Sie sind auf Seite 1von 5

http://www.banjarmasinpost.co.

id/read/artikel/34369/membumikan-anggaran-partisipatif
Membumikan Anggaran PartisipatifKamis, 4 Februari 2010 | 01:05 WITA
Dibaca 255 kali
Oleh: Haryanto SE
ANGGARAN yang terdapat dalam APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) adalah perkiraan
penerimaan dan pengeluaran dalam suatu periode di masa depan (umumnya untuk jangka waktu satu
tahun).

Ada beberapa fungsi APBD itu, di antaranya otorisasi, yang mengandung arti bahwa anggaran daerah
menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.

Kedua, fungsi perencanaan. Anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan
kegiatan pada tahun yang bersangkutan.

Ketiga fungsi pengawasan. Anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

Keempat fungsi alokasi, anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan
kerja/mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan
efektivitas perekonomian.

Kelima fungsi distribusi. Kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Terakhir anggaran berfungsi stabilitasi, artinya anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk
memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.

Fungsi yang begitu penting dari APBD mengharuskan semua pihak yang terkait dalam penyusunan
anggaran, baik eksekutif maupun legislatif harus bekerja secara optimal. Salah satu metode yang
dilakukan adalah mengajak setiap elemen masyarakat terkait untuk berpartisipasi menyusun APBD.

Metode itu yang memungkinkan dapat dicapai, sehingga anggaran yang muncul nantinya adalah
anggaran yang berasal dari pihak eksekutif (pengusul), legislatif (mengesahkan) dan masyarakat sebagai
sasaran dari pembuatan kebijakan.

Itu namanya anggaran yang partisipatif, yakni anggaran yang mampu memberi keadilan bagi semua
pihak tanpa menafikan tujuan penyusunan anggaran.

Sergio Baierle, seorang ketua organisasi nonpemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) di
kota Porto Alegre, Brasil mendefinisikan anggaran partisipatif sebagai anggaran yang dibentuk dengan
proses bottom up. Mengombinasikan struktur (lembaga yang berwenang mengesahkan) dengan proses
(suara masyarakat).

Indonesia saat ini tengah berjuang meningkatkan pertumbuhan ekonomi, inefisiensi layanan pemerintah
dan publik, ketidakadilan alokasi sumber daya, kemiskinan, kebodohan, dan keadilan sosial
membutuhkan perjuangan yang luar biasa. Salah satu yang mungkin mampu memperbaiki nasib bangsa
adalah dengan membuka kerja sama antara struktur (pemerintah sebagai sektor publik) dengan
masyarakat.

Pemerintah menempatkan masyarakat sebagai stakeholder yang setara dengan sektor publik atau
sektor privat dalam perencanaan program pembangunan.

Lebih jauh, partisipasi dapat diartikulasikan sebagai paradigma baru mengenai pembangunan yang
memberikan kerangka terhadap gagasan bahwa warga mampu menolong dirinya sendiri. Mampu
menyatakan kebutuhannya dan dapat mencari jalan keluar. Mampu bertindak sebagai partisipan aktif,
bukan sekadar menerima hasil dari suatu proses.

Pemerintah telah menjalankan konsep yang hampir sama, yaitu dengan musyawarah rencana
pembangunan (musrekbang) sebagai bukti bahwa mereka telah melakukan penyerapan aspirasi kepada
masyarakat yang dilakukan dalam rangka pembuatan RAPBN atau RAPBD.

Ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan. Pertama, musrenbang adalah proses yang dilakukan
dengan inisiatif pemerintah/pemerintah daerah. Idealnya pihak lain yang bukan dari unsur pemeritah
dilibatkan. Musrenbang juga harus mengakomodir aspirasi dari berbagai sektor dan lapisan masyarakat.

Pemerintah membahas anggaran secara top down, sedangkan di Porto Alegre, pembahasan anggaran
dilakukan secara bottom up.

Dua konsep partisipasi politik warga di ruang publik menurut Cornwall, dapat dianalisis lebih jauh dalam
konteks menuju demokrasi popular yang dalam hal ini lebih spesifik mengenai proses penganggaran
yang partisipatif.

Untuk itu, perlu kerja sama seluruh elemen masyarakat demi terciptanya keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Sebagaimana tercantum dalam Pancasila, sila yang kelima.

Salah satu cara yang mungkin dilakukan sekarang adalah membuka ruang partisipasi yang luas kepada
seluruh warga negara.

Anggaran partisipatif sangat realistis dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.

*Politisi di Banjarmasin



http://desentralisasi.net/aktualita/membumikan-anggaran-partisipatif-antara-wacana-dan-
realitas_20100211
Membumikan Anggaran Partisipatif Antara Wacana dan Realitas

Oleh: M Arifiani

MEMBACA tulisan Haryanto SE yang dimuat Banjarmasin Post, Kamis 4 Februari 2010 merupakan
wacana awal yang perlu diapresiasi dengan baik. Terlebih lagi penulisnya adalah politisi di Banjarmasin
yang pernah menjadi anggota DPRD Provinsi Kalsel 2004-2009.

Kampanye anggaran partisipatif belakangan ini memang mengemuka mengingat pentingnya
keberpihakan anggaran terhadap kepentingan rakyat. Belanja anggaran dapat dipahami pula sebagai
bukti politik dari keberpihakan elite, karena pembuatan, pembahasan dan persetujuannya dilakukan
oleh eksekutif dan anggota legislatif.

Yang menjadi pertanyaan, apakah anggaran daerah atau APBD yang dibahas pemerintah baik provinsi
maupun kabupaten/kota selama ini sudah melaksanakan pengangaran yang melibatkan masyarakat
secara luas atau hanya sebatas pemerintah dan anggota dewan saja.

Apakah proses penganggaran APBD selama ini dilakukan secara transparan, bisa diakses masyarakat
secara luas atau hanya dirasakan segelintir elite saja.

Hal itu tentunya sangat penting, karena apabila proses penyusunan APBD hanya melibatkan elite
pemerintahan, tentu saja anggaran yang dibuat masih jauh dari anggaran yang partisipatif.

Dari sepuluh prinsip good government, terdapat elemen partisipasi yaitu, mendorong setiap warga
untuk menggunakan hak menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan yang
menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Partisipasi masyarakat itu tidak akan berjalan apabila pemerintah masih menutup diri. Kurang
transparan dalam menyediakan informasi dan menjamin kemudahan masyakarat dalam memperoleh
informasi yang akurat dan memadai terhadap proses pengangaran yang dilaksanakan.

Mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat melalui musrenbang yang diadakan di tingkat
pemerintahan paling rendah, yakni desa, diolah dalam forum Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di
tingkat kabupaten atau kota guna penentuan mata anggaran. Apakah sudah betul-betul melibatkan
semua elemen masyarakat, atau hanya kegiatan formal belaka.

Perencanaan angaran tidak bisa diakses masyarakat secara luas, tapi hanya berkutat pada kelompok
elite semata. Publik hanya terlibat dalam proses perencanaan yang dalam banyak kasus menunjukkan
tiadanya relasi yang sejalan antara perencanaan dengan pengeluaran.

Sudah saatnya pemerintah memiliki kriteria yang jelas dalam pelibatan partisipasi masyarakat. Sangatlah
naif, mengharapkan partisipasi masyarakat, jika hanya melibatkan segelintir masyarakat khususnya elite.
Perlu kearifan pemerintah untuk menyusun perencanaan agar partisipasi masyarakat bisa efektif untuk
kepentingan bersama.

Sejalan dengan proses demokratisasi, anggaran telah menjelma menjadi arena yang penting untuk
diperjuangkan kepentingan rakyat. Sehingga diperlukan gerakan sosial untuk melakukan advokasi di
ranah itu agar anggaran tidak hanya dianggap sebagai urusan elite yang berujung pada anggaran yang
tidak prorakyat dan partisipatif. Namun anggaran yang berpihak pada kekuasaan.

Pada APBD Kalimantan Selatan 2010, yang telah ditetapkan dan disetujui dewan sebesar Rp 2 triliun
lebih, tentunya sangatlah besar. Namun besarnya APBD itu apakah sudah memiliki kepatutan khususnya
dalam hal keadilan, apakah belanja aparatur lebih besar dari belanja publik atau sebaliknya.

Pada dasarnya masyarakat berhak untuk sejahtera, terlebih lagi dalam pelibatan perencanaan anggaran
yang prorakyat. Terlebih lagi masyarakat merupakan penyumbang utama sumber penerimaan dalam
APBD melalui pajak dan retribusi.

Teknis pelaksanaan anggaran yang partisipatif yang melibatkan masyarakat, tentunya dapat
menggunakan beberapa model atau melakukan kreasi dari berbagai model yang telah dikembangkan
oleh beberapa negara, seperti di Porto Alegre di Brasil dan Calcutta di India yang saat ini menjadi model
partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan pemerintahan perkotaan di negara berkembang.

Tentu saja, proses anggaran yang partisipatif perlu didukung oleh pemerintahan yang demokratis.
Sehingga partisipasi bukan hanya menjadi jargon pemerintah, sedangkan implementasi di lapangan
berjalan di tempat.

* Pengamat Sosial Politik Korwil ISCDIC Kalsel

Kamis, 11 Februari 2010 | 01:15 WITA

Das könnte Ihnen auch gefallen