil tampak nyata pada pasien dengan asma dan pasien dengan sensitive aspirin. Eosinofil pada CRSwNP dikarenakan meningkatnya media inflamasi dan chemokines, terutama IL-5 dan eotaxin. Karena itu polip nasal berbeda dengan CRSsNP, yang mana ditemukan kotoran dan profil imunopatogenesis. CRS diperantarai Th1 yang berpolarisasi dengan IFN dan TGF., sedangkan nasal polip menunjukkan Th2 berpolarisasi dengan IL-5 dan IgE. IgE pada nasal polip tidak tergantung alergi inhalan, sensitisasi alergi tidak merubah derajat eosinopfil atau mediator pada jaringan polip, tetapi disebabkan enterotoxin yang dikeluarkan Staphylococcus aureus, yang merupakan superantigen. Superantigen menyebabkan polipclonal T-sel dan B-sel aktif dan memperkuat inflamasi eosinofilik dan edema. Mekanisme patologi dari superantigen melibatkan ikatan nonspesifik pada reseptor T- sel melalui variabel V beta region dan kesesuaian complex pada antigen-presenting cells. Penelitian dari Negara-negara Eropa menunjukkan 65-90% dari nasal polip untuk menjadi eosinofilik. Penelitian dari Korea dan Cina selatan menunjukkan imunopatologi yang berbeda. Penelitian dari 145 pasien dengan polip nasal dari Thailand pada tahun 2002 didapatkan 11,7% polip dengan eosinofil. Penelitian pada 30 pasien dari korea pada tahun 2007 menunjukkan 33,3% polip menjadi eosinofilik. Dan penelitian lebih lanjut lagi dengan 151 pasien dari China menujukkan kurang dari separuh specimen menujukkan inflamasi eosinofilik. Pada tahun 2008, Zhang et al membandingkan 29 pasien dari China dengan 26 bpasien dari Belgia dan mendemonstrasikan perbedaan yang nyata antara keduanya, yang mana sampel dari Asia memiliki inflamasi neutrofilik ( eosinophilic cationic protein/ myeloperoxidase ratio= 0,25) dengan down regulation dari T-regulatory sel yang signifikan. Pada kedua fenotip, polip eosinofilik atau non eosinofilik, prinsipnya ditemukan kerusakan regulasi fungsi T-sel dan aktivasi T-sel serta B-sel. Mukosa nasal terdapat bakteri serta produk dari hidung. Staphylococcal enterotoxin SAEs adalah activator poten dari T-sel dan menyebabkan sintesis dari immunoglobulin, termasuk IgE oleh B-sel. Prevalensi dari IgE terhadap S. aureus enterotoxin pada pasien polip nasal Eropa adalah 50%. Pada tahun 2009, Corriveau et al meneliti 21 pasien polip nasal dan menemukan bahwa marker Th2 meningkat berdasarkan status SE-IgE, tetapi bukan presentase dari S .aureus. Dan reaksi inflamasi tergantung pada formasi SE-IgE pada jaringan mukosa. Bacteriologi dan biofilm: hubungan dengan polip nasal Mendeskripsikan formasi dari substansi matrix extraseluler polymeric yang ditemukan pada beberapa penyakit kronik seperti otitis media dengan efusi, tonsillitis kronik, cholesteatom, dan kronik rinosinusitis.beberapa spesies bakteri dan jamur memproduksi biofilm sehingga mereka bisa bersembunyi dari aktivitas antibiotic. Ketika mereka berada dalam biofilm, kuman dapat berkomunikasi dan menimbulkan perubahan genetic, dan juga merubah fenotip mereka, yang membuat bakteri resisten. Ada dua metode utama untuk mengidentifikasi biofilm pada rinosinusitis kronik. Pertama, non-invasive menggunakan ex vivo biofilm-forming assay termasuk membuat kultur. Dengan menggunakan swab melalui nostrils, yang dilindungi dengan speculum, ke rongga sinus, hingga dapat diambil sampel untuk kultur. Bagaimanapun, sample tidak selalu representative. Metode kedua, adalah FISH (Fluorescence in situ hybridization) metode dengan mikroskop confocal scanning laser. Keduanya mengganggu daur hidup mikroba dengan BacLight LIVE DEAD atau spesifik spesies oleh FISH, teknik mikroskop confocal scanning laser telah terbukti lebih sensitive dan spesifik untuk penentuan biofilm daripada Scanning Electrom Microscopy (SEM) dan Transmission Electron Microscopy (TEM). S. aureus adalah organisme yang sering terdapat pada pasien rinosinusitis kronik, menurut penelitian Foreman et al. pada tahun 2009. S. Aureus menjadi prediktor adanya penyakit recalcitrant yang berat sampai paradigma pengobatan CRS terkini. Hubungan langsung antara biofilm dan aktivasi imun host sampai saat ini masih belum jelas. Penelitian terkini menunjukan keduanya, baik respon imun adaptif yang ditandai oleh biofilm S. Aureus yang berhubungan dengan rinosinusitis kronik dan kontribusi relatif superantigen stafilokokus dan biofilm s. Aureus penyembuhan peradangan penyakit ini. Sebanyak 53 subjek yang berpenyakit dan 15 kontrol telah diteliti. Biofilm dan superantigen S. Aureus dihubungkan secara signifikan pada pasien rinosinusitis kronik menunjukan biofilm mungkin menjadi sarang/ sumber untuk bakteri tersebut. Keberadaan biofilm s. Aureus dihubungkan dengan inflamasi eosinofilik, melewati spektrum rinosinusitis kronik , dibelakang Th2, menjauhi respon imun adaptif host (peningkatan ECP dan IL-5). Efek ini dapat dibedakan dari efek superantigenik berdasarkan induksi IgE. Merangkum dari seluruh bukti terkini, biofilm dihubungkan secara klinis dengan berbagai penyakit berat. Biofilm dari s. Aureus berhubungan dengan lebih banyak penyakit berat jika dibandingkan dengan biofilm dari spesies lain seperti pseudomonas atau haemofillus, biofilm dari s. Aureus lebih sering daripada biofilm lain pada polip nasal dan berhubungan dengan lebih banyak inflamasi berat. Mereka mungin menyiapkan invasi planktonik pada mukosa dengan s. Aureus dan juga mungkinbias sistem imun pada mukosa lokal ke Th2., dimana kemudian menaikan bakteri yang bertahan hidup. Faktanya, s. Aureus dapat ditemukan intramukosa dan intraseluler, kemungkinan besar karena fagositosis yang tidak sempurna dan aktivitas membunuh dari makrofag Imunitas didapat dan defisit makrofag Polip nasal, rinosinusitis, rinitis alergi, dan asma memberikan patologi inflamasi mukosa yang mirip. Terdapat tanda aktivasi sel epitelial pada baik saluran nafas atas dan bawah. Fungsi epitel sel termasuk mediasi dan regulasi respon imun di dapat dan adaptif. Berdasarkan peran imunitas didapat, pada sel epitel mukosa, mereka berfungsi sebagai barier atau pertahanan berbagai agen lingkungan. Sel epitel sinonasal mengekspresikan PRRs/ reseptor pengenal pola yang mengenali PAMPs/ patogen yang berhubungan dengan pola molekular pada berbagai mikroorganisme. Satu yang paling penting pada PRRs adalah TLR/ toll like reseptor, terdiri dari 10 anggota. TLRs akan memicu respon proinflamatory dengan mengaktivasi faktor transkripsi pada nukleus, terutama nukelus faktor kB (NF-KB). Makrofag adalah sel fgositik dimana beraksi dengan barier mukosa sebagai imunitas didapat/ defense mechanism. Makrofag dapat diklasifikasikan sebagai pro inflamatory M1 atau tipe imunosupresif M2. M1 makrofag membantu respon T1 dan mencegah persistensi patogen dengan mengekspresikan cytokin pro inflamatori, seperti IL1-beta,IL-12, IL23, nitric oxide(NO), dan TNF. M2 makrofag sebaliknya, menunjukan penurunan fagositosis dan membantu bakteri dan virus intraselular untuk bertahan hidup dengan ekspresi reseptor non opsonik, seperti reseptor manose, reseptor scavanger 1, dan CD-163. Krysko et al. pada tahun2010 meneliti 28 polip dengan flowcytometri dan pewarnaan imunohistokimia dan menemukan fungsi fagositosis yang terganggu dari suatu makrofag pada s. Aureus di nasal polip, yang membiarkan s. Aureus untu bertahan hidup intraselular. Aktivasi fenotip M2 berkontribusi intuk inflamasi kronik persisten pada NPs dan CRS. Observasi ini menjelaskan tingginya kolonisasi s. Auresu pada polip nasal dibandingkan kontrol (63,6% vs 33.3%), yang menunjukan kemungkinan defek pada sistem pertahanan mukosa. Pengaruh S.Aureus pada inflamasi berat S. aureus mensekresikan beberapa enterotoxin yaitu Staphylococcus aureus enterotoxin A (SEA), Staphylococcus aureus enterotoxin B (SEB), dan toxic shock syndrom- 1 (TSST-1). Ig-E toxin tersebut dapat ditemukan pada eczema atopi/sindrom dermatitis, rhinitis alergi, dan polip nasi yang merupakan penyakit alergi. Khususnya pada polip nasi, jumlah IgE spesifik enterotoxin S.Aureus berkorelasi dengan peningkatan eosinofil. huvenne dalam penelitiannya mengamati efek dari superantigan SEB terhadap produksi chemokine pada sel epitel hidung manusia. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa SEB memiliki efek proinflamasi, kemotaksis, dan mempertahankan fungsi granulosit. Dalam penelitian lain juga dipelajari pengaruh SEB dan protein surface S.Aureus yaitu lipotechoic acid (LTA) dan protein A (SpA) dalam pengeluaran sitokin dan mediator sel mast dan sel T. penelitian tersebut menunjukkan bahwa SpA dapat menginduksi degranulasi sel mast sedangkan SEB dapat menginduksi pengeluaran sitokin yang condong ke arah TH2, bukan sel T regulator. Penelitian dengan Hewan Pada penelitian yang dilakukan pada hewan, SE berpengaruh terhadap imunitas bawaan dan imunitas adaptive. SE menginduksi migrasi dan maturasi sel dendrit, dan menginduksi aktivasi poliklonal sel T. pada model tikus, SEB dapat mensensitasi pengeluaran sel CD4+ , yang menghasikan aktivasi sel B dan produksi Ig E. Untuk memastikan pengaruh sel dendrit pada proses aktivasi ini, dibuat sampel hidung yang terdapat SEB dengan FITC-ovalbumin yang dimasukkan secara intratekal pada tikus. CD86 diekspresikan lebih tinggi pada OVA/SEB dibandingkan pada tikus dengan OVA/saline. Pengaruh inflamasi polip nasal pada comorbid astham dan ringan beratnya asthma Asthma terdapat pada 45% pasien CRSwNP berdasarkan studi kohor yang dilakukan oleh GA2LEN. CRSwNP dan asthma dihubungkan oleh jalur inflamasi umum melalui eosinofil dan epitel mukosa sebagai pemegan peran utama. Penelitian yang dilakukan pada populasi dewasa yang memiliki riwayat alergi, menunjukkan bahwa ekspresi IgE-SE dalam serum berhubungan dengan peningkatan resiko terhadap asthma. yang menarik adalah rinitis alergi meningkatkan resiko terhadap asthma onset cepat, sedangkan CRS berpengaruh terhadap asthma onset lambat. Nasal polip dan asthma secara jelas terdapat pada aspirin exaserbasi respiratory disease, yang merupakan sindrom klinis pada inflamasi berat saluran pernafasan atas dan bawah. Pada sindrom tersebut terdapat recurrent nasal polip, aspirin-sensitivitas terhadap NSAID yang menyebabkan exaserbasi akut penyakit tersebut, dan asthma. Sindrom tersebut disebabkan oleh abnormalitas jalur pembentukan asam arachidonat. Hal penting yang terdapat pada kondisi ini adalah inflamasi kronis yang menghasilkan eosinofil, dan juga ekspresi berlebih dari IgE. Penelitian yang dilakukan oleh perez-Novo menunjukan bahwa konsentrasi antibodi IgE terhadap SAEs secara signifikan meningkat pada CRSwNP dan AERD dibandingkan pada control dan CRSsNP. Dalam penelitan terhadap CRSwNP dan pasien comorbid asthma, 34% pasien menderita penyakit tersebut. SE-IgE ditemukan pada 37,3% sampel hidung pasien. Penemuan ini berhubungan dengan bias inflamasi TH2 dan konsentrasi tinggi ECP dan IgE total. Ekspresi dari SE-IgE pada polip nasi memprediksi terdapatnya asthma dengan ods ratio 5,8; Nilai igE total di atas 1400 kU/l, tingginya angka tersebut sebagai akibat SE, sehingga meningkatkan resiko asthma bahkan lebih parah. Hal tersebut sesuai dengan penelitian kowalski yang juga menemukan SE-IgE pada pasien dengan asthma berat dan juga terdapat peningkatan IgE total dan konsentrasi ECP dalam serum. Level rata-rata IgE spesific enterotoxin tigakali lebih tinggi pada pasien dengan asthma berat dibandingkan pada pasien dengan asthma yang tidak berat. Ditambah lagi konsentrasi SE-IgE secara signifikan berhubungan dengan hasil test fungsi respirasi yang rendah. Penemuan ini mendukung peran staphylococcus aureus enterotoxin pada airway disease. Kesimpulan Polip nasi ditandai oleh inflamasi kronis hidung dan sinus paranasalis. Dalam beberapa tahun terakhir penelitian terfokus pada staphylococcus sebagai superantigens sel T dan B. Dari penelitian secara in vivo dan in vitro SEs menginduksi proses inflamasi hebat saluran nafas atas dan bawah dengan produksi igE poliklonal yang tidak terkait dengan atopi.