Sie sind auf Seite 1von 18

ISBN: 978-979-98438-8-3

413
MODEL KONSERVASI SPASIAL BERBASIS PADA ANALISIS KEKRITISAN
SUMBERDAYA AIR DI KARTAMANTUL

Widodo B

Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP, Universitas Islam Indonesia (UII)

E-mail: widodo.bronto@uii.ac.id


ABSTRACT

The research aims to analyze the water-resources vulnerability and propose a
spatial water-resources conservation model in the area of KARTAMANTUL. The analysis
of water-resource vulnerability is conducted using GIS spatial analysis with overlay
technique. The parameters include rainfall/runoff, soil condition, land use, groundwater
degradation, groundwater fluctuation, piped-water supply, and aquifers. The result shows
that the research area has an anthropogenic vulnerability area of 802.825 Km
2
(77.74%)
and a natural vulnerability area of 229.87 Km
2
(22.26%). The anthropogenic vulnerability
area consists of 5 categories, which are Extremely High Vulnerability (17.4 Km
2
or 2.17
%), High Vulnerability (75.49 Km
2
or 9.4 %), Medium Vulnerability (467.62 Km
2
or
58.25%), and Low Vulnerability (207.05 Km
2
or 25.79 %). The natural vulnerability area
includes 4 areas, which are Nanggulan-Old Andesite Geological Formation (207.05 Km
2

or 25.79 %), Jonggrangan and Sentolo Geological Formation (1.19 Km
2
or 0.52 %),
Sambipitu Geological Formation (50.51 Km
2
or 21.97 %), Kebo, Butak, Nglangran, and
Semilir Geological Formation (163.38 Km
2
or 71.07 %), as well as Lava Field Type (14.79
Km
2
or 6.43 %). Based on the vulnerability criteria, the conservation design comprises
mainly on spatial approach. The spatial model involves maintaining and improving the
conserving function in 3 areas, which are highly intensive area, intensive area, and
restorative area.

Keywords: vulnerability, water resources, conservation, kartamantul


PENDAHULUAN
Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul (KARTAMANTUL) merupakan
satu kesatuan fisiografis di DIY yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Secara geohidrologis
hampir seluruh wilayah dari ketiga daerah tersebut termasuk dalam Basin Yogyakarta yang
membentuk Sistem Akuifer Merapi. Kabupaten Sleman merupakan daerah hulu yang difungsikan
sebagai daerah konservasi atau tangkapan air hujan. Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul sebagai
daerah tengah dan hilir ketersediaan airtanahnya tergantung pada Kabupaten Sleman.
Kabupaten Sleman memegang peranan kunci dalam hal pengelolaan sumberdaya air. Sebagai
kawasan penyangga, perkembangan wilayah Sleman dewasa ini sudah agak mengkhawatirkan dari
sisi konservasi. Perubahan tata guna lahan cukup tinggi dan cenderung meningkat. Perubahan
tertinggi adalah konversi dari lahan pertanian ke lahan terbangun. Perubahan tersebut sebagian besar
terjadi untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti untuk permukiman, pendidikan, wisata dan
tempat peristirahatan.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa implementasi kebijakan yang ada masih belum efektif
dan optimal dalam mengelola pemanfaatan dan pengendalian penggunaan lahan. Salah satu
implikasinya, kuantitas air untuk kebutuhan rumah tangga menjadi turun. Ketinggian muka air sumur
di Sleman dari waktu ke waktu mengalami penurunan dengan fluktuasi besar. Hal ini
mengindikasikan kemampuan air yang meresap ke dalam tanah semakin kecil atau pemanfaatan air
sumur tersebut semakin besar.
Prosiding Seminar Nasional 2013
Menuju Masyarakat Madani dan Lestari
414
Wilayah tengah yaitu Kota Yogyakarta merupakan pusat perekonomian berupa perdagangan,
jasa, dan industri dan menjadi tempat tujuan bagi warga Kabupaten Sleman (kawasan hulu) dan
warga Kabupaten Bantul (kawasan hilir) untuk mencari rejeki. Yogyakarta 3 tahun berturut-turut
(2011-2013) mendapat predikat The Most Liveable City di Indonesia dari Ikatan Ahli Perencanaan
Indonesia (IAPI). Predikat ini membawa dilema bagi pembangunan wilayah. Laju modernisasi dan
konversi lahan ditimbulkan sekaligus menjadi ancaman masa depan kenyamanan. Data PHRI DIY
menyebutkan bahwa sepanjang 2012-2013 pertumbuhan hotel di Yogyakarta semakin tidak
terkendali, yaitu dibangun 48 hotel berbintang dan 128 hotel melati dengan jumlah kamar sekitar
dengan jumlah kamar sekitar 16.000. Sektor properti juga tumbuh sepanjang pesat 2012-2013 di
level 10-20%.
Pengelolaan sumberdaya air di seluruh wilayah KARTAMANTUL mesti dilakukan secara
komprehensif dan holistik dalam satu kesatuan. Kondisi ini menuntut dilakukannya pemetaan tingkat
kekritisan sumberdaya air serta merancang rekayasan lingkungan dalam rangka konservasi.

Tujuan
1. Menganalisis tingkat kekritisan sumberdaya air di wilayah KARTAMANTUL
2. Mengidentifikasi konsep rekayasa spasial konservasi sumberdaya air di wilayah
KARTAMANTUL

METODE PENELITIAN
Tingkat kekritisan air merupakan kondisi dimana suatu daerah berpotensi untuk mengalami
kekritisan air, yang disebabkan oleh tidak seimbangnya jumlah kebutuhan air dengan ketersediaan
air yang ada. Suatu wilayah disebut dalam kondisi rentan kekritisan jika kebutuhan air lebih tinggi
dari pada ketersediaan air. Kekritisan sumberdaya air ini merupakan salah satu masalah lingkungan
hidup yang disebabkan oleh proses antropogenik. Kerentanan kekritisan air yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah kekritisan air dalam hal kuantitas. Kekritisan sumberdaya air dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain: Curah hujan, Kondisi tanah, Tata guna lahan, Degradasi airtanah,
Fluktuasi airtanah, Layanan air bersih, dan Akuifer.
Secara kuantitatif, nilai kerentanan sumberdaya air didapatkan dengan sistem skoring dari
beberapa parameter (Tabel 1). Skoring dilakukan dengan asumsi nilai sebagai berikut:
Tabel 1. Parameter dan Sistem Skoring Penilaian Kekritisan Sumberdaya Air
No Parameter
Urgensi
Data (%)
Reliabilitas
Data (%)
Total Skor
(%)
Bobot
1 Tata guna lahan 100 95 195 23
2 Rasio runoff/rainfall 100 95 195 23
3 Degradasi airtanah 95 90 185 18
4 Fluktuasi airtanah 95 90 185 18
5 Layanan PDAM 90 85 175 18
T o t a l 935 100
Sumber: Vrba (1994) ; Widodo (2008)
Nilai skor untuk masing-masing parameter ditentukan dengan klasifikasi berikut:
Tabel 2. Deskripsi Parameter Kekritisan Sumberdaya Air
No Parameter Klas Skor
1 Tata guna lahan Non Permukiman 0
Permukiman Klas 1 1
Permukiman Klas 2 2
Permukiman Klas 3 3
Permukiman Klas 4 4
Permukiman Klas 5 5
ISBN: 978-979-98438-8-3

415
No Parameter Klas Skor
2 Rasio runoff/rainfall Rendah (< 46%) 1
Sedang (46%--63%) 2
Tinggi (> 69%) 3
3 Degradasi airtanah Rendah (< 0,3 m/tahun) 1
Sedang (>= 0,3 - < 0,6 m/ tahun) 2
Tinggi (>= 0,6 - < 0,9 m/ tahun) 3
Ekstrim (>= 0,9 m/tahun) 4
4 Fluktuasi airtanah Rendah (0 - 3 meter/year) 1
Sedang (3 - 6 meter/year) 2
Tinggi (> 6 meter/year) 3
5 Layanan PDAM Sangat Tinggi (> 75%) 1
Tinggi (50% - 75%) 2
Cukup (25% - 50%) 3
Tinggi (0% - 25%) 4
Tidak ada layanan (0%) 5
Sumber: Vrba (1994); Wilopo (1999)

Jenis overlay yang digunakan adalah union, sehingga operasi matematika yang berlaku pada
proses tumpangsusun adalah dengan cara menjumlahkan harkat setiap variabel yang digunakan
sebagai penilai setelah dikalikan dengan faktor pembobotan. Formula yang digunakan adalah
sebagai berikut (Bonham-Carter, 1998 dalam Widodo, 2008):
Pk = (V1 * B1) + (V2 * B2) + (V3 * B3) + (V4 * B4) + (V5 * B5)
Dimana :
Pk = total skor kerentanan sumberdaya air
V1 = variabel tata guna lahan
V2 = variabel Rasio runoff/rainfall
V3 = variabel Degradasi airtanah
V4 = variabel Fluktuasi airtanah
V5 = variabel Layanan PDAM
B1 = faktor V1
B2 = faktor V2
B3 = faktor V3
B4 = faktor V4
B5 = faktor V5

Hasil akhir penghitungan adalah teridentifikasikannya klas kerentanan sumberdaya air setiap
wilayah. Jenis dan deskripsi masing-masing klas kerentanan tersaji pada Tabel 3. berikut.
Tabel 3. Klasifikasi Klas Kekritisan Sumberdaya Air
No
Klas
kerentanan
Total
Skor
Kriteria Deskripsi
1
I 21-81
Tidak
kritis
Wilayah dengan kondisi sumberdaya air sangat
baik, tidak ada parameter yang berpotensi
menimbulkan degradasi sumberdaya air menjadi
rentan
2
II 82-143
Sedikit
kritis
Wilayah dengan kondisi sumberdaya air baik,
sedikit parameter yang berpotensi menimbulkan
degradasi sumberdaya air menjadi rentan
3
III 144-205
Cukup
kritis
Wilayah dengan kondisi sumberdaya air cukup
baik, sumberdaya air berpotensi lebih buruk jika
tanpa ada pengelolaan yang baik
Prosiding Seminar Nasional 2013
Menuju Masyarakat Madani dan Lestari
416
No
Klas
kerentanan
Total
Skor
Kriteria Deskripsi
4
IV 206-267 Kritis
Wilayah dengan kondisi sumberdaya air buruk,
memiliki beberapa paremeter yang menimbulkan
degradasi sumberdaya air, disebut wilayah
berkerentanan tinggi.
5
V 268-329
Sangat
kritis
Wilayah dengan kondisi sumberdaya air sangat
buruk, seluruh paremeter telah menimbulkan
degradasi sumberdaya air, disebut wilayah
berkerentanan sangat tinggi.
Sumber : Vrba (1994) ; Widodo (2008)

Metode analisis di atas hanya digunakan untuk daerah yang sumberdaya airnya dipengaruhi
oleh faktor manusia (antropogenik). Sedangkan untuk daerah yang kondisi sumberdaya air nya
tergantung pada kondisi alam, akan digunakan analisis kondisi fisik sesuai karakter wilayahnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Daerah Kritis Antropogenik
Nilai kekritisan diperoleh dari tumpang susun antar parameter yang disebutkan di atas.
Berdasarkan hasil overlay, dapat diketahui bahwa di daerah penelitian kekritisan air dapat dibagi
menjadi 5 kategori kekritisan. Sebaran spasial lokasi ke-5 tingkat kekritisan tersaji pada Gambar 1.

Daerah Sangat Kritis (extremely high vulnerability)
Daerah extremely high vulnerability didefinisikan sebagai daerah yang sangat berpotensi
untuk mengalami kekritisan air. Kriteria daerah ini merupakan gabungan dari daerah kerentanan
secara antropogenik dan secara alami. Lokasi daerah extremely high vulnerability terdapat pada
Tabel 4.
Tabel 4 Rincian Daerah Sangat Kritis Air (extremely high vulnerability)
No Kabupaten/kota Kecamatan Desa Luas (km
2
)
1 Sleman Godean Sidorejo 1,46
Mlati Sinduadi
Depok Caturtunggal
Ngaglik Minomartani
Depok Condongcatur
2 Yogyakarta Danurejan Bausasran, Tegalpanggung 15,94
Gedongtengen Sosromenduran, Pringgokusuma
Gondokusuman
Terban, Klitren, Demangan, Baciro
Ngupasan, Prawirodirjan
Jetis Cokrodiningra, Gowongan
Kotagede Rejowinangun, Purbayan
Kraton Panembahan, Kadipaten, Patehan
Mantrijeron Suryodiningra, Mantrijeron
Mergangsan Wirogunan
Ngampilan Ngampilan
Pakualaman Notoprajan, Purwokinanti
Tegalrejo Gunungketur, Bener
Umbulharjo Tegalrejo, Kricak, Semaki
Wirobrajan
Tahunan, Warungboto, Pakuncen
Wirobrajan, Patangpuluhan
T o t a l 17.40
ISBN: 978-979-98438-8-3

417

Gambar 1. Peta Kekritisan Sumberdaya Air Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul
Berdasarkan Tabel 4. di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar daerah yang sangat rentan
kekritisan terdapat di wilayah Kota Yogyakarta dengan luas 15.94 km
2
atau 91.6% dari luas total
daerah sangat rentan kekritisan air, sedangkan sisanya terdapat di Sleman yakni sebesar 1.46 km
2

atau 8.4%. Seluruh kecamatan di Kota Yogyakarta sudah mengalami kerentanan yang sangat tinggi.
Memang masih ada sebagian wilayah di dalam masing-masing kecamatan tidak termasuk sangat
rentan. Kabupaten Sleman memiliki daerah yang sangat rentan pada 5 kecamatan yang ternyata
umumnya merupakan kecamatan terdekat dengan Kota Yogyakarta. Luasnya daerah sangat kritis di
Kota Yogyakarta disebabkan karena Kota memiliki kepadatan penduduk yang sangat tinggi dan
permukiman yang sangat padat serta aktivitas dari masyarakat yang banyak melakukan tindakan
alih fungsi lahan dari yang dahulunya berupa sawah, pekarangan atau kebun berubah menjadi
permukiman, perkantoran atau industri. Akibat dari adanya proses alih fungsi lahan tersebut
menyebabkan tingginya rasio runoff/rainfall yakni banyaknya air hujan yang jatuh ke tanah menjadi
runoff dan tidak sempat untuk infiltrasi, sehingga banyak air hujan yang langsung saja mengalir ke
saluran-saluran dan terbuang sia-sia sehingga tidak dapat untuk mengisi airtanah. Selain itu di Kota
banyak masyarakat yang mengkonsumsi airtanah dengan berlebihan sehingga menimbulkan
fluktuasi muka airtanah yang tinggi dan dapat menyebabkan degradasi muka airtanah dimana
kondisi muka airtanah turun dari tahun ketahun apabila hal tersebut dibiarkan berlarut-larut dapat
menyebabkan subsidence atau amblesan permukaan tanah hal tersebut yang menyebabkan di kota
sangat rentan terhadap kekritisan air.
S.Oyo
S
. B
e
d
og
S
. C
o
d
e
S
. G
a
jd
a
h
W
o
n
g
S. Opak
S
. P
rog
o
S
. W
in
o
n
g
o
S
S.Oyo
S
. B
e
d
og
S
. C
o
d
e
S
. G
a
j d
a
h
W
o
n
g
S. Opak
S
. P
rog
o
S
. W
in
o
n
g
o
S
TURI
DLINGO
PAKEM
IMOGIRI
DEPOK
MLATI
JETIS
SEDAYU
NGAGLIK
TEMPEL
SLEMAN
KALASAN
SEWON
KASIHAN
KRETEK
NGEMPLAK
MINGGIR
PIYUNGAN
PRAMBANAN
GAMPING
PAJANGAN
GODEAN
PLERET
PANDAK
CANGKRINGAN
BERBAH
SANDEN
SEYEGAN
MOYUDAN
PUNDONG
BANGUNTAPAN
BAMBANG LIPURO
BANTUL
SRANDAKAN
KOTA YOGYAKARTA
420000 mT
420000 mT
440000 mT
440000 mT
9
1
2
0
0
0
0

m
U
9
1
2
0
0
0
0

m
U
9
1
4
0
0
0
0
9
1
4
0
0
0
0
9
1
6
0
0
0
0

m
U
9
1
6
0
0
0
0

m
U
PETA KERENTANAN KAB.SLEMAN KOTA YOGYAKARTA DAN KAB.BANTUL
KAB. GUNUNG KIDUL
KAB. KLATEN
JAWA TENGAH
KAB. MAGELANG
JAWA TENGAH
KAB. KULON PROGO
$
4 0 4 8 Km
Sistem Proyeksi UTM Zone 49M
Datum WGS 84
Sumber :
1. Analisa Data 2008
SAMUDERA HINDIA
U
Tinggi
Sangat Tinggi
Kerentanan Alami (Hamparan Lava)
Kerentanan Alami
(Miskin dan Bukan Aquifer)
Rendah
Sedang
Sangat Rendah
Tingkat Kerentanan :
Gunungapi Merapi
SAMUDERA HINDIA
Kab.
Kulon Progo
Kab.
Gunung Kidul
Kab.
Bantul
Kab.
Sleman
Kota
Yogyakarta
400000
400000
450000
450000
9
10
0
0
0
0
9
10
0
0
0
0
9
15
0
0
0
0
9
150
00
0
PETA
KAWASAN
LEGENDA
Batas Propinsi
Batas Kabupaten
Batas Kecamatan
Laut
$ Gunungapi Merapi
Jalan Nasional
Jalan Propinsi
Sungai
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah
(BAPEDALDA)
Provinsi D.I. Yogyakarta
CV.Karunia Sejahtera
PETA KEKRITISAN SUMBERDAYA AIR KAB. SLEMAN, KOTA YOGYAKARTA, KAB.
Prosiding Seminar Nasional 2013
Menuju Masyarakat Madani dan Lestari
418
Demikian juga di Kabupaten Sleman khususnya di Kecamatan Depok, Mlati, Godean, dan
Ngaglik yang dahulunya merupakan daerah rural sekarang seiring dengan pesatnya pertumbuhan
berubah menjadi daerah urban dengan dicirikan oleh banyaknya permukiman penduduk serta
menjamurnya pusat perdagangan dan industri, sehingga kebutuhan air bersih yang bersumber dari
airtanah meningkat sedangkan ketersediaannya tetap bahkan cenderung berkurang, hal tersebut
membuat deerah itu sangat berpotensi untuk mengalami kekritisan air
Daerah yang masuk dalam kategori sangat rentan kekritisan air, perlu diprioritaskan untuk
mendapatkan perhatian yang khusus diantaranya melakukan penertiban terhadap kegiatan
pengambilan airtanah yang dilakukan perseorangan, kelompok masyarakat maupun badan usaha
yang tidak berdasarkan ketentuan, peraturan, dan perundang-undangan yang berlaku. Penertiban
dilakukan secara berkala dengan memeriksa izin pengambilan airtanah. Apabila diketahui tidak ada
izin maka pihak yang terkait akan segera menutup sumur air bawah tanah itu, karena kalau
dibiarkan akan merusak lingkungan khususnya ketersediaan airtanah di cekungan Yogyakarta.

Daerah Kritis (high vulnerability)
Daerah high vulnerability didefinisikan sebagai daerah yang berpotensi untuk mengalami
kekritisan air. Daerah dengan kriteria high vulnerability terdapat pada ke 3 wilayah. Lokasi daerah
high vulnerability terdapat pada Tabel dibawah ini.
Tabel 5. Rincian Daerah Kritis Air (high vulnerability)
No Kabupaten/kota Kecamatan Desa Luas (km
2
)
1 Bantul
Banguntapan
Banguntapan, Jagalan, Tamanan
Wirokerten
10.02
Bantul Ringinharjo
Kasihan Ngestiharjo, Tirtonirmolo
Sedayu Argosari
Sewon Panggungharjo, Bangunharjo
2 Sleman Cangkringan Kepuhharjo, Glagahharjo, Wukirsari 50.70
Depok Caturtunggal, Condongcatur, Maguwoharjo
Gamping Trihanggo, Nogotirto, Banyuraden
Godean
Sidomoyo, Sidorejo, Sidoagung, Sidokarto,
Sidoarum
Kalasan Selomartani
Minggir Sendangarum
Mlati
Sumberadi, Tlogoadi, Tirtoadi, Sendangadi,
Sinduadi
Moyudan Sumberagung, Sumbersari
Ngaglik
Sariharjo, Sukoharjo, Sardonoharjo
Sariharjo, Minomartani
Ngemplak
Umbulmartani, Widodomartani,
Wedomartani
Pakem Harjobinangun, Candibinangun
Sayegan Margomulyo, Margoagung, Margoluwih
Sleman Caturharjo, Triharjo, Pendowoharjo
Tempel Mororejo, Pondokrejo
Turi Girikerto
3 Yogyakarta Danurejan Suryatmajan 14.77
Gedongtengen Pringgokusuman
Gondokusuman Terban, Kotabaru
Jetis Bumijo, Cokrodiningratan
Kotagede Prenggan
Kraton Panembahan
ISBN: 978-979-98438-8-3

419
No Kabupaten/kota Kecamatan Desa Luas (km
2
)
Mantrijeron Gedongkiwo, Suryodiningra,Mantrijeron
Mergangsan Wirogunan,Keparakan, Brontokusuman
Ngampilan Notoprajan
Pakualaman Gunungketur
Tegalrejo
Karangwaru, Kricak, Bener,
Tegalrejo
Umbulharjo
Sorosutan, Mujamuju, Warungboto
Tahunan, Pandeyan, Giwangan
Wirobrajan Pakuncen, Wirobrajan
Total 75.49

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar daerah yang masuk high
vulnerability di wilayah Kabupaten Sleman dengan luas 50.70 km
2
atau 67.2% dari luas total daerah
high vulnerability, sedangkan sisanya terdapat di Kabupaten Bantul yakni sebesar 10.02 km
2
atau
13.3% dan Kota Yogyakarta sebesar 14.77 km2 atau 19.6%.
Tingginya high vulnerability area di Kabupaten Sleman disebabkan tingginya pertumbuhan
penduduk dan perkembangan wilayah setempat. Sejak tahun 1990 an telah terjadi fenomena
perkembangan permukiman yang sangat siginificant di Kabupaten Sleman. Sejumlah 15 kecamatan
di Kabupaten Sleman dari total 17 kecamatan ternyata sudah masuk kategori high vulnerability
area. Pemerintah sudah berusaha membatasi perkembangan ini tetapi sepertinya belum terasa
hasilnya. Alih fungsi lahan dari yang dahulunya berupa sawah, pekarangan atau kebun berubah
terutama menjadi permukiman mengakibatkan ancaman serius bagi sustainabilitas sumberdaya air
di wilayah ini dan wilayah bawahnya. Semakin seringnya terjadi banjir di kawasan Yogyakarta
urban merupakan indikasi nyata akan menaiknya runoff yang dikirim dari kawasan hulu yang ada
di wilayah Kabupaten Sleman.
Daerah yang masuk dalam kategori high vulnerability juga perlu diprioritaskan untuk
mendapatkan perhatian yang khusus diantaranya melakukan pengendalian sistim pembangunan
perumahan dengan membatasi luas lahan yang terbangun dan membuat zona-zona penataan
pembangunan.

Daerah Cukup Kritis (Medium Vulnerability)
Daerah medium vulnerability didefinisikan sebagai daerah yang cukup berpotensi untuk
mengalami kekritisan air. Lokasi daerah sangat rentan kekritisan air terdapat pada Tabel di bawah
ini.
Tabel 6. Rincian daerah Kekritisan Sedang (Medium Vulnerability)
No Kabupaten/kota Kecamatan Desa Luas (km
2
)
1 Bantul Bambanglipuro Sumbermulyo, Mulyodadi, 136.79
Banguntapan
Baturetno, Tamanan, Banguntapan, Potorono,
Singosaren, Jambidan
Bantul
Bantul, Trirenggo, Sabdodadi, Ringinharjo
Palbapang
Imogiri Karangtalun, Kebonagung
Jetis Sumberagung, Patalan, Canden
Kasihan Ngestiharjo, Tirtonirmolo, Ngestiharjo
Kretek Tirtomulyo, Donotirto, Tirtosari, Tirtohargo
Pleret Wonokromo, Pleret,
Pundong Srihardono, Panjangrejo,
Sanden Gadingsari, Murtigading, Srigading
Sedayu Argosari
Prosiding Seminar Nasional 2013
Menuju Masyarakat Madani dan Lestari
420
No Kabupaten/kota Kecamatan Desa Luas (km
2
)
Sewon
Bangunharjo, Panggungharjo, Timbulharjo
Pendowoharjo,
Srandakan Trimurti, Poncosari
2 Sleman Berbah Kalitirto, Tegaltirto, Jogotirto, Sendangtirto 328.68
Cangkringan
Glagahharjo, Kepuhharjo, Umbulharjo,
Wukirsarii, Argomulyo
Depok Condongcatur, Maguwoharjo, Caturtunggal
Gamping Trihanggo, Nogotirto, Banyuraden
Godean
Sidomoyo, Sidoluhur, Sidoagung
Sidoarum, Sidokarto, Sidomulyo
Kalasan
Tamanmartani, Selomartani, Purwomartani
Tirtomartani
Minggir
Sendangmulyo, Sendangrejo, Sendangsari
Sendangagung, Sendangarum
Mlati Sumberadi, Tlogoadi, Tirtoadi, Sinduadi
Moyudan
Sumberagung, Sumberarum, Sumbersari
Sumberrahayu
Ngaglik
Donoharjo, Sariharjo, Sukoharjo
Sardonoharjo, Sinduharjo, Minomartani
Ngemplak
Umbulmartani, Widodomartani, Bimomartani,
Wedomartani
Pakem
Hargobinangun, Purwobinangun, Candibinangun,
Pakembinangun, Harjobinangun
Prambanan Bokoharjo, Sambirejo, Madurejo, Sumberharjo,
Seyegan
Margoagung, Margomulyo, Margokaton
Margoluwih
Sleman
Trimulyo, Caturharjo, Triharjo
Pendowoharjo, Tridadi
Tempel
Merdikorejo,Lumbungrejo, Margorejo,
Pondokrejo, Mororejo, Sumberrejo,
Tambakrejo, Banyurejo
Turi Wonokerto, Bangunkerto, Donokerto, Girikerto
3 Yogyakarta Gondokusuman Baciro 2.15
Jetis Cokrodiningratan
Kotagede Prenggan, Rejowinangun
Mantrijeron Suryodiningratan
Mergangsan Wirogunan, Keparakan
Tegalrejo Kricak, Bener, Karangwaru, Tegalrejo
Umbulharjo Sorosutan, Mujamuju, Tahunan
Wirobrajan Pakuncen, Patangpuluhan
Total 467.62

Berdasarkan data pada Tabel di atas dapat diketahui bahwa daerah medium vulnerability
meliputi 3 wilayah yakni Bantul dengan luas 136.79 km
2
atau 29.3% dari luas total daerah medium
vulnerability, Kota Yogyakarta dengan luas 2.15 km
2
atau 0.5 % dan Sleman dengan luas 328.68
km
2
atau 70.2%. Di Kabupaten Sleman daerah medium vulnerability terdapat di 17 kecamatan,
Kota Yogyakarta daerah medium vulnerability terdapat di 8 Kecamatan sedangkan di Bantul daerah
kategori ini terdapat di 13 kecamatan. Terjadinya daerah medium vulnerability antara lain
disebabkan oleh pengaruh antropogenik yakni aktivitas manusia yang melakukan alih fungsi lahan
dengan merubah lahan pekarangan, kebun atau sawah menjadi permukiman atau industri sehingga
meningkatkan air hujan yang menjadi runoff sehinga sedikit yang meresap kedalam tanah dan
banyak yang menjadi aliran permukaan. Selain itu juga karena aktivitas pemompaan air tanah yang
ISBN: 978-979-98438-8-3

421
berlebihan yang menyebabkan degradasi muka airtanah sehingga daerah tersebut sangat berpotensi
rentan kekritisan airtanah.
Di Kabupaten Bantul dan Sleman deerah medium vulnerability terdapat di daerah yang
terpengaruh oleh perkembangan dari kota Yogyakarta sehingga daerah tersebut mulai padat dengan
permukiman penduduk serta aktivitas industri sehingga banyak lahan perkarangan atau sawah yang
berubah fungsinya menjadi pemukiman atau tempat usaha sehingga menurunkan kemampuan hujan
untuk meresap kedalam tanah dan banyak hujan yang berubah menjadi aliran permukaan. Di Bantul
dan Sleman daerahnya sudah mulai banyak yang tergolong dalam daerah medium vulnerability
maka hal ini perlu diwaspadai dengan cara melakukan pembatasan debit air yang diambil agar tidak
tidak terlalu besar yaitu tidak lebih dari 200 liter/menit. Hal ini dilakukan sebagai pengendalian agar
airtanah tidak terus menurun. Juga diimbau agar seluruh pengusaha yang mengambil airtanah dalam
ataupun airtanah dangkal agar bisa menghemat pemakaiannya. Selain itu, masyarakat dan
pengusaha diinstruksikan membuat sumur-sumur resapan di areal perusahaan, membuat kolam-
kolam penampung air (tandon), melaksanakan penghijauan, mendaur ulang air limbah, dan
mengolah sumber air alternatif. Hal tersebut bertujuan agar nantinya tidak menjadi daerah yang
sangat kritis seperti di Kota Yogyakarta dan sebagian Sleman.

Daerah Kekritisan Rendah (Low Vulnerability)
Daerah low vulnerability didefinisikan sebagai daerah yang agak berpotensi untuk menjadi
rentan kekritisan. Daerah yang tergolong dalam kriteria low vulnerability terdapat pada tabel di
bawah ini
Tabel 7. Rincian Daerah Kerentanan Rendah (Low Vulnerability)
No
Kabupaten/
kota
Kecamatan Desa
Luas
(km
2
)
1 Bantul Bambanglipuro Sumbermulyo, Mulyodadi, 72.01
Banguntapan
Banguntapan, Tamanan, Baturetno
Potorono, Singosaren, Wirokerten
Bantul
Bantul, Ringinharjo, Sabdodadi, Trirenggo,
Palbapang
Imogiri Karangtalun
Jetis Sumberagung, Patalan
Kasihan
Ngestiharjo, Tamantirto, Bangunjiwo
Tirtonirmolo
Kretek Tirtomulyo, Donotirto
Pajangan Triwidadi, Sendangsari, Guwosari
Pandak Wijirejo
Piyungan Srimartani
Sanden
Gadingsari, Murtigading, Srigading
Gadingharjo
Sedayu Argomulyo, Argosari, Argorejo, Argodadi
Sewon
Bangunharjo, Panggungharjo, Pendowoharjo,
Timbulharjo
Srandakan Trimurti, Poncosari
2 Sleman Berbah Kalitirto, Tegaltirto, Jogotirto, Sendangtirto 134.12
Cangkringan
Glagahharjo, Kepuhharjo, Umbulharjo
Argomulyo
Depok Condongcatur, Maguwoharjo, Caturtunggal
Gamping
Nogotirto, Banyuraden, Balecatur
Ambarketawang
Godean Sidomulyo
Kalasan Tamanmartani,Selomartani,Purwomartani
Prosiding Seminar Nasional 2013
Menuju Masyarakat Madani dan Lestari
422
No
Kabupaten/
kota
Kecamatan Desa
Luas
(km
2
)
Minggir
Sendangsari, Sendangrejo, Sendangagung,
Sendangarum
Mlati Sumberadi, Tlogoadi, Sendangadi
Moyudan
Sumberagung, Sumberrahayu,
Sumberarum
Ngaglik
Donoharjo, Sariharjo, Sukoharjo, Sinduharjo,
Minomartani
Ngemplak
Umbulmartani, Sindumartani,
Widodomartani,Bimomartani,Wedomartani
Pakem
Hargobinangun, Purwobinangun,
Pakembinangun, Harjobinangun
Prambanan
Bokoharjo, Sambirejo, Madurejo, Gayamharjo,
Sumberharjo, Wukirharjo
Seyegan Margodadi, Margoluwih
Sleman Trimulyo, Triharjo, Tridadi, Pendowoharjo
Turi Wonokerto, Girikerto
3 Yogyakarta Tegalrejo Karangwaru, Tegalrejo 0.93
Mergangsan Keparakan, Brontokusuman
Umbulharjo Mujamuju, Pandeyan, Giwangan
Total 207.05

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa daerah low vulnerability meliputi tiga
kabupaten dan terluas di Sleman, kemudian Bantul dan terakhir adalah Kota Yogyakarta.
Kabupaten Sleman memiliki daerah low vulnerability pada 16 kecamatan dengan luas 134.12 km
2

atau 64.8% dari luas total daerah low vulnerability. Di Kabupaten Bantul daerah low vulnerability
terdapat di 14 kecamatan dengan luas sebesar 72.01 km
2
atau 34.8%. Sedangkan di Kota
Yogyakarta daerah low vulnerability terdapat di 3 kecamatan dengan luas 0.93 km
2
atau 0,4%.
Daerah low vulnerability terjadi karena pengaruh beberapa faktor dengan intensitas yang kecil
sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap ketersediaan airtanah akan tetapi masih memungkinkan
untuk berpotensi untuk menjadi rentan air. Daerah low vulnerability yang tedapat di urban
umumnya terjadi di daerah pinggiran kota dimana penduduknya tidak sepadat di pusat kota.
Sedangkan di Bantul dan Sleman, daerah low vulnerability umumnya terdapat di daerah yang relatif
sudah maju pembangunannya, sehingga mulai muncul aktivitas alih fungsi lahan dengan intensitas
yang tidak terlalu tinggi sehingga tidak banyak perubahan perkebunan atau sawah menjadi
pemukiman atau industri sehingga tidak menyebabkan runoff yang besar, selain itu ketersediaan
airtanah relatif masih mencukupi untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat sekitar.
Besarnya daerah low vulnerability (26%) ini menunjukkan bahwa di 3 wilayah tersebut
kekritisan air sudah mulai dirasakan oleh masyarakat sekitar walaupun dengan intensitas yang kecil
terutama pada waktu musim kamarau yang ditandai dengan turunnya muka airtanah. Apabila hal ini
dibiarkan saja dan tidak ada tindakan lebih lanjut khususnya tentang pembatasan pengambilan
airtanah maka kemungkinan besar daerah tersebut dapat berubah menjadi daerah medium
vulnerability bahkan dapat menjadi high vulnerability atau extremly high vulnerability.

Daerah Kekritisan Sangat Rendah (very low vulnerability)
Daerah very low vulnerability didefinisikan sebagai daerah yang untuk sementara ini tidak
berpotensi untuk mengalami kekritisan air. Sehingga daerah tersebut tergolong dalam daerah yang
relatif aman terhadap kerentanan kekritisan air. Lokasi yang tergolong daerah tidak rentan
kekritisan air terdapat pada Tabel 8.

ISBN: 978-979-98438-8-3

423
Tabel 8. Rincian Daerah Kerentanan Sangat Rendah (very low vulnerability)
No Kabupaten Kecamatan Desa Luas (km
2
)
1 Bantul Bantul Bantul 13.18
Kasihan Tamantirto
Pajangan Guwosari
Sedayu Argomulyo, Argorejo
Sewon Pendowoharjo
2 Sleman Cangkringan Kepuhharjo 22,09
Pakem Hargobinangun
Prambanan Bokoharjo, Sambirejo,
Sleman Tridadi, Pendowoharjo
Total 35.27

Berdasarkan data dari tabel di atas dapat diketahui bahwa very low vulnerability areas
terdapat di 2 kabupaten yakniSleman dan Bantul. Di Kabupaten Sleman daerah tidak rentan
kekritisan air terdapat di 4 kecamatan dengan luas 22.09 km
2
atau 62.6% dari luas total daerah tidak
rentan kekritisan air. Di Kabupaten Bantul daerah tidak rentan kekritisan air terdapat di 5
kecamatan dengan luas 13.18 km
2
atau 37.4%. Sedangkan di Kota Yogyakarta tidak ditemukan very
low vulnerability areas.
Very low vulnerability areas memiliki kondisi daerah yang masih alami yang dapat berupa
hutan, sawah atau perkebunan dan belum banyak terjadi alih fungsi lahan, memiliki rasio run
off/rainfall yang kecil sehingga banyak air hujan yang berkesempatan untuk masuk ke tanah untuk
mengisi cadangan airtanah atau sedikit air hujan yang menjadi runoff. Selain itu ketersediaan
airtanah cukup melimpah sehingga kebutuhan air bagi penduduk atau bagi pertanian dan peternakan
tercukupi dengan baik.
Berdasarkan analisis di atas dapat diketahui bahwa daerah dengan kriteria very low
vulnerability memiliki luas 35.27 km
2
atau 4,39% dari luas total. Daerah low vulnerability
mempunyai luas 207.05km
2
atau 25,79%, daerah moderate vulnerability memiliki luas 467.615km
2

atau 58,25%, daerah high vulnerability memiliki luas 75.49 km
2
atau 9,4 %, dan daerah yang
termasuk very high vulnerability seluas 17.4atau 2,17%. Oleh karena itu hal tersebut perlu
diwaspadai karena apabila tidak ditangani kawasan yang agak kritis dapat berubah menjadi kawasan
kritis bahkan menjadi sangat kritis.
Tabel 9. Daerah Kerentanan Air
No Kerentanan Luas (km
2
) %)
1 Sangat rendah 35.27 4,39
2 Rendah 207.05 25,79
3 Sedang 467.615 58,25
4 Tinggi 75.49 9,4
5 Sangat tinggi 17.4 2,17
Total 802.825 100

Daerah Kritis Alami
Daerah yang tergolong dalam kategori kritis alami (Natural Vulnerability) adalah daerah
dengan jenis keterbatasan aquifer dan daerah dengan tipe lava field (Gambar 1). Daerah kritis alami
dengan aquifer yang terbatas merupakan daerah yang memiliki keterbatasan karena tipe aquifernya
tergolong minor, poor atau non aquifer, yakni batuan yang sulit atau tidak dapat menyimpan dan
atau meloloskan air, sehingga daerah yang masuk dalam kategori ini tergolong dalam daerah
dengan kerentanan alami. Sebagian besar daerah yang tergolong dalam kategori ini masuk dalam
formasi geologi Sambipitu (siltstone, shales, dan tuff), formasi Kebo dan Butak (conglomeritic
Prosiding Seminar Nasional 2013
Menuju Masyarakat Madani dan Lestari
424
shales dan tuff), Nglanggran dan Semilir (breccias, shales dan tuff), Old andesit (andesitic breccias,
tuff), Jonggrangan (basal conglomerates, tuffaceous, dan calcareous sandstones) dan Sentolo
(limestone). Daerah ini umumnya tergolong dalam daerah yang kering, sehingga ketersediaan air
menjadi kendala pertama. Oleh karena itu perlu usaha untuk dapat memenuhi kebutuhan air
diantaranya dengan penangkapan air hujan yang efektif dan efisien.
Daerah yang tergolong dalam kategori kritis alami dengan tipe lava field hanya terdapat di
kabupaten Sleman. Daerah kritis alami dengan tipe lava field merupakan daerah yang tergolong
dalam kawasan rawan bencana Gunungapi Merapi, yaitu daerah yang terkena efek dari letusan
gunungapi merapi baik berupa lava flow, lapili, bom (batu-batu yang besar), nues ardante (awan
panas), dan abu, sehingga daerah tersebut direkomendasikan untuk tidak ditempati oleh karena akan
membahayakan baik keselamatan penduduk. Kawasan tersebut direkomendasikan untuk tetap
dijadikan sebagai kawasan hutan alami maupun sebagai taman nasional sehingga dapat berfungsi
sebagai tempat untuk meresapkan air. Tabel 10 hingga 13 menyajikan komposisi kategori kritis
alami dan luasannya.
Tabel 10 Daerah Kritis Alami pada Formasi Geologi Nanggulan-Old Andesit
No Kabupaten Kecamatan Desa Luas (km
2
)
1 Sleman
Sayegan Margodadi 0.38
Godean Sidorejo 0.81
Total 1.19

Tabel 11. Daerah Kritis Alami pada Formasi Geologi Jonggrangan and Sentolo
No Kabupaten Kecamatan Desa Luas (km
2
)
1 Sleman
Gamping
Ambarketawang 5.51
Balecatur 4.2
Cangkringan Argomulyo 3.97
Minggir Sendangsari 8.301
Sedayu
Argodadi 2.59
Argorejo 4.11
Argosari 0.019
2 Bantul Kasihan Bangunjiwo 10.50
Pajangan
Guwosari 3.62
Triwidadi 10.98
Pandak
Gilangharjo 1.05
Triharjo 1.77
Caturharjo 2.23
Bambanglipuro Sidomulyo 0.58
Total 50.51

Tabel 12. Daerah Kritis Alami pada Formasi Geologi Sambipitu, Kebo, Butak, Nglangran, Semilir
No Kabupaten Kecamatan Desa Luas (km
2
)
1 Sleman
Prambanan
Bokoharjo 0.91
Gayamharjo 6.64
Madurejo 0.15
Sambirejo 7.24
Wukirhajo 4.98
Sumberhajo 1.79
2 Bantul Jetis Trimulyo 1.18
Dlingo
Dlingo 9.04
Jatimulyo 9.57
ISBN: 978-979-98438-8-3

425
No Kabupaten Kecamatan Desa Luas (km
2
)
Mangunan 11.85
Muntuk 13.76
Temuwuh 7.43
Terong 8.87
Imogiri
Girirejo 1.40
Imogiri 0.05
Karangtengah 1.04
Selopamioro 19.05
Sriharjo 2.43
Wukirsari 14.01
Kretek Parangtritis 4.65
Piyungan
Sitimulyo 4.03
Srimartani 5.35
Srimulyo 8.87
Pleret
Bawuran 3.52
Segoroyoso 3.14
Wonolelo 4.62
Pundong Seloharjo 7.82
Total 163.38

Tabel 13. Daerah Kritis Alami pada tipe lava field
No Kabupaten Kecamatan Desa Luas (km
2
)
1 Sleman Pakem Hargobinangun 14.79
Total 14.79

Tabel 14. Rekapitulasi Daerah Kritis Alami
No Formation
Sleman Bantul Total
km
2
(%) km
2
(%) km
2
(%)
1 Sambipitu, Kebo, Butak,
Nglanggran, dan Semilir
36.9 49.29 126.49 77 163.39 68.4
2 Jonggrangan dan Sentolo 21.98 29.36 37.45 23 59.43 24.9
3 Merapi peak (lava field) 14.79 19.75 0 0 14.79 6.2
4 Nanggulan-Old Andesit 1.19 1.58 0 0 1.19 0.5
Total 74.86 100 163.94 100 238.8 100

Model Spasial Konservasi Lingkungan
Alternatif pengembangan wilayah konservasi airtanah di Kabupaten Sleman, Kota
Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul ada beberapa kategori. Pengkategorian kawasan konservasi ini
semuanya berprinsip tanpa mengubah jenis penggunaan lahan yang sudah ada, namun menambah
aspek konservasi pada setiap jenis penggunaan lahan.
Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah D.I. Yogyakarta, ditetapkan bahwa wilayah resapan
air berada di sebagian besar wilayah Kabupaten Sleman. Hal ini dilakukan berdasarkan pada
banyaknya mata air di Kabupaten Sleman sehingga perlu dijaga kelestariannya juga menjaga suplai
recharge untuk air tanah terutama untuk air tanah dalam (Gambar 2).
Berdasarkan perkembangan penduduk di Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta dan
Kabupaten Bantul yang secara rata-rata sebesar 1,06 % per tahun (tahun 1970- 2000), maka
kebutuhan akan ruang sebagai tempat tinggal dan fasilitas umum akan semakin meningkat dan
tercatat sebesar 1,4 % pertahun perubahan lahan sawah menjadi bangunan permukiman dan fasilitas
lainnya (Widodo, 2008). Bila hal ini dibiarkan maka semakin lama kawasan non terbangun akan
Prosiding Seminar Nasional 2013
Menuju Masyarakat Madani dan Lestari
426
semakin menyempit yang menyebabkan wilayah tangkapan air hujan semakin sedikit, sebab
infiltrasi air hujan ke tanah hanya terjadi pada wilayah yang tidak tertutup oleh bangunan atau
material lain yang kedap air (aspal, cor semen dan lain lain). Selain itu pertumbuhan penduduk juga
menyebabkan semakin meningkatnya kebutuhan akan air tanah, baik itu untuk konsumsi domestik
maupun untuk kegiatan lain yang mengiringi aktivitas penduduk pada saat itu.

Gambar 2. Peta Arahan Fungsi Penggunaan Lahan RTRWP DIY di KARTAMANTUL
Infiltrasi air tanah merupakan satu-satunya jalan masuknya air hujan ke dalam tanah untuk
mensuplai air tanah, walaupun berdasarkan perkembangan teknologi, metode infitrasi bisa
dikembangkan menggunakan biopori dan sumur resapan selain infiltrasi secara alami. Berdasarkan
Teori Mock menyatakan bahwa semakin datar lereng dan semakin tebal tanah serta semakin
remah/lepas-lepas/pasiran struktur tanah maka semakin besar kapasitas infiltrasinya seperti terlihat
pada Tabel 15.
ISBN: 978-979-98438-8-3

427
Tabel 15. Kapasitas Infiltrasi menurut Mock
No. Tanah Lereng Kapasitas Infiltrasi (m
3
/m
2
)
1. Alluvial
0-8% 0,300
8 15% 0,250
15 25% 0,150
25 40% 0,100
>40% 0,075
2. Gleisol
0-8% 0,400
8 15% 0,300
15 25% 0,200
25 40% 0,100
>40% 0,085
3. Grumusol
0-8% 0,350
8 15% 0,200
15 25% 0,150
25 40% 0,075
>40% 0,050
4. Kambisol
0-8% 0,350
8 15% 0,200
15 25% 0,150
25 40% 0,075
>40% 0,050
5. Mediterania
0-8% 0,150
8 15% 0,125
15 25% 0,100
25 40% 0,075
>40% 0,025
6. Regosol
0-8% 0,400
8 15% 0,300
15 25% 0,250
25 40% 0,150
>40% 0,125
7. Rendzina
0-8% 0,150
8 15% 0,100
15 25% 0,090
25 40% 0,060
>40% 0,030
Sumber: Mock dengan modifikasi

Berdasarkan tabel di atas maka sebenarnya kawasan yang potensial infiltrasi airnya tidak
hanya di Kabupaten Sleman, namun juga di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul tepatnya pada
wilayah-wilayah yang bukan merupakan wilayah terbangun. Oleh karena itu direkomendasikan
untuk ditambah kawasan resapan air dari yang semula seperti yang tercantum dalam dokumen
RTRWP.
Bila alur pikir di atas dikembangkan yaitu meningkatnya jumlah penduduk yang secara
simultan juga meningkatkan kebutuhan akan air dan juga kebutuhan akan tempat tinggal dan
fasilitas lainnya (lahan terbangun) yang hal ini akan secara serta merta mengurangi infiltrasi tanah,
sebab infiltrasi tanah hanya terjadi di wilayah yang tidak tertutup oleh bangunan atau lapisan kedap
air lainnya maka pada tahun 2050-an akan terjadi suatu kondisi dimana kapasitas infiltrasi air tanah
akan sama dengan jumlah kebutuhan penduduk dan bila ini terjadi maka kawasan Kabupaten
Sleman, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul akan mengalami masalah kekurangan air tanah
pada masa-masa selewat tahun itu (Gambar 3).
Prosiding Seminar Nasional 2013
Menuju Masyarakat Madani dan Lestari
428

Gambar 3. Grafik Hubungan Kebutuhan Air Penduduk dan Infiltrasi Airtanah

Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya masalah kekurangan air tanah sebagai akibat
berkurangnya infiltrasi tanah yang bersifat me-recharge air tanah karena adanya pertumbuhan lahan
terbangun yang tida terkendali sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk maka diperlukan
penambahan kawasan lindung untuk resapan air tanah yang memanfaatkan kawasan budidaya
tanaman pertanian lahan basah dan kering sebagai salah satu kawasan infiltrasi dengan membatasi
atau bahkan melarang konversi lahan pertanian ke lahan terbangun. Dari kajian di atas maka di
kawasan Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul perlu dibuat 3 (tiga kriteria
kawasan konservasi resapan air yang wajib untuk dipertahankan dan ditingkatkan (Gambar 4) yaitu:
1. Kawasan Sangat Intensif
Merupakan kawasan konservasi air tanah sekaligus kawasan lindung untuk resapan air
dimana perubahan lahan dari non terbangun menjadi terbangun sebaiknya tidak dilakukan
lagi
2. Kawasan Intensif
Merupakan kawasan konservasi air tanah sekaligus kawasan budidaya pertanian lahan
basah dan kering dimana untuk konservasi air tanahnya dilakukan dengan sangat
membatasi perubahan lahan dari non terbangun menjadi terbangun dan diarahkan untuk
pengembangannya secara vertikal.
3. Kawasan Restorasi
Merupakan kawasan konservasi air tanah sekaligus sebagai kawasan pengembangan lahan
terbangun, karena fokusnya pada pengembangan lahan terbangun maka koservasi air
tanah yang dilakukan di kawasan ini lebih banyak bersifat mekanis seperti biopori, sumur
resapan dan teknologi lain yang bisa dilakukan untuk infiltrasi air tanah.








-500
-250
0
250
500
750
1000
1250
1500
1750
2000
2000 2010 2020 2030 2040 2050 2060 2070 2080 2090 2100
Tahun
J
u
t
a

L
i
t
e
r
Kebutuhan Air Penduduk Infiltrasi Air Tanah
ISBN: 978-979-98438-8-3

429

Gambar 4. Peta Alternatif Konservasi Airtanah di Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul
(KARTAMANTUL)

KESIMPULAN
1. Daerah penilitian memiliki daerah kritis antropogenik seluas 802,825 Km
2
(77,74%) dan
daerah kritis alami seluas 229,87 Km
2
(22,26%).
2. Daerah kritis antropogenik terbagi menjadi 5 kategori, yaitu Daerah Sangat Kritis (17, 4
Km
2
atau 2,17 %), Daerah Kritis (75,49 Km
2
atau 9,4 %),Daerah Cukup Kritis (467,62
Km
2
atau 58,25%), serta Daerah Kekritisan Rendah (207,05 Km
2
atau 25,79 %).
3. Daerah kritis alami tersebar dalam 4 daerah, yaitu Formasi Geologi Nanggulan-Old
Andesit (207,05 Km
2
atau 25,79 %), Formasi Geologi Jonggrangan dan Sentolo (1,19
Km
2
atau 0,52 %), Formasi Geologi Sambipitu (50,51 Km
2
atau 21, 97 %), Kebo, Butak,
Nglangran, dan Semilir (163,38 Km
2
atau 71,07 %), serta Tipe lava field (14,79 Km
2
atau
6,43 %).
4. Rekayasa konservasi sumberdaya air secara spasial yaitu dengan penambahan kawasan
fungsi lindung untuk resapan air tanah yang memanfaatkan kawasan budidaya pertanian
untuk infiltrasi serta membatasi atau bahkan melarang konversi lahan pertanian ke lahan
terbangun. Strategi mempertahankan dan meningkatkan fungsi lindung dibagi dalam 3
kawasan, yaitu kawasan sangat intensif, kawasan intensif, dan kawasan restorasi.

DAFTAR PUSTAKA
KLH, 2006, Metode Memanen dan Memanfaatkan Air Hujan untuk Penyediaan Air Bersih,
Mencegah Banjir dan Kekeringan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional 2013
Menuju Masyarakat Madani dan Lestari
430
Maryono, Agus, 2005, Menangani Banjir, Kekeringan, dan Lingkungan, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta
Vrba, 1994, Guidebook on Mapping Groundwater Vulnerability, Volume 16, Verlag Heinz Heise,
Hanover.
Widodo, 2005, Vulnerability Water Resources Mapping, International SURED Seminar, Integrated
Water Management in Urban Environment, DAAD-Uni Karlsruhe-UKI, 29-30/08/05, Jakarta.
Widodo, 2008, Sustainable Water Resources Management with Special Reference to Rainwater
Harvesting : Case Study of KartaManTul, Java, Indonesia, Dissertation (unpublished),
Universitt Karlsruhe, Germany.
Wilopo, 1999, Perencanaan Konservasi Air Bawah Tanah di Cekungan Yogyakarta, Propinsi DIY,
Tesis (tidak dipublikasikan), Yogyakarta

Das könnte Ihnen auch gefallen