Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
= ................(29)
dimana:
d =d
w
statistik,
n =jumlah observasi, dan
var () =varians koefisien regresi untuk lagged dependent variable.
Apabila h
hitung
lebih kecil dari nilai kritis h dari tabel distribusi normal, maka dalam
persamaan tidak mengalami serial korelasi.
Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1991), masalah serial korelasi hanya mengurangi
efisiensi pendugaan parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter
regresi.
4.7. Validasi Model
Untuk keperluan simulasi terlebih dahulu model divalidasi untuk mengetahui
apakah model sudah cukup baik atau belum. Untuk itu digunakan kriteria statistik Mean
Squares Error (MSE) dan U-Theil (Theils Inequality Coefficient) Penggunaan kriteria
104
statistik bertujuan untuk membandingkan nilai aktual dengan nilai dugaan peubah
endogen. Kriteria statistik dirumuskan sebagai berikut :
( )
( ) ( )
= =
=
+
=
n
t
a
t
n
t
s
t
n
t
a
t
s
t
Y
n
Y
n
Y Y
n
U
1
2
1
2
1
2
1 1
1
(30)
dimana:
s
t
Y = Nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi
a
t
Y = Nilai aktual variabel observasi
n = J umlah periode observasi.
Semakin kecil nilai U semakin baik modelnya, nilai U berkisar antara 0 dan 1.
4.8. Simulasi Kebijakan dan Faktor Eksternal
Desentralisasi fiskal memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk
berinovasi dan berkreasi dalam mengoptimalkan perannya sebagai pelaksana inisiator,
fasilitator dan regulator di daerah dalam fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi dalam
meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan. Simulasi kebijakan
dilakukan untuk mendapatkan alternatif-alternatif kebijakan yang dapat meningkatkan
ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan dalam konstek implementasi desentralisasi
fiskal, simulasi yang dilakukan adalah :
1. Peningkatan pajak dan retribusi daerah sebesar 35 persen, implementasi
desentralisasi fiskal membuat pemerintah daerah mempunyai kebebasan dalam
menggali potensi penerimaanya hal ini secara absolut telah menyebabkan kenaikan
105
penerimaan daerah dari sisi pajak daerah dan retribusi daerah. Berdasarkan data yang
ada selama desentralisasi fiskal secara rata-rata telah terjadi kenaikan sebesar 35
persen per tahun terhadap pajak dan retribusi daerah kabupaten di wilayah J awa
Barat.
2. Realokasi pengeluaran rutin sebesar 10 persen ke pengeluaran pembangunan. Masa
desentralisasi fiskal telah menyebabkan terjadinya kenaikan pengeluaran rutin yang
cukup signifikan, rata-rata kontribusi pengeluaran rutin kabupaten di J awa Barat
berkisar 80 persen sehingga pengeluaran pembangunan menjadi relatif kecil.
Dengan melakukan efisiensi pada pelaksanaan operasional pemerintahan maka dana
untuk pengeluaran rutin bisa dihemat sebesar 10 persen diharapkan tidak mengurangi
kualitas pelayanan publik, yang kemudian besaran dana tersebut dialokasikan pada
pengeluaran pembangunan.
3. Peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pertanian sebesar 20 persen, selama
implementasi desentralisasi fiskal kontribusi anggaran pembangunan mengalami
penurunan dan pengeluaran pembangunan sektor pertanian rata-rata masih dibawah 5
persen. Dalam persaingan penggunaan dengan sektor lain, peningkatan anggaran
sektor pertanian sebesar 20 persen diharapkan dapat meningkatkan produktivitas
pada sektor tersebut.
4. Peningkatan dana kesehatan dan pendidikan sebesar 20 persen, selama implementasi
desentralisasi fiskal telah terjadi penurunan kualitas pada pelayanan kesehatan dan
pendidikan masyarakat terutama bagi masyarakat golongan miskin. Peningkatan
dana kesehatan dan pendidikan sebesar 20 persen diharapkan bisa digunakan untuk
106
melakukan revitalisasi program-program kesehatan dan perbaikan pelayanan
pendidikan terutama bagi golongan penduduk miskin.
5. Peningkatan harga gabah sebesar 15 persen merupakan faktor eksternal adanya
kebijakan HPP dari pemerintah pusat maupun apabila ada kebijakan dari pemerintah
daerah yang bekerjasama dengan pemerintah pusat dalam upaya mengamankan HPP.
6. Peningkatan harga pupuk sebesar 15 persen, kebijakan ini dilakukan dalam rangka
untuk mengakomodir tuntutan yang berkembang yaitu semakin meningkatnya derajat
liberalisasi dan terbatasnya anggaran pembangunan sehingga muncul tuntutan untuk
menghapuskan segala bentuk subsidi, keterbatasan anggaran mengharuskan
penggunaan subsidi seselektif mungkin. Subsidi pupuk selama ini juga kurang
efektif mencapai sasaran, munculnya fenomena pupuk bersubsidi menghilang di
pasaran pada saat dibutuhkan petani sehingga harga pupuk bersubsidi menjadi mahal.
Simulasi peningkatan harga pupuk sebesar 15 persen adalah merupakan faktor
eksternal untuk memproksi kondisi penghapusan subsidi pupuk oleh pemerintah
pusat.
Selain dilakukan simulasi dengan kebijakan tunggal juga dilakukan simulasi
kebijakan ganda yang berfungsi untuk melihat dampak kebijakan secara simultan apabila
dilakukan secara bersamaan, yaitu terjadinya trade off antara satu kebijakan dengan
kebijakan yang lain.
V. GAMBARAN UMUM, KONDISI FISKAL, KEMISKINAN,
DAN KETAHANAN PANGAN DI JAWA BARAT
5.1. Kondisi Wilayah Provinsi Jawa Barat
J awa Barat merupakan provinsi yang dibentuk pertama kali di wilayah Indonesia
(staatblad Nomor : 378) berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 1950. Kemudian
pada tahun 2000 Banten melepaskan diri dari Provinsi J awa Barat dan resmi berdiri
menjadi Provinsi Banten dengan Undang-Undang No. 23 tahun 2000. Pada tahun 2001
J awa Barat terdiri dari 16 daerah kabupaten yaitu : Bogor, Bandung, Bekasi, Sukabumi,
Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Majalengka, Sumedang, Indramayu,
Subang, Purwakarta, Bekasi dan Karawang, dan terdiri 9 daerah kota yaitu : Bogor,
Bandung, Sukabumi, Cirebon, Depok, Bekasi, Tasikmalaya, Cimahi dan Banjar.
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi J awa Barat Nomor 1 Tahun 2001 tentang
Rencana Strategis Provinsi J awa Barat, Visi Provinsi J awa Barat adalah J awa Barat
dengan Iman dan Taqwa sebagai Provinsi Termaju di Indonesia dan Mitra Terdepan Ibu
Kota Negara Tahun 2010. Dengan visi pembangunan pangan Terciptanya sistem
ketahanan pangan yang andal dan bertumpu pada optimalisasi pemanfaatan potensi
produksi dan keragaman pangan nasional. Untuk mencapai visi tersebut dalam
pengelolaan pemerintahan perlu memiliki tekat yang kuat untuk mewujudkannya,
sehingga ditetapkan visi Akselerasi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Guna
Mendukung Pencapaian Visi J awa Barat 2010. Dalam rangka mewujudkan visi
akselerasi tersebut ditetapkan lima misi pemerintah Provinsi J awa Barat yaitu : (1)
meningkatkan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia J awa Barat, (2)
108
mengembangkan struktur perekonomian regional yang tangguh, (3) memantapkan
kinerja pemerintahan daerah, (4) meningkatkan implementasi pembangunan
berkelanjutan, dan (5) meningkatkan kualitas kehidupan sosial yang berdasarkan agama
dan budaya daerah.
Berbagai upaya akan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk menuju
pencapaian target indikator makro pembangunan, upaya tersebut antara lain melalui
pengembangan enam core busines J awa Barat yaitu : (1) pengembangan sumber daya
manusia, (2) agribisnis, (3) bisnis kelautan, (4) pariwisata, (5) industri manufaktur, dan
(6) jasa yang didukung oleh penataan ruang yang mantap dan tersedianya infrastruktur
yang memadai. Keberhasilan dalam mendorong core businis ini, pada gilirannya
diharapkan dapat menjadi pendorong dalam proses pembangunan dalam rangka
akselerasi peningkatan kesejahteraan masyarakat J awa Barat tahun 2010.
Untuk mewujudkan sinergitas dan akselerasi pencapaian prioritas
pembangunan, telah dirumuskan tujuan bersama (common goal) yang menjadi komitmen
semua pihak serta pelibatan secara aktif lintas SKPD dan para pelaku pembangunan
dalam pelaksanaannya. Berdasarkan hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Provinsi J awa Barat ditetapkan delapan tujuan bersama (common goal ) sebagai berikut
: (1) peningkatan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia, (2) ketahanan pangan,
(3) peningkatan daya beli masyarakat, (4) peningkatan kinerja aparatur, (5) penanganan
pengelolaan bencana, (6) pengendalian dan pemulihan kualitas lingkungan, (7)
pengelolaan, pengembangan dan pengendalian infrastruktur, dan (8) kemandirian energi
dan kecukupan air baku. Untuk mewujudkan tujuan bersama tersebut dilaksanakan
109
prioritas pembangunan daerah beserta fokus-fokus yang harus dilaksanakan pada
masing- masing prioritas.
Provinsi J awa Barat secara geografis terletak diantara
5
o
50
- 70
o
50 LS dan
104
o
48 108 48 BT. Luas wilayah J awa Barat 44 354.61 Km
2
atau 4 435 461 Ha.
Lahan di J awa Barat cukup subur karena mengandung endapan vulkanis serta banyaknya
aliran sungai, sehingga tidak mengherankan jika sebagian besar digunakan sebagai lahan
pertanian dan J awa Barat ditetapkan sebagai lumbung pangan nasional. (BPS, 2005).
Tabel 4 menunjukkan struktur penggunaan lahan di J awa Barat.
Tabel 4. Struktur Penggunaan Lahan di J awa Barat Tahun 2005
Penggunaan Lahan Luas ( Ha ) Persentase ( % )
Hutan Primer 321 377 .68 8.66
Hutan Sekunder 269 885 .68 7.27
Kawasan Industri 15 825 .21 0.43
Kawasan Pertambangan 3 350 .92 0.09
Kebun Campuran 849 294 .72 22.89
Tegalan 368 265 .51 9.93
Padang Ilalang 128 207 .61 3.46
Perkebunan 646 100.43 17.41
Pemukiman 178 329 .75 4.81
Sawah 752 130.90 20.27
Semak 53 244.10 1.44
Sungai, waduk dll 54 932.49 1.48
Tambak 51 525.09 1.39
Tanah Kosong 17 591.20 0.47
J umlah 3 710 061.29 100
Sumber : Bapeda Provinsi J awa Barat, 2005.
110
Dengan kondisi topografis pegunungan pada bagian selatan dan pedataran pada
bagian utara, sekitar 20.2 persen luas wilayahnya terdiri dari sawah, sekitar 40 persen
perkebunan dan kebun campuran, 15 persen hutan, 4.81 persen pemukiman dan
penggunaan lahan lainnya. Hal ini akan mempengaruhi pembentukan dan aksesibilitas
berbagai sarana prasarana di J awa Barat. Pada daerah-daerah selatan yang bergunung,
aksesibilitas relatif memiliki kendala alam lebih besar daripada daerah utara yang berupa
dataran dan sebagian besar wilayahnya berupa lahan persawahan beririgasi teknis.
Sumber air untuk pengairan di J awa Barat terdiri dari sungai, situ, waduk yang
jumlahnya cukup banyak untuk mengairi lahan persawahan di J awa Barat. Potensi
sumber daya air yang cukup baik di J awa Barat menjadi faktor pendukung yang penting
dalam mewujudkan Provinsi J awa Barat sebagai lumbung pangan terbesar di Indonesia.
Data sumber air dan areal beririgasi di J awa Barat selengkapnya tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5. Potensi Sumber Daya Air di Wilayah Provinsi J awa Barat Tahun 2007
Uraian Kuantitas Satuan (Persen)
Sungai 3 048 Buah 100.00
Sungai Lintas 1 878 Buah 61.61
Sungai Lintas Provinsi 4 Buah 0.13
Sungai Lintas Kabupaten/ Kota 1 874 Buah 61.48
Sungai Lokal Kabupaten 1 170 Buah 38.39
Situ 53 Buah
Waduk 20 Buah
Areal Irigasi 1 086 908 Ha 100.00
Irigasi Kewenangan Pusat 407 168 Ha 37.50
Irigasi Kewenangan Provinsi 85 730 Ha 7.90
Irigasi Kewenangan Kabupaten/ Kota 97 339 Ha 9.00
Irigasi Desa 382 691 Ha 33.10
Sawah Tadah Hujan 113 980 Ha 10.50
Sumber : PSDA J awa Barat, 2007.
111
5.2. Kondisi Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten /Kota di Provinsi Jawa Barat
Desentralisasi fiskal membawa perubahan pada struktur penerimaan pemerintah
daerah baik yang berasal dari pendapatan asli daerah maupun transfer dana dari
pemerintah pusat, pengelolaan sumber-sumber penerimaan dan pengeluaraan pemerintah
daerah, dan juga terhadap hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Penerimaan
dan pengeluaran daerah kabupaten/ kota di J awa Barat selama implementasi
desentralisasi fiskal mengalami peningkatan yang signifikan. Pada Tabel 6 ditunjukkan
keragaan rata-rata per tahun penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah kabupaten/
kota seluruh J awa Barat kondisi sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal.
Penerimaan daerah setelah desentralisasi fiskal mengalami peningkatan yang cukup
signifikan, jika sebelum desentralisasi penerimaan daerah secara riil di J awa Barat rata-
rata per tahun sebesar 575.10 milyar rupiah maka setelah desentralisasi fiskal meningkat
menjadi 3 544.54 milyar rupiah. Peningkatan penerimaan pemerintah daerah ini
disebabkan peningkatan semua komponen penerimaan daerah baik dari PAD, bagi hasil
maupun dana transfer dari pusat.
Kebijakan desentralisasi fiskal yang memberi kewenangan daerah untuk menggali
potensi pajak dengan mengeluarkan perda terhadap beberapa jenis pajak dan retribusi
daerah memungkinkan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan melalui
ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dan retribusi daerah, sehingga penerimaan daerah
dari pos pajak daerah dan retribusi daerah meningkat. Namun kenaikan tersebut apabila
dilihat secara proporsional dengan seluruh kenaikan penerimaan daerah, proporsi dari
penerimaan pajak dan retribusi daerah justru semakin menurun hal ini karena adanya
peningkatan penerimaan dari pos DAU yang relatif besar proporsinya. Sehingga PAD
112
walaupun secara absolut meningkat tetapi proporsinya juga menurun yaitu apabila
sebelum desentralisasi fiskal kontribusinya sebesar 18.78 persen terhadap penerimaan
daerah menurun menjadi 10.11 persen pada masa desentralisasi fiskal, pajak dan
retribusi daerah turun dari 6.96 persen dan 9.76 persen menjadi 4.15 persen dan 4.17
persen.
Tabel 6. Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota
Rata-rata Per Tahun di J awa Barat Tahun 1995 - 2005 (Tahun Dasar 1993)
(Milyar rupiah)
Uraian Sebelum Desentralisasi
Fiskal (1995 2000)
Sesudah Desentralisasi
Fiskal (2001 -2005)
Pendapatan Asli Daerah
Pajak Daerah
Retribusi Daerah
Laba BUMD
PAD Lainnya
Dana Perimbangan
Bagi Hasil
Bagi Hasil Pajak
Bagi Hasil SDA
DAU & DAK
Pinjaman Daerah
Sisa Anggaran
Pendapatan Lain
Total Pendapatan Daerah
Pengeluaran Rutin
Pengeluaran Pembangunan
Sektor Pertanian & Irigasi
Sektor Pertanian
Sektor Irigasi
Sektor Industri
Sektor Infrastruktur
Sektor Pelayanan Umum
Sektor Lainnya
Total Pengeluaran Daerah
108.03 (18.78)
40.05 ( 6.96)
56.11 ( 9.76)
2.21 ( 0.38)
17.98 ( 3.13)
426.41 (74.15)
91.89 (15.98)
39.40 (13.81)
12.49 ( 2.17)
334.52 (58.17)
3.32 ( 0.58)
21.57 (03.75)
7.48 (01.30)
575.10 ( 100 )
416.74 (64.37)
230.67 (35.62)
11.56 ( 1.74)
7.37 ( 1.14)
4.19 ( 0.65)
1.11 ( 0.17)
121.98 (16.84)
56.84 ( 8.78)
39.18 ( 6.05)
647.46 ( 100 )
358.26 ( 10.11)
146.96 ( 4.15)
147.85 ( 4.17)
6.22 ( 0. 20)
55.99 ( 1.58)
2 859.45 (80. 67)
462.83 (13.06)
388.86 (10.97)
73.98 ( 2.09)
2 396.62 (67.61)
15.61 ( 0.44)
154.94 ( 4.37)
156.30 ( 4.41)
3 544.54 ( 100 )
2 671.15 (76.87)
803.67 (23.13)
57.54 ( 1.66)
25.25 ( 0.73)
32.29 ( 0.93)
3.74 ( 0.11)
315.97 ( 9.08)
278.60 ( 8.02)
147.82 ( 4.25)
3 474.82 (100 )
Sumber : Statistik Keuangan Daerah Kabupaten/ Kota, berbagai tahun terbitan.
Angka di dalam ( ) merupakan persentase.
113
Komponen bagi hasil pajak dan sumber daya alam juga meningkat secara signifikan
yang disebabkan oleh peningkatan porsi bagi hasil pajak dan sumberdaya yang diberikan
kepada daerah seperti pajak bumi bangunan, pengelolaan sumberdaya hutan, tambang
dan perikanan sebagaimana diatur dalam UU No 25 Tahun 1999 dan UU No 33 Tahun
2004, namun secara relatif sharenya terhadap penerimaan daerah menurun dari 15.98
persen sebelum desentralisasi fiskal menjadi 13.06 persen setelah desentralisasi fiskal.
Komponen dana transfer dari pemerintah pusat yang berupa dana Subsidi Daerah
Otonom (SDO) pada masa sebelum desentralisasi fiskal dan Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) setelah desentralisasi fiskal mengalami
peningkatan sangat besar, bahkan merupakan komponen yang peningkatannya paling
besar. Apabila sebelum desentralisasi fiskal sebesar 334.52 milyar rupiah dengan share
terhadap penerimaan sebesar 58.17 persen maka meningkat menjadi 2 396.62 milyar
rupiah dengan share sebesar 67.61 persen. Tingginya dana tranfer dari pemerintah pusat
ini karena besarnya pengeluaran yang dibutuhkan untuk membiayai pembelanjaan
pemerintah daerah dan kondisi ini menunjukkan tingkat ketergantungan keuangan
pemerintah daerah sebagai sumber pembiayaan terhadap pemerintah pusat. Desentralisasi
fiskal yang diharapkan menumbuhkan kemandirian daerah dalam menggali dan
mengelola keuangannya tetapi justru menimbulkan ketergantungan terhadap pusat.
Sebagai masa transisi mungkin masih bisa dibenarkan, namun dengan berjalannya waktu
diharapkan pemerintah daerah akan semakin pandai dalam menggali potensi penerimaan
daerah dengan melibatkan masyarakat dan pihak swasta sehingga akan semakin mandiri
dan ketergantungan dengan pemerintah pusat bisa semakin dikurangi.
114
Desentralisasi fiskal membawa perubahan yang besar terhadap pengeluaran daerah,
yaitu apabila sebelum desentralisasi fiskal pengeluaran sebesar 647.46 milyar rupiah
maka meningkat manjadi 3 474.82 milyar rupiah. Komponen pengeluaran mengalami
peningkatan pada semua sektor, namun yang paling besar terjadi pada komponen
pengeluaran rutin yaitu apabila sebelum desentralisasi fiskal sebesar 416.79 milyar rupiah
dengan share sebesar 64.37 persen maka meningkat menjadi 2 671.15 milyar rupiah
dengan nilai share sebesar 76.87 persen. Tingginya pengeluaran rutin setelah
desentralisasi fiskal karena terjadinya peningkatan yang cukup signifikan terhadap
jumlah pegawai pusat yang didaerahkan pada masa awal desentralisasi juga adanya
peningkatan terhadap pengeluaran sehubungan penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah, perencanaan dan evaluasi pembangunan di daerah.
Pengeluaran pembangunan secara absolut mengalami peningkatan yaitu dari
230.67 milyar rupiah sebelum desentralisasi menjadi 803.67 milyar rupiah setelah
desentralisasi, namun sharenya mengalami penurunan dari 35.62 persen menjadi 23.13
persen. Turunnya proporsi dana pembangunan dalam pengeluaran daerah membawa
konsekuensi pada penurunan proporsi pengeluaran sektoral. Pengeluaran pembangunan
sektor pertanian pada masa sebelum desentralisasi sebesar 1.14 persen terhadap total
pengeluaran. Pada masa desentralisasi fiskal pengeluaran pembangunan sektor pertanian
sebesar 0.73 persen dari total pengeluaran walaupun secara absolut meningkat dari 7.37
milyar menjadi 25.25 milyar rupiah.
Kapasitas fiskal adalah kemampuan daerah dalam membiayai pengeluarannya
dengan sumber pembiayaan yang diperoleh dari pendapatan daerah tanpa bantuan dari
pemerintah pusat. Kapasitas fiskal merupakan penjumlahan dari PAD dan dana bagi hasil
115
dari sumber daya alam dan pajak, dan idealnya semua pengeluaran daerah mampu
dibiayai oleh kapasitas fiskal daerah. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal kapasitas
fiskal di J awa Barat sebesar 0.35 artinya kemampuan keuangan daerah dari PAD dan
Bagi Hasil besarnya hanya sebesar 35 persen untuk dapat membiayai pengeluaran yang
dibutuhkan daerah. Sedang pada masa desentralisasi fiskal kapasitas fiskal malah
menurun menjadi 0.23. Kondisi ini mencerminkan terjadinya penurunan kemandirian
keuangan daerah yang semakin besar pada pelaksanaan desentralisasi fiskal. DAU
keberadaannya diperlukan sebagai penyeimbang bagi daerah yang kaya dengan daerah
yang miskin.
5.3. Kondisi Perekonomian Provinsi Jawa Barat
Kontribusi ekonomi J awa Barat terhadap perekonomian nasional rata-rata selama
tahun 2001 2005, adalah 13.8 persen. Kontribusi ini lebih besar bila dibandingkan
dengan provinsi lainnya. Sebelum masa krisis moneter dan sebelum pembentukan
Provinsi Banten, peran ekonomi J awa Barat dalam perekonomian nasional jauh lebih
besar.Tingkat pertumbuhan ekonomi J awa Barat selalu lebih tinggi daripada
perekonomian nasional. Artinya J awa Barat telah menjadi salah satu sumber
pertumbuhan ekonomi nasional yang dominan. Namun pada saat terjadi krisis moneter,
perekonomian J awa Barat mengalami tingkat kemunduran yang sangat besar, yaitu lebih
besar daripada penurunan perekonomian nasional. Setelah masa krisis moneter berlalu,
pemulihan ekonomi J awa Barat relatif lambat. Dari tahun 2001- 2005 pada masa
implementasi desentralisasi fiskal ekonomi J awa Barat mengalami pertumbuhan namun
tingkat pertumbuhannya lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi nasional, dan
116
karena mengalami akselerasi relatif lebih baik sehingga pada tahun 2006 laju
pertumbuhan ekonomi J awa Barat mulai ada di atas laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Pada tahun 2006 laju pertumbuhan ekonomi J awa Barat mencapai 6.02 persen,
sedangkan ekonomi nasional sebesar 5.40 persen dan pada tahun 2007 pertumbuhan
ekonomi J awa Barat sebesar 6.41 persen sedang laju pertumbuhan ekonomi nasional
sebesar 5.25 persen.
0
1
2
3
4
5
6
7
2001 2003 2005 2007
Laj u
Pertumbuhan
Ekonomi Jabar
Laj u
Pertumbuhan
Ekonomi
Nasi onal
Gambar 8. Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi J abar dan Nasional
pada Masa Desentralisasi Fiskal Tahun 2001-2007 (%)
Transformasi ekonomi nasional yang terjadi sejak tahun 80-an hingga tahun 2000-
an telah membawa konsekuensi pada rendahnya pertumbuhan sektor pertanian di J awa
Barat. Pertumbuhan sektor industri, sektor-sektor utilitas dan jasa sedemikian pesat
sehingga jauh meninggalkan sektor pertanian. Sampai dengan tahun 2005, sektor industri
pengolahan memberikan kontribusi sekitar 43.2 persen dari seluruh ekonomi J awa Barat,
117
disusul sektor jasa penunjang seperti sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 19.6
persen. Sektor pertanian hanya memberikan kontribusi sekitar 14.4 persen. Berikut tersaji
Perkembangan dan Struktur PDRB di J awa Barat.
Tabel 7. Perkembangan dan Struktur PDRB Provinsi J awa Barat Tahun
2001 - 2005 Harga Konstan Tahun 2000
(dalam Trilyun Rupiah)
Struktur PDRB 2001 2002 2003 2004 2005
1. Pertanian 31.88
E32.40
34.46 34.73 34.94
1.1. Pangan 23.54 23.69 24.85 25.49 25.28
1.2. Perkebunan 1.82 1.85 1.95 1.90 2.03
1.3. Peternakan 4.20 4.49 5.12 5.28 5.22
1.4. Kehutanan 0.52 0.59 0.77 0.44 0.48
1.5. Perikanan 1.80 1.78 1.77 1.82 1.71
2. Penggalian dan Pertambangan 8.95 8.23 7.71 7.20 7.02
3. Industri Pengolahan 91.76 93.93 96.98 105.33 114.30
3.1. Industri Pengolahan Migas 2.63 2.61 2.61 2.30 2.32
3.2. Industri Pengolahan Non Migas 90.13 91.32 94.37 103.04 111.98
4.Listrik, Gas dan Air Bersih 4.52 4.92 5.34 5.65 5.76
5.Bangunan / Kontruksi 5.14 5.98 6.60 7.78 8.11
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 41.72 42.76 45.53 47.26 50.61
7. Perhubungan dan Telekomunikasi 9.03 9.38 10.31 10.33 11.14
8.Keuangan, Persewaan dan J asa
Perusahaan
6.43 6.97 7.25 7.72 7.67
9.J asa-jasa 14.36 14.94 15.84 16.82 18.20
PDRB 213.79 219.53 230.00 242.94 257.54
Sumber : PDRB J awa Barat (BPS), 2005.
Tingginya kontribusi sektor industri pengolahan selama ini relatif kurang
memiliki kaitan kuat dengan perkembangan sektor pertanian. Dalam jangka pendek
kondisi ini dapat dimaklumi untuk mempercepat peningkatan pendapatan untuk
118
selanjutnya membuka peluang usaha masyarakat di J awa Barat. Namun demikian
perhatian terhadap perkembangan sektor pertanian dalam jangka panjang patut mendapat
perhatian serius untuk dapat dikaitkan dengan pengembangan sektor industri. Sektor
pertanian di J awa Barat didominasi oleh subsektor tanaman pangan yang berkontribusi
lebih dari 70 persen dalam perolehan PDRB sektor pertanian di J awa Barat. Pertumbuhan
dan kontribusi sektor perekonomian J awa Barat tersaji pada Tabel 8.
Tabel 8. Rata-rata Pertumbuhan dan Kontribusi Sektor Ekonomi J awa Barat Tahun
2001-2005
( %)
Sektor Perekonomian Kontribusi Pertumbuhan
1. Pertanian 14.40 2.38
1.1. Pangan 10.48 2.21
1.2. Perkebunan 0.81 3.26
1.3. Peternakan 2.12 5.35
1.4. Kehutanan 0.24 0.99
1.5. Perikanan 0.75 1.24
2. Penggalian dan Pertambangan 3.20 5.16
3. Industri Pengolahan 43.17 6.79
4.Listrik, Gas dan Air Bersih 2.28 5.42
5.Bangunan / Kontruksi 2.29 10.81
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 19.59 5.79
7. Perhubungan dan Telekomunikasi 4.33 5.99
8.Keuangan, Persewaan dan J asa Perusahaan 3.12 3.31
9.J asa-jasa 6.92 6.30
PDRB 100.00 5.47
Sumber : Badan Pusat Statistik J awa Barat, 2005.
119
Sektor industri pengolahan, sektor utilitas dan sektor jasa di J awa Barat pada
umumnya tumbuh cepat di atas rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE). Kondisi ini
terkait dengan pertumbuhan ekonomi J awa Barat dan struktur kota yang semakin kuat.
Sektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi adalah sektor bangunan sebesar
10.81persen, sektor jasa-jasa 6.8 persen, dan sektor industri pengolahan 6.79 persen.
Sektor konstruksi berkembang sebagai respon terhadap peningkatan jumlah penduduk
yang membutuhkan tempat tinggal dan respon terhadap perkembangan kegiatan ekonomi.
Sektor pertanian tumbuh relatif lambat (di bawah LPE), yaitu sekitar 2.38 persen per
tahun, sub sektor pangan yang berkontribusi terbesar pada sektor pertanian di J awa Barat
tumbuh lebih lambat dibanding sektor pertanian. Melambatnya pertumbuhan sektor
pangan salah satunya disebabkan adanya perlambatan pada laju peningkatan produksi
padi (levelling off) yang merupakan komponen pangan utama di J awa Barat. Hal ini
patut mendapat perhatian dari Pemerintah J awa Barat untuk perencanaan pembangunan
ke depan, diharapkan tingginya kontribusi dan pertumbuhan dari sektor industri
pengolahan di J awa Barat mempunyai kaitan kuat dengan perkembangan sektor pertanian
juga subsektor pangan hal ini sesuai dengan potensi wilayah yang dimiliki oleh J awa
Barat. Pengembangan industri di J awa Barat diharapkan dapat memacu pengembangan
sektor pertanian dan subsektor pangan melalui penggunaanya dalam bahan baku.
Studi empirik Bank Dunia dalam World Development Report menyebutkan bahwa
perkembangan sektor industri yang berhasil sejalan dengan keberhasilan dalam
pertumbuhan yang sustainable dan perbaikan produktivitas sektor pertanian. Pengalaman
historis negara-negara industri menunjukkan pertumbuhan berkelanjutan akan terjadi jika
ditunjang dengan pertumbuhan sektor pertanian yang memadai.
120
Sub-sektor pertanian yang tumbuh besar adalah sub-sektor peternakan sebesar
5.36 persen dan sub-sektor perkebunan tumbuh sekitar 3.26 persen. Sektor pertambangan
dan penggalian di J awa Barat mengalami penurunan yang relatif tajam, yaitu rata-rata -
5.16 persen. Sub-sektor perikanan turun sekitar -1.24 persen.
Sektor pertanian walaupun kontribusi dalam perekonomian J awa Barat hanya
14.40 persen karena pertumbuhannya yang relatif lambat, namun sektor ini menampung
tenaga kerja yang cukup besar. Tahun 2001 2005 pada masa implementasi
desentralisasi fiskal sektor pertanian sanggup menampung tenaga kerja sebesar 4 856
ribu jiwa atau sebesar 33.72 persen dari total tenaga kerja. Sementara sektor industri
yang kontribusi dalam perekonomian sebesar 43.17 persen hanya menampung tenaga
kerja sebesar 2 834 ribu jiwa atau 19.68 persen dari total penyerapan tenaga kerja.
Tingginya beban penyerapan tenaga kerja dengan kontribusi pada perekonomian yang
semakin kecil karena semakin kecilnya laju pertumbuhan pada sektor pertanian,
menyebabkan pada sektor pertanian terjadi penurunan produktitivitas per tenaga kerja
atau penurunan pada kesejahteraan petani. Peningkatan penyerapan tenaga kerja pada
sektor pertanian yang tidak proporsional dengan peningkatan PDRB, selain dipengaruhi
oleh proses perubahan struktural ekonomi yang tidak seimbang juga karena sektor
pertanian berfungsi sebagai employment of last resort dimana sektor pertanian akan
menyerap tenaga kerja seiring dengan adanya peningkatan angkatan kerja namun
angkatan kerja yang masuk pada sektor pertanian adalah yang menjadikan sektor
pertanian sebagai pilihan terakhir. Sehingga tenaga kerja pada sektor pertanian
kualitasnya relatif lebih rendah dari sektor lain dan menghasilkan produktivitas yang
relatif lebih rendah dan pada sektor pertanian ditemukan banyaknya pengangguran tidak
121
kentara. Hal ini menyebabkan banyaknya kemiskinan terdapat pada sektor pertanian.
Menurut data BPS sebagian besar penduduk miskin berada di perdesaan yang
menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Penduduk di sektor pertanian
menempati proporsi 55 persen dari total penduduk miskin dan diketahui 75 persen
diantaranya pada subsektor tanaman pangan. J umlah tenaga kerja berdasarkan sektor
perekonomian tersaji pada Tabel 9 dibawah ini.
Tabel 9. J umlah Tenaga Kerja Menurut Sektor Perekonomian Kabupaten/ Kota di
Provinsi J awa Barat, Tahun 2001 2005
Sektor Perekonomian J umlah Tenaga Kerja ( Ribu J iwa) Persentase (%)
Pertanian 4 856 33.72
Industri 2 834 19.68
J asa 6 332 43.97
Sektor Lainnya 879 6.10
Total Tenaga Kerja 14 402 100.00
Sumber : Statistik Tenaga Kerja Provinsi J awa Barat, Tahun 2001 2005.
5.4. Kemiskinan di Wilayah Provinsi Jawa Barat
Dilihat dari persebaran penduduk miskin menunjukkan bahwa sekitar 20.48 juta
orang atau sekitar 56.67 persen terdapat di pulau J awa, dan sebagian besar berada di
daerah perdesaan. Dari fenomena ini menunjukkan bahwa Pulau J awa menanggung
beban yang sangat berat dalam memenuhi kesejahteraan penduduknya, terlebih bila
dikaitkan dengan kondisi lahan pertanian di Pulau J awa yang semakin menipis akibat
pertambahan penduduk yang relatif tinggi dan meningkatnya konversi lahan pertanian
untuk kepentingan perumahan dan industri. Konversi lahan pertanian terus meningkat
dari sebesar 85 500 hektar per tahun pada tahun 1981 1999, menjadi 141 286 hektar
per tahun pada tahun 1999 2002. Kondisi ini telah menyebabkan meningkatnya jumlah
122
petani gurem yaitu petani yang menguasai lahan rata-rata 0.25 hektar. Pada saat ini
diperkirakan jumlah rumah tangga petani gurem sudah mencapai 75 persen dari total
rumah tangga petani di J awa, padahal pada tahun 1993 masih 70 persen ( BPS, 2005).
Tabel 10. J umlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 2004
Provinsi
J umlah Penduduk Miskin
(Ribu jiwa)
Kota Desa Total
Tingkat Kemiskinan
( % )
Kota Desa Total
Nangroe Aceh Darusalam
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
J ambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
DKI J akarta
J awa Barat
J awa Tengah
DKI J ogjakara
J awa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Maluku
Maluku Utara
Papua
Indonesia
98.40 958.80 1157.20
633.40 1166.70 1800.10
167.80 304.60 472.40
160.50 583.90 744.40
130.80 194.30 325.10
455.10 924.20 1379.30
112.80 232.30 345.10
317.30 1244.40 1561.70
33.00 58.80 91.80
277.10 - 277.10
2243.20 2411.00 4654.20
2346.50 4497.30 6843.80
301.40 314.80 616.20
2230.60 5081.90 7312.50
279.90 499.30 779.20
87.00 144.90 231.90
492.50 539.10 1031.60
122.70 1029.40 1152.10
143.80 414.40 558.20
33.00 161.10 194.10
63.50 167.50 231.00
84.30 233.90 318.20
35.90 156.30 192.20
70.50 415.80 486.30
152.20 1089.30 1241.50
38.00 380.40 418.40
43.70 215.40 259. 10
41.10 356.50 397 .60
23.00 83.90 107.80
49.10 917.70 966.80
11 369.00 24 777.90 36 146.90
17.58 32.66 28.47
12.02 17.19 14.93
12.28 9.67 10.46
6.44 18.36 13.12
17.34 10.46 12.45
20.13 21.33 20.92
25.43 21.16 22.39
20.17 22.81 22.22
7.73 10.06 9.07
3.18 - 3.18
11.21 13.08 12.10
17.52 23.64 21.11
15.96 23.65 19.14
14.62 24.02 20.08
5.69 11.99 8.58
5.05 8.71 6.85
32.66 21.09 25.38
18.11 29.77 27.66
13.29 14.15 13.91
6.13 12.20 10.44
5.28 8.33 7.19
5.63 18.68 11.57
4.37 11.76 8.94
15.33 23.33 21.69
6.11 18.65 14.90
9.21 25.39 21.90
18.63 32.70 29.01
11.99 39.86 32.13
10.50 13.10 12.42
7.71 49.28 38.69
12.13 20.11 16.66
Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan, BPS, Tahun 2004.
123
Namun berdasarkan tingkat kemiskinan maka provinsi yang mempunyai tingkat
kemiskinan tertinggi terdapat di luar J awa yaitu Provinsi Papua, Maluku, Gorontalo,
NAD, NTT, NTB. Tingkat kemiskinan dari enam provinsi diatas jauh diatas tingkat
kemiskinan Indonesia dengan jumlah penduduk yang hanya sebesar 4.97 juta jiwa .
Sementara pulau J awa yang memiliki luas kurang dari 10 persen wilayah Indonesia harus
menampung penduduk miskin 20.48 juta jiwa penduduk miskin atau 56.67 persen dari
total penduduk di Indonesia. J awa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk
miskin terbesar ketiga di Indonesia setelah J awa Timur dan J awa Tengah. Namun apabila
dilihat dari tingkat kemiskinan J awa Barat memiliki tingkat kemiskinan di bawah tingkat
kemiskinan rata-rata nasional, bahkan merupakan provinsi ketiga di Pulau J awa yang
mempunyai tingkat kemiskinan terendah setelah DKI J akarta dan Banten.
Tingkat kemiskinan di J awa Barat dari tahun ke tahun mengalami penurunan yang
berfluktuatif seiring dengan terjadinya penurunan kemiskinan di Indonesia. Pada waktu
terjadi krisis kemiskinan meningkat tajam baik Indonesia maupun J awa Barat kemudian
menurun kembali dengan penurunan yang relatif kecil. Tingkat kemiskinan di J awa
Barat selalu berada di bawah tingkat kemiskinan Indonesia. Gambar 9 disajikan
perbandingan perkembangan tingkat kemiskinan di J awa Barat dan di Indonesia.
Persebaran penduduk miskin di wilayah Provinsi J awa Barat tidak merata, daerah
kabupaten jumlah penduduk miskin relatif lebih besar dibanding daerah kota. Daerah
yang mempunyai struktur ekonomi berbasis pertanian jumlah penduduk miskin relatif
lebih besar dibanding dengan daerah yang mempunyai struktur ekonomi berbasis
industri dan perdagangan.
124
Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan BPS, 2005.
Gambar 9. Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Indonesia
dan Jawa Barat ( % )
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Persentase
Penduduk
Mi ski n
Indonesi a
Persentase
Penduduk
Mi ski n
Jabar
Kabupaten Cianjur, Indramayu, Kuningan, Majalengka yang dikenal sebagai
sentra penghasil beras di J awa Barat menunjukkan tingkat kemiskinan yang relatif
tinggi dengan laju pengurangan kemiskinan yang relatif lambat. Hal ini perlu mendapat
perhatian bagi pemerintah bagaimana petani-petani di daerah sentra beras, dimana
komodiiti beras telah mengalami levelling off pada peningkatan produksinya bisa
meningkat produktivitasnya. Peningkatan produktivitas petani beras bisa dilakukan selain
melalui peningkatan produktivitas tanaman padi juga perlu diupayakan sumber-sumber
pertumbuhan baru dari sektor tanaman pangan selain padi dan subsektor lain seperti
peternakan dan perikanan melalui usahatani terpadu. Selain itu juga perlu diupayakan
terciptanya nilai tambah bagi petani pada tingkat off farm activities dengan melakukan
kegiatan agribisnis maupun agroindustri pangan. Kota Bekasi, Depok dan Bandung yang
dikenal sebagai daerah industri dan perdagangan menunjukkan tingkat kemiskinan paling
125
kecil di J awa Barat. Berikut disajikan perkembangan dan persebaran jumlah penduduk
miskin di kabupaten/ kota di Wilayah Provinsi J awa Barat.
Tabel 11. Perkembangan dan Keragaan Persentase Penduduk Miskin
menurut Kabupaten / Kota di J awa Barat Tahun 2003 2005
( % )
No
Kabupaten/ Kota PendudukMiskin
Tahun 2003
Penduduk Miskin
Tahun 2004
Penduduk Miskin
Tahun 2005
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Kab. Bogor
Kab. Sukabumi
Kab. Cianjur
Kab. Bandung
Kab. Garut
Kab. Tasikmalaya
Kab.Ciamis
Kab. Kuningan
Kab. Cirebon
Kab. Majalengka
Kab. Sumedang
Kab. Indramayu
Kab. Subang
Kab. Purwakarta
Kab. Karawang
Kab. Bekasi
Kota Bogor
Kota Sukabumi
Kota Bandung
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota Depok
J awa Barat
12.54
17.03
18.49
12.53
15.40
16.21
16.22
20.36
19.64
18.89
14.40
18.65
16.59
13.99
14.55
6.61
7.34
8.29
3.51
9.00
3.66
5.62
13.16
12.56
16.32
19.05
12.78
15.48
17.99
15.18
19.50
17.33
17.66
12.82
17.46
16.07
13.09
13.60
6.86
8.22
7.67
3.95
7.76
3.15
4.96
12.70
11.94
14.70
17.36
11.84
15.37
16.14
14.73
18.95
16.59
17.42
11.74
16.49
14.67
12.60
13.28
6.35
7.85
6.16
3.38
7.52
3.04
4.84
12.10
Sumber : BPS J awa Barat, 2005.
Laju pengurangan kemiskinan di J awa Barat berjalan sangat lambat pada masa
implementasi desentralisasi fiskal. Apabila dicermati pada masing- masing kabupaten/
kota di J awa Barat penurunan kemiskinan berjalan sangat fluktuatif yaitu ada yang
126
tingkat kemiskinannya naik kemudian turun namun secara rata-rata berkecenderungan
menurun.
5.5. Kinerja Ketahanan Pangan di Wilayah Propinsi Jawa Barat
Ketahanan pangan adalah keterjaminan akses terhadap kecukupan pangan
sepanjang waktu agar dapat melakukan aktifitas dan hidup sehat. Sedang kerawanan
pangan merupakan kondisi suatu daerah, masyarakat atau rumah tangga yang tingkat
ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan
fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian masyarakat. Ada beberapa aspek
yang menyebabkan terjadinya kerawanan pangan yaitu : (1) aspek produksi, (2) aspek
distribusi, dan (3) aspek konsumsi. Melalui aksesibilitas terhadap pangan akan menjadi
penentu tercapainya konsumsi pangan dan selanjutnya akan mempengaruhi status gizi
masyarakat yang merupakan faktor determinan terhadap derajat kesehatan masyarakat
yang dicerminkan pada ukuran umur harapan hidup.
Ketahanan pangan merupakan satu dari delapan common goals Provinsi J awa
Barat yang pada tahun 2007 difokuskan pada ketahanan pangan fokus beras melalui
sinergitas lintas SKPD, dimana tujuan bersama tersebut merupakan komitmen program
dan kegiatan yang disepakati untuk dikerjakan melalui model pendekatan sinergitas lintas
SKPD Provinsi dengan penggalangan segenap pelaku pembangunan J awa Barat yang
relevan. Sasaran common goals ketahanan pangan fokus beras pada tahun 2007 adalah :
(1) terpenuhinya stok beras regional J awa Barat, (2) tertatanya distribusi dan perdagangan
beras, dan (3) menurunnya tingkat kehilangan pasca panen.
127
Provinsi J awa Barat sebagai daerah produsen beras nomer satu di Indonesia,
menggunakan indikator produksi padi dan beras sebagai salah satu ukuran kinerja
ketahanan pangan. Walaupun banyak terjadi kendala yang salah satunya adalah alih
fungsi lahan sawah yang cukup signifikan, namun produksi padi sawah J awa Barat pada
masa implementasi desentralisasi tahun 2001 2005 terus mengalami peningkatan
dengan laju peningkatan produksi sebesar 2.62 persen yang disebabkan laju luas panen
sebesar 0.92 persen dan laju produktivitas sebesar 1.70 persen. Peningkatan produksi padi
hampir terjadi di seluruh kabupaten/ kota kecuali Kabupaten Bandung, Kota Bogor, Kota
Depok dan Kota Bekasi (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi J awa Barat, 2007).
Gambar 10 menunjukkan perkembangan produksi padi sawah, padi ladang dan padi
sawah +ladang di J awa Barat.
Sumber : Dinas Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2006.
Gambar 10. Produksi Padi Ladang, Padi Sawah, Padi Ladang + Sawah
Tahun 2001 2005 Jawa Barat (Ton)
0
1000000
2000000
3000000
4000000
5000000
6000000
7000000
8000000
9000000
10000000
2001 2002 2003 2004 2005
Produksi
Padi
Ladang
Produksi
Padi
Sawah
Produksi
Padi
Ladang +
Sawah
Peningkatan produksi belum cukup untuk dapat dijadikan ukuran kinerja
ketahanan pangan, tetapi perlu juga diketahui ketersediaan beras yang tersedia untuk
128
dikonsumsi serta jumlah konsumsi beras bagi masyarakat. Berikut ini disajikan
perkembangan produksi beras, ketersediaan beras untuk konsumsi, jumlah konsumsi
beras dan kondisi persediaan daerah.
Tabel 12. Perkembangan Produksi Gabah, Produksi Beras, Ketersedian Beras untuk
Konsumsi, J umlah Konsumsi Beras dan Kondisi Persediaan Beras Daerah
Tahun
Produksi
Padi
(Ton GKG)
Produksi
Beras (Ton)
Ketersediaan
Konsumsi
Beras (Ton)
Total
Konsumsi
Beras (Ton)
Surplus/
Defisit
(Ton)
Rasio
S / K
2001 9 166 872 5 958 466.8 5 362 620.1 4 475 033.5 +887 586.5 1.20
2002 8 776 889 5 704 977.9 5 134480.1 4 557 650.6 +576 829.4 1.13
2003 9 602 302 6 241 496.3 5 617 346.7 4 696 897.4 +920 449.3 1.20
2004 9 787217 6 361 691.1 5 725 522.1 4 795 304.3 +930 217.8 1.19
2005 9 418 572 6 122 071.8 5 509 864.6 4 888 511.3 +621 353.3 1.13
Sumber : Dinas Tanaman Pangan J awa Barat, 2005 dan BPS J awa Barat, 2005.
Pada tahun 2001 produksi padi sawah dan ladang J awa Barat mencapai 9 166 872
ton GKG apabila dikonversi ke beras sebesar 5 958 466.8 ton beras, dengan populasi
penduduk sebanyak 37 291 946 jiwa dan apabila jumlah kebutuhan per kapita sebanyak
120 kg per tahun, maka surplus beras J awa Barat dengan memperhitungkan tercecer dan
benih sebesar 887 586.5 ton beras. Berdasarkan rasio antara ketersediaan beras untuk
konsumsi dengan jumlah konsumsi, pada tahun 2001 di J awa Barat mengalami surplus
beras sebesar 20 persen dari tingkat ketersediaan konsumsi beras. Sebanyak 14
kabupaten mengalami surplus beras sedang sisanya dua kabupaten Kabupaten Bogor dan
Kabupaten Bandung serta semua kota di J awa Barat mengalami defisit beras. Selama
129
tahun 2001 sampai 2005 pada masa implementasi desentralisasi fiskal J awa Barat secara
umum mengalami surplus beras pada kisaran 13 sampai 20 persen.
Produksi palawija di J awa Barat masih di bawah kebutuhan penduduk
berdasarkan norma gizi, dimana pencapaian produksi komoditas jagung baru mencapai
51.83 persen, umbi-umbian 55.36 persen dan kacang-kacangan 19.82 persen (Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Provinsi J awa Barat, 2005). Pada Tabel 13 ditunjukkan
perkembangan potensi sumber pangan non beras yang dihasilkan J awa Barat.
Tabel 13. Perkembangan Produksi Sumber Pangan Palawija di J awa Barat Tahun
2001 2005
(Ton)
Nama Pangan 2001 2002 2003 2004 2005
J agung 464 163 461 930 549 441 587 189 573 263
Kedele 29 790 19 893 29 090 23 712 24 494
Kacang Tanah 66 468 91 867 97 723 100 684 91 817
Kacang Hijau 12 602 11 178 13 950 15 612 13 228
Ubi Kayu 1 800 257 1 661 558 2 074 023 2 054 747 2 044 674
Ubi J alar 367 786 342 794 389 640 390 382 389 043
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi J awa Barat, 2005.
Indikator kinerja ketahanan pangan dari aspek konsumsi secara agregat diukur
dari rata-rata tingkat konsumsi energi dan protein per kapita. Indikator ini memberikan
gambaran kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan gizi, yang ditentukan
secara langsung oleh kemampuan daya beli dan perilaku. Pada Gambar 11 ditunjukkan
bahwa konsumsi energi per kapita per hari penduduk J awa Barat masih belum memenuhi
standar kecukupan gizi yaitu sebesar 2200 kkal /kapita / hari. Perkembangan rata-rata
130
tingkat konsumsi energi per kapita penduduk J awa Barat mengalami penurunan,
penurunan konsumsi energi pada tahun 1996 1999 relatif lebih kecil dibanding
penurunan pada tahun 1999 2005 pada masa desentralisasi fiskal. Namun untuk tingkat
konsumsi protein sudah memenuhi standar kecukupan gizi yaitu sebesar 52 gram per
kapita per hari, walaupun dalam perkembangannya juga mengalami penurunan tetapi
tingkat penurunan tidak sebesar pada penurunan konsumsi energi.
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
1996 1999 2002 2005
Konsumsi
Energi
Konsumsi
Protei n
Sumber : Susenas BPS, berbagai tahun terbitan.
Gambar 11. Perkembangan Persentase Kecukupan Konsumsi
Energi dan Protein per Kapita per Hari
Penduduk Jawa Barat
Pencapaian konsumsi energi per kapita penduduk menurut kabupaten / kota
masih jauh dari Angka Kecukupan Gizi (AKG energi 2 200 Kkal), hanya ada satu kota
Bekasi yang pencapaian konsumsi energi diatas 80 persen AKG dan ada empat
kabupaten/ kota yaitu : Kabupaten. Karawang, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut
dan Kota Bandung yang pencapaian konsumsi berada diatas 70 - 80 persen. Sedang
sisanya merupakan kabupaten/ kota yang mengalami defisit konsumsi energi
(<70 persen AKG). Pencapaian konsumsi protein per kapita seluruh kabupaten/ kota
131
sudah diatas batas 80 persen AKG, bahkan beberapa kabupaten/ kota mecapai diatas 100
persen AKG.
Angka rata-rata konsumsi energi di atas belum memberikan gambaran besarnya
masalah defisit energi pada populasi penduduk. Kabupaten yang mempunyai.proporsi
rumah tangga mengalami defisit konsumsi energi paling tinggi adalah dialami dua
kabupaten, yaitu Majalengka dan Purwakarta. Kabupaten/ kota dengan proporsi rumah
tangga defisit energi sedang sebanyak sembilan kabupaten/kota yaitu : Kabupaten Bogor,
Cianjur, Kuningan, Indramayu, Ciamis serta Kota Bogor, Sukabumi, Depok dan
Tasikmalaya dan sisanya merupakan kabupaten/ kota dengan proporsi rumah tangga
defisit energi rendah.
Berdasarkan data pencapaian konsumsi protein terhadap AKG semua kabupaten/
kota diatas 80 persen, ternayata bila dirinci pada tingkat rumah tangga masih cukup
banyak rumah tangga yang mengalami defisit protein. Kabupaten yang proporsi rumah
tangga mengalami defisit protein tinggi adalah Kabupaten Majalengka, Purwakarta dan
Tasikmalaya. Sedang yang termasuk kategori sedang adalah Kabupaten Bogor, Cianjur,
Kuningan, Indramayu, Bekasi, Kerawang, Subang, Garut, Ciamis, Kota Bogor, Kota
Sukabumi dan Kota Bandung. Sedang sisanya termasuk kabupaten/ kota dengan proporsi
rumah tangga defisit konsumsi protein rendah.
Indikator lain yang mencerminkan penyerapan pangan oleh tubuh adalah status
gizi, dimana status gizi merupakan gambaran kerawanan pangan di tingkat individu.
Rumah tangga dengan ketahanan pangan yang baik, belum menjamin bahwa seluruh
anggota keluarga terlindungi dari status gizi yang baik terlebih untuk anggota keluarga
yang peka terhadap kerawanan pangan seperti ibu hamil dan balita. Prevalensi balita gizi
132
kurang dan buruk merupakan salah satu indikator yang mengambarkan kondisi terjadinya
kerawanan pangan pada anggota masyarakat yang peka terhadap kerawanan pangan.
Pada Tabel 14 ditunjukkan bahwa angka prevalensi gizi kurang dan buruk di J awa Barat
secara umum terjadi kecenderungan meningkat, walaupun ada beberapa kabupaten / kota
yang mengalami penurunan. Angka prevalensi gizi kurang dan buruk terbesar didapat
oleh Kabupaten dan Kota Cirebon yang pada tahun 2005 mencapai seperempat dari
populasi balita yang ada.
Tabel 14. Perkembangan dan Keragaan Prevalensi Balita Gizi Kurang dan Buruk
Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi J awa Barat Tahun 2003 2005
( % )
Kabupaten/ Kota Balita Gizi Buruk
Tahun 2003
Balita Gizi Buruk
Tahun 2004
Balita Gizi Buruk
Tahun 2005
Kab Bogor
Kab Sukabumi
Kab Cianjur
Kab Bandung
Kab Garut
Kab Tasikmalaya
Kab Ciamis
Kab Kuningan
Kab Cirebon
Kab Majalengka
Kab Sumedang
Kab Indramayu
Kab Subang
Kab Purwakarta
Kab Karawang
Kab Bekasi
Kota Bogor
Kota Sukabumi
Kota Bandung
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota Depok
J awa Barat
14.51
15.01
16.61
11.22
12.93
16.14
13.11
12.20
21.54
12.94
11.93
15.92
10.68
9.12
14.18
10.99
11.48
11.67
10.13
18.04
18.05
10.14
13.57
19.70
20.90
23.00
14.90
21.00
14.60
7.70
17.90
24.70
17.30
17.50
19.90
16.60
16.30
22.30
20.50
21.30
17.10
16.20
26.90
18.40
18.90
18.80
16.58
18.24
23.28
15.20
20.18
14.20
8.26
18.21
25.40
19.55
12.50
23.70
18.20
14.26
24.80
18.70
16.85
13.60
12.30
24.20
16.40
12.50
17.64
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi J awa Barat, 2005.
133
Angka kematian bayi merupakan salah satu indikator penyerapan pangan, dimana
angka kematian bayi merupakan indikator yang bisa mencerminkan perubahan status
sosial dan ekonomi. Tingginya angka kematian bayi di suatu daerah bisa disebabkan oleh
beberapa faktor seperti kemiskinan, penyakit infeksi, pendidikan yang rendah, akses ke
pelayanan kebutuhan dasar yang rendah. Angka kematian bayi merupakan jumlah bayi
yang mati dalam usia dibawah satu tahun dari 1000 kelahiran.
Tabel 15. Perkembangan dan Keragaan Angka Kematian Bayi Menurut Kabupaten /
Kota di Wilayah Provinsi J awa Barat Tahun 2003 2005
(J iwa / 1000 Kelahiran Hidup)
Kabupaten/ Kota Angka Kematian
Bayi Tahun 2003
Angka Kematian
Bayi Tahun 2004
Angka Kematian
Bayi Tahun 2005
Kab Bogor
Kab Sukabumi
Kab Cianjur
Kab Bandung
Kab Garut
Kab Tasikmalaya
Kab Ciamis
Kab Kuningan
Kab Cirebon
Kab Majalengka
Kab Sumedang
Kab Indramayu
Kab Subang
Kab Purwakarta
Kab Karawang
Kab Bekasi
Kota Bogor
Kota Sukabumi
Kota Bandung
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota Depok
J awa Barat
53.54
58.67
60.00
40.67
57.01
54.90
56.75
48.77
55.00
55.25
42.37
64.58
47.67
63.41
60.30
51.00
29.00
40.26
36.21
39.33
40.30
44.20
49.96
47.41
51.45
52.10
38.50
56.98
55.50
53.51
48.50
54.70
49.78
41.85
55.64
42.39
57.32
58.50
50.22
28.47
38.96
36.10
37.71
35.54
33.38
46.57
45.85
44.50
54.00
38.76
48.76
53.40
56.70
49.30
52.80
56.40
44.20
66.20
49.45
62.58
60.48
52.60
25.80
41.70
32.30
38.20
34.80
32.40
43.70
Sumber : BPS Provinsi J awa Barat, 2005.
134
Angka harapan hidup merupakan indikator yang dapat menggambarkan dampak
kerawanan pangan yang terjadi di suatu wilayah. Umur harapan hidup dipengaruhi oleh
kondisi kesehatan termasuk status gizi. Seseorang yang sejak lahir hingga usia lanjut
hidup dengan kondisi kesehatan, sosial, ekonomi yang baik lebih berpeluang mencapai
usia hidup yang tinggi. Berikut disajikan perkembangan dan keragaan angka harapan
hidup menurut kabupaten/ kota di J awa Barat.
Tabel 16. Perkembangan dan Keragaan Harapan Hidup Menurut Kabupaten/ Kota di
Provinsi J awa Barat Tahun 2003 2005
( Tahun )
Kabupaten/ Kota Angka Harapan
Hidup 2003
Angka Harapan
Hidup 2004
Angka Harapan
Hidup 2005
Kab Bogor
Kab Sukabumi
Kab Cianjur
Kab Bandung
Kab Garut
Kab Tasikmalaya
Kab Ciamis
Kab Kuningan
Kab Cirebon
Kab Majalengka
Kab Sumedang
Kab Indramayu
Kab Subang
Kab Purwakarta
Kab Karawang
Kab Bekasi
Kota Bogor
Kota Sukabumi
Kota Bandung
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota Depok
J awa Barat
66.10
63.00
64.10
66.80
59.90
66.10
64.00
65.10
63.30
63.50
66.70
63.70
65.60
64.10
62.90
67.00
68.00
66.20
68.80
67.60
68.10
71.80
64.50
67.20
65.10
64.60
68.45
62.30
66.60
65.10
65.90
62.80
67.00
67.80
64.20
66.50
64.80
65.80
68.50
68.40
67.50
70.80
68.20
69.60
71.90
65.70
68.85
65.70
65.65
70.20
63.20
65.35
65.85
66.65
64.10
67.40
67.87
64.08
66.95
65.97
65.08
68.13
71.30
69.10
71.50
70.60
70.80
72.10
66.80
Sumber : BPS Provinsi J awa Barat, 2005.
135
Secara nasional usia harapan hidup telah mengalami peningkatan demikian pula
dengan J awa Barat. Pencapaian angka harapan hidup ternyata tidak harus sejalan dengan
peningkatan ekonomi semata tetapi juga dominan dipengaruhi faktor pendidikan dan
kesehatan. Pencapaian angka harapan hidup di daerah perkotaan relatif lebih tinggi
dibanding daerah perdesaan.
VI. KERAGAAN MODEL DAN PEMBAHASAN
6.1. Analisis Umum Model Dugaan
Dalam bab ini akan disajikan dan dibahas nilai-nilai hasil pendugaan
parameter dari persamaan struktural pada model penelitian yang ada. Dalam
proses spesifikasi model yang digunakan dalam penelitian ini telah mengalami
beberapa kali modifikasi karena ditemukan beberapa hasil dugaan yang tidak
konsisten dengan teori dan beberapa dugaan parameter yang tidak nyata. Sehingga
akhirnya didapatkan model dengan keragaan hasil pendugaan parameter yang cukup
representatif untuk menggambarkan fenomena yang ada.
Nilai koefisien determinasi (R
2
) masing-masing persamaan struktural dalam
model relatif tinggi yaitu berkisar antara 0.53 sampai 0.99. Dengan demikian secara
umum peubah-peubah penjelas yang dimasukkan dalam persamaan struktural dalam
penelitian ini mampu menjelaskan dengan baik keragaman setiap peubah
endogennya, dan semua peubah penjelas tersebut mempunyai parameter dugaan
yang tandanya sesuai dengan harapan teori dan fenomena ekonomi yang ada.
Nilai- nilai statistik F yang pada umumnya cukup tinggi yaitu berkisar antara
12.25 sampai 14705.74, maka dapat diinterprestasikan bahwa variasi peubah-
peubah dalam setiap persamaan struktural secara bersama-sama dapat menjelaskan
dengan baik variasi peubah endogennya masing-masing. Hasil statistik t
menunjukkan bahwa terdapat beberapa peubah penjelas yang secara individual
tidak berpengaruh nyata terhadap peubah endogen apabila menggunakan taraf nyata
sebesar 0.05. Namun dengan taraf nyata yang lebih fleksibel, yaitu menggunakan
taraf nyata yang lebih besar hingga 0.20, maka dapat dilihat bahwa sebagian besar
peubah penjelas dalam setiap persamaan struktural berpengaruh nyata terhadap
peubah endogennya masing-masing.
137
Berdasarkan hasil uji statistik Durbin-h menunjukkan bahwa dari semua
persamaan ada dua persamaan struktural yang tidak dapat ditentukan karena
mempunyai nilai akar yang negatif dan ada empat persamaan struktural yang
ditemukan ada masalah korelasi serial pada taraf nyata 0.05. Menurut Pindyck dan
Rubinfeld (1991), masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi pendugaan
parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi. Dengan
demikian secara umum dapat dikatakan bahwa pendugaan model dalam penelitian
ini cukup representatif menggambarkan fenomena ekonomi kemiskinan dan
ketahanan pangan di J awa Barat.
6.2. Dugaan Parameter Persamaan Struktural
Secara rinci dugaan parameter dari persamaan - persamaaan struktural
dalam model akan dibahas secara mendalam dalam masing- masing persamaan.
6.2.1. Penerimaan Daerah
Penerimaan daerah terdiri dari PAD, dana alokasi, dana bagi hasil dan
penerimaan sah lainnya sedang PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah dan
laba usaha daerah. Hasil pendugaan pada Tabel 17 menunjukkan bahwa faktor-
faktor yang signifikan berpengaruh positif terhadap pajak daerah adalah PDRB,
jumlah penduduk tidak miskin, dummy desentralisasi fiskal dan lag pajak daerah,
sedang jumlah penduduk miskin berpengaruh negatif terhadap pajak daerah.
Dummy desentralisasi fiskal bernilai positif menunjukkan bahwa penerimaan
pajak daerah setelah desentralisasi fiskal secara signifikan bernilai lebih besar, hal
ini menunjukkan bahwa dengan desentralisasi fiskal daerah lebih bisa menggali
potensi penerimaan daerah melalui ekstensifikasi dan intensifikasi pajak daerah
( Sondakh, 1999; Vasques and McNab, 2001; Lin and Liu, 2000; Mahi, 2000;
Ismail 2001; Kerk and Garry, 1997).
138
J umlah penduduk miskin berhubungan negatif dan mempunyai elastisitas yang
elastis dengan penerimaan pajak daerah, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat
miskin selain tidak berpotensi menghasilkan pajak juga justru memerlukan subsidi
hasil pajak dari pemerintah. Hasil analisis menunjukkan apabila jumlah penduduk
miskin berkurang sebesar 10 persen maka penerimaan pajak daerah akan meningkat
sebesar 17 persen. Nilai elastisitas dalam jangka panjang semakin elastis, karena
terjadinya pengaruh multiplier efek sehingga pengaruhnya tidak hanya secara
langsung saja tetapi juga pengaruh tidak langsung. Mengurangi penduduk miskin
mempunyai dampak positif yang luas dalam pembangunan, dampak secara langsung
terhadap pemerintah adalah berupa peningkatan kinerja fiskal melalui penerimaan
potensi pajak dan pengurangan subsidi untuk masyarakat miskin. J umlah penduduk
miskin merupakan salah satu indikator yang digunakan oleh pemerintah pusat untuk
pertimbangan penyaluran dana alokasi (DAU) ke pemerintah daerah, apabila jumlah
penduduk miskin relatif tinggi dalam suatu wilayah menunjukkan bahwa dalam
wilayah tersebut masih membutuhkan banyak dana bantuan untuk subsidi.
PDRB merupakan salah satu indikator kinerja perekonomian suatu daerah,
dimana peningkatan PDRB merupakan indikator adanya peningkatan aktivitas
ekonomi daerah yang merupakan faktor potensi dalam menggali objek pajak.
Dalam penelitian ini PDRB mempunyai elastisitas yang inelastis yaitu sebesar
0.0747 terhadap pajak daerah, artinya apabila PDRB meningkat sebesar 10 persen
maka pajak daerah akan meningkat hanya sebesar 0.7 persen. Kecilnya nilai
elastisitas penerimaan pajak terhadap PDRB menunjukkan bahwa pemerintah daerah
di wilayah penelitian masih belum optimal dalam menggali potensi pajaknya
sehingga peningkatan nilai PDRB sebagai potensi penerimaan pajak tidak responsif
dengan penerimaan aktual pajaknya. Sebagai implementasi otonomi daerah maka
139
perlu dilakukan upaya-upaya fiskal berupa intensifikasi dan ekstensifikasi dalam
penggalian potensi pajak sehingga peningkatan PDRB memberi pengaruh yang
besar pada peningkatan penerimaan pajak daerah namun jangan sampai menurunkan
tingkat investasi daerah. Peubah-peubah penjelas yang digunakan dalam persamaan
pajak daerah mampu menjelaskan variasi yang terjadi dalam penerimaan pajak
sebesar 69. 45 persen.
Tabel 17. Faktor-Faktor Yang Mempempengaruhi Penerimaan Daerah Kabupaten
di Wilayah Provinsi J awa Barat
Persamaan Pajak Daerah
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek J . Panjang
INTERCEP -551.819796 -0.269 0.7880 - -
PDRB 0.187383 1.237 0.2181 0.0747 0.1717 PDRB
J MLTMIS 13.205164 6.036 0.0001 2.2525 11.2077
J umlah penduduk tidak
miskin
J MLMIS -48.345719 -6.098 0.0001 -1.6868 -8.3930 J umlah penduduk miskin
DMDF 6267.430335 4..538 0.0001 - - Dummy desentralisasi
LPJ KDAE 0.799019 6..277 0.0001 - - Lag pajak daerah
F Value Prob>F R-Square Dh
31.458 0.0001 0.694 2..273
Persamaan Dana Alokasi
Parameter T for H0: Elastisitas
Variable
Estimate Parameter=0
Prob >|T|
J . Pendek J . Panjang
Label Variabel
INTERCEP -4374.654926 -0.232 0.8183 - - Intercep
J MLPDK 50.306315 3.276 0.0013 0.4263 0.9159 J umlah penduduk
LUDAE 11.243174 1.295 0.1975 0.1212 0.2604 Luas daerah
J MLMIS 28.696834 2.257 0.0038 0.1824 0.3919
J umlah penduduk
miskin
PAD -4.567846 -1.013 0.2564 - -
Pendapatan asli
DMDF 234633 13.546 0.0001 - -
Dummy desentralisasi
fiscal
LDALOK 0.534633 18.434 0.0001 - - Lag dana alokasi
F Value Prob>F R-Square Dh
138.249 0.0001 0.749 1.695
Temuan dalam studi ini mempunyai implikasi yaitu untuk meningkatkan
penerimaan daerah khususnya penerimaan dari sektor pajak, maka selain harus
140
melakukan peningkatan aktivitas ekonomi daerah melalui peningkatan PDRB yang
tidak kalah penting untuk dilakukan adalah pengurangan jumlah penduduk miskin.
Penduduk miskin hanya akan menjadi beban bagi pemerintah, sehingga
meningkatkan kemandirian bagi penduduk miskin untuk mencukupi kebutuhan
dasarnya akan mengurangi beban untuk subsidi bagi pemerintah. Selanjutnya
kenaikan kesejahteraan bagi penduduk miskin akan menaikkan potensi penerimaan
pemerintah dari sektor pajak, karena tingkat kesejahteran masyarakat sebagai
potensi sumber penerimaan pajak daerah.
Dana alokasi secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah penduduk, luas
daerah, jumlah penduduk miskin, dummy desentralisasi fiskal. Dummy
desentralisasi fiskal bernilai positif menunjukkan bahwa setelah desentralisasi
fiskal telah terjadi kenaikan dana alokasi yang merupakan dana transfer dari
pemerintah pusat. Walaupun pada masa desentralisasi fiskal PAD lebih besar,
tetapi karena pengeluaran juga relatif lebih besar pada masa desentralisasi fiskal
sehingga diperlukan dana alokasi yang lebih besar. Fenomena ini menunjukkan
bahwa dengan desentralisasi fiskal ketergantungan daerah terhadap dana dari
pemerintah pusat semakin besar. Peningkatan PAD sehubungan dengan kebebasan
menggali potensi daerah pada masa desentralisasi fiskal belum bisa menutupi
kebutuhan daerah sehingga masih dibutuhkan dana alokasi yang juga lebih besar
pada masa desentralisasi fiskal. Dengan berjalannya waktu dalam implementasi
desentralisasi fiskal diharapkan penerimaan pemerintah daerah dari PAD akan
semakin besar sehingga dana transfer DAU dari pemerintah pusat akan bisa
semakin dikurangi untuk menuju pada kemandirian fiskal daerah sesuai dengan cita-
cita dari otonomi daerah.
141
PAD berhubungan negatif tidak signifikan terhadap dana alokasi, besar dan
kecilnya PAD akan mempengaruhi perolehan dana alokasi umum dari pemerintah
pusat dimana daerah yang nilai perolehan PADnya relative besar akan mendapat
dana alokasi umum yang relative kecil karena daerah lebih mampu membiayai
pengeluarannya.
6.2.2. Pengeluaran Daerah
Pengeluaran daerah terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran
pembangunan, pengeluaran pembangunan terdiri dari pengeluaran pembangunan
sektor pertanian dan pengeluaran sektor lain. Pengeluaran rutin secara signifikan
dipengaruhi multiple belanja pegawai dan belanja barang, PAD, dana alokasi,
dummy desentralisasi fiskal, dan lag pengeluaran rutin.
Dummy desentralisasi fiskal bernilai positif menunjukkan adanya intersep
yang lebih besar, berarti nilai pengeluaran rutin pada masa desentralisasi fiskal
relatif lebih besar.Tingginya pengeluaran rutin pada masa desentralisasi fiskal
disebabkan banyaknya pegawai pusat yang didaerahkan pada masa desentralisasi
fiskal. Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi pembangunan yang didaerahkan juga membutuhkan pengeluaran rutin
sebagai dana operasional yang relatif lebih besar pada masa desentralisasi fiskal.
Rata-rata dana pengeluaran rutin pada masa sebelum desentralisasi fiskal berkisar
71 persen dari total pengeluaran daerah, sedang pada masa desentralisasi fiskal
meningkat menjadi berkisar sebesar 78 persen dari total pengeluaran daerah.
Peningkatan dalam belanja pegawai dan belanja barang akan diikuti oleh
peningkatan dana pengeluaran rutin tetapi dalam proporsi yang jauh lebih kecil, hal
ini wajar karena keterbatasan anggaran sehingga responsibilitas pengeluaran dana
142
terhadap belanja operasionalnya akan kecil dan pemerintah daerah diharapkan
melakukan efisiensi dalam penggunaan anggaran rutinnya sebagai dana operasional.
Tabel 18. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengeluaran Daerah Kabupaten di
Wilayah Provinsi J awa Barat
Persamaan Pengeluaran Rutin
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek
J .
Panjang
INTERCEP 53437 6.889 0.0001 - - Intercep
MJ PGBB 0.015572 2.065 0.0408 0.0555 0.5393
Multiple belanja pegawai
dan barang
PAD 265780 1.860 0.4260 - - Pendapatan asli daerah
DALOK 564328 3.835 0.0620 0.1652 1.6055 Dana alokasi
DMDF 252609 18.480 0.0001 - -
Dummy desentralisasi
fiscal
LPRUTIN 0.897104 9..362 0.0001 - - Lag pengeluaran rutin
F Value Prob>F R-Square Dh
212.556 0.0001 0.821 2..282
Persamaan Pengeluaran Sektor Pertanian
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek
J .
Panjang
INTERCEP 369.026425 0.666 0.5066 - - Intercep
AREAL 0.010038 2.556 0.0116 0.4632 1.0617 Luas areal tanaman padi
PAD 3.6534 24 3.128 0.0026 0.0634 0.1453 Pendapatan asli daerah
DALOK 0.003198 1..346 0.1806 0.3248 0.7445 Dana alokasi
DMDF 2640.285718 7.640 0.0001 - -
Dummy desentralisasi
fiscal
LPSEKP 0..563788 6..598 0.0001 - -
Lag pengeluaran sektor
pertanian
F Value Prob>F R-Square Dh
38.763 0.0001 0.655 1..846
PAD berhubungan positif dengan pengeluaran rutin tetapi tidak signifikan,
artinya apabila PAD meningkat maka akan meningkatkan penerimaan daerah
sebagai sumber pengeluaran yang digunakan untuk pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan. PAD tidak signifikan terhadap pengeluaran rutin, karena
kontribusi PAD yang relatif kecil dalam penerimaan daerah dan pengeluaran rutin
merupakan pengeluaran yang kontribusinya relatif besar. Dana alokasi berhubungan
143
positif dan signifikan terhadap pengeluaran rutin, karena dana alokasi merupakan
sumber penerimaan terbesar daerah yang bisa digunakan untuk membiayai
pengeluaran operasional daerah sehingga signifikan terhadap pengeluaran rutin.
Pengeluaran pembangunan sektor pertanian secara signifikan dipengaruhi
positif oleh areal tanaman padi, PAD, dana alokasi, dummy desentralisasi fiskal dan
lag pengeluaran sektor pertanian. Areal tanaman padi signifikan mempengaruhi
pengeluaran pembangunan sektor pertanian dengan elastisitas sebesar 0.4632,
artinya apabila areal tanaman padi meningkat 10 persen maka dana pembangunan
sektor pertanian akan naik 4.63 persen. Walaupun nilai kenaikan anggaran tidak
proporsional dengan kenaikan areal tanaman padi, namun hal ini menunjukkan
komitmen pemerintah daerah kabupaten di J awa Barat terhadap usahatani padi,
yaitu dana pembangunan sektor pertanian masih dominan dan lebih diprioritaskan
pada peningkatan produktivitas tanaman padi. Fenomena ini cukup beralasan karena
sebagian besar wilayah kabupaten di J awa Barat mempunyai potensi dan
keunggulan pada produksi padi, sehingga mengantarkan wilayah J awa Barat sebagai
lumbung padi nasional terbesar.
PAD sebagai sumber penerimaan lokal daerah dan dana alokasi sebagai
sumber penerimaan dari pusat merupakan sumber penerimaan daerah berhubungan
positif dan signifikan terhadap pengeluaran pembangunan sektor pertanian.
Peningkatan penerimaan dari PAD dan dana alokasi dari pemerinah pusat akan
meningkatkan pengeluaran daerah untuk pembangunan di sektor pertanian.
6.2.3. PDRB Kabupaten di Provinsi Jawa Barat.
PDRB dalam model penelitian ini dibedakan antara PDRB sektor pertanian
dan PDRB non pertanian. Hasil estimasi PDRB pertanian dipengaruhi positif oleh
144
tenaga kerja sektor pertanian, pengeluaran pembangunan sektor pertanian,
pendapatan penduduk sektor pertanian, dan lag pembagunan sektor pertanian.
Sedang PDRB non pertanian dipengaruhi positif oleh tenaga kerja sektor non
pertanian, pengeluaran pembangunan sektor lain dan pendapatan penduduk non
pertanian, sedang PDRB Pertanian berhubungan positif dengan PDRB Non
Pertanian tetapi tidak signifikan.
Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian berpengaruh positif dengan nilai
elastisitas sebesar 0.7078 artinya apabila jumlah tenaga kerja pada sektor pertanian
meningkat sebesar 10 persen maka PDRB sektor pertanian meningkat sebesar 7
persen. Tenaga kerja merupakan input dalam proses produksi sektor pertanian,
sehingga peningkatan jumlahnya akan memberi pengaruh pada peningkatan
outputnya. Peningkatan PDRB sektor pertanian yang relatif lebih kecil dibanding
peningkatan input tenaga kerja menunjukkan bahwa penambahan input tenaga kerja
pada sektor pertanian tidak elastis. Kurang responsifnya penambahan tenaga kerja
terhadap peningkatan PDRB sektor pertanian, menunjukkan bahwa pada sektor
tersebut penggunaan tenaga kerja relatif berlebih sehingga penambahan jumlah
tenaga kerja tidak memberi respon yang besar pada peningkatan outputnya.
Peningkatan tenaga kerja walaupun berpengaruh pada peningkatan PDRB sebagai
output, tetapi akan menurunkan output per tenaga kerja atau produktivitas tenaga
kerja dalam menghasilkan output. Fenomena ini sesuai dengan kondisi yang ada di
daerah penelitian, bahwa sektor pertanian merupakan sektor padat karya sehingga
peningkatan tenaga kerja akan berpengaruh pada peningkatan PDRB dengan nilai
yang lebih kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat Ikhsan (2001) bahwa pada sektor
pertanian terdapat tenaga kerja yang berlebih karena terjadinya perubahan
struktural yang tidak seimbang. Namun demikian dari semua peubah yang ada
145
tenaga kerja mempunyai kontribusi paling besar dalam peningkatan PDRB sektor
pertanian, untuk itu dalam upaya meningkatkan PDRB pada sektor pertanian
memperbaiki produktivitas tenaga kerja dengan cara memperbaiki kualitas SDM
merupakan pilihan yang perlu dilakukan.
Pengeluaran pembangunan sektor pertanian signifikan berpengaruh positif
pada PDRB sektor pertanian. Peningkatan dana pembangunan pada sektor pertanian
akan meningkatkan investasi pemerintah pada pelayanan publik di sektor pertanian
sehingga akan memberi eksternalitas pada peningkatan PDRB sektor pertanian.
Nilai elastisitas yang kecil sebesar 0.0773 menunjukkan bahwa apabila terjadi
peningkatan dana pembangunan sektor pertanian sebesar 10 persen maka akan
terjadi peningkatan PDRB sektor pertanian hanya sebesar 0.7 persen. Kecilnya
nilai elastisitas ini ada berbagai kemungkinan yang bisa menjadi penyebab
diantaranya adalah : (1) karena dana yang dialokasikan pada sektor pertanian
jumlahnya relatif kecil sehingga dampak yang ditimbulkan terhadap PDRB juga
kecil pengaruhnya; (2) kemungkinan adanya faktor time-lag yang berperan yaitu
pengeluaran pembangunan sektor pertanian tidak langsung pengaruhnya tetapi baru
memiliki pengaruh terhadap PDRB sektor pertanian setelah beberapa tahun
kemudian melalui mekanisme transmisi; (3) kurang tepatnya pemerintah daerah
melakukan stimulus belanja terhadap kebutuhan dalam sektor pertanian sehingga
pengeluaran dana yang ada kurang memberikan pengaruh yang berarti terhadap
PDRB sektor pertanian. Hasil kajian ini berbeda dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Nanga (2006) dengan wilayah kajian di Indonesia dan Pakasi (2005)
dengan wilayah kajian di Sulawesi Utara yang memberikan hasil bahwa pengeluaran
pembangunan sektor pertanian tidak signifikan mempengaruhi PDRB.
146
Tabel 19. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi PDRB Kabupaten di Wilayah
Provinsi J awa Barat
Persamaan PDRB Sektor Pertanian
Parameter T for H0: Elastisitas
Variable
Estimate Parameter=0
Prob >|T|
J . Pendek J . Panjang
Label Variabel
INTERCEP -90.156349 -3.110 0.0023 - - Intercep
TKP 1.399257 15.461 0.0001 0.7078 1.5585 J umlah tenaga kerja pertanian
PSEKP 0.014812 4.452 0.0001 0.0773 0.1702 Pengeluaran sektor pertanian
INCPPI 0.569273 5..580 0.0001 0.3781 0.8325 Pendapatan per kapita petani
AREAL 3.145720 1.013 0.3976 - - Areal tanaman padi
LPDRBP 0.545846 6..324 0.0001 - - Lag PDRB sektor pertanian
F Value Prob>F R-Square Dh
221.056 0.0001 0.865 1..994
Persamaan PDRB Non Pertanian
Parameter T for H0: Elastisitas
Variable
Estimate Parameter=0
Prob >|T|
J . Pendek J . Panjang
Label Variabel
INTERCEP -1918.283489 -13.090 0.0001 - - Intercep
TKNP 5.158899 13.320 0.0001 0.7758 1.4788
J umlah tenaga kerja non
pertanian
PSEKLN 0.003415 3.697 0.0003 0.1043 0.1988 Pengeluaran sektor lainnya
INCNP 338.119562 74.180 0.0001 0.9185 1.7509
Pendapatan / kapita non
pertanian
PDRBP 0.436852 1.020 0.4102 - - PDRB sector pertanian
LPDRBNP 0.4754332 5.250 0.0001 - - Lag PDRB non pertanian
F Value Prob>F R-Square Dh
1963.726 0.0001 0.976 3.096
Pendapatan per kapita sektor pertanian signifikan mempengaruhi PDRB
pertanian, pendapatan yang tinggi pada masyarakat di sektor pertanian akan menjadi
insentif bagi masyarakat di sektor pertanian untuk meningkatkan aktivitas ekonomi
pada sektor tersebut sehingga memberikan peningkatan PDRB di sektor pertanian.
Penyerapan tenaga kerja pada sektor non pertanian berpengeruh positif dengan
nilai elastisitas sebesar 0.7758, hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja sebagai
faktor produksi mempengaruhi PDRB non pertanian tetapi kurang responsif.
Pengeluaran pembangunan sektor non pertanian berpengruh secara nyata
terhadap PDRB sektor non pertanian dengan elastisitas sebesar 0.1043, artinya
apabila pengeluaran pembangunan sektor non pertanian dinaikkan sebesar 10 persen
147
maka PDRB sektor non pertanian akan meningkat sebesar 1.04 persen. Secara
umum baik pada sektor pertanian maupun sektor non pertanian tenaga kerja
mempunyai pengaruh yang dominan dalam pembentukan PDRB, sehingga
penyerapan tenaga kerja dengan dibarengi peningkatan kualitasnya akan memberi
pengaruh yang baik pada peningkatan PDRB.
6.2.4. Produksi Gabah
Faktor-faktor yang signifikan berpengaruh terhadap produksi gabah adalah
harga gabah, permintaan pupuk, permintaan tenaga kerja pada sektor pertanian,
dummy desentralisasi fiskal dan produksi gabah tahun sebelumnya. Sedang dana
pengeluaran sektor pertanian tidak signifikan mempengaruhi produksi gabah.
Harga gabah berpengaruh positif dan signifikan terhadap produksi gabah, nilai
elastisitasnya relatif kecil yaitu sebesar 0.1540. Hasil ini lebih kecil dibanding hasil
penelitian Siregar (1991) elastisitas produksi gabah terhadap harganya sebesar 0.45.
Begitu juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nainggolan dan Suprapto
(1987), Sawit (l994), Hartoyo (1995), Mulyana (1998) bahwa elastisitas produksi
padi terhadap harganya inelastis. Menurut Mulyana (1998) di wilayah J awa dan
Bali, Kalimantan dan Sumatra respons produktivitas terhadap harga gabah lebih
elastis dibanding respons terhadap arealnya dan sebaliknya untuk wilayah Sulawesi
dan wilayah sisa Indonesia respons areal lebih elastis dibanding respons terhadap
produktivitas. Kenaikan harga gabah merupakan insentif bagi petani untuk
berproduksi lebih besar karena harga yang tinggi akan memberi pendapatan yang
lebih besar pada petani (Timmer, 2008). Respons yang kecil produksi gabah
terhadap perubahan harga gabah di wilayah penelitian karena adanya beberapa
kendala, diantaranya adalah keterbatasan areal tanam padi dimana lahan sawah
148
jumlahnya semakin berkurang karena lajunya proses konversi lahan pertanian
khususnya lahan sawah irigasi ( Irawan et al., 2003; Saliem et al., 2002).
J umlah penggunaan pupuk dan tenaga kerja pertanian merupakan input pada
produksi gabah sehigga berhubungan positif dengan outputnya. Input pupuk
mempunyai elastisitas produksi sebesar 0.6970 dan tenaga kerja mempunyai
elastisitas produksi sebesar 0.4417. Pengaruh input pupuk lebih dominan
kontribusinya terhadap produksi gabah dibanding kontribusi input tenaga kerja, hal
ini karena nilai produktivitas marginal pupuk lebih besar. Untuk itu dalam upaya
meningkatkan produksi gabah pemerintah bisa mempengaruhi penggunaan input
pupuk dengan melakukan subsidi harga pupuk maupun menata distribusi pupuk
untuk sampai ke petani secara lebih baik, tepat waktu dan efisien.
Tabel 20. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Gabah Kabupaten di Wilayah
Provinsi J awa Barat
Persamaan Produksi Gabah
Parameter T for H0: Elastisitas
Variable
Estimate Parameter=0
Prob >|T|
J . Pendek J . Panjang
Label Variabel
INTERCEP -191906.027 -3.051 0.0027 - - Intercep
PGAP 0.561906 2..353 0.0056 0.1540 0.2771 Harga gabah
QPUK 0.081642 10.370 0.0001 0.6971 0. 9254 J umlah pupuk
TKP 9.59.734694 7.880 0.0001 0.4417 0.7948
J umlah tenaga kerja
pertanian
PSEKP 5.810158 0.751 0.4537 - -
Pengeluaran sektor
pertanian
DMDF 256025 5..578 0.0001 - - Dummy desentralisasi
LPRODGAB 0.444217 2.686 0.0081 - - Lag produksi gabah
F Value Prob>F R-Square Dh
35.79 0.0001 0.566 0.864
Pengeluaran pembangunan sektor pertanian merupakan stimulus dalam
peningkatan produksi gabah, apabila dana pembangunan sektor pertanian meningkat
maka akan banyak program-program yang diharapkan bisa meningkatkan produksi
gabah terlebih pada daerah sentra usahatani padi. Namun berdasarkan hasil analisis
149
ternyata dana pembangunan sektor pertanian tidak signifikan mempengaruhi
produksi gabah. Produksi gabah lebih dominan dipengaruhi secara langsung pada
penggunaan input yaitu penggunaan pupuk dan tenaga kerja, sedang dana
pengeluaran sektor pertanian pengaruhnya tidak secara langsung tetapi
membutuhkan time-lag melalui mekanisme transmisi yang panjang terhadap
produksi gabah.
Dummy desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan dan bernilai positif
terhadap produksi gabah, hal ini menunjukkan bahwa pada masa desentralisasi fiskal
produksi gabah relatif lebih besar. Hal ini sesuai dengan kondisi yang ada yaitu pada
saat desentralisasi fiskal pemerintah daerah J awa Barat lebih fokus dalam
mengupayakan peningkatan produksi gabah melalui berbagai program dan kegiatan
sesuai dengan rencana strategis yang ditetapkan pemerintah J awa Barat bahwa
ketahanan pangan merupakan salah satu dari common goal pencapaian
pembangunan yang berfokus pada pangan beras (Pemprov J awa Barat, 2007).
6.2.5. Pendapatan Per Kapita Sektor Pertanian
Pendapatan per kapita sektor pertanian dipengaruhi positif secara signifikan
oleh poduksi gabah, tenaga kerja sektor pertanian, lag pendapatan sektor pertanian.,
dan pengeluaran pembangunan sektor lain berpengaruh negatif terhadap pendapatan
sektor pertanian. Sebagai daerah sentra produksi pangan khususnya beras,
pendapatan sektor pertanian dominan dipengaruhi oleh produksi gabah karena
usahatani padi merupakan mata pencaharian pokok sebagian besar penduduk di
daerah penelitian. Nilai elastisitas sebesar 0.2515 menunjukkan bahwa bila produksi
gabah meningkat sebesar 10 persen maka pendapatan per kapita sektor pertanian
akan meningkat sebesar 2.51 persen. Hal ini sesuai dengan kondisi pertanian yang
150
ada pada daerah penelitian bahwa produksi padi bukan merupakan sumber
pendapatan satu-satunya bagi petani di daerah penelitian, tetapi masih ada sumber
pendapatan lain dari subsektor lain pada sektor pertanian.
J umlah keterlibatan penduduk pada sektor pertanian sebagai tenaga kerja akan
mempengaruhi pendapatannya, karena pada sektor pertanian khususnya padi
sebagian besar pemilik juga ikut terlibat sebagai tenaga kerja. Penyerapan tenaga
kerja sektor pertanian mempunyai nilai elastisitas sebesar 0.3793 terhadap
pendapatan per kapita di sektor pertanian. Kurang responsifnya penyerapan tenaga
kerja terhadap pendapatan per kapita, menunjukkan bahwa produktivitas pada sektor
ini relatif rendah sehingga peningkatan penyerapan tenaga kerja kurang dibarengi
dengan peningkatan pendapatan per kapita. Kondisi ini menyebabkan sektor
pertanian menjadi kurang diminati karena kurang bisa memberikan peningkatan
pendapatan, sehingga sektor pertanian menjadi sektor yang termarginalkan dan lebih
didominasi oleh tenaga kerja dengan ketrampilan dan pendidikan yang relatif lebih
rendah.
Tabel 21. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan per Kapita
Sektor Pertanian Kabupaten di Wilayah Provinsi J awa Barat
Persamaan Pendapatan Per Kapita Petani
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek J . Panjang
INTERCEP 159.154332 7.899 0.0001 - - Intercep
PRODGAB 0.000152 4.594 0.0001 0.2515 0.2859 Produksi gabah
PSEKL -0.000459 -4.035 0.0001 -0.0740 -0.0841
Pengeluaran non
pertanian
TKP 0.498065 8.129 0.0001 0.3793 0.4312
J umlah tenaga kerja
pertanian
LINCPPI 0.120290 0.450 0.6533 - -
Lag pendapatan per
kapita petani
F Value Prob>F R-Square Dh
40.505 0.0001 0.548 1.954
151
6.2.6. Tenaga Kerja Sektor Pertanian
Tenaga kerja sektor pertanian dipengaruhi positif oleh angkatan kerja, upah
pada sektor pertanian, areal padi dan lag tenaga kerja sektor pertanian. Angkatan
kerja merupakan jumlah penduduk usia kerja baik yang sedang bekerja maupun
yang tidak bekerja. Peningkatan angkatan kerja diikuti oleh peningkatan penyerapan
tenaga kerja pada sektor pertanian dengan nilai elastisitas sebesar 0.8211. Hal ini
karena sektor pertanian berfungsi sebagai employment of last resort (Ikhsan, 2001;
Soetrino, 1999).
Sebagai employment of last resort maka sektor pertanian dalam menyerap
tenaga kerja seiring terjadinya peningkatan angkatan kerja harus dibarengi dengan
peningkatan ketrampilan dan pendidikan, sehingga peningkatan tenaga kerja tidak
akan menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas per tenaga kerja dari sektor
tersebut.
Tabel 22 . Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Tenaga Kerja Sektor Pertanian
Kabupaten di Wilayah Provinsi J awa Barat
Persamaan Tenaga Kerja Pertanian
Parameter T for H0: Elastisitas
Variable
Estimate Parameter=0
Prob >|T|
J . Pendek J . Panjang
Label Variabel
INTERCEP -10..291493 -0.196 0.8445 - - Intercep
AK 0.000330 8.752 0.0001 0.8211 1.2936 J umlah angkatan kerja
WTKP 0.004909 1.267 0.2073 0.1939 0.3054
Upah tenaga kerja
pertanian
AREAL 0.000050371 0.270 0.7873 - - Luas areal tanaman padi
PSEKP 1..240132 1.620 0.1245 0.1026 0.1616
Pengeluaran sector
pertanian
LTKP 0..365210 2.485 0.0141 - -
Lag jumlah tenaga kerja
pertanian
F Value Prob>F R-Square Dh
25.353 0.0001 0.524 0..824
Penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian bersifat inferior apabila
dibandingkan dengan tenaga kerja di sektor industri maupun sektor lain, maka
mempunyai hubungan positip dengan tingkat upahnya artinya apabila upah naik
152
justru penyerapan meningkat. Selain itu pada sektor pertanian tenaga kerja keluarga
ikut dominan terlibat dalam proses produksi, maka jumlah keterlibatan tenaga kerja
mempunyai hubungan positif dengan tingkat upah. Upah merupakan insentif bagi
tenaga kerja sehingga semakin besar tingkat upah maka akan meningkatkan jumlah
tenaga kerja yang terlibat pada sektor tersebut. Nilai elastisitas sebesar 0.1939
artinya apabila tingkat upah pada sektor pertanian meningkat sebesar 10 persen
maka tenaga kerja pada sektor pertanian akan meningkat sebesar 1.94 persen. Hasil
ini sesuai dengan hasil penelitian Pakasi (2005) bahwa upah pada sektor pertanian
berhubungan positif dengan tenaga kerja pada sektor peranian. Rendahnya respons
peningkatan upah terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, karena pada
sektor pertanian tingkat upah relatif konstan apabila dibanding besarnya penyerapan
tenaga kerja pada sektor tersebut. Peningkatan upah tidak responsif terhadap
penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, penambahan penyerapan tenaga kerja
pada sektor pertanian lebih dominan karena adanya penambahan angkatan kerja
sehingga terpaksa harus kerja pada sektor pertanian daripada disebabkan karena
perubahan dalam peningkatan upah.
Sebagai daerah sentra produksi pangan beras, jumlah tenaga kerja pada sektor
pertanian berhubungan positif dengan luas areal tanaman padi walaupun secara
statistik tidak signifikan. Usahatani padi merupakan matapencaharian pokok
sebagian besar penduduk sehingga besar kecilnya areal tanaman padi akan
mempengaruhi penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian.Tidak signifikan luas
areal terhadap penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian, karena luas areal
tanaman padi relatif konstan pertambahannya dibanding dengan pertambahan tenaga
kerja yang terus bertambah seiring dengan bertambahnya angkatan kerja setiap
tahun.
153
6.2.7. Penggunaan Pupuk
J umlah penggunaan pupuk dipengaruhi positif areal tanaman padi, harga gabah
dan lag pemakaian pupuk, sedang harga pupuk berpengaruh negatif terhadap jumlah
pemakaian pupuk. Elastisitas permintaan pupuk terhadap harganya inelastis sebesar
-0.6015 nilai ini relatif lebih kecil dibandingkan hasil penelitian Siregar (1999)
sebesar -0.97. Harga gabah merupakan insentif bagi petani, karena apabila harga
gabah naik dengan faktor lain konstan maka pendapatan petani naik sehingga petani
terinsentif untuk memproduksi gabah lebih banyak. Dengan kenaikan pendapatan
maka daya beli petani akan meningkat sehingga petani akan mampu membeli input
pupuk yang lebih banyak untuk produksi gabah karena pupuk merupakan input yang
dominan. Nilai elastisitas perubahan harga gabah terhadap permintaan pupuk
sebesar 0.1246, hasil ini lebih kecil bila dibandingkan hasil penelitian Siregar (1999)
sebesar 0.45.
Tabel 23. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan Pupuk Kabupaten di
Wilayah Provinsi J awa Barat
Persamaan Penggunaan Pupuk
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek J . Panjang
INTERCEP 2547265 5.253 0.0001 - - Intercep
AREAL 38.482878 12.554 0.0001 0.9877 1.0931
Luas areal tanaman
padi
PPUK -2665.41062 -5.819 0.0001 -0.6015 -0.7266 Harga pupuk
PGAB 516..228199 1.064 0.2893 0.1246 0.1505 Harga gabah
LQPUK 0.172170 1.382 0.1692 - - Lag jumlah pupuk
F Value Prob>F R-Square Dh
65.118 0.0001 0.6537 2..976
Areal tanaman padi mencerminkan kondisi skala usaha pada usahatani padi
sehingga mempunyai hubungan positif dengan penggunaan pupuk, dimana areal
tanaman padi yang lebih luas juga memerlukan penggunaan pupuk yang lebih
154
banyak. Nilai elastisitas sebesar 0.9877 menunjukkan bahwa apabila areal tanaman
padi meningkat 10 persen maka penggunaan pupuk akan meningkat sebesar 9.88
persen. Hal ini mencerminkan kondisi yang relatif konstan pada penggunaan pupuk
per satuan areal tanaman padi, dimana apabila areal tanaman padi berubah pada
satuan luas tertentu maka akan diikuti oleh penggunaan pupuk dengan satuan
jumlah yang proporsional.
6.2.8. Harga Gabah
Harga gabah dipengaruhi positif oleh pengeluaran pembangunan sektor
pertanian, harga pupuk, upah sektor pertanian, harga beras, dan lag harga gabah.
Harga gabah tidak mengikuti mekanisme pasar sehingga tidak dipengaruhi oleh
produksi gabah, tetapi pemerintah cenderung mengintervensi dengan penerapan
harga dasar gabah (HDG) yang selanjutnya berubah menjadi harga pembelian
pemerintah (HPP). Efektifitas HPP sangat tergantung dari ketersediaan dana yang
disediakan oleh pemerintah dalam mengendalikan harga gabah yaitu diantaranya
kemampuan bulog melakukan stok dengan membeli / menyerap gabah petani
(Simatupang dan Darmorejo, 2003; Simatupang dan Timmer, 2008).
Tabel 24. Faktor-Faktor Yan Mempengaruhi Harga Gabah Kabupaten di Wilayah
Provinsi J awa Barat
Persamaan Harga Gabah
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek J . Panjang
INTERCEP -137.84452 -10.668 0.0001 - - Intercep
PPUK 0.876850 6.768 0.0067 0.4562 0.4715 Harga pupuk
WTKP 0.015005 11.729 0.0001 0.1324 0.1368
Upah tenaga kerja
pertanian
PBRS 0.489051 196.943 0.0001 0.9777 1.0106 Harga beras
PSEKP 0.000055 0.052 0.9588 - -
Pengeluaran sektor
pertanian
LPGAP 0.032548 3.758 0.0003 - - Lag harga gabah
F Value Prob>F R-Square Dh
14705.734 0.0001 0.9977 7.574
155
Harga pupuk berhubungan positif dan signifikan terhadap harga gabah, karena
pupuk merupakan input dominan didapat petani secara tunai sehingga peningkatan
harga input pupuk akan ditransformasikan pada harga outputnya. Elastisitas harga
pupuk terhadap harga gabah inelastis menunjukkan bahwa kenaikan harga pupuk
tidak responsif terhadap perubahan harga gabah sehingga petani akan menanggung
biaya pupuk yang lebih besar apabila terjadi kenaikan harga pupuk karena tidak
diikuti oleh perubahan harga gabah yang seimbang. Harga gabah selalu
mendapatkan intervensi dari pemerintah sehingga kenaikan harga input tidak diikuti
oleh perubahan harga output yang seimbang. Hal ini membuat pendapatan petani
secara riil akan menurun karena perubahan penerimaan tidak seimbang dengan
perubahan biaya dan hal tersebut akan berdampak pada penurunan kesejahteraan
petani. Harga gabah dipengaruhi oleh harga beras berhubungan positif dengan nilai
elastisitas sebesar 0.9777 artinya apabila harga beras naik sebesar 10 persen maka
harga gabah akan naik sebesar 9.78 persen, merupakan perubahan yang mendekati
simetris / proporsional.
6.2.9. Harga Beras
Harga beras berhubungan negatif dengan produksi beras artinya apabila
produksi beras meningkat maka harga beras akan turun, hal ini sesuai dengan
fenomena ekonomi apabila produksi meningkat maka ketersediaan di pasar akan
berlebih sehingga harga akan cenderung turun. Hasil analisis secara statistik tidak
signifikan hal ini disebabkan karena harga beras tidak sepenuhnya dilepas pada
mekanisme pasar tetapi pemerintah selalu melakukan intervensi untuk menjaga
kestabilan harga beras diantaranya adalah : pemerintah akan melakukan operasi
156
pasar murni (OPM) apabila harga beras cenderung naik pada batas aman, dan
pemerintah melakukan stok dan pembelian pada saat panen raya dan harga jatuh.
Tabel 25. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Harga Beras Kabupaten di Wilayah
Provinsi J awa Barat
Persamaan Harga Beras
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek J . Panjang
INTERCEP 1212.870707 5.90812 0.0001 - - Intercep
PRODBRS -0.000154 -0.3923 0.6974 - - Produksi beras
PRUTIN 0.006145 13.215 0.0001 0.4637 2.9131 Pengeluaran rutin
CADBRS -4567..9876 -1.229 03260 - -
Cadangan beras
nasional
LPBRS 0.840819 6.881 0.0001 - - Lag harga beras
F Value Prob>F R-Square Dh
60.379 0.0001 0.6658 2..206
Pengeluaran rutin berpengaruh positif dan signifikan terhadap harga beras,
hal ini terjadi karena komponen dari pengeluaran rutin salah satunya adalah gaji
pegawai. Kenaikan gaji pegawai biasanya diikuti oleh kenaikan harga barang-barang
terutama harga makanan pokok salah satu diantaranya adalah beras. Elastisitas
pengeluaran rutin terhadap harga beras sebesar 0.4637 artinya adalah kenaikan
pengeluaran rutin sebesar 10 persen maka akan menigkatkan harga beras sebesar
4.6 persen.Cadangan beras nasional berhubungan negatif dengan harga beras,
artinya apabila cadangan beras menipis maka harga beras cenderung mengalami
peningkatan. Namun secara statistik tidak signifikan karena cadangan beras
nasional relatif stabil yang dilakukan bulog dengan cara pengelolaan stok dengan
melakukan pembelian gabah petani pada saat panen raya dan bila cadangan
berkurang dan dirasa perlu bulog akan melakukan impor beras untuk menjaga
kestabilan cadangan beras.
157
6.2.10. Konsumsi Beras
Konsumsi beras dipengaruhi negatif oleh harga beras, jumlah penduduk
miskin, dummy desentralisasi fiskal, dan dipengaruhi positif oleh pendapatan per
kapita dan lag konsumsi beras. Harga beras secara signifikan berpengaruh negatif
terhadap konsumsi beras dengan elastisitas sebesar -0.0222 artinya. Kecilnya nilai
elatisitas konsumsi beras terhadap perubahan harga menunjukkan bahwa beras
merupakan makanan pokok di J awa Barat dan belum ada barang substitusinya
yang dekat, perubahan harga hanya sedikit menurunkan konsumsi dan tidak
merubah konsumen beras untuk merubah konsumsinya dengan beralih pada barang
substitusi dari beras.
Tabel 26. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Beras Kabupaten di
Wilayah Provinsi J awa Barat
Persamaan Konsumsi Beras
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek J . Panjang
INTERCEP 14.071878 97.89 0.0001 - - Intercep
PBRS -0.000119 -2.716 0.0073 -0.0222 -0.0337 Harga beras
J MLMIS -0.002361 -6.506 0.0001 -0.0464 -0.0704
J umlah penduduk
miskin
IKAP 0.000021853 1.515 0.1321 0.0032 0.0048 Pendapatan per kapita
DMDF -0.232747 -2.334 0.0210 - -
Dummy
desentralisasi fiscal
LCONBRSI 0.341672 2.835 0.0053 - - Lag konsumsi beras
F Value Prob>F R-Square Dh
18.404 0.0001 0..5818 12..916
Hasil penelitian ini sesuai dengan kajian yang dilakukan Mears et al. (1981),
Teklu dan J hohnson (1988), Suryana dan Rachman (1988), Tabor et al. (1989),
Sudaryanto dan Sayuti (1990), Sawit (1994), bahwa respons permintaan beras
terhadap perubahan harga beras negatif inelatis. Elastisitas bahan makanan pokok
lebih kecil dibanding elastisitas untuk bahan makanan mewah seperti kelompok
158
sayuran, buah-buahan dan minuman. Rendahnya elastisitas harga beras memberi
petunjuk bahwa usaha mempertahankan harga beras yang rendah tidak banyak
berpengaruh terhadap permintaan. Pertumbuhan permintaan beras lebih ditentukan
oleh pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan daripada oleh perubahan
harga.
J umlah penduduk miskin berhubungan negatif dan signifikan dengan
konsumsi beras dengan nilai elatisitas sebesar 0.0464 artinya apabila jumlah
penduduk miskin meningkat sebesar 10 persen maka konsumsi beras akan turun
sebesar 0.46 persen. Hal ini terjadi karena jumlah konsumsi beras per kapita pada
masyarakat miskin cenderung belum tercukupi sesuai kebutuhan, sehingga
peningkatan jumlah penduduk miskin akan menurunkan rata-rata konsumsi
terhadap beras per kapita. Pada masyarakat miskin makanan pokok beras juga masih
lebih banyak disubstitusi dengan pangan lain yang harganya lebih rendah, dengan
demikian maka peningkatan jumlah penduduk miskin maka akan menurunkan
konsumsi beras. Namun demikian nilai elastisitas yang kecil menunjukkan bahwa
beras masih merupakan makanan dominan bagi penduduk miskin di J awa Barat.
Pendapatan per kapita berhubungan positif dengan konsumsi beras, hal ini
menunjukan bahwa beras masih merupakan barang normal sehingga apabila
pendapatan naik maka konsumsi beras akan naik. Fenomena ini menunjukan bahwa
kondisi masyarakat di daerah penelitian rata-rata kenaikan pendapatannya masih
digunakan untuk meningkatkan konsumsi makanan pokok beras sumber
karbohidarat walau dalam proporsi yang kecil yang ditunjukkan dengan nilai
elastisitas yang inelastis yaitu sebesar 0.1321. Hasil ini relatif lebih kecil dibanding
oleh temuan beberapa peneliti yang menemukan elastisitas pendapatan atas
permintan beras berkisar antara 0.25 sampai 0.60. Sudaryanto dan Sayuti ( 1990)
159
menyebutkan bahwa beras merupakan makanan pokok dan mempunyai elastisitas
pendapatan lebih rendah dibanding makanan seperti daging, sayuran,buah-buahan
dan minuman. Mears et al. (1981) menghasilkan berbagai elastisitas permintaan
beras terhadap pendapatan berdasarkan wilayah dan golongan, untuk wilayah Luar
J awa pada golongan masyarakat berpenghasilan rendah desa elastisitas sebesar 1.52,
rendah kota sebesar 0.96, berpenghasilan menengah desa sebesar 0.56, menengah
kota 0.35, berpenghasilan tinggi desa sebesar 0.28 dan berpenghasilan tinggi kota
sebesar 0.03.
Sedang pada wilayah J awa pada golongan masyarakat berpenghasilan rendah
desa sebesar 0.97, rendah kota sebesar 0.37, menengah desa sebesar 0.36, menengah
kota 0.06, tinggi desa 0.13 dan tinggi kota 0.04. Pada wilayah J awa di perkotaan
masyarakat yang tingkat pendapatannya sudah relatif tinggi kenaikan pendapatan
justru akan menurunkan konsumsi beras, karena mereka akan mensubstitusi beras
dengan pangan lain sumber protein, mineral dan vitamin.
Dummy desentralisasi fiskal bernilai negatif menunjukan bahwa pada masa
desentralisasi fiskal rata-rata tingkat konsumsi beras relatif lebih kecil. Turunnya
konsumsi beras pada daerah penelitian pada masa desentralisasi fiskal kemungkinan
disebabkan oleh: (1) turunnya konsumsi beras karena beralih pada makanan yang
lebih baik misalnya tidak hanya sumber karbohidrat tetapi juga sumber protein,
mineral dan zat-zat makanan lain bagi masyarakat golongan yang mampu, dan (2)
turun karena memang jumlah konsumsi turun yang diakibatkan oleh turunnya
kemampuan akses terhadap pangan beras bagi golongan tidak mampu. Namun
apabila dilihat pada nilai elastisitas beras terhadap perubahan pendapatan sebesar
0.13 lebih rendahnya tingkat konsumsi beras pada masa desentralisasi fiskal
160
disebabkan oleh penurunan rata-rata konsumsi beras terutama oleh golongan
masyarakat berpenghasilan rendah atau golongan masyarakat miskin.
6.2.11. Konsumsi Energi
Konsumsi energi dipengaruhi positif oleh konsumsi beras, pendapatan per
kapita, dana kesehatan, dan lag konsumsi energi. Konsumsi energi merupakan
turunan dari konsumsi beras, apabila konsumsi beras meningkat maka konsumsi
energi akan meningkat karena beras merupakan sumber utama karbohidrat yang
merupakan sumber energi. Nilai elastisitas sebesar 0.8552 menunjukan bahwa
apabila konsumsi beras meningkat sebesar 10 persen maka konsumsi energi akan
meningkat sebesar 8.6 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa pola makan
penduduk di daerah penelitian sebagian besar masih didominasi oleh beras sebagai
makanan pokok, sehingga perubahan konsumsi beras dengan konsumsi energi
searah. Nilai elastisitas kurang dari satu menunjukkan bahwa selain beras masih ada
makanan lain sebagai sumber energi di dalam makanan pokok penduduk di daerah
penelitian.
Pendapatan per kapita berhubungan positif dengan konsumsi energi, hal ini
menunjukan bahwa makanan sumber energi merupakan barang normal sehingga
apabila pendapatan naik maka konsumsi energi akan naik. Kondisi masyarakat di
daerah penelitian rata-rata konsumsi energi masih di bawah angka kecukupan gizi
(AKG) sehingga apabila mengalami peningkatan pendapatan maka sebagian dari
pendapatan itu akan digunakan untuk memenuhi konsumsi energi sehingga apabila
pendapatan per kapita meningkat konsumsi energi juga meningkat. Untuk
masyarakat yang tingkat pendapatannya sudah tinggi dan rata-rata konsumsi energi
sudah melebihi standar kecukupan gizi, maka peningkatan pendapatan justru akan
161
menurunkan konsumsi energi. Pada tabel 27 tersaji hasil analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi konsumsi energi.
Tabel 27. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Energi Kabupaten di
Wilayah Provinsi J awa Barat
Persamaan Konsumsi Energi
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek J . Panjang
INTERCEP 312.989317 3..958 0.0001 - - Intercep
CONBRS 141.703236 23.822 0.0001 0.8552 0.9560 Konsumsi beras
IKAP 0.257806 2..515 0.0321 0.1535 0.1716 Pendapatan per kapita
DPKES 0.00066 0.723 0.4708 - - Pengeluaran kesehatan
LCONSENI 0.105435 1.969 0.051 - - Lag konsumsi energi
F Value Prob>F R-Square Dh
243.715 0.0001 0.8403 10.447
Dana kesehatan berhubungan positif tetapi tidak signifikan terhadap konsumsi
energi, peningkatan dana kesehatan akan meningkatkan penduduk untuk akses
terhadap pangan sumber energi. Hal ini terjadi bisa melalui program-program
penyuluhan tentang pentingnya makanan sehat dan seimbang yang diadakan oleh
dinas kesehatan, program makanan tambahan dan program sejenisnya.Variasi
peubah penjelas dapat menjelaskan variasi konsumsi energi sebesar 84.03 persen.
6.2. 12. Konsumsi Protein
Faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi konsumsi protein adalah
konsumsi energi, pendapatan per kapita, dummy desentralasi fiskal, dan konsumsi
protein tahun sebelumnya.Konsumsi energi signifikan berpengaruh positif terhadap
konsumsi protein dengan nilai elastisitas sebesar 0.7827 artinya apabila konsumsi
energi meningkat sebesar 10 persen maka konsumsi protein akan meningkat sebesar
7.8 persen. Makanan pokok penduduk di daerah penelitian mengandung komposisi
162
kandungan energi dan protein yang relatif imbang, sehingga peningkatan dalam
konsumsi energi diikuti oleh peningkatan dalam konsumsi protein. Beras
mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi sebagai sumber energi disamping
juga kandungan proteinnya relatif tinggi.
Pendapatan per kapita signifikan berhubungan positif dengan konsumsi protein
hal ini menunjukkan bahwa protein merupakan barang normal atau merupakan
barang superior dari sisi nilai gizi, sehingga apabila pendapatan naik maka
peningkatan sebagian pendapatan akan digunakan untuk meningkatkan konsumsi
protein. Kondisi masyarakat di daerah penelitian rata-rata konsumsi protein masih di
bawah angka kecukupan gizi (AKG) sehingga apabila mengalami peningkatan
pendapatan maka sebagian dari pendapatan itu akan digunakan untuk memenuhi
konsumsi protein.
Tabel 28. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Protein Kabupaten di
Wilayah Provinsi J awa Barat
Persamaan Konsumsi Protein
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek J . Panjang
INTERCEP -1414..334811 -9.762 0.0001 - - Intercep
CONSENI 0.020636 12.632 0.0001 0.7827 1.5843 Lag konsumsi energi
IKAP 5..257806 2.015 00832 0..3502 0.7088 Pendapatan per kapita
J MLMIS -2.005260 -3.250 0.0001 -0.0258 -0.0522
J umlah penduduk
miskin
DMDF -4.161020 -9.657 0.0001 - - Dummy desentralisasi
LCONPROT 0.505978 5.255 0.0001 - - Lag konsumsi protein
F Value Prob>F R-Square Dh
65.325 0.0001 0.6544 1.824
J umlah penduduk miskin berhubungan negatif dan signifikan dengan konsumsi
protein, hal ini terjadi karena jumlah konsumsi protein per kapita pada masyarakat
miskin cenderung belum tercukupi sesuai kebutuhan, sehingga peningkatan jumlah
163
penduduk miskin akan menurunkan rata-rata konsumsi protein. Pada masyarakat
miskin makanan pokoknya sebagian besar sebagai sumber energi sedang kandungan
proteinnya relatif kurang karena protein merupakan zat gizi yang relatif lebih mahal.
Dummy desentralisasi fiskal bernilai negatif yang menunjukkan pada masa
densentralisasi fiskal konsumsi protein relatif lebih rendah dibanding sebelum
desentralisasi fiskal. Rendahnya konsumsi protein pada masa desentralisasi fiskal
disebabkan karena rendahnya akses masyarakat terutama dari masyarakat golongan
kurang mampu terhadap pangan hal ini juga ditunjukkan bahwa pada masa
desentralisasi fiskal konsumsi beras juga lebih rendah. Kondisi ini patut mendapat
perhatian karena dengan desentralisasi fiskal yang seharusnya memberi pengaruh
kemudahan pada masyarakat untuk bisa mengakses pangan secara seimbang justru
konsumsi protein pada masa desentralisasi fiskal relatif lebih kecil.
6.2. 13. Jumlah Penduduk Miskin
J umlah penduduk miskin dipengaruhi signifikan oleh pengeluaran kesehatan
per penduduk miskin, pendapatan per kapita, jumlah penduduk dan lag jumlah
penduduk miskin. Sedang pengeluaran pembangunan tidak berpengaaruh signifikan
pada jumlah penduduk miskin.
Pengeluaran kesehatan per penduduk miskin berhubungan negatif dengan nilai
elastisitas sebesar -0.1078 artinya apabila jumlah pengeluaran kesehatan per
penduduk miskin meningkat sebesar 10 persen maka jumlah penduduk miskin akan
turun sebesar 1.08 persen. Dana kesehatan bagi penduduk miskin sangat diperlukan,
dan peningkatan kesehatan bagi masyarakat miskin merupakan peningkatan
produktivitasnya yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bigsten (1992) dan ILO (1976)
164
yaitu pendekatan yang cocok untuk pengurangan kemiskinan adalah dengan strategi
kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan), yang
sasarannya adalah peningkatan taraf hidup masyarakat miskin karena apabila
kebutuhan dasar masyarakat miskin terpenuhi maka akan menigkatkan produktivitas
dan pendapataannya.
Tabel 29. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi J umlah Penduduk Miskin Kabupaten
di Wilayah Provinsi J awa Barat
Persamaan jumlah penduduk miskin
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek J . Panjang
INTERCEP 31.383654 1.405 0.1622 - - Intercep
DPKSMIS -1.813909 -3.225 0.0016 -0.1078 -0.1908
Pengeluaran
kesehatan per
penduduk miskin
IKAP -0.002598 -1.195 0.2341 -0.0192 -0.0341
Pendapatan per
kapita
PPEMB -0.000032 -0.209 0.8346 - -
Pengeluaran
pembangunan
J MLPDK 0.171142 11.952 0.0001 1.0078 1.7831 J umlah penduduk
LJ MLMIS 0.434785 5.172 0.0001 - -
Lag jumlah
penduduk miskin
F Value Prob>F R-Square Dh
55.104 0.0001 0.6679 -
Pendapatan per kapita berhubungan negatif dengan elastisitas sebesar -0.0192
artinya apabila pendapatan per kapita meningkat sebesar 10 persen, maka jumlah
penduduk miskin akan berkurang sebesar 0.2 pesen. Peningkatan pendapatan per
kapita yang diikuti oleh pemerataan pendapatan akan cenderung menurunkan
penduduk miskin, karena masyarakat yang paling bawah tingkat pendapatannya juga
akan ikut terangkat bersamaan dengan peningkatan pendapatan per kapita Tetapi
peningkatan pendapatan per kapita yang tidak diikuti oleh pemerataaan, dimana
penyumbang terbesar dari pendapatan itu hanya beberapa golongan masyarakat
yang mampu justeru akan meningkatkan terjadinya kemiskinan. Nilai elastisitas
dari pendapatan per kapita yang inelastis menujukkan bahwa peningkatan
165
pendapatan tidak sepenuhnya dinikmati oleh golongan masyarakat miskin, tetapi
yang menikmati justru dari golongan masyarakat mampu sehigga peningkatan
pendapatan hanya kecil sekali bisa mengurangi angka kemiskinan.
J umlah penduduk berhubungan positif dengan jumlah penduduk miskin
dengan nilai elastisitas sebesar 1.0078 artinya apabila jumlah penduduk meningkat
sebesar 10 persen maka jumlah penduduk miskin akan meningkat sebesar 10.08
persen.
Peningkatan jumlah penduduk apabila tidak diimbangi oleh peningkatan
pendapatan dan penciptaan lapangan kerja justru menimbulkan beban sehingga akan
menyebabkan terjadinya kemiskinan. Nilai elastisitas yang elastis menunjukkan
bahwa peningkatan jumlah penduduk harus mendapat perhatian karena kenaikan
jumlah penduduk responsif terhadap jumlah kemiskinan. Dengan demikian untuk
mengurangi jumlah penduduk miskin pemerintah daerah harus mengerem
pertumbuhan penduduk dengan mengatur jumlah dan waktu kelahiran terutama bagi
golongan masyarakat tidak mampu dengan menggalakkan program keluarga
berencana (KB).
Pengeluaran pembangunan berhubungan negatif dengan jumlah penduduk
miskin, diharapkan dengan meningkatnya pengeluaran pembangunan maka akan
semakin banyak dana yang tersedia yang bisa digunakan untuk program-program
pengurangan kemiskinan. Namun dalam kenyataannya pengeluaran pembangunan
tidak signifikan mengurangi jumlah penduduk miskin. Hal ini menunjukkan bahwa
pembangunan yang dijalankan di daerah penelitian masih kurang berpihak pada
masyarakat miskin.
166
6.2.14. Prevalensi Angka Anak Gizi Buruk
Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap angka anak gizi buruk
adalah konsumsi protein, pendapatan per kapita dan lag angka gizi buruk. Sedang
jumlah puskesmas, jumlah sekolah dan jumlah buta huruf tidak signifikan terhadap
angka anak gizi buruk.
Konsumsi protein berhubungan negatif dengan elastisitas sebesar -2.6763
artinya apabila konsumsi protein meningkat sebesar 10 persen maka angka gizi
buruk akan turun sebesar 26.76 persen. Protein merupakan sumber gizi yang baik
untuk pertumbuhan, apabila konsumsi protein terpenuhi maka kebutuhan gizi relatif
akan terpenuhi.
Untuk mencegah munculnya penyakit karena kekurangan gizi pada balita
maka dianjurkan terpenuhinya konsumsi protein. Nilai elastisitas yang responsif
maka dalam upaya mengurangi angka anak gizi buruk pemerintah daerah bisa
melakukan program yang mengarahkan penduduk miskin untuk sadar
mengkonsumsi pangan yang seimbang dengan kandungan protein yang tinggi
terutama bagi anak balitanya.
Tabel 30. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prevalensi Angka Anak Gizi
Kurang dan Gizi Buruk Kabupaten di Wilayah Provinsi J awa Barat
Persamaan Anak Gizi Buruk
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek J . Panjang
INTERCEP 3525.48931 9.255 0.0001 - - Intercep
CONPROT -1.006225 -2.938 0.0039 -2.6763 -4.3728 Konsumsi protein
J MLPSM -0.010427 -0.652 0.5155 - - J umlah puskesmas
IKAP -3.025467 -4.255 0.0001 -0.0247 -0.0404 Pendapatan per kapita
J MLSKLH -2.408932 -0.821 0.4351 - - J umlah sekolah
J MLBHRP 0.423356 1.025 0.3621 - -
J umlah penduduk buta
hurup
LAGZBRK 0.387974 3.448 0.0007 - - Lag anak gizi buruk
F Value Prob>F R-Square Dh
23.874 0.0001 0.609 6..962
167
J umlah puskesmas berhubungan negatif dengan angka anak gizi buruk tetapi
tidak berpengaruh signifikan, artinya apabila jumlah puskesmas meningkat
diharapkan angka anak gizi buruk akan turun. Agar jumlah puskesmas berpengaruh
signifikan terhadap penurunan angka anak gizi buruk seharusnya setiap puskesmas
memberi pelayanan kesehatan yang baik terhadap masyarakat miskin dan bersikap
proaktif terhadap program-program yang bertujuan meningkatkan kesehatan
masyarakat miskin. Kondisi yang ada sekarang pelayanan kesehatan di puskesmas
terhadap masyarakat miskin masih kurang, sehingga keberadaan puskesmas tidak
signifikan terhadap penurunan angka anak gizi buruk.
Pendapatan per kapita berhubungan positif dan signifikan terhadap angka gizi
buruk, karena pendapatan yang rendah akan membatasi penduduk untuk bisa akses
terhadap makanan yang bergizi seimbang. Keterbatasan akses pada makanan yang
bergizi dan sehat akan menyebabkan penurunan asupan gizi terutama pada
kelompok penduduk rawan pangan yaitu balita, ibu hamil dan ibu menyusui.
J umlah sekolah berhubungan negatif dengan angka anak gizi buruk tetapi tidak
berpengaruh signifikan, artinya apabila jumlah sekolah meningkat diharapkan
angka anak gizi buruk akan turun karena dengan bertambahnya jumlah sekolah akan
menjangkau semua penduduk untuk bisa akses terhadap pendidikan. Meningkatnya
jumlah penduduk yang bisa akses pada pendidikan akan meningkatkan
pemahamanan masyarakat terhadap pangan yang bergizi seimbang sehingga akan
menurunkan angka gizi buruk.
J umlah penduduk buta huruf berhubungan positif dan tidak signifikan dengan
angka gizi buruk. Penduduk yang buta huruf akan lambat menerima informasi dan
pemahaman tentang makanan yang bergizi, sehingga penurunan angka buta huruf
diharapkan berdampak pada penurunan angka gizi buruk.
168
6.2. 15. Angka Kematian Bayi
Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap angka kematian bayi
adalah angka anak gizi buruk, jumlah penduduk miskin, jumlah bidan, pengeluaran
kesehatan dan pendidikan dan dummy desentralisasi fiskal dan lag angka kematian
bayi. Angka anak gizi buruk berhubungan positif dengan nilai elastisitas sebesar
0.1471 artinya apabila angka gizi buruk turun sebesar 10 persen maka angka
kematian bayi akan turun sebesar 1.47 persen. Angka anak gizi buruk mencerminkan
kondisi status gizi masyarakat yang rawan pangan (balita), kondisi status gizi balita
berhubungan positif dengan tingkat kematian bayi artinya hubungan komplementer
yaitu apabila status gizi balita baik juga diikuti oleh kondisi kesehatan ibu hamil
yang baik sehingga akan berpengaruh yang baik pula pada proses kelahiran bayi.
Tabel 31. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Angka Kematian Bayi Kabupaten
di Wilayah Provinsi J awa Barat
Persamaan Angka Kematian Bayi
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek J . Panjang
INTERCEP 48.399147 15.622 0.0001 - - Intercep
AGZBRK 0.395665 4.695 0.0001 0.1471 0.2978 Angka anak gizi buruk
J MLMIS 0.021822 3.886 0.0002 0.0970 0.1598 J umlah penduduk miskin
J MLBDN -0.010886 -1.638 0.1038 -0.0570 -0.0939 J umlah bidan
MDKSPN -2.10E-09 -1.837 0.0684 -0.0040 -0.0066
Multiple pengeluaran
kesehatan dan pendidikan
DMDF -2.399693 -1.777 0.0779 - - Dummy desentralisasi
LAKMTBY 0.392946 3.800 0.0002 - - Lag angka kematian bayi
F Value Prob>F R-Square Dh
12.246 0.0001 0.5508 1.206
J umlah penduduk miskin berhubungan positif dengan angka kematian bayi,
karena penduduk miskin adalah penduduk yang tidak bisa mencukupi kebutuhan
dasarnya yaitu pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Sehingga
169
peluang terjadinya kematian dalam proses kelahiran lebih besar, karena
kemungkinan status gizi yang tidak mendukung, pengetahuan tentang kesehatan
yang kurang juga kondisi kesehatan yang tidak terpenuhi. Nilai elastisitas sebesar
0.0970 artinya adalah apabila jumlah penduduk miskin turun sebesar 10 persen
maka angka kematian bayi akan turun sebesar 0.97 persen.
J umlah bidan berhubungan negatif dengan angka kematian bayi, karena bidan
merupakan tenaga medis yang bertugas dalam persalinan. Semakin besar jumlah
bidan berarti semakin besar tenaga medis yang bertugas dalam persalinan sehingga
akan memperkecil angka kematian bayi dalam angka kelahiran. Setiap kenaikan
jumlah bidan sebesar 10 persen maka akan menurunkan angka kematian bayi
sebesar 0.57 persen.
Dana pengeluaran kesehatan dan pendidikan berhubungan negatif dengan
angka kematian bayi, karena semakin besar dana kesehatan dan pendidikan maka
semakin besar fasilitas yang disediakan pemerintah untuk meningkatkan kesehatan
dan pendidikan sehingga masyarakat akan semakin sadar akan kesehatan yang
akhirnya akan berpengaruh pada angka kematian bayi. Nilai elastisitas sebesar -
0.0040 artinya setiap kenaikan multiple dana kesehatan dan pendidikan sebesar 10
persen maka angka kematian bayi akan turun sebesar 0.04 persen. Kecilnya
pengaruh dari faktor ini kemumgkinan disebabkan karena adanya faktor time-lag
yaitu pengaruhnya tidak secara langsung tetapi baru beberapa tahun kemudian, atau
kemungkinan karena dananya yang relatif kecil sehingga pengaruhnya juga relatif
kecil.
Dummy desentralisasi fiskal bernilai negatif menunjukkan bahwa pada masa
desentralisasi fiskal angka kematian bayi relatif lebih kecil. Kondisi ini
menunjukkan bahwa dengan desentralisasi fiskal telah terjadi pelayanan yang relatif
170
lebih baik terhadap proses persalinan akibat semakin berkembangnya pengetahuan
dan teknologi juga jumlah tenaga medis sehingga angka kematian bayi relatif lebih
kecil.
6.2. 16. Umur Harapan Hidup
Faktor-faktor yang signifikan berpengaruh terhadap umur harapan hidup
adalah konsumsi protein, pengeluaran kesehatan per penduduk miskin, angka
kematian bayi dan lag umur harapan hidup.
Konsumsi protein berhubungan positif dengan angka elastisitas sebesar 0.1123
menunjukkan bahwa apabila tingkat konsumsi protein meningkat sebesar 10 persen
maka umur harapan hidup akan meningkat sebesar 1.12 persen. Protein merupakan
zat gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan mengganti sel-sel yang rusak.
Sehingga apabila tingkat konsumsi protein berkecukupan akan mempengaruhi
kondisi kesehatan konsumen dan kondisi ini akan berpengaruh pada kondisi umur
harapan hidup seseorang.
Pengeluaran kesehatan per penduduk miskin berhubungan positif dengan umur
harapan hidup, pengeluaran kesehatan yang langsung ditujukan oleh penduduk
miskin akan langsung bisa meningkatkan kesehatan masyarakat miskin dan akan
berpengaruh pada umur harapan hidup. Nilai elastisitas sebesar 0.0081 artinya
apabila dana pengeluaran kesehatan per penduduk miskin naik sebesar 10 persen
maka umur harapan hidup akan naik sebesar 0.08 persen. Kecilnya pengaruh dana
tersebut karena adanya faktor time-lag yaitu pengaruhnya tidak langsung tetapi baru
beberapa tahun kemudian.
Angka kematian bayi berhubungan negatif dengan nilai elastisitas sebesar -
0.1353 artinya apabila angka kematian bayi turun sebesar 10 persen maka umur
171
harapan hidup akan meningkat sebesar 1.35 persen. Angka kematian bayi
merupakan salah satu indikator status gizi dari golongan masyarakat rawan gizi,
apabila kondisi ini semakin baik maka akan mempengaruhi kondisi dan kualitas
SDM sehingga dalam jangka panjang akan mempengaruhi kondisi umur harapan
hidup.
Dummy desentralisasi fiskal bernilai positif menunjukkan bahwa kondisi umur
harapan hidup relatif lebih tinggi pada masa desentralisasi fiskal. Artinya
desentralisasi fiskal telah membawa perubahan pada kualitas SDM yang lebih baik
sehingga memberikan angka harapan hidup yang lebih tinggi.
Tabel 32. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Umur Harapan Hidup
Kabupaten di Wilayah Provinsi J awa Barat
Persamaan Usia Harapan Hidup
Elastisitas
Variable
Parameter
Estimate
T for H0:
Parameter=0
Prob >|T|
J . Pendek J . Panjang
Label Variabel
INTERCEP 65.157453 15.870 0.0001 - - Intercep
CONPROT 0.126100 1..917 0.0573 0.1123 0.1739 Konsumsi protein
DPKSMIS 0.033875 3..530 0.0006 0.0081 0.0125
Pengeluaran kesehatan
per penduduk miskin
AKMBY -0.150308 -7.609 0.0001 -0.1353 -0.2095 Angka kematian bayi
DMDF 0.207502 0.576 0.5656 - - Dummy desentralisasi
LUHHDP 0.354258 3.472 0.0007 - - Lag usia harapan hidup
F Value Prob>F R-Square Dh
24.053 0.0001 0.5675 -
VII. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN DAN FAKTOR EKSTERNAL
TERHADAP KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN
DI PROVINSI JAWA BARAT
7.1. Validasi Model
Simulasi dilakukan untuk menganalisis dampak perubahan berbagai skenario
kebijakan dan faktor eksternal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di J awa Barat.
Simulasi historis (ex-post simulation) dilakukan pada periode tahun 1995 2000 periode
sebelum desentralisasi dan tahun 2001 2005 periode masa desentralisasi fiskal, simulasi
dilakukan dengan kebijakan tunggal maupun kebijakan ganda. Sebelum melakukan
simulasi, terlebih dahulu dilakukan validasi model melalui perhitungan uji statistik
U-Theil dengan dekomposisinya UM (bias proporsi), US ( bias varian) dan UC (bias
covarian). Statistik U-Theil digunakan untuk mengevaluasi kemampuan model dalam
analisis simulasi ( Koutsoyiannis, 1977; Sitepu dan Sinaga, 2006). Nilai U-Theil berkisar
antara 0 1, semakin kecil nilai U- Theil menunjukkan bahwa model mempunyai daya
prediksi yang baik untuk melakukan simulasi baik simulasi historis maupun simulasi
peramalan.
Sebagaimana terlihat pada Lampiran 2, dari keseluruhan persamaan dalam model
terdapat 4 persamaan memiliki U-Theil dengan nilai diatas 0.2 namun memiliki UM ( bias
proporsi) dengan nilai nol sehingga mengindikasikan terjadinya bias namun tidak
sistemik, dan selebihnya memiliki nilai U-Theil yang kurang dari 0.2. Hasil validasi ini
menunjukkan bahwa secara umum model yang dibangun memiliki daya prediksi yang baik
untuk melakukan simulasi historis maupun simulasi peramalan ( Koutsoyiannis, 1977).
173
7.2. Simulasi Historis Periode Sebelum Desentralisasi Fiskal Tahun 1995 2000
Simulasi dilakukan secara tunggal maupun ganda dengan perincian sebagai
berikut:
7.2.1. Dampak Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat
Desentralisasi fiskal memberi kebebasan pada pemerintah daerah dalam menggali
potensi daerah sebagai sumber penerimaanya. Salah satu tolok ukur kemandirian
pemerintah daerah adalah kemampuannya dalam menghasilkan Penerimaan Asli Daerah
(PAD) . Dalam desentralisasi fiskal diharapkan pemerintah daerah bisa meningkatkan PAD
sebagai sumber penerimaannya. Sumber PAD yang kontribusinya paling besar pada
pemerintah daerah kabupaten di J awa Barat adalah pajak daerah dan retribusi daerah.
Selama desentralisasi fiskal telah terjadi kenaikan penerimaan rata-rata berkisar 35 persen
akibat adanya ekstensifikasi dan intensifikasi pajak daerah dan retribusi daerah.
Peningkatan 35 persen terhadap penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah
berpengaruh pada peningkatan PAD sebesar 9.12 persen yang selanjutnya meningkatkan
penerimaan daerah dan pengeluaran daerah baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran
pembangunan. Pengeluaran rutin meningkat sebesar 1.02 persen dan pengeluaran
pembangunan meningkat sebesar 0.56 persen. Peningkatan pengeluaran pembangunan
selanjutnya meningkatkan pengeluaran sektoral termasuk sektor pembangunan pertanian
meningkat sebesar 0.54 persen. Peningkatan pengeluaran sektoral termasuk sektor
pertanian meningkatkan PDRB Pertanian sebesar 0.02 persen dan PDRB sebesar 0.001
persen, kinerja ketahanan pangan (dari sisi produksi konsumsi dan pemanfaatan pangan)
serta menurunkan kemiskinan sebesar 0.0003 persen. Keterbatasan pada model ini tidak
mengakomodasi kinerja perekonomian dari sisi investasi swasta, sehingga dampak dari
174
peningkatan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah hanya dilihat dari sisi
penerimaan pemerintah yang meningkat sedang dampak negatif dari peningkatan
penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang berpengaruh terhadap investasi dan
perekonomian daerah tidak bisa dilihat pengaruhnya.
Tabel 33. Dampak Kenaikan Penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebesar
35 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah
Provinsi J awa Barat
Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 176 483.0000 177 054.8050 571.8050 0.3240
PAD 10 163.0000 11 094.2865 931.2865 9.1635
PJ KDAE 3 083.0000 4 162.0000 1 079.0500 35.0000
DALOK 92 311.0000 90 169.3848 -2 141.6152 -2.3200
PRUTIN 69 391.0000 70 101.2169 710.2169 1.0235
PPEMB 42 160.0000 42 162.3728 2.3728 0.0056
PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 1 710.0000 1719.2682 9.2682 0.5420
GDAE 111 551.0000 111 719.2682 168.2623 0.1508
KESFIS 64 932.0000 64 629.9886 -302.0114 -0.4651
PDRBP 496.2203 496.3171 0.0968 0.0195
PDRBNP 2 392.0000 2 392.0000 0.0000 0.0000
PDRB 2 888.0000 2 888.0029 0.0029 0.0001
PRODGAB 546 930.0000 547 058.0000 128.0000 0.0234
INCPPI 355.4624 355.4700 0.0076 0.0021
TKP 256.7067 256.7724 0.0657 0.0256
QPUK 5 924 984.0000 5 927 365.8440 2 381.8436 0.0402
PGAB 955.4250 955.6161 0.1911 0.0200
PRODBRS 355 505.0000 355 589.0000 84.0000 0.0236
IKAP 2.1381 2.1381 0.0000 0.0000
PBRS 1 925.0000 1 925.3420 0.3420 0.0177
CONBRS 13.1645 13.1655 0.0010 0.0076
CONSEN 2 178.0000 2 178.2350 0.2350 0.0112
CONPROT 57.4755 57.4764 0.0009 0.0016
J MLMIS 271.1851 271.1840 -0.0011 -0.0004
AGZBRK 25.0052 25.0049 -0.0003 -0.0012
AKMTBY 60.8174 60.8164 -0.0010 -0.0016
UHHDP 63.5673 63.5674 0.0001 0.0002
175
7.2.2. Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin sebesar 10 Persen ke Pengeluaran
Pembangunan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah
Provinsi Jawa Barat
Desentralisasi fiskal berpengaruh pada peningkatan pengeluaran rutin yang cukup
signifikan, pada masa desentralisasi fiskal pengeluaran rutin berkontribusi hamper 80
persen terhadap pengeluaran daerah. Dengan melakukan efisiensi pada pembiayaan
operasional pemerintahan maka pengeluaran rutin bisa dihemat dan penghematan sebesar
10 persen dari pengeluaran rutin tersebut dialokasikan pada pengeluaran pembangunan.
Tabel 34. Dampak Relokasi Pengeluaran Rutin sebesar 10 Persen ke Pengeluaran
Pembangunan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah
Provinsi J awa Barat
Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 176 483.0000 176 483.0000 0.0000 0.0000
PAD 10 163.0000 10 163.0000 0.0000 0.0000
PJ KDAE 3 083.0000 3 083.0000 0.0000 0.0000
DALOK 92 311.0000 92 311.0000 0.0000 0.0000
PRUTIN 69 391.0000 62 452.0000 6 959.0000 -10.0000
PPEMB 42 160.0000 49 160.7941 7 000.7941 37.3738
PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 1 710.0000 1 795.8675 85.8675 5.0215
GDAE 111 551.0000 111 551.0000 0.0000 0.0000
KESFIS 64 932.0000 64 932.0000 0.0000 0.0000
PDRBP 496.2203 501.4355 5.2152 1.0510
PDRBNP 2 392.0000 2 392.0000 0.0000 0.0000
PDRB 2 888.0000 2 893.9204 5.9204 0.2050
PRODGAB 546 930.0000 548 598.1365 1 668.1365 0.3050
INCPPI 355.4624 355.9000 0.4373 0.1230
TKP 256.7067 257.1303 0.4236 0.1650
QPUK 5 924 984.0000 5 953 601.6730 28 617.6727 0.4830
PGAB 955.4250 955.4460 0.0210 0.0022
PRODBRS 355 505.0000 356 582.1800 1 077.1800 0.3030
IKAP 2.1381 2.1449 0.0070 0.3200
PBRS 1 9 250.0000 19 269.8275 19.8275 0.1030
CONBRS 13.1645 13.1654 0.0009 0.0068
CONSEN 2 178.0000 2 178.0087 0.0087 0.0004
CONPROT 57.4755 57.4760 0.0005 0.0009
J MLMIS 271.1851 271.1802 -0.0049 -0.0018
AGZBRK 25.0052 25.0048 -0.0004 -0.0012
AKMTBY 60.8174 60.8166 -0.0008 -0.0013
UHHDP 63.5673 63.5669 0.0004 0.0007
176
Relokasi pengeluaran rutin sebesar 10 persen meningkatkan pengeluaran
pembangunan sebesar 37.37 persen. Peningkatan pengeluaran pembangunan meningkatkan
pengeluaran sektoral termasuk diantaranya adalah pengeluaran sektor pertanian meningkat
sebesar 5.02 persen sehingga berdampak meningkatkan kinerja perekonomian berupa
PDRB Pertanian 1.05 persen PDRB 0.20 persen pendapatan per kapita 0.32 persen,
meningkatkan kinerja ketahanan pangan baik dari sisi produksi, konsumsi dan
pemanfaatan pangan serta menurunkan kemiskinan sebesar 0.0018 persen. Kebijakan ini
mempunyai pengaruh paling besar pada kinerja fiskal berupa meningkatnya pengeluaran
pembangunan sehingga akan mempengaruhi kinerja perekonomian.
7.2.3. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian 20 Persen terhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat
Pada skenario ini dilakukan simulasi terhadap kebijakan peningkatan pengeluaran
sektor pertanian sebesar 20 persen. Selama pelaksanaan desentralisasi fiskal proporsi
pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian relatif kecil dan cenderung terabaikan,
padahal sektor pertanian merupakan sektor dimana sebagian besar penduduk terutama di
perdesaan menggantungkan hidupnya.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran sektor pertanian
sebesar 20 persen berpengaruh pada peningkatan PDRB sektor pertanian sebesar 1.2
persen dan peningkatan produksi gabah sebesar 0.4 persen. Hal tersebut menyebabkan
terjadinya peningkatan pendapatan pada sektor pertanian sebesar 0.09 persen dan
pendapatan per kapita sebesar 0.08 persen. Peningkatan pendapatan terutama pada sektor
pertanian menyebabkan terjadinya penurunan jumlah penduduk miskin karena angka
kemiskinan banyak terjadi pada sektor tersebut. Peningkatan pendapatan dan penurunan
177
jumlah penduduk miskin menyebabkan terjadinya peningkatan rata-rata konsumsi beras,
energi dan protein yang merupakan cerminan adanya peningkatan akses pangan dan
diversifikasi pangan dari sumber karbohidrat kepada pangan sumber protein.
Tabel 35. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen
terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi
J awa Barat
Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 176 483.0000 176 485.0000 2.0000 0.0011
PAD 10 163.0000 10 164.0000 1.0000 0.0098
PJ KDAE 3 083.0000 3 085.0000 2.0000 0.0649
DALOK 92 311.0000 92 310.2615 -0.7384 -0.0008
PRUTIN 69 391.0000 69 394.1919 3.1919 0.0046
PPEMB 42 160.0000 42 160.1080 0.1080 0.0005
PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 1 710.0000 2 052.0000 342.0000 20.0000
GDAE 111 551.0000 111 926.0345 375.0345 0.3362
KESFIS 64 932.0000 64 559.0000 -373.0000 -0.5744
PDRBP 496.2203 501.9607 5.7404 1.1568
PDRBNP 2 392.0000 2 392.0334 0.0335 0.0014
PDRB 2 888.0000 2 894.0012 6.0012 0.2078
PRODGAB 546 930.0000 549 104.0000 2 174.0000 0.3975
INCPP 355.4624 355.7929 0.2605 0.0930
TKP 256.7067 257.4416 0.7349 0.2863
QPUK 5 924 984.0000 5 925 025.4750 41.4748 0.0007
PGAB 955.4250 955.3399 -0.0850 -0.0089
PRODBRS 355 505.0000 356 918.1324 1 413.1324 0.3977
IKAP 2.1381 2.1399 0.0018 0.0842
PBRS 1 925.0000 1 924.0000 -1.0000 -0.0519
CONBRS 13.1645 13.1650 0.0005 0.0040
CONSEN 2 178.0000 2 178.0152 0.0152 0.0007
CONPROT 57.4755 57.4757 0.0002 0.0003
J MLMIS 271.1851 271.1729 -0.0122 -0.0045
AGZBRK 25.0052 25.0049 -0.0003 -0.0012
AKMTBY 60.8174 60.8171 -0.0003 -0.0005
UHHDP 63.5673 63.5674 0.0001 0.0002
178
Hal tersebut berdampak pada penurunan angka gizi buruk dan angka kematian
bayi serta kenaikan umur harapan hidup. Akibat penurunan jumlah penduduk miskin
berdampak pula pada peningkatan penerimaan pajak dan PAD sehingga meningkatkan
penerimaan daerah. Penurunan jumlah penduduk miskin juga mengurangi beban subsidi
yang ditanggung pemerintah sehingga berpotensi pada peningkatan penerimaan daerah.
Peningkatan penerimaan daerah berdampak pada pengurangan kesenjangan fiskal sebesar
0.6 persen, sehingga akan mengurangi beban pemerintah dalam pembiayaan daerah yang
cenderung mengalami defisit. Dengan demikian pengurangan jumlah penduduk miskin dan
peningkatan ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dan individu, akan berdampak
pada kinerja fiskal daerah yang semakin baik karena beban subsidi dari pemerintah bisa
berkurang dan pendapatan dari pajak akan meningkat.
Kinerja fiskal daerah yang baik yang dicerminkan dengan meningkatnya PAD dan
penerimaan daerah serta berkurangnya kesenjangan fiskal akan berpengaruh pada kinerja
perekonomian daerah berupa peningkatan PDRB yang selanjutnya akan meningkatkan
tingkat pendapatan penduduk terutama pada sektor pertanian sehingga kemiskinan
menurun dan ketahanan pangan meningkat. Kecilnya respons kebijakan fiskal peningkatan
pengeluaran sektor pertanian terhadap kemiskinan dan indikator outcome ketahanan
pangan karena pengaruhnya tidak langsung dan harus melalui mekanisme transmisi yang
membutuhkan time lag. Hasil temuan ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh J ayawinata (2005) dengan wilayah kajian Indonesia bahwa respons kebijakan makro
mempunyai pengaruh yang kecil terhadap kinerja ketahanan pangan di tingkat mikro yaitu
rumah tangga dan individu. Lebih lanjut disebutkan kecilnya respons disebabkan adanya
179
mekanisme transmisi dari kebijakan dari tingkat makro ke tingkat mikro sehingga
membutuhkan time lag yang panjang.
7.2.4. Dampak Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Persen dan Dana
Pendidikan sebesar 20 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan
di Wilayah Provinsi Jawa Barat
Tabel 36. Dampak Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Persen
dan Dana Pendidikan sebesar 20 Persen terhadap Kemiskinan dan
Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi J awa Barat
Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 176 483.0000 176 484.5883 1.5883 0.0009
PAD 10 163.0000 10 163.1931 0.1931 0.0019
PJ KDAE 3 083.0000 3 083.0370 0.0370 0.0012
DALOK 92 311.0000 92 310.6308 -0.3692 -0.0004
PRUTIN 69 391.0000 69 393.0817 2.0817 0.0030
PPEMB 42 160.0000 42 212.2784 0.0560 0.0012
PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 1 710.0000 1 710.0026 0.0026 0.0000
GDAE 111 551.0000 111 552.3386 1.3386 0.0012
KESFIS 64 932.0000 64 930.9610 -1.0389 -0.0016
PDRBP 496.2203 496.2431 0.0228 0.0046
PDRBNP 2 392.0000 2 392.0000 0.0000 0.0000
PDRB 2 888.0000 2 888.0347 0.0347 0.0012
PRODGAB 546 930.0000 546 975.8342 45.8342 0.0084
INCPP 355.4624 355.6622 0.1998 0.0562
TKP 256.7067 256.7244 0.0177 0.0069
QPUK 5 924 984.0000 5 925 617.973 633.9732 0.0107
PGAB 955.4250 955.4250 0.0000 0.0000
PRODBRS 355 505.0000 355 534.1514 29.1514 0.0082
IKAP 2.1381 2.1384 0.0003 0.0124
PBRS 1 925.0000 1 925.0000 0.0000 0.0000
CONBRS 13.1645 13.1656 0.0011 0.0084
CONSEN 2 178.0000 2 181.3759 3.3759 0.1550
CONPROT 57.4755 57.5362 0.0607 0.1056
J MLMIS 271.1851 271.1840 -0.0011 -0.0004
AGZBRK 25.0052 24.9443 -0.0509 -0.2435
AKMTBY 60.8174 60.7458 -0.0716 -0.1177
UHHDP 63.5673 63.6689 0.1016 0.1598
180
Selama implementasi desentralisasi fiskal telah terjadi penuruna pada kualitas
pelayanan kesehatan dan pendidikan terutama bagi masyarakat golongan miskin.
Penurunan kualitas pelayanan kesehatan dan pendidikan disebabkan adanya perubahan
manajemen dan kelembagaan pada masa transisi pelaksanaan desentralisasi fiskal.
Meningkatnya angka gizi buruk, jumlah penduduk sangat rawan pangan dan angka
putus sekolah merupakan salah satu indikator terjadinya penurunan kualitas pelayanan
kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat. Peningkatan pengeluaran kesehatan dan
pendidikan sebesar 20 persen diharapkan bisa digunakan untuk melakukan revitalisasi
program-program kesehatan dan perbaikan pelayanan pendidikan terutama bagi golongan
penduduk miskin. Peningkatan dana kesehatan dan pendidikan berpengaruh pada
peningkatan konsumsi beras 0.0084 persen. konsumsi energi 0.1550 persen dan konsumsi
protein 0.1056 persen, selanjutnya menurunkan jumlah angka gizi buruk 0.2434 persen dan
angka kematian bayi 0.1177 persen serta meningkatkan umur harapan hidup sebesar
0.1598 persen. Peningkatan dana kesehatan dan pendidikan juga berpengaruh pada
penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 0.0004 persen. Dampak paling besar dari
kebijakan ini adalah terjadinya peningkatan kinerja ketahanan pangan dari sisi konsumsi
pangan dan pemanfaatan pangan berupa derajat kesehatan masyarakat yang diproksi
dengan angka gizi buruk, angka kematian bayi dan umur harapan hidup.
7.2.5. Dampak Peningkatan Harga Pupuk sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan
dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat
Pupuk merupakan input dominan pada usahatani padi dan berbeda dengan input lain
seperti tenaga kerja dan bibit, pupuk merupakan input yang harus dikeluarkan petani
dengan cara pembelian yang harus menggunakan uang tunai. Sehingga keberadaan pupuk
181
dengan harga yang terjangkau dan sistem tataniaga yang baik sangat berpengaruh besar
terhadap sistem produksi usahatani padi. Pupuk juga merupakan input yang mempunyai
nilai produktivitas marginal paling tinggi dibanding input lain dalam proses produksi padi.
Harga pupuk selalu berkecenderungan mengalami kenaikan sesuai dengan kenaikan pada
proses produksinya.
Tabel 37. Dampak Peningkatan Harga Pupuk sebesar 15 Persen terhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi J awa Barat
Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 176 483.0000 176 482.4000 -0.6000 -0.00034
PAD 10 163.0000 10 162.0000 -1.0000 -0.00984
PJ KDAE 3 083.0000 3 082.3525 -0.0065 -0.00021
DALOK 92 311.0000 92 311.3692 0.3692 0.00040
PRUTIN 69 391.0000 69 391.1527 0.1527 0.00022
PPEMB 42 160.0000 42 160.0379 0.0379 0.00009
PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.00000
PSEKP 1 710.0000 1 710.0021 0.0021 0.00012
GDAE 111 551.0000 111 551.0223 0.0223 0.00002
KESFIS 64 932.0000 64 932.0909 0.0909 0.00014
PDRBP 496.2203 492.5556 -3.6647 -0.73852
PDRBNP 2 392.0000 2 392.0000 0.0000 0.00000
PDRB 2 888.0000 2 884.9999 -3.0001 -0.10388
PRODGAB 546 930.0000 546 887.6500 -42.3510 -7.74340
INCPPI 355.4624 349.0249 -6.4375 -1.81102
TKP 256.7067 256.0544 -0.6522 -0.25408
QPUK 5 924 984.0000 5 406 239.0000 -518 745.0000 -8.75521
PGAB 955.4250 957.4983 2.0733 0.21700
PRODBRS 355 505.0000 327 976.0000 -27 529.0000 -7.74363
IKAP 2.1381 2.1352 -0.0029 -0.13563
PBRS 1 925.0000 1 929.0000 4.0000 0.20779
CONBRS 13.1645 13.1640 -0.0005 -0.00380
CONSEN 2 178.0000 2 177.8148 -0.1851 -0.00850
CONPROT 57.4755 57.4741 -0.0014 -0.00244
J MLMIS 271.1851 271.1855 0.0004 0.00014
AGZBRK 25.0052 25.0067 0.0015 0.00600
AKMTBY 60.8174 60.8180 0.0006 0.00099
UHHDP 63.5673 63.5670 -0.0003 -0.00047
182
Bahkan ada kecenderungan bahwa trend kenaikan harga pupuk relatif lebih besar
dibanding dengan trend kenaikan harga gabah. Sehingga pemerintah selama ini masih
melakukan subsidi terhadap input pupuk bagi petani. Namun dengan semakin terbatasnya
anggaran yang dimiliki pemerintah maka pemerintah harus selektif dan efisien dalam
penggunaan anggaran termasuk dalam melakukan subsidi pupuk.
Subsidi dilakukan apabila benar-benar dibutuhkan dan memberi manfaat yang besar
bagi masyarakat dibanding dengan biaya subsidi yang dikeluarkan. Pada simulasi ini akan
dilihat bagaimana pengaruhnya apabila harga pupuk mengalami kenaikan sebesar 15
persen dari rata-rata harga yang berlaku sebagai proksi terhadap adanya penghapusan
/pengurangan subsidi pupuk bagi petani. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan
harga pupuk akan menurunkan penggunaan pupuk sebesar 8.76 persen dan hal ini akan
berpengaruh pada penurunan produksi gabah sebesar 7.74 persen dan penurunan PDRB
sektor pertanian sebesar 0.74 persen. Penurunan produksi gabah akan berpengaruh pada
penurunan pendapatan pada sektor pertanian sebesar 1.81 persen dan penurunan
pendapatan per kapita sebesar 0.14 persen. Hal ini akan berpengaruh pada peningkatan
jumlah penduduk miskin sehingga akan berdampak pada penurunan konsumsi beras,
energi, protein akibatnya akan berpengaruh pada peningkatan angka gizi buruk dan angka
kematian bayi yang selanjutnya menurunkan angka umur harapan hidup. Respons
perubahan harga pupuk terhadap produksi gabah memberi pengaruh yang lebih responsif
dibanding pengaruhnya terhadap konsumsi, jumlah kemiskinan serta outcome ketahanan
pangan. Karena perubahan harga pupuk mempengaruhi langsung penggunaan pupuk yang
merupakan input yang nilai produktivitas marginalnya besar pada usahatani padi, sehingga
berdampak langsung terhadap hasil produksi gabah dan pendapatan sektor pertanian.
183
Sedang pengaruh terhadap konsumsi, kemiskinan dan outcome ketahanan pangan selain
pengaruhnya tidak langsung juga masih ada faktor lain yang ikut mempengaruhi faktor-
faktor tersebut, diantaranya tingkat daya beli, pendapatan, pendidikan individu, pelayanan
kesehatan, pelayanan pendidikan, informasi dan sosialisasi dari pemerintah.
7.2.6. Dampak Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan
dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat
Tabel 38. Dampak Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi J awa Barat
Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 176 483.0000 176 545.1220 62.1220 0.0352
PAD 10 163.0000 10 163.2845 0.2845 0.0028
PJ KDAE 3 083.0000 3 084.0000 1.0000 0.0324
DALOK 92 311.0000 92 310.6308 -0.3692 -0.0004
PRUTIN 69 391.0000 69 391.9020 0.9020 0.0013
PPEMB 42 160.0000 42 161.1804 1.1804 0.0028
PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 1 710.0000 1 710.0461 0.0461 0.0027
GDAE 111 551.0000 111 555.5735 4.5735 0.0041
KESFIS 64 932.0000 64 911.8062 -20.1938 -0.0311
PDRBP 496.2203 496.7394 0.5191 0.1046
PDRBNP 2 392.0000 2 392.0143 0.0143 0.0006
PDRB 2 888.0000 2 889.0000 1.0000 0.0346
PRODGAB 546 930.0000 552 930.0000 6 000.0000 1.0970
INCPPI 355.4624 356.3743 0.9119 0.2565
TKP 256.7067 257.1798 0.4731 0.1843
QPUK 5 924 984.0000 5 998 471.5770 73.4875 1.2403
PGAB 955.4250 1 098.7387 143.3137 15.0000
PRODBRS 355 505.0000 359 404.0000 3 899.0000 1.0967
IKAP 2.1381 2.1385 0.0004 0.0187
PBRS 1 925.0000 1 926.0000 1.0000 0.0519
CONBRS 13.1645 13.1688 0.0043 0.0326
CONSEN 2 178.0000 2 178.1241 0.1241 0.0057
CONPROT 57.4755 57.4758 0.0003 0.0005
J MLMIS 271.1851 271.1835 -0.0016 -0.0006
AGZBRK 25.0052 25.0050 -0.0002 -0.0008
AKMTBY 60.8174 60.8173 -0.0001 -0.0002
UHHDP 63.5673 63.5675 0.0002 0.0004
184
Kebijakan perberasan dilakukan bertujuan untuk mendorong peningkatan produksi
gabah dan peningkatan pendapatan bagi petani, selain itu juga bertujuan untuk menjamin
pasokan beras sebagai bahan pangan pokok sebagian besar masyarakat dalam jumlah yang
cukup dan harga terjangkau.
Namun yang menjadi permasalahan adalah keberpihakan pemerintah terhadap
kesejahteraan para petani yang tidak maksimal bahkan cenderung terabaikan terutama
sejak segala perangkat kebijakan perberasan dilepaskan. Kebijakan harga dasar gabah
(HDG) telah digantikan oleh kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) yang cenderung
kurang efektif. Kenaikan harga gabah merupakan eksternalitas akibat adanya kebijakan
HPP dari pemerintah pusat. Karena keterbatasan bulog dalam menyerap gabah petani pada
saat panen raya kadang-kadang harga gabah di tingkat petani yang berlaku cenderung
lebih rendah dibanding harga yang direkomendasikan oleh pemerintah yaitu harga
pembelian pemerintah (HPP). Kenaikan harga gabah diharapkan dibarengi oleh terjadinya
proses diversifikasi pangan non beras terutama bagi penduduk berpenghasilan rendah.
Dari hasil simulasi peningkatan harga gabah sebesar 15 persen dari rata-rata harga
gabah yang berlaku menunjukkan adanya pengaruh terhadap peningkatan penggunaan
pupuk sebesar 1.24 persen dan peningkatan produksi gabah sebesar 1.10 persen serta
peningkatan PDRB sektor pertanian sebesar 0.1 persen. Sehingga berpengaruh pada
peningkatan pendapatan petani sebesar 0.26 persen serta meningkatkan pendapatan per
kapita sebesar 0.02 persen. Peningkatan pendapatan per kapita berpengaruh meningkatkan
konsumsi beras, energi dan protein dan menurunkan angka gizi buruk dan angka kematian
bayi serta meningkatkan umur harapan hidup dengan respon yang relatif kecil. Penurunan
jumlah penduduk miskin mengurangi subsidi pemerintah bagi masyarakat miskin dan akan
185
meningkatkan penerimaan dari sektor pajak, sehingga akan meningkatkan PAD dan
penerimaan daerah yang selanjutnya akan meningkatkan kinerja fiskal dengan
berkurangnya kesenjangan fiskal daerah. Peningkatan harga gabah sebaiknya dibarengi
pelaksanaan diversifikasi pangan non beras.
7. 2.7. Peningkatan Harga Pupuk sebesar 15 Persen dan Harga Gabah 15 Prsen
terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat
Tabel 39. Dampak Peningkatan Harga Pupuk sebesar 15 Persen dan Harga Gabah
sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di
Wilayah Provinsi J awa Barat
Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 176 483.0000 176 482.4706 -0.5294 -0.0003
PAD 10 163.0000 10 162.4410 -0.5590 -0.0055
PJ KDAE 3 083.0000 3 082.5264 -0.4736 -0.0154
DALOK 92 311.0000 92 321.3388 10.3388 0.0112
PRUTIN 69 391.0000 69 398.6330 7.6330 0.0110
PPEMB 42 160.0000 42 170.1184 10.1184 0.0240
PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 1 710.0000 1 710.0325 0.0325 0.0019
GDAE 111 551.0000 111 551.8924 0.8924 0.0008
KESFIS 64 932.0000 64 933.2337 1.2337 0.0019
PDRBP 496.2203 493.1298 -3.0905 -0.6228
PDRBNP 2 392.0000 2 391.4211 -0.5789 -0.0242
PDRB 2 888.0000 2 884.5509 -3.4491 -0.1194
PRODGAB 546 930.0000 512 269.9520 -34 660.0480 -6.3372
INCPP 355.4624 351.5640 -3.8983 -1.0967
TKP 256.7067 255.9717 -0.7350 -0.2863
QPUK 5 924 984.0000 5 393 957.3090 531 026.6910 -8.9625
PGAB 955.4250 1 098.7388 143.3138 15.0000
PRODBRS 355 505.0000 332 421.2426 -23 083.7574 -6.3371
IKAP 2.1381 2.1359 -0.0023 -0.1056
PBRS 1 925.0000 1 927.0000 2.0000 0.1039
CONBRS 13.1645 13.1640 -0.0005 -0.0038
CONSEN 2 178.0000 2 177.8780 -0.1220 -0.0056
CONPROT 57.4755 57.4738 -0.0017 -0.0030
J MLMIS 271.1851 271.1903 0.0052 0.0019
AGZBRK 25.0052 25.0073 0.0021 0.0083
AKMTBY 60.8174 60.8181 0.0007 0.0012
UHHDP 63.5673 63.5670 -0.0003 -0.0005
186
Adanya trend kenaikan harga pupuk yang lebih tinggi terhadap trend kenaikan
harga gabah. Sehingga kebijakan peningkatan harga gabah biasanya selalu didahului oleh
adanya peningkatan harga pupuk, sehingga insentif yang diberikan pada petani tidak bisa
sampai sebagaimana yang diharapkan. Pada simulasi ini dilakukan kebijakan peningkatan
harga gabah dan harga pupuk secara bersamaan dan secara proporsional.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa adanya kombinasi antara peningkatan harga
gabah dan harga pupuk dengan proporsi yang sama berdampak pada penurunan
penggunaan pupuk sebesar 11.96 persen sehingga menurunkan produksi gabah sebesar
8.38 persen dan PDRB Pertanian sebesar 0.79 persen. Hal ini berdampak pada penurunan
pendapatan pada sektor pertanian sebesar 2.10 persen dan pendapatan per kapita sebesar
0.16 persen. Sehingga meningkatkan jumlah penduduk miskin yang selanjutnya akan
menurunkan konsumsi beras, energi dan protein. Hal ini akan berdampak meningkatkan
angka gizi buruk, angka kematian bayi serta menurunkan umur harapan hidup dengan
respons yang relatif kecil. Kecilnya angka respons tersebut karena panjangnya rangkaian
dari mekanisme transmisi yang harus dilalui oleh suatu kebijakan sehingga memerlukan
time lag yang relatif panjang.
Dari kombinasi kebijakan ini terlihat bahwa insentif dari kenaikan harga output
relatif kurang kuat pengaruhnya terhadap produksi gabah dibanding disinsentif yang
ditimbulkan oleh kenaikan harga input. Hal ini terjadi karena nilai elastisitas perubahan
harga gabah terhadap produksi gabah relatif kecil yaitu hanya sebesar 0.1540, sementara
elastisitas permintaan pupuk terhadap perubahan harga pupuk -0.6015 dan permintaan
pupuk terhadap perubahan harga gabah 0.1246.Elastisitas produksi gabah dari penggunaan
input pupuk sebesar 0.6970.
187
Kebijakan peningkatan harga gabah sebaiknya harus mengakomodasi adanya
perubahan harga input terutama pupuk. Karena apabila kenaikan harga gabah masih belum
bisa mengkompensasi adanya kenaikan harga dari input pupuk, insentif yang diberikan
kepada petani masih belum bisa diterima sesuai dengan yang diharapkan. Kebijakan
peningkatan harga gabah akan tidak efektif meningkatkan produksi gabah dan pendapatan
petani apabila harga pupuk mengikutinya. Untuk itu dalam perhitungan kenaikan harga
gabah, kenaikan harga pupuk harus diperhitungkan dengan baik agar kenaikan pendapatan
petani dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Dalam rangka meningkatkan
produksi gabah instrumen subsidi harga pupuk lebih efektif dilakukan daripada instrumen
subsidi harga gabah.
7.2.8. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen dan
Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan dan
Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat
Kebijakan fiskal yang berpihak kepada sektor pertanian dengan memberikan
kenaikan sebesar 20 persen yang direspon dengan memberikan kebijakan kenaikan harga
gabah diharapkan memberi pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan petani.
Dengan peningkatan kebijakan pada sektor pertanian akan terjadi peningkatan pada
produksi gabah dan peningkatan produksi ini biasanya akan diikuti oleh turunnya harga
gabah sehingga tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani akan sulit terwujud.
Untuk itu, kenaikan produksi akibat peningkatan pengeluaran sektor pertanian yang
direspon dengan kebijakan harga output diharapkan harga gabah tidak akan jatuh pada
saat terjadi peningkatan produksi sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan petani.
Hasil simulasi menujukkan bahwa kombinasi peningkatan pengeluaran sektor
pertanian dan harga gabah akan memberi dampak pada peningkatan PDRB Pertanian
188
sebesar 1.26 persen yang lebih besar dibanding apabila kebijakan dilakukan secara tunggal.
Begitu juga pengaruhnya terhadap peningkatan produksi gabah relatif lebih besar yaitu
sebesar 1.5 persen.
Tabel 40. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen dan
Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan dan
Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi J awa Barat
Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 176 483.0000 176 485.0000 2.0000 0.00113
PAD 10 163.0000 10 165.0000 2.0000 0.01968
PJ KDAE 3 083.0000 3 085.0000 2.0000 0.06487
DALOK 92 311.0000 92 310.8892 -0.1108 -0.00012
PRUTIN 69 391.0000 69 578.5515 187.5515 0.27403
PPEMB 42 160.0000 42 197.7205 37.7205 0.08947
PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.00000
PSEKP 1 710.0000 2 052.5000 342.0000 20.00000
GDAE 111 551.0000 111 926.0000 375.0000 0.33617
KESFIS 64 932.0000 64 559.0000 -373.0000 -0.57445
PDRBP 496.2203 502.4802 6.2599 1.26152
PDRBNP 2 392.0000 2 392.2093 0.2093 0.00875
PDRB 2 888.0000 2 895.0000 7.0000 0.24238
PRODGAB 546 930.0000 555 108.0000 8 178.0255 1.49526
INCPPI 355.4624 356.7054 1.2430 0.34969
TKP 256.7067 257.5162 0.8095 0.31535
QPUK 5 924 984.0000 5 998 474.0000 73 490.0000 1.24034
PGAB 955.4250 1 098.5760 143.2560 15.00000
PRODBRS 355 505.0000 360 820.0000 5 315.0130 1.49506
IKAP 2.1381 2.1402 0.0021 0.09822
PBRS 1 925.0000 1 926.0000 1.0000 0.05195
CONBRS 13.1645 13.1650 0.0005 0.00379
CONSEN 2 178.0000 2 178.1142 0.1142 0.00524
CONPROT 57.4755 57.4759 0.0004 0.00070
J MLMIS 271.1851 271.1729 -0.0122 -0.00450
AGZBRK 25.0052 25.0040 -0.0012 -0.00479
AKMTBY 60.8174 60.8154 -0.0020 -0.00328
UHHDP 63.5673 63.5682 0.0009 0.00136
189
Hal tersebut berdampak pada kenaikan pendapatan sektor pertanian sebesar 0.35
persen dan pendapatan per kapita sebesar 0.10 persen. Sehingga meningkatkan konsumsi
beras, energi dan konsumsi protein, serta menurunkan jumlah penduduk miskin, angka gizi
buruk dan angka kematian bayi. Dan pada akhirnya meningkatkan umur harapan hidup,
nilai perubahan tersebut relatif lebih besar dibandingkan apabila kebijakan dilakukan
secara tunggal.
7.2.9. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen dan
Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Persen dan Dana Pendidikan sebesar
20 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi
Jawa Barat
Kebijakan fiskal yang berpihak kepada sektor pertanian dengan memberikan
kenaikan sebesar 20 persen yang dibarengi oleh peningkatan dana kesehatan dan
pendidikan sebesar 20 persen sebagai upaya untuk memperbaiki pelayanan kesehatan dan
pendidikan bagi masyarakat miskin diharapkan akan terjadi penurunan yang signifikan
terhadap tingkat kemiskinan dan meningkatkan kinerja katahanan pangan. Peningkatan
pengeluaran sektor pertanian efektif dalam meningkatkan kinerja ketahanan pangan dari
sisi ketersediaan pangan dan peningkatan dana kesehatan dan pendidikan efektif dalam
meningkatkan kinerja ketahanan pangan dari sisi konsumsi dan pemanfaatan pangan.
Gabungan dari kedua kebijakan tersebut diharapkan memberikan dampak yang saling
melengkapi sehingga akan meningkatkan kinerja ketahanan pangan dari semua subsistem
dari sistem ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan, daya beli, konsumsi serta
pemanfaatan pangan.
Hasil simulasi menujukkan bahwa kombinasi peningkatan pengeluaran sektor
pertanian dan peningkatan dana kesehatan dan pendidikan akan memberi dampak pada
190
peningkatan kinerja perekonomian berupa PDRB Pertanian sebesar 1.46 persen, produksi
gabah sebesar 0.59 persen, peningkatan konsumsi beras 0.0038 persen, energi 0.1797
persen, protein 0.1053 persen, turunnya angka gizi buruk sebesar 0.2407 prsen, angka
kematian bayi 0.1177 persen dan meningkatnya umur harapan hidup sebesar 0.1598 persen
serta menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0.0045 persen.
Tabel 41. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen dan
Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Persen dan Dana Pendidikan sebesar
20 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi
J awa Barat
Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 176 483.0000 176 485.0000 2.0000 0.00113
PAD 10 163.0000 10 165.0000 2.0000 0.01968
PJ KDAE 3 083.0000 3 085.0000 2.0000 0.06491
DALOK 92 311.0000 92 310.8892 -0.1108 -0.00012
PRUTIN 69 391.0000 69 398.8515 7.8515 0.01032
PPEMB 42 160.0000 42 197.7205 37.7205 0.00047
PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.00000
PSEKP 1 710.0000 2 052.5000 342.0000 20.00000
GDAE 111 551.0000 111 926.0000 375.0000 0.33623
KESFIS 64 932.0000 64 564.0000 -368.0000 -0.56675
PDRBP 496.2203 502.0723 5.8520 1.17932
PDRBNP 2 392.0000 2 392.4093 0.4093 0.01711
PDRB 2 888.0000 2 897.0000 9.0000 0.31163
PRODGAB 546 930.0000 550 180.1258 3 250.1258 0.59425
INCPPI 355.4624 355.8454 0.3830 0.10774
TKP 256.7067 257.5162 0.8095 0.31535
QPUK 5 924 984.0000 5 927 674.0000 2 690.0000 0.48422
PGAB 955.4250 956.8765 1.4515 0.15192
PRODBRS 355 505.0000 357 621.0130 2 116.0130 0.59521
IKAP 2.1381 2.1402 0.0021 0.09822
PBRS 1 925.0000 1 926.0000 1.0000 0.05195
CONBRS 13.1645 13.1650 0.0005 0.00379
CONSEN 2 178.0000 2 181.9142 3.9142 0.17971
CONPROT 57.4755 57.5362 0.0607 0.10561
J MLMIS 271.1851 271.1729 -0.0122 -0.00450
AGZBRK 25.0052 24.9450 -0.0602 -0.24075
AKMTBY 60.8174 60.7458 -0.0716 -0.11773
UHHDP 63.5673 63.6689 0.1016 0.15983
191
7.3. Simulasi Historis Periode Masa Desentralisasi Fiskal Tahun 2001 - 2005
Simulasi historis pada periode desentralisasi fiskal dilakukan pada range waktu
pada tahun 2001 2005. Simulasi dilakukan pada kebijakan tunggal maupun kebijakan
ganda dengan rincian sebagai berikut :
7.3.1. Dampak Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebesar 35 Persen
terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat
Implementasi desentralisasi fiskal memberi kebebasan pada pemerintah daerah
dalam menggali potensi daerah sebagai sumber penerimaanya. Salah satu tolok ukur
kemandirian daerah adalah Penerimaan Asli Daerah (PAD). Dalam desentralisasi fiskal
diharapkan pemerintah daerah bisa meningkatkan PAD sebagai sumber penerimaannya.
Sumber PAD yang kontribusinya paling besar di daerah kabupaten di J awa Barat adalah
pajak daerah dan retribusi daerah. Selama desentralisasi fiskal telah terjadi kenaikan
penerimaan rata-rata berkisar 35 persen akibat adanya ekstensifikasi dan intensifikasi
pajak daerah dan retribusi daerah. Peningkatan 35 persen terhadap penerimaan pajak
daerah dan retribusi daerah berpengaruh pada peningkatan PAD sebesar 9.12 persen yang
selanjutnya meningkatkan penerimaan daerah dan pengeluaran daerah baik pengeluaran
rutin maupun pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin meningkat sebesar 1.02 persen
dan pengeluaran pembangunan meningkat sebesar 0.08 persen. Peningkatan pengeluaran
pembangunan selanjutnya meningkatkan pengeluaran sektoral termasuk sektor
pembangunan pertanian meningkat sebesar 0.54 persen. Peningkatan pengeluaran sektoral
termasuk sektor pertanian meningkatkan PDRB Pertanian sebesar 0.02 persen dan PDRB
sebesar 0.001 persen, kinerja ketahanan pangan (dari sisi produksi konsumsi dan
pemanfaatan pangan) serta menurunkan kemiskinan sebesar 0.0006 persen. Keterbatasan
192
pada model ini tidak mengakomodasi kinerja perekonomian dari sisi investasi swasta,
sehingga dampak dari peningkatan penerimaan pajak dan retribusi hanya dilihat dari sisi
penerimaan pemerintah yang meningkat sedang dampak negatif dari peningkatan
penerimaan pajak dan retribusi yang berpengaruh terhadap investasi dan perekonomian
daerah tidak bisa dilihat pengaruhnya.
Tabel 42. Dampak Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebesar 35
Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah
Provinsi J awa Barat
Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 475 152.0000 477 285.4325 2 133.4325 0.4490
PAD 27 839.0000 32 058.4737 4 219.4737 15.1567
PJ KDAE 12 060.0000 16 281.0000 4 221.0000 35.0000
DALOK 282 803.0000 282 900.0000 97.0014 -0.0343
PRUTIN 322 286.0000 327 398.1005 5 112.1005 1.5862
PPEMB 117 005.0000 117 069.5868 64.5868 0.0552
PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 4 142.0000 4 190.2046 48.2046 1.1638
GDAE 439 291.0000 439 327.0219 36.0219 0.0082
KESFIS 35 861.0000 35 856.8760 -4.1240 -0.0115
PDRBP 592.2146 592.4876 0.2730 0.0461
PDRBNP 2 414.0000 2 414.0000 0.0000 0.0000
PDRB 3 007.0000 3 007.0631 0.0631 0.0021
PRODGAB 648 847.0000 649 298.0000 451.0000 0.0695
INCPP 362.2849 362.3820 0.0971 0.0268
TKP 292.6429 293.8275 1.1846 0.4048
QPUK 4 031 705.0000 4 052 125.5860 20 420.5858 0.5065
PGAB 1 552.0000 1 552.0000 0.0000 0.0000
PRODBRS 421 751.0000 422 043.2734 292.2734 0.0693
IKAP 1.9590 1.9590 0.0000 0.0005
PBRS 3 085.0000 3 085.0000 0.0000 0.0000
CONBRS 12.9312 12.9333 0.0021 0.0161
CONSEN 2 149.0000 2 149.0043 0.0043 0.0002
CONPROT 56.6952 56.7013 0.0061 0.0108
J MLMIS 250.6949 250.6939 -0.0010 -0.0004
AGZBRK 17.7094 17.7078 -0.0016 -0.0092
AKMTBY 54.7641 54.7616 -0.0025 -0.0046
UHHDP 65.1320 65.1325 0.0005 0.0008
193
Dampak kebijakan fiskal dari sisi penerimaan dengan meningkatkan penerimaan
pajak dan retribusi responnya sangat kecil terhadap kinerja ketahanan pangan dan
kemiskinan, karena pengaruhnya tidak langsung tetapi melalui mekanisme transmisi.
Berbeda dengan kebijakan dari sisi pengeluaran akan mempengaruhi langsung pada
kinerja ketahanan pangan dan kemiskinan.
7.3.2. Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin sebesar 10 Persen ke Pengeluaran
Pembangunan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah
Provinsi Jawa Barat
Desentralisasi fiskal berpengaruh pada peningkatan pengeluaran rutin yang cukup
signifikan, pada masa desentralisasi fiskal pengeluaran rutin berkontribusi hampir 80
persen terhadap pengeluaran daerah. Dengan melakukan efisiensi pada pembiayaan
operasional pemerintahan maka pengeluaran rutin bisa dihemat dan penghematan sebesar
10 persen dari pengeluaran rutin tersebut dialokasikan pada pengeluaran pembangunan.
Relokasi pengeluaran rutin sebesar 10 persen meningkatkan pengeluaran
pembangunan sebesar 37.37 persen. Peningkatan pengeluaran pembangunan meningkatkan
pengeluaran sektoral termasuk diantaranya adalah pengeluaran sektor pertanian meningkat
sebesar 7.06 persen, sehingga berdampak meningkatkan kinerja perekonomian berupa
PDRB Pertanian 1.25 persen PDRB 0.26 persen pendapatan per kapita 0.35 persen,
meningkatkan kinerja ketahanan pangan baik dari sisi produksi, konsumsi dan
pemanfaatan pangan serta menurunkan kemiskinan sebesar 0.0029 persen. Kebijakan ini
mempunyai pengaruh paling besar pada kinerja fiskal berupa meningkatnya pengeluaran
pembangunan sehingga akan mempengaruhi kinerja perekonomian.
194
Tabel 43. Dampak Relokasi Pengeluaran Rutin sebesar 10 Persen ke Pengeluaran
Pembangunan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah
Provinsi J awa Barat
Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 475 152.0000 475 152.0000 0.0000 0.0000
PAD 27 839.0000 27 839.0000 0.0000 0.0000
PJ KDAE 12 060.0000 12 060.0000 0.0000 0.0000
DALOK 282 803.0000 282 803.0000 0.0000 0.0000
PRUTIN 322 286.0000 290 057.4000 -32 228.6000 -10.0000
PPEMB 117 005.0000 150 234.3317 33 229.3317 37.3739
PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 4 142.0000 4 434.4347 292. 4347 7.0602
GDAE 439 291.0000 440 397.1347 1 106.1347 0.2518
KESFIS 35 861.0000 35 842.2088 -18.7912 -0.0524
PDRBP 592.2146 599.6232 7.4086 1.2510
PDRBNP 2 414.0000 2414.0121 0.0121 0.0005
PDRB 3 007.0000 3 014.8332 7.8332 0.2605
PRODGAB 648 847.0000 652 501.9552 3 654.9552 0.5633
INCPPI 362.2849 362.7359 0.4510 0.1245
TKP 292.6429 292.7140 0.0711 0.0243
QPUK 4 031 705.0000 4 050 633.855 18 928 .8550 0.4695
PGAB 1 552.0000 1 556.0000 4.0000 0.2577
PRODBRS 421 751.0077 424 130.1051 2 379.0974 0.5641
IKAP 1.9590 1.9659 0.0060 0.3544
PBRS 3 085.0000 3 093.0000 8.0000 0.2526
CONBRS 12.9312 12.9322 0.0010 0.0077
CONSEN 2 149.0000 2 149.0107 0.0107 0.0005
CONPROT 56.6952 56.6957 0.0005 0.0009
J MLMIS 250.6949 250.6877 -0.0072 -0.0029
AGZBRK 17.7094 17.7091 -0.0003 -0.0016
AKMTBY 54.7641 54.7630 -0.0001 -0.0021
UHHDP 65.1320 65.1314 -0.0006 0.0009
7.3.3. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian 20 Persen terhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat
Pada skenario ini dilakukan simulasi terhadap kebijakan peningkatan pengeluaran
sektor pertanian sebesar 20 persen. Selama ini pengeluaran pemerintah pada sektor
pertanian proporsinya relatif kecil dan cenderung terabaikan, padahal sektor pertanian
195
merupakan sektor dimana sebagian besar penduduk menggantungkan hidupnya dan sektor
pertanian juga merupakan sektor yang mempunyai keterkaitan erat dengan sektor lain.
Tabel 44. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen
terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi
J awa Barat
Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 475 152.0000 475 157.0000 5.0000 0.0011
PAD 27 839.0000 27 843.0000 4.0000 0.0144
PJ KDAE 12 060.0000 12 064.0000 4.0000 0.0332
DALOK 282 803.0000 282 802.1516 -0.8484 -0.0003
PRUTIN 322 286.0000 322 292.4457 6.4458 0.0020
PPEMB 117 005.0000 117 006.5211 1.5210 0.0013
PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 4 142.0000 4 970.4000 828.4000 20.0000
GDAE 439 291.0000 439 291.8786 0.8786 0.0002
KESFIS 35 861.0000 34 765.9844 -1 077.7306 -3.0053
PDRBP 592.2146 609.0453 16.8307 2.8420
PDRBNP 2 414.0000 2 414.0145 0.0145 0.0006
PDRB 3 007.0000 3 023.0000 16.0000 0.5321
PRODGAB 648 847.0000 655 222.0000 6 375.0000 0.9825
INCPPI 362.2849 363.2540 0.9691 0.2675
TKP 292.6429 293.5916 0.9487 0.3460
QPUK 4 031 705.0000 4 031 834.9850 129.0146 0.0032
PGAB 1 552.0000 1 551.0000 -1.0000 -0.0644
PRODBRS 421 751.0000 425 894.0000 4 143.0000 0.9823
IKAP 1.9590 1.9669 0.0079 0.4033
PBRS 3 085.0000 3 084.0000 -1.0000 -0.0324
CONBRS 12.9312 12.9319 0.0012 0.0095
CONSEN 2 149.0000 2 149.0107 0.0107 0.0005
CONPROT 56.6952 56.6957 0.0005 0.0009
J MLMIS 250.6949 250.6588 -0.0361 -0.0144
AGZBRK 17.7094 17.7089 -0.0005 -0.0028
AKMTBY 54.7641 54.7631 -0.0010 -0.0018
UHHDP 65.1320 65.1322 0.0002 0.0003
Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran sektor pertanian
sebesar 20 persen berpengaruh pada peningkatan PDRB sektor pertanian sebesar 2.84
196
persen dan peningkatan produksi gabah sebesar 0.98 persen. Peningkatan PDRB pertanian
dan produksi gabah menyebabkan terjadinya peningkatan pendapatan pada sektor
pertanian sebesar 0.27 persen dan pendapatan per kapita sebesar 0.4 persen. Peningkatan
pendapatan terutama pada sektor pertanian menyebabkan terjadinya penurunan jumlah
penduduk miskin sebesar 0.01 persen karena angka kemiskinan banyak terjadi pada sektor
tersebut. Peningkatan pendapatan per kapita dan penurunan jumlah penduduk miskin
menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi beras, energi dan protein yang merupakan
cerminan adanya peningkatan akses terhadap pangan. Hal tersebut berdampak pada
penurunan angka gizi buruk dan angka kematian bayi serta kenaikan umur harapan hidup.
Akibat penurunan jumlah penduduk miskin berdampak pula pada peningkatan
penerimaan pajak dan PAD sehingga meningkatkan penerimaan daerah. Penurunan
jumlah penduduk miskin mengurangi beban subsidi yang ditanggung pemerintah dan
berpotensi pada peningkatan penerimaan daerah dari sektor pajak. Peningkatan penerimaan
daerah berdampak pada pengurangan kesenjangan fiskal sebesar 3.05 persen, sehingga
akan mengurangi beban pemerintah dalam pembiayaan daerah yang cenderung mengalami
defisit. Dengan demikian pengurangan jumlah penduduk miskin dan peningkatan
ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dan individu, akan berdampak pada kinerja
fiskal yang semakin baik karena beban subsidi dari pemerintah bisa berkurang dan
pendapatan dari pajak akan meningkat. Kinerja fiskal yang baik yang dicerminkan oleh
meningkatnya penerimaan daerah dan berkurangnya kesenjangan fiskal akan berpengaruh
pada kinerja perekonomian daerah berupa peningkatan PDRB yang selanjutnya akan
meningkatkan tingkat pendapatan penduduk terutama pada sektor pertanian sehingga
kemiskinan menurun dan ketahanan pangan meningkat. Pengaruh ini relatif lebih responsif
197
dibanding simulasi periode sebelum desentralisasi fiskal (1995 2000), hal ini
mengindikasikan bahwa pada periode desentralisasi fiskal (2001 2005) pemerintah
daerah dan masyarakat di J awa Barat lebih respon pada perkembangan sektor pertanian
sehingga dengan simulasi yang sama tetapi lebih memberikan dampak yang relatif lebih
besar. Sesuai dengan harapan dari desentralisasi fiskal, bahwa kebijakan ini diharapkan
lebih bisa menimbulkan efisiensi dalam alokasi sumberdaya sehingga setiap dana
pembangunan yang dikeluarkan akan bisa memberi eksternalitas yang optimal pada
perkembangan perekonomian daerah.
7.3.4. Dampak Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Peresn dan Dana
Pendidikan sebesar 20 Peresn terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan
di Wilayah Provinsi Jawa Barat
Selama implementasi desentralisasi fiskal telah terjadi penurunan kualitas pada
pelayanan kesehatan dan pendidikan masyarakat terutama bagi masyarakat golongan
miskin. Meningkatnya angka gizi buruk, jumlah penduduk sangat rawan pangan dan angka
putus sekolah merupakan salah satu indikator terjadinya penurunan kualitas pelayanan
kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat. Peningkatan pengeluaran kesehatan dan
pendidikan sebesar 20 persen diharapkan bisa digunakan untuk melakukan revitalisasi
program-program kesehatan dan perbaikan pelayanan pendidikan terutama bagi golongan
penduduk miskin.
Peningkatan dana kesehatan dan pendidikan berpengaruh pada peningkatan
konsumsi beras, energi dan protein, selanjutnya menurunkan jumlah angka gizi buruk dan
angka kematian bayi serta meningkatkan umur harapan hidup. Peningkatan dana kesehatan
dan pendidikan juga berpengaruh pada penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 0.0005
198
persen. Dampak paling besar dari kebijakan ini adalah terjadinya peningkatan kinerja
ketahanan pangan dari sisi konsumsi dan pemanfaatan pangan berupa derajat kesehatan
masyarakat yang diproksi dengan angka gizi buruk, angka kematian bayi dan umur
harapan hidup.
Tabel 45. Dampak Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Persen
dan Dana Pendidikan sebesar 20 Persen terhadap Kemiskinan dan
Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi J awa Barat
Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 475 152.0000 475 156.7515 4.7515 0.0010
PAD 27 839.0000 27 842.3128 3.3128 0.0119
PJ KDAE 12 060.0000 12 062.5567 2.5557 0.0212
DALOK 282 803.0000 282 801.8688 -1.1312 -0.0004
PRUTIN 322 286.0000 322 295.6686 9.6686 0.0030
PPEMB 117 005.0000 117 043.2606 38.2606 0.0327
PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 4 142.0000 4 142.2402 0.2402 0.0058
GDAE 439 291.0000 439 298.9072 7.9072 0.0018
KESFIS 35 861.0000 35 848.2213 -12.5872 -0.0351
PDRBP 592.2146 592.2478 0.0332 0.0056
PDRBNP 2 414.0000 2 414.0121 0.0121 0.0005
PDRB 3 007.0000 3 007.0361 0.0361 0.0012
PRODGAB 648 847.0000 648 901.5031 54.5031 0.0084
INCPPI 362.2849 363.0682 0.7833 0.2162
TKP 292.6429 292.7026 0.0597 0.0204
QPUK 4 031 705.0000 4 034 297.3850 2 592.3863 0.0643
PGAB 1 552.0000 1 552.7838 0.7838 0.0505
PRODBRS 421 751.0000 421 786.8488 35.8488 0.0085
IKAP 1.9590 1.9590 0.0000 0.0000
PBRS 3 084.9210 3 084.9950 0.0740 0.0024
CONBRS 12.9312 12.9472 0.0160 0.1232
CONSEN 2 149.0000 2 149.0370 0.0370 0.1847
CONPROT 56.6952 56.7664 0.0712 0.1256
J MLMIS 250.6949 250.6936 -0.0013 -0.0005
AGZBRK 17.7094 17.6486 -0.0608 -0.3434
AKMTBY 54.7641 54.5901 -0.1740 -0.3177
UHHDP 65.1320 65.3012 0.1692 0.2598
199
7.3.5. Dampak Peningkatan Harga Pupuk sebesar 15 peresn terhadap Kemiskinan
dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat
Harga pupuk selalu berkecenderungan mengalami kenaikan sesuai dengan kenaikan
pada proses produksinya. Bahkan ada kecenderungan bahwa trend kenaikan harga pupuk
relatif lebih besar dibanding dengan trend kenaikan harga gabah. Bagaimana pengaruhnya
apabila harga pupuk mengalami kenaikan sebesar 15 persen.
Tabel 46. Dampak Peningkatan Harga Pupuk sebesar 15 Persen terhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi J awa Barat
Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 475 152.0000 475 150.0000 -2.0000 -0.0004
PAD 27 839.0000 27 837.0000 -2.0000 -0.0071
PJ KDAE 12 060.0000 12 058.0000 -2.0000 -0.0165
DALOK 282 803.0000 282 803.2262 0.2262 0.0008
PRUTIN 322 286.0000 322 288.9973 2.9973 0.0009
PPEMB 117 005.0000 117 005.2808 0.2808 0.0002
PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 4 142.0000 4 142.0372 0.0372 0.0009
GDAE 439 291.0000 439 292.4936 1.4936 0.0003
KESFIS 35 861.0000 35 863.0000 2.0000 0.0055
PDRBP 592.2146 584.8056 -7.4090 -1.2511
PDRBNP 2 414.0000 2 413.9952 -0.0048 -0.0002
PDRB 3 007.0000 2 999.0000 -8.0000 -0.2661
PRODGAB 648 847.0000 563 223.0000 -85 624.0000 -13.1963
INCPPI 362.2849 349.2700 -13.0149 -3.5924
TKP 292.6429 292.4568 -0.1861 -0.0636
QPUK 4 031 705.0000 2 982 931.0000 -1 048
774.0000
-26.0131
PGAB 1 552.0000 1 556.0000 4.0000 0.2577
PRODBRS 421 751.0000 366 095.0000 -55 656.0000 -13.1964
IKAP 1.9590 1.9538 -0.0052 -0.2654
PBRS 3 085.0000 3 093.0000 8.0000 0.2593
CONBRS 12.9312 12.9302 -0.0010 -0.0077
CONSEN 2 149.0000 2 148.9888 -0.0112 -0.0005
CONPROT 56.6952 56.6922 -0.0030 -0.0052
J MLMIS 250.6949 250.6956 0.0007 0.0003
AGZBRK 17.7094 17.7124 0.0030 0.0169
AKMTBY 54.7641 54.7653 0.0012 0.0021
UHHDP 65.1320 65.1314 -0.0006 -0.0009
200
Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan harga pupuk akan menurunkan
penggunaan pupuk sebesar 26 persen dan hal ini akan berpengaruh pada penurunan
produksi gabah sebesar 13 persen dan penurunan PDRB sektor pertanian sebesar 7 persen.
Penurunan produksi gabah akan berpengaruh pada penurunan pendapatan pada sektor
pertanian sebesar 3.60 persen dan penurunan pendapatan per kapita sebesar 0.27 persen.
Hal ini akan berpengaruh pada penurunan konsumsi beras, energi dan protein serta
meningkatkan angka gizi buruk dan angka kematian bayi yang selanjutnya berpengaruh
pada penurunan umur harapan hidup. Respon perubahan harga pupuk pada periode
desentralisasi fiskal relatif lebih besar dibanding periode sebelum desentralisasi fiskal.
7.3.6. Dampak Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan
dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat
Kebijakan perberasan dilakukan bertujuan untuk mendorong peningkatan produksi
gabah dan peningkatan pendapatan bagi petani, selain itu juga bertujuan untuk menjamin
pasokan beras sebagai bahan pangan pokok sebagian besar masyarakat dalam jumlah yang
cukup dan harga terjangkau. Namun yang menjadi permasalahan adalah keberpihakan
pemerintah terhadap kesejahteraan para petani yang tidak maksimal bahkan cenderung
terabaikan terutama sejak segala perangkat kebijakan perberasan dilepaskan. Kebijakan
harga dasar gabah telah digantikan oleh kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) yang
cenderung kurang efektif karena keterbatasan bulog dalam menyerap gabah petani pada
saat panen raya sehingga harga gabah di tingkat petani yang berlaku cenderung lebih
rendah dibanding harga pembelian pemerintah. Untuk itu dalam pelaksanaan desentralisasi
fiskal, diharapkan pemerintah daerah J awa Barat mempunyai keberpihakan terhadap
kesejahteraan petani di daerahnya.
201
Tabel 47. Dampak Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi J awa Barat
Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 475 152.0000 475 161.5030 9.5030 0.0020
PAD 27 839.0000 27 840.4476 1.4476 0.0052
PJ KDAE 12 060.0000 12 061.2301 1.2301 0.0102
DALOK 282 803.0000 282 801.8688 -1.1312 -0.0004
PRUTIN 322 286.0000 322 290.1897 4.18979 0.0013
PPEMB 117 005.0000 117 006.0530 1.0530 0.0009
PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 4 142.0000 4 142.0166 0.0166 0.0004
GDAE 439 291.0000 439 295.3929 4.3929 0.0010
KESFIS 35 861.0000 35 860.8207 -0.1793 -0.0005
PDRBP 592.2146 594.0066 1.7920 0.3026
PDRBNP 2 414.0000 2 414.0000 0.0000 0.0000
PDRB 3 007.0000 3 008.0000 1.0000 0.0333
PRODGAB 648 847.0000 669 560.1428 20 713.1428 3.1923
INCPPI 362.2849 365.4332 3.1483 0.8690
TKP 292.6429 293.2316 0.5888 0.2012
QPUK 4 031 705.0000 4 285 408.1010 253 703.1005 6.2927
PGAB 1 552.0000 1 784.8000 232.8000 15.0000
PRODBRS 421 751.0000 435 214.1354 13 463.1354 3.1922
IKAP 1.9590 1.9604 0.0014 0.0715
PBRS 3 085.0000 3 087.0000 2.0000 0.0648
CONBRS 12.9312 12.9315 0.0003 0.0023
CONSEN 2 149.0000 2 149.0086 0.0086 0.0004
CONPROT 56.6952 56.6959 0.0007 0.0012
J MLMIS 250.6949 250.6934 -0.0015 -0.0006
AGZBRK 17.7094 17.7086 -0.0008 -0.0045
AKMTBY 54.7641 54.7637 -0.0004 -0.0005
UHHDP 65.1320 65.1322 0.0002 0.0003
Dari hasil simulasi peningkatan harga gabah sebesar 15 persen dari rata-rata harga
gabah yang berlaku menunjukkan adanya pengaruh terhadap peningkatan penggunaan
pupuk sebesar 6.29 persen dan peningkatan produksi gabah sebesar 3.19 persen dan
peningkatan PDRB sektor pertanian sebesar 0.30 persen. Hal tersebut berpengaruh pada
peningkatan pendapatan petani sebesar 0.87 persen serta meningkatkan pendapatan per
kapita sebesar 0.07 persen. Peningkatan pendapatan per kapita berpengaruh meningkatkan
202
konsumsi beras, energi dan protein sehingga berpengaruh pada penurunan angka gizi
buruk dan angka kematian bayi serta meningkatkan umur harapan hidup dengan respon
yang relatif kecil. Respon kebijakan pada periode desentralisasi fiskal (2001 2005)
relatif lebih besar dibanding simulasi periode sebelum desentralisasi fiskal (1995 2000).
7.3.7. Dampak Peningkatan Harga Pupuk Sebesar 15 persen dan Harga Gabah 15
persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi
Jawa Barat
Kebijakan peningkatan harga gabah biasanya selalu didahului oleh adanya
peningkatan harga pupuk, sehingga insentif yang diberikan pada petani tidak bisa sampai
sebagaimana yang diharapkan. Pada simulasi ini akan dilakukan kebijakan peningkatan
harga gabah dan harga pupuk secara bersamaan dengan proporsi peningkatan yang sama.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa adanya kombinasi antara peningkatan harga
gabah dan harga pupuk dengan proporsi yang sama berdampak pada penurunan
penggunaan pupuk sebesar 11.96 persen sehingga menurunkan produksi gabah sebesar
8.38 persen dan PDRB Pertanian sebesar 0.79 persen. Hal ini berdampak pada penurunan
pendapatan sektor pertanian sebesar 2.10 persen dan pendapatan per kapita sebesar 0.16
persen. Sehingga menurunkan konsumsi beras dan konsumsi protein dan meningkatkan
angka gizi buruk, angka kematian bayi serta menurunkan umur harapan hidup. Dampak
simulasi pada periode desentralisasi fiskal relatif lebih besar dibanding pada periode
sebelum desentralisasi fiskal. Respon simulasi pada periode desentralisasi relatif lebih
besar dibanding pada periode sebelum desentralisasi fiskal.
203
Tabel 48. Dampak Peningkatan Harga Pupuk sebesar 15 Persen dan Harga Gabah
sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di
Wilayah Provinsi J awa Barat
Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 475 152.0000 475 147.7235 -4. 2764 -0.0009
PAD 27 839.0000 27 837.3296 -1.6703 -0.0060
PJ KDAE 12 060.0000 12 059.7226 -0.2774 -0.0023
DALOK 282 803.0000 282 805.8280 2.8280 0.0010
PRUTIN 322 286.0000 322 294.3794 8.3794 0.0026
PPEMB 117 005.0000 117 006.7551 1.7551 0.0015
PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 4 142.0000 4 142.0621 0.0621 0.0015
GDAE 439 291.0000 439 296.7108 5.7108 0.0013
KESFIS 35 861.0000 35 861.6814 1.3269 0.0037
PDRBP 592.2146 587.5195 -4.6951 -0.7928
PDRBNP 2 414.0000 2 413.9926 -0.0007 -0.0003
PDRB 3 007.0000 3 003.0000 -4.0000 -0.1360
PRODGAB 648 847.0000 594 751.3279 -54 095.6721 -8.3372
INCPPI 362.2849 354.6889 -7.5960 -2.0967
TKP 292.6429 292.5405 -0.1024 -0.0350
QPUK 4 031 705.0000 3 549 412.289 -482 292.7106 -11.9625
PGAB 1 552.0000 1 784.8000 232.8000 15.0000
PRODBRS 421 751.0000 386 589.1974 -35 161.8026 -8.3371
IKAP 1.9590 1.9560 -0.0030 -0.1556
PBRS 3 085.0000 3 091.2903 6.2903 0.2039
CONBRS 12.9312 12.9306 -0.0006 -0.0047
CONSEN 2 149.0000 2 148.9656 -0.0344 -0.0016
CONPROT 56.6952 56.6926 -0.0026 -0.0046
J MLMIS 250.6949 250.7014 0.0065 0.0026
AGZBRK 17.7094 17.7111 0.0017 0.0098
AKMTBY 54.7641 54.7650 0.0009 0.0017
UHHDP 65.1320 65.1325 0.0005 0.0008
7.3.8. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian 20 Persen dan
Peningkatan Harga Gabah 15 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan
Pangan di Provinsi Jawa Barat
Kebijakan fiskal yang berpihak kepada sektor pertanian dengan memberikan
kenaikan sebesar 20 persen yang direspon dengan memberikan kebijakan kenaikan harga
gabah diharapkan memberi pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan petani.
204
Dengan peningkatan kebijakan pada sektor pertanian akan terjadi peningkatan pada
produksi gabah dan peningkatan produksi ini biasanya akan diikuti oleh turunnya harga
gabah sehingga tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani akan sulit terwujud dan
terealisasi. Untuk itu, kenaikan produksi akibat peningkatan pengeluaran sektor pertanian
yang direspon dengan kebijakan harga output diharapkan harga gabah tidak akan jatuh
pada saat terjadi peningkatan produksi sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan petani.
Tabel 49. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen dan
Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan dan
Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi J awa Barat
Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 475 152.0000 475 157.9869 5.9869 0.0012
PAD 27 839.0000 27 844.0000 5.0000 0.0212
PJ KDAE 12 060.0000 12 065.9019 5.9019 0.0712
DALOK 282 803.0000 282 802.3213 -0.6787 -0.0002
PRUTIN 322 286.0000 322 286.0000 27.7811 0.0086
PPEMB 117 005.0000 117 050.9596 45.9596 0.0392
PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 4 142.0000 4 970.4000 828.4000 20.0000
GDAE 439 291.0000 439 555.3653 264.3653 0.0601
KESFIS 35 861.0000 35 484.2192 -376.7808 -1.0506
PDRBP 592.2146 610.8382 18.6236 3.1447
PDRBNP 2 414.0000 2 414.1562 0.1562 0.0064
PDRB 3 007.0000 3 025.0000 18.0000 0.5986
PRODGAB 648 847.0000 675 944.9919 27 097.9919 4.1763
INCPPI 362.2849 366.4038 4.1189 1.1369
TKP 292.6429 293.5286 0.8857 0.3026
QPUK 4 031 705.0000 4 285 406.8910 253 701.8910 6.2926
PGAB 1 552.0000 1 784.8000 232.8000 15.0000
PRODBRS 421 751.0000 439 365.0088 17 614.0088 4.1764
IKAP 1.9590 1.9683 0.0093 0.4747
PBRS 3 085.0000 3 088.0000 3.0000 0.0972
CONBRS 12.9312 12.9316 0.0004 0.0030
CONSEN 2 149.0000 2 149.0864 0.0864 0.0040
CONPROT 56.6952 56.6964 0.00120 0.0021
J MLMIS 250.6949 250.6589 -0.04050 -0.0162
AGZBRK 17.7094 17.7082 -0.00120 -0.0067
AKMTBY 54.7641 54.7628 -0.00130 -0.0023
UHHDP 65.1320 65.1323 0.00030 0.0004
205
Hasil simulasi menujukkan bahwa kombinasi peningkatan pengeluaran sektor
pertanian dan harga gabah akan memberi dampak pada peningkatan PDRB Pertanian
sebesar 3.14 persen yang lebih besar dibanding periode sebelum desentralisasi fiskal.
Begitu juga pengaruhnya terhadap peningkatan produksi gabah relatif lebih besar yaitu
sebesar 4.18 persen. Hal tersebut berdampak pada kenaikan pendapatan sektor pertanian
sebesar 1.14 persen dan pendapatan per kapita sebesar 0.47 persen. Sehingga
meningkatkan konsumsi beras dan konsumsi protein, serta menurunkan jumlah penduduk
miskin, angka gizi buruk dan angka kematian bayi. Dan pada akhirnya meningkatkan umur
harapan hidup, nilai perubahan tersebut relatif lebih besar apabila dibandingkan pada
periode sebelum desentralisasi fiskal. Respon simulasi pada periode desentralisasi relatif
lebih besar dibanding pada periode sebelum desentralisasi fiskal.Hal ini mengindikasikan
bahwa pada periode desentralisasi fiskal telah terjadi proses yang lebih efisien sehingga
dampak kebijakan menjadi lebih signifikan dibanding sebelum desentralisasi fiskal.
7.3.9. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen dan
Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Persen dan Pendidikan sebesar 20
Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Provinsi Jawa Barat
Kebijakan fiskal yang berpihak kepada sektor pertanian dengan memberikan kenaikan
sebesar 20 persen yang dibarengi oleh peningkatan dana kesehatan dan pendidikan sebesar
20 persen sebagai upaya untuk memperbaiki pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi
masyarakat miskin diharapkan akan terjadi penurunan yang signifikan terhadap tingkat
kemiskinan dan meningkatkan kinerja katahanan pangan. Peningkatan pengeluaran sektor
pertanian efektif dalam meningkatkan kinerja ketahanan pangan dari sisi ketersediaan
pangan dan peningkatan dana kesehatan dan pendidikan efektif dalam meningkatkan
206
kinerja ketahanan pangan dari sisi konsumsi dan pemanfaatan pangan. Gabungan dari
kedua kebijakan tersebut diharapkan memberikan dampak yang saling melengkapi
sehingga akan meningkatkan kinerja ketahanan pangan dari semua subsistem dari sistem
ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan, daya beli, konsumsi serta pemanfaatan
pangan.
Tabel 50. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen dan
Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Persen dan Dana Pendidikan sebesar
20 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi
J awa Barat
Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 475 152.0000 475 157.9869 5.9869 0.0012
PAD 27 839.0000 27 843.0000 4.0000 0.0145
PJ KDAE 12 060.0000 12 064.9019 4.9019 0.0405
DALOK 282 803.0000 282 802.3213 -0.8787 -0.0310
PRUTIN 322 286.0000 322 293.0000 7.7811 0.2414
PPEMB 117 005.0000 117 050.9596 5.9596 0.0392
PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 4 142.0000 4 970.4000 828.5000 20.0000
GDAE 439 291.0000 439 555.3653 0.9653 0.0601
KESFIS 35 861.0000 35 484.2192 -376.7808 -1.0506
PDRBP 592.2146 609.2146 17.2145 2.8716
PDRBNP 2 414.0000 2 414.2562 0.2562 0.0106
PDRB 3 007.0000 3 025.0000 18.0000 0.5986
PRODGAB 648 847.0000 655 347.0000 6 400.0000 0.9864
INCPPI 362.2849 363.4038 1.1189 0.3089
TKP 292.6429 293.6286 0.9857 0.3368
QPUK 4 031 705.0000 4 031 840.8910 135.8910 0.0071
PGAB 1 552.0000 1 551 .8600 -0.1400 -0.0090
PRODBRS 421 751.0000 425 901.0088 4 150.0088 0.9840
IKAP 1.9590 1.9674 0.0084 0.4295
PBRS 3 085.0000 3 082.0000 -3.0000 -0.0972
CONBRS 12.9312 12.9472 0.0160 0.1232
CONSEN 2 149.0000 2 149.0370 0.0370 0.1847
CONPROT 56.6952 56.7664 0.0712 0.1256
J MLMIS 250.6949 250.6553 -0.0396 -0.0158
AGZBRK 17.7094 17.6486 -0.0608 -0.3434
AKMTBY 54.9381 54.7628 -0.1740 -0.3177
UHHDP 65.3012 65.1323 0.1692 0.2598
207
Hasil simulasi menunjukkan bahwa kombinasi peningkatan pengeluaran sektor
pertanian dan peningkatan dana kesehatan dan pendidikan akan memberi dampak pada
peningkatan kinerja perekonomian berupa PDRB Pertanian sebesar 2.8716 persen,
produksi gabah sebesar 0.9864 persen, peningkatan kinerja ketahanan pangan dari sisi
konsumsi yaitu meningkatnya konsumsi beras 0.1232 persen, energi 0.1847 persen, protein
0.1256 persen, turunnya angka gizi buruk sebesar 0.3434 persen, angka kematian bayi
0.3177 persen dan meningkatnya umur harapan hidup sebesar 0.2598 persen serta
menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0.0144 persen.
7.3.10.Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian 20 Persen dan
Peningkatan Dana Kesehatan 20 Persen dan Pendidikan 20 Persen serta
Peningkatan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di
Wilayah Provinsi Jawa Barat
Kombinasi kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian, peningkatan
pengeluaran dana kesehatan dan pendidikan serta diikuti kebijakan peningkatan harga
gabah diharapkan memberikan hasil yang lebih baik terhadap peningkatan kinerja
ketahanan pangan dan penurunan kemiskinan. Dengan peningkatan pengeluaran sektor
pertanian dan peningkatan harga gabah akan memberi stimulus pada peningkatan kinerja
ketahanan pangan pada peningkatan produktivitas terutama pada peningkatan produksi
gabah dan PDRB Pertanian. Peningkatan pengeluaran dana kesehatan dan pendidikan lebih
memberi stimulus pada peningkatan kinerja ketahanan pangan pada peningkatan konsumsi
energi dan protein serta derajat kesehatan masyarakat Dengan dilakukan kombinasi maka
akan terjadi peningkatan yang saling melengkapi sehingga akan meningkatan kinerja
ketahanan pangan pada sisi produksi, konsumsi dan akses serta pemanfaatan pangan.
208
Tabel 51. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen,
Peningkatan Dana Kesehatan dan Pendidikan sebesar 20 Persen,
serta Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan
dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi J awa Barat
Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 475 152.0000 475 157.9869 5.9869 0.0012
PAD 27 839.0000 27 843.0000 4.0000 0.0145
PJ KDAE 12 060.0000 12 064.9019 4.9019 0.0405
DALOK 282 803.0000 282 802.3213 -0.8787 -0.0310
PRUTIN 322 286.0000 322 293.0000 7.7811 0.2414
PPEMB 117 005.0000 117 050.9596 5.9596 0.0392
PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 4 142.0000 4 970.4000 828.5000 20.0000
GDAE 439 291.0000 439 555.3653 0.9653 0.0601
KESFIS 35 861.0000 35 484.2192 -376.7808 -1.0506
PDRBP 592.2146 610.8382 18.6236 3.1447
PDRBNP 2 414.0000 2 414.2562 0.2562 0.0106
PDRB 3 007.0000 3 025.0000 18.0000 0.5986
PRODGAB 648 847.0000 676 172.0000 27 325.0000 4.2113
INCPPI 362.2849 366.5038 4.2189 1.1645
TKP 292.6429 293.6286 0.9857 0.3368
QPUK 4 031 705.0000 4 285 413.8910 253 708.8910 6.2928
PGAB 1 552.0000 1 784 .8000 232.8000 15.0000
PRODBRS 421 751.0000 439 365.0000 17 854.0000 4.2233
IKAP 1.9590 1.9728 0.0138 0.7044
PBRS 3 085.0000 3 088.0000 3.0000 0.0972
CONBRS 12.9312 12.9472 0.0160 0.1232
CONSEN 2 149.0000 2 149.0370 0.0370 0.1847
CONPROT 56.6952 56.7664 0.0712 0.1256
J MLMIS 250.6949 250.5592 -0.1360 -0.0543
AGZBRK 17.7094 17.6486 -0.0608 -0.3434
AKMTBY 54.9381 54.7628 -0.1740 -0.3177
UHHDP 65.3012 65.1323 0.1692 0.2598
7.4. Rekapitulasi Hasil Simulasi Kebijakan Potensial dalam Penurunan Kemiskinan
dan Peningkatan Ketahanan Pangan pada Implementasi Desentralisasi Fiskal di
Wilayah Provinsi Jawa Barat
Dari hasil berbagai simulasi yang dilakukan untuk meningkatkan ketahanan
pangan dan menurunkan kemiskinan dalam konteks desentralisasi fiskal maka didapatkan
209
rekapitulasi hasil beberapa alternatif kebijakan potensial dan strategis untuk
diimplementasikan. Hasil evaluasi kebijakan post ante lebih efektif dilakukan pada
periode desentralisasi fiskal tahun 2001 2005 untuk itu hasil rekapitulasi hanya
menampilkan simulasi periode desentralisasi fiskal tahun 2001 2005. Kebijakan fiskal
dari sisi pengeluaran relatif lebih efektif pengaruhnya terhadap ketahanan pangan dan
penurunan kemiskinan dibanding kebijakan dilakukan dari sisi penerimaan. Kebijakan-
kebijakan yang potensi dan strategis tersebut adalah : (1) kebijakan realokasi pengeluaran
rutin ke pengeluaraan pembangunan, kebijakan ini dilakukan dalam rangka mendapatkan
tambahan sumber dana pembangunan yang terbatas maka perlu melakukan efisiensi
operasional pemerintahan dengan melakukan penghematan biaya rutin yang selanjutnya
disalurkan pada pengeluaran pembangunan, (2) peningkatan pengeluaran sektor pertanian,
merupakan kebijakan fiskal yang berpihak pada sektor pertanian yaitu sektor penghasil
pangan dan menyerap tenaga kerja relatif besar terutama di perdesaan dengan jumlah
penduduk miskin relatif besar, (3) peningkatan pengeluaran kesehatan dan pendidikan,
kebijakan ini efektif meningkatkan ketahanan pangan dari sisi konsumsi dan pemanfaatan
pangan, (4) kebijakan peningkatan harga pupuk dan harga gabah kebijakan ini dilakukan
dalam upaya untuk mengevaluasi efektifitas subsidi harga input dan harga output, (5)
kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian yang dibarengi kebijakan HPP dari
pemerintah pusat, (6) kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian yang dibarengi
peningkatan pengeluaran kesehatan dan pendidikan, dan (7) kombinasi kebijakan
peningkatan pengeluaran sektor pertanian, peningkatan pengeluaran dana kesehatan dan
pendidikan serta peningkatan harga gabah.
210
Tabel 52. Rekapitulasi Hasil Simulasi Kebijakan Potensial dalam Meningkatkan
Ketahanan Pangan dan Menurunkan Kemiskinan di Provinsi J awa Barat
(%)
Peubah Endogen Nilai Dasar S1
S2
S3 S4
S5 S6 S7
KINERJA FISKAL DAERAH :
Penerimaan Fiskal (Milyar Rp) 475152 0.0000 0.0011 0.0010 -0.0009 0.0012 0.0011 0.0012
Pendapatan Asli Daerah
(Milyar Rp)
27839 0.0000 0.0144 0.0119 -0.0060 0.0212 0.0144 0.0145
Pajak Daerah (Milyar Rp) 12060 0.0000 0.0332 0.0212 0.0023 0.0712 0.0332 0.0405
Dana Alokasi Umum (Milyar
Rp)
282803 0.0000 -0.0003 -0.0004 -0.0004 -0.0002 -0.0003 -0.0310
Pengeluaran Rutin (Milyar
Rp)
322286 -10.0000 0.0020 0.0030 0.0010 0.0086 0.0020 0.2414
Pengeluaran Pembangunan
(Milyar Rp)
117005 37.3739 0.0013 0.0327 0.0026 0.0393 0.0013 0.0392
Pembangunan Pertanian
(Milyar Rp)
4142 16.7174 20.0000 0.0058 0.0015 20.0000 20.0000 20.0000
KINERJA PEREKONOMIAN :
PDRBP (Milyar Rp) 592.2146 1.25107 2.8420 0.0056 -0.7928 3.1447 2.8716 3.1447
PDRB (Trilyun Rp) 3007 0.2605 0.5321 0.0012 -0.1360 0.5986 0.5986 0.5986
Pendapatan Per Kapita (J uta
Rp/Th)
1.959 0.3544 0.4033 0.0000 -0.1556 0.4747 0.4295 0.7044
KINERJA KETAHANAN
PANGAN :
Produksi Gabah (Ton) 648847 0.5633 0.9825 0.0084 -8.3372 4.1763 0.9864 4.2113
Produksi Beras (Ton) 421751 0.5641 0.9823 0.0085 -8.3371 4.1764 0.9840 4.2233
Konsumsi Beras (Kg/ Kap/ Bl) 12.9312 0.0077 0.0095 0.1232 -0.0047 0.0031 0.1232 0.1232
Konsumsi Energi (Kkal /
Kap/Hr)
2149 0.0005 0.0005 0.1847 -0.0016 0.0040 0.1847 0.1847
Konsumsi Protein (Gr/ Kap/Hr) 56.6952 0.0009 0.0009 0.1256 -0.0046 0.0021 0.1257 0.1256
Angka Gizi Buruk (%) 17.7094 -0.0016 -0.0028 -0.3434 0.0098 -0.0068 -0.3434 -0.3434
Angka Kematian Bayi
(J iwa/1000)
54.7641 -0.0021 -0.0018 -0.3177 0.0017 -0.0024 -0.3177 -0.3177
Umur Harapan Hidup
(Tahun)
65.132 0.0009 0.0003 0.2598 -0.0008 0.0046 0.2598 0.2598
KEMISKINAN :
J umlah Penduduk Miskin
(Orang)
250.6949 -0.0029 -0.0144 -0.0005 0.0026 -0.0162 -0.0158 -0.0543
Pendapatan Per Kapita
Pertanian( Ribu Rp)
362.2849 0.1245 0.2675 0.2162 -2.0967 1.1370 0.3089 1.1645
Keterangan :
S1 : Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran Pembangunan
S2 : Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian
S3 : Peningkatan Pengeluaran Kesehatanan dan Pendidikan
S4 : Peningkatan Harga Pupuk dan Harga Gabah
S5 : Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Harga Gabah
S6 : Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan
S7 : Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian, Dana Kesehatan, Pendidikan dan Harga Gabah
211
7.5. Ringkasan Hasil
Dari hasil penelitian mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan
dan ketahanan pangan, maka didapat ringkasan hasil penelitian sebagai berikut :
Desentralisasi fiskal di Provinsi J awa Barat secara absolut berpengaruh pada
peningkatan penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah, namun penerimaan terbesar terjadi
pada dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (DAU dan DAK) yang
proporsinya mencapai 68 persen sedang penerimaan dari pos Pendapatan Asli Daerah
(PAD) masih kecil sehingga menimbulkan ketergantungan fiskal yang semakin besar
terhadap pemerintah pusat. Sedang struktur pengeluaran daerah didominasi oleh
pengeluaran rutin yang komponennya mencapai 77 persen, sehingga porsi dana untuk
pembangunan menjadi kecil dan terbatas.
Pada masa desentralisasi fiskal tahun 2001 2005 perekonomian J awa Barat
mengalami pertumbuhan namun tingkat pertumbuhannya lebih rendah daripada
pertumbuhan ekonomi nasional, pada tahun 2006 dan 2007 pertumbuhan ekonomi J awa
Barat mulai berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor industri mempunyai
kontribusi terbesar dalam perekonomian J awa Barat 43.17 persen dengan laju yang relatif
tinggi 6.74 persen, namun pertumbuhan sektor industri kurang mempunyai kaitan yang
kuat dengan pertumbuhan sektor pertanian yang tumbuh sebesar 2.36 persen dengan
kontribusi sebesar 14 persen dengan komponen terbesar pada sub sektor tanaman pangan
yang mencapai 70 persen dari perolehan sektor pertanian. Dari sisi penyerapan tenaga
kerja sektor industri hanya menyerap tenaga kerja sebesar 19.68 persen sementara sektor
pertanian berkontribusi sebesar 33.72 persen.
212
Pada masa desentralisasi fiskal terjadi perlambatan pada laju penurunan jumlah
penduduk miskin dan terjadi peningkatan jumlah penduduk sangat rawan pangan.
Kabupaten-kabupaten yang menjadi sentra produksi beras mempunyai tingkat kemiskinan
yang relatif lebih tinggi dengan laju penurunan jumlah penduduk miskin yang relatif lebih
lambat. Tingkat kemiskinan di J awa Barat selalu lebih rendah dari tingkat kemiskinan
nasional.
Pada masa desentralisasi fiskal terjadi penurunan ketahanan pangan dari sisi
konsumsi yaitu terjadinya penurunan rata-rata konsumsi beras, konsumsi energi dan
konsumsi protein, namun dari sisi produksi dan ketersediaan pangan di J awa Barat selalu
terjadi surplus ketersediaan dan peningkatan produksi beras. Surplus ketersediaan beras
terjadi pada semua kabupaten di J awa Barat kecuali Kabupaten Bandung dan Kabupaten
Bogor, sedang untuk daerah kota semua mengalami defisit ketersediaan beras. Walaupun
terjadi banyak kendala seperti bencana alam, iklim dan alih fungsi lahan sawah yang
signifikan namun produksi padi sawah di J awa Barat pada tahun 2001 2006 terus
mengalami peningkatan dengan laju peningkatan produksi sebesar 2.62 persen yang
disebabkan peningkatan laju luas panen sebesar 0.92 persen dan laju produktivitas sebesar
l.78 persen. Dari sisi pemanfaatan pangan terjadi peningkatan terhadap kinerja ketahanan
pangan (prevalensi gizi kurang dan gizi buruk, angka kematian bayi dan umur harapan
hidup).
Model ekonometrika tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan
ketahanan pangan yang dibangun secara umum telah berhasil dirumuskan dan diestimasi
dengan baik, karena dari semua persamaan struktural yang ada nilai koefisien
determinasinya diatas 50 persen, nilai statistik F pada umumnya cukup tinggi yaitu
213
berkisar antara 12.25 sampai 14705.74. Berdasarkan uji statistik t menunjukkan sebagian
besar peubah penjelas dalam setiap persamaan struktural berpengaruh nyata pada taraf
kepercayan hingga 80 persen terhadap peubah endogennya dan dengan tanda parameter
yang sesuai dengan fenomena atau teori ekonomi.
Kebijakan fiskal berupa peningkatan pengeluaran pada sektor pertanian
berpengaruh signifikan pada peningkatan kinerja perekonomian daerah khususnya berupa
penyerapan tenaga kerja sektor pertanian, PDRB sektor Pertanian, produksi gabah,
pendapatan petani dan pendapatan per kapita. Kinerja perekonomian daerah selanjutnya
secara signifikan mempengaruhi pengurangan jumlah penduduk miskin daerah dan kinerja
ketahanan pangan daerah berupa peningkatan rata-rata konsumsi beras, energi dan protein
per kapita serta outcome katahanan pangan daerah berupa prevalensi gizi buruk, angka
kematian bayi dan umur harapan hidup. J umlah penduduk miskin secara signifikan
mampengaruhi kinerja fiskal daerah berupa penerimaan daerah dari sektor pajak daerah,
dimana penerimaan pajak daerah secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah penduduk
miskin, PDRB dan jumlah penduduk tidak miskin.J umlah penduduk miskin berpengaruh
negatif terhadap penerimaan pajak daerah. Kinerja perekonomian daerah pada sektor
pertanian juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal berupa harga input, harga output
serta upah pada sektor pertanian.
Berdasarkan hasil simulasi historis menunjukkan bahwa kebijakan peningkatan
pajak dan retribusi daerah berpengaruh terhadap penerimaan daerah dan selanjutnya akan
mempengaruhi pengeluaran rutin dan pembangunan, meningkatkan kinerja perekonomian
dan menurunkan kemiskinan. Kebijakan relokasi pengeluaran rutin ke pengeluaran
pembangunan berpengaruh pada kinerja perekonomian, kinerja ketahanan pangan dan
214
menurunkan kemiskinan. Peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pertanian
berdampak pada peningkatan PDRB sektor pertanian, produksi gabah, pendapatan sektor
pertanian, dan pendapatan per kapita. Selanjutnya meningkatkan konsumsi beras, energi
dan protein, kemudian menurunkan jumlah penduduk miskin, angka gizi buruk dan angka
kematian bayi serta meningkatkan umur harapan hidup. Selanjutnya meningkatkan kinerja
fiskal daerah melalui penurunan kesenjangan fiskal, karena penurunan jumlah penduduk
miskin berarti mengurangi beban subsidi pemerintah bagi masyarakat miskin dan
meningkatkan pendapatan dari sektor pajak.
Kebijakan peningkatan harga pupuk berdampak pada penurunan penggunaan
pupuk, penurunan produksi gabah dan penurunan PDRB sektor pertanian. Sehingga
menurunkan pendapatan pada sektor pertanian, pendapatan per kapita, konsumsi beras,
energi dan protein. Meningkatkan angka gizi buruk, angka kematian bayi dan menurunkan
umur harapan hidup. Peningkatan harga pupuk mempunyai dampak yang besar pada
penurunan produksi gabah dan penurunan pendapatan pertanian.
Kebijakan peningkatan harga gabah berdampak pada peningkatan produksi gabah,
penggunaan pupuk, pendapatan sektor pertanian, PDRB Pertanian, pendapatan per kapita,
konsumsi beras, energi dan protein, serta menurunkan angka gizi buruk, angka kematian
bayi dan menurunkan umur harapan hidup. Dampak paling besar dari peningkatan harga
gabah adalah peningkatan produksi gabah yang didahului oleh peningkatan penggunaan
pupuk.
Kebijakan kombinasi peningkatan harga gabah dan harga pupuk dengan proporsi
yang sama memberi dampak pada penurunan penggunaan pupuk sehingga menurunkan
produksi gabah dan PDRB Pertanian. Hal ini berdampak pada penurunan pendapatan
215
sektor pertanian dan pendapatan per kapita, menurunkan konsumsi beras, energi dan
protein serta meningkatkan angka gizi buruk, angka kematian bayi dan menurunkan
umur harapan hidup. Dampak negatif dari peningkatan harga pupuk lebih dominan
dibanding dampak positif dari peningkatan harga gabah.
Kebijakan kombinasi peningkatan pengeluaran sektor pertanian dan peningkatan
harga gabah memberi respon yang lebih besar dibanding apabila kebijakan dilakukan
secara tunggal. Karena dampak peningkatan produksi gabah dari peningkatan pengeluaran
sektor pertanian berpengaruh pada penurunan harga, apabila dibarengi oleh kebijakan
peningkatan harga gabah akan menghilangkan trade off negatif tersebut.
Dengan mengurangi jumlah penduduk miskin dan meningkatkan kondisi kinerja
ketahanan pangan maka akan berpengaruh pada kinerja fiskal yang selanjutnya akan
mempengaruhi kinerja perekonomian selanjutnya berpengaruh pada kinerja ketahanan
pangan dan penurunan kemiskinan. Dampak simulasi mempunyai pengaruh yang lebih
besar pada saat kebijakan dilakukan pada periode desentralisasi fiskal dibanding simulasi
dilakukan pada periode sebelum desentralisasi fiskal.
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan
Dari ringkasan hasil penelitian tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap
kemiskinan dan ketahanan pangan di Provinsi J awa Barat, maka dapat disimpulkan sbb:
1. Desentralisasi fiskal di Provinsi J awa Barat berpengaruh pada peningkatan
pembiayaan rutin yang cukup besar dan belum bisa diimbangi oleh peningkatan
pendapatan asli daerah (PAD) yang proporsional sehingga menimbulkan
ketergantungan fiskal pada pemeintah pusat dan menurunkan secara relatif anggaran
pembangunan daerah.
2. Pada masa desentralisasi fiskal di J awa Barat terjadi penurunan kinerja ketahanan
pangan, walaupun secara makro regional produksi gabah terus meningkat,
ketersediaan beras untuk konsumsi daerah surplus namun terjadi penurunan dari sisi
konsumsi berupa rata-rata konsumsi beras, energi dan protein serta terjadi
peningkatan jumlah penduduk sangat rawan pangan dan angka penderita gizi buruk
yang disebabkan oleh penurunan akses pangan terutama pada golongan pendapatan
rendah.
3. Kebijakan fiskal daerah dari sisi penerimaan yaitu dengan meningkatkan sumber-
sumber penerimaan berupa pajak daerah dan retribusi daerah kurang memberi
pengaruh langsung terhadap kinerja ketahanan pangan dan kemiskinan.
4. Peningkatan pengeluaran sektor pertanian berdampak pada peningkatan PDRB
sektor pertanian selanjutnya meningkatkan kinerja ketahanan pangan dan
menurunkan kemiskinan serta meningkatkan kinerja fiskal daerah.
217
5. Peningkatan pengeluaran dana kesehatan dan pendidikan berpengaruh
meningkatkan kinerja ketahanan pangan dari sisi konsumsi dan pemanfaatan pangan
yaitu meningkatkan konsumsi energi dan protein serta menurunkan angka gizi buruk,
angka kematian bayi dan meningkatkan umur harapan hidup.
6. Realokasi pengeluaran rutin ke pengeluaran pembangunan berdampak pada
peningkatan kinerja perekonomian, kinerja ketahanan pangan dan penurunan
kemiskinan serta meningkatkan kinerja fiskal daerah.
7. Kebijakan subsidi input maupun output pada sektor pangan berupa subsidi pupuk
maupun kebijakan harga gabah berupa harga pembelian pemerintah (HPP),
berpengaruh pada peningkatan produksi gabah, peningkatan pendapatan petani,
kinerja perekonomian khususnya sektor pertanian, menurunkan kemiskinan dan
meningkatkan kinerja fiskal daerah.
8. Peningkatan harga gabah dan pupuk secara proporsional berpengaruh pada penurunan
produksi gabah, penggunaan pupuk, pendapatan sektor pertanian, menurunkan
kinerja ketahanan pangan dan meningkatkan kemiskinan serta menurunkan kinerja
fiskal.
9. Kebijakan yang pengaruhnya besar terhadap peningkatan kinerja perekonomian,
peningkatan ketahanan pangan dan penurunan kemiskinan adalah kombinasi
kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian dan peningkatan harga gabah
serta kombinasi peningkatan pengeluaran sektor pertanian dan pengeluaran
pendidikan dan kesehatan.
10. Kebijakan yang paling besar pengaruhnya terhadap peningkatan kinerja
perekonomian, peningkatan ketahanan pangan dan penurunan kemiskinan adalah
218
kombinasi antara kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian, peningkatan
dana kesehatanan dan pendidikan serta peningkatan harga gabah.
8.2. Implikasi Kebijakan
Dari simulasi dan dampak yang ditimbulkan serta dari hasil pembahasan dapat
dihasilkan beberapa implikasi kebijakan dalam pembangunan daerah yang mempunyai
komitmen membangun ketahanan pangan berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan
petani, implikasi kebijakan yang disarankan adalah sebagai berikut :
1. Dalam rangka meningkatkan kinerja perekonomian daerah dan untuk mengatasi
kesenjangan fiskal pada masa desentralisasi fiskal, diharapkan pemerintah daerah
bekerja keras menggali potensi penerimaan dengan melakukan upaya fiskal yang
bisa meningkatkan penerimaan daerah sebagai sumber dana pembangunan tanpa
harus menimbulkan dampak negatif pada perekonomian. Upaya itu bisa dilakukan
dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi dalam penarikan potensi pajak
dan retribusi daerah, memberi stimulus terhadap berkembangnya sektor swasta
dengan memberi pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan iklim usaha
yang kondusif, memfasilitasi berkembangnya sumber-sumber pendanaan mandiri
bagi masyarakat, mengoptimalkan pemanfaatan dana tugas bantuan dan
dekonsentrasi dari pemerintah pusat. Sementara pemerintah pusat diharapkan
menutupi melalui pengalokasian dana alokasi dengan formula yang berkeadilan
dan mendidik supaya tidak menimbulkan kemalasan fiskal dan ketergantungan
bagi pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Dengan memberi insentif
terhadap pemerintah daerah yang berhasil menurunkan kemiskinan dan
219
meningkatkan ketahanan pangan, dan melakukan disinsentif terhadap daerah yang
tidak berhasil menurunkan kemiskinan maupun meningkatkan ketahanan pangan
melalui formula transfer DAU.
2. Terjadi perlambatan laju penurunan jumlah penduduk miskin, peningkatan jumlah
penduduk sangat rawan pangan, penurunan ketahanan pangan dari sisi konsumsi
(beras, energi dan protein) serta meningkatnya angka penderita gizi buruk pada
masa desentralisasi fiskal mengisyaratkan adanya kebijakan yang kurang berpihak
pada masyarakat golongan bawah sehingga menurunkan daya belinya dan
membuat mereka tidak bisa akses terhadap pangan secara sehat. Untuk itu
sebaiknya kebijakan yang dilakukan pada masa desentralisasi fiskal memberi
kesempatan bagi golongan pendapatan rendah untuk bisa akses dalam
pembangunan dengan program padat karya di sektor pertanian pangan.
3. Peningkatan pengeluaran sektor pertanian berdampak meningkatkan kinerja
perekonomian melalui peningkatan PDRB Pertanian dan penyerapan tenaga kerja
sehingga meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan. Untuk itu
dalam keterbatasan dana anggaran pembangunan, pemerintah daerah harus masih
punya keberpihakan pada sektor pertanian karena sektor ini masih merupakan
tempat bergantungnya hidup sebagian besar penduduk.
4. Peningkatan harga pupuk mempunyai dampak negatif yang lebih besar dibanding
dampak positif dari peningkatan harga gabah, untuk itu pemerintah pusat dalam
menetapkan kebijakan harga gabah besaran nilai kenaikan harga gabah harus
mengakomodasi besaran nilai kenaikan harga pupuk agar kebijakan harga yang
dilakukan mencapai sasaran dan efektif meningkatkan kesejahteraan petani.
220
5. Peningkatan harga pupuk mempunyai pengaruh negatif yang besar terhadap
produksi gabah, pendapatan sektor pertanian dan kemiskinan. Untuk itu pemerintah
perlu menjaga kestabilan harga dan ketersediaan pupuk melalui pengawasan
produksi dan distribusinya, sehingga pada waktu diperlukan pupuk tidak
menghilang di pasaran. Bila perlu pemerintah daerah bersama masyarakat ikut
mengawasi peredaran pupuk supaya pupuk bersubsidi sampai pada sasaran/ petani
pangan secara efektif dan efisien.
6. Peningkatan harga gabah berdampak pada peningkatan produksi dan pendapatan
petani serta meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan. Dalam
konteks desentralisasi fiskal, pemerintah daerah bisa mengefektifkan berlakunya
kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) yang dilakukan pemerintah pusat
yang sering tidak berlaku efektif dengan melakukan pembelian dan pengelolaan
stok (cadangan) beras di daerah bekerjasama dengan bulog dan masyarakat dengan
membangun fasilitas penjemuran gabah, gudang penyimpanan, pengembangan resi
gudang. Sehingga pada saat panen raya harga di petani tidak jatuh dan HPP yang
ditetapkan pemerintah pusat bisa berlaku efektif bagi petani.
7. Untuk meningkatkan produksi gabah dan pendapatan petani serta mengurangi
jumlah penduduk miskin, dan meningkatkan ketahanan pangan sebaiknya
pemerintah melakukan kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian yang
dikombinasikan dengan peningkatan harga gabah dengan mengakomodasi adanya
besaran tambahan biaya akibat peningkatan harga pupuk serta dibarengi oleh
peningkatan pengeluaran dana kesehatan dan pendidikan.
221
8. Meningkatnya angka gizi buruk pada era desentralisasi fiskal bisa ditanggulangi
dengan peningkatan dana kesehatan dan pendidikan. Dana tersebut bisa digunakan
untuk melakukan revitalisasi peran puskesmas dan posyandu dalam melakukan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, menggalakan program-program yang
mengarah pada penduduk miskin bisa akses pangan secara sehat dan seimbang
kandungan gizinya terutama bagi kelompok rawan pangan yaitu balita, ibu hamil
dan menyusui dengan memberi makanan tambahan. Mengupayakan pendidikan
gratis bagi golongan penduduk miskin dan menggalakan pelatihan ketrampilan bagi
penduduk miskin di perdesaan agar tercipta kemandirian.
9. Kurang responsifnya kebijakan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin dan
peningkatan outcome kinerja ketahanan pangan, disebabkan panjangnya mata
rantai kebijakan melalui mekanisme transmisi. Untuk meningkatkan respons dari
kebijakan maka sebaiknya sasaran lebih terfokus, sehingga perlu kebijakan yang
bersifat langsung dan produktif yang ditujukan pada masyarakat miskin dan rawan
pangan khususnya pada buruh tani dan petani gurem dengan melakukan program
pendampingan pada bidang usaha pangan.
10. Penyaluran subsidi input maupun output yang langsung bisa dirasakan oleh petani
pangan masih diperlukan, begitu pula pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis
bagi masyarakat miskin juga masih perlu dilakukan dan ditingkatkan. Selain itu
juga perlu dikembangkan kerjasama antara pemerintah dan swasta, dalam upaya
penciptaan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, kompetitif dan
efisien.
222
11. Walaupun tidak terformulasi dalam model, dalam rangka meningkatkan ketahanan
pangan berkelanjutan maka perlu dilakukan perbaikan- perbaikan : pengelolaan tata
ruang wilayah, pengoptimalan penggunaan lahan, perbaikan pola tanam, perbaikan
saluran irigasi, pemeliharaan dan pengoptimalan pemanfaatan waduk sebagai
sumber penyimpan air, pemanfaatan lahan tidur yang selama ini belum tergarap
serta mencegah adanya alih fungsi lahan produktif dan sawah dengan menerbitkan
perda maupun undang-undang.
12. Untuk meningkatkan produksi beras pemerintah daerah perlu mendukung kebijakan
Pemantapan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) yang dilakukan
pemerintah pusat dengan melakukan pengembangan rice centre pada daerah-daerah
sentra produksi beras, pengembangan kawasan estate padi sebagai lembaga bisnis
petani, pengembangan data base padi dan komoditi pangan lain dengan sistem on
line, penataan sebaran komoditi ketahanan pangan di daerah / kabupaten
berdasarkan potensi agroklimat.
13. Pemerintah perlu menumbuh kembangkan kelembagaan usaha ekonomi perdesaan
yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi perdesaan dan terciptanya
kemandirian ekonomi di perdesaan, menjaga harga gabah/ beras yang diterima
petani dalam tingkat yang wajar dan petani bisa mempunyai bargaining dengan
melakukan tunda jual pada saat harga gabah/ beras tidak menguntungkan, dan
menumbuhkan wirausaha baru di bidang perberasan.
223
8.3. Saran Penelitian Lanjutan
Berdasarkan hasil dan implikasi kebijakan ada beberapa hal yang perlu
disarankan untuk penelitian lanjutan, yaitu :
1. Komoditi yang dikaji dalam model ketahanan pangan sebaiknya tidak hanya beras,
tetapi juga perlu dikembangkan dengan komoditi-komoditi pangan penting lainnya.
Selain itu juga perlu dikembangkan penelitian tentang ketahanan pangan di wilayah
lain dengan komoditi pangan unggulan masing-masing daerah, sehingga bisa
memperlancar proses terjadinya diversifikasi pangan daerah di luar pangan beras,
serta bisa menggali potensi-potensi pangan harapan.
2. Karena keterbatasan data, dalam model ini tidak mengakomodasi data tentang
infrastruktur perdesaan, irigasi, konversi lahan pertanian, input bibit dan obat-obatan,
kredit sektor pertanian. Padahal peubah-peubah tersebut punya pengaruh, sebaiknya
penelitian lanjutan dimasukkan dalam model penelitian.
3. Karena keterbatasan data, dalam model ini tidak mengakomodasi sumber-sumber
penerimaan fiskal daerah dari dana dekonsentrasi maupun sumber-sumber
permodalan lain berupa dana pinjaman daerah, dana kerjasama dengan pihak ketiga
yang merupakan hasil upaya fiskal daerah. Padahal sumber penerimaan tersebut
berpengaruhnya terhadap ketahanan pangan dan kemiskinan, pada penelitian lanjutan
disarankan untuk mengakomodasi sumber-sumber penerimaan tersebut sebagai hasil
dari upaya fiskal daerah kedalam model.
4. PDRB sektor pertanian dalam penelitian ini tidak diagregasi berdasarkan
subsektornya, sebaiknya perilakunya dipisah berdasarkan subsektor yaitu subsektor
224
bahan makanan, peternakan, perkebunan, perikanan, dan kehutanan sehingga perilaku
masing-masing subsektor bisa diketahui dan kebijakan yang disarankan lebih fokus.
5. Karena keterbatasan data, pengeluaran dana pembangunan dalam model kurang bisa
dipisahkan secara rinci berdasarkan pengeluaran sektoral maupun subsektoralnya
dalam persamaan perilaku. Penelitian lanjutan perlu dilakukan pemisahan lebih rinci
dalam persamaan perilaku agar bisa diketahui perilakunya masing-masing dan
memperluas pilihan skema kebijakan dengan intrumen fiskal dari sisi pengeluaran.
6. Indikator kemiskinan dalam model penelitian ini diproksi dengan jumlah penduduk
yang berada dibawah garis kemiskinan berdasarkan kriteria BPS, sebaiknya perlu
dikembangkan indikator kemiskinan lain yang lebih luas seperti : kedalaman
kemiskinan, indek kemiskinan dan lain-lain.
7. Indikator kinerja ketahanan pangan dalam model sebaiknya bisa dikembangkan lagi
yang lebih luas baik pada subsistem produksi, distribusi, konsumsi pangan, serta
pada indikator outcome ketahanan pangan, seperti ketersediaan energi, protein,
jumlah penduduk sangat rawan pangan, balita dengan berat badan di bawah standar,
jumlah wanita buta huruf, IPM dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Asra, A. 2000. Poverty and Inequality in Indonesia : Estimates, Decomposition and Key
Issues. J ournal of the Asia Fasific Economy, 5(2) : 91 111.
Ariani, M., H.P. Saliem, G.S. Hardono dan T.B. Purwatini.. 2007. Wilayah Rawan
Pangan dan Gizi Kronis di Papua, Kalimantan Barat dan J awa Timur.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen
Pertanian, Bogor.
Adelman, I. and S. Robinson. 1978. Income Distribition Policy in Developing Countries
A Case Study of Korea. Oxford University Press, Oxford.
Alla, A. B. 1981. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Liberty, J ogjakarta.
Arisandi, T. 2000. Peranan DAU dalam Menciptakan Pemerataan dan Keadilan Antar
Daerah. Pemeriksa, 84 : 6 -7.
Badan Bimas Ketahanan Pangan. 2000 2004. Neraca Bahan Makanan Indonesia (1999
2004). Badan Bimas dan Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian,
J akarta.
Badan Ketahanan Pangan.2005a. Kebijakan Umum Pemantapan Ketahanan Pangan
Nasional. Badan Ketahanan Pangan.Departemen Pertanian, J akarta.
______________________.2005b. A Food Insecurity Atlas of Indonesia. Badan
Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian, J akarta.
_____________________.2006. Pedoman Umum Program Aksi Desa Mandiri Pangan.
Badan Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian, J akarta.
Badan Pusat Statistik. 1996. Survey Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statistik,
J akarta.
__________________. 1999. Survey Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statistik,
J akarta.
__________________. 2002. Survey Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statistik,
J akarta.
Badan Pusat Statistik J awa Barat. 2004/ 2005. J awa Barat dalam Angka. Badan Pusat
Statistik Provinsi J awa Barat, Bandung.
226
Baliwati, Y.F. 2001. Model Evaluasi Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Desa
Sukajadi Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor. Disertasi Doktor. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Berg, A. 1981. Malnoutrished People a Policy View, Poverty, and Basic Need. Series
World Bank, Washington.
Bigsten, A.1992. Kemiskinan, Ketimpangan dan Pembangunan. Dalam : Gemmell (Eds).
Ilmu Ekonomi Pembangunan Beberapa Survai. Lembaga Penerbit
Universitas Indonesia, J akarta.
Boediono. 1990. Elastisitas Permintaan untuk Berbagai Barang di Indonesia : Penerapan
Metode Frisch, Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 26(3): 345 -363.
Braun, V. J . and U. Grote. 2002. Does Decentralization Serve the Poor?. In : Ahmad and
Tanzi (Eds). Managing Fiscal Decentralization. Routledge Studies in the
Modern World Economy, London and New York.
Brodjonegoro, B. 2001. Fiscal Decentralization in Indonesia. The Institute of Economics
and Social Research and The Graduate Program of Economics, University
of Indonesia, J akarta.
______________,A.Hendranata dan R.M.Quina. 2001. Model Ekonometrika
Desentralisasi : Analisa Dampak Alokasi SDA dan DAU terhadap
Pemerataan dan Pertumbuhan Ekonomi Antar Daerah. Lembaga
Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat. Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, J akarta.
Capuno, J .J . 2001. Estimating the Income Elasticity of Local Government Revenue and
Expenditure in the Philippines under Decentralization. Paper presented at
The 3nd IRSA International Conference: Indonesia s Sustainable
Development in Decentralization Era. 20 21 Maret 2001, J akarta.
Chenery, H.B., M.S.Ahluwalia, C.L.G.Bell, J .H. Duloy and R. J olly. 1974. Reditribution
with Growth. Oxford University Press, London.
Departemen Dalam Negeri. 2002a. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Tentang
Pemerintahan Daerah. Penerbit Sinar Grafika, J akarta.
______________________. 2002b. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999. Tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Penerbit
Sinar Grafika, J akarta.
227
Departemen Keuangan. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2004. Departemen Keuangan Republik
Indonesia, J akarta.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 2007. Database Tanaman Pangan di Provinsi J awa
Barat. Pemerintah Provinsi J awa Barat, Bandung.
Donalson, L.1984. Economic Development Analysis and Policy. West Publishing
Company, New York.
Dornbusch, R. and S. Fischer. 1989. Makroekonomi. Erlangga, J akarta.
Dorosh, P.A. 2008. Food Price Stabilisation and Food Security : International
Experience. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 44(1): 93 114.
Ebel, R.D. and S. Yilmaz. 2002. On the Measurement and Impact of Fiscal
Decentralization. www.worldbank org/ decentralization.
Ellis, F. 1992. Agricultural Policies in Developing Countries. Cambridge University
Press, New York.
Fane, G. and P. Warr. 2008. Agricultural Protection in Indonesia. Bulletin of Indonesian
Economic Studies, 44(1) : 133 150.
FAO. 1997. Implication of Economic Policy for Food Security. Training Materials for
Agricultural Planing 30, Rome.
Gemmel, N. 1992. Ilmu Ekonomi Pembangunan. Lembaga Penerbit Universitas
Indonesia, J akarta.
Hartono, J . 1999. Teori Ekonomi Mikro Analisis Matematis. Penerbit Andi J ogjakarta,
J ogjakarta.
Hartoyo, S. 1994. Pengaruh Infrastruktur terhadap Penawaran Tanaman Pangan di J awa :
Pendekatan Multi-Input Multi-Output. Disertasi Doktor. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hasibuan, N. 2000. Kemiskinan Struktural di Indonesia : Menembus Lapisan Bawah.
http// www.geogle.com
Henderson, J . M. and R.E. Quandt, 1980. Microeconomic Theory A Mathematical
Approach. McGraw-Hill International Book Company, London.
Herliana, L. 2004. Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian Indonesia : Analisis
Dekomposisi SNSE. Thesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
228
Ikhsan, M. 2001. Reformasi Kebijakan Ekonomi Beras Nasional. Tim Pengkajian
Kebijakan Perberasan Nasional, Departemen Pertanian, J akarta.
ILO.1976. Employment, Growth, and Basic Needs. ILO, Geneva.
Ilham, N. 2006. Efektivitas Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan dan
Dampaknya pada Stabilitas Ekonomi Makro. Disertasi Doktor. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
International Food Policy Research Institute (IFPRI). 1999. Technical Guides for
Operationality Household Food Security in Development Projects.
International Food Policy Research Institute, Washington D.C.
Irawan.B., B. Winarso dan I. Sadikin. 2003. Analisis Faktor Penyebab Perlambatan
Produksi Komoditas Pangan Utama. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Ismail, M. 2001. Pendapatan Asli Daerah dalam Otonomi Daerah.Tema,2(1): 63 -75,
J akarta.
J ayawinata, A. 2005. Dampak Kebijakan Makroekonomi terhadap Ketahanan Pangan
Nasional. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
J hingan, M.L. 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Raja Grafindo Persada,
J akarta.
Kerk, L. P. and W. Garry. 1997. Does Fiscal Decentralization Lead to Economic
Growth? Brigham Young University Provo. www.worldbank.org/
decentralization.
Kirwan, B.E. and M. McMillan. 2007. Food Aid and Poverty. American J ournal of
Agricultural Economics, 89(5): 1152 -1168.
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics : An Introductory Exposition of
Econometric Methods. McMillan Press Ltd, London.
Lin, J . Y. and Z. Liu. 2000. Fiscal Decentralization and Economic Growth in China.
Economics Development and Cultural Change, 49 (1) : 1 22.
Mahi, R. 2000. Implikasi Fiskal Kebijakan Desentralisasi. Lembaga Penyelidikan
Ekonomi dan Masyarakat. Universitas Indonesia, J akarta.
Makmun. 2003. Gambaran Kemiskinan dan Action Plan Penangannya. Kajian Ekonomi
dan Keuangan, 7(2): 1 36.
229
Maksum, M. 2005. J angan Lagi J adi Tumbal Pembangunan. Kompas. 16 J uli 2005,
J akarta.
Mangkoesoebroto, G. 2000. Ekonomi Publik. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi,
J ogjakarta.
Mawardi, S. dan S. Sumarto. 2003. Kebijakan Publik yang Memihak Orang Miskin :
Makalah disampaikan pada Pelatihan Fasilitator-Kabupaten dan Koordinator
Regional Prakarsa Pembaruan Tata Pemerintahan Daerah (F-KAB dan KR
P2TPD), 24 Oktober, J ogjakarta.
Maxwell, S. and T.R. Frankenberger. 1992. Household Food Security: Concepts,
Indicators, Measurements : A Technical Review. UNICEF dan IFAD,
NewYork.
McCulloch, N. and C.P. Timmer. 2008. Rice Policy in Indonesia : A Spesial Issue.
Bulletin of Indonesian Economic Studies, 44(1): 33 44.
McCulloch, N. 2008. Rice Price and Poverty in Indonesia. Bulletin of Indonesian
Economic Studies, 44(1): 45 63.
Mears, L. A., A. Rachman and Sakrani, 1981. Income Elasticity of Demand for Rice in
Indonesia. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 39(1) 81 90.
Mier, G.M. 1995. Leading Issues in Economic Development. Sixth Edition. Oxford
University Press Inc, New York.
Mubyarto. 2001. Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis
Ekonomi. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi, J ogjakarta.
Muharminto.1993. Identifikasi Wilayah Miskin dan Alternatif Upaya
Penanggulangannya di Provinsi J awa Timur. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, J akarta.
Mulyana, A. 1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek
Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas : Suatu Analisis Simulasi.
Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mulyadi, S. 2003. Ekonomi Sumberdaya Manusia dalam Perspektif Pembangunan. Raja
Grafindo Persada, J akarta.
Musgrave, R.A. and B.M.Peggy. 1989. Public Finance in Theory and Practice. McGraw-
Hill Book Company, New York.
230
Nanga, M. 2006. Dampak Transfer Fiskal terhadap Kemiskinan di Indonesia : Suatu Analisis
Simulasi Kebijakan. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Norton, R.D. 2004. Agricultural Development Policy : Concepts and Experiences. J hon
Wiley and Sons Ltd, England.
Pakasi,C.B.D. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Kabupaten
dan Kota di Provinsi Sulawesi Utara. Disertasi Doktor. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pardede, R. 2004. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pembangunan Ekonomi
Kabupaten Tapanuli Utara dan Kota Medan : Aplikasi Model Input-
Output.Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Pemerintah Provinsi J awa Barat. 2002. Rencana Strategis Pemerintah Provinsi J awa
Barat 2003 2008. Pemerintah Provinsi J awa Barat, Bandung.
___________________________. 2007. Berita Daerah Provinsi J awa Barat Nomor 37
Seri E. Rencana Kerja Pemerintah Daerah Provinsi J awa Barat Tahun
2008. Pemerintah Provinsi J awa Barat, Bandung.
Pogue, T. F. and L.G. Sqontz. 1976. Government and Economic Choice. An Introduction
to Public Finance. Hiughton MillCompany, USA.
Pindyck, R.S. and D.L. Rubienfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forecast.
Mcgraw-Hill International Edition, Singapore.
Rao, M.G. 2000. Poverty Alleviation under Decentralization. www.worldbank org/
decentralization.
Reksohadiprodjo, S. 2001. Ekonomi Publik. Balai Penerbit Fakultas Ekonomi,
J ogjakarta.
Richardson, H.W. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Ekonomi Regional. Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia, J akarta.
Ritonga, A.A. 2002. Kebijakan Pengelolaan Anggaran. Tinjauan dalam Aspek
Pengeluaran Anggaran Negara Tahun 2003. Seminar Ikatan Sarjana
Ekonomi Indonesia. 29 Agustus 2002, J akarta.
Reutlinger, S. 1987. Food Security and Poverty in Developing Countries. In : Gitinger et
al. (Eds). Food Policy Published for the World Bank. The J ohns Hopkins
University Press, Baltimore and London.
231
Roy, B. 1999. Worldwide Trends in Fiscal Decentralization . www.worldbank org/
decentralization.
Saliem, H.P., M. Ariani, Y. Marisa dan T. Bastuti. 2002. Analisis Kerawanan Pangan
Wilayah dalam Perspektif Desentralisasi Pembangunan. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
_________., A. Purwoto, G.S.Hardono, T.B. Purwantini, Y. Supriyatna, Y. Marisa dan
Waluyo. 2004. Manajemen Ketahanan Pangan Era Otonomi Daerah dan
Perum Bulog. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor.
_________., E.M.Lokollo, M. Ariani, T.B. Purwanti dan Y. Marisa. 2005. Analisis
Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga dan Regional. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Balai Penelitian dan
Pengembangan Departemen Pertanian, Bogor.
Sawit, M,H. 1994. Analisa Permintaan Pangan : Bukti Empiris Teori Rumah Tangga
Pertanian. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 42(1): 99 120.
Sayogyo. 1996. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Yayasan Agro
Ekonomika, J ogjakarta.
Selowky, M. 1981. Income Distribution, Basic Needs and Trade-offs withy Growth : The
Case of Semi Industrialized Latin American Countries. World Bank, (9) :
73 92.
Sen , A. K. 1981. Poverty and Famines. An Essay on Entlitements and Deprivation. Basil
Blacwell, Oxford.
_________. 2002. Demokrasi Bisa Memberantas Kemiskinan. Mizan Pustaka, Bandung.
Simanjuntak, R. A. 2001.Kajian Kemampuan Daerah untuk Melakukan Pinjaman di Era
Otonomi Daerah. Makalah Seminar Nasional : Evaluasi Persiapan
Pelaksanaan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah. 6 Februari, J akarta.
_______________. 2002. Transfer Pusat ke Daerah : Konsep dan Praktik di Beberapa
Negara. Dalam Dana Alokasi Umum : Konsep, Hambatan dan Prospek di
Era Otonomi Daerah. Penerbit Kompas, J akarta.
Simatupang. P. 1999. Towards Sustainable Food Security : The Needs for a New
Paradigm. International Seminar Agricultural Sector During Turbelence of
Economic Crisis : Lessons and Future Direction. 17 18 Februari 1999.
Centre for Agro-Socio Economics Research, AARD.
232
_____________ dan S. Darmoredjo. 2003. Produk Domestik Regional Bruto, Harga dan
Kemiskinan : Hipotesis Trickle Down Effect Dikaji Ulang. Ekonomi
dan Keuangan Indonesia, 51(3): 291 324.
______________ and C.P. Timmer. 2008. Indonesian Rice Production : Policies and
Realities. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 44(1) : 65 79.
Sipayung, T. 2000. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi terhadap Sektor Pertanian dalam
Pembangunan Ekonomi Indonesia. Disertasi Doktor. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Siregar, H. 1991. Production Technology in Indonesian Dryland Crop Industry : Multy
Input, Multy-Output Framework. Dissertation Submited in Partial
Fulfilment of the Requirements for the Degree of Master of Economics of
the University of New England. Departement of Agricultural Economics
and Bisnis Management, University of New England, Armidale, NSW.
Sitepu, R.K. dan B.M.Sinaga. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika. : Estimasi, Simulasi
dan Peramalan Menggunakan Program SAS. Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Smoke, P. 2001. Fiscal Decentralization in Developing Countries : A Review of Current
Concepts and Practice. United Nations Research Institute for Social
Development. www.worldbank org/ decentralization.
Soegijoko, S. 1997. Perencanaan Pembangunan di Indonesia. Gramedia Widiasarana
Indonesia, J akarta.
Soehardjo. 1998. Konsep dan Kebijakan Deversifikasi Konsumsi Pangan dalam Rangka
Ketahanan Pangan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. LIPI,
J akarta.
Soetrisno, L. 1999. Pembangunan Pertanian Sebuah Tinjauan Sosiologis. Penerbit
Kanisius, J ogjakarta.
Sondakh, L.W. 1999. Mencari Flatform Otonomi Daerah dalam Krisis Ekonomi.
Makalah dalam Seminar Nasional Otonomi Daerah dan Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah dalam Rangka Pemberdayaan Potensi,
J akarta.
Stiglitz. J .E. 2000. Economics of the Public Sector. W.W. Norton and Company, New
York.
233
Sudaryanto, T. dan R. Sayuti. 1990. Analisa Permintaan Bahan Pangan dengan
Pendekatan Persamaan Sistem. Ekonomi dan Keuangan Indonesia,38(2) :
141 -159.
Sumodiningrat, G.1999. Pemberdayaan Masyarakat dan J aring Pengaman Sosial.
Gramedia Pustaka Utama, J akarta.
Supriatna,T. 1997. Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Humaniora
Utama Press, Bandung.
Suryana, A. 2001. Tantangan dan Kebijakan Ketahanan Pangan. Makalah disampaikan
pada Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat untuk Mencapai
Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi. Departemen Pertanian,
J akarta.
Swasono, F. 2007. Fiscal Decentralization and Economic Growth : Evidence from
Indonesia. Economics and Finance in Indonesia, 5(2): 109 133.
Syahrial, S. 2005. Fiscal Decentralization and Government Size : The Case of Indonesia.
Economics and Finance in Indonesia, 53(2): 117 193.
Tabor, S.R., K. Altemeier and B. Adinugroho. 1989. Foodcrop Demand in Indonesia : A
Systems Approach. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 25(2) : 31
52.
Tim Kordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi J awa Barat. 2006. Kebijakan
Pemerintah Provinsi J awa Barat dalam rangka Kegiatan Penanggulangan
Kemiskinan. Pemerintah Provinsi J awa Barat, Bandung.
Timmer, C.P. 2005. Food Security and Economic Growth : An Asian Perspective. Asian-
Pacific Economic Literature, 19(1): 1 17.
Teklu, T. and S.R. J hohnson. 1988. Demand System for Cross Section Data: Application
to Indonesia. Canadian J ournal of Agricultural Economics 36(1) : 83
101.
Todaro, M.P. 2000. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Edisi Ketujuh. Erlangga,
J akarta.
Ulla, M. 2003. Implikasi Otonomi Daerah terhadap Politik, Hukum dan
Ekonomi.http//www.otoda.co.id/artikel/implikasi otonomi htm (10 J uni
2003).
Vazques, J .M. and R.M. McNab. 2001. Fiscal Decentralization and Economic Growth.
International Studies Program. Working Paper. http:// isp-aysp.gsu.edu.
www.worldbank org/ decentralization.
234
Wahlgenant, M.K. 1984. Conceptual and Functional Form Issues in Estimating Demand
Elasticities for Food. American J ournal of Agricultural Economics, 66(2):
211 215.
Wardhono, A. 2001. Pelaksanaan Otonomi Daerah: Antara Harapan dan Kekhawatiran.
Radar J ember- J awa Pos. 18 April 2001
Wasylenko, M. 1987. Fiscal Decentralization and Economics Development. Public
Budgeting and Finance, 7(2) : 57 71.
Woller, G. M. and P. Kerk. 1998. Fiscal Decentralization and LDC Economic Growth :
An Empirical Investagation. J ournal of Development Studies, 34 (4): 139
148.
Wiranto, T. 2003. Profil Kemiskinan di Perdesaan. Newsletter. Urban and Regional
Development Institute, J akarta.
Yudhoyono, S.B. dan Harniati.2004. Pengurangan Kemiskinan di Indonesia : Mengapa
Tidak Cukup dengan Memacu Pertumbuhan Ekonomi. Cetakan Pertama.
Brighten Press, Bogor.
Yudhoyono,S.B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Sebagai Upaya Mengatasi
Kemiskinan dan Pengangguran : Analisis Ekonomi Politik Kebijakan
Fiskal. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Zhang, T. and H. Zhao, 1997. Fiscal Decentralization : The Composition of Public
Spending and Regional Growth in India. Development Research Group
Working Paper. World Bank, Washington. D.C.
Zhang, T. and H. Zhao. 1998. Fiscal Decentralization : Public Spending and Economic
Growth in China. J ounal of Public Economics, 67(2): 221 240.
236
Lampiran 1. Identifikasi Persamaan Struktural Model Penelitian
Persamaan Struktural K G M Status Identifikasi
Pajak Daerah 74 28 6 Over Identified
Dana Alokasi 74 28 7 Over Identified
Pengeluaran Rutin 74 28 6 Over Identified
Pengeluaran Sektor Pertanian 74 28 6 Over Identified
PDRB Sector Pertanian 74 28 6 Over Identified
PDRB Non Pertanian 74 28 6 Over Identified
Produksi Gabah 74 28 7 Over Identified
Pendapatan Pertanian per Kapita 74 28 5 Over Identified
Tenaga Kerja Pertanian 74 28 6 Over Identified
Penggunaan Pupuk 74 28 5 Over Identified
Harga Gabah 74 28 6 Over Identified
Harga Beras 74 28 5 Over Identified
Konsumsi Beras 74 28 6 Over Identified
Konsumsi Energi 74 28 5 Over Identified
Konsumsi Protein 74 28 6 Over Identified
J umlah Penduduk Miskin 74 28 6 Over Identified
Angka Gizi Buruk 74 28 7 Over Identified
Angka Kematian Bayi 74 28 7 Over Identified
Umur Harapan Hidup 74 28 6 Over Identified
237
Lampiran 2. Perhitungan MSE dan U Theil untuk Validasi Model
Variable N MSE Corr Bias Reg Dist Var Covar U1 U
(R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC)
REVDAE 143 3,975,276,021.00000 0.95300 0.20900 0.00100 0.79000 0.01000 0.78000 0.18600 0.09020
PAD 143 439,025,877.00000 0.78600 0.00000 0.20300 0.67500 0.54000 0.33800 0.55480 0.35030
PJ KDAE 143 57,149,328.00000 0.70600 0.00000 0.00400 0.99600 0.22500 0.77500 0.58320 0.32820
DALOK 143 4,729,229,015.00000 0.86500 0.00000 0.00000 1.00000 0.07200 0.92800 0.30500 0.15620
PRUTIN 143 4,183,112,683.00000 0.90600 0.00000 0.00000 1.00000 0.04900 0.95100 0.27010 0.13760
PPEMB 143 402,342,518.00000 0.98900 0.60400 0.20200 0.19400 0.17300 0.22200 0.23740 0.10780
PSEKLN 143 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000
PSEKP 143 3,816,689.00000 0.67500 0.00000 0.00000 1.00000 0.19400 0.80600 0.50550 0.27130
GDAE 143 4,354,334,394.00000 0.94000 0.05000 0.01500 0.93500 0.00200 0.94800 0.21390 0.10520
KESFIS 143 4,106,000,904.00000 0.53700 0.00000 0.54600 0.40500 0.15100 0.80000 1.04640 0.42450
PDRBP 143 35,897.00000 0.61100 0.00000 0.00000 1.00000 0.23000 0.77000 0.32100 0.16470
PDRBNP 143 453,331.00000 0.98800 0.00000 0.00000 1.00000 0.00600 0.99400 0.13350 0.06700
PDRB 143 396,133.00000 0.99000 0.00000 0.00100 0.99900 0.00100 0.99900 0.11850 0.05930
PRODGAB 143 32,736,700,000.00000 0.67700 0.00000 0.06000 0.94000 0.03300 0.96700 0.28310 0.14280
INCPPI 143 12,576.00000 0.19900 0.00000 0.08800 0.91200 0.23400 0.76600 0.29930 0.15210
TKP 143 7,949.00000 0.65100 0.00000 0.00000 1.00000 0.21100 0.78900 0.30010 0.15350
QPUK 143 2,447,470,000,000.000 0.79100 0.00000 0.00200 0.99800 0.08600 0.91400 0.27590 0.14030
PGAB 143 141,044.00000 0.75000 0.00000 0.00700 0.99300 0.21200 0.78800 0.27890 0.14260
PRODBRS 143 20,967,900,000.00000 0.67700 0.16700 0.00800 0.82600 0.09700 0.73600 0.30210 0.16320
IKAP 143 11,424,385.00000 0.88300 0.00000 0.53200 0.15000 0.68200 0.00000 0.99900 0.39790
PBRS 143 561,619.00000 0.75300 0.00000 0.01300 0.98700 0.23700 0.76300 0.27840 0.14250
CONBRSI 143 0.26296 0.55000 0.01000 0.00000 0.98900 0.26500 0.72400 0.03910 0.01960
CONSENI 143 7,688.00000 0.46400 0.00700 0.00400 0.98800 0.28700 0.70600 0.04030 0.02020
CONPROT 143 6.41036 0.42000 0.00400 0.04300 0.95300 0.17300 0.82300 0.04420 0.02210
J MLMIS 143 4,964.00000 0.81500 0.00400 0.00000 0.99600 0.10500 0.89100 0.24750 0.12480
AGZBRK 143 45.02158 0.61300 0.00100 0.00300 0.99700 0.19100 0.80900 0.28990 0.14740
AKMTBY 143 57.50377 0.48400 0.00000 0.00700 0.99200 0.25300 0.74700 0.12950 0.06490
UHHDP 143 4.10383 0.42100 0.00000 0.03400 0.96500 0.19500 0.80500 0.03150 0.01570
238
Lampiran 3. Hasil Pendugaan Model Desentralisasi Fiskal terhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Jawa Barat
The SAS Syst em
SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on
Model : PJ KDAE
Dependent var i abl e: PJ KDAE PJ KDAE
Anal ysi s of Var i ance
Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F
Model 5 9133463120. 3 1826692624. 1 31. 458 0. 0001
Er r or 137 7955247593. 9 58067500. 686
C Tot al 142 16244156149
Root MSE 7620. 20345 R- Squar e 0. 6942
Dep Mean 7378. 12120 Adj R- SQ 0. 6175
C. V. 103. 28108
Par amet er Est i mat es
Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label
I NTERCEP 1 - 551. 819796 2048. 453618 - 0. 269 0. 7880 I nt er cep
PDRB 1 0. 187383 0. 151445 1. 237 0. 2181 PDRB
J MLTMI S 1 13. 205164 2. 187758 6. 036 0. 0001 J MLTMI S
J MLMI S 1 - 48. 345719 7. 927990 - 6. 098 0. 0001 J MLMI S
DMDF 1 6267. 430335 1381. 114040 4. 538 0. 0001 DMDF
LPJ KDAE 1 0. 799019 0. 127290 6. 277 0. 0001 LPJ KDAE
Dur bi n- Wat son 1. 034
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 444
239
The SAS Syst em
SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on
Model : DALOK
Dependent var i abl e: DALOK DALOK
Anal ysi s of Var i ance
Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F
Model 6 2. 0178753E12 672625103958 138. 249 0. 0001
Er r or 136 676279749071 4865321935. 8
C Tot al 142 2. 6941551E12
Root MSE 69751. 85973 R- Squar e 0. 7490
Dep Mean 178898. 19463 Adj R- SQ 0. 7436
C. V. 38. 98969
Par amet er Est i mat es
Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label
I NTERCEP 1 - 4374. 654926 19002 - 0. 230 0. 8183 I nt er cep
J MLPDK 1 50. 306315 15. 354610 3. 276 0. 0013 J MLPDK
LUDAE 1 11. 243174 8. 683085 1. 295 0. 1975 LUDAE
J MLMI S 1 28. 696834 12. 71459 2. 257 0. 0038 J MLMI S
PAD 1 - 4. 567845 4. 50923 - 1. 013 0. 2564 PAD
DMDF 1 234633 12728 13. 546 0. 0001 DMDF
LDALOK 1 0. 534633 0. 029003 18. 434 0. 0001 LDALOK
Dur bi n- Wat son 1. 589
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 198
240
The SAS Syst em
SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on
Model : PRUTI N
Dependent var i abl e: PRUTI N PRUTI N
Anal ysi s of Var i ance
Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F
Model 5 2. 7441958E12 914731921193 212. 556 0. 0001
Er r or 137 598185113664 4303490026. 4
C Tot al 142 3. 3423809E12
Root MSE 65600. 99105 R- Squar e 0. 8210
Dep Mean 184342. 69216 Adj R- SQ 0. 8172
C. V. 35. 58643
Par amet er Est i mat es
Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label
I NTERCEP 1 53437 7756. 870771 6. 889 0. 0001 I nt er cep
MJ PGBB 1 0. 015572 0. 007541 2. 065 0. 0408 MJ PGBB
PAD 1 265780 142892. 47 1. 860 0. 4260 PAD
DALOK 1 564328 147152. 02 3. 835 0. 0620 DALOK
DMDF 1 252609 13669 18. 480 0. 0001 DMDF
LPRUTI N 1 0. 897104 0. 095822 9. 362 0. 0001 LPRUTI N
Dur bi n- Wat son 0. 894
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 529
241
The SAS Syst em
SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on
Model : PSEKP
Dependent var i abl e: PSEKP PSEKP
Anal ysi s of Var i ance
Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F
Model 5 456608977. 35 152202992. 45 38. 763 0. 0001
Er r or 137 545786522. 71 3926521. 7461
C Tot al 142 1002395500. 1
Root MSE 1981. 54529 R- Squar e 0. 6555
Dep Mean 2815. 86708 Adj R- SQ 0. 6438
C. V. 70. 37070
Par amet er Est i mat es
Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label
I NTERCEP 1 369. 026425 554. 177745 0. 666 0. 5066 I nt er cep
AREAL 1 0. 010038 0. 003927 2. 556 0. 0116 AREAL
PAD 1 3. 653424 1. 167974 3. 128 0. 0026 PAD
DALOK 1 0. 003198 0. 0023759 1. 346 0. 1806 DALOK
DMDF 1 2640. 285718 345. 603394 7. 640 0. 0001 DMDF
LPSEKP 1 0. 563788 0. 085453 6. 598 0. 0001 LPSEKP
Dur bi n- Wat son 0. 555
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 705
242
The SAS Syst em
SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on
Model : PDRBP
Dependent var i abl e: PDRBP PDRBP
Anal ysi s of Var i ance
Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F
Model 5 7006562. 4151 1751640. 6038 221. 056 0. 0001
Er r or 137 1093508. 1025 7923. 97176
C Tot al 142 8196584. 6024
Root MSE 89. 01669 R- Squar e 0. 8650
Dep Mean 539. 54928 Adj R- SQ 0. 8611
C. V. 16. 49834
Par amet er Est i mat es
Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label
I NTERCEP 1 - 90. 156349 28. 991079 - 3. 110 0. 0023 I nt er cep
TKP 1 1. 399257 0. 090505 15. 461 0. 0001 TKP
PSEKP 1 0. 014812 0. 003327 4. 452 0. 0001 PSEKP
I NCPPI 1 0. 569273 0. 102020 5. 580 0. 0001 I NCPPI
AREAL 1 3. 145720 3. 105350 1. 013 0. 3976 AREAL
LPDRBP 1 0. 545846 0. 086319 6. 324 0. 0001 LPDRBP
Dur bi n- Wat son 0. 911
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 542
243
The SAS Syst em
SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on
Model : PDRBNP
Dependent var i abl e: PDRBNP PDRBNP
Anal ysi s of Var i ance
Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F
Model 5 2747507582. 0 915835860. 67 1963. 726 0. 0001
Er r or 137 64826346. 991 466376. 59706
C Tot al 142 2812333929. 0
Root MSE 682. 91771 R- Squar e 0. 9769
Dep Mean 2402. 26010 Adj R- SQ 0. 9765
C. V. 28. 42813
Par amet er Est i mat es
Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label
I NTERCEP 1 - 1918. 283489 146. 541450 - 13. 090 0. 0001 I nt er cep
TKNP 1 5. 158899 0. 387313 13. 320 0. 0001 TKNP
PSEKLN 1 0. 003415 0. 000924 3. 697 0. 0003 PSEKLN
I NCNP 1 338. 119562 4. 558119 74. 180 0. 0001 I NCNP
PDRBP 1 0. 436852 0. 428286 1. 020 0. 4102 PDRBP
LPDRBNP 1 0. 4754332 0. 090558 5. 25 0. 0001 LPDRBNP
Dur bi n- Wat son 0. 846
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 534
244
The SAS Syst em
SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on
Model : PRODGAB
Dependent var i abl e: PRODGAB PRODGAB
Anal ysi s of Var i ance
Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F
Model 6 5. 1132583E12 1. 0226517E12 35. 790 0. 0001
Er r or 136 3. 9145531E12 28573380222
C Tot al 142 8. 123271E12
Root MSE 169036. 62391 R- Squar e 0. 5664
Dep Mean 592949. 37434 Adj R- SQ 0. 5506
C. V. 28. 50777
Par amet er Est i mat es
Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label
I NTERCEP 1 - 191906 62913 - 3. 050 0. 0027 I nt er cep
PGAP 1 0. 561906 0. 238804 2. 353 0. 0056 PGAP
QPUK 1 0. 081642 0. 007873 10. 370 0. 0001 QPUK
TKP 1 959. 734694 121. 786753 7. 880 0. 0001 TKP
PSEKP 1 5. 810158 7. 731807 0. 751 0. 4537 PSEKP
DMDF 1 256025 45902 5. 578 0. 0001 DMDF
LPRODGAB 1 0. 444217 0. 165397 2. 686 0. 0081 LPRODGAB
Dur bi n- Wat son 0. 548
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 723
245
The SAS Syst em
SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on
Model : I NCPPI
Dependent var i abl e: I NCPPI I NCPPI
Anal ysi s of Var i ance
Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F
Model 4 932418. 79736 233104. 69934 40. 505 0. 0001
Er r or 138 794184. 22770 5754. 95817
C Tot al 142 1707014. 3711
Root MSE 75. 86144 R- Squar e 0. 5480
Dep Mean 358. 33600 Adj R- SQ 0. 5267
C. V. 21. 17048
Par amet er Est i mat es
Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label
I NTERCEP 1 159. 154332 20. 149576 7. 899 0. 0001 I nt er cep
PRODGAB 1 0. 000152 0. 000033043 4. 594 0. 0001 PRODGAB
PSEKL 1 - 0. 000459 0. 000114 - 4. 035 0. 0001 PSEKL
TKP 1 0. 498065 0. 061274 8. 129 0. 0001 TKP
LI NCPPI 1 0. 120290 0. 267184 0. 450 0. 6533 LI NCPPI
Dur bi n- Wat son 0. 359
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 813
246
The SAS Syst em
SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on
Model : TKP
Dependent var i abl e: TKP TKP
Anal ysi s of Var i ance
Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F
Model 5 835332. 60340 208833. 15085 25. 353 0. 0001
Er r or 137 1136699. 9085 8236. 95586
C Tot al 142 1972032. 5119
Root MSE 90. 75768 R- Squar e 0. 5236
Dep Mean 272. 91634 Adj R- SQ 0. 5069
C. V. 33. 25476
Par amet er Est i mat es
Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label
I NTERCEP 1 - 10. 291493 52. 375739 - 0. 196 0. 8445 I nt er cep
AK 1 0. 000330 0. 000037686 8. 752 0. 0001 AK
WTKP 1 0. 004909 0. 003875 1. 267 0. 2073 WTKP
AREAL 1 0. 000050371 0. 000186 0. 270 0. 7873 AREAL
PSEKP 1 1. 240132 0. 7655135 1. 620 0. 1245 PSEKP
LTKP 1 0. 365210 0. 146963 2. 485 0. 0141 LTKP
Dur bi n- Wat son 0. 220
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 868
247
The SAS Syst em
SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on
Model : QPUK
Dependent var i abl e: QPUK QPUK
Anal ysi s of Var i ance
Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F
Model 4 6. 0660237E14 1. 5165059E14 65. 118 0. 0001
Er r or 138 3. 2138036E14 2. 3288432E12
C Tot al 142 9. 3287207E14
Root MSE1526054. 79060 R- Squar e 0. 6537
Dep Mean5062106. 07415 Adj R- SQ 0. 6436
C. V. 30. 14664
Par amet er Est i mat es
Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label
I NTERCEP 1 2547265 484916 5. 253 0. 0001 I nt er cep
AREAL 1 38. 482878 3. 065273 12. 554 0. 0001 AREAL
PPUK 1 - 2665. 410620 458. 027228 - 5. 819 0. 0001 PPUK
PGAB 1 516. 228199 485. 270249 1. 064 0. 2893 PGAB
LQPUK 1 0. 172170 0. 124573 1. 382 0. 1692 LQPUK
Dur bi n- Wat son 0. 541
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 711
248
The SAS Syst em
SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on
Model : PGAB
Dependent var i abl e: PGAB PGAB
Anal ysi s of Var i ance
Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F
Model 5 41148258. 848 10287064. 712 14705. 734 0. 0001
Er r or 137 96534. 79235 699. 52748
C Tot al 142 45796887. 633
Root MSE 26. 44858 R- Squar e 0. 9977
Dep Mean 1221. 95118 Adj R- SQ 0. 9976
C. V. 2. 16445
Par amet er Est i mat es
Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label
I NTERCEP 1 - 137. 844520 12. 921043 - 10. 668 0. 0001 I nt er cep
PPUK 1 0. 876850 0. 129558 6. 768 0. 0067 PPUK
PSEKP 1 0. 000055959 0. 001082 0. 052 0. 9588 PSEKP
WTKP 1 0. 015005 0. 001279 11. 729 0. 0001 WTKP
PBRS 1 0. 489051 0. 002483 196. 943 0. 0001 PBRS
LPGAB 1 0. 032548 0. 008661 3. 758 0. 0003 LPGAB
Dur bi n- Wat son 0. 740
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 621
249
The SAS Syst em
SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on
Model : PBRS
Dependent var i abl e: PBRS PBRS
Anal ysi s of Var i ance
Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F
Model 4 109206882. 99 36402294. 329 60. 379 0. 0001
Er r or 138 83802001. 224 602892. 09514
C Tot al 142 182836171. 69
Root MSE 776. 46126 R- Squar e 0. 6658
Dep Mean 2442. 85341 Adj R- SQ 0. 6564
C. V. 31. 78501
Par amet er Est i mat es
Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label
I NTERCEP 1 1212. 870707 205. 300119 5. 908 0. 0001 I nt er cep
PRODBRS 1 - 0. 000154 0. 000395 - 0. 390 0. 6974 PRODBRS
PRUTI N 1 0. 006145 0. 000465 13. 215 0. 0001 PRUTI N
CADBRS 1 - 4567. 9876 3716. 8328 - 1. 229 0. 3260 CADBRS
LPBRS 1 0. 840819 0. 122192 6. 881 0. 0001 LPBRS
Dur bi n- Wat son 0. 631
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 681
250
The SAS Syst em
SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on
Model : CONBRSI
Dependent var i abl e: CONBRSI CONBRSI
Anal ysi s of Var i ance
Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F
Model 5 21. 00505 4. 20101 18. 404 0. 0001
Er r or 137 31. 27209 0. 22826
C Tot al 142 53. 35639
Root MSE 0. 47777 R- Squar e 0. 5818
Dep Mean 13. 11079 Adj R- SQ 0. 5800
C. V. 3. 64409
Par amet er Est i mat es
Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label
I NTERCEP 1 14. 071878 0. 143752 97. 890 0. 0001 I nt er cep
PBRS 1 - 0. 000119 0. 000043802 - 2. 716 0. 0073 PBRS
J MLMI S 1 - 0. 002361 0. 000363 - 6. 506 0. 0001 J MLMI S
I KAP 1 0. 000021853 0. 000014424 1. 515 0. 1321 I KAP
DMDF 1 - 0. 232747 0. 099716 - 2. 334 0. 0210 DMDF
LCONBRSI 1 0. 341670 0. 120529 2. 835 0. 0053 LCONBRSI
Dur bi n- Wat son 0. 509
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 734
251
The SAS Syst em
SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on
Model : CONSENI
Dependent var i abl e: CONSENI CONSENI
Anal ysi s of Var i ance
Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F
Model 4 760289. 09139 253429. 69713 243. 715 0. 0001
Er r or 138 144540. 87082 1039. 86238
C Tot al 142 1384125. 7421
Root MSE 32. 24690 R- Squar e 0. 8403
Dep Mean 2172. 31877 Adj R- SQ 0. 8368
C. V. 1. 48445
Par amet er Est i mat es
Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label
I NTERCEP 1 312. 989317 79. 075009 3. 958 0. 0001 I nt er cep
CONBRSI 1 141. 703236 5. 948403 23. 822 0. 0001 CONBRSI
I KAP 1 0. 25780502 0. 102482 2. 515 0. 0321 I KAP
DPKES 1 0. 000660 0. 000913 0. 723 0. 4708 DPKES
LCONSENI 1 0. 105435 0. 053553 1. 969 0. 0510 LCONSENI
Dur bi n- Wat son 0. 658
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 665
252
The SAS Syst em
SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on
Model : CONPROT
Dependent var i abl e: CONPROT CONPROT
Anal ysi s of Var i ance
Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F
Model 5 473. 46551 118. 36638 65. 325 0. 0001
Er r or 137 250. 05191 1. 81197
C Tot al 142 1061. 46847
Root MSE 1. 34609 R- Squar e 0. 6544
Dep Mean 57. 27503 Adj R- SQ 0. 6444
C. V. 2. 35023
Par amet er Est i mat es
Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label
I NTERCEP 1 - 1414. 334811 144. 886266 - 9. 762 0. 0001 I nt er cep
CONSENI 1 0. 020636 0. 001634 12. 632 0. 0001 CONSENI
I KAP 1 5. 257806 2. 608556 2. 015 0. 0832 I KAP
J MLMI S 1 - 2. 005260 0. 616889 3. 250 0. 0001 J MLMI S
DMDF 1 - 4. 161020 0. 430897 - 9. 657 0. 0001 DMDF
LCONPROT 1 0. 505978 0. 096279 5. 255 0. 0001 LCONPROT
Dur bi n- Wat son 1. 614
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 189
253
The SAS Syst em
SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on
Model : J MLMI S
Dependent var i abl e: J MLMI S J MLMI S
Anal ysi s of Var i ance
Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F
Model 5 1409573. 1312 281914. 62625 55. 104 0. 0001
Er r or 137 700894. 38817 5116. 01743
C Tot al 142 2110835. 6043
Root MSE 71. 52634 R- Squar e 0. 6679
Dep Mean 257. 43083 Adj R- SQ 0. 6558
C. V. 27. 78468
Par amet er Est i mat es
Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label
I NTERCEP 1 31. 383654 22. 331668 1. 405 0. 1622 I nt er cep
DPKSMI S 1 - 1. 813909 0. 562417 - 3. 225 0. 0016 DPKSMI S
I KAP 1 - 0. 002598 0. 002174 - 1. 195 0. 2341 I KAP
PPEMB 1 - 0. 000032691 0. 000156 - 0. 209 0. 8346 PPEMB
J MLPDK 1 0. 171142 0. 014320 11. 952 0. 0001 J MLPDK
LJ MLMI S 1 0. 434785 0. 084065 5. 172 0. 0001 LJ MLMI S
Dur bi n- Wat son 0. 586
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 703
254
The SAS Syst em
SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on
Model : AGZBRK
Dependent var i abl e: AGZBRK AGZBRK
Anal ysi s of Var i ance
Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F
Model 6 4476. 78032 1119. 19508 23. 874 0. 0001
Er r or 136 6469. 38294 46. 87959
C Tot al 142 10286. 33464
Root MSE 6. 84687 R- Squar e 0. 6090
Dep Mean 21. 53407 Adj R- SQ 0. 5919
C. V. 31. 79551
Par amet er Est i mat es
Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label
I NTERCEP 1 3525. 489310 380. 911660 9. 255 0. 0001 I nt er cep
CONPROT 1 - 1. 006225 0. 342487 - 2. 938 0. 0039 CONPROT
J MLPSM 1 - 0. 010427 0. 015994 - 0. 652 0. 5155 J MLPSM
I KAP 1 - 3. 025467 0. 711038 - 4. 255 0. 0001 I KAP
J MLSKL 1 - 2. 408932 2. 933070 - 0. 821 0. 4351 J MLSKL
J MLBTHRP 1 0. 423356 0. 413O30 1. 025 0. 3621 J MLBTHRP
LAGZBRK 1 0. 387974 0. 112520 3. 448 0. 0007 LAGZBRK
Dur bi n- Wat son 0. 686
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 653
255
The SAS Syst em
SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on
Model : AKMTBY
Dependent var i abl e: AKMTBY AKMTBY
Anal ysi s of Var i ance
Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F
Model 6 3547. 73749 591. 28958 12. 246 0. 0001
Er r or 136 6566. 76577 48. 28504
C Tot al 142 10654. 73891
Root MSE 6. 94874 R- Squar e 0. 5508
Dep Mean 57. 90782 Adj R- SQ 0. 5221
C. V. 11. 99966
Par amet er Est i mat es
Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label
I NTERCEP 1 48. 399147 3. 098209 15. 622 0. 0001 I nt er cep
AGZBRK 1 0. 395665 0. 084280 4. 695 0. 0001 AGZBRK
J MLMI S 1 0. 021822 0. 005616 3. 886 0. 0002 J MLMI S
J MLBDN 1 - 0. 010886 0. 006648 - 1. 638 0. 1038 J MLBDN
MDKSPN 1 - 2. 104032E- 9 1. 1453387E- 9 - 1. 837 0. 0684 MDKSPN
DMDF 1 - 2. 399693 1. 350683 - 1. 777 0. 0779 DMDF
LAKMTBY 1 0. 392946 0. 103413 3. 800 0. 0002 LAKMTBY
Dur bi n- Wat son 0. 525
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 735
256
The SAS Syst em
SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on
Model : UHHDP
Dependent var i abl e: UHHDP UHHDP
Anal ysi s of Var i ance
Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F
Model 5 277. 79126 55. 55825 24. 053 0. 0001
Er r or 137 316. 44975 2. 30985
C Tot al 142 688. 47445
Root MSE 1. 51982 R- Squar e 0. 5675
Dep Mean 64. 32169 Adj R- SQ 0. 5480
C. V. 2. 36284
Par amet er Est i mat es
Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label
I NTERCEP 1 65. 157453 4. 105795 15. 870 0. 0001 I nt er cep
CONPROT 1 0. 126100 0. 065772 1. 917 0. 0573 CONPROT
DPKSMI S 1 0. 033875 0. 009595 3. 530 0. 0006 DPKSMI S
AKMTBY 1 - 0. 150308 0. 019755 - 7. 609 0. 0001 AKMTBY
DMDF 1 0. 207502 0. 360253 0. 576 0. 5656 DMDF
LUHHDP 1 0. 354258 0. 102047 3. 472 0. 0007 LUHHDP
Dur bi n- Wat son 0. 676
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 659