Sie sind auf Seite 1von 281

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP

KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN


DI WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT





DISERTASI



WIWIEK RINDAYATI








SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009


ABSTRACT



WIWIEK RINDAYATI. The Impact of Fiscal Decentralization on Poverty and Food
Security in the Region of West J ava. (BUNASOR SANIM as Chairman, M.
PARULIAN HUTAGAOL and HERMANTO SIREGAR as Members of the Advisory
Committee)

The implementation of fiscal decentralization in accordance with Law No 32/2004
regarding of local government and No 33/2004 regarding of inter-government fiscal relationship
was considered as the new era management and local government budget. Fiscal
decentralization gives the opportunity for local government in order to increase income and the
expenses side within the controlling of budget has more ability to spend the facilities in
accordance to the people needs that gives externality for local economic activities that may
increase the income of people, food security performance and to reduce poverty.
The objectives of this research were to (1) describe regional fiscal, economic, poverty and
food security performance in the fiscal decentralization, (2) analyze factors affecting regional
fiscal, economic, poverty and food security performance, and (3) analyze the impact of fiscal
decentralization policies and external factor on poverty and food security in West J ava.
The descriptive analysis and dynamic simultaneous equation models that were used in this
research, using polled time series data of 1995 2005 and cross section data of 13 districts.
Econometric model is constructed by 4 blocks, consisting of the regional fiscal, regional
economic, poverty, and food security performance. Model was estimated using the 2SLS (Two
Stage Least Squares) method SYSLIN procedure and simulation used the SIMNLIN procedure.
The result of the research shows that fiscal decentralization gives significant effect on the
increasing of regional income and expenses. The DAU was the source of 68 percent of regional
income, and the routine expenditures were the largest regional expenditures (77 percent) in the
fiscal decentralization. The mix policies of increasing agricultural development expenditures,
paddy price, and health and education development expenditures will have the most impact to
reduce of poverty and increase food security in West J ava.

Key word : fiscal decentralization, economic growth, poverty reduce, food security

















@ Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang- Undang


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan
memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis dalam bentuk apapun tanpa
izin IPB.

















Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang


Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan berwasiat
dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran
QS 103 ( 1 3)

Tahukah engkau orang yang mendustakan agama?
Itulah orang yang menelantarkan anak yatim,
dan tidak menganjurkan memberi pangan bagi orang miskin
QS 107 ( 1 3)




















DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP
KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI WILAYAH
PROVINSI JAWA BARAT





Oleh :
WIWIEK RINDAYATI


Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian











SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009



J udul Disertasi : Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kemiskinan dan Ketahanan
Pangan di Wilayah Provinsi J awa Barat

Nama Mahasiswa : Wiwiek Rindayati

Nomor Pokok : A546010011

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian


Menyetujui,
Komisi Pembimbing



Prof.Dr.Ir.Bunasor Sanim, M.Sc
Ketua



Dr.Ir.M.Parulian Hutagaol, MS Prof.Dr.Ir.Hermanto Siregar, M.Ec
Anggota Anggota


Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Ekonomi Pertanian,



Prof.Dr.Ir.Bonar M. Sinaga, MA Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 15 September 2008 Tanggal lulus :



PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat terselesaikannya disertasi ini. Disertasi ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi
Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pemenuhan pangan untuk dapat hidup sehat dan aktif bagi setiap individu
merupakan salah satu hak azasi manusia yang hakiki. Indonesia turut memberikan
komitmen yang tinggi untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dan rawan pangan.
Hal ini sejalan dengan Deklarasi World Food Summit Tahun 1996 dan ditegaskan
kembali pada WFS lima tahun kemudian di Roma yang menegaskan bahwa diharapkan
dari 800 juta penduduk dunia yang kelaparan dikurangi separuhnya pada tahun 2015.
Komitmen Indonesia pada hak untuk akses pangan bagi setiap penduduknya dituangkan
dalam Undang-Undang No 7 tahun 1996 tentang Pangan. Pelaksanaan desentralisasi
fiskal dengan memberi kewenangan yang lebih luas pada pemerintah daerah dalam
mengelola keuangan baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran akan memberi
peluang bagi pemerintah dalam upaya untuk mengurangi kemiskinan dan kerawanan
pangan tersebut. Namun keterbatasan anggaran dan sumberdaya lainnya menjadi kendala
bagi pencapaian tujuan mulia tersebut, sehingga diperlukan komitmen yang tinggi dan
kerja keras dari pemerintah daerah. Sehubungan hal tersebut penulis tertarik menulis
disertasi dengan judul Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kemiskinan dan
Ketahanan Pangan di Provinsi Jawa Barat.
Selesainya disertasi ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak untuk itu pada
kesempatan ini dengan setulus hati penulis sampaikan terima kasih terutama kepada :


1. Prof.Dr.Ir. Bunasor Sanim, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing yang selalu meluangkan
waktu di tengah kesibukan beliau yang padat untuk memberikan arahan, bimbingan dan
masukan pada penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi ini.
2. Dr.Ir.M.Parulian Hutagaol, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang selalu memberikan
waktu untuk berdiskusi dengan penulis untuk memberikan masukan terutama pada
perumusan masalah penelitian, kerangka pemikiran, penulisan dan sintesis dalam tinjauan
referensi penelitian dan penulisan hasil penelitian.
3. Prof.Dr.Ir.Hermanto Siregar, M.Ec selaku Anggota Komisi Pembimbing yang selalu
meluangkan waktu di tengah kesibukan beliau yang padat untuk memberikan koreksi, arahan,
masukan dan bimbingan terutama dalam penentuan topik, membangun model, analisis data,
dan penulisan hasil penelitian.
4. Prof. Dr. Ir. Wilson H. Limbong, MS selaku Panitia dan Moderator Seminar Hasil Penelitian
Pascasarjana serta para peserta seminar Pascasarjana atas masukan dan saran perbaikan pada
waktu seminar hasil penelitian.
5. Dr.Ir.Harianto, MSc selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup yang telah meluangkan
waktu untuk menguji penulis dan memberikan saran-saran perbaikan dan penyempurnaan
disertasi pada Ujian Tertutup.
6. Prof. Dr.Ir. Bonar M Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
atas saran-saran perbaikan pada Ujian Tertutup dan atas ilmu-ilmu yang telah diwariskan
kepada penulis selama perkuliahan serta atas layanan administrasi dan akademik selama ini.
7. Dr.Ir. Eka Intan Kumala Putri selaku Wakil Dekan FEM dan Ketua Sidang pada Ujian
Tertutup atas segala masukan dan saran-saran perbaikan pada waktu Ujian Tertutup.
8. Dr. Ir.Kaman Nainggolan, MS selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka yang telah
meluangkan waktu untuk menguji penulis dan memberikan saran-saran perbaikan dan
penyempurnaan disertasi pada Ujian Terbuka.


9. Dr Ir. Arief Daryanto, M.Ec selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka yang telah
meluangkan waktu untuk menguji penulis dan memberikan saran-saran perbaikan dan
penyempurnaan disertasi pada Ujian Terbuka.
10. Dr.Ir.Sri Hartoyo, MS selaku Dekan FEM dan Ketua Sidang pada Ujian Terbuka atas
segala masukan dan saran-saran perbaikan pada waktu Ujian Terbuka dan atas kesempatan
yang telah diberikan kepada penulis dalam menempuh Program Doktor.
11. Dr.Ir.Rina Oktaviani, MS selaku Ketua Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB atas
kesempatan dan waktu yang telah diberikan kepada penulis dalam menempuh Program
Doktor.
12. Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional Indonesia atas kesempatan dan beasiswa
TMPD yang telah diberikan kepada penulis pada penyelesaian Program Doktor.
13. Karyawan BPS Pusat J akarta, Departemen Keuangan, Departemen Pertanian, BPS Provinsi
J awa Barat, Dinas Tanaman Pangan Provinsi J awa Barat, Badan Ketahanan Pangan J awa
Barat, Dinas Kesehatan J awa Barat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda )
J awa Barat yang telah banyak membantu penulis dalam pencarian dan penelusuran data-data
penelitian.
14. Mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB khususnya kepada: Irmayanti, Diana,
Imam, Andros, J unaidi, Mardi dan Retno yang telah banyak membantu dalam pencarian dan
penelusuran data-data penelitian.
15. Kepada rekan penulis Dr. Djaimi, Dr .Yundi dan Dr. Aldolf yang telah banyak berdiskusi
dengan penulis dalam memberikan masukan dan berbagi ilmu dan pengalaman dalam
membangun model dan analisis data.
16. Kedua orang tua penulis Bapak Adi Prayitno dan Ibu Moedjinah atas bimbingan, asuhan,
didikan dan kasih sayangnya selama ini sejak bayi sampai sekarang.
17. Bapak dan Ibu Mertua penulis Bapak Soeratman (Alm) dan Ibu Taryam atas perhatian,
bimbingan dan kasih sayangnya selama ini.


18. Suami penulis Herry Agus Suroto dan putra-putri penulis Arie Satryo Wibowo, Bramastyo
Agung Wibowo dan Caselia Ajeng Puspitasari atas pengertian, bantuan, dukungan, motivasi
dan pengorbannya selama ini.
19. Adik-adik dan kakak- kakak penulis atas bantuan, dukungan, motivasi dan perhatiannya
selama ini.
20. Rekan-rekan penulis di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, khususnya angkatan tahun
2000, 2001 dan 2002 yang menjadi sahabat dalam suka duka pada masa perkuliahan dan
belajar bersama dalam menghadapi prelim.
21. Rekan-rekan penulis di Fakultas Peternakan IPB dan Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB
khususnya kepada Ir.Lucia Cyrilla MS, Ir Anggraeni MM, Dr.Ir. Sri Mulatsih MSc.Agr dan
Ir. Yetti Lies P. M Sc atas perhatian, dukungan dan motivasinya.
22. Ucapan terima kasih yang tulus penulis ucapkan pada semua pihak yang tidak sempat penulis
sebutkan satu per satu, yang telah banyak membantu kelancaran penyelesaian disertasi ini
baik mulai dari proses pembuatan proposal, pengambilan data lapang, analisis data, penulisan
laporan sampai pada penyelesaian studi ini.

Bogor, J anuari 2009
Penulis









SURAT PERNYATAAN


Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi
saya yang berjudul DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP
KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI WILAYAH PROVINSI JAWA
BARAT merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan
pembimbingan Komisi Pembimbing kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
perguruan tinggi lain.
Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat
diperiksa kebenarannya.









Bogor, J anuari 2009


WIWIEK RINDAYATI
NRP A546010011/ EPN







RIWAYAT HIDUP



Penulis lahir pada tanggal 16 Agustus 1962 di Malang J awa Timur sebagai anak
pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Adi Prayitno dengan Ibu Moedjinah.
Penulis bersuamikan Herry Agus Suroto dan dikaruniai tiga putra-putri yaitu Arie Satryo
Wibowo, Bramastyo Agung Wibowo dan Caselia Ajeng Puspitasari.
Pendidikan penulis dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah
Menengah Atas (SMA) penulis selesaikan di kota Malang. Pendidikan sarjana peternakan
(S1), dapat penulis selesaikan pada tahun 1984 di Universitas Brawijaya Malang. Pada
tahun 1986 penulis diangkat sebagai dosen tetap pada Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya Malang. Pada tahun 1994 penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada
Program Magister (S2) pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) di Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1997 penulis diangkat menjadi dosen
tetap di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Pada tahun 2000 penulis bergabung sebagai tenaga pengajar pada Fakultas
Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor di Departemen Ekonomi dan Studi
Pembangunan yang sekarang berubah menjadi Departemen Ilmu Ekonomi pada bidang
konsentrasi Ekonomi Industri, Perdagangan dan Pembangunan. Pada tahun 2001 penulis
terdaftar sebagai mahasiswa Program Doktor (S3) dengan mendapat beasiswa dari
TMPD Dirjen Dikti pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada bidang konsentrasi Ekonomi Pembangunan.
Penulis pernah aktif sebagai peneliti pada Pusat Studi Wanita ( PSW) dan Pusat
Pengembangan Ilmu- Ilmu Sosial (PPIIS).


RINGKASAN


WIWIEK RINDAYATI. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kemiskinan dan
Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi J awa Barat ( BUNASOR SANIM sebagai Ketua,
M. PARULIAN HUTAGAOL dan HERMANTO SIREGAR sebagai Anggota Komisi
Pembimbing)

Permasalahan dalam membangun ketahanan pangan berkelanjutan adalah terkait
adanya fakta bahwa kemiskinan di Indonesia sebagian besar berada di perdesaan dan di
sektor pertanian khususnya pada subsektor tanaman pangan (Susenas, 2002; Yudhoyono,
2004; Herliana, 2004). Demi terwujudnya ketahanan pangan berkelanjutan pemerintah
harus punya keberpihakan sehingga dalam membangun ketahanan pangan harus diikuti
oleh peningkatan kesejahteraan petani pangan sebagai pelaku produksi bahan pangan.
Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan ketahanan pangan sebagian besar menjadi kewenangan pemerintah daerah
bersama masyarakat. Peran pemerintah daerah bersama masyarakat diharapkan lebih
besar karena pemerintah daerah dianggap lebih tahu dalam mengatasi permasalahan
secara lebih spesifik berdasarkan pada potensi dan keunggulan serta keaneka-ragaman
sumberdaya. Kondisi ini memungkinkan berkembangnya kreativitas masyarakat daerah
dalam mengembangkan potensi pangan sesuai dengan sumber daya, budaya dan selera
masyarakat setempat.
Tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisis kinerja fiskal daerah sebelum dan
masa desentralisasi fiskal, (2) membangun model ekonomi daerah untuk menganalisis
keterkaitan antara kinerja fiskal daerah (penerimaan dan pengeluaran), kemiskinan dan
ketahanan pangan, (3) menganalisis dampak penerapan berbagai skenario kebijakan
dalam meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan dalam konteks
desentralisasi fiskal, dan (4) merumuskan implikasi kebijakan strategis dalam
meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan dalam konteks
desentralisasi fiskal di J awa Barat.
Untuk menjawab tujuan penelitian digunakan analisis diskriptif dan analisis
ekonometrika model sistem persamaan simultan dinamis yang terdiri 4 blok yaitu blok
fiskal daerah, PDRB, kemiskinan dan ketahanan pangan. Model yang dibangun disusun
dalam 19 persamaaan struktural dan 9 persamaan identitas. Model diduga dengan metoda
Two Stage Least Squares (2 SLS), selanjutnya dilakukan analisis struktural dan analisis
simulasi kebijakan. Analisis simulasi historis (post ante) dilakukan pada periode sebelum
desentralisasi fiskal tahun 1995 2000 dan masa desentralisasi fiskal tahun 2001 2005
dengan berbagai skenario kebijakan dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan
mengurangi kemiskinan.
Penelitian dilakukan di J awa Barat dengan unit analisis daerah kabupaten. Data
yang digunakan adalah data sekunder berupa pooled data (time series tahun 1995 2005
dan cross section 13 kabupaten) dari BPS Pusat J akarta, BPS Provinsi J awa Barat, BPS
Kabupaten, Departemen Pertanian, Dinas Pertanian Provinsi J abar, Dinas Kesehatan
Provinsi J abar, Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Keuangan, Pemda Kabupaten dan
instansi terkait.


Desentralisasi fiskal di Provinsi J awa Barat secara absolut berpengaruh pada
peningkatan penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah, namun penerimaan terbesar
terjadi pada dana transfer dari pemerintah pusat (DAU dan DAK) yang proporsinya
mencapai 68 persen sedang penerimaan dari pos Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih
kecil sehingga menimbulkan ketergantungan fiskal yang semakin besar terhadap
pemerintah pusat. Sedang struktur pengeluaran daerah didominasi oleh pengeluaran rutin
yang komponennya mencapai 77 persen.
Pada masa desentralisasi fiskal tahun 2001 2005 perekonomian J awa Barat
mengalami pertumbuhan namun tingkat pertumbuhannya lebih rendah daripada
pertumbuhan ekonomi nasional, pada tahun 2006 dan 2007 pertumbuhan ekonomi J awa
Barat mulai berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor industri mempunyai
kontribusi terbesar dalam perekonomian J awa Barat (43.17 persen) dengan laju yang
relatif tinggi (6.74 persen), namun pertumbuhan sektor industri kurang mempunyai kaitan
kuat dengan pertumbuhan sektor pertanian yang tumbuh sebesar 2.36 persen dengan
kontribusi sebesar 14 persen dengan komponen terbesar pada sub sektor tanaman pangan
yang mencapai 70 persen dari perolehan sektor pertanian. Dari sisi penyerapan tenaga
kerja sektor industri hanya menyerap tenaga kerja sebesar 19.68 persen sementara sektor
pertanian berkontribusi sebesar 33.72 persen.
Pada masa desentralisasi fiskal terjadi perlambatan pada laju penurunan jumlah
penduduk miskin dan terjadi peningkatan jumlah penduduk sangat rawan pangan.
Kabupaten-kabupaten yang menjadi sentra produksi beras mempunyai tingkat
kemiskinan yang relatif lebih tinggi dengan laju penurunan jumlah penduduk miskin
yang relatif lebih lambat. Tingkat kemiskinan di J awa Barat selalu lebih rendah dari
tingkat kemiskinan nasional.
Pada masa desentralisasi fiskal terjadi penurunan ketahanan pangan dari sisi
konsumsi yaitu terjadinya penurunan rata-rata konsumsi beras, konsumsi energi dan
konsumsi protein, namun dari sisi produksi dan ketersediaan pangan selalu terjadi
surplus ketersediaan dan peningkatan produksi beras. Surplus ketersediaan beras terjadi
pada semua kabupaten di J awa Barat kecuali Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bogor,
sedang untuk daerah kota semua mengalami defisit ketersediaan beras. Walaupun terjadi
banyak kendala seperti bencana alam, iklim dan alih fungsi lahan sawah namun produksi
padi sawah di J awa Barat pada tahun 2001 2006 terus mengalami peningkatan dengan
laju peningkatan produksi sebesar 2.62 persen yang disebabkan peningkatan laju luas
panen sebesar 0.92 persen dan laju produktivitas sebesar l.78 persen. Dari sisi outcome
terjadi peningkatan terhadap kinerja ketahanan pangan yaitu prevalensi gizi kurang dan
gizi buruk, angka kematian bayi dan umur harapan hidup.
Kebijakan fiskal berupa peningkatan pengeluaran pada sektor pertanian
berpengaruh signifikan pada peningkatan kinerja perekonomian daerah khususnya berupa
penyerapan tenaga kerja sektor pertanian, PDRB sektor Pertanian, produksi gabah,
pendapatan petani dan pendapatan per kapita. Kinerja perekonomian daerah selanjutnya
secara signifikan mempengaruhi pengurangan jumlah penduduk miskin dan kinerja
ketahanan pangan daerah berupa peningkatan rata-rata konsumsi beras, energi dan
protein per kapita serta outcome katahanan pangan daerah berupa prevalensi gizi buruk,
angka kematian bayi dan umur harapan hidup. J umlah penduduk miskin secara signifikan
mempengaruhi kinerja fiskal daerah berupa penerimaan daerah dari sektor pajak daerah,
dimana penerimaan pajak daerah secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah penduduk


miskin, PDRB. J umlah penduduk miskin berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak
daerah. Kinerja perekonomian daerah pada sektor pertanian juga dipengaruhi oleh faktor-
faktor eksternal berupa harga input dan harga output.
Berdasarkan hasil simulasi historis menunjukkan bahwa kebijakan peningkatan
pajak dan retribusi daerah berpengaruh terhadap penerimaan daerah dan selanjutnya akan
mempengaruhi pengeluaran rutin dan pembangunan, meningkatkan kinerja perekonomian
dan menurunkan kemiskinan.
Kebijakan relokasi pengeluaran rutin ke pengeluaran pembangunan berpengaruh
pada kinerja perekonomian, kinerja ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan.
Peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pertanian berdampak pada peningkatan
PDRB sektor pertanian, produksi gabah, pendapatan sektor pertanian, dan pendapatan
per kapita. Selanjutnya meningkatkan konsumsi beras, energi dan protein, kemudian
menurunkan jumlah penduduk miskin, angka gizi buruk dan angka kematian bayi serta
meningkatkan umur harapan hidup. Selanjutnya meningkatkan kinerja fiskal daerah
karena penurunan jumlah penduduk miskin berarti mengurangi beban subsidi dan
meningkatkan pendapatan dari sektor pajak.
Peningkatan pengeluaran dana kesehatan dan pendidikan berpengaruh
meningkatkan kinerja ketahanan pangan dari sisi konsumsi dan pemanfaatan pangan
yaitu meningkatkan konsumsi energi dan protein serta menurunkan angka gizi buruk
angka kematian bayi dan meningkatkan umur harapan hidup.
Kebijakan peningkatan harga pupuk berdampak pada penurunan penggunaan
pupuk, penurunan produksi gabah dan penurunan PDRB sektor pertanian. Sehingga
menurunkan pendapatan pada sektor pertanian, pendapatan per kapita, konsumsi beras,
energi dan protein. Meningkatkan angka gizi buruk, angka kematian bayi dan
menurunkan umur harapan hidup. Peningkatan harga pupuk mempunyai dampak yang
besar pada penurunan produksi gabah dan penurunan pendapatan pertanian.
Kebijakan peningkatan harga gabah berdampak pada peningkatan produksi gabah,
penggunaan pupuk, pendapatan sektor pertanian, PDRB Pertanian, pendapatan per kapita,
konsumsi beras, energi dan protein, serta menurunkan angka gizi buruk, angka kematian
bayi dan menurunkan umur harapan hidup. Dampak paling besar dari peningkatan harga
gabah adalah peningkatan produksi gabah yang didahului oleh peningkatan penggunaan
pupuk.
Kebijakan kombinasi peningkatan harga gabah dan harga pupuk dengan proporsi
yang sama memberi dampak pada penurunan penggunaan pupuk sehingga menurunkan
produksi gabah dan PDRB Pertanian. Hal ini berdampak pada penurunan pendapatan
sektor pertanian dan pendapatan per kapita, menurunkan konsumsi beras, energi dan
protein serta meningkatkan angka gizi buruk, angka kematian bayi dan menurunkan
umur harapan hidup. Dampak negatif dari peningkatan harga pupuk lebih dominan
dibanding dampak positif dari peningkatan harga gabah.
Kebijakan kombinasi peningkatan pengeluaran sektor pertanian dan peningkatan
harga gabah memberi respon yang lebih besar dibanding apabila kebijakan dilakukan
secara tunggal. Karena dampak peningkatan produksi gabah dari peningkatan
pengeluaran sektor pertanian berpengaruh pada penurunan harga, apabila dibarengi oleh
kebijakan peningkatan harga gabah akan menghilangkan trade off negatif tersebut.
Terjadinya perlambatan laju penurunan jumlah penduduk miskin, peningkatan
jumlah penduduk sangat rawan pangan, penurunan ketahanan pangan dari sisi konsumsi


(beras, energi dan protein) serta meningkatnya angka penderita gizi buruk pada masa
desentralisasi fiskal mengisyaratkan adanya kebijakan yang kurang berpihak pada
masyarakat golongan bawah sehingga menurunkan daya belinya dan membuat mereka
tidak bisa akses terhadap pangan secara sehat. Untuk itu sebaiknya kebijakan yang
dilakukan pada masa desentralisasi fiskal memberi kesempatan bagi golongan
pendapatan rendah untuk bisa akses dalam pembangunan dengan program padat karya di
sektor pertanian pangan.
Peningkatan pengeluaran sektor pertanian berdampak meningkatkan kinerja
perekonomian melalui peningkatan PDRB Pertanian dan penyerapan tenaga kerja
sehingga meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan. Untuk itu dalam
keterbatasan dana anggaran pembangunan, pemerintah daerah harus masih punya
keberpihakan pada sektor pertanian karena sektor ini masih merupakan tempat
bergantungnya hidup sebagian besar penduduk. Peningkatan harga pupuk mempunyai
dampak negatif yang lebih besar dibanding dampak positif dari peningkatan harga gabah,
untuk itu pemerintah pusat dalam menetapkan kebijakan harga gabah besaran nilai
kenaikan harga gabah harus mengakomodasi besaran nilai kenaikan harga pupuk agar
kebijakan harga yang dilakukan mencapai sasaran dan efektif meningkatkan
kesejahteraan petani.
Peningkatan harga gabah berdampak pada peningkatan produksi dan pendapatan
petani serta meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan. Dalam
konsteks desentralisasi fiskal, pemerintah daerah bisa mengefektifkan berlakunya
kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) yang dilakukan pemerintah pusat yang
sering tidak berlaku efektif dengan melakukan pembelian dan pengelolaan stok
(cadangan) beras di daerah bekerjasama dengan bulog dan masyarakat dengan
membangun fasilitas penjemuran gabah, gudang penyimpanan, pengembangan resi
gudang serta mengoptimalkan dana Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (LUEP) di
daerah dalam upaya menjaga kestabilan harga. Sehingga pada saat panen raya harga di
tingkat petani tidak jatuh dan HPP yang ditetapkan pemerintah pusat bisa berlaku efektif
bagi petani. Peningkatan harga gabah diharapkan dibarengi oleh pelaksanaan diversifikasi
pangan non beras.
Untuk meningkatkan produksi gabah dan pendapatan petani serta mengurangi
jumlah penduduk miskin, sebaiknya pemerintah melakukan kebijakan peningkatan
pengeluaran sektor pertanian dan pengeluaran dana kesehatanan dan pendidikan yang
dikombinasikan dengan peningkatan harga gabah dengan mengakomodasi adanya
besaran tambahan biaya akibat peningkatan harga pupuk.
Meningkatnya angka gizi buruk pada era desentralisasi fiskal bisa ditanggulangi
dengan peningkatan dana kesehatan dan pendidikan. Dana tersebut bisa digunakan untuk
melakukan revitalisasi peran puskesmas dan posyandu dalam melakukan pelayanan
kesehatan bagi masyarakat miskin. Mengupayakan pendidikan gratis bagi golongan
penduduk miskin dan menggalakan pelatihan ketrampilan bagi penduduk miskin di
perdesaan agar tercipta kemandirian.
Penyaluran subsidi input maupun output yang langsung bisa dirasakan oleh
petani pangan masih diperlukan, begitu pula pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis
bagi masyarakat miskin juga masih perlu dilakukan dan ditingkatkan. Selain itu juga
perlu dikembangkan kerjasama antara pemerintah dan swasta, dalam upaya penciptaan
pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, kompetitif dan efisien.
DAFTAR ISI


DAFTAR TABEL...............................................................................................i
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................ii
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................iii

I. PENDAHULUAN..............................................................................................1
1.1. Latar Belakang............................................................................................1
1.2. Perumusan Masalah. ...................................................................................9
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian. .............................................................12
1.4. Ruang Lingkup Penelitian.........................................................................14

II. TINJ AUAN PUSTAKA. ..................................................................................15
2.1. Peranan Pemerintah. .................................................................................15
2.1.1. Peranan Alokasi..............................................................................17
2.1.2. Peranan Distribusi. .........................................................................19
2.1.3. Peranan Stabilisasi..........................................................................21
2.1.4. Peranan Pemerintah dalam Pembangunan.....................................23
2.1.5. Kebijakan Fiskal dalam Pembangunan Ekonomi..........................25
2.1.6. Kegagalan Pemerintah....................................................................28
2.2. Desentralisasi Fiskal. ................................................................................29
2.2.1. Konsep Desentralisasi Fiskal..........................................................30
2.2.2. Permasalahan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia. .....38
2.2.3. Dampak Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal....................................40
2.2.4. Upaya Fiskal dan Kinerja Perekonomian Daerah. .........................45
2.3. Kemiskinan. ..............................................................................................50
2.3.1. Konsep dan Indikator Kemiskinan.................................................51
2.3.2. Tipe dan Faktor Penyebab Kemiskinan..........................................55
2.4. Ketahanan Pangan.....................................................................................58
2.4.1. Konsep Ketahanan Pangan.............................................................59
2.4.2. Ketahanan Pangan Sebagai Suatu Sistem.......................................62
2.4.3. Indikator Ketahanan Pangan...........................................................65
2.5. Studi- studi Terdahulu...............................................................................68
III. KERANGKA TEORI DAN PEMIKIRAN KONSEPTUAL............................75
3.1. Kerangka Teori...........................................................................................75
3.1.1. Kaitan Desentralisasi, Kemiskinan dan Ketahanan Pangan. ..........75
3.1.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi Daerah. .............................................78
3.1.3. Teori Distribusi Pendapatan.............................................................80
3.1.4. Teori Permintaan Faktor Produksi dan Penawaran Pangan.............83
3.1.5. Teori Permintaan Pangan.................................................................86
3.1.6. Indikator Kemiskinan.......................................................................88
3.1.7. Kinerja Ketahanan Pangan...............................................................89
3.2. Kerangka Konseptual Penelitian. ...............................................................89
3.3. Hipotesis Penelitian....................................................................................91

IV. METODE PENELITIAN. .................................................................................93
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian......................................................................93
4.2. Data dan Sumber Data................................................................................93
4.3. Metode Analisis..........................................................................................93
4.4. Kontruksi Model Ekonometrika.................................................................94
4.5. Spesifikasi Model Ekonometrika. ..............................................................95
4.6. Identifikasi dan Pendugaan Model...........................................................101
4.7. Validasi Model. ........................................................................................103
4.8. Simulasi Kebijakan dan Faktor Eksternal. ...............................................104

V. GAMBARAN UMUM KONDISI FISKAL, KEMISKINAN DAN
KETAHANAN PANGAN DI J AWA BARAT...............................................107
5.1. Kondisi Wilayah Provinsi J awa Barat......................................................107
5.2. Kondisi Fiskal Daerah Kabupaten/Kota Provinsi J awa Barat.................111
5.3. Kondisi Perekonomian Provinsi J awa Barat. .........................................115
5.4. Kemiskinan di Wilayah Provinsi J awa Barat...........................................121
5.5. Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi J awa Barat.................................126

VI. KERAGAAN MODEL DAN PEMBAHASAN. ............................................136
6.1. Analisis Umum Model Dugaan................................................................136
6.2. Dugaan Parameter Persamaan Struktural.................................................137
6.2. 1. Penerimaan Daerah.........................................................................137
6.2. 2. Pengeluaran Daerah.......................................................................141
6.2. 3. PDRB Kabupaten. ........................................................................143
6.2. 4. Produksi Gabah. ............................................................................147
6.2. 5. Pendapatan Pertanian....................................................................149
6.2. 6. Tenaga Kerja Pertanian. ................................................................151
6.2. 7. Penggunaan Pupuk. .......................................................................153
6.2. 8. Harga Gabah..................................................................................154
6.2. 9. Harga Beras...................................................................................155
6.2.10. Konsumsi Beras.............................................................................157
6.2.11. Konsumsi Energi...........................................................................160
6.2.12. Konsumsi Protein. .........................................................................161
6.2.13. J umlah Penduduk Miskin..............................................................163
6.2.14. Prevalensi Angka Gizi Buruk........................................................165
6.2.15. Angka Kematian Bayi. ..................................................................168
6.2.16. Umur Harapan Hidup. ...................................................................170

VII. EVALUASI KEBIJ AKAN DAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP
KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI J AWA
BARAT ...........................................................................................................172
7.1. Validasi Model. ........................................................................................172
7.2. Simulasi Historis Periode Sebelum Desentralisasi Fiskal........................173
7.2. 1. Dampak Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan...............................173
7.2. 2. Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pembangunan
terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan...............................175
7.2. 3. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian
terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan...............................176
7.2. 4. Dampak Peningkatan Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan
terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan..............................179
7.2. 5. Dampak Peningkatan Harga Pupuk t erhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan..............................................180
7.2. 6. Dampak Peningkatan Harga Gabah terhadap Kemiskinan
dan Ketahanan Pangan..................................................................183
7.2. 7. Dampak Peningkatan Harga Pupuk dan Harga Gabah terhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan..............................................185
7.2. 8. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Harga
Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan...................187
7.2. 9. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan
Dana Kesehatan dan Pendidikan terhadap Kemiskinan dan
Ketahanan Pangan. .......................................................................189
7.3. Simulasi Historis Periode Masa Desentralisasi Fiskal.. ...........................191
7.3. 1. Dampak Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan...............................191
7.3. 2. Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran
Pembangunan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan......193
7.3. 3. Dampak Peningkatan Pengeluaran Pertanian terhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan..............................................194
7.3. 4. Dampak Peningkatan Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan
terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan..............................197
7.3. 5. Dampak Peningkatan Harga Pupuk terhadap Kemiskinan
dan Ketahanan Pangan..................................................................199
7.3. 6. Dampak Peningkatan Harga Gabah terhadap Kemiskinan
dan Ketahanan Pangan..................................................................200
7.3. 7. Dampak Peningkatan Harga Pupuk dan Harga Gabah terhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan..............................................202
7.3. 8. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan
Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan.......203
7.3. 9.Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan
Dana Kesehatan dan Pendidikan terhadap Kemiskinan
dan Ketahanan Pangan..................................................................205
7.3.10.Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian, Harga Gabah
serta Dana Kesehatan dan Pendidikan terhadap Kemiskinan
dan Ketahanan Pangan.................................................................207
7.4. Rekapitulasi Hasil Simulasi Kebijakan Potensial dalam Menurunkan
Kemiskinan dan Meningkatkan Ketahanan Pangan. ................................208
7.5. Ringkasan Hasil. ........................................................................................211

VIII KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................216
8.1. Kesimpulan.. .............................................................................................216
8.2. Implikasi Kebijakan..................................................................................218
8.3. Saran Penelitian Lanjutan. ........................................................................223

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................225
LAMPIRAN......................................................................................................235

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Dana Perimbangan Menurut UU No 25 tahun 1999...........................................44
2. Rekapitulasi Hasil- Hasil Penelitian Terdahulu................................................69
3. Keterangan Peubah Penelitian dan Satuannya..................................................100
4. Struktur Penggunaan Lahan di Wilayah J awa Barat tahun 2005......................109
5. Potensi Sumber Daya Air di Wilayah Provinsi J awa Barat 2007....................110
6. Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Provinsi J awa Barat..........................................................................................112
7. Perkembangan dan Struktur PDRB J awa Barat Tahun 2001 2005................117
8. Rataan Pertumbuhan dan Kontribusi Sektor Perekonomian J awa Barat
Tahun 2001 2005. ..........................................................................................118
9. Perkembangan Tenaga Kerja Menurut Sektor Perekonomian Kabupaten
/ Kota di Provinsi J awa Barat. ..........................................................................121
10. J umlah dan Presentase J umlah Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 2004....122
11. Perkembangan dan Keragaan Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota
di J awa Barat Tahun 2003 2005.....................................................................125
12. Perkembangan Produksi Gabah, Produksi Beras, Ketersediaan Beras untuk
Konsumsi, J umlah Konsumsi Beras dan KondisiPersediaan Beras .................128

13. Perkembangan Produksi Sumber Pangan Palawija di J abar Tahun
2001 - 2005. .......................................................................................................129
14. Perkembangan dan Keragaan Prevalensi Balita Gizi Kurang dan Buruk
Menurut Kabupaten/Kota di J awa Barat Tahun 2003 2005............................132
15. Perkembangan dan Keragaan Angka Kematian Bayi Menurut Kabupaten/
Kota di J awa Barat Tahun 2003 2005.............................................................133
16. Perkembangan dan Keragaan Umur Harapan Hidup Menurut Kabupaten/
Kota di J awa Barat Tahun 2003 2005.............................................................134
17. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Daerah Kabupaten di
J awa Barat........................................................................................................139
18. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengeluaran Daerah.Kabupaten di
J awa Barat.........................................................................................................142
19. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi PDRB Kabupaten di Provinsi
J awa Barat.........................................................................................................146
20. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Gabah Kabupaten di
J awa Barat.........................................................................................................148
21. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Sektor Pertanian.Kabupaten.
di J awa Barat.....................................................................................................150
22. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tenaga Kerja Sektor Pertanian............... 151
23. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan Pupuk................................. 153
24. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Gabah............................................154
25. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Beras.............................................156
26. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Beras....................................... 157

27. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Energi.....................................161
28. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Protein....................................162

29. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi J umlah Penduduk Miskin........................164

30. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Angka Gizi Buruk...................................166

31. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Angka Kematian Bayi.............................168

32. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Umur Harapan Hidup..............................171

33. Dampak Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Kemiskinan
dan Ketahanan Pangan Tahun 1995 2000.....................................................174

34. Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran Pembangunan terhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 1995 2000.................................175

35. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian terhadap Kemiskinan
dan Ketahanan Pangan Tahun 1995 2000.....................................................177

36. Dampak Peningkatan Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan terhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 1995 2000.................................179

37. Dampak Peningkatan Harga Pupuk terhadap Kemiskinan
dan Ketahanan Pangan Tahun 1995 2000......................................................181

38. Dampak Peningkatan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan
Ketahanan Pangan Tahun 1995 - 2000..............................................................183


39. Dampak Peningkatan Harga Pupuk dan Harga Gabah
terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 1995 -2000....................185


40. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Harga Gabah
terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 1995 2000.................188

41. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan
Peningkatan Dana Kesehatan dan Pendidikan terhadap Kemiskinan dan
Ketahanan Pangan Tahun 1995 2000..............................................................190

42. Dampak Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Kemiskinan
dan Ketahanan Pangan Tahun 2001 -2005.........................................................192

43. Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran Pembangunan terhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 2001 - 2005....................................194

44. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian terhadap Kemiskinan
dan Ketahanan Pangan Tahun 2001 - 2005.......................................................195

45. Dampak Peningkatan Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan terhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 2001 - 2005...................................198

46. Dampak Peningkatan Harga Pupuk terhadap Kemiskinan
dan Ketahanan Pangan Tahun 2001 - 2005.......................................................199

47. Dampak Peningkatan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan
Ketahanan Pangan Tahun 2001 - 2005..............................................................201

48. Dampak Peningkatan Harga Pupuk dan Harga Gabah
terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 2001 2005..................203

49. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Harga Gabah
terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 2001- 2005.....................204

50. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Peningkatan
Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan terhadap Kemiskinan dan
Ketahanan Pangan Tahun 2001- 2005...............................................................206

51. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian, Pengeluaran Kesehatan
dan Pendidikan serta Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanann
Pangan Tahun 2001- 2005.................................................................................208

52. Rekapitulasi Hasil Simulasi Kebijakan Potensial dalam Meningkatkan
Ketahanan Pangan dan Menurunkan Kemiskinan di Provinsi J awa Barat.......210






DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman


1. Presentase Angka Kecukupan Ketersediaan dan Konsumsi Energi dan Protein
di Indonesia Tahun 2005.............6

2. Perkembangan J umlah Penduduk sangat Rawan Pangan dan Penduduk Miskin
di Indonesia Tahun 1996 2005 ..............10

3. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan............ 64

4. Sistem Ketahanan Pangan Rumah Tangga................66
5. Dampak Pola Penyaluran Dana Bantuan terhadap Kesejahteraan...77
6. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian .........................................................91
7. Tahapan Membangun Model Analisis Ekonometrika .........................................96
8. Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi J awa Barat dan Nasional
Tahun 2001 2005..........................................................................................116

9. Perkembangan Presentase Penduduk Miskin di Indonesia dan J awa Barat
Tahun 1996 2007.124

10. Perkembangan Produksi Padi Ladang, Sawah dan Ladang +Sawah di J abar
Tahun 2001 2007 127

11. Perkembangan Persentase Kecukupan Konsumsi Energi dan Protein Per
Kapita Penduduk J awa Barat...130
















DAFTAR LAMPIRAN







Lampiran Halaman


1. Identifikasi Persamaan Struktural Model Penelitian ....................................235
2. Perhitungan MSE, U Theil Untuk Validasi....................................................236
3. Hasil Pendugaan Model Penelitian.................................................................237




1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Pada hakekatnya pembangunan nasional ditujukan untuk mewujudkan suatu
masyarakat adil dan makmur. Dengan demikian segala upaya pelaksanaan kegiatan
pembangunan diarahkan kepada pemanfaatan sumber daya nasional bagi
peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Meier (1978) mendefinisikan
pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan pendapatan riil per kapita tanpa menyebabkan terjadinya peningkatan
kesenjangan distribusi pendapatan dan peningkatan jumlah penduduk miskin. Tiga
aspek tersebut sangat penting bagi kesejahteraan suatu masyarakat, karena
peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja tidaklah cukup apabila
kesenjangan distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan semakin meningkat.
Setiap negara yang melakukan pembangunan ekonomi mengharapkan terjadinya
peningkatan kesejahteraan bagi semua penduduknya. Pertumbuhan ekonomi yang
tinggi menjadi lebih berarti jika diikuti oleh pemerataan atas hasil-hasil
pembangunan.
Pemerataan hasil-hasil pembangunan biasanya dikaitkan dengan masalah
kesenjangan dalam distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat. Pertumbuhan
ekonomi yang menyebabkan terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan semakin
besar antar kelompok masyarakat akan menyebabkan adanya kemiskinan semakin
meluas.Oleh karena itu orientasi dari pemerataan merupakan usaha untuk
mengurangi kemiskinan. Anggapan bahwa jika pertumbuhan ekonomi berjalan cepat
maka kemiskinan dengan sendirinya akan terkikis melalui proses trickle down effect.
Ternyata kondisi tersebut tidak terjadi, karena seiring berjalannya pembangunan dan
tumbuhnya perekonomian diikuti pula terjadinya tingkat ketimpangan distribusi



2
pendapatan yang dapat menyebabkan munculnya kantong-kantong kemiskinan. Oleh
karena itu muncul strategi pembangunan, dimana pemerataan distribusi pendapatan
dan pengikisan kemiskinan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam
pembangunan (Meier, 1978; Donalson, 1984; Todaro, 2000).
Chenery, et al. (1974), Adelman dan Robinson (1978) mengemukakan
bahwa kebijakan harus diarahkan pada sasaran kelompok-kelompok tertentu yang
miskin. Pendekatan yang lebih mengena bagi pengikisan kemiskinan dianjurkan ILO
( 1976) dengan strategi kebutuhan dasar yang sasarannya adalah peningkatan taraf
hidup kaum miskin secara langsung. Apabila kebutuhan dasar semua masyarakat
dapat dipenuhi, maka akan dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan kaum
miskin sehingga tidak saja menurunkan tingkat kemiskinan akan tetapi juga
mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Peningkatan produktivitas dan
pendapatan kaum miskin akan meningkatkan kemampuannya dalam konsumsi,
menabung dan investasi, sehingga dengan asumsi kemampuan menabung kaum kaya
tidak berkurang maka akan mendorong pertumbuhan ekonomi (Bigsten, 1992;
Adelman dan Robinson, 1978; Todaro, 2000).
Sumber daya manusia merupakan subjek dan objek dalam pembangunan
nasional. Sebagai objek, maka pelaksanaan dalam pembanguanan tersebut harus
mengarah pada peningkatan dan pemerataan kesejahteraaan manusia. Sebagai
subjek pembangunan, maka manusia merupakan pelaku dalam pelaksanaan
pembangunan yaitu merupakan human capital yang berfungsi sebagai faktor
produksi tenaga kerja, fungsi wiraswasta dan pengelola dalam proses pembangunan
(Todaro, 2001; Mulyadi, 2003).
Dalam fungsinya sebagai subjek dalam pembangunan nasional maka kualitas
dari sumber daya manusia merupakan syarat keharusan yang perlu ditingkatkan baik



3
melalui pendidikan, kesehatan maupun pemenuhan pangan dan gizinya. J ika pada
masa lalu jumlah sumber daya manusia bisa menjadi salah satu keunggulan
komparatif, maka pada masa sekarang dan yang akan datang jumlah saja tidak cukup
tetapi harus juga disertai dengan kualitas yang tinggi. Pada masa yang akan datang,
sumber daya manusia lebih dominan pengaruhnya pada pembangunan suatu bangsa
dibanding dengan kekayaan sumber daya alam. Bukti empiris menunjukkan negara-
negara yang memberikan perhatian serius pada investasi sumber daya manusia
(misalnya J epang dan Singapura), maka akan terjadi percepatan pembangunan
ekonomi yang lebih baik (Mulyadi, 2003).
Konsumsi pangan dengan gizi yang cukup dan seimbang merupakan
prasyarat bagi perkembangan organ-organ fisik manusia yang akan berpengaruh pada
perkembangan intelegensia dan daya tahan fisiknya. Generasi yang mempunyai
kondisi fisik yang tangguh dan intelegensia yang tinggi sangat diperlukan sebagai
tulang punggung bagi berkembangnya kehidupan sosial, ekonomi dan politik suatu
bangsa. Sehingga demi terbentuknya suatu bangsa yang tangguh, unggul dan berdaya
saing tinggi, maka pemenuhan pangan dan gizi yang cukup dan seimbang bagi
setiap individu anggota masyarakat harus menjadi prioritas utama bagi pemerintah.
Kesejahteraan gizi (nutrition well being) merupakan salah satu indikator kualitas
sumber daya manusia yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan
nasional. Peranan tersebut dapat dikaji dari dua sisi yaitu peranan gizi terhadap
pembangunan maupun dampak pembangunan terhadap status gizi masyarakat,
sehingga penduduk yang berstatus gizi baik merupakan hasil sekaligus modal dari
pembangunan ( Baliwati, 2001; Mulyadi, 2003).
Pemenuhan pangan dan gizi yang cukup dan seimbang bagi semua anggota
masyarakat akan memberikan sumbangan pada peningkatan produktivitas dan



4
kualitas hidup terutama bagi masyarakat golongan miskin. Sebagaimana dikatakan
oleh Leibenstein (J hingan, 2000) bahwa kesehatan kaum miskin membawa kepada
rendahnya produktivitas dan rendahnya pendapatan, karena kesehatan kaum miskin
merupakan bagian dari vicious circle of poverty. Oleh karena itu peningkatan
kesehatan kaum miskin melalui kecukupan pangannya akan meningkatkan
produktivitas kerja yang berimplikasi pada peningkatan pendapatan dan tingginya
pendapatan akan diikuti oleh perbaikan pangan, sehingga bisa memecahkan vicious
circle of poverty tersebut. Dengan demikian, mencukupi kebutuhan dasar terutama
tentang pangan menjadi suatu keharusan dalam upaya untuk memecahkan vicious
circle of poverty (Gemmell, 1992; Todaro, 2000; Reutingler, 1987; Kirwan dan
Mcmillan, 2007).
Ketahanan pangan merupakan salah satu pilar bagi pembangunan nasional.
Hal ini terjadi karena suatu negara dalam membangun perekonomiannya harus
terlebih dahulu dapat menyelesaikan masalah pangannya dalam istilah Robert Fogel
disebut sebagai escape from hunger (menyelamatkan diri dari kelaparan). Ketidak
tahanan pangan atau kerawanan pangan sangat berpotensi dalam memicu terjadinya
kerawanan sosial, politik maupun keamanan. Sehingga kondisi yang demikian tidak
akan mendukung dalam pelaksanaan program-program pembangunan secara
keseluruhan, yang berarti menunjukkan tidak terwujudnya kondisi ketahanan
nasional (Selowky, 1981; Berg, 1981; Simatupang, 1999; Badan Ketahanan Pangan,
2005a).
Kejadian rawan pangan dan gizi buruk mempunyai makna politis yang negatif
bagi penguasa. Bahkan di beberapa negara berkembang, krisis pangan dapat
menjatuhkan pemerintahan yang sedang berkuasa. Dengan demikian komitmen
negara untuk mewujudkan tercapainya ketahanan pangan bagi setiap penduduknya



5
menjadi sangat penting, hal ini karena didasarkan pada peran strategis perwujudan
ketahan pangan tersebut yaitu dalam (1) memenuhi salah satu hak azasi manusia, (2)
membangun kualitas sumber daya manusia, dan (3) membangun salah satu pilar bagi
ketahanan nasional (Suryana, 2001; Saliem et al , 2002 ; Badan Ketahanan Pangan,
2005a).
Komitmen pemerintah Indonesia pada hak untuk akses terhadap pangan bagi
setiap penduduknya, dituangkan dalam Undang-Undang No 7 tahun 1996 tentang
pangan. Sehingga pemenuhan utama hak dasar atas pangan kepada setiap warga
masyarakat menjadi kewajiban bagi pemerintah Indonesia, yaitu setiap penduduk
Indonesia berhak memperoleh pangan yang cukup, aman dan bergizi yang
merupakan pencerminan kondisi ketahanan pangan Negara. Hal ini sejalan dengan
World Food Summit (WFS) tahun 1996 di Roma yang kemudian ditegaskan kembali
pada Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2000 bahwa diharapkan
dari 800 juta penduduk dunia yang kelaparan dapat dikurangi menjadi separuhnya
pada tahun 2015, sehingga Indonesia berkomitmen akan menurunkan angka
kemiskinan dan kelaparan dari 15.1 persen menjadi 7.0 persen pada tahun 2015
(Badan Ketahanan Pangan, 2005a; Badan Ketahanan Pangan, 2005b).
Dalam upaya memenuhi amanat Undang-Undang Pangan maka
memantapkan ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga mempunyai arti dan
peran startegis sebagai media untuk menjamin akses pangan bagi setiap anggota
masyarakat. Karena kecukupan dalam ketersediaan pangan saja pada tingkat nasional
maupun regional tidak menjamin tercapainya kondisi ketahanan pangan bagi setiap
anggota masyarakat (IFPRI, 1999; Maxwell dan Frankenberger, 1992; Badan
Ketahanan Pangan 2005a; Badan Ketahanan Pangan, 2006). Sebagaimana tersaji
pada Gambar 1 yang ditunjukkan angka rata-rata ketersediaan pangan berupa energi



6
dan protein yang cukup menurut standar norma gizi Widya Karya Pangan dan Gizi
VIII tahun 2004 yaitu ketersediaan energi sebesar 2200 kkal per kapita per hari dan
ketersediaan protein sebesar 57 gram per kapita per hari. Namun karena adanya
kendala akses dari rumah tangga dan individu berupa kendala fisik maupun
ekonomi maka pada rata-rata tingkat konsumsi belum mencukupi sesuai dengan
standar norma gizi yang direkomendasikan, yaitu untuk kecukupan konsumsi energi
adalah sebesar 2000 kkal per kapita per hari dan kecukupan konsumsi protein
adalah 52 gram per kapita per hari (Badan Ketahanan Pangan, 2005a).
0
20
40
60
80
100
120
140
160
1993 1996 1999 2002 2005
Ketersedi aan
Energi
Konsumsi
Energi
Ketersedi aan
Protei n
Konsumsi
Protei n
Sumber : Susenas, BPS berbagai tahun terbitan.
Gambar 1. Persentase Angka Kecukupan Ketersediaan dan Konsumsi
Energi dan Protein di Indonesia (%)

Dalam membangun ketahanan pangan golongan penduduk yang rawan
pangan harus mendapat perhatian. Penduduk rawan pangan menjadi beban bagi
pemerintah, karena pangan merupakan hak dasar rakyat sehingga pemerintah harus
mengupayakan golongan penduduk rawan pangan untuk keluar dari kemiskinan
sehingga mempunyai kemandirian dalam mencukupi kebutuhan dasar pangannya.
Kondisi ketahanan pangan rumah tangga dan individu suatu wilayah berhubungan



7
erat dengan tingkat kemiskinan, karena golongan masyarakat rawan pangan sebagian
besar adalah golongan masyarakat miskin. Sehingga terdapat hubungan erat antara
pengurangan kemiskinan dengan perbaikan ketahanan pangan rumah tangga dan
individu ( Reutingler, 1987; Badan KetahananPangan, 2005a).
Permasalahan dalam membangun ketahanan pangan berkelanjutan terkait
adanya fakta bahwa kemiskinan di Indonesia sebagian besar berada di perdesaan
pada sektor pertanian khususnya pada subsektor pangan (Susenas, 2002; Sipayung,
2002; Yudhoyono, 2004; Herliana, 2004; Muharminto, 1993). Tingginya angka
kemiskinan disebabkan pada sektor ini menanggung beban berlebih dalam
penyerapan tenaga kerja akibat adanya perubahan struktural tidak seimbang sehingga
angka pengangguran tersembunyi cukup besar dan produktivitas menjadi rendah
(Ellies,1992; Ikhsan, 2001; Maksum, 2005; Soetrisno, 1999; Fane and Warr, 2008).
Ikhsan (2001), Ellies (1992) dan Soetrisno (1999) menyatakan tingginya
beban penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian disebabkan karena human capital
endowment di sektor pertanian yang tidak memadai sehingga menyulitkan proses
transformasi tenaga kerja antar sektor, sehingga sektor pertanian berfungsi sebagai
employment of last resort. Selama ini kebijakan-kebijakan pembangunan yang
diambil pemerintah masih kurang menyentuh kepentingan sektor pertanian. Sektor
pertanian sengaja dibangun sebagai produsen bahan pangan murah, tumbal
ketahanan pangan nasional, bemper ketenagakerjaan dan tumbal inflasi (Maksum,
2005; Norton, 2004).
Demi terwujudnya ketahanan pangan berkelanjutan pemerintah harus punya
keberpihakan sehingga dalam membangun ketahanan pangan juga diikuti oleh
peningkatan kesejahteraan petani pangan sebagai pelaku produksi bahan pangan.
Peningkatan pendapatan bagi petani pangan merupakan insentif yang bisa



8
merangsang untuk meningkatkan produksi pangan. Apabila petani pangan tidak
terinsentif untuk memproduksi bahan pangan maka dikawatirkan akan terjadi alih
fungsi lahan pertanian khususnya pada lahan pangan secara besar-besaran sehingga
dalam jangka panjang akan mengancam keberlangsungan ketahanan pangan nasional
(Simatupang, 1999; Dorosh, 2008; Fane and Warr, 2008; McCulloch, 2008;
McCulloch and Timmer, 2008).
Peningkatan produktivitas pada petani pangan akan meningkatkan
pendapatan dan daya belinya, terutama bagi petani berlahan sempit dan buruh tani
sehingga akan efektif dalam mengurangi kemiskinan di perdesaan karena angka
kemiskinan banyak terdapat pada subsektor pangan (Herliana, 2004). Peningkatan
produktivitas pada subsektor pangan selain efektif dalam pengurangan kemiskinan
sekaligus juga sebagai penarik bagi pelaku-pelaku produksi pangan untuk
meningkatkan produksi dan usahanya sehingga akan meningkatkan ketahanan
pangan secara berkelanjutan ( Maksum, 2005; Norton, 2004; Dorosh, 2008).
Berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal maka telah terjadi
perubahan paradigma dalam pelaksanaan pembangunan nasional di Indonesia,
dimana apabila sebelumnya ditunjukkan oleh peran pemerintah pusat yang dominan
maka peran tersebut telah dialihkan pada pemerintah daerah. Undang-Undang No 22
Tahun 1999 dan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan
Undang-Undang No 25 tahun 1999 dan Undang-Undang No 33 Tahun 2004 tentang
perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah, telah merubah sistem
sentralisasi yang mendominasi selama 32 tahun menjadi sistem desentralisasi
( Departemen Dalam Negeri, 2002).
Desentralisasi fiskal memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk lebih
mampu menggali potensi daerah dalam meningkatkan penerimaannya. Dari sisi



9
pengeluaran dengan kendala anggaran yang ada diharapkan lebih mampu
membelanjakan pada fasilitas yang sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat.
Sehingga bisa memberikan eksternalitas terhadap tumbuhnya investasi swasta dan
kegiatan ekonomi masyarakat dan berdampak pada peningkatan pendapatan
masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Hal ini sesuai dengan tuntutan
desentralisasi, yaitu berkembangnya demokratisasi, peningkatan partisipasi
masyarakat, pemerataan, keadilan dan lebih memperhatikan potensi dan keaneka-
ragaman sumber daya (Sondakh, 1999; Mahi, 2000; Rao, 2000; Paul, 2001).
Dana alokasi umum (DAU) yang bersifat block grant lebih memudahkan bagi
pemerintah daerah untuk membelanjakan sesuai dengan prioritas pembangunan
daerah sehingga diharapkan memberi kualitas dan kuantitas pelayanan publik yang
lebih baik yang akan berpengaruh pada kegiatan perekonomian daerah, pendapatan
masyarakat dan kemiskinan. Sejalan dengan fungsi J awa Barat sebagai lumbung padi
nasional diharapkan pengaruh perubahan struktur anggaran belanja daerah memberi
pengaruh positif terhadap kinerja ketahanan pangan di J awa Barat.
Beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia, dan
usahatani padi merupakan tempat dimana sebagian besar penduduk Indonesia
menggantungkan hidupnya. Provinsi J awa Barat merupakan salah satu daerah
potensi penyangga pangan nasional, yaitu berkontribusi terbesar pada luas panen
padi yang pada tahun 2004 sebesar 15.3 persen dan merupakan penyumbang terbesar
produksi padi yaitu sebesar 17.8 persen dari produksi nasional ( BPS J abar, 2005).

1.2. Perumusan Masalah
Dalam implementasi desentralisasi fiskal, diharapkan pemerintah daerah di
J awa Barat bisa mempertahankan tingkat produksi yang sudah dicapai dan bisa



10
meningkatkan produktivitas dengan menggali potensi yang ada melalui fasilitasi
kepada masyarakat. Sehingga bisa menimbulkan eksternalitas pada pengembangan
usahatani padi, pangan lainnya, kegiatan ekonomi perdesaan serta agribisnis pangan
daerah. Hal ini akan berdampak pada peningkatan produksi pangan dan pendapatan
petani, pengembangan perekonomian daerah sehingga tidak saja akan mencukupi
kebutuhan pangan di wilayahnya, tetapi juga meningkatkan pendapatan masyarakat
serta sebagai penyangga ketahanan pangan di wilayah regional maupun nasional.
Fenomena yang muncul berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal
adalah terjadinya penurunan kinerja ketahanan pangan yang ditunjukkan oleh
peningkatan jumlah penduduk sangat rawan pangan, kasus gizi buruk bahkan
ditemukan sejumlah balita yang meninggal karena penyakit kekurangan gizi kronis
atau busung lapar yang disebabkan karena tidak bisa akses terhadap pangan secara
sehat dan berkecukupan. Menurut data BPS jumlah balita di Indonesia tahun 2005
sebesar 20.87 juta jiwa dan sebesar 8 persen menderita kasus gizi buruk. Pada
Gambar 2 diperlihatkan pada masa pelaksanaan desentralisasi fiskal terjadi
peningkatan terhadap jumlah penduduk sangat rawan pangan.







Sumber : Susenas, BPS berbagai tahun terbitan diolah
Gambar 2. Perkembangan J umlah Penduduk Sangat Rawan Pangan
dan Miskin di Indonesia Tahun 1996 - 2005 ( % )
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
1996 1999 2002 2004 2005
Penduduk
rawan pangan
Penduduk
sangat rawan
pangan
Penduduk
miski n



11
Desentralisasi fiskal yang memberi esensi kebebasan pada pemerintah daerah
dalam pengelolaan anggaran dan pembelanjaan publik seharusnya memberi pengaruh
positif terhadap kinerja ketahanan pangan yang merupakan pencerminan pemenuhan
kebutuhan dasar hakiki manusia. Munculnya fenomena gizi buruk dan jumlah
penduduk sangat rawan pangan yang mencerminkan penurunan kinerja ketahanan
pangan dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, mengindikasikan adanya kendala
dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal. Untuk itu diperlukan kreativitas dari
pemerintah untuk mengoptimalkan perannya dalam meningkatkan ketahanan pangan
dan menurunkan kemiskinan.
Sebagai daerah agraris prestasi pembangunan tidak cukup hanya dicapai
dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi kemandirian dalam memenuhi
pangan semua penduduknya dan peningkatan kesejahteraan petani merupakan faktor
penting dalam upaya tercapainya pembangunan yang berkelanjutan (Soetrisno, 1999;
Badan Ketahanan Pangan, 2006).
Penurunan status gizi masyarakat mempunyai dampak yang luas terhadap
jalannya pembangunan, karena status gizi selain merupakan pencerminan hasil dari
pembangunan juga mencerminkan kondisi kualitas dari pelaku pembangunan. Status
gizi yang buruk mencerminkan buruknya kinerja dari pembangunan karena target
dari pembangunan salah satunya adalah tercapainya masyarakat yang sejahtera yang
salah satu tolok ukurnya adalah status gizi yang baik. Buruknya status gizi
masyarakat akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia, terutama terhadap
kesehatan fisik, jiwa dan perkembangan intelektualitasnya. Kondisi status gizi yang
buruk akan menghasilkan sumberdaya manusia yang rendah dan tidak berdaya saing.
Sebaliknya tingginya kualitas sumberdaya manusia akan mampu menciptakan suatu
lompatan hasil pembangunan yang tinggi dengan memadukan antara kekuatan fisik,



12
mental, ilmu pengetahuan yang melekat pada diri manusia sebagai satu kesatuan
modal manusia dengan kapital dan teknologi yang ada dalam proses pembangunan.
Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian secara
mendalam yang mengkaji keterkaitan antara kinerja fiskal daerah, perekonomian,
ketahanan pangan dan kemiskinan dalam suatu model ekonomi daerah, serta
mengkaji optimalisasi peran pemerintah daerah dalam meningkatkan ketahanan
pangan dan menurunkan kemiskinan.
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka yang menjadi permasalahan
dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana performance fiskal daerah, kondisi perekonomian daerah, kemiskinan
dan ketahanan pangan di Wilayah Provinsi J awa Barat ?
2. Bagaimana keterkaitan antara kinerja fiskal dalam desentralisasi fiskal dengan
perekonomian daerah, kemiskinan dan ketahanan pangan?
3. Bagaimana pemerintah daerah mengoptimalkan perannya dalam meningkatkan
ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan dalam konteks implementasi
desentralisasi fiskal ?
4. Strategi kebijakan-kebijakan yang bagaimana yang dapat efektif dalam
mengurangi kemiskinan dan mendukung ketahanan pangan dalam konteks
implementasi desentralisasi fiskal ?

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak berbagai
alternatif kebijakan dalam konteks implementasi desentralisasi fiskal terhadap
kemiskinan dan ketahanan pangan di Provinsi J awa Barat.
Secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah :



13
1. Mengkaji performance fiskal daerah, perekonomian daerah, kemiskinan dan
ketahanan pangan pada masa desentralisasi fiskal di Wilayah J awa Barat.
2. Membangun model ekonomi daerah untuk menganalisis keterkaitan antara
kinerja fiskal daerah (penerimaan dan pengeluaran), perekonomian, kemiskinan
dan ketahanan pangan dalam konteks desentralisasi fiskal di Wilayah Provinsi
J awa Barat.
3. Menganalisis dampak penerapan berbagai skenario kebijakan dan faktor
eksternal dalam mengurangi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan
dalam konteks desentralisasi fiskal di Wilayah J awa Barat.
4. Merumuskan implikasi kebijakan strategis guna mengurangi kemiskinan dan
meningkatkan ketahanan pangan dalam konteks desentralisasi fiskal di Wilayah
J awa Barat.

Kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan masukan dalam mengelola kebijakan pembangunan daerah
khususnya yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan dan peningkatan
ketahanan pangan serta dalam penyusunan program pembangunan daerah.
2. Sebagai salah satu sumber informasi dalam upaya mencari bentuk/ formula
desentralisasi fiskal yang ideal di Indonesia.
3. Sebagai referensi penelitian lebih lanjut dengan tema yang sama.
4. Bagi penulis penelitian ini merupakan salah satu prasyarat untuk memenuhi
kelulusan Program Doktor pada Sekolah Pascasarjana IPB serta merupakan
suatu exercise akademik dari ilmu yang penulis peroleh selama pendidikan di
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB.




14
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini mempunyai berbagai keterbatasan diantaranya adalah : (1) kinerja
perekonomian daerah lebih mengeksplorasi pada kinerja PDRB sektor pertanian, (2)
indikator kinerja ketahanan pangan dalam penelitian meliputi kinerja pada subsistem
ketersediaan, konsumsi dan pemanfaatan pangan yang diproksi dengan produksi
gabah, rata-rata konsumsi beras, konsumsi energi dan konsumsi protein per kapita,
pendapatan sektor pertanian, pendapatan per kapita serta status gizi dan derajat
kesehatan masyarakat yang diproksi dengan prevalensi balita gizi kurang dan buruk,
jumlah kematian bayi pada kelahiran, dan umur harapan hidup yang merupakan
muara akhir dari kinerja ketiga subsistem ketahanan pangan, (3) komoditi pangan
yang dikaji dalam penelitian yang dikaitkan dengan ketahanan pangan rumah tangga
dan kemiskinan yaitu komoditi beras, hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa
selama ini beras masih merupakan makanan pokok (kontribusinya dalam penyediaan
zat gizi yaitu kalori dan protein), kontribusinya dalam penciptaan lapangan kerja dan
sumber pendapatan, kontribusinya dalam total nilai hasil produksi serta beras
merupakan komoditi pangan unggulan wilayah Provinsi J awa Barat, (4) unit analisis
kajian adalah daerah pemerintahan kabupaten pada wilayah J awa Barat yang tidak
mengalami perubahan/ pemekaran, (5) model yang dibangun merupakan model
ekonomi tertutup karena ketiadaan data ekspor impor di tingkat kabupaten serta
pendekatan model perekonomian hanya dari sisi produksi sedang dari sisi demand
tidak dapat disajikan karena data investasi swasta sangat terbatas, dan (6) karena
data yang diperlukan berupa pool data yaitu data cross kabupaten di wilayah Provinsi
J awa Barat dan time series tahun 1995 sampai dengan tahun 2005 maka banyak
ditemukan kendala ketersediaan data fiskal yang tidak lengkap sehingga membatasi
dalam formulasi model dan pilihan skema kebijakan dengan instrumen fiskal.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Peranan Pemerintah
Desentralisasi fiskal memberi peranan yang cukup penting terhadap fungsi dan
wewenang pemerintah. Dalam implementasi desentralisasi fiskal, peranan pemerintah
daerah dalam melakukan upaya fiskal dengan menggali potensi fiskal sebagai sumber
penerimaan daerah dan peranan pemerintah dalam membelanjakan fasilitas publik
akan sangat mempengaruhi kinerja perekonomian daerah. Peranan pemerintah harus
dioptimalkan supaya dalam melakukan intervensi dengan biaya sosial tertentu akan
memberi dampak yang maksimal terhadap kinerja perekonomian. Pemerintah dalam
melaksanakan kebijakan sedapat mungkin harus menghindarkan terjadinya distorsi
yang bisa menimbulkan kegagalan pasar dan kontra produktif. Untuk itu dalam
tinjauan pustaka ini menjadi penting untuk membahas peranan pemerintah dalam
upaya mendapatkan gambaran yang lengkap tentang lingkup peranan pemerintah,
bagaimana pemerintah harus berperanan dalam sistem perekonomian dan bagaimana
mengoptimalkan peranan tersebut dalam pembangunan ekonomi daerah sehingga
peranannya tidak bersifat kontra produktif dan justru menimbulkan permasalahan
dalam perekonomian.
Adam Smith mengemukakan teori bahwa pemerintah hanya mempunyai tiga
fungsi : (1) untuk memelihara keamanan dalam negeri dan pertahanan, (2) untuk
menyelenggarakan peradilan, dan (3) untuk menyediakan barang-barang yang tidak
disediakan oleh pihak swasta, seperti halnya jalan , jembatan, saluran irigasi dan lain
lain (Pogue and Sqontz, 1976; Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001;
Musgrave and Peggy, 1989).


16

Dalam dunia modern, pemerintah diharapkan peranannya semakin besar
mengatur jalannya perekonomian. Adam Smith, konseptor sistem kapitalis murni
mengemukakan ideologinya karena menganggap bahwa dalam perekonomian
kapitalis setiap individu yang paling tahu apa yang paling baik bagi dirinya, sehingga
dia akan melaksanakan apa yang dianggap terbaik bagi dirinya sendiri. Setiap
individu akan melaksanakan aktivitas yang harmonis seakan-akan diatur oleh tangan
yang tidak kentara. Karena itu perekonomian dapat berkembang secara maksimum
tanpa banyak campur tangan pemerintah. Sehingga lingkup aktivitas pemerintah
sangat terbatas, yaitu hanya melaksanakan kegiatan yang tidak dilaksanakan oleh
pihak swasta. Peranan pemerintah meliputi tiga bidang saja yaitu : (1) melaksanakan
peradilan, (2) melaksanakan pertahanan/ keamanan, dan (3) melaksanakan pekerjaan
umum (Pogue and Sqontz, 1976; Musgrave and Peggy, 1989; Mangkoesoebroto,
2000; Reksohadiprodjo, 2001).
Prinsip kebebasan ekonomi dalam praktek menghadapi perbenturan
kepentingan, karena tidak adanya koordinasi yang menimbulkan harmonisasi dalam
kepentingan masing-masing individu, misalnya kepentingan pengusaha sering tidak
sesuai dengan kepentingan karyawan bahkan sering terjadi kepentingan kedua pihak
saling bertentangan. Dalam hal ini pemerintah mempunyai peranan untuk mengatur,
memperbaiki atau mengarahkan aktivitas sektor swasta. Hal ini disebabkan karena
sektor swasta tidak dapat mengatasi masalah perekonomian, sehingga perekonomian
tidak mungkin diserahkan sepenuhnya kepada sektor swasta. Dalam sistem modern
peranan pemerintah dapat diklasifikasikan dalam tiga golongan besar yaitu : (1)
peranan alokasi, yaitu peranan pemerintah dalam alokasi sumber-sumber ekonomi, (2)
peranan distribusi, dan (3) peranan stabilisasi (Pogue and Sqontz, 1976; Musgrave
and Peggy, 1989; Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).



17

2.1.1. Peranan Alokasi
Tidak semua barang dan jasa yang ada dapat disediakan oleh sektor swasta.
Barang dan jasa yang tidak dapat disediakan oleh sistem pasar disebut barang publik,
yaitu barang yang tidak dapat disediakan melalui transaksi antara penjual dan
pembeli. Barang swasta adalah barang yang dapat disediakan melalui sistem pasar,
yaitu melalui transaksi antara antara penjual dan pembeli. Adanya barang yang tidak
dapat disediakan melalui sistem pasar disebabkan karena adanya kegagalan sistem
pasar ( market failure). Sistem pasar tidak dapat menyediakan barang/ jasa tertentu
oleh karena manfaat dari adanya barang tersebut tidak hanya dirasakan secara pribadi
akan tetapi dinikmati oleh orang lain. J adi dalam hal ini dikatakan bahwa sistem pasar
gagal menyediakan barang dan jasa yang tidak mempunyai sifat pengecualian, yaitu
pengecualian oleh orang yang memiliki suatu barang terhadap orang lain dalam
menikmati barang tersebut. Pengecualian tidak dapat dilakukan secara teknis. Suatu
barang disebut barang publik juga karena secara ekonomis pengecualian dapat
dilaksanakan akan tetapi biaya untuk mengecualikan segolongan masyarakat dari
manfaat suatu barang sangat besar dibanding dengan biayanya. J adi yang disebut
dengan barang publik murni adalah barang yang baik secara teknis maupun secara
ekonomis tidak dapat diterapkan prinsip pengecualian atas barang tersebut
(Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).
Lain halnya dengan barang swasta, seperti sepatu dan sebagainya. Barang-
barang swasta dapat disediakan melalui sistem pasar oleh karena barang-barang
tersebut mempunyai sifat pengecualian. Seorang produsen dapat mengecualiakan
setiap orang untuk menikmati barang yang dihasilkannya kecuali apabila orang yang
bersangkutan itu bersedia mengemukakan kesukaannya atas barang itu ( revealing



18

preference) dengan cara membayar sejumlah yang diminta produsen tersebut
(Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).
Ada barang lain yang termasuk dalam barang publik walaupun mempunyai
sifat pengecualian, misalnya jalan-jalan dapat disediakan melalui sistem pasar oleh
karena orang yang membuat jalan dapat mengecualikan orang lain dari manfaat jalan
tersebut misalnya dengan tol (pajak jalan), sehingga orang yang tidak mau membayar
pajak dapat dikecualikan dalam menggunakan jalan tersebut.Akan tetapi pemungutan
pajak jalan (tol) ini akan menyebabkan penggunaan jalan menjadi tidak efisien
apabila jalan tersebut tidak digunakan secara optimum, atau biaya pemungutan pajak
menjadi sangat tinggi, sehingga penyediaan jalan akan menjadi lebih efisien apabila
dilakukan oleh pemerintah walaupun sistem pengecualian dapat diterapkan pada jalan
(Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).
Untuk barang-barang yang manfaatnya dirasakan oleh semua orang, sekali
barang ini tersedia, tidak ada seorangpun yang bersedia untuk membayar biaya
penyediaan barang tersebut, oleh karena setiap orang tahu bahwa apa yang mereka
bayar hanya merupakan sebagaian kecil dari total biaya. Disini timbul masalah
pengutaraan nilai kesukaan (reveal preference).Pada barang swasta tidak ada masalah
pengutaraan nilai oleh karena setiap individu mengutarakan kesukaan mereka dengan
harga. Pada barang swasta nilai kesukaan seseorang ditentukan oleh harga barang
tersebut. Hal yang sama tidak terjadi pada barang-barang publik. Tidak ada
seorangpun yang bersedia mengemukakan nilai kesukaannya terhadap suatu barang
publik sehingga tidak ada orang/ pengusaha yang mau menyediakan barang tersebut
karena itu barang-barang publik disediakan oleh pemerintah karena sistem pasar gagal
dalam menyediakan barang tersebut (Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo,
2001; Pogue and Sqontz, 1976; Musgrave and Peggy, 1989).



19

Masalahnya adalah seberapa banyak pemerintah harus menyediakan barang-
barang publik? Berapa besar dana yang harus disediakan oleh pemerintah untuk
penyediaan jalan, jembatan, saluran irigasi, dan sarana transportasi lain? Oleh karena
untuk barang-barang publik terdapat masalah pengutaraan nilai kesukaan, maka
pembayaran untuk penyediaan barang tersebut tidak dapat dilakukan melalui sistem
harga melainkan harus melalui sistem pemungutan suara. Dengan sistem pemungutan
suara, setiap orang berusaha menggunakan haknya sehingga hasil pemungutan suara
tersebut sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Hasil pemungutan suara tidak
akan dapat memuaskan setiap orang, akan tetapi dengan menggunakan kriteria
tertentu hasil pemungutan suara akan mendekati penyelesaian yang efisien seperti
halnya sistem pasar. Peranan pemerintah dalam alokasi adalah untuk mengusahakan
agar alokasi sumber-sumber ekonomi dilaksanakan secara efisien. (Pogue and Sqontz,
1976; Musgrave and Peggy, 1989; Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).

2.1.2. Peranan Distribusi
Peranan pemerintah lain adalah sebagai alat distribusi pendapatan atau
kekayaan. Distribusi pendapatan tergantung dari pemilikan faktor-faktor produksi,
permintaan dan penawaran faktor produksi, sistem warisan dan kemampuan
memperoleh pendapatan. Kemampuan memperoleh pendapatan tergantung dari
pendidikan, bakat dan sebagainya sedangkan warisan tergantung dari hukum yang
berlaku. Pemilikan faktor produksi sebagai sumber pendapatan tergantung dari
permintaan akan faktor produksi dan jumlah yang ditawarkan oleh pemilik faktor
produksi. Permintaan dan penawaran akan faktor produksi menentukan harga dari
faktor produksi yang bersangkutan. Permintaan akan suatu faktor produksi tergantung
pada teknologi. Apabila teknologi dalam menghasilkan suatu barang adalah teknologi



20

padat karya, maka permintaan akan tenaga kerja relatif lebih besar daripada
permintaan akan modal, dan pengusaha bersedia membayar tenaga kerja lebih besar
daripada modal dan sebaliknya untuk faktor produksi modal. Penawaran suatu faktor
produksi tergantung dari pemilikan faktor produksi yang juga dipengaruhi oleh
warisan dan jumlah yang ditawarkan. Semakin banyak jumlah yang ditawarkan,
semakin rendah harga yang didapat oleh pemiliknya (Mangkoesoebroto, 2000;
Reksohadiprodjo, 2001).
Distribusi pendapatan dan kekayaan yang ditimbulkan oleh sistem pasar
mungkin dianggap oleh masyarakat sebagai tidak adil. Masalah keadilan dalam
distribusi pendapatan merupakan masalah yang rumit dalam ilmu ekonomi. Ada
sebagian ahli ekonomi yang berpendapat bahwa masalah efisiensi harus dipisahkan
dari masalah keadilan, atau dengan arti kata lain, masalah keadilan dan masalah
efisiensi adalah berkebalikan. Perubahan ekonomi ini dikatakan efisien apabila
perubahan yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan suatu golongan dalam
masyarakat dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak memperburuk keadaan
golongan yang lain. Dapat dipahami bahwa pandangan ini adalah pandangan yang
sangat ektrim sebab tidak ada satupun tindakan yang tidak mempengaruhi pihak lain
secara positif maupun negatif (Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).
Ahli ekonomi Kaldor mengatakan bahwa suatu tindakan dikatakan bermanfaat
(baik) apabila golongan yang memperoleh manfaat dari tindakan dapat (secara
konseptual) memberikan kompensasi bagi golongan yang mengalami kerugian
sehingga posisi golongan yang rugi tetap sama seperti halnya sebelum adanya
tindakan yang bersangkutan (Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).
Masalah keadilan ini tidak sepenuhnya berada dalam ruang lingkup ilmu
ekonomi oleh karena masalah keadilan tergantung daripada pandangan masyarakat



21

terhadap keadilan itu sendiri. Keadilan bukanlah suatu hal yang statis dan absolut
akan tetapi merupakan suatu hal yang dinamis dan relatif, tergantung dari persepsi
masyarakat terhadap keadilan. J adi masalah keadilan harus diserahkan kepada
masyarakat, yang melalui wakil-wakil mereka dalam Dewan Perwakilan Rakyat
merumuskan keadilan publik yang mereka inginkan, dan selanjutnya pemerintah
melalui kebijaksanaan fiskal dan moneter merubah keadaan masyarakat sehingga
sesuai dengan distribusi pendapatan yang diinginkan oleh masyarakat. Pemerintah
dapat merubah distribusi pendapatan secara langsung dengan pajak yang progresif
yaitu relatif beban pajak yang lebih besar bagi orang kaya dan relatif lebih ringan bagi
orang miskin, disertai dengan subsidi bagi golongan miskin. Pemerintah dapat juga
secara tidak langsung mempengaruhi distribusi pendapatan dengan kebijakan
pengeluaran pemerintah misalnya pendidikan dan kesehatan gratis bagi golongan
tertentu, subsidi pupuk untuk petani, subsidi harga bagi petani pangan, subsidi bunga
pada kredit ketahanan pangan (KKP), subsidi pangan untuk masyarakat miskin dan
sebagainya (Pogue and Sqontz, 1976; Musgrave and Peggy, 1989; Stiglitz, 2000;
Simatupang dan Timmer, 2008).

2.1.3. Peranan Stabilisasi
Selain peranan alokasi dan distribusi, pemerintah mempunyai peranan utama
sebagai alat stabilisasi perekonomian. Perekonomian yang sepenuhnya diserahkan
kepada sektor swasta akan sangat peka terhadap goncangan keadaan yang akan
menimbulkan pengangguran dan inflasi. Tanpa campur tangan pemerintah gangguan
permintaan di suatu sektor akan berpengaruh pada sektor lain sehingga akan
menimbulkan pengangguran tenaga kerja yang akan mengganggu stabilisasi ekonomi.
Inflasi atau deflasi juga merupakan hal yang dapat mengganggu stabilisasi ekonomi.



22

Masalah inflasi atau deflasi harus ditangani pemerintah melalui kebijakan moneter
(Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).
Peranan pemerintah sebagai alat untuk mengalokasikan sumber-sumber
ekonomi, distribusi pendapatan dan stabilisasi ekonomi dapat menimbulkan
pertentangan kebijakan pemerintah. Misalnya, inflasi yang ditimbulkan karena
besarnya permintaan agregat (demand pull) mengharuskan pemerintah untuk
mengenakan pajak yang tinggi terhadap golongan miskin dari pada golongan kaya,
oleh karena golongan miskin mempunyai proporsi pengeluaran yang lebih besar dari
pada golongan kaya. Oleh karena itu pajak yang tinggi yang dikenakan terhadap
golongan miskin akan lebih efektif dalam mengurangi permintaan golongan miskin
terhadap barang-barang dan jasa sehingga tingkat inflasi dapat diturunkan. Akan
tetapi pengenaan pajak yang tinggi terhadap golongan miskin dan pajak yang rendah
pada golongan kaya akan menyebabkan distribusi pendapatan masyarakat menjadi
semakin pincang sehingga peranan pemerintah sebagai alat untuk memperbaiki
distribusi pendapatan menjadi gagal (Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo,
2001; Musgrave and Peggy, 1989).
Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila investasi masyarakat semakin
besar. Pada umumnya investasi dilakukan oleh golongan kaya. Golongan kaya secara
relatif menabung lebih banyak dari pada golongan miskin oleh karena average
propensity to save mereka lebih besar dari pada golongan miskin. Apabila pemerintah
menghendaki perkembangan ekonomi yang pesat, dana swasta dalam negeri harus
dikerahkan sebesar mungkin yang berarti golongan kaya harus dikenakan pajak yang
lebih redah dari pada golongan miskin sehingga golongan kaya menggunakan
tabungan mereka untuk investasi. Pengenaan pajak yang rendah terhadap golongan
kaya dan pajak yang tinggi terhadap golongan miskin adalah bertentangan dengan



23

kebijakan pemerintah untuk memperbaiki distribusi masyarakat (Pogue and Sqontz,
1976; Musgrave and Peggy, 1989; Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).
Peranan stabilisasi dalam ketahanan pangan adalah peranan pemerintah dalam
menstabilkan harga pangan yaitu menjaga harga pangan tidak anjlok pada saat masa
panen raya dan harga pangan tidak melambung pada saat masa paceklik. Peranan
stabilisasi tersebut dilakukan dengan menerapkan kebijakan harga dasar dan harga
atap. Dalam implementasinya untuk mengefektifkan berlakunya kebijakan harga
dasar gabah, pemerintah melalui bulog melakukan kebijakan pembelian gabah oleh
pemerintah dengan harga pembelian pemerintah (HPP) dan kebijakan stok pangan
pada saat panen raya. Implementasi dari kebijakan harga atap adalah dengan
melakukan operasi pasar murni (OPM) beras pada saat harga beras mulai naik, yaitu
bulog melakukan penjualan beras ke pasar dengan harga subsidi yang ditetapkan
pemerintah (Handerson and Quandt, 1980; Ellis, 1992; McCulloch, 2008; McCulloch
and Timmer, 2008; Norton, 2004). Peranan stabilisasi terhadap pangan juga bisa
dilakukan melalui fasilitasi pemerintah dengan terselenggaranya lumbung-lumbung
pangan masyarakat di daerah ( Saliem et al., 2004).

2.1.4. Peranan Pemerintah dalam Pembangunan
Dalam rangka mengatasi sifat kaku yang melekat di negara berkembang,
pemerintah harus memegang peranan positif dan tidak boleh berlaku sebagai
penonton pasif. Problema di negara berkembang yang begitu besar sehingga tidak
dapat diserahkan begitu saja kepada mekanisme pasar. Untuk meningkatkan negara
keluar dari titik stagnasi diperlukan adanya pembaharuan rasio ekonomi secara cepat.
Pada fase awal pembangunan, investasi harus dilakukan di bidang-bidang yang
meningkatkan ekonomi eksternal yaitu yang mengarah pada penciptaan overhead



24

sosial dan ekonomi seperti tenaga kerja, transportasi, pendidikan, kesehatan dan
lainnya (Donalson , 1984; Ellies, 1992; Todaro, 2000; Meier,1995; Norton, 2004 ).
Perusahaan swasta tidak akan tertarik melaksanakan kegiatan-kegiatan
tersebut karena resiko besar dan keuntungan kecil. Dari sini timbul kebutuhan untuk
menyeimbangkan pertumbuhan berbagai sektor ekonomi sehingga penawaran sesuai
dengan permintaannya. Oleh karena itu pengawasan dan pengaturan oleh negara
menjadi penting dalam rangka mencapai keseimbangan pertumbuhan. Keseimbangan
memerlukan pengawasan atas produksi, distribusi dan konsumsi komoditi. Untuk
tujuan ini pemerintah harus merencanakan pengawasan fisik dan langkah-langkah
fiskal dan moneter. Langkah-langkah ini memang tidak dapat dihindarkan, untuk
mengurangi ketidak-seimbangan ekonomi dan sosial yang mengancam negara
berkembang. Mengatasi perbedaan sosial dan menciptakan situasi psikologis,
ideologis, sosial dan politik yang menguntungkan bagi pembangunan ekonomi
merupakan tugas terpenting pemerintah. Karena itu ruang lingkup tindakan
pemerintah sangat luas dan menyeluruh.Menurut Lewis lingkup itu mencakup
penyelenggaraan pelayanan umum, menentukan sikap, membentuk lembaga-lembaga
ekonomi, menentukan penggunaan sumber, menentukan distribusi pendapatan,
mengendalikan jumlah uang, mengendalikan fluktuasi, menjamin pekerjaan penuh
menentukan laju investasi (Todaro, 2000; Ellis, 1992; Norton, 2004; J hingan, 2000).
Kebijakan pemerintah di bidang ekonomi merupakan kebijakan dan strategi
yang dipakai oleh pemerintah untuk mengelola perekonomian dalam mencapai tujuan
ekonominya. Pemerintah mengusahakan pada tingkat makro tercapainya kesempatan
kerja penuh, stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi dan keseimbangan neraca
pembayaran dan pada tingkat mikro terjadinya pemakaian sumber daya yang efisien.
Dalam prakteknya, dalam kondisi kerumitan ekonomi yang ada dan terbukanya



25

perekonomian pada pengaruh-pengaruh internasional, pencapaian semua tujuan ini
sekaligus secara berkesinambungan sering kali tidak mungkin, sehingga dibutuhkan
skala prioritas serta pertimbangan politik dan ekonomi akan mempengaruhi proses
kebijakan ekonomi tersebut (Donalson, 1984; Todaro, 2000; Norton, 2004).
Pada tingkat kebijakan makroekonomi beberapa ukuran umum dapat
dipergunakan oleh pemerintah yang melaksanakan sistem ekonomi campuran untuk
mencapai tujuannya, yang meliputi kebijakan fiskal yang berupa manipulasi tingkat
pajak dan pengeluran pemerintah dan kebijakan moneter yang utamanya berupa
pengawasan persediaan uang dan tingkat bunga, kebijakan harga dan pendapatan yang
utamanya berupa pengawasan atas biaya dan harga serta pengaruh kurs valuta asing
untuk mempengaruhi perdagangan internasional dan posisi neraca pembayaran.
Kebijakan-kebijakan ini dikembangkan secara spesifik dengan ukuran-ukuran yang
didesain untuk merangsang investasi dibidang industri, penelitian dan pengembangan
serta mengembangkan usaha dan perlindungan kepentingan konsumen (Donalson,
1984 ; Norton, 2004).
Kebijakan fiskal dan moneter yang merupakan kebijakan makro utama yang
dipakai pemerintah adalah bermanfaat bagi pengaturan tingkat penyebaran
pembelanjaan dalam ekonomi, kebijakan ini merupakan strategi pokok pada sisi
permintaan (Donalson, 1984; Todaro, 2000; J hingan 2000).

2.1.5. Kebijakan Fiskal dalam Pembangunan Ekonomi
Kebijaan fiskal berarti penggunaan pajak, subsidi, pinjaman masyarakat,
pengeluaran masyarakat oleh pemerintah untuk tujuan stabilisasi. Dalam konteks
negara terbelakang, peranan kebijakan fiskal adalah untuk memacu laju pembentukan
modal yang dirancang sebagai piranti pembangunan ekonomi. Kebijakan fiskal



26

sebagai sarana menggalakkan pembangunan ekonomi bermaksud mencapai tujuan
berikut : (1) untuk meningkatkan laju investasi, (2) untuk mendorong investasi
optimal secara sosial, (3) meningkatkan kesempatan kerja, (4) untuk meningkatkan
stabilitas ekonomi di tengah ketidakstabilan internasional, (5) untuk menanggulangi
inflasi, dan (6) untuk meningkatkan dan meredistribusikan pendapatan nasional
(J hingan, 2000).
Perusahaan swasta di negara berkembang biasanya enggan menanamkan
modal di bidang-bidang yang riskan dan tidak cepat menghasilkan. Sebagian orang
kaya tidak mempunyai inisiatif dan usaha serta menanamkan modalnya dalam bentuk
emas, intan, real estate, tindakan spekulasi dan sebagainya. Hanya sedikit yang
menginvestasikan pada industri barang konsumsi, perkebunan dan pertambangan.
Dalam keadaan seperti itu, pembangunan ekonomi yang cepat hanya dimungkinkan
melalui pengeluaran negara. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab negara untuk
menciptakan infrastruktur yang diperlukan bagi pembangunan. Negara memiliki
sumber keuangan yang lebih besar dan berada dalam posisi yang memungkinkan
untuk melancarkan overhead sosial dan ekonomi yang memerlukan jangka waktu
persiapan lama. Peranan belanja negara dalam pembangunan ekonomi terletak di
dalam peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja,
peningkatan pendapatan dan standar kehidupan, penurunan kesenjangan pendapatan
dan kemakmuran, dalam mendorong inisiatif dan usaha swasta dan dalam
mewujudkan keseimbangan regional di dalam perekonomian (Todaro, 2000;
Donalson, 1984; J hingan, 2000).
Kebijakan fiskal merujuk kepada ukuran-ukuran fiskal yang komplek seperti
pajak, subsidi dan pengeluaran pemerintah untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi.
Dengan mengontrol antara 15 sampai 50 persen dari GDP, pemerintah merupakan



27

kekuatan utama dalam menggerakkan perekonomian di banyak negara berkembang.
J adi berdasarkan volume, kebijakan fiskal berpengaruh secara substansial pada semua
lingkaran ekonomi. Kebijakan fiskal mempengaruhi kegiatan perekonomian melalui :
(1) alokasi dari sumber anggaran terhadap berbagai kegiatan yang merupakan
pengeluaran publik, (2) bentuk-bentuk pembiayaan dalam pengeluaran pemerintah,
dan (3) keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran pemerintah (Todaro, 2000;
Musgrave and Peggy, 1989; J hingan, 2000).
Permasalahan dalam bidang fiskal tidak hanya mencakup kompleksitas dalam
memformulasikan besaran penerimaan dan mengatur kombinasi alokasi pengeluaran
negara yang optimal, melainkan yang lebih menonjol adalah kearah upaya menutup
kekurangan pembiayaan (financing gap) berkaitan dengan pembayaran hutang.
Sehingga tantangan kebijakan fiskal ke depan tidak hanya dalam penentuan strategi
pembiayaan yang tepat, tetapi juga kepada masalah pengendalian defisit anggaran
(Departemen Keuangan, 2004).
Defisit anggaran merupakan penyebab utama ketidak seimbangan
makroekonomi, dan mengurangi defisit anggaran merupakan komponen utama pada
kebanyakan program penyesuaian. Secara prinsip pengurangan defisit anggaran dapat
dilakukan melalui dua hal : (1) dapat dikurangi melalui pengeluaran anggaran, dan (2)
peningkatan pendapatan pemerintah. Walaupun kedua pendekatan tersebut digunakan
secara bersamaan, penekanan diberikan kepada pendekatan pertama karena alasan
sebagai berikut : (1) pengurangan pengeluaran anggaran lebih mudah, lebih
substansial dan lebih cepat pengurangannya dibandingkan meningkatkan pajak serta
peningkatan dalam pajak pendapatan sering memerlukan perubahan dalam sistem
pajak dan aturan mengenai pajak yang memakan waktu, dan (2) tujuan utama dari
program penyesuaian secara struktural adalah dalam arti luas mengurangi aturan



28

negara dalam perekonomian dan menyiapkan insentif untuk meningkatkan produksi
serta peningkatan pajak untuk mengelola tingkat pengeluaran yang ada akan
bertentangan dengan tujuan dari program penyesuaian struktural (J hingan, 2000;
Todaro, 2000).
Dampak dari pengurangan defisit anggaran dan pengaruhnya terhadap
ketahanan pangan dapat dikaji lebih lanjut melalui : (1) pengurangan tenaga kerja di
sektor publik dan upah, (2) pengurangan investasi publik, (3) pengurangan subsidi,
dan (4) pengurangan /pemotongan pelayanan publik. Kebijakan fiskal dengan
pengurangan pengeluaran publik akan mempengaruhi ekonomi pangan dan ketahanan
pangan melalui pengaruh pada harga dan volume dari penawaran dan permintaan
tenaga kerja, kredit, komoditi yang di pasarkan dan menyebabkan perubahan dalam
infrastuktur sosial dan ekonomi. Penekanan khusus pada pendapatan rumah tangga,
permintaan pangan dan produksi pangan. Arah dan intensitas dari pengaruh tersebut
tergantung pada pendekatan terhadap pengeluaran untuk publik, kondisi sosial dan
ekonomi suatu negara, kerangka waktu dan pada suksesnya program penyesuaian
yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi (FAO, 1997).

2.1.6. Kegagalan Pemerintah
Adanya kegagalan pasar merupakan salah satu sebab mengapa pemerintah
harus turun tangan dalam perekonomian agar kesejahteraan masyarakat dapat
tercapai secara optimal. Namun demikian, tidak selamanya campur tangan
pemerintah menyebabkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bahkan secara
sistematis senantiasa terjadi kegagalan pemerintah (government failures). Hal ini
disebabkan karena pemerintah melaksanakan fungsi alokasi tidak dengan cara



29

yang efisien. Ketidak efisienan pemerintah disebabkan karena empat hal yaitu :
(1) informasi yang terbatas, (2) pengawasan yang terbatas atas reaksi pihak
swasta, (3) pengawasan yang terbatas atas perilaku birokrat, dan (4) hambatan
dalam proses politik. Kegagalan pemerintah adalah kegagalan dalam menciptakan
kondisi pareto optimal yang disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah :
(1) campur tangan pemerintah yang dapat menimbulkan dampak yang tidak
diperkirakan terlebih dahulu, (2) campur tangan pemerintah memerlukan biaya
yang tidak murah sehingga harus dipertimbangkan secara cermat manfaat dan
biayanya agar tidak lebih besar dari pada biaya masyarakat tanpa adanya campur
tangan pemerintah, (3) adanya kegagalan dalam pelaksanaan program pemerintah
karena itu memerlukan tender dan sistem yang komplek, dan (4) perilaku
pemegang kebijakan pemerintah yang bersifat mengejar keuntungan pribadi (rent
seeking behaviour). Dari faktor-faktor tersebut menyebabkan bahwa tidak
selamanya campur tangan pemerintah menyebabkan terjadinya peningkatan
kesejahteraan masyarakat atau pareto optimal (Pogue and Sqontz, 1976;
Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001; Musgrave and Peggy, 1989).

2.2. Desentralisasi Fiskal
Dalam bahasan ini akan dikaji konsep-konsep tentang desentralisasi fiskal,
bagaimana desentralisasi fiskal dijalankan pada berbagai negara, implementasi
desentralisasi fiskal di Indonesia dengan berbagai permasalahan yang timbul, dampak
dari desentralisasi fiskal terhadap perekonomian, peran-peran pemerintah dalam
desentralisasi fiskal. Dari bahasan ini diperoleh pemahaman yang komperhensif
tentang konsep dari desntralisasi fiskal dan bagaimana desentralisasi fiskal



30

mempengaruhi variabel-variabel perekonomian, bagaimana pemerintah
mengoptimalkan peran dan fungsinya dalam implementasi desentralisasi fiskal.

2.2.1. Konsep Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemeritah pusat (nasional)
kepada pemeritah lokal / daerah dan kewenangan daerah untuk mengatur dan megurus
kepentingannya sesuai dengan aspirasi dan keputusannya sebagai daerah otonom,
sehingga otonomi daerah merupakan inti dari desentralisasi (Ulla, 2003; Smoke,
2001). Telaah konseptual dari desentralisasi dapat dilihat dari dua sisi ganda yaitu
meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi pemerintah pusat (nasional) dan
mengaktualisasi representasi lokalitas ( Ebel and Yilmaz, 2002; Roy, 1999; Woller
and Kerk, 1998).
Pelaksanaan desentralisasi fiskal dengan pemberian peran yang lebih besar
kepada pemerintah daerah yang dilegalkan dengan lahirnya undang-undang otonomi
daerah yang terdiri dari Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah
dan Undang-Undang No 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah daerah dan pusat, yang selanjutnya direvisi menjadi UU No 32 Tahun
2004 dan UU No 33 Tahun 2004. Tujuan perubahan kewenangan dalam
penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat,
pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal
serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah (Sondakh, 2000; Vazques
and McNab, 2001; Simanjuntak, 2002).
Perubahan tersebut terjadi karena kondisi sosial ekonomi masyarakat yang
menjadi pemicu, yaitu adanya sentimen regional, ketimpangan dan ketidakberdayaan
ekonomi, represi serta pelanggaran hak-hak masyarakat lokal. Dengan ditetapkan



31

Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah, maka setiap daerah di
kabupaten dan kota diberi kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab dalam
melaksanakan pemerintahannya. Sehingga memberi peluang kepada daerah untuk
lebih leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri sesuai
dengan kepentingan masyarakat dan potensi di setiap daerah ( Departemen Dalam
Negeri, 2002 a).
Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia sesuai Undang-Undang Nomor
25/1999, pada dasarnya diarahkan untuk : (1) meningkatkan ketahanan fiskal
berkesinambungan (fiscal sustainability), (2) memperkecil ketimpangan keuangan
pusat dan daerah (vertical imbalance), (3) mengkoreksi ketimpangan kemampuan
keuangan antar daerah (horizontal imbalance), (4) meningkatkan akutanbilitas,
efektivitas dan efisiensi kinerja pemerintah daerah, dan (5) meningkatkan kualitas
pelayanan dan partipasi masyarakat di sektor publik ( Mahi, 2000).
Alasan yang mendasari pemikiran bahwa pengelolaan keuangan negara secara
terdesentralisasi lebih baik dibanding dengan pengelolaan secara sentralistik adalah
karena akan terjadi efisiensi dalam pengalokasian sumber daya. Desentralisasi
membuat pemerintah lebih responsif terhadap aspirasi dan preferensi kebutuhan
masyarakat dibanding dengan pemerintah yang terpusat (Lin and Liu, 2000; Kerk and
Garry, 1997 ; Rao, 2000; Smoke, 2001; Ebel and Yilmaz, 2002). Hipotesis serupa
juga disampaikan oleh Tiebout, yang dikenal dengan Tiebout Hypotesis yaitu untuk
barang publik yang memungkinkan perbedaan permintaan antar daerah maka efisiensi
alokasi sumber daya akan lebih baik jika produksi barang tersebut dilakukan secara
terdesentralistik (Stiglitz, 2000).
Pola bantuan atau sistem transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah merupakan inti dari kebijakan desentralisasi fiskal, sistem transfer ini



32

mempunyai arti yang sangat penting karena pengeluaran pemerintah daerah sebagian
besar yaitu sekitar dua per tiganya berasal dari dana transfer dari pemerintah pusat.
Pada masa sebelum desentralisasi program bantuan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah sebagian besar dilakukan dalam bentuk spesifik grant, dimana
penentuan alokasi anggaran sudah ditentukan dari pemerintah pusat dengan format
yang sangat rigid sehingga seringkali implementasi di lapangan banyak terkendala
pada urusan administratif. Dengan desentralisasi pola penyaluran bantuan pemerintah
pusat berubah menjadi bentuk block grant, sehingga perencanaan program,
implementasi dan monitoring serta evaluasi dilakukan pada pemerintah daerah.
Bentuk block grant dalam kerangka desentralisasi fiskal berupa Dana Alokasi Umum
(DAU) (Simanjuntak, 2001; Ritonga, 2002; Mawardi dan Sumarto, 2003).
Secara konseptual desentralisasi fiskal berhubungan dengan perumusan
kewenangan atas sumber- sumber dana yang ada atau akses terhadap dana transfer
dan pembuatan berbagai keputusan baik yang menyangkut pengeluaran rutin maupun
pengeluaran investasi/ pembangunan (Braun and Grote, 2002; Ritonga, 2002).
Transfer fiskal merupakan inti dari suatu hubungan fiskal antar pemerintahan dan
memiliki peranan penting dan menentukan dalam mendukung program desentralisasi
fiskal, karena pengeluaran pemerintah daerah dua per tiganya merupakan dana
transfer dari pemerintah pusat. Dana transfer yang berupa dana block grant akan
memberikan pengaruh yang lebih efisien terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat dibanding dengan dana trannsfer berupa spesific grant (Simanjuntak,
2001; Stiglitz, 2000).
Kaitan desentralisasi fiskal dengan kemiskinan dan ketahanan pangan terjadi
melalui dua jalur yaitu (1) desentralisasi - partisipasi/ pemberdayaan/ tata kelola
kemiskinan dan ketahanan pangan, dan (2) desentralisasi - pelayanan publik/ investasi



33

yang lebih memihak kaum miskin/ petani kemiskinan dan ketahanan pangan ( Rao,
2000; Braun and Grote, 2002; Vazques and McNab, 2001; Wasylenko, 1987).
J alur pertama, menunjukkan bahwa desentralisasi memungkinkan civil society
untuk berpartisipasi di dalam proses kebijakan dan dengan demikian meningkatkan
transparansi dan predictability dari pengambilan keputusan. Desentralisasi akan
menyebabkan terjadinya demokratisasi dalam masyarakat sehingga terjadi proses
pemberdayaan pada masyarakat. Masyarakat akan berpartisipasi aktif dalam
pembangunan, sehingga aspirasi masyarakat dalam proses pembangunan akan lebih
terakomodasi karena masyarakat ikut aktif dalam pengambilan keputusan. Dengan
demikian kebijakan pembangunan daerah akan berpihak pada masyarakat banyak dan
masyarakat akan bisa akses dalam proses pembangunan sehingga akan berdampak
pada peningkatan perekonomian, penurunan kemiskinan dan peningkatan ketahanan
pangan.
J alur kedua, menunjukan bahwa desentralisasi fiskal akan membuat
pemerintahan lebih dekat dengan rakyat sehingga pemerintah daerah akan lebih tahu
kebutuhan masyarakatnya, dengan demikian akan terjadi efisiensi dan efektivitas
dalam melakukan alokasi sumberdaya karena terjadi penghematan pada biaya
administrasi dan biaya transaksi. Hal ini akan menyebabkan terjadinya pelayanan
publik yang lebih baik yang akan berdampak pada peningkatan perekonomian
daerah, pengurangan kemiskinan dan peningkatan kinerja ketahanan pangan.
Pemerintah daerah memiliki informasi yang lebih baik dan lebih responsif terhadap
kebutuhan dan preferensi penduduk lokal dari pada pemerintah pusat. Dampak
desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di Indonesia bisa
terjadi melalui jalur pertama, kedua maupun jalur pertama dan kedua terjadi secara
bersamaan.



34

Desentralisasi fiskal di Indonesia akan berpengaruh terhadap peranan
pemerintah daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran keuangan daerah. Sumber-
sumber keuangan daerah yang diatur dalam pasal 3 Undang-Undang No 25 tahun
1999, meliputi : (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang terdiri dari : (a) Hasil Pajak
Daerah, (b) Hasil Restribusi Daerah, (c) Hasil Perusahaan Daerah (BUMD), (d) Hasil
Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan (e) Lain-lain Pendapatan Asli
Daerah, dan (2) Dana Perimbangan atau disebut juga bantuan atau transfer dari
pemerintah pusat yang terdiri dari : (a) Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, (b) Dana
Alokasi Umum (DAU), dan (c) Dana Alokasi Khusus (DAK) ( Departemen Dalam
Negeri, 2002 b).
Pada implementasi desentralisasi fiskal pemerintah daerah berperan dalam
meningkatkan penerimaan asli daerah (PAD) dari berbagai sumber seperti pajak
daerah, retribusi daerah, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan penerimaan daerah
lainnya. Kontribusi PAD relatif kecil dibandingkan dengan penerimaan yang berasal
dari pusat. Pajak yang memberi kontribusi terbesar dari PAD masih memiliki
kelemahan di daerah karena bagian yang paling besar dari pajak seperti pajak
pendapatan dan pajak penghasilan masih didominasi oleh pemerintah pusat. Pada
tingkat Provinsi terdapat hanya dua jenis pajak daerah yang diperkirakan signifikan
terhadap penerimaan daerah seperti Pajak Kepemilikan Kendaraan Bermotor (PKKB)
dan Pajak Perpanjangan Kendaraan Bermotor (PPKB), sedangkan dua jenis pajak
lain seperti Pajak Minyak dan Pajak Eksploitasi Air Bawah Tanah memberi kontribusi
yang tidak signifikan. Pada tingkat kabupaten/ kota terdapat tujuh jenis pajak daerah
tetapi hanya beberapa jenis pajak yang memberi kontribusi signifikan terhadap
penerimaan daerah. Pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan dan pajak iklan



35

memberi kontribusi besar di kota, sedang penerimaan penting di kabupaten yang
berasal dari jenis pajak adalah Pajak Bahan Galian Tipe C (Brojonegoro, 2001).
Desentralisasi memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk
menentukan basis pajak dalam rangka memaksimumkan pendapatan tetapi di sisi lain
menimbulkan persaingan antar daerah dalam mendatangkan investor. Undang-
Undang No 34 tahun 2000 mengatur batasan maksimum basis pajak daerah. Pajak
Provinsi antara lima persen (pajak kendaraan bermotor) hingga 20 persen (pajak
pemanfaatan air bawah tanah), sedang batasan basis pajak di kabupaten/ kota antara
10 persen (pajak hotel dan restoran) hingga 35 persen (pajak iklan). Beberapa
pemerintah daerah di Indonesia memusatkan perhatian untuk memaksimumkan basis
pajak tanpa mempertimbangkan pengaruh buruk terhadap investasi daerah. Tetapi
juga ada pemerintah daerah yang menggunakan basis pajak yang lebih rendah dari
batasan maksimum dengan tujuan agar para investor lebih tertarik masuk ke daerah
tersebut (Brodjonegoro, 2001).
Keberhasilan peningkatan penerimaan pajak dan restribusi daerah tergantung
kepada badan pemungut pajak di daerah yang dikenal dengan Dinas Pendapatan
Daerah (Dispenda). Kemampuan administratif dinas tersebut akan menetukan apakah
penerimaan daerah dari pajak sama besarnya dengan besarnya potensi pajak.
Walaupun sulit mengharapkan besarnya penerimaan daerah sama dengan potensial
pajak tetapi diharapkan selisihnya tidak terlalu signifikan. Beberapa permasalahan
yang krusial dalam hal pemungutan pajak adalah kelemahan data dan sistem
informasi serta lemahnya tindakan dalam pelaksanaan undang-undang yang telah
ditetapkan. Adminitrasi harus diperbaiki mulai dari proses pendaftaran hingga proses
pengumpulan. Selanjutnya tindakan yang tegas dalam mengimplementasikan undang-



36

undang menjadi prioritas yang menjamin bahwa setiap orang mempunyai perlakuan
yang sama dalam hukum dan undang-undang (Mahi, 2000 ; Brodjonegoro, 2001).
Pemerintah daerah mempunyai peran dalam memperoleh dana transfer dari
pemeritah pusat, dana tersebut diperoleh berdasarkan kebutuhan dan kapasitas fiskal
daerah. Terdapat tiga jenis transfer antar pemerintah yang dinyatakan dalam Undang-
Undang No 25 tahun 1999, yaitu : (1) Bagi Hasil ( Revenue Sharing), (2) Dana
Alokasi Umum (General Allocation Fund), dan (3) Dana Alokasi Khusus (Spesific
Allocation Fund) (Departemen Dalam Negeri, 2002 b).
Dana bagi hasil diklasifikasikan menjadi bagi hasil pajak dan bagi hasil
sumber daya alam (SDA). Bagi Hasil SDA merupakan jenis baru dalam undang-
undang tersebut yang diharapkan dapat memberi kompensasi yang besar terhadap
daerah kaya SDA yang selama ini diperas tanpa mendapatkan bagi hasil yang sesuai
dengan potensi SDA yang dimiliki. Terdapat empat jenis hasil SDA yang dibagikan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yaitu : (1) minyak dan gas, (2)
pertambangan, (3) kehutanan, dan (4) perikanan (Departemen Dalam Negeri, 2002b).
Bagian kedua dari dana transfer antar pemerintah adalah Dana Alokasi Umum
(DAU) yang merupakan bagian yang sangat penting dalam penerimaan pendapatan di
Indonesia. Total DAU untuk kabupaten/ kota secara nasional adalah 90 persen
dikalikan dengan 25 persen Penerimaan Dalam Negeri (PDN) Nasional, sedang
10 persen dialihkan ke Provinsi. Salah satu tujuan penting pengalokasian DAU adalah
pemerataan kemampuan penyediaan fasilitas publik di antara pemerintah daerah di
Indonesia. Meskipun dinyatakan bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya dengan
SDA, namun distribusi SDA itu sendiri di antara provinsi dan juga di antara
kabupaten di Indonesia tidak merata. Oleh karena itu, sumber perimbangan dana
keuangan pusat ke daerah yang berasal dari SDA akan menimbulkan ketidakmerataan



37

antara daerah. Dalam konteks ini, DAU dimaksudkan untuk dapat memperbaiki
pemerataan perimbangan keuangan yang ditimbulkan oleh bagi hasil SDA
(Departemen Dalam Negeri, 2002 b).
Prinsip dasar rumus DAU adalah konsep selisih fiskal dimana DAU
dialokasikan menutupi selisih antara kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal.Variabel
yang diestimasi dalam kebutuhan fiskal adalah populasi, luas daerah, kondisi
geografis, kondisi kemiskinan. Sedang dalam kapasitas fiskal yang diestimasi adalah
potensi SDA, potensi SDM, PDRB dan potensi industri. DAU dapat diklasifikasi
sebagai bantuan umum yang memberi kebebasan penuh kepada daerah untuk
membelanjakannya sesuai dengan prioritas daerah (Departemen Dalam Negeri, 2002 b).
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah jenis transfer terakhir dari pemerintah
pusat. Sesuai dengan hukum dan undang-undang, DAK dimaksudkan untuk
membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus seperti prioritas nasional, kejadian-kejadian
bahaya lainnya yang tidak dapat dibiayai dengan menggunakan DAU (Departemen
Dalam Negeri, 2002 b).
Pada sisi pengeluaran pemerintah daerah mempunyai peranan dalam
mengalokasikan pengeluaran berupa pengeluaran rutin dan pengeluaran
pembangunan. Implikasi desentralisasi fiskal memberi wewenang penuh kepada
pemerintah daerah untuk mengalokasikan pengeluarannya karena dianggap bahwa
yang lebih mengetahui tentang kebutuhan masyarakat adalah pemerintah daerah
sendiri bukan pemerintah pusat. Pemerintah daerah mengalokasikan pengeluaran rutin
ke dalam berbagai jenis pengeluaran seperti : belanja pegawai, belanja barang, biaya
pemeliharaan, biaya perjalanan dinas, belanja lain-lain, angsuran hutang dan bunga,
ganjaran/sumbangan/bantuan, pengeluaran tidak termasuk bagian lain dan
pengeluaran tidak terduga.



38

Pada saat ini belanja rutin lebih didominasi pengeluaran gaji pegawai karena
banyaknya pegawai negeri sipil yang didaerahkan yang tentu membawa konsekuensi
dalam pembayaran gaji yang dibebankan terhadap anggaran pemerintah daerah. Di
setiap kabupaten/ kota pengeluaran rutin memiliki alokasi yang lebih besar dari
pengeluaran pembangunan.
Pengeluaran pembangunan adalah pengeluaran yang ditujukan untuk
membiayai proses perubahan, yang merupakan kemajuan dan perbaikan menuju ke
arah yang ingin dicapai. Pada umumnya biaya pembangunan tersebut sudah
diprogram dalam Daftar Isian Proyek Daerah (DIPDA). Pengeluaran pembangunan
semuanya diprogramkan dalam berbagai proyek di setiap sektor dan subsektor.
Pengeluaran pembangunan dialokasikan ke berbagai sektor sesuai dengan urutan
prioritas dan kebijakan pembangunan daerah. Pengeluran pembangunan di kabupaten/
kota dialokasikan ke berbagai sektor perekonomian mulai dari sektor industri, sektor
pertanian dan kehutanan, sektor sumber daya air dan irigasi, sektor tenaga kerja,
sektor perdagangan, sektor transportasi, sektor pertambangan dan energi, sektor
pariwisata, sektor kependudukan, sektor pendidikan, sektor agama, sektor hukum
hingga sektor keamanan dan ketertiban umum (Departemen Dalam Negeri, 2002a).

2.2.2. Permasalahan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dan No 25 Tahun 1999 yang
mengamanatkan pelaksanaan otonomi daerah serta biaya penyelenggaraannya telah
diimplementasi di daerah kabupaten dan kota seluruh provinsi di Indonesia.
Pelaksanaan yang dimulai sejak 1 J anuari 2001 tersebut walaupun masih singkat
tetapi sudah ditemukan beberapa permasalahan. Masalah yang muncul dan esensial
menurut Wardhono (2001) dan Raharjo (2001) adalah pemerintah daerah yang



39

menginginkan sumber pendapatan baru dapat dengan memperluas pajak dan pungutan
(retribusi). Kondisi tersebut harus diimbangi dengan insentif terhadap masyarakat.
Masalah pajak dan pungutan lainnya di era desentralisasi fiskal memang menjadi
topik utama dalam rangka kewenangan pemerintah daerah mengeksplorasi potensi
daerah. Namun masalah pajak harus benar-benar diperhatikan dan diperhitungkan
terutama masalah pungutan lain seperti retribusi yang sangat beragam dengan
berbagai PERDA.
Kekhawatiran lain adalah adanya dana perimbangan bagi hasil sumberdaya
alam yang dapat meningkatkan ketimpangan ekonomi antar daerah yang kaya SDA
dengan daerah yang miskin. Namun menurut Mubyarto (2001) bahwa kekhawatiran
tersebut dapat dikompensasi dengan peningkatan kualitas SDM dan sumber daya
ekonomi di daerah.
Pengalokasian anggaran juga menjadi masalah dalam keuangan daerah,
sehingga dibutuhkan efektivitas dan efisiensi anggaran pengeluaran. Menurut Ritonga
(2002) dibutuhkan beberapa langkah yaitu : (1) keselarasan antara pengeluaran dan
sumber daya yang tersedia melalui strategi skala prioritas perencanaan pengeluaran,
(2) konsistensi setting skala prioritas dan implementasinya dalam pencapaian sasaran
melalui teknik pembahasan, monitoring, evaluasi, pelaporan dan pengendalian
pembayaran (manajemen kas), (3) penentuan sasaran pengeluaran yang efisien
melalui pengembangan standar harga dan pemgembangan sistem tender, (4)
penentuan sistem keuangan yang dapat memberikan informasi akurat melalui standar
akuntansi yang layak, (5) penentuan prosedur pengambilan keputusan yang jelas
dalam pengelolaan anggaran melalui pembagian wewenang otorisator, ordonator dan
computable, (6) sistem dan prosedur usulan, penyaluran, pertanggungjawaban



40

anggaran sederhana, transparan, informatif, dan (7) pemberdayaan masyarakat untuk
berpartisipasi dalam aspek penganggaran antara lain dengan kontrol masyarakat.
Permasalahan yang penting lainnya adalah masalah kelembagaan, menurut
Sumodiningrat (1999) bahwa dalam mengimplementasi undang-undang serta
melembagakan partisipasi rakyat hal yang penting untuk mencapainya tergantung
pada pola hubungan antara pemerintah dengan masyarakat atau kelompok sasarannya.
Secara bersama-sama harus menentukan fungsi kontrol dan pengawasan dalam
pembangunan daerah. Kontrol dan pengawasan kinerja fiskal dan perekonomian
daerah sesudah desentralisasi fiskal berada di eksekutif dan legislatif daerah
kabupaten/ kota. J ika kondisi ini diharapkan pemerintah pusat terhadap kemandirian
daerah, maka sewajarnya pemerintah daerah harus memiliki kapabilitas dan loyalitas
yang tinggi terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat dan memiliki visi
meningkatkan social welfare daerah yang salah satunya dengan menetapkan
kebijakan anggaran yang berpihak pada masyarakat.

2.2.3. Dampak Pelaksanaaan Desentralisasi Fiskal
Berbagai studi yang membahas tentang pelaksanaan desentralisasi fiskal
mempunyai pandangan yang berbeda-beda mengenai dampak dari desentralisasi
fiskal. Ada yang mengatakan dampaknya positif terhadap perekonomian daerah, dan
ada pula yang menganggap dampaknya negatif. Berikut ini disampaikan beberapa
kajian yang menyajikan tentang dampak positif dan dampak negatif dari desentralisasi
fiskal.
Terdapat beberapa hal positif yang sekiranya dapat dijadikan bahan acuan
tentang urgensi pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam pembangunan daerah, yaitu:
(1) daerah lebih mampu memacu pembangunan daerahnya sendiri, (2) dapat



41

meningkatkan pertumbuhan antar daerah yang berimbang, (3) pembagian dana yang
rasional dan adil kepada daerah penghasil sumber utama penerimaan negara, (4)
meningkatkan pemerataan pembangunan, (5) mengurangi kesenjangan sosial antar
daerah, (6) memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah
daerah yang bersangkutan, (7) meredakan ketidakpuasan daerah, (8) meningkatkan
respek daerah terhadap pusat, sehingga hubungan yang harmonis dan sesuai antara
pusat dan daerah, dan antar daerah lebih meningkat, dan (9) memperkuat integrasi
nasional ( Sondakh, 1999).
Selanjutnya Ulla (2001) mengatakan ada empat indikator yang dapat dijadikan
sebagai acuan untuk keberhasilan pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu : (1) akan
terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah (PDRB) riil dimana dengan
meningkatnya PDRB riil, maka akan mendorong peningkatan pendapatan per kapita,
(2) terjadi kecenderungan peningkatan investasi baik investasi asing (PMA) maupun
domestik (PMDN), (3) ada kecenderungan semakin berkembangnya prospek bisnis/
usaha di daerah, dan (4) ada kecenderungan meningkatnya kreativitas pemerintah
daerah dan masyarakatnya.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal juga mempunyai potensi yang positif
terhadap kebijakan penanggulangan kemiskinan (Mawardi dan Sumarto, 2003).
Beberapa faktor yang dapat membuat pelaksanaan otonomi daerah kondusif terhadap
kebijakan penanggulangan kemiskinan adalah:
1. Dana Alokasi Umum (DAU) diberikan kepada daerah dalam bentuk block grant,
sehingga pemerintah daerah mempunyai fleksibilitas tinggi dalam menggunakan
dana tersebut sesuai dengan kepentingan dan prioritas daerah, termasuk
kepentingan dalam menanggulangi kemiskinan.



42

2. Ijin penanaman modal dan kegiatan dunia usaha umumnya kini dapat diselesaikan
di daerah, sehingga pengurusannya lebih mudah dan dengan biaya lebih murah.
Bila iklim usaha di daerah telah menjadi lebih kondusif maka investor akan
tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah, sehingga akan lebih banyak
lapangan kerja yang tersedia.
3. Daerah yang kaya SDA memperoleh penerimaan alokasi dana yang besar. Dengan
dana tersebut daerah yang bersangkutan relatif lebih mudah menentukan prioritas
langkah-langkah penanggulangan kemiskinan.
Roy (1999) dan Rao (2000) menyebutkan bahwa pada pemerintah yang
terdesentralisasi akan terjadi efisiensi alokatif dan efisiensi produksi yang terjadi
melalui efisiensi pada biaya administrasi dan biaya transaksi, sehingga akan
memberikan publik output dan publik servis yang lebih baik dan akhirnya akan
berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat. Pemerintah lokal
juga akan lebih efisien dalam identifikasi pada kemiskinan sehingga akan lebih tahu
faktor penyebab kemiskinan serta bisa memberikan kebijakan yang spesifik sesuai
kondisi kehidupan masyarakat miskin sehingga menghasilkan strategi yang lebih
efektif.
Menyimak berbagai pandangan positif tentang manfaat desentralisasi, dapatlah
dikatakan bahwa penjabaran dari pelaksanaan desentralisasi fiskal bisa membuat
perekonomian suatu daerah lebih maju, yang diindikasikan dengan naiknya
pertumbuhan PDRB, investasi, ekspor, penerimaan daerah, dan pendapatan per kapita.
Pada akhirnya, upaya untuk meningkatkan pemerataan pendapatan, dan mengurangi
tingkat kemiskinan dalam perekonomian nasional dapat terealisir dengan lebih baik
melalui pelaksanaan desentralisasi fiskal (Swasono, 2007; Syahrial, 2005; Arisandi,
2000; Vazques and McNab, 2001; Wasylenko, 1987; Woller and Kerk, 1998).



43

Berbagai kalangan banyak juga yang meragukan tentang keberhasilan
pelaksanaan desentralisasi fiskal di dalam pembangunan ekonomi daerah. Pada awal
diberlakukan UU No. 22 dan 25 tahun 1999 memang telah banyak pengamat ekonomi
yang merasa khawatir dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal. Apabila daerah diberi
keleluasaan berkreasi untuk memperbesar PAD, maka kemungkinan terjadi ekonomi
biaya tinggi. Hal ini dapat dilihat dari sisi produksi, melalui naiknya biaya produksi
sehingga harapan menjadikan produk lokal sebagai primadona akan semakin kecil.
Akibat struktur biaya yang tinggi dengan sendirinya harga komoditas akan mengikuti,
dengan demikian kebijakan desentralisasi fiskal akan mengubah struktur harga
komoditas yang akhirnya adalah rendahnya daya saing produk lokal di pasaran
(Wardhono, 2001).
Adanya target untuk meningkatkan PAD mengakibatkan terjadinya berbagai
pungutan yang secara langsung maupun tidak langsung memberatkan pihak
pengusaha maupun masyarakat umum. Walaupun dalam UU No.25 Tahun 1999 telah
diatur ada 4 (empat) sumber penerimaan daerah yaitu : (1) PAD, (2) Dana
Perimbangan, (3) Pinjaman Daerah, dan (4) Penerimaan sah lainnya, namun dalam
kenyataannya banyak daerah yang sangat menggantungkan penerimaannya dari DAU
semata. Daerah yang tidak memiliki SDA dan tidak kreatif dalam menggali
penerimaan selain dana perimbangan akan mengalami kesulitan dalam
menyelenggarakan otonomi karena kekurangan sumber pembiayaan. Implementasi
UU No.25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah telah mendorong daerah miskin SDA untuk mengejar penerimaan melalui
pajak dan retribusi daerah. Dari sekian banyak pajak dan retribusi daerah tersebut
beberapa diantaranya dikenakan terhadap komoditi hasil pertanian, hasil perkebunan,
hasil perikanan, hasil kehutanan, hasil pertambangan, industri dan sebagainya.



44

Dilihat dari aspek pemerataan, ternyata ada juga yang berpendapat bahwa
desentralisasi fiskal tidak akan menciptakan pemerataan pembangunan, bahkan
sebaliknya bisa menaikkan ketimpangan antar daerah. Hal ini disebabkan karena
distribusi kekayaan SDA yang meliputi perikanan, kehutanan, minyak bumi, dan gas
alam, menyebar tidak merata di Indonesia, padahal pembagiannya yang diatur pada
Dana Perimbangan didasarkan atas lokasi SDA tersebut, sebagaimana tersaji pada
Tabel 1. Oleh karena itu mudah diperkirakan bahwa bagi hasil SDA cenderung
menimbulkan dan memperbesar ketimpangan pembangunan antar daerah di Indonesia
(Simanjutak, 2001).

Tabel 1. Dana Perimbangan menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun1999
(%)
J enis Penerimaan Pemerintah Pusat Provinsi Kab / Kota
Penerimaan dari PBB 10 90 -
Penerimaan dari Provisi SDH 20 16 64
Peneriman dari luran Tetap 20 16 64
Penerimaan dari Royalty 20 16 64
Penerimaan dari Sektor Perikanan 20 - 80
Penerimaan bersih dari :
Minyak bumi 85 3 12
Gas alam 70 6 24
Dana Alokasi Umum * - 10 90
Dana Alokasi Khusus :
Dana Reboisasi 60 40% **
Sumber : UU Nomor 25/1999 (Simanjutak, 2001)

* Dana alokasi umum untuk daerah otonom maksimal 25% Penerimaan Dalam Negeri
APBN
** 40% tersebut dibagikan kepada daerah penghasil hutan sebagai Dana Alokasi Khusus


Bila diamati secara cermat, daerah-daerah yang memiliki peranan PAD tinggi
umumnya adalah daerah-daerah yang memiliki sektor sekunder (industri manufaktur)
dan sektor tersier (jasa-jasa) yang kuat. Sedangkan daerah yang peranan PAD-nya
kecil merupakan daerah yang tumpuan ekonominya berbasis pada sektor primer dan



45

tradisional (Ismail, 2001). Dengan melihat struktur ekonomi yang ada pada setiap
daerah sangat beragam, dimana ada daerah yang mempunyai struktur ekonominya
pada sektor industri, dan ada pula yang struktur ekonominya pada sektor primer dan
tradisional, maka sangat dimungkinkan pelaksanaan otonomi daerah bisa
menimbulkan ketimpangan yang sangat tinggi dalam hal PAD, yang akhirnya
menyebabkan pula ketimpangan pembangunan antar daerah.

2.2.4. Upaya Fiskal dan Kinerja Perekonomian Daerah
Kinerja fiskal daerah dapat diukur dengan tiga konsep yang merupakan
kerangka dasar kinerja fiskal daerah yaitu : (1) kebutuhan fiskal, (2) ketersediaan
fiskal yang merupakan proksi dari potensi daerah, dan (3) kesenjangan fiskal. Ketiga
konsep ini sangat terkait dengan perekonomian daerah dalam hal pembiayaan
pembangunan daerah termasuk pengadaan barang-barang publik untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat (Simanjuntak, 2001).
Kebutuhan fiskal daerah merupakan konsep yang menunjukkan jumlah fiskal
yang dibutuhkan daerah dalam menjalankan pembangunan baik untuk pengeluaran
rutin dan pembangunan daerah agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
daerah. Secara umum dan mendasar bahwa kebutuhan fiskal sebenarnya adalah total
pengeluaran pemerintah daerah yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Secara teori kebutuhan fiskal bukan ditentukan oleh
penerimaan daerah namun justru sebaliknya, yaitu penerimaan daerahlah yang
dipengaruhi oleh kebutuhan daerah. Bila kebutuhan fiskal meningkat maka akan
berdampak meningkatkan penerimaan daerah. Hal ini terjadi karena pemerintah harus
memenuhi kebutuhan publik untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan sosial
rakyatnya. Cara pemikiran keuangan negara ini berbeda dengan keuangan rumah



46

tangga dan perusahaan. Pembangunan fasilitas publik merupakan salah satu indikasi
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Fasilitas kesehatan, fasilitas jalan, jembatan
serta fasilitas lainnya yang menunjang aktivitas masyarakat dan pengelolaannya oleh
pemerintah (Stiglitz, 2000; Pogue and Sqontz, 1976; Musgrave and Peggy, 1989).
Dalam menentukan kebutuhan fiskal daerah ada beberapa konsep yang dibuat
untuk lebih mengakomodasikan berapa sebenarnya kebutuhan fiskal daerah, apakah
seperti yang telah terealisasi atau yang terealisasi sebenarnya belum
mengakomodasikan kebutuhan fiskal daerah yang sebenarnya. Beberapa cara yang
dilakukan antara lain adalah menetapkan standar pelayananan minimum tertentu.
Kebutuhan fiskal daerah tercermin dari total pengeluaran atau belanja daerah tersebut.
Sehingga kebutuhan fiskal merupakan total kebutuhan belanja pemerintahan daerah
untuk menjalankan seluruh fungsinya dan tugas pemerintahan daerah dengan standar
pelayanan minimum tertentu ( Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2001).
Kapasitas fiskal atau disebut juga dengan potensi daerah berdasarkan Undang-
Undang No 22 tahun 1999, yang disesuaikan untuk formulasi DAU memiliki
variabel-variabel yang membentuk potensi daerah tersebut terdiri dari indeks industri,
bagi hasil sumber daya (BHSDA), pajak penghasilan orang pribadi (PPh) serta pajak
bumi bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHATB)
(Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2001).
Kapasitas fiskal merupakan penjumlahan dari PAD dan Total Bagi Hasil
(TBHS) yang terdiri dari Bagi Hasil Pajak (BHTX) dan Bagi Hasil SDA atau Bagi
Hasil Bukan Pajak (BHNT). Indeks industri dihitung dengan membandingkan PDRB
sektor industri dan jasa daerah tertentu dengan rata-rata PDRB industri dan jasa
nasional. Indeks industri merupakan faktor penyesuaian terhadap PAD suatu daerah
karena sektor yang termasuk di dalam sektor industri dan jasa adalah sektor yang



47

diperkirakan dapat mempengaruhi besar kecilnya PAD. BHSDA secara langsung
menunjukkan berapa besar potensi SDA di suatu daerah. Sedang pajak penghasilan
(PPh) orang pribadi, menunjukkan perbedaan potensi daerah atas dasar potensi SDM-
nya. Suatu daerah yang memiliki SDM yang besar secara relatif akan memilki
potensi penerimaan yang lebih baik, misalnya potensi penerimaan yang berasal dari
pajak penghasilan (PPh) orang pribadi dan PAD. Formulasi potensi daerah
berdasarkan perumusan dalam DAU tahun 2002 adalah : Potensi Daerah =PAD +(
PBB +BPHTP +BHSDA +PPh), dimana PAD adalah angka estimasi penerimaan
PAD yang dihitung dengan mengalikan PAD rata-rata dengan indeks industri daerah
tersebut ( Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2002).
Fiskal gap atau kesenjangan fiskal adalah selisih antara ketersedian fiskal
daerah dengan kebutuhan fiskal daerah. Dengan kondisi tersebut maka bila suatu
daerah memerlukan pembiayaan kebutuhan daerah yang lebih besar tetapi tidak
mampu membiayai sendiri dengan kemampuan atau potensi daerah yang ada, maka
akan menyebabkan kesenjangan fiskal yang lebih besar. Berdasarkan formulasi DAU,
maka daerah yang memiliki kesenjangan fiskal yang semakin besar akan memperoleh
bobot yang lebih besar, sehingga akan menerima DAU yang lebih besar. Artinya
daerah yang menerima DAU yang lebih besar, menunjukkan daerah tersebut potensi
sumber dayanya serta PADnya kecil. Sehingga pemerintah pusat melalui instrumen
dana penyeimbang akan memenuhi kekurangan dari potensi daerah untuk pembiayaan
pengeluaran daerah, dengan standar kebutuhan mininum daerah dan berdasarkan
besarnya dana untuk DAU yang tersedia untuk Provinsi (Brodjonegoro, 2001).
Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa DAU yang diharapkan daerah dapat
menutupi kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan fiskal daerah, tidak dapat
dijadikan satu-satunya upaya menutupi kesenjangan fiskal. Perhitungan formulasi



48

DAU dari pusat, tidak akan mampu menutupi kebutuhan fiskal daerah, sehingga
diperkirakan masih ada daerah yang dalam kinerja keuangan daerahnya akan terus
mengalami defisit dan pembangunan daerahnya tidak dapat berjalan sesuai dengan
rencana akibat kesenjangan fiskal tersebut (Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2001).
Keadaan tersebut akan menimbulkan manuver-manuver politik termasuk lobi-
lobi dari pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat untuk meningkatkan
penerimaan DAU untuk daerahnya. Bila kondisi tersebut terus terjadi maka
kemandirian daerah yang merupakan tujuan dari otonomi daerah, akan semakin jauh
untuk dicapai. Pembangunan daerah yang hanya mengandalkan standar mininum
tentu saja tidak akan memuaskan masyarakat, sehingga akan berdampak terhadap
kinerja perekonomian daerah. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa bila daerah
menginginkan kebutuhan masyarakat tidak standar minimum, tapi lebih besar dari itu
maka daerah tidak boleh hanya berharap dari DAU tersebut. Daerah harus
meningkatkan upaya fiskalnya dengan meningkatkan potensi daerah, sesuai dengan
kemampuan daerahnya atau menggalakan investasi daerah (Brodjonegoro, 2001;
Simanjuntak, 2001).
Upaya fiskal merupakan upaya yang dilakukan pemerintah yang berkaitan
dengan kinerja keuangan daerah. Bagaimana pemerintah daerah berusaha agar dapat
meningkatkan ketersediaan fiskal atau mengintensifikasi dan mengekstensifikasi
potensi daerah. Usaha pajak merupakan jumlah pajak yang sungguh-sungguh
dikumpulkan oleh kantor pajak dan dibandingkan dengan potensi pajak (tax capacity)
yaitu jumlah pajak seharusnya mampu dikumpulkan dari obyek pajak (tax base), yang
berupa pendapatan per kapita.Rasio antara usaha pajak dan potensi pajak ini disebut
dengan kinerja pajak (tax performance) (Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2001).



49

Kinerja keuangan akan berpengaruh pada kinerja perekonomian suatu daerah.
Daerah yang pandai dalam mengupayakan fiskalnya sehingga memiliki kinerja
keuangan yang baik akan memberikan pengaruh positif pada kinerja perekonomian.
Kinerja keuangan yang baik akan berpengaruh dalam alokasi barang publik sehingga
pemerintah akan bisa memberikan pelayanan publik yang lebih baik, dan hal ini akan
berdampak pada kinerja perekonomian daerah (Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak,
2001).
Anggaran adalah suatu daftar atau pernyataan yang terperinci tentang
penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan dalam jangka waktu tertentu.
Anggaran pemerintah daerah merupakan : (1) arah kebijakan pemerintah daerah
dalam hal-hal penerimaan maupun pengeluaran, (2) pencapaian atau realisasi dari
pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah yang direncanakan di awal periode
anggaran, (3) kapasitas pemerintah daerah untuk melaksanakan rencana yang sudah
ditetapkan di awal, (4) kemampuan pemerintah daerah dalam memilih kebijakan yang
sesuai dengan kapasitasnya, dan (5) kemampuan pemerintah daerah untuk menjaga
kesinambungan kebijakan anggaran tahun tertentu dengan menimbang pencapaian
annggaran di periode sebelumnya (Brodjonegoro, 2001; J hingan, 2000; Departemen
Keuangan, 2004).
Anggaran pemerintah memiliki beberapa fungsi dasar yang dapat
dikelompokkan dalam kebijakan fiskal dan manajemen. Sebagai instrumen kebijakan
fiskal pertama, anggaran dapat digunakan untuk mengatur alokasi belanja untuk
pengadaan barang-barang dan jasa-jasa publik (public goods dan public services).
Berdasarkan skala prioritas yang ditetapkan, pemerintah dapat mengalokasikan nilai
belanja tertentu untuk kebutuhan atau kegiatan tertentu. Fungsi fiskal kedua, yaitu
anggaran berfungsi distribusi, melalui anggaran pemerintah dapat membuat kebijakan



50

yang bertujuan untuk menciptakan pemerataan atau mengurangi kesenjangan antar
wilayah, kelas sosial maupun sektoral.Fungsi fiskal ketiga adalah stabilisasi, yaitu bila
terjadi ketidakseimbangan yang ekstrem misalnya harga bahan pokok yang sangat
tinggi atau sangat rendah maka pemerintah dapat melakukan intervensi melalui
anggaran untuk mengembalikan tingkat harga pada titik yang rasional (Departemen
Keuangan, 2004; J hingan, 2000).
Anggaran dari sisi manajemen memiliki beberapa fungsi antara lain yaitu
sebagai (1) pedoman bagi pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugasnya pada
periode yang akan datang, (2) sebagai produk politik yang dibuat oleh eksekutif dan
legeslatif atas nama kepentingan masyarakat dan pembebanan konsekuensi diatas
pundak publik, maka anggaran bisa berfungsi sebagai alat kontrol masyarakat
terhadap pelaksanaan kebijakan yang dibuat pemerintah, dan (3) anggaran dapat
digunakan masyarakat untuk menilai seberapa jauh pencapaian pemerintah dalam
melaksanakan kebijakan dan program-program yang direncanakan (Departemen
Keuangan, 2004; J hingan, 2000).

2.3. Kemiskinan
Dalam pokok bahasan ini akan dikaji tentang konsep kemiskinan secara
mendalam, tipe dan faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan dan dijelaskan
beberapa indikator yang digunakan sebagai tolok ukur untuk mengukur tingkat
kemiskinan. Kemiskinan menyangkut konsep yang multidemensional dalam
penelitian ini kemiskinan dibatasi pada konsep yang berhubungan dengan faktor
ekonomi dan kriteria yang digunakan dalam mengukur kemiskinan adalah kriteria
yang menurut Badan Pusat Statistik ( BPS).




51

2.3. 1. Konsep dan Indikator Kemiskinan
Persoalan kemiskinan barangkali seumur dengan sejarah manusia dan
mungkin akan tetap ada selama kehidupan manusia di bumi ini masih ada. Hal ini
tersirat pula di semua ajaran agama, untuk memberikan derma kepada orang miskin.
Dengan kata lain yang miskin itu akan tetap ada sepanjang masa. Masalahnya adalah
bagaimana meminimumkan jumlahnya dan memberikan perlakuan yang adil dan
sewajarnya kepada kelompok masyarakat miskin ( Hasibuan, 2000).
Walaupun kemiskinan telah ada sepanjang sejarah manusia, tetapi
mendefinisikannya tidaklah mudah karena adanya berbagai pandangan tentang
masalah kemiskinan itu sendiri. Itulah sebabnya kemiskinan menjadi tidak mudah
menjabarkannya maupun mengukurnya secara persis karena kemiskinan mengandung
unsur-unsur dan juga menyangkut nilai dan persepsi yang sering kali bersifat relatif
(Supriatna, 1997).
Pengertian kemiskinan ada bermacam-macam, diantaranya adalah : kriteria
kemiskinan menurut BPS dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan dalam
memenuhi kebutuhan dasar baik kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.
Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan pangan maupun non pangan yang bersifat mendasar seperti sandang,
perumahan, pendidikan, kesehatan. Kebutuhan dasar untuk makanan adalah sebesar
2100 kkal energi per kapita per hari ( Makmun, 2003; Muharminto, 1993).
Sedang kriteria kemiskinan menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) adalah keluarga miskin pra sejahtera yaitu apabila : (1) tidak
dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, (2) seluruh anggota keluarga tidak
mampu makan dua kali sehari, (3) seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian
berbeda untuk di rumah, bekerja/ sekolah dan bepergian, (4) bagian terluas dari



52

rumahnya berlantai tanah, dan (5) tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana
kesehatan. Kemiskinan menurut Bank Dunia adalah keadaan tidak tercapainya
kehidupan yang layak dengan penghasilan USD 1.00 per hari ( Supriatna, 1997).
Kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena
dikehendaki oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari
dengan kekuatan yang ada padanya. Kemiskinan ditandai oleh sikap dan tingkah laku
yang mencerminkan keadaan yang seakan-akan tidak dapat diubah yang tercermin
dalam lemahnya kemauan untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya manusia,
lemahnya nilai tukar hasil produksi, rendahnya produktivitas, terbatasnya modal yang
dimiliki, rendahnya pendapatan dan terbatasnya kesempatan berpartisipasi dalam
pembangunan (Supriatna, 1997).
Bigsten (1992) mendefinisikan bahwa kemiskinan adalah keadaan serba
kekurangan harta dan benda berharga yang diderita oleh seseorang atau sekelompok
orang yang hidup dalam lingkungan serba miskin atau kekurangan modal, baik dalam
pengertian uang, pengetahuan, kekuatan sosial, politik, hukum maupun akses terhadap
fasilitas pelayanan umum, kesempatan berusaha dan bekerja.
Menurut Todaro (2000) bahwa pada dasarnya konsep kemiskinan dikaitkan
dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar
minimum yang memungkinkan untuk hidup layak. Bila pendapatan tidak dapat
memenuhi kebutuhan minimum, maka orang dapat dikatakan miskin. J adi tingkat
pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak miskin,
atau sering disebut sebagai garis batas kemiskinan. Konsep ini sering disebut dengan
kemiskinan absolut, yang dimaksudkan untuk memenuhi tingkat pendapatan
minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik seperti makan, pakaian dan
perumahan guna menjamin kelangsungan hidup.



53

Kemiskinan adalah suatu kondisi dimana orang atau kelompok orang tidak
mempunyai kemampuan, kebebasan, asset dan aksesibilitas untuk kebutuhan mereka
di waktu yang akan datang serta sangat rentan (vulnerable) terhadap resiko dan
tekanan yang disebabkan oleh penyakit dan peningkatan secara tiba-tiba atas harga-
harga bahan pangan dan uang sekolah (Gemmel, 1992). Berg (1981) dan Sen (2002)
mengukur kemiskinan dari perspektif yang lebih luas yaitu minimnya penghasilan,
tidak tersedianya akses kepada pengetahuan, sumber daya serta layanan sosial dan
kesehatan, keterasingan dari arus utama pembangunan dan ketidak mampuan
memenuhi kebutuhan pokok. Dengan perspektif ini minimnya penghasilan hanyalah
merupakan salah satu unsur, yang lebih mendasar adalah ketidakmampuan untuk
mengakses sumber-sumber ekonomi.
Sen (1981) mencoba melihat kemiskinan melalui pendekatan kapabilitas
(capability approach). Konsep kemampuan menunjukkan adanya kebebasan atau
peluang yang dimiliki oleh seseorang untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Seseorang disebut miskin apabila dia tidak memiliki kapabilitas dan peluang yang
sangat terbatas untuk meningkatkan kesejahteraannya, minimnya kemampuan dasar
untuk mencapai tingkat kesejahteraan minimal yang telah ditentukan.
Indikator yang digunakan untuk melihat kemiskinan adalah tingkat
kemiskinan dan kesenjangan kemiskinan, pendekatan di dalam mengukur tingkat
kemiskinan tersebut yaitu (1) headcount measure, yaitu memperkirakan jumlah orang
yang berada dibawah garis kemiskinan, dan (2) poverty gap adalah memperhitungkan
jumlah dana yang diperlukan untuk mengatasi masalah kemiskinan (BPS; 2005).
Ukuran lain yang digunakan untuk melihat tingkat garis kemiskinan yang ada di
tingkat masyarakat adalah dengan melihat pengeluaran dan penerimaan per kapita
yang akan dibandingkan dengan tingkat kemiskinan yang dikeluarkan BPS.



54

Menurut Esmara ada beragam alternatif ukuran garis kemiskinan dengan
memakai ukuran dibawah rata-rata, yaitu angka (1) konsumsi beras (kg per
orang), (2) konsumsi sembilan bahan pokok, (3) pengeluaran rumah tangga (Rp/
orang), dan (4) konsumsi kalori dan protein / orang/ hari (secara terpisah) dengan
membedakan nilai rata-rata menurut J awa dan lain daerah, dan desa atau kota. Di
bawah rata-rata itulah yang disebut miskin. Tetapi masih ada alternatif lain yang lebih
tepat yaitu di bawah 50 dan median. Kekurangan pada cara / ukuran relatif tersebut
adalah garis kemiskinan itu tidak dihubungkan dengan keperluan pokok, paling tidak
keperluan pangan dimana patokannya makin mantap, yaitu berdasarkan susunan
umur/ sex, rumah tangga, jenis pekerjaan dan sebagainya. Cara dari segi kebijakan,
yaitu bagaimana dan berapa besarnya biaya usaha mengatasi kemiskinan oleh
masyarakat luas dan oleh golongan miskin tersebut ( Makmun, 2003).
Menurut Sajogyo (1996) garis kemiskinan mempunyai ciri-ciri : (1) spesifikasi
atas tiga garis kemiskinan yang mencakup konsepsi nilai ambang kecukupan
pangan (food threshold), dan (2) menghubungkan tingkat pengeluaran rumah tangga
dengan ukuran kecukupan pangan (kalori dan protein). Garis kemiskinan ciri pertama
dinyatakan dalam Rp /bulan, dalam bentuk equivalen nilai tukar beras (kg/ orang/
bulan) agar dapat saling dibandingkan nilai tukar antar daerah dan antar zaman.
Memakai data tingkat pengeluaran rumah tangga dinilai lebih tepat karena : (1) dalam
survei data ini dapat lebih tepat dilaporkan dibandingkan dengan angka penghasilan,
(2) sudah mencakup penghasilan bukan uang, pemakaian tabungan masa lalu,
pinjaman, pemberian barang modal yang dimakan, mekanisme transfer penghasilan
di lingkungan masyarakat tersebut, dan (3) data dari BPS mulai banyak tersedia. Hasil
klasifikasi adalah sebagai berikut : (1) untuk perdesaan: (a) miskin =pengeluaran
rumah tangga di bawah 320 kg nilai tukar beras/ orang/ tahun, (b) miskin sekali =



55

pangan tak cukup di bawah 240 kg nilai tukar beras/ orang/ tahun, dan (c) paling
miskin dengan pengeluaran di bawah 180 kg nilai tukar beras/ orang/ tahun., dan (2)
untuk perkotaan : (a) miskin =pengeluaran rumah tangga di bawah 480 kg nilai tukar
beras/ orang/ tahun, (b) miskin sekali =dibawah 380 kg nilai tukar beras/ orang/
tahun, dan (c) paling miskin =dibawah 270 kg nilai tukar beras/ orang/ tahun.

2.3.2. Tipe dan Faktor Penyebab Kemiskinan
Ditinjau dari kelompok sasaran, terdapat beberapa tipe kemiskinan.
Penggolongan tipe kemiskinan ini dimaksudkan agar setiap tujuan program memiliki
sasaran dan target yang jelas. Hasibuan (2000) membagi kemiskinan menjadi tiga
kategori, yaitu : (1) kemiskinan absolut dimana pendapatan di bawah garis
kemiskinan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, (2) kemiskinan relatif
dimana situasi kemiskinan di atas garis kemiskinan berdasarkan pada jarak antara
miskin dan non-miskin dalam suatu komunitas, dan (3) kemiskinan struktural dimana
kemiskinan ini terjadi saat orang atau kelompok masyarakat enggan untuk
memperbaiki kondisi hidupnya sampai ada bantuan untuk mendorong mereka keluar
dari kondisi tersebut.
UNDP meninjau kemiskinan dari dua sisi, yaitu dari sisi pendapatan dan dari
sisi kualitas manusia. Dilihat dari sisi pendapatan, kemiskinan ekstrim (extreme
poverty) atau kemiskinan absolut adalah kekurangan pendapatan untuk keperluan
pemenuhan kebutuhan dasar atau kebutuhan minimal kalori yang diperlukan. Dari sisi
kualitas sumber daya manusia, kemiskinan secara umum (overall poverty), atau
sering disebut sebagai kemiskinan relatif, adalah kekurangan pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan non pangan seperti pakaian, energi dan tempat bernaung
(UNDP, 2001).



56

Menurut J hingan (2000) kemiskinan secara sederhana disebabkan karena
rendahnya produktivitas tenaga kerja yang menyebabkan pendapatan per kapita
rendah, sehingga mereka kekurangan biaya untuk konsumsi dan kebutuhan penting
lainnya. Karena pendapatan rendah maka tabungan untuk keluarga juga rendah yang
menyebabkan investasi untuk pengelolaan usaha juga rendah. Rendahnya investasi
menyebabkan tingkat produktivitas tenaga kerja yang mengelolanya juga rendah.
Demikian siklus perangkap kemiskinan tersebut terus menerus berjalan tanpa akhir,
yang menyebabkan golongan masyarakat miskin sulit untuk berkembang.
Kemiskinan di Indonesia mempunyai empat dimensi pokok, yaitu: (1)
kurangnya kesempatan (lack of opportunity), (2) rendahnya kemampuan (low af
capabilities), (3) kurangnya jaminan (low-level of security), dan (4) ketidak berdayaan
(low of capacity or empowerment). Kemiskinan dapat dilihat secara global, yakni
kemiskinan kolektif atau kemiskinan massa, kemiskinan musiman (cyclical) dan
kemiskinan individu. Kemiskinan kolektif dapat terjadi pada suatu daerah atau negara
yang mengalami kekurangan pangan, kebodohan dan eksploitasi manusia dinilai
sebagai penyebab keadaan itu. Sedang kemiskinan musiman atau periodik dapat
terjadi ketika daya beli masyarakat turun atau rendah. Ketika terjadi inflasi dengan
tingkat pendapatan relatif tetap maka daya beli masyarakat akan turun. Kemiskinan
individu dapat terjadi pada setiap orang, terutama kaum cacat fisik atau cacat mental,
anak-anak yatim dan kelompok lanjut usia (Yudhoyono dan Harniati , 2004).
Kemiskinan menurut penyebabnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu : (1)
kemiskinan alamiah, (2) kemiskinan struktural, dan (3) kemiskinan kultural.
Kemiskinan alamiah timbul karena sumber daya alam, sumber daya manusia dan
sumber daya pembangunan lainnya yang langka jumlahnya, karena perkembangan
teknologi yang rendah, sehingga masyarakat tidak dapat berperan aktif dalam



57

pembangunan. Kemiskinan struktural timbul disebabkan hasil pembangunan yang
belum merata, kepemilikan sumber daya yang belum merata, kemampuan tidak
seimbang, ketidak merataan kesempatan, menyebabkan keterlibatan masyarakat
dalam pembangunan tidak merata. Kemiskinan kultural disebabkan pemahaman suatu
sikap, kebiasaan hidup dan data seseorang atau masyarakat yang merasa kecukupan
dan tidak kekurangan. Kelompok ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam
pembangunan dan cenderung tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya.
Dengan ukuran absolut mereka dapat dikatakan miskin, tetapi mereka tidak merasa
miskin atau tidak mau disebut miskin (Soegijoko, 1997).
Alla (1981) menyebutkan bahwa kemiskinan secara garis besar disebabkan
oleh faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen adalah faktor-faktor dari
dalam diri individu sendiri yang menyebabkan kemiskinan, atau sikap mentalnya
yang menyebabkan mereka miskin. Sedang faktor eksogen yang mempengaruhi
kemiskinan adalah faktor alamiah dan faktor struktural. Apabila ditinjau dari segi
penyebabnya konsep kemiskinan dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu : (1)
kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang terjadi karena langkanya sumber daya
dan rendahnya produktivitas; dan (2) kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang
terjadi karena lembaga-lembaga yang ada menjadikan sekelompok masyarakat atau
secara perorangan tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan fasilitas yang tersedia
secara merata. Kemiskinan alamiah disebabkan oleh faktor sumber daya manusia;
daya dukung wilayah dan ekologi manusia (Muharminto,1993).
Ikhsan (2001) menunjukkan beberapa determinan kemiskinan di daerah pedesaan
yaitu: (1) human capital endowment yang belum memadai yang menyulitkan proses
transformasi tenaga kerja antar sektor, (2) kuantitas dan kualitas infrastuktur, (3)
kontribusi pendapatan usahatani padi terhadap pendapatan keluarga petani hanya



58

berkisar 17 - 30 persen, karena luas lahan yang kecil dan curahan jam kerja yang
hanya 10 hari dalam satu bulan, dan (4) faktor yang berkaitan dengan kebijakan
pemerintah.
Kemiskinan yang digunakan dalam penelitian adalah pengukuran kemiskinan
yang ditetapkan berdasarkan kriteria BPS dengan pendekatan kebutuhan dasar, yaitu
penduduk miskin adalah penduduk yang tidak bisa mencukupi kebutuhan dasarnya
berupa kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya. Penduduk miskin menurut kriteria
penelitian ini adalah jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan
(headcount measure). Penentuan garis kemiskinan didasarkan pada pengukuran
pendapatan/ pengeluaran penduduk untuk mencukupi kebutuhan dasar yaitu berupa
kebutuhan untuk konsumsi energi sebesar 2100 kkal per kapita per hari, sehingga
apabila penghasilannya ada dibawah konversi tersebut maka termasuk pada kategori
penduduk miskin. Besaran garis kemiskinan akan berbeda antar waktu karena adanya
perubahan harga antar waktu, antar wilayah karena adanya perbedaan tingkat
kemahalan antar wilayah dan antara desa dan kota (Todaro, 2000).

2.4. Ketahanan Pangan
Pada pokok bahasan ini akan dikaji secara komperhensif tentang
pemahaman dari konsep ketahanan pangan, mulai dari konsep yang paling sederhana
pendekatan ketersediaan pangan, sampai pada konsep yang paling mutakhir yang
melihat dari berbagai dimensi yaitu selain dari ketersediaan pangan juga tentang
keterjangkauan pangan baik secara fisik dan ekonomi, faktor keamanan sampai pada
faktor akses pangan secara individu terhadap pangan yang diukur dengan indikator
status gizi masyarakat yang merupakan muara akhir dari semua subsistem ketahanan
pangan.



59

2.4.1. Konsep Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan yang merupakan terjemahan dari food security merupakan
fenomena yang komplek mencakup banyak aspek dan faktor lain yang terkait secara
luas sehingga setiap orang mencoba menterjemahkan sesuai dengan tujuan dan
ketersediaan data. Seperti diungkapkan oleh Reutlinger (1987) bahwa ketahanan
pangan diinterprestasikan dengan banyak cara sesuai kebutuhan dan tujuannya. Berg
(1981) juga mengungkapkan bahwa pamakaian istilah ketahanan pangan dapat
menimbulkan perdebatan dan banyak isu yang membingungkan karena aspek
ketahanan pangan adalah luas dan banyak tetapi merupakan salah satu konsep yang
sangat penting bagi banyak orang di seluruh dunia. Definisi ketahanan pangan
berubah dari satu periode waktu ke periode waktu berikutnya (Salim et al, 2005).
Sebenarnya sejak tahun 1970-an ketahanan pangan mulai menjadi issue
internasional seiring terjadinya krisis pangan global ( Maxwell and Frankenberger,
1992). Pada awalnya konsep ketahanan pangan sebagai terjemahan dari istilah food
security yang difokuskan kepada kondisi ketersediaan pangan baik di tingkat nasional
maupun internasional terutama padi-padian, hal ini karena terjadinya krisis pangan
dunia pada waktu itu tahun 1972 1974. Sehingga pada masa awal orde baru
kebijakan ketahanan pangan di Indonesia didasarkan pada pendekatan penyediaan
pangan yang lebih dikenal dengan istilah Food Availability Approach (FAA).
Pendekatan ini tidak memperhatikan aspek distribusi dan aspek akses terhadap
pangan. Asumsi yang mendasari pendekatan ini adalah jika pasokan pangan tersedia
maka (1) para pedagang akan menyalurkan pangan tersebut ke seluruh wilayah secara
efisien, dan (2) harga pangan akan tetap stabil pada tingkat yang wajar sehingga dapat
dijangkau oleh seluruh keluarga.



60

Tetapi dalam kenyataan, meskipun tersedia pangan yang cukup sebagian orang
masih menderita kelaparan karena tidak mempunyai cukup akses terhadap pangan.
Fenomena ini disebut sebagai hunger paradox. Sehingga pendekatan ketersediaan
pangan mengalami kegagalan dalam mencapai ketahanan pangan berkelanjutan di
beberapa negara. Dalam periode tersebut ketahanan pangan lebih ditekankan pada
unsur ketersediaan pangan di tingkat nasional dan global (Simatupang, 1999).
Pada tahun 1980-an konsep ketahanan pangan beralih dari konsep
ketersediaan pangan ke konsep akses pangan pada tingkat rumah tangga dan individu.
Kalau pada awalnya ketahanan pangan masih berkisar pada pertanyataan dapatkah
dunia memproduksi pangan yang cukup, kemudian pertanyaan tersebut dipertajam
lagi oleh International Food Policy Recearch Institute (IFPRI) menjadi dapatkah
dunia memproduksi pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan
terjangkau oleh kelompok miskin serta tidak merusak lingkungan hidup. Pada waktu
itu terjadi pergeseran konsep ketahanan pangan yang ditekankan pada akses pangan
di tingkat rumah tangga dan individu. Definisi ketahanan pangan tersebut adalah
setiap orang pada setiap saat memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap
pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup produktif
dan sehat. Analisis terhadap ketahanan pangan rumah tangga. harus memperhatikan
empat konsep utama yaitu : (1) kecukupan (sufficiency) ), (2) akses (acces),
(3) keterjaminan (security ), dan (4) waktu (time) (Maxwell and Frankenberger,
1992).
Komponen akses ekonomi bagi individu untuk memperoleh pangan, hal ini
berkaitan dengan pemilikan sumberdaya untuk memproduksi pangan, harga pangan,
maupun daya beli. Ketidaktahanan pangan rumah tangga disebabkan oleh kemiskinan
atau pendapatan yang rendah. Dalam konteks rumah tangga, definisi tersebut



61

didasarkan pada konsep entitlement atau kemampuan untuk menguasai pangan.
Lemahnya entitlement (faktor kepemilikan) rumah tangga dan individu yang
menyebabkan ketidak mampuannya melakukan kontrol terhadap pangan. Derajat
entitlement berhubungan linier dengan tingkat stabilitas akses rumah tangga dan
individu terhadap pangan karena derajat entitlement tersebut ditentukan oleh apa yang
mereka miliki, produksi, jual dan diwariskan atau diberikan (Sen, 1981).
Konferensi FAO tahun 1992 mencetuskan dasar-dasar ketahanan pangan yang
pada intinya menjamin kecukupan ketersediaan pangan bagi umat manusia dan
terjaminnya setiap individu untuk dapat memperoleh pangan. Definisi tersebut
disempurnakan pada waktu International Congress of Nutrition (ICN) di Roma
pada tahun 1994 menjadi, ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan rumah
tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar
dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Dalam sidang
Committee on Work Food Security tahun 1995 definisi di atas diperluas dengan
menambah persyaratan harus diterima oleh budaya setempat. Definisi tersebut
dipertegas lagi pada Deklarasi Roma pada World Food Summit tahun 1996, ketahanan
pangan terwujud apabila semua orang setiap saat memiliki akses secara fisik maupun
ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan
sesuai seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat (Badan Ketahanan Pangan,
2005a; Saliem et al. , 2005).
Indonesia sebagai salah satu negara yang menyatakan komitmen untuk
melaksanakan deklarasi Roma menerima konsep ketahanan pangan tersebut yang
kemudian dilegitimasi pada rumusan dalam Undang-Undang Pangan No.7 tahun
1996. Namun konsep ketahanan pangan di Indonesia telah memasukkan aspek
keamanan, mutu dan keragaman sebagai kondisi yang harus dipenuhi dalam



62

pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara cukup, merata serta terjangkau.
Sementara itu lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga pada tahun 1996 juga
menghasilkan rumusan baru konsep ketahanan pangan rumah tangga yaitu : ketahanan
pangan rumah tangga adalah kemampuan untuk memenuhi pangan anggota keluarga
dari waktu dan berkelanjutan baik dari produksi sendiri maupun membeli dalam
jumlah, mutu dan ragamnya sesuai dengan lingkungan setempat serta sosial budaya
rumah tangga agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari
secara produktif (Badan Ketahanan Pangan, 2005a; Saliem et al., 2005; Maxwell and
Frankenberger, 1992).
Konsep dari ketahanan pangan sangat luas dan beragam yang meliputi dimensi
sasaran global, nasional, regional, rumah tangga dan individu serta dimensi waktu
atau musim, ruang dan dimensi sosial ekonomi masyarakat. Ketahanan pangan global,
nasional, regional, lokal dan rumah tangga serta individu merupakan suatu rangkaian
sistem hirarkis, dimana ketahanan pangan nasional dan regional merupakan syarat
keharusan (necessary condition ) bagi ketahanan pangan masyarakat, rumah tangga
dan individu. Dan ketahanan pangan individu merupakan syarat kecukupan
(sufficiency condition) bagi ketahanan pangan nasional (Simatupang, 1999).
Ketahanan pangan merupakan rangkaian dari tiga komponen utama yaitu : (1)
ketersediaan dan stabilitas pangan ( food availability and stability) , (2) kemudahan
memperoleh pangan (food accessibility), dan (3) pemanfaatan pangan (food
utilization) (FAO, 1996).

2.4.2. Ketahanan Pangan Sebagai Suatu Sistem
Dalam upaya memudahkan pemetaan tugas dan wewenang antara pemerintah
dan masyarakat dalam koordinasi di bidang perencanaan, pelaksanaan, monitoring



63

dan evaluasi, maka Badan Ketahanan Pangan (2005a) mengkategorikan ketahanan
pangan sebagai suatu sistem ekonomi pangan yang terdiri subsistem penyediaan,
distribusi dan konsumsi yang berinteraksi secara berkesinambungan. Ketahanan
pangan sebagai suatu sistem digambarkan dalam Gambar 3, yang menunjukkan
adanya keterkaitan yang erat antar subsistem dalam sistem ketahanan pangan.
Pembangunan subsistem penyediaan mencakup pengaturan kestabilan dan
kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari produksi dalam negeri,
cadangan maupun impor. Pembangunan subsistem distribusi mencakup pengaturan
untuk menjamin aksesibilitas penduduk secara fisik dan ekonomis terhadap pangan
antar wilayah dan antar waktu, serta stabilitas harga pangan strategis. Pembangunan
subsistem konsumsi mencakup pengelolaan pangan di tingkat daerah maupun rumah
tangga, untuk menjamin setiap individu memperoleh pangan dalam jumlah, mutu gizi,
keamanan dan keragaman sesuai kebutuhan dan pilihannya. Ketiga subsistem
merupakan satu kesatuan yang didukung adanya berbagai input sumberdaya alam
(lahan, air, perairan darat dan laut), kelembagaan, budaya, permodalan dan teknologi.
Proses pembangunan ketahanan pangan digerakkan oleh kekuatan masyarakat
dalam usaha agribisnis pangan yang ditopang oleh fasilitasi pemerintah. Peran
fasilitasi pemerintah diimplementasikan dalam bentuk kebijakan ekonomi makro dan
perdagangan, pelayanan dan pengaturan, penyediaan prasarana dan sarana publik
serta intervensi atas kegagalan pasar untuk mendorong terciptanya pasar agribisnis
pangan yang berkeadilan. Peran pemerintah adalah memberdayakan masyarakat agar
mampu mengatasi masalah pangannya secara mandiri. Hasil yang diharapkan adalah
terpenuhinya hak azasi manusia atas pangan, berkembangnya SDM yang berkualitas,
dan terciptanya kondisi kondusif ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan
ketahanan nasional.



64

Partisipasi Masyarakat
Produsen Pertanian
Indutri Pengolahan
Pedagang
J asa Pelayanan




Input :
SD alam
(lahan, air,
peraiaran)
Kelmbaga
an
Budaya
Teknologi






Ketersediaan
Produksi
Cadangan
Impor





Distribusi:
Akses fisik
dan ekono
mi antar
Wilayah
Waktu
Individu





Konsumsi :
Kecukupan
Keragaman
Mutu gizi
Keamanan
Keterjangka
uan





Output :
Pemenuhan
HAM
Pengembang
an SDM ber
kualitas
Ketahanan
pangan, eko
nomi dan na
sional







Partisipasi Pemerintah
Kebijakan ekonomi makro
Kebijakan perdagangan dalam negeri dan
internasional
Pelayanan/fasilitasi
Intervensi/pengelolaan pasar terkendali







Sumber : Badan Ketahanan Pangan Nasional Jakarta (2005)

Gambar 3. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan






65
Produksi
Daerah

Perdagangan :

Cadangan
Pangan :
- Antar Daerah
- Antar Negara
- Pemerintah
- Pemda
- Bantuan LN



Cadangan
Pangan
Masyarakat

Bantuan
Pangan

Ketersediaan
Di Pasar



Cadangan
Pangan RT



Produksi
Usaha Tani

Ketahanan
Pangan RT

Konsumsi pangan
Yang cukup untuk
Hidup sehat dan
Produktif :

- Setiap individu
- Setiap saat
- Sesuai pilihan


Pendapatan
Usaha lain/
Off-farm


Sumber : Badan Ketahanan Pangan Nasional Jakarta (2005)

Gambar 4. Sistem Ketahanan Pangan Rumah Tangga





66

Produksi
Daerah

Perdagangan :

Cadangan
Pangan :
- Antar Daerah
- Antar Negara
- Pemerintah
- Pemda
- Bantuan LN



Cadangan
Pangan
Masyarakat

Bantuan
Pangan

Ketersediaan
Di Pasar



Cadangan
Pangan RT



Produksi
Usaha Tani

Ketahanan
Pangan RT

Konsumsi pangan
Yang cukup untuk
Hidup sehat dan
Produktif :

- Setiap individu
- Setiap saat
- Sesuai pilihan


Pendapatan
Usaha lain/
Off-farm


Sumber : Badan Ketahanan Pangan Nasional Jakarta (2005)

Gambar 4. Sistem Ketahanan Pangan Rumah Tangga




65

Perwujudan sistem ketahanan pangan di tingkat rumah tangga (mikro) dalam
kerangka hubungannya dengan sistem ketahanan pangan tingkat wilayah atau negara
(makro) dapat digambarkan pada Gambar 4. Pada gambar tersaji bagaimana
hubungan ketahanan pangan di tingkat mikro dengan ketahanan pangan tingkat
makro. Tercapainya ketahanan pangan di tingkat makro belum tentu tercapai
ketahanan pangan di tingkat mikro karena pengaruh faktor individu dan rumah
tangga.
Ditinjau dari sistem kelembagaan sosial pangan masyarakat, terwujudnya
ketahanan pangan dihasilkan oleh bekerjanya secara sinergis suatu sistem yang terdiri
dari subsistem rumah tangga, subsistem lingkungan masyarakat dan subsistem
pemerintah. Subsistem rumah tangga mengelola penyediaan, cadangan dan pola
konsumsi yang menjamin setiap individu memperoleh asupan gizi yang cukup.
Subsistem lingkungan masyarakat mengatur penyelenggaraan produksi, distribusi dan
pemasaran yang menjamin penyediaan pangan di seluruh wilayah setiap saat. Adapun
subsistem pemerintah mengelola kebijakan, fasilitasi, pelayanan dan pengawasan
yang menjamin sistem usaha pangan secara adil dan bertanggung jawab.

2.4 3. Indikator Ketahanan Pangan
Konsep dari ketahanan pangan berubah-ubah dan aspeknya sangat luas,
sehingga indikator, cara dan data yang digunakan oleh peneliti untuk mengukur
ketahanan pangan juga sangat beragam tergantung dari tujuan dan kepentingannya.
Untuk mengukur ketahanan pangan baik tingkat mikro dan makro dapat dicerminkan
oleh beberapa indikator yang tergantung dari tujuan dan kepentingan dari penelitian
yang dijalanlankan serta ketersediaan data.




67

Indikator-indikator ketahanan pangan tersebut diantaranya adalah : (1)
produksi pangan baik tingkat rumah tangga, wilayah, regional, nasional, (2) tingkat
ketersediaan pangan di rumah tangga, wilayah, regional, nasional, (3) proporsi
pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total rumah tangga, (4) fluktuasi harga
pangan utama yang umum dikonsumsi rumah tangga, (5) keadaan konsumsi pangan,
(6) status gizi, (7) angka indek ketahanan pangan rumah tangga, (8) angka rasio antara
stok dengan konsumsi pada berbagai tingkatan wilayah; (9) skor Pola Pangan
Harapan (PPH) untuk tingkat ketersediaan dan konsumsi, (10) kondisi keamanan
pangan, (11) keadaan kelembagaan cadangan pangan masyarakat, (12) tingkat
cadangan pangan pemerintah dibanding perkiraan kebutuhan, (13) kemampuan untuk
melakukan stok pangan, (14) indeks deversifikasi pangan (indeks herfindahl, indeks
simpson, indeks entropy), dan (15) indeks kemandirian pangan (Saliem et al., 2005;
Ariani et al., 2007).
Penentu utama ketahanan pangan di tingkat nasional, regional dan lokal dapat
dilihat dari tingkat produksi, permintaan, persediaan dan perdagangan pangan.
Sementara penentu utama di tingkat rumah tangga adalah akses terhadap pangan,
ketersediaan pangan dan resiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan
tersebut (Saliem et al., 2005; Badan Ketahanan Pangan, 2005a).
Salah satu kunci terpenting dalam mendukung ketahanan pangan adalah
tersedianya dana yang cukup (negara dan rumah tangga) untuk memperoleh pangan
(FAO, 1996). Indikator outcome ketahanan pangan yang direkomendasikan oleh FAO
tahun 2001 mencakup umur harapan hidup, prevalensi anak kurang gizi dan gizi
buruk dan angka kematian bayi dimana umur harapan hidup dan angka kematian bayi
merupakan komponen dalam indikator pembangunan manusia (IPM).



68

Pengukuran kinerja ketahanan pangan pada penelitian ini menyangkut
berbagai dimensi baik ketahanan pangan secara makro yang merupakan syarat
keharusan juga ketahanan pangan secara mikro pada individu yang merupakan syarat
kecukupan, yaitu meliputi : produksi beras, rata-rata konsumsi beras, konsumsi
energi, konsumsi protein, pendapatan sektor pertanian, pendapatan per kapita dan
outcome ketahanan pangan yang direkomendasikan FAO (2001) yaitu umur harapan
hidup, angka kematian bayi dan prevalensi anak kurang gizi dan gizi buruk.

2.5. Studi Studi Terdahulu
Tinjauan penelitian terdahulu dilakukan terhadap penelitian dengan topik
desentralisasi fiskal, kemiskinan, ketahanan pangan, perananan sektor pertanian dan
permintaan dan penawaran komoditi (beras). Perbedaan penelitian yang sedang
dilakukan dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah, pada penelitian terdahulu
lingkup kajian agregat nasional sedang pada penelitian yang sedang dilakukan lingkup
kajian agregat regional pada tingkat kabupaten yang merupakan refleksi dari
implementasi desentralisasi fiskal dan kinerja perekonomian lebih difokuskan pada
kinerja sektor pertanian dan produksi beras.
Desentralisasi fiskal dalam penelitian ini diterjemahkan sebagai kebebasan
berinovasi dan berkreasi dari pemerintah daerah sebagai pelaksana fungsi inisiator,
fasilitator dan regulator dalam mengoptimalkan perannya pada lingkup payung UU
No 22 dan UU No 25 Tahun 1999 dan UU No 32 dan UU No 33 Tahun 2004 dalam
mengelola anggaran belanja daerah untuk meningkatkan ketahanan pangan dan
menurunkan kemiskinan di daerahnya. Ketahanan pangan yang merupakan suatu
sistem dari beberapa subsistem, maka optimalisasi peran pemerintah sebagai
pelaksana fungsi inisiator, fasilitator dan regulator dalam implementasi desentralisasi



69

fiskal dilakukan pada semua subsistem dari sistem ketahanan pangan. Sehingga
indikator ketahanan pangan pada penelitian ini diukur dari semua subsistem dari
ketahanan pangan, yaitu mulai dari peningkatan produksi gabah dan beras yang
memproksi ketersediaan pangan, pendapatan sektor pertanian dan pendapatan per
kapita yang memproksi daya beli, rata-rata tingkat konsumsi beras, energi, dan protein
yang memproksi tingkat akses pada pangan secara agregat sampai pada indikator
akses pangan secara individu dengan melihat status gizi masyarakat yang diukur
dengan prevalensi naka kurang gizi dan gizi buruk, angka kematian bayi dan umur
harapan hidup.
Tabel 2. Rekapitulasi Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu tentang Desentralisasi
Fiskal, Kemiskinan dan Ketahanan Pangan

No.

1.






2.








3.





4.



Peneliti dan Tahun

Zhang and Zhao
(1997)





Rao (2000)








Lin and Liu (2000)





Capuno (2001)



Topik dan Metode

Desentralisasi yang
ditunjukkan dengan
kontribusi yang besar
pada pengeluaran
daerah terhadap GDP
terhadap pertumbuhan
ekonomi India.
Poverty Alleviation
under Fiscal
Decentralization in
Transitional Economy
The Case of Vietnam.




Desentralisasi Fiskal
dan Pertumbuhan
Ekonomi di China,
Fungsi Produksi Cobb-
Douglas.

Elastisitas Pendapatan
dan Pengeluaran
Pemerintah Daerah
pada Era Desentralisasi
Hasil dan Implikasi
Kebijakan
Desentralisasi berpengaruh
signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi,
karena terjadi efisiensi
alokasi sumber daya dan
stabilitas ekonomi makro.
Desentralisasi berpengaruh
efektif dalam mengurangi
kemiskinan karena terjadi
efisiensi dalam identifikasi
kemiskinan dan mampu
merumuskan strategi
pengurangan kemiskinan
yang lebih tepat sesuai
kondisi si miskin.
Desentralisasi fiskal
berkontrbusi signifikan
terhadap pertumbuhan
ekonomi melalui
peningkatan efisiensi
alokasi sumberdaya
Elastisitas pendapatan
pemerintah daerah bernilai
elastis sedang elastisitas
pengeluaran in-elastis, yang



70







5.











6.















7.




















Vazques and
McNab (2001)










Brodjonegoro et al.
(2001)














Pardede (2004)














Fiskal di
Philipina,OLS, Panel
Data.



Fiscal Decentralization
and Economic Growth
in Vietnam.









Alokasi Bagi hasil dan
DAU kaitannya dengan
pemerataan dan
pertumbuhan ekonomi
daerah, persamaan
simultan.










Desentralisasi Fiskal;
Input-Output













berarti peningkatan transfer
dana dari pusat memberi
tekanan positif pada
penerimaan yang lebih
besar dibanding
pengeluaran daerah.
Desentralisasi berpengaruh
pada efisiensi alokatif dan
efisiensi produksi karena
pemerintah lokal lebih
responsif terhadap
kebutuhan dan preferensi
masyarakat sehingga akan
memberikan pelayanan
publik yang lebih baik dan
berdampak pada
pertumbuhan ekonomi yang
lebih baik.
Kebijakan pengeluaran
pemerintah melalui konsep
bagi hasil menimbulkan
kesenjangan antar daerah
dan alokasi DAU mampu
memperkecil kesenjangan.
Simulasi terhadap
peningkatan bagi hasil
memberikan hasil
pertumbuhan ekonomi yang
lebih rendah dibanding
peningkatan alokasi DAU.
Kombinasi peningkatan
bagi hasil dan DAU
memberikan pertumbuhan
lebih besar.
G berasal dari transfer pusat
sangat berperan dalam
penciptaan output,
pendapatan dan kesempatan
kerja. Kebijakan
Desentralisasi Fiskal dapat
meningkatkan
perekonomian daerah dan
memperbesar disparitas.
Daerah penelitian belum
mempertimbangkan sektor
unggulan dalam alokasi
anggaran pembangunan.
Realokasi anggaran
pembangunan ke sektor



71





8.


















9.




















10.








Pakasi (2005)


















Asra (2000)




















Simatupang dan
Darmoredjo (2003)







Desentralisasi Fiskal,
Ekonometrika
Persamaan Simultan,
Pooled data















Poverty and Inequality
in Indonesia:
Estimates,
Decomposition and
Key Issue.
















Produk Domestik
Bruto (PDB), Harga
dan Kemiskinan


unggulan akan
meningkatkan erekonomian
di dua daerah.

Kebijakan DF berpengaruh
besar terhadap kinerja
fiskal namun relatif kecil
terhadap perekonomian
daerah; dampak transfer
DAU lebih besar terhadap
kinerja fiskal daerah,
sedangkan dampak
investasi daerah lebih besar
terhadap perekonomian
daerah, realokasi anggaran
rutin ke anggaran sektor
terkait masyarakat
(infrastruktur, kesejahteraan
sosial, pendidikan)
berdampak lebih besar
terhadap kinerja fiskal dan
perekonomian daerah.

Penurunan kemiskinan
perdesaan merupakan
penyumbang terbesar
terhadap penurunan
kemiskinan agregat,
pertumbuhan ekonomi
merupakan komponen
terpenting dari upaya
pengurangan kemiskinan,
kemiskinan perdesaan
lebih elastis terhadap
pertumbuhan ekonomi,
hasil simulasi menunjukkan
bahwa pergeseran dalam
angkatan kerja dan
perbaikan peluang kerja di
sektor perkotaan
memainkan peranan
penting dalam mengurangi
kemiskinan agregat.

Dampak PDB terhadap
kemiskinan bervariasi
menurut sektor, PDB sektor
pertanian memiliki dampak
lebih besar terhadap



72



















11.



















12.




























Yudhoyono (2005)



















J ayawinata (2005)




























Kebijakan Fiskal
(Pembangunan
Pertanian dan
Perdesaan) Terhadap
Pengangguran dan
Kemiskinan,
Ekonometrika
Persamaan Simultan
Time Series











Kebijakan Makro
terhadap Ketahanan
Pangan Nasional,
Ekonometrika
Persamaan Simultan
Time Series





kemiskinan perdesaan dan
kemiskinan perkotaan
dipengaruhi terutama PDB
sektor industri, kemiskinan
agregat dipengaruhi PDB
sektor pertanian dan non
pertanian, insiden
kemiskinan juga
dipengaruhi oleh harga
beras, strategi
pembangunan yang efektif
untuk pengentasan
kemiskinan adalah strategi
pembangunan yang lebih
menitik beratkan pada
sektor pertanian khususnya
subsektor tanaman pangan.

Pemerintahan Pasca Orde
Baru cenderung
menurunkan PDB pertanian
dan non pertanian,
akibatnya kemiskinan di
perdesaan dan perkotaan
meningkat. Peningkatan G
untuk pembangunan
infrastruktur berdampak
positif terhadap
pertumbuhan ekonomi dan
penyerapan tenaga kerja,
sehingga dapat mengurangi
pengangguran.Mengurangi
kemiskinan, khususnya di
perdesaan diperlukan policy
mix antara G untuk
pembangunan pertanian dan
kebijakan upah.

Kebijakan suku bunga, nilai
tukar, penawaran uang dan
pengeluaran pemerintah
merupakan variabel
kebijakan makroekonomi
yang memiliki dampak
terhadap ketahanan pangan
nasional. Kebijakan
makroekonomi yang sangat
mempengaruhi kelompok
masyarakat rawan pangan



73





13.


















14.













15.















Herliana (2004)


















Ilham ( 2006)













Mulyana (1998 )















Peranan Sektor
Pertanian dalam
Perekonomian
Indonesia, Sistem
Neraca Sosial Ekonomi
(SNSE)













Efektivitas Kebijakan
Harga Pangan terhadap
Ketahanan Pangan dan
Dampaknya pada
Stabilitas Ekonomi
Makro.








S dan D Beras dalam
rangka
Mempertahankan
Swasembada Menuju
Era Perdagangan
Bebas, Ekonometrika
Persamaan Simultan
Time Series




adalah kombinasi
penurunan suku bunga dan
peningkatan G

Produktivitas sektor
pertanian (tingkat
kesejahteraan) relatif
rendah dibanding sektor
lain, subsektor tanaman
pangan mempunyai nisbah
nilai tambah per tenaga
kerja paling rendah;
koefisien-koefisien
pengganda pada sektor
pertanian secara umum
relatif lebih besar dari pada
sektor lainnya, untuk
meningkatkan pendapatan
kelompok miskin di
perdesaan sektor yang
paling efektif diinjeksi
adalah sektor tanaman
pangan.
Kebijakan harga pangan
berpengaruh positif
inelastis terhadap
ketersedian energi, namun
tidak mempengaruhi
ketersediaan protein.
Kebijakan harga output
signifikan terhadap
ketersediaan energi, sedang
harga input tidak
signifikan. Kebijakan harga
pangan tidak signifikan
terhadap konsumsi energi
per kapita.
Perlu pengembangan areal
sawah intensifikasi dan
irigasi di wilayah Sumatera
dan Sulawesi. Dalam
jangka pendek, kebijakan
untuk meningkatkan harga
dasar gabah yang lebih
tinggi dari kenaikan harga
pupuk masih diperlukan.
Penghapusan peran bulog
dan intervensi harga belum
direkomendasikan.



74


16.
















17.






18.



19.





20.



Sawit (1994)
















Sudaryanto dan
Sayuti (1990)





Tabor et al. (1989)



Nainggolan and
Suprapto (1987)




Mears et al. (1981)



Analisa Permintaan
Pangan : Bukti Empiris
Teori Rumah Tangga
Pertanian. Model
Permintaan Rumah
Tangga Pertanian
(MPR).










Analisis Permintaan
Bahan Pangan dengan
Pendekatan Persamaan
Sistem. Almost Ideal
Demand System
(AIDS).

Food Crop Demand in
Indonesia : A System
Approach.

Supply Response for
Rice in Java :
Empirical Evidence



Income Elasticity of
Demand for Rice in
Indonesia.


Respons penawaran padi
terhadap harga padi positif
inelastis, harga palawija
positif inelastis, harga
pupuk negatif inelastis,
upah tenaga kerja negatif
inelastis, luas tanah garapan
positif inelastis.
Elastisitas permintaan padi
terhadap harga padi negatif
inelastis, harga palawija
negatif inelastis, upah
tenaga kerja negatif
inelastis, pendapatan riil per
kapita positif inelastis,
jumlah tenaga kerja negatif
inelstis.
Elastisitas harga pangan
inelatis dan bertanda
negatif, elastisitas beras
inelastis dan relatif lebih
inelastis dibanding pangan
lain.

Elastisitas untuk harga
lebih rendah dibanding
terhadap pengeluaran.

Respons padi terhadap
harga tidak elastis. Harga
tidak signifikan terhadap
areal tetapi signifikan
terhadap produktivitas

Income elastisitas
permintaan beras wilayah
luar J awa relatif lebih tinggi
dibanding wilayah J awa,
elastisitas pada daerah
perdesaan relatif lebih
tinggi dibanding daerah
perkotaan dan elastisitas
golongan penduduk tingkat
konsumsi kalori tinggi
relatif lebih rendah
dibandingkan golongan
penduduk tingkat konsumsi
kalori rendah.

III. KERANGKA TEORI DAN PEMIKIRAN KONSEPTUAL
3.1. Kerangka Teori
3.1.1. Kaitan Desentralisasi Fiskal dengan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan
Dari penelusuran tinjauan pustaka didapatkan pemahaman tentang konsep
desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal memberi eksensi kebebasan berinovasi dan
berkreasi kepada pemerintah daerah dalam mengoptimalkan perannya sebagai
pelaksana fungsi-fungsi inisiator, fasilitator dan regulator dalam mengelola anggaran
pendapatan belanja daerah baik dari sisi peneriman maupun pengeluaran untuk
meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan di daerahnya.
Kaitan desentralisasi fiskal dengan ketahanan pangan dan kemiskinan dapat
dijelaskan dari beberapa teori sebagaimana yang dikatakan oleh (Pogue and Squant,
1976; Lin and Liu, 2000; Roy, 1999 ; Rao, 2000; Smoke, 2001; Ebel and Yilmaz,
2002) bahwa desentralisasi fiskal membuat pemerintah lebih responsif terhadap
aspirasi dan preferensi kebutuhan masyarakat dibanding dengan pemerintah yang
terpusat. Hipotesis serupa juga disampaikan oleh Tiebout, yang dikenal dengan
Tiebout Hypotesis yaitu untuk barang publik yang memungkinkan perbedaan
permintaan antar daerah maka efisiensi alokasi sumber daya akan lebih baik jika
produksi barang tersebut dilakukan secara terdesentralistik (Stiglitz, 2000).
Selanjutnya dikatakan desentralisasi fiskal berhubungan dengan perumusan
kewenangan atas sumber- sumber dana yang ada atau akses terhadap dana transfer
dan pembuatan berbagai keputusan baik yang menyangkut pengeluaran rutin maupun
pengeluaran investasi/ pembangunan (Braun and Grote, 2002). Transfer fiskal
merupakan inti dari suatu hubungan fiskal antar pemerintahan dan memiliki peranan
penting dan menentukan dalam mendukung program desentralisasi fiskal, karena
pengeluaran pemerintah daerah dua per tiganya merupakan dana transfer dari
76
pemerintah pusat. Dana transfer berupa dana block grant akan memberikan pengaruh
yang lebih efisien terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dibanding dengan
dana transfer berupa spesific grant (Stiglitz, 2000; Simanjuntak, 2001). Pada masa
sebelum desentralisasi program bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
sebagian besar dilakukan dalam bentuk spesific grant, dimana penentuan alokasi
anggaran sudah ditentukan dari pemerintah pusat dengan format yang sangat rigid.
Dengan desentralisasi pola penyaluran bantuan pemerintah pusat berubah menjadi
bentuk block grant, bentuk block grant dalam kerangka desentralisasi fiskal berupa
Dana Alokasi Umum (DAU)(Departemen Dalam Negeri, 2002b; Simanjuntak, 2001).
Dampak desentralisasi fiskal terhadap kesejahteraan dieksensikan pada
dampak pola penyaluran dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah
untuk pembelanjaan barang publik dalam upaya peningkatan kesejahteraan, karena
dua per tiga dari sumber dana daerah adalah dana transfer dari pemerintah pusat yang
pola penyalurannya mengalami perubahan dari pola spesific grant menjadi block
grant pada masa desentralisasi fiskal (Simanjuntak, 2001).
Diasumsikan ada dua pola penyaluran dana bantuan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah yaitu : (1) dalam bentuk spesific grant yang
mempresentasikan kondisi sebelum desentralisasi fiskal, dan (2) dalam bentuk block
grant yang mempresentasikan kondisi masa desentralisasi fiskal. Dari dua pola
penyaluran dana transfer ini akan dianalisis pola penyaluran mana yang paling efisien
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pola penyaluran spesific grant
menggeser garis anggaran melalui proses efek substitusi karena bentuk bantuan sudah
rigid, sedang pola block grant menggeser garis anggaran melalui proses efek
pendapatan.

77


Gambar 5. Dampak Pola Penyaluran Dana Bantuan terhadap Tingkat Kesejahteraan
Sumber : Stiglitz, 2000.

Bagaimana dan berapa besar pengaruh desentralisasi fiskal terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat diilustrasikan pada Gambar 5.Garis BB
menunjukkan garis anggaran masyarakat sebelum adanya bantuan dana transfer dari
pemerintah pusat kepada pemerintah lokal dan keseimbangan terjadi pada titik E dan
anggaran pengeluaran kesejahteraan untuk belanja barang publik sebesar W. Adanya
penyaluran dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah lokal dengan pola
bantuan spesific grant untuk pembelanjaan barang publik, maka akan menggeser
garis anggaran masyarakat menjadi BB. Garis anggaran menjadi lebih landai karena
harga barang publik menjadi relatif lebih murah daripada barang privat.
Keseimbangan terjadi pada titik E* dan pengeluaran anggaran kesejahteraan untuk
belanja barang publik pada titik W*. Tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat
yang ditunjukkan oleh pergeseran kurva indiferent dari titik E ke titik E* yang lebih

78
tinggi. Pola bantuan spesific grant memberikan pengaruh pada harga barang publik
yang relatif lebih murah dan menggeser garis anggaran melalui proses efek substitusi.
Apabila pola bantuan dari pemerintah pusat berupa block grant maka akan
menggeser garis anggaran melalui proses efek pendapatan, yaitu garis anggaran
slopenya bergeser sejajar dengan garis anggaran awal dan bergeser kekanan sampai
menyinggung kurva indiferent yang sama dengan kurva indiferen setelah subsidi atau
pada tingkat kesejahteraan yang sama. Keseimbangan tercapai pada titik E** dan
pengeluaran anggaran kesejahteraan untuk belanja barang publik sebesar W**. Hal
ini menunjukkan pada pola bantuan block grant untuk mencapai tingkat kesejahteraan
yang sama dibutuhkan pengeluaran anggaran yang lebih rendah dibandingkan dengan
pola bantuan spesific grant. Hal ini menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal
memberi dampak yang relatif lebih efisien dalam mencapi kesejahteraan masyarakat
yaitu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan

3.1.2.Teori Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Pertumbuhan ekonomi daerah pada dasarnya menggunakan konsep-konsep
pertumbuhan ekonomi secara agregat. Perbedaan pokok antara analisis pertumbuhan
ekonomi nasional dengan pertumbuhan ekonomi daerah menurut Ricardson (2001)
adalah titik berat dalam analisis perpindahan faktor. Analisis untuk suatu negara dapat
diasumsikan dengan perekonomian tertutup, namun untuk daerah asumsi tersebut
tidak berlaku. Daerah bersifat terbuka, karena kemungkinan masuk dan keluarnya
arus perpindahan tenaga kerja dan modal sangat besar. Hal ini memungkinkan
terjadinya pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan
ekonomi nasional dan sebaliknya.

79
Konsep yang paling sering digunakan untuk menggambarkan pendapatan
daerah adalah produk domestik regional bruto (PDRB) yaitu nilai tambah bruto atau
gross value added ( output dikurangi intermediate cost) dari seluruh sektor
perekonomian di suatu daerah. Pada tingkat nasional pertumbuhan ekonomi diukur
dari laju nilai produk domestik bruto (PDB) dan pada daerah merupakan laju dari nilai
produk domestik regional bruto (PDRB) yang merupakan ukuran dasar dari
penampilan performansi perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa. Nilai
PDRB suatu daerah merupakan penjumlahan dari PDRB beberapa sektor
perekonomian yang ada pada daerah tersebut. Sektor perekonomian tersebut
diantaranya adalah sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, industri
pengolahan, listrik gas dan air bersih, kontruksi dan bangunan, perdagangan hotel dan
restoran, pengangkutan dan telekomunikasi, bank dan jasa dan keuangan lainnya,
jasa-jasa dan lainnya.
Dari sisi penawaran agregat pertumbuhan ekonomi daerah didasarkan pada
pendekatan fungsi produksi agregat yang merupakan fungsi dari teknologi, kapital
(modal fisik dan finansial) dan tenaga kerja (Dornbusch and Fischer,1989).
Berdasarkan teori pertumbuhan baru/ endogenous (Todaro, 2000), pertumbuhan
output dipengaruhi oleh teknologi, kapital dan modal manusia yang menyatu dengan
ilmu pengetahuannya. Secara matematis dapat dirumuskan yaitu :
Y(t) = T(t) K(t) L(t).................................................................................(3.1)
dimana :
Y = tingkat output daerah (PDRB)
T = tingkat teknologi
K = kapital/ modal fisik dan finansial
L = modal manusia beserta ilmu pengetahuan yang dikuasai

80
3.1.3. Teori Distribusi Pendapatan
Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi
pendapatan yang keduanya digunakan untuk berbagai keperluan kajian kuantitatif dan
analisis kualitatif. Kedua ukuran tersebut adalah : (1) ukuran distribusi, yaitu besar
atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang, dan (2)
distribusi fungsional atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi (Todaro,
2000).
Bagian pendapatan masing-masing orang (personal distribution of income) atau
distribusi ukuran pendapatan merupakan indikator yang paling sering digunakan oleh
para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah penghasilan yang
diterima oleh setiap individu atau rumah tangga tanpa mempersoalkan cara
mendapatkan penghasilan tersebut apakah yang satu dengan cara membanting tulang
dan yang lain hanya dengan bersantai tidak dipersoalkan. Para ekonom
mengelompokkan masing-masing individu tersebut semata berdasarkan pendapatan
yang diterima, kemudian membagi total populasi menjadi sejumlah kelompok atau
ukuran berdasarkan besaran nominal. Biasanya populasi dibagi lima kelompok yang
biasa disebut kuintil atau sepuluh kelompok atau desil sesuai dengan tingkat
pendapatan mereka, kemudian menetapkan proporsi yang diterima masing-masing
kelompok. Kemudian menghitung berapa persen dari pendapatan nasional yang
diterima oleh masing-masing kelompok. Dari perhitungan tersebut langsung dapat
memperkirakan tingkat pemerataan atau tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di
masyarakat atau negara. Indikator yang memperlihatkan tingkat ketimpangan atau
pemerataan distribusi pendapatan diperoleh dari perbandingan antara pendapatan yang
diterima oleh 40 persen anggota kelompok bawah yang mewakili lapisan penduduk

81
termiskin dan 20 persen anggota kelompok teratas yaitu yang mewakili lapisan
penduduk terkaya.
Metoda lain yang dipakai menganalisis pendapatan perorangan adalah dengan
menggunakan kurva Lorenz. J umlah penerimaan pendapatan dinyatakan pada sumbu
vertikal, tidak dalam arti yang absolut (satuan numerik), melainkan dalam persentase
kumulatif. Sumbu horisontal menyatakan bagian dari total pendapatan yang diterima
oleh masing-masing persentase jumlah (kelompok) penduduk. Kedua sumbu yaitu
vertikal dan horisontal sama panjangnya dan secara keseluruhan berbentuk segi
empat yang dibelah oleh sebuah diagonal lurus yang ditarik dari titik nol pada sudut
kiri bawah menuju ke sudut kanan atas. Setiap titik yang terdapat pada garis diagonal
melambangkan persentase jumlah penerimanya (persentase penduduk yang menerima
pendapatan terhadap total penduduk atau populasi). Persentase pendapatan yang
ditunjukkan oleh titik-titik di sepanjang garis diagonal tersebut persis sama dengan
persentase penduduk penerimanya terhadap total penduduk. Kurva Lorenz
memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase jumlah penduduk
penerima pendapatan tertentu dari total penduduk dengan persentase pendapatan yang
benar-benar mereka peroleh dari total pendapatan selama waktu tertentu.
Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal yang merupakan garis
pemerataan sempurna, maka semakin timpang distribusi pendapatan yang ada. Kasus
ekstrem dari ketidakmerataan yang sempurna yaitu apabila hanya seorang saja yang
menerima seluruh pendapatan nasional, sementara orang-orang lain sama sekali tidak
menerima yang dalam hal ini diperlihatkan oleh kurva Lorenz yang berimpit dengan
sumbu horisontal sebelah bawah dan sumbu vertikal di sebelah kanan. Semua kurva
Lorenz dari setiap negara akan berada di sebelah kanan garis diagonal. Semakin
melengkung kurva Lorenz semakin tidak merata distribusi pendapatannya.

82
Pengukuran tingkat ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan yang relatif
sangat sederhana pada suatu negara dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang
yang terletak antara garis diagonal pada korva Lorenz dibagi dengan luas separuh
bidang dimana kurva Lorenz itu berada. Rasio inilah yang dikenal sebagai Rasio
Kosentrasi Gini (gini cocentration ratio) yang sering disingkat dengan koefisien Gini.
Koefisien gini adalah ukuran ketidakmerataan pendapatan agregat yang angkanya
berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna).
Secara matematika rasio Gini dapat dihitung dengan rumus :
n
G = 1 - (X i + 1 Xi) ( Yi + Y i+l )
1

n
G = 1 - fi ( Yi + Y i+l ) ; 0 < G < 1

1

dimana :
G = Rasio Gini
fi = Proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas i
Xi = Proporsi jumlah kumulatip rumah tangga dalam kelas i
Yi = Proporsi jumlah kumulatip pendapatan dalam kelas - i

Indikator distribusi pendapatan kedua adalah distribusi fungsional atau
distribusi pangsa pendapatan per faktor. Indikator ini berfokus pada bagian dari
pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah, tenaga
kerja dan modal). Teori distribusi fungsionil ini pada dasarnya mempersoalkan
persentase penghasilan tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit-unit usaha
atau faktor produksi yang terpisah secara individual. Dengan membandingkannya
dengan persentase total pendapatan yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga dan
laba masing-masing merupakan perolehan dari tanah, uang simpanan dan modal fisik.

83
3.1.4. Teori Permintaan Faktor Produksi dan Penawaran Pangan
Teori produksi bertumpu pada fungsi produksi, yaitu suatu fungsi yang
menggambarkan hubungan teknis antara faktor-faktor produksi (input) dan hasil
produksinya (output). Fungsi produksi dapat menggambarkan teknologi yang
digunakan oleh suatu perusahaan, suatu industri, atau suatu perekonomian secara
keseluruhan.
Pada pasar produk dan pasar faktor produksi yang bersaing sempurna, fungsi
penawaran merupakan kuantitas produk yang ditawarkan sebagai fungsi dari harga
produk dan harga faktor. Suatu fungsi penawaran dapat diturunkan dari fungsi
keuntungan yang dimaksimumkan. Fungsi keuntungan akan maksimum jika
memenuhi dua syarat yaitu syarat orde satu (first order condition) dan syarat orde dua
(second order condition). Menurut syarat orde satu, fungsi keuntungan akan
maksimum jika turunan pertama (first partial derivative) dari fungsi tersebut sama
dengan nol, berarti nilai produk marjinal masing-masing faktor harus sama dengan
harga masing-masing faktor yang digunakan. Sedangkan syarat orde dua terpenuhi
jika turunan kedua dari fungsi tersebut lebih kecil dari nol, atau untuk kasus n-faktor
adalah matrik Hessian-nya harus bernilai negative semidefinite atau principal minor
determinan matrik Hessian-nya mempunyai tanda yang bergantian atau naturally
ordered principal minor determinant berganti tanda (Hartono, 1999).
Untuk menyederhanakan persoalan, dimisalkan bahwa pada tingkat teknologi
tertentu, fungsi produksi pangan (beras) dapat dirumuskan sebagai berikut :
Q = q (L,F, Z) .......(3.2)
dimana :
Q = jumlah produksi pangan
L = jumlah tenaga kerja
F = jumlah pupuk yang digunakan
Z = jumlah pemakaian faktor-faktor produksi lainnya

84
J ika diketahui bahwa harga faktor produksi tenaga kerja, pupuk dan faktor-
faktor produksi lainnya masing-masing adalah P
L
, P
F
, P
Z
, maka persamaan biaya total
dapat dirumuskan sebagai berikut :
C = P
L
*L +P
F
*F +P
Z
*Z +C
0
.........(3.3)
dimana C adalah biaya total dan C
0
adalah biaya tetap.
Keuntungan adalah merupakan selisih antara penerimaan dan biaya-biaya.
Dengan denikian fungsi keuntungan produksi pangan dapat dirumuskan sebagai
berikut (Herderson dan Quandt, 1980) :
= P
Q
*Q C
atau = P
Q
*Q (L,F,Z) (P
L
*L +P
F
*F +P
Z
*Z +C
0
) .(3.4)
dimana adalah keuntungan dan P
Q
adalah harga pangan.
J ika produsen pangan diasumsikan rasional, maka dia akan berproduksi pada
tingkat yang memberikan keuntungan maksimum. Fungsi keuntungan (3.4) akan
maksimum jika turunan pertama dari fungsi tersebut sama dengan nol dan turunan
kedua lebih kecil dari nol. Turunan parsial pertama dari fungsi (3.4) terhadap variabel
L, F, dan Z adalah :
/ L = P
Q
*L P
L
= 0 atau P
Q
*L =P
L
.......(3.5)
/ F = P
Q
*F P
F
= 0 atau P
Q
*F =P
F
...........(3.6)
/ Z = P
Q
*Z P
Z
= 0 atau P
Q
*F =P
Z
...........(3.7)
dimana L, F, Z masing-masing adalah produk marjinal dari faktor-faktor
tenaga kerja (L), pupuk (F), dan faktor-faktor lainnya (Z). J adi dapat dilihat bahwa
menurut syarat orde satu, keuntungan akan maksimum jika pada setiap tingkat
produksi pangan, nilai produk marjinal masing-masing faktor sama dengan harga
yang harus dibayar untuk memperoleh faktor-faktor tersebut.

85
Dari fungsi (3.5), (3.6), dan (3.7) diketahui bahwa faktor-faktor produksi
(L,F,Z) merupakan peubah endogen, sedangkan harga pangan (P
Q
) dan harga faktor-
faktor (P
L
, P
F
,P
Z
) merupakan peubah eksogen. Oleh karena itu, fungsi permintaan
faktor dapat dirumuskan sebagai berikut :
L
D
= L (P
Q
, P
L
, P
F
, P
Z
) .........(3.8)
F
D
= F (P
Q
, P
F
, P
L
, P
Z
) ..........(3.9)
Z
D
= L (P
Q
, P
Z
, P
L
, P
F
) ......(3.10)
dimana L
D
, F
D
, dan Z
D
masing-masing merupakan permintaan akan faktor tenaga
kerja, pupuk dan faktor-faktor lainnya.
Dengan mensubstitusikan fungsi permintaan faktor (3.8), (3.9), dan (3.10) ke
fungsi produksi (3.2), maka fungsi penawaran pangan dapat dirumuskan sebagai
berikut :
Q
S
= f (P
Q
, P
L
, P
F
, P
Z
) .........(3.11)
J adi penawaran pangan merupakan fungsi dari harga pangan (P
Q
) dan harga faktor-
faktor produksi (P
L
, P
F
, P
Z
).
Akan tetapi penawaran suatu komoditi bukan hanya ditentukan oleh harga
komoditi tersebut dan harga-harga faktor produksi. Beberapa peubah penting lain
yang mempengaruhi penawaran komoditi adalah harga komoditi lain, kebijakan
pemerintah, tingkat teknologi, pajak, subsidi, dan keadaan alam.
Teori penawaran bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang
mempengaruhi penawaran. Penawaran suatu komoditi baik barang maupun jasa
adalah jumlah komoditi yang ditawarkan kepada konsumen pada suatu pasar dan pada
tingkat harga serta waktu tertentu.
J umlah yang ditawarkan tidak selalu sama dengan jumlah komoditi yang
benar-benar dijual oleh produsen. J umlah yang ditawarkan menunjuk pada penjualan

86
yang terus-menerus yang disebut konsep flow. J umlah barang yang ditawarkan pada
suatu tahun tertentu tidak sama dengan jumlah barang yang diproduksi pada tahun
tersebut. Sumber penawaran suatu komoditi terdiri dari stok barang yang disimpan
pada waktu sebelumnya dan produksi pada waktu tertentu, yang keduanya
mempengaruhi penawaran. Sehingga jumlah produk yang ditawarkan pada tahun
tertentu sama dengan jumlah produksi pada tahun tersebut ditambah dengan jumlah
stok produk tersebut pada tahun sebelumnya ( Handerson and Quandt, 1980).

3.1.5. Teori Permintaan Pangan
Permintaan suatu komoditi adalah jumlah komoditi yang dibeli konsumen
dengan harga, tempat dan waktu tertentu. Permintaan akan komoditi tertentu
dipengaruhi oleh banyak faktor secara simultan (Koutsoyiannis, 1977). Antara harga
dan jumlah komoditi yang diminta atau yang ingin dibeli oleh konsumen, terdapat
hubungan yang negatif, dalam arti jika harganya semakin tinggi maka jumlah
komoditi yang diminta atau yang ingin dibeli akan semakin sedikit, dan demikian pula
pada keadaan sebaliknya.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap permintaan suatu komoditi antara
lain adalah : harga komoditi tersebut, harga komoditi substitusi, pendapatan
konsumen, selera, distribusi pendapatan, jumlah penduduk, kesejahteraan konsumen,
kredit, dan kebijaksanaan pemerintah.
Dalam pasar persaingan sempurna, perubahan harga komoditi ceteris paribus
akan menyebabkan perubahan jumlah komoditi yang diminta atau terjadinya
pergerakan (movement) sepanjang kurva permintaan. Sedangkan perubahan harga
yang disebabkan faktor-faktor (selain harga komoditi tersebut) akan mengakibatkan
kurva permintaan mengalami pergeseran (shift).

87
Pada hakekatnya permintaan konsumen terhadap suatu jenis barang
mencerminkan posisi keseimbangan konsumsi yang telah mempertimbangkan
berbagai tujuan untuk mencapai utilitas maksimum dengan jumlah anggaran belanja
(pendapatan) yang tertentu. Seorang konsumen dikatakan berada dalam posisi
keseimbangan apabila pendapatannya telah dialokasikan pada pembelian barang-
barang yang memberikan utilitas maksimum. Dengan demikian titik tolak teori
permintaan adalah fungsi utilitas dimana fungsi permintaan dapat diturunkan dari
fungsi utilitas.
Untuk menyederhanakan persoalan, dimisalkan fungsi utilitas seorang
konsumen pangan (beras) adalah :
U = U ( Q, Qs ) ........(3.12)
dimana :
U = total utilitas dari mengkonsumsi pangan (beras)
Q = jumlah konsumsi pangan
Qs = jumlah konsumsi barang lain
Bila harga beras adalah P
Q
dan harga barang lainnya adalah P
S
maka alokasi
pendapatan tertentu (I
0
) dari konsumen untuk kedua jenis barang tersebut adalah :
I
0
= P
Q
* Q + P
S
* QS (3.13)
Berdasarkan aksioma rasionalitas, konsumen akan berusaha untuk
memaksimumkan Q dan Qs sedemikian rupa sehingga dengan pendapatan sebesar Io
dia memperoleh utilitas maksimum. Dengan demikian pokok persoalannya adalah
memaksimumkan fungsi Utilitas (3.12 dengan kendala pada persamaan (3.13). J adi
fungsi yang akan dimaksimumkan adalah :
L =U (Q, Qs) + (I
0
P
Q
*Q P
S
*Qs) (3.14)
Dimana adalah Lagrange Multiplier.

88
Fungsi (3.14) maksimum jika telah memenuhi kondisi syarat pertama untuk
maksimum (first order condition for a maximum) yaitu dengan mencari turunan
(derivative) pertama dengan menurunkan L terhadap variabel Q, Qs, dan .
L/Q =Q - P*Q
Q
=0 atau PP
Q
=Q (3.15)
L/Qs =Qs - PP
S
=0 atau P
S
P = Qs (3.16)
L/ =I
0
P
Q
*Q P
S
*Qs =0 (3.17)
Dengan menyelesaikan persamaan (3.15 dan (3.16) secara serentak diperoleh :
= Q/P
Q
=Qs/ P
S
(3.18)
dimana Q dan Qs masing-masing adalah utilitas marjinal dari barang Q dan Qs.
Persamaan (3.18) dikenal sebagai Equimarginal Principle dari teori pemaksimuman
utilitas yang berarti konsumen akan berada pada posisi keseimbangan jika rasio antara
utilitas marjinal dan harga masing-masing barang yang dikonsumsi adalah sama dan
harus sama dengan utilitas marjinal pendapatan.
J adi fungsi permintaan terhadap suatu barang konsumsi, dalam hal ini adalah
pangan (beras) dapat dirumuskan sebagai berikut :
Q = f ( P
Q
, P
S
, I ) ........(3.19)
dimana P
Q
, P
S
, I masing-masing adalah harga barang tersebut, harga barang
substitusi, dan pendapatan konsumen ( Handerson and Quandt, 1980).

3.1.6. Indikator Kemiskinan
Kriteria kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kriteria
kemiskinan menurut BPS yang menggunakan standar kebutuhan dasar, batas
kemiskinan adalah besarnya pengeluaran dalam rupiah yang dapat memenuhi
kebutuhan dasar berupa kebutuhan makanan sebesar 2100 kkal/ kapita/ hari dan
kebutuhan non makanan lainnya. Indikator yang digunakan dalam mengukur

89
kemiskinan adalah jumlah penduduk atau proporsi penduduk yang pengeluaran atau
pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan.

3.1.7. Indikator Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan dalam penelitian ini direfleksikan pada kondisi tercapainya
ketahanan pangan sampai tingkat individu yang tercermin dari status gizi masyarakat
yang diukur dengan prevalensi gizi buruk, angka kematian bayi dan umur harapan
hidup. Untuk tercapainya ketahanan pangan pada tingkat mikro/ individu tersebut
yang merupakan syarat kecukupan dari indikator ketahanan pangan maka perlu
diketahui syarat keharusan dari kondisi ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan
secara agregat daerah yang diukur dengan produksi gabah dan beras daerah, rata-rata
tingkat konsumsi beras, energi, protein daerah, juga perlu diketahui faktor daya beli
yang dilihat dari pendapatan per kapita daerah, dan pendapatan sektor pertanian yang
merupakan daya beli dari kelompok penduduk dengan jumlah penduduk miskin besar
yang juga bertindak sebagai kelompok penduduk produsen bahan pangan.

3.2. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian
Desentralisasi fiskal memberi implikasi pada pemerintah daerah berupa
keleluasaan untuk mengatur penerimaan dan pengeluarannya sesuai dengan prioritas
pembangunan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini pemerintah daerah diasumsikan
lebih tahu dalam menggali potensi-potensi daerah untuk meningkatkan
penerimaannya. Selain itu pemerintah daerah juga diasumsikan lebih bisa secara
efisien dan efektif dalam membiayai pengeluarannya sesuai dengan prioritas
pembangunan daerah yang telah ditetapkan untuk tercapainya kesejahteraan
masyarakatnya karena pemerintah daerah lebih dekat dengan rakyat.

90
Dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan
terjadi melalui perubahan penerimaan daerah dan perubahan alokasi anggaran yang
berpengaruh pada kinerja fiskal dan kinerja perekonomian daerah yang arahnya
dipengaruhi oleh prioritas pembangunan daerah melalui alokasi dana pembangunan
daerah. Dana alokasi umum yang bersifat block grant akan memberi keleluasaan
bagi pemerintah daerah untuk mengalokasikan pengeluaran pembangunan pada
sektor- sektor yang menjadi prioritas pembangunan daerah.
Desentralisasi fiskal dalam penelitian ini diterjemahkan sebagai kebebasan
berinovasi dan berkreasi dari pemerintah daerah sebagai pelaksana fungsi inisiator,
fasilitator dan regulator dalam mengoptimalkan perannya pada lingkup payung UU
No 22 dan UU No 25 Tahun 1999 serta UU No 32 dan UU No 33 Tahun 2004 serta
UU No 7 Tahun 1976 dalam mengelola anggaran belanja daerah untuk meningkatkan
ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan di daerahnya. Ketahanan pangan yang
merupakan suatu sistem dari beberapa subsistem, maka optimalisasi peran pemerintah
sebagai pelaksana fungsi inisiator, fasilitator dan regulator dalam implementasi
desentralisasi fiskal dilakukan pada semua subsistem dari sistem ketahanan pangan.
Sehingga indikator ketahanan pangan pada penelitian ini diukur dari semua subsistem
dari ketahanan pangan, yaitu mulai dari peningkatan produksi gabah dan beras yang
memproksi ketersediaan pangan, pendapatan sektor pertanian dan pendapatan per
kapita yang memproksi daya beli, rata-rata tingkat konsumsi beras, energi, dan protein
yang memproksi tingkat akses pada pangan secara agregat sampai pada indikator
akses pangan secara individu dengan melihat status gizi masyarakat yang diukur
dengan prevalensi gizi kurang dan buruk, angka kematian bayi dan umur harapan
hidup. Kerangka pemikiran konseptual penelitian secara rinci tersaji pada Gambar 6.


91
Fiskal Daerah :
-Penerimaan :
- PAD
- DAU
- Lainnya





Pengeluaran Daerah:
-Rutin
-Pembangunan
-.Pertanian
- Infrastruktur
- Pendidikan
- Kesehatan
- Lainnya
Produksi Pangan
Harga Pangan
Konsumsi Pangan
Ketahanan Pangan Kemiskinan
UU No.22Thn 1999
UU No.25Thn 1999
dan
UU No 32Th 2004
UU No 33 Th 2004
PDRB :
-Pertanian
-NonPertanian
TENAGA KERJ A
-Pertanian
-NonPertanian

PDRB/KAPIT
A
PENDAPATAN
PERTANIAN


Gambar 6. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian

3.3. Hipotesis
Hipotesis mayor dalam penelitian ini adalah desentralisasi fiskal berpengaruh
pada kemiskinan dan ketahanan pangan di Wilayah Provinsi J awa Barat. Dalam
membangun model keterkaitan antar blok di dalam satu sistem persamaan simultan
harus didasarkan pada hubungan sebab akibat yang didasarkan pada pemikiran logika
dari fenomena yang terjadi dan teori ekonomi. Hipotesis minor yang menghubungkan
keterkaitan antar blok dalam sistem persamaan penelitian adalah :

92
1. Pajak daerah dipengaruhi oleh kinerja perekonomian daerah dan kondisi
kemiskinan daerah, akan berpengaruh pada kinerja fiskal daerah melalui PAD
dan penerimaan daerah
2. Kinerja fiskal daerah berpengaruh pada kinerja perekonomian daerah melalui
pembiayaan pada pengeluaran pembangunan. Pengeluaran pembangunan ke
sektor pertanian berpengaruh pada PDRB sektor pertanian, produksi pangan
(beras) dan pendapatan sektor pertanian
3. Kinerja perekonomian daerah berpengaruh pada ketahanan pangan dan kondisi
kemiskinan daerah melalui penyerapan tenaga kerja, peningkatan PDRB, produksi
pangan (beras)
4. Kemiskinan daerah berpengaruh pada ketahanan pangan melalui daya beli,
penduduk miskin adalah penduduk yang mempunyai daya beli rendah sehingga
merupakan penduduk mempunyai resiko rawan pangan tinggi.
5. Kondisi kemiskinan dan ketahanan pangan daerah berpengaruh pada kinerja fiskal
daerah melalui penerimaan pajak daerah
Hipotesis secara keseluruhan dari model sistem persamaan dalam penelitian
tercermin dari tanda parameter pada setiap persamaan struktural pada model
penelitian.








IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Wilayah Provinsi J awa Barat. Pemilihan lokasi
penelitian dilaksanakan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa daerah
tersebut merupakan sentra produksi beras terbesar di Indonesia. Dimana beras sampai
sekarang masih merupakan makanan pokok sebagian besar bangsa Indonesia. Dan
usahatani padi juga masih merupakan tempat dimana masyarakat Indonesia khususnya
pada wilayah J awa Barat menggantungkan hidupnya sebagai mata pencarian.Daerah kajian
sebagai unit analisis adalah semua kabupaten di wilayah Provinsi J awa Barat yang tidak
mengalami perubahan / pemekaran pada periode waktu analisis. Pengambilan data
dilaksanakan mulai bulan Maret 2006 sampai dengan bulan Desember 2006.

4.2. Data dan Sumber Data
J enis data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang diperoleh
dari BPS Pusat J akarta, Provinsi dan Kabupaten di Wilayah J awa Barat, Departemen
Keuangan, Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, Bulog, Dewan Ketahanan
Pangan,Bapeda J awa Barat, Pemda Kabupaten/ Kota dan instansi terkait lainnya.

4.3. Metode Analisis
Untuk menjawab tujuan pertama dilakukan analisis deskriptif baik secara kualitatif
maupun secara kuantitatif dengan melakukan kajian secara makro regional terhadap kinerja
fiskal, kemiskinan dan ketahanan pangan di J awa Barat.
94
Tujuan kedua dan ketiga digunakan pendekatan model ekonometrika dengan
persamaan sistem simultan dengan melakukan analisis struktural, evaluasi kebijakan dan
non kebijakan yang dilakukan dengan analisis simulasi historis periode sebelum
desentralisasi ( tahun 1995 2000) dan periode desentralisasi fiskal (tahun 2001 2005).

4.4.Konstruksi Model Ekonometrika
Model ekonomi daerah dibangun dengan sistem persamaan simultan dinamis yang
dikontruksi menjadi empat blok yaitu blok fiskal daerah, blok perekonomian daerah, blok
kemiskinan dan blok ketahanan pangan. Blok fiskal menggambarkan perilaku fiskal daerah
yang terdiri dari penerimaan dan pengeluaran daerah, perilaku fiskal akan menghasilkan
kinerja fiskal daerah yang selanjutkan akan mempempengaruhi kinerja perekomian daerah
berupa penyerapan tenaga kerja, PDRB dan PDRB per kapita. Kinerja perekonomian akan
mempengaruhi kondisi kemiskinan daerah dan kondisi kemiskinan akan mempengaruhi
kinerja ketahanan pangan. Selanjutnya kondisi kemiskinan dan kinerja ketahanan pangan
daerah akan mempengaruhi kinerja fiskal, karena kapasitas fiskal daerah akan dipengaruhi
oleh kondisi masyarakatnya. Masyarakat dengan daya beli rendah yang dicerminkan
tingginya tingkat kemiskinan dan rendahnya kinerja ketahanan pangan akan menghasilkan
potensi pajak daerah yang rendah sehingga akan menghasilkan kinerja fiskal yang rendah.
Dalam implementasi desentralisasi fiskal akan dikaji bagaimana pemerintah
daerah mengoptimalkan peran sebagai pelaksana fungsi inisiator, fasilitator dan regulator
di daerah sehingga menciptakan kondisi yang bisa meningkatkan ketahanan pangan dan
menurunkan kemiskinan di daerahnya. Optimalisasi peran pemerintah dilakukan melalui
analisis simulasi kebijakan dan faktor eksternal, diharapkan dari analisis ini akan

95
didapatkan alternatif-alternatif kebijakan dalam meningkatkan ketahanan pangan dan
menurunkan kemiskinan di daerah. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa pool
data yaitu data cross section pada seluruh kabupaten yang tidak mengalami perubahan
wilayah di Wilayah Provinsi J awa Barat dan time series tahun 1995 sampai dengan tahun
2005. Tahapan membangun model analisis ekonometrika tersaji pada Gambar 7.

4.5. Spesifikasi Model Ekonometrika
Ketahanan pangan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tercapainya kondisi
ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dan individu yang tercermin pada status gizi
masyarakat yang diukur dengan angka prevalensi gizi buruk, angka kematian bayi dan
umur harapan hidup. Untuk mencapai kondisi ketahanan pangan di tingkat mikro /
individu, maka kondisi ketahanan pangan makro merupakan syarat keharusan yaitu berupa
produksi pangan khususnya gabah dan beras sampai pada rata-rata tingkat konsumsi beras,
energi dan protein serta tingkat pendapatan per kapita dan pendapatan petani yang
menggambarkan daya beli masyarakat.
Model hipotesis secara keseluruhan dijelaskan dalam persamaan-persamaan:
A. Blok Fiskal
1. Persamaan Penerimaan Pemerintah Daerah
RevDae = PAD +DBgHsl +DAlok + RevDaeL ...(1)
2. Persamaan PAD
PAD =PjkDae +Rtrbs +BUMD +PADL ............(2)
3. Persamaan Pajak Daerah
PjkDae = a
0
+a
1
PDRB +a
2
J mlTmis +a
3
J mlMis +a
4
DMDF +
a
5
LpjkDae +e
1..........................................................................................................................................................
(3)
Tanda koefisien yang diharapkan adalah : a
1
, a
2
, a
4, a5
>0; a
3
<0

96








TEORI

Peran Pemerintah
Kebijakan Fikal
Desentralisasi Fiskal
PDRB & Prtumbuhan Ekonomi
Distribusi Pendapatan
Kemiskinan
Ketahanan Pangan
Produksi dan Penawaran
Konsumsi

TUJUAN
PENELITIAN
KERANGKA
PEMIKIRAN
- Konseptual

EMPIRIS
Desentralisasi Fiskal dan
Perekonomian Daerah (Pakasi,
2005)
Kebijakan Makro Terhadap
Ketahanan Pangan Nasional
(J ayawinata, 2005)
Pembangunan Pertanian dan
Perdesaan Terhadap
Kemiskinan dan Pengnggrn
(Yudhoyono, 2004)

LATAR BELAKANG DAN PERMASALAHAN














PENDEKATAN
Model Ekonometrika Dampak Desentralisasi Fiskal
terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan
PEMILIHAN DAN SPESIFIKASI MODEL
1. Blok Fiskal Daerah
2. Blok PDRB
3. Blok Kemiskinan
4. Blok Ketahanan Pangan
Identifikasi Model
Overidentified
ESTIMASI MODEL
2-SLS ( Two-Stage Lease Squares )
EVALUASI (INTERPRETASI HASIL)
apriori, statistik, ekonometrika
VALIDASI MODEL
Uji statistik MSE, U-Theil
SIMULASI MODEL
- Analisis struktural
- Evaluasi kebijakan dan non kebijakan
(pendekatan historis)






Gambar 7. Tahapan Membangun Model Analisis Ekonometrika Penelitian

97
4. Persamaan Dana Alokasi Umum
DAlok = b
0
+b
1
J mlPdk +b
2
LuDae +b
3
J mlMis +b4 PAD +b5 DMDF
+b
6
LDAlok +e
2
...................................................................................(4)
Tanda koefisien yang diharapkan adalah : b
1
, b
2
, b
3,,
b
5,
b
6,
>0 ; b
4
<0
5. Persamaan Pengeluaran Rutin
PRutin = c
0
+c
1
J mlPeg +c
2
BljBrg +c
3
PAD +c
4
DAlok +c
5
DMDF
c
6
LPRutin +e
3
...............................................(5)
Tanda koefisien yang diharapkan adalah : c
1
, c
2
, c
3,
c
4,
c
5


>0
6. Pengeluaran Pembangunan
PPemb = PSekP +PsekLn......................................................................................(6)
7. Pengeluaran Pembangunan Sektor Lain
PSekLn = PSekT + PsekL ....................................................................................(7)
8. Persamaan Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian
PSekP = d
0
+d
1
Areal +d
2
DAlok +d
3
PAD +d
4
DMDF +
d
5
LPSekP +e
4............................................................................................................................................................
(8)
Tanda koefisien yang diharapkan adalah : d
1
, d
2
, d
3,
d
4
, d
5
>0
9. Persamaan Pengeluaran Pemerintah Daerah
GDae =PPemb +PRutin.......................................................................................(9)
10. Persamaan Kesenjangan Fiskal
KesFis = RevDae - GDae ................................................................................. .(10)
B. Blok Kinerja Perekonomian Daerah / Produk Domestik Regional Bruto
11. Persamaan PDRB Sektor Pertanian
PDRBP = e
0
+e
1
TKP +e
2
PSekP +e
3
DMDF +e
4
LPDRBP + e
5
..................(11)
Tanda koefisien yang diharapkan adalah : e
1
, e
2,
e
3
, e
4
>0
12. Persamaan PDRB Sektor Non-Pertanian
PDRBNP = f
0
+f
1
TKNP +f
2
PSekLn +f
3
PDRBP +f
4
DMDF +
f
5
LPDRBNP + e
6
.......................................................................................(12)
Tanda koefisien yang diharapkan adalah : f
1
, f
2,
f
3
, f
4,
f
5
>0
13. Persamaan Total PDRB
PDRB = PDRBP + PDRBNP.........................................................................(13)
14. Persamaan Pendapatan Per Kapita
IKAP = PDRB/J mlPdk........................................................................................(14)


98
C. Blok Ketahanan Pangan
15. Persamaan Produksi Gabah
ProdGab = g
0
+g
1
PGap +g
2
QPuk +g
3
TKP +g
4
PSekP +g
5
DMDF +
6
LProdGab +e
7
(15)
Tanda koefisien yang diharapkan adalah : g
1
, g
2,
g
3
, g
4,
g
5,
g
6
>0
16. Persamaan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian
TKP = h
0
+h
1
WTKP +h
2
AK +h
3
Areal
+
h
4
PSekP +h
5
LTKP
+e
8
.................................................................................................... (16)
Tanda koefisien yang diharapkan adalah : h
1,
h
2,
h
3,
h
4,
h
5
>0
17. Persamaan Penggunaan Pupuk
QPuk = i
0
+i
1
PPuk +i
2
PGab +i
3
Areal +i
4
DMDF
+
i
5
LQPuk + e
9
................(17)
Tanda koefisien yang diharapkan adalah : i
2,
i
3
, i
4,
i
5
>0 ; i
1
<0
18. Persamaan Harga Gabah
PGap =jo +j1 PPuk ++j2 WTKP +j3 PBrs +j4 PSekP +j5 LPGap +e
10
...(18)
Tanda koefisien yang diharapkan adalah :

j
1,
j
2,
j
3
, j
4
, j
5
>0
19. Persamaan Produksi Beras
ProdBrs = ProdGab * R ...............(19)
20. Persamaan Harga Beras
PBrs = k
0
+k
1
ProdBrs +k
2
PRutin +

k
3
CadBrs +k
4
LPBrs +e
11.............................
(20)
Tanda koefisien yang diharapkan adalah :

k
2,
k
4
>0 ; k
1
, k
3
<0
21. Persamaan Konsumsi Beras
ConBrs=l
0
+l
1
PBrs +l
2
IKAP+l
3
J mlMis+l
4
DMDF +l
5
LConBrs +e
12
.........(21)
Tanda koefisien yang diharapkan adalah : l
2,
l
4,
l
5
>0 ; l
1,
l
3
<0
22. Persamaan Konsumsi Energi
Consen =m
0
+m
1
Conbrs +m
2
IKAP +m
3
J mlMis +m
4
DMDF

+
m
5
LConsen +e
13.............................................................................................................................................
(22)
Tanda koefisien yang diharapkan adalah : m
l,
m
2,
m
4,
m
5
>0; m
3
<0
23. Persamaan Konsumsi Protein
Conprot = n
0
+n
1
Consen +n
2
IKAP +n
3
J mlMis +n
4
DMDF +
n
5
LConprot +
e
14........................................
(23)
Tanda koefisien yang diharapkan adalah : n
1,
n
2
,

n
4,
n
5
>0; n
3
<0

99

D. Blok Indikator Kemiskinan


24. Persamaan Income Per Capita Sektor Pertanian
IncPP = o
0
+o
1
ProdGab +o
2
TKP +o
3
PSekL +o
4
DMDF +o
5
LIncPP
+e
15
................................................................................................................... (24)
Tanda koefisien yang diharapkan adalah : o
1
, o
2,

,
o
4,
o
5
>0; o
3
<0

25. Persamaan J umlah Penduduk Miskin
J mlMis =p
0
+ p
1
IKAP +p
2
IncPP +p
3
DKesMis
+
p
4
PPemb +
p
5
J mlPdk +p
6
LJ mlMis +e
16......................................................................................................................
(25)
Tanda koefisien yang diharapkan adalah : p
5
, p
6
>0; p
1,
p
2,
p
3,
p
4
<0

E. Blok Outcome Ketahanan Pangan

26. Persamaan J umlah Anak Gizi Buruk
AGzBrk =q
0
+q
1
Conprot +q
2
IKAP +q
3
J mlMis

+q
4
J mlPsm +
q
5
DMDF +q
6
LAGzBrk+e
17 ................................................................................................................
(26)
Tanda koefisien yang diharapkan adalah :

q
1,
q
2,
q
4,
q
5
<0 ; q
3,
q
6


>0

27. Persamaan Angka Kematian Bayi
AKmtBy =r
0
+r
1
AgzBrk +r
2
IKAP +r
3
J mlMis +r
4
J mlBdn +r
5
J mlPsm
+r
6
DMDF +r
7
LAKmtBy + e
18 ............. ..............................................................................................
(27)
Tanda koefisien yang diharapkan adalah : :

r
1,
r
3,
r
7
> 0 ; r
2,
r
4,
r
5,
r
6
< 0

28. Persamaan Usia Harapan Hidup
UHHdp =s
0
+s
1
Conprot +s
2
AKMBY +
s
3
IKAP+
s
4
J mlMis +
s
5
DMDF
+
s
6
DPKes +s
7
DPPen +s
8
LUHHdp +e
19 .............................................................................. .....
(28)
Tanda koefisien yang diharapkan adalah : s
1
, s
3,
s
5
, s
6,
s
7,
s
7,
s
8
>0 ; s
2
, s
4
<0






100

Tabel 3. Keterangan Peubah Penelitian dan Satuannya

Peubah Keterangan Satuan
AgzBrk Angka Gizi Buruk Persen
AK Angkatan Kerja Ribu Orang
AkmBy Angka Kematian Bayi per 1000 Proses kelahiran J iwa
Areal Areal Tanam Padi Ha
BljBrg Belanja Barang Milyar rupiah
BUMD Laba BUMD Milyar rupiah
ConBrs Konsumsi Beras Kg/Kapita/ Th
Conprot Konsumsi Protein Gr/Kapita/ Hr
Consen Konsumsi Energi Kkal/ Kapita/Hr
Dalok Dana Alokasi Umum Milyar rupiah
DBgHsl Dana Bagihasil Milyar rupiah
DKes Dana Kesehatan Milyar rupiah
DPKsMis Dana Kesehatan Penduduk Miskin Ribu rupiah
DMDF Dummy Desentralisasi Fiskal 0/1 =DF
DPed Dana Pendidikan Milyar rupiah
GDae Pengeluaran Daerah Milyar rupiah
IKAP Pendapatan per Kapita J uta rupiah
IncPP Pendapatan Perkapita Sektor Pertanian Ribu rupiah
J mlBthrp J umlah Buta Hurup J iwa
J mlMis J umlah Penduduk Miskin Ribu jiwa
J mlPdk J umlah Penduduk Ribu jiwa
J mlPeg J umlah Pegawai Ribu J iwa
J mlPkm J umlah Puskesmas Buah
J MlSkl J umlah Sekolah Buah
J mlTkMds J umlah Tenaga Medis Ribu jiwa
J MlTMis J umlah Penduduk Tidak Miskin Ribu jiwa
KesFis Kesenjangan Fiskal Milyar rupiah
LAgzBrk Lag Angka Gizi Buruk Persen
LAkmBy Lag Angka Kematian Bayi J iwa
LConbrs Lag Konsumsi Beras Kg/Kapita/ Th
LConprot Lag Konsumsi Protein Gr/Kpt/Hr
LConsen Lag Konsumsi Energi Kkal/Kpt/Hr
LDAlok Lag Dana Alokasi Umum Milyar rupiah
LIncPP Lag Pendapatan Sektor Pertanian Ribu Rp
LJ mlMis Lag Jumlah Penduduk Miskin Ribu J iwa
LPBrs Lag Harga Beras Rp/Kg
LPDRBNP Lag PDRB Non Pertanian Milyar Rp
LPDRBP Lag PDRB Pertanian Milyar Rp
LPGap Lag Harga Gabah Rp/Kg
LPjkDae Lag Pajak Daerah Milyar Rp
LProdGab Lag Produksi Gabah Ton GKG
LPRutin Lag Pengeluaran Rutin. Milyar Rp
LPSekP Lag Pengeluaran Sektor Pertanian Milyar Rp
LQPuk Lag Penggunaan Pupuk Ton
LTKP Lag Tenaga Kerja Pertanian Ribu J iwa
LuDae Luas Daerah Km2
LUHHdp Lag Umur Harapan Hidup Tahun

101

Peubah

Keterangan

Satuan
MDKSPN
MJ PGBB
PAD
PBrs
PDRB
PDRBNP
PDRBP
PGab
PjkDae
Ppemb
Ppuk
ProdBrs
ProdGab
PRutin
PSekL
PSekLn
PSekP
QPuk
R*
RevDae
RevDaeL
Rtrbs
TKNP
TKP
UHHdp
WTKP

Multiple pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan
Multiple belanja pegawai dan barang
Pendapatan Asli Daerah
Harga Beras
Produk Domestik Regional Bruto Total
Produk Domestik Regional Bruto Non Pertanian
Produk Domestik Regional Bruto Pertanian
Harga Gabah
Pajak Daerah
Pengeluaran Pembangunan
Harga Pupuk
Produksi Beras
Produksi Gabah
Pengeluaran Rutin
Pengeluaran Sektor Lain
Pengeluaran Sektor Lain dan Transportasi
Pengeluaran Sektor Pertanian
Penggunaan Pupuk Anorganik
Rendemen Gabah menjadi Beras sebesar 0.65
Penerimaan Daerah
Penerimaan Daerah Lain
Retribusi Daerah
Tenaga Kerja Non Pertanian
Tenaga Kerja Pertanian
Umur Harapan Hidup
Upah Sektor Pertanian

Milyar Rp
Milyar Rp
Milyar Rp
Rp/ Kg
Milyar Rp
Milyar Rp
Milyar Rp
Rp/Kg
Milyar Rp
Milyar RP
Rp/Kg
Ton
Ton GKG
Milyar Rp
Milyar Rp
Milyar Rp
Milyar Rp
Ton
Konversi
Milyar Rp
Milyar Rp
Milyar Rp
Ribu J iwa
Ribu J iwa
Tahun
Ribu Rupiah

4.6. Identifikasi dan Pendugaan Model
Dalam formulasi model, identifikasi menjadi persoalan penting. Apabila model
tidak teridentifikasi maka parameter-parameternya tidak bisa diestimasi. Suatu model
dikatakan identified jika dinyatakan dalam bentuk statistik unik, yang menghasilkan
estimasi parameter yang unik. Menurut Koutsoyianis (1977) terdapat dua dalil pengujian
identifikasi yaitu order condition dan rank condition yang diterapkan pada bentuk
struktural model.

102
Dalil order condition menyatakan bahwa suatu persamaan dikatakan identified bila
jumlah seluruh variabel (predetermined dan endogen) yang tidak terdapat dalam
persamaan tersebut tetapi terdapat dalam persamaan lain harus sama banyaknya dengan
jumlah seluruh variabel endogen dalam model dikurangi satu.
Order condition diekspresikan sebagai berikut :
(K - M ) (G 1),
dimana :
G = J umlah peubah endogen dalam model
K = Total peubah dalam model (peubah endogen dan eksogen)
M = J umlah peubah endogen dan eksogen yang dimasukan
dalam suatu persamaan.

J ika (K M) = (G 1) maka suatu persamaan dikatakan exactly identified, (K M) >(G
1) dikatakan overidentified, dan (K M) < (G 1) dikatakan underidentified. Order
merupakan necessary condition tetapi not sufficient artinya walaupun satu persamaan
identified menurut oder condition, tetapi bisa saja menjadi not-identified bila diuji dengan
rank condition. Dalam penelitian ini total peubah (K) sebesar 74 yang terdiri dari 28
peubah endogen (G) dan 46 peubah predetermined yang terdiri dari 19 peubah beda kala
dan 27 peubah eksogen. Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 1 maka masing-masing
persamaan struktural pada model penelitian dapat terdidentifikasi berlebih
(overidentified).
Untuk menguji apakah peubah-peubah penjelas secara bersama-sama berpengaruh
nyata atau tidak terhadap peubah endogen, maka pada masing-masing persamaan
digunakan uji statistik F. Untuk menguji apakah masing-masing peubah penjelas secara

103
individual berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen pada masing-masing
persamaan digunakan uji statistik t.
Selanjutnya karena model mengandung persamaan simultan dan peubah bedakala
(lag endogenous variable), maka uji serial korelasi dengan menggunakan statistik d
w

(Durbin-Waston Statistics) tidak valid untuk digunakan. Sebagai penggantinya untuk
mengetahui apakah terdapat serial korelasi (autocorelation) atau tidak dalam setiap
persamaan maka digunakan statistik d
h
(Durbin-h statistics), sebagi berikut.
)] [(var 1 2
1
1
n
n
d h

= ................(29)
dimana:
d =d
w
statistik,
n =jumlah observasi, dan
var () =varians koefisien regresi untuk lagged dependent variable.
Apabila h
hitung
lebih kecil dari nilai kritis h dari tabel distribusi normal, maka dalam
persamaan tidak mengalami serial korelasi.

Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1991), masalah serial korelasi hanya mengurangi
efisiensi pendugaan parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter
regresi.

4.7. Validasi Model
Untuk keperluan simulasi terlebih dahulu model divalidasi untuk mengetahui
apakah model sudah cukup baik atau belum. Untuk itu digunakan kriteria statistik Mean
Squares Error (MSE) dan U-Theil (Theils Inequality Coefficient) Penggunaan kriteria

104
statistik bertujuan untuk membandingkan nilai aktual dengan nilai dugaan peubah
endogen. Kriteria statistik dirumuskan sebagai berikut :

( )
( ) ( )

= =
=
+

=
n
t
a
t
n
t
s
t
n
t
a
t
s
t
Y
n
Y
n
Y Y
n
U
1
2
1
2
1
2
1 1
1
(30)
dimana:
s
t
Y = Nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi
a
t
Y = Nilai aktual variabel observasi
n = J umlah periode observasi.
Semakin kecil nilai U semakin baik modelnya, nilai U berkisar antara 0 dan 1.

4.8. Simulasi Kebijakan dan Faktor Eksternal
Desentralisasi fiskal memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk
berinovasi dan berkreasi dalam mengoptimalkan perannya sebagai pelaksana inisiator,
fasilitator dan regulator di daerah dalam fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi dalam
meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan. Simulasi kebijakan
dilakukan untuk mendapatkan alternatif-alternatif kebijakan yang dapat meningkatkan
ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan dalam konstek implementasi desentralisasi
fiskal, simulasi yang dilakukan adalah :
1. Peningkatan pajak dan retribusi daerah sebesar 35 persen, implementasi
desentralisasi fiskal membuat pemerintah daerah mempunyai kebebasan dalam
menggali potensi penerimaanya hal ini secara absolut telah menyebabkan kenaikan

105
penerimaan daerah dari sisi pajak daerah dan retribusi daerah. Berdasarkan data yang
ada selama desentralisasi fiskal secara rata-rata telah terjadi kenaikan sebesar 35
persen per tahun terhadap pajak dan retribusi daerah kabupaten di wilayah J awa
Barat.
2. Realokasi pengeluaran rutin sebesar 10 persen ke pengeluaran pembangunan. Masa
desentralisasi fiskal telah menyebabkan terjadinya kenaikan pengeluaran rutin yang
cukup signifikan, rata-rata kontribusi pengeluaran rutin kabupaten di J awa Barat
berkisar 80 persen sehingga pengeluaran pembangunan menjadi relatif kecil.
Dengan melakukan efisiensi pada pelaksanaan operasional pemerintahan maka dana
untuk pengeluaran rutin bisa dihemat sebesar 10 persen diharapkan tidak mengurangi
kualitas pelayanan publik, yang kemudian besaran dana tersebut dialokasikan pada
pengeluaran pembangunan.
3. Peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pertanian sebesar 20 persen, selama
implementasi desentralisasi fiskal kontribusi anggaran pembangunan mengalami
penurunan dan pengeluaran pembangunan sektor pertanian rata-rata masih dibawah 5
persen. Dalam persaingan penggunaan dengan sektor lain, peningkatan anggaran
sektor pertanian sebesar 20 persen diharapkan dapat meningkatkan produktivitas
pada sektor tersebut.
4. Peningkatan dana kesehatan dan pendidikan sebesar 20 persen, selama implementasi
desentralisasi fiskal telah terjadi penurunan kualitas pada pelayanan kesehatan dan
pendidikan masyarakat terutama bagi masyarakat golongan miskin. Peningkatan
dana kesehatan dan pendidikan sebesar 20 persen diharapkan bisa digunakan untuk

106
melakukan revitalisasi program-program kesehatan dan perbaikan pelayanan
pendidikan terutama bagi golongan penduduk miskin.
5. Peningkatan harga gabah sebesar 15 persen merupakan faktor eksternal adanya
kebijakan HPP dari pemerintah pusat maupun apabila ada kebijakan dari pemerintah
daerah yang bekerjasama dengan pemerintah pusat dalam upaya mengamankan HPP.
6. Peningkatan harga pupuk sebesar 15 persen, kebijakan ini dilakukan dalam rangka
untuk mengakomodir tuntutan yang berkembang yaitu semakin meningkatnya derajat
liberalisasi dan terbatasnya anggaran pembangunan sehingga muncul tuntutan untuk
menghapuskan segala bentuk subsidi, keterbatasan anggaran mengharuskan
penggunaan subsidi seselektif mungkin. Subsidi pupuk selama ini juga kurang
efektif mencapai sasaran, munculnya fenomena pupuk bersubsidi menghilang di
pasaran pada saat dibutuhkan petani sehingga harga pupuk bersubsidi menjadi mahal.
Simulasi peningkatan harga pupuk sebesar 15 persen adalah merupakan faktor
eksternal untuk memproksi kondisi penghapusan subsidi pupuk oleh pemerintah
pusat.
Selain dilakukan simulasi dengan kebijakan tunggal juga dilakukan simulasi
kebijakan ganda yang berfungsi untuk melihat dampak kebijakan secara simultan apabila
dilakukan secara bersamaan, yaitu terjadinya trade off antara satu kebijakan dengan
kebijakan yang lain.





V. GAMBARAN UMUM, KONDISI FISKAL, KEMISKINAN,
DAN KETAHANAN PANGAN DI JAWA BARAT



5.1. Kondisi Wilayah Provinsi Jawa Barat
J awa Barat merupakan provinsi yang dibentuk pertama kali di wilayah Indonesia
(staatblad Nomor : 378) berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 1950. Kemudian
pada tahun 2000 Banten melepaskan diri dari Provinsi J awa Barat dan resmi berdiri
menjadi Provinsi Banten dengan Undang-Undang No. 23 tahun 2000. Pada tahun 2001
J awa Barat terdiri dari 16 daerah kabupaten yaitu : Bogor, Bandung, Bekasi, Sukabumi,
Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Majalengka, Sumedang, Indramayu,
Subang, Purwakarta, Bekasi dan Karawang, dan terdiri 9 daerah kota yaitu : Bogor,
Bandung, Sukabumi, Cirebon, Depok, Bekasi, Tasikmalaya, Cimahi dan Banjar.
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi J awa Barat Nomor 1 Tahun 2001 tentang
Rencana Strategis Provinsi J awa Barat, Visi Provinsi J awa Barat adalah J awa Barat
dengan Iman dan Taqwa sebagai Provinsi Termaju di Indonesia dan Mitra Terdepan Ibu
Kota Negara Tahun 2010. Dengan visi pembangunan pangan Terciptanya sistem
ketahanan pangan yang andal dan bertumpu pada optimalisasi pemanfaatan potensi
produksi dan keragaman pangan nasional. Untuk mencapai visi tersebut dalam
pengelolaan pemerintahan perlu memiliki tekat yang kuat untuk mewujudkannya,
sehingga ditetapkan visi Akselerasi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Guna
Mendukung Pencapaian Visi J awa Barat 2010. Dalam rangka mewujudkan visi
akselerasi tersebut ditetapkan lima misi pemerintah Provinsi J awa Barat yaitu : (1)
meningkatkan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia J awa Barat, (2)
108
mengembangkan struktur perekonomian regional yang tangguh, (3) memantapkan
kinerja pemerintahan daerah, (4) meningkatkan implementasi pembangunan
berkelanjutan, dan (5) meningkatkan kualitas kehidupan sosial yang berdasarkan agama
dan budaya daerah.
Berbagai upaya akan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk menuju
pencapaian target indikator makro pembangunan, upaya tersebut antara lain melalui
pengembangan enam core busines J awa Barat yaitu : (1) pengembangan sumber daya
manusia, (2) agribisnis, (3) bisnis kelautan, (4) pariwisata, (5) industri manufaktur, dan
(6) jasa yang didukung oleh penataan ruang yang mantap dan tersedianya infrastruktur
yang memadai. Keberhasilan dalam mendorong core businis ini, pada gilirannya
diharapkan dapat menjadi pendorong dalam proses pembangunan dalam rangka
akselerasi peningkatan kesejahteraan masyarakat J awa Barat tahun 2010.
Untuk mewujudkan sinergitas dan akselerasi pencapaian prioritas
pembangunan, telah dirumuskan tujuan bersama (common goal) yang menjadi komitmen
semua pihak serta pelibatan secara aktif lintas SKPD dan para pelaku pembangunan
dalam pelaksanaannya. Berdasarkan hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Provinsi J awa Barat ditetapkan delapan tujuan bersama (common goal ) sebagai berikut
: (1) peningkatan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia, (2) ketahanan pangan,
(3) peningkatan daya beli masyarakat, (4) peningkatan kinerja aparatur, (5) penanganan
pengelolaan bencana, (6) pengendalian dan pemulihan kualitas lingkungan, (7)
pengelolaan, pengembangan dan pengendalian infrastruktur, dan (8) kemandirian energi
dan kecukupan air baku. Untuk mewujudkan tujuan bersama tersebut dilaksanakan
109
prioritas pembangunan daerah beserta fokus-fokus yang harus dilaksanakan pada
masing- masing prioritas.
Provinsi J awa Barat secara geografis terletak diantara

5
o
50

- 70
o
50 LS dan
104
o
48 108 48 BT. Luas wilayah J awa Barat 44 354.61 Km
2
atau 4 435 461 Ha.
Lahan di J awa Barat cukup subur karena mengandung endapan vulkanis serta banyaknya
aliran sungai, sehingga tidak mengherankan jika sebagian besar digunakan sebagai lahan
pertanian dan J awa Barat ditetapkan sebagai lumbung pangan nasional. (BPS, 2005).
Tabel 4 menunjukkan struktur penggunaan lahan di J awa Barat.

Tabel 4. Struktur Penggunaan Lahan di J awa Barat Tahun 2005
Penggunaan Lahan Luas ( Ha ) Persentase ( % )
Hutan Primer 321 377 .68 8.66
Hutan Sekunder 269 885 .68 7.27
Kawasan Industri 15 825 .21 0.43
Kawasan Pertambangan 3 350 .92 0.09
Kebun Campuran 849 294 .72 22.89
Tegalan 368 265 .51 9.93
Padang Ilalang 128 207 .61 3.46
Perkebunan 646 100.43 17.41
Pemukiman 178 329 .75 4.81
Sawah 752 130.90 20.27
Semak 53 244.10 1.44
Sungai, waduk dll 54 932.49 1.48
Tambak 51 525.09 1.39
Tanah Kosong 17 591.20 0.47
J umlah 3 710 061.29 100
Sumber : Bapeda Provinsi J awa Barat, 2005.
110
Dengan kondisi topografis pegunungan pada bagian selatan dan pedataran pada
bagian utara, sekitar 20.2 persen luas wilayahnya terdiri dari sawah, sekitar 40 persen
perkebunan dan kebun campuran, 15 persen hutan, 4.81 persen pemukiman dan
penggunaan lahan lainnya. Hal ini akan mempengaruhi pembentukan dan aksesibilitas
berbagai sarana prasarana di J awa Barat. Pada daerah-daerah selatan yang bergunung,
aksesibilitas relatif memiliki kendala alam lebih besar daripada daerah utara yang berupa
dataran dan sebagian besar wilayahnya berupa lahan persawahan beririgasi teknis.
Sumber air untuk pengairan di J awa Barat terdiri dari sungai, situ, waduk yang
jumlahnya cukup banyak untuk mengairi lahan persawahan di J awa Barat. Potensi
sumber daya air yang cukup baik di J awa Barat menjadi faktor pendukung yang penting
dalam mewujudkan Provinsi J awa Barat sebagai lumbung pangan terbesar di Indonesia.
Data sumber air dan areal beririgasi di J awa Barat selengkapnya tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5. Potensi Sumber Daya Air di Wilayah Provinsi J awa Barat Tahun 2007

Uraian Kuantitas Satuan (Persen)
Sungai 3 048 Buah 100.00
Sungai Lintas 1 878 Buah 61.61
Sungai Lintas Provinsi 4 Buah 0.13
Sungai Lintas Kabupaten/ Kota 1 874 Buah 61.48
Sungai Lokal Kabupaten 1 170 Buah 38.39
Situ 53 Buah
Waduk 20 Buah
Areal Irigasi 1 086 908 Ha 100.00
Irigasi Kewenangan Pusat 407 168 Ha 37.50
Irigasi Kewenangan Provinsi 85 730 Ha 7.90
Irigasi Kewenangan Kabupaten/ Kota 97 339 Ha 9.00
Irigasi Desa 382 691 Ha 33.10
Sawah Tadah Hujan 113 980 Ha 10.50

Sumber : PSDA J awa Barat, 2007.

111
5.2. Kondisi Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten /Kota di Provinsi Jawa Barat
Desentralisasi fiskal membawa perubahan pada struktur penerimaan pemerintah
daerah baik yang berasal dari pendapatan asli daerah maupun transfer dana dari
pemerintah pusat, pengelolaan sumber-sumber penerimaan dan pengeluaraan pemerintah
daerah, dan juga terhadap hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Penerimaan
dan pengeluaran daerah kabupaten/ kota di J awa Barat selama implementasi
desentralisasi fiskal mengalami peningkatan yang signifikan. Pada Tabel 6 ditunjukkan
keragaan rata-rata per tahun penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah kabupaten/
kota seluruh J awa Barat kondisi sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal.
Penerimaan daerah setelah desentralisasi fiskal mengalami peningkatan yang cukup
signifikan, jika sebelum desentralisasi penerimaan daerah secara riil di J awa Barat rata-
rata per tahun sebesar 575.10 milyar rupiah maka setelah desentralisasi fiskal meningkat
menjadi 3 544.54 milyar rupiah. Peningkatan penerimaan pemerintah daerah ini
disebabkan peningkatan semua komponen penerimaan daerah baik dari PAD, bagi hasil
maupun dana transfer dari pusat.
Kebijakan desentralisasi fiskal yang memberi kewenangan daerah untuk menggali
potensi pajak dengan mengeluarkan perda terhadap beberapa jenis pajak dan retribusi
daerah memungkinkan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan melalui
ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dan retribusi daerah, sehingga penerimaan daerah
dari pos pajak daerah dan retribusi daerah meningkat. Namun kenaikan tersebut apabila
dilihat secara proporsional dengan seluruh kenaikan penerimaan daerah, proporsi dari
penerimaan pajak dan retribusi daerah justru semakin menurun hal ini karena adanya
peningkatan penerimaan dari pos DAU yang relatif besar proporsinya. Sehingga PAD
112
walaupun secara absolut meningkat tetapi proporsinya juga menurun yaitu apabila
sebelum desentralisasi fiskal kontribusinya sebesar 18.78 persen terhadap penerimaan
daerah menurun menjadi 10.11 persen pada masa desentralisasi fiskal, pajak dan
retribusi daerah turun dari 6.96 persen dan 9.76 persen menjadi 4.15 persen dan 4.17
persen.
Tabel 6. Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota
Rata-rata Per Tahun di J awa Barat Tahun 1995 - 2005 (Tahun Dasar 1993)
(Milyar rupiah)
Uraian Sebelum Desentralisasi
Fiskal (1995 2000)
Sesudah Desentralisasi
Fiskal (2001 -2005)

Pendapatan Asli Daerah
Pajak Daerah
Retribusi Daerah
Laba BUMD
PAD Lainnya
Dana Perimbangan
Bagi Hasil
Bagi Hasil Pajak
Bagi Hasil SDA
DAU & DAK
Pinjaman Daerah
Sisa Anggaran
Pendapatan Lain
Total Pendapatan Daerah

Pengeluaran Rutin
Pengeluaran Pembangunan
Sektor Pertanian & Irigasi
Sektor Pertanian
Sektor Irigasi
Sektor Industri
Sektor Infrastruktur
Sektor Pelayanan Umum
Sektor Lainnya
Total Pengeluaran Daerah

108.03 (18.78)
40.05 ( 6.96)
56.11 ( 9.76)
2.21 ( 0.38)
17.98 ( 3.13)
426.41 (74.15)
91.89 (15.98)
39.40 (13.81)
12.49 ( 2.17)
334.52 (58.17)
3.32 ( 0.58)
21.57 (03.75)
7.48 (01.30)
575.10 ( 100 )

416.74 (64.37)
230.67 (35.62)
11.56 ( 1.74)
7.37 ( 1.14)
4.19 ( 0.65)
1.11 ( 0.17)
121.98 (16.84)
56.84 ( 8.78)
39.18 ( 6.05)
647.46 ( 100 )

358.26 ( 10.11)
146.96 ( 4.15)
147.85 ( 4.17)
6.22 ( 0. 20)
55.99 ( 1.58)
2 859.45 (80. 67)
462.83 (13.06)
388.86 (10.97)
73.98 ( 2.09)
2 396.62 (67.61)
15.61 ( 0.44)
154.94 ( 4.37)
156.30 ( 4.41)
3 544.54 ( 100 )

2 671.15 (76.87)
803.67 (23.13)
57.54 ( 1.66)
25.25 ( 0.73)
32.29 ( 0.93)
3.74 ( 0.11)
315.97 ( 9.08)
278.60 ( 8.02)
147.82 ( 4.25)
3 474.82 (100 )

Sumber : Statistik Keuangan Daerah Kabupaten/ Kota, berbagai tahun terbitan.
Angka di dalam ( ) merupakan persentase.
113
Komponen bagi hasil pajak dan sumber daya alam juga meningkat secara signifikan
yang disebabkan oleh peningkatan porsi bagi hasil pajak dan sumberdaya yang diberikan
kepada daerah seperti pajak bumi bangunan, pengelolaan sumberdaya hutan, tambang
dan perikanan sebagaimana diatur dalam UU No 25 Tahun 1999 dan UU No 33 Tahun
2004, namun secara relatif sharenya terhadap penerimaan daerah menurun dari 15.98
persen sebelum desentralisasi fiskal menjadi 13.06 persen setelah desentralisasi fiskal.
Komponen dana transfer dari pemerintah pusat yang berupa dana Subsidi Daerah
Otonom (SDO) pada masa sebelum desentralisasi fiskal dan Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) setelah desentralisasi fiskal mengalami
peningkatan sangat besar, bahkan merupakan komponen yang peningkatannya paling
besar. Apabila sebelum desentralisasi fiskal sebesar 334.52 milyar rupiah dengan share
terhadap penerimaan sebesar 58.17 persen maka meningkat menjadi 2 396.62 milyar
rupiah dengan share sebesar 67.61 persen. Tingginya dana tranfer dari pemerintah pusat
ini karena besarnya pengeluaran yang dibutuhkan untuk membiayai pembelanjaan
pemerintah daerah dan kondisi ini menunjukkan tingkat ketergantungan keuangan
pemerintah daerah sebagai sumber pembiayaan terhadap pemerintah pusat. Desentralisasi
fiskal yang diharapkan menumbuhkan kemandirian daerah dalam menggali dan
mengelola keuangannya tetapi justru menimbulkan ketergantungan terhadap pusat.
Sebagai masa transisi mungkin masih bisa dibenarkan, namun dengan berjalannya waktu
diharapkan pemerintah daerah akan semakin pandai dalam menggali potensi penerimaan
daerah dengan melibatkan masyarakat dan pihak swasta sehingga akan semakin mandiri
dan ketergantungan dengan pemerintah pusat bisa semakin dikurangi.
114
Desentralisasi fiskal membawa perubahan yang besar terhadap pengeluaran daerah,
yaitu apabila sebelum desentralisasi fiskal pengeluaran sebesar 647.46 milyar rupiah
maka meningkat manjadi 3 474.82 milyar rupiah. Komponen pengeluaran mengalami
peningkatan pada semua sektor, namun yang paling besar terjadi pada komponen
pengeluaran rutin yaitu apabila sebelum desentralisasi fiskal sebesar 416.79 milyar rupiah
dengan share sebesar 64.37 persen maka meningkat menjadi 2 671.15 milyar rupiah
dengan nilai share sebesar 76.87 persen. Tingginya pengeluaran rutin setelah
desentralisasi fiskal karena terjadinya peningkatan yang cukup signifikan terhadap
jumlah pegawai pusat yang didaerahkan pada masa awal desentralisasi juga adanya
peningkatan terhadap pengeluaran sehubungan penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah, perencanaan dan evaluasi pembangunan di daerah.
Pengeluaran pembangunan secara absolut mengalami peningkatan yaitu dari
230.67 milyar rupiah sebelum desentralisasi menjadi 803.67 milyar rupiah setelah
desentralisasi, namun sharenya mengalami penurunan dari 35.62 persen menjadi 23.13
persen. Turunnya proporsi dana pembangunan dalam pengeluaran daerah membawa
konsekuensi pada penurunan proporsi pengeluaran sektoral. Pengeluaran pembangunan
sektor pertanian pada masa sebelum desentralisasi sebesar 1.14 persen terhadap total
pengeluaran. Pada masa desentralisasi fiskal pengeluaran pembangunan sektor pertanian
sebesar 0.73 persen dari total pengeluaran walaupun secara absolut meningkat dari 7.37
milyar menjadi 25.25 milyar rupiah.
Kapasitas fiskal adalah kemampuan daerah dalam membiayai pengeluarannya
dengan sumber pembiayaan yang diperoleh dari pendapatan daerah tanpa bantuan dari
pemerintah pusat. Kapasitas fiskal merupakan penjumlahan dari PAD dan dana bagi hasil
115
dari sumber daya alam dan pajak, dan idealnya semua pengeluaran daerah mampu
dibiayai oleh kapasitas fiskal daerah. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal kapasitas
fiskal di J awa Barat sebesar 0.35 artinya kemampuan keuangan daerah dari PAD dan
Bagi Hasil besarnya hanya sebesar 35 persen untuk dapat membiayai pengeluaran yang
dibutuhkan daerah. Sedang pada masa desentralisasi fiskal kapasitas fiskal malah
menurun menjadi 0.23. Kondisi ini mencerminkan terjadinya penurunan kemandirian
keuangan daerah yang semakin besar pada pelaksanaan desentralisasi fiskal. DAU
keberadaannya diperlukan sebagai penyeimbang bagi daerah yang kaya dengan daerah
yang miskin.

5.3. Kondisi Perekonomian Provinsi Jawa Barat
Kontribusi ekonomi J awa Barat terhadap perekonomian nasional rata-rata selama
tahun 2001 2005, adalah 13.8 persen. Kontribusi ini lebih besar bila dibandingkan
dengan provinsi lainnya. Sebelum masa krisis moneter dan sebelum pembentukan
Provinsi Banten, peran ekonomi J awa Barat dalam perekonomian nasional jauh lebih
besar.Tingkat pertumbuhan ekonomi J awa Barat selalu lebih tinggi daripada
perekonomian nasional. Artinya J awa Barat telah menjadi salah satu sumber
pertumbuhan ekonomi nasional yang dominan. Namun pada saat terjadi krisis moneter,
perekonomian J awa Barat mengalami tingkat kemunduran yang sangat besar, yaitu lebih
besar daripada penurunan perekonomian nasional. Setelah masa krisis moneter berlalu,
pemulihan ekonomi J awa Barat relatif lambat. Dari tahun 2001- 2005 pada masa
implementasi desentralisasi fiskal ekonomi J awa Barat mengalami pertumbuhan namun
tingkat pertumbuhannya lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi nasional, dan
116
karena mengalami akselerasi relatif lebih baik sehingga pada tahun 2006 laju
pertumbuhan ekonomi J awa Barat mulai ada di atas laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Pada tahun 2006 laju pertumbuhan ekonomi J awa Barat mencapai 6.02 persen,
sedangkan ekonomi nasional sebesar 5.40 persen dan pada tahun 2007 pertumbuhan
ekonomi J awa Barat sebesar 6.41 persen sedang laju pertumbuhan ekonomi nasional
sebesar 5.25 persen.
0
1
2
3
4
5
6
7
2001 2003 2005 2007
Laj u
Pertumbuhan
Ekonomi Jabar
Laj u
Pertumbuhan
Ekonomi
Nasi onal

Gambar 8. Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi J abar dan Nasional
pada Masa Desentralisasi Fiskal Tahun 2001-2007 (%)

Transformasi ekonomi nasional yang terjadi sejak tahun 80-an hingga tahun 2000-
an telah membawa konsekuensi pada rendahnya pertumbuhan sektor pertanian di J awa
Barat. Pertumbuhan sektor industri, sektor-sektor utilitas dan jasa sedemikian pesat
sehingga jauh meninggalkan sektor pertanian. Sampai dengan tahun 2005, sektor industri
pengolahan memberikan kontribusi sekitar 43.2 persen dari seluruh ekonomi J awa Barat,
117
disusul sektor jasa penunjang seperti sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 19.6
persen. Sektor pertanian hanya memberikan kontribusi sekitar 14.4 persen. Berikut tersaji
Perkembangan dan Struktur PDRB di J awa Barat.
Tabel 7. Perkembangan dan Struktur PDRB Provinsi J awa Barat Tahun
2001 - 2005 Harga Konstan Tahun 2000
(dalam Trilyun Rupiah)
Struktur PDRB 2001 2002 2003 2004 2005
1. Pertanian 31.88
E32.40
34.46 34.73 34.94
1.1. Pangan 23.54 23.69 24.85 25.49 25.28
1.2. Perkebunan 1.82 1.85 1.95 1.90 2.03
1.3. Peternakan 4.20 4.49 5.12 5.28 5.22
1.4. Kehutanan 0.52 0.59 0.77 0.44 0.48
1.5. Perikanan 1.80 1.78 1.77 1.82 1.71
2. Penggalian dan Pertambangan 8.95 8.23 7.71 7.20 7.02
3. Industri Pengolahan 91.76 93.93 96.98 105.33 114.30
3.1. Industri Pengolahan Migas 2.63 2.61 2.61 2.30 2.32
3.2. Industri Pengolahan Non Migas 90.13 91.32 94.37 103.04 111.98
4.Listrik, Gas dan Air Bersih 4.52 4.92 5.34 5.65 5.76
5.Bangunan / Kontruksi 5.14 5.98 6.60 7.78 8.11
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 41.72 42.76 45.53 47.26 50.61
7. Perhubungan dan Telekomunikasi 9.03 9.38 10.31 10.33 11.14
8.Keuangan, Persewaan dan J asa
Perusahaan
6.43 6.97 7.25 7.72 7.67
9.J asa-jasa 14.36 14.94 15.84 16.82 18.20
PDRB 213.79 219.53 230.00 242.94 257.54
Sumber : PDRB J awa Barat (BPS), 2005.

Tingginya kontribusi sektor industri pengolahan selama ini relatif kurang
memiliki kaitan kuat dengan perkembangan sektor pertanian. Dalam jangka pendek
kondisi ini dapat dimaklumi untuk mempercepat peningkatan pendapatan untuk
118
selanjutnya membuka peluang usaha masyarakat di J awa Barat. Namun demikian
perhatian terhadap perkembangan sektor pertanian dalam jangka panjang patut mendapat
perhatian serius untuk dapat dikaitkan dengan pengembangan sektor industri. Sektor
pertanian di J awa Barat didominasi oleh subsektor tanaman pangan yang berkontribusi
lebih dari 70 persen dalam perolehan PDRB sektor pertanian di J awa Barat. Pertumbuhan
dan kontribusi sektor perekonomian J awa Barat tersaji pada Tabel 8.

Tabel 8. Rata-rata Pertumbuhan dan Kontribusi Sektor Ekonomi J awa Barat Tahun
2001-2005
( %)
Sektor Perekonomian Kontribusi Pertumbuhan
1. Pertanian 14.40 2.38
1.1. Pangan 10.48 2.21
1.2. Perkebunan 0.81 3.26
1.3. Peternakan 2.12 5.35
1.4. Kehutanan 0.24 0.99
1.5. Perikanan 0.75 1.24
2. Penggalian dan Pertambangan 3.20 5.16
3. Industri Pengolahan 43.17 6.79
4.Listrik, Gas dan Air Bersih 2.28 5.42
5.Bangunan / Kontruksi 2.29 10.81
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 19.59 5.79
7. Perhubungan dan Telekomunikasi 4.33 5.99
8.Keuangan, Persewaan dan J asa Perusahaan 3.12 3.31
9.J asa-jasa 6.92 6.30
PDRB 100.00 5.47
Sumber : Badan Pusat Statistik J awa Barat, 2005.

119
Sektor industri pengolahan, sektor utilitas dan sektor jasa di J awa Barat pada
umumnya tumbuh cepat di atas rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE). Kondisi ini
terkait dengan pertumbuhan ekonomi J awa Barat dan struktur kota yang semakin kuat.
Sektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi adalah sektor bangunan sebesar
10.81persen, sektor jasa-jasa 6.8 persen, dan sektor industri pengolahan 6.79 persen.
Sektor konstruksi berkembang sebagai respon terhadap peningkatan jumlah penduduk
yang membutuhkan tempat tinggal dan respon terhadap perkembangan kegiatan ekonomi.
Sektor pertanian tumbuh relatif lambat (di bawah LPE), yaitu sekitar 2.38 persen per
tahun, sub sektor pangan yang berkontribusi terbesar pada sektor pertanian di J awa Barat
tumbuh lebih lambat dibanding sektor pertanian. Melambatnya pertumbuhan sektor
pangan salah satunya disebabkan adanya perlambatan pada laju peningkatan produksi
padi (levelling off) yang merupakan komponen pangan utama di J awa Barat. Hal ini
patut mendapat perhatian dari Pemerintah J awa Barat untuk perencanaan pembangunan
ke depan, diharapkan tingginya kontribusi dan pertumbuhan dari sektor industri
pengolahan di J awa Barat mempunyai kaitan kuat dengan perkembangan sektor pertanian
juga subsektor pangan hal ini sesuai dengan potensi wilayah yang dimiliki oleh J awa
Barat. Pengembangan industri di J awa Barat diharapkan dapat memacu pengembangan
sektor pertanian dan subsektor pangan melalui penggunaanya dalam bahan baku.
Studi empirik Bank Dunia dalam World Development Report menyebutkan bahwa
perkembangan sektor industri yang berhasil sejalan dengan keberhasilan dalam
pertumbuhan yang sustainable dan perbaikan produktivitas sektor pertanian. Pengalaman
historis negara-negara industri menunjukkan pertumbuhan berkelanjutan akan terjadi jika
ditunjang dengan pertumbuhan sektor pertanian yang memadai.
120
Sub-sektor pertanian yang tumbuh besar adalah sub-sektor peternakan sebesar
5.36 persen dan sub-sektor perkebunan tumbuh sekitar 3.26 persen. Sektor pertambangan
dan penggalian di J awa Barat mengalami penurunan yang relatif tajam, yaitu rata-rata -
5.16 persen. Sub-sektor perikanan turun sekitar -1.24 persen.
Sektor pertanian walaupun kontribusi dalam perekonomian J awa Barat hanya
14.40 persen karena pertumbuhannya yang relatif lambat, namun sektor ini menampung
tenaga kerja yang cukup besar. Tahun 2001 2005 pada masa implementasi
desentralisasi fiskal sektor pertanian sanggup menampung tenaga kerja sebesar 4 856
ribu jiwa atau sebesar 33.72 persen dari total tenaga kerja. Sementara sektor industri
yang kontribusi dalam perekonomian sebesar 43.17 persen hanya menampung tenaga
kerja sebesar 2 834 ribu jiwa atau 19.68 persen dari total penyerapan tenaga kerja.
Tingginya beban penyerapan tenaga kerja dengan kontribusi pada perekonomian yang
semakin kecil karena semakin kecilnya laju pertumbuhan pada sektor pertanian,
menyebabkan pada sektor pertanian terjadi penurunan produktitivitas per tenaga kerja
atau penurunan pada kesejahteraan petani. Peningkatan penyerapan tenaga kerja pada
sektor pertanian yang tidak proporsional dengan peningkatan PDRB, selain dipengaruhi
oleh proses perubahan struktural ekonomi yang tidak seimbang juga karena sektor
pertanian berfungsi sebagai employment of last resort dimana sektor pertanian akan
menyerap tenaga kerja seiring dengan adanya peningkatan angkatan kerja namun
angkatan kerja yang masuk pada sektor pertanian adalah yang menjadikan sektor
pertanian sebagai pilihan terakhir. Sehingga tenaga kerja pada sektor pertanian
kualitasnya relatif lebih rendah dari sektor lain dan menghasilkan produktivitas yang
relatif lebih rendah dan pada sektor pertanian ditemukan banyaknya pengangguran tidak
121
kentara. Hal ini menyebabkan banyaknya kemiskinan terdapat pada sektor pertanian.
Menurut data BPS sebagian besar penduduk miskin berada di perdesaan yang
menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Penduduk di sektor pertanian
menempati proporsi 55 persen dari total penduduk miskin dan diketahui 75 persen
diantaranya pada subsektor tanaman pangan. J umlah tenaga kerja berdasarkan sektor
perekonomian tersaji pada Tabel 9 dibawah ini.

Tabel 9. J umlah Tenaga Kerja Menurut Sektor Perekonomian Kabupaten/ Kota di
Provinsi J awa Barat, Tahun 2001 2005

Sektor Perekonomian J umlah Tenaga Kerja ( Ribu J iwa) Persentase (%)
Pertanian 4 856 33.72
Industri 2 834 19.68
J asa 6 332 43.97
Sektor Lainnya 879 6.10
Total Tenaga Kerja 14 402 100.00
Sumber : Statistik Tenaga Kerja Provinsi J awa Barat, Tahun 2001 2005.


5.4. Kemiskinan di Wilayah Provinsi Jawa Barat
Dilihat dari persebaran penduduk miskin menunjukkan bahwa sekitar 20.48 juta
orang atau sekitar 56.67 persen terdapat di pulau J awa, dan sebagian besar berada di
daerah perdesaan. Dari fenomena ini menunjukkan bahwa Pulau J awa menanggung
beban yang sangat berat dalam memenuhi kesejahteraan penduduknya, terlebih bila
dikaitkan dengan kondisi lahan pertanian di Pulau J awa yang semakin menipis akibat
pertambahan penduduk yang relatif tinggi dan meningkatnya konversi lahan pertanian
untuk kepentingan perumahan dan industri. Konversi lahan pertanian terus meningkat
dari sebesar 85 500 hektar per tahun pada tahun 1981 1999, menjadi 141 286 hektar
per tahun pada tahun 1999 2002. Kondisi ini telah menyebabkan meningkatnya jumlah
122
petani gurem yaitu petani yang menguasai lahan rata-rata 0.25 hektar. Pada saat ini
diperkirakan jumlah rumah tangga petani gurem sudah mencapai 75 persen dari total
rumah tangga petani di J awa, padahal pada tahun 1993 masih 70 persen ( BPS, 2005).
Tabel 10. J umlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 2004

Provinsi
J umlah Penduduk Miskin
(Ribu jiwa)
Kota Desa Total
Tingkat Kemiskinan
( % )
Kota Desa Total

Nangroe Aceh Darusalam
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
J ambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
DKI J akarta
J awa Barat
J awa Tengah
DKI J ogjakara
J awa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Maluku
Maluku Utara
Papua
Indonesia


98.40 958.80 1157.20
633.40 1166.70 1800.10
167.80 304.60 472.40
160.50 583.90 744.40
130.80 194.30 325.10
455.10 924.20 1379.30
112.80 232.30 345.10
317.30 1244.40 1561.70
33.00 58.80 91.80
277.10 - 277.10
2243.20 2411.00 4654.20
2346.50 4497.30 6843.80
301.40 314.80 616.20
2230.60 5081.90 7312.50
279.90 499.30 779.20
87.00 144.90 231.90
492.50 539.10 1031.60
122.70 1029.40 1152.10
143.80 414.40 558.20
33.00 161.10 194.10
63.50 167.50 231.00
84.30 233.90 318.20
35.90 156.30 192.20
70.50 415.80 486.30
152.20 1089.30 1241.50
38.00 380.40 418.40
43.70 215.40 259. 10
41.10 356.50 397 .60
23.00 83.90 107.80
49.10 917.70 966.80
11 369.00 24 777.90 36 146.90

17.58 32.66 28.47
12.02 17.19 14.93
12.28 9.67 10.46
6.44 18.36 13.12
17.34 10.46 12.45
20.13 21.33 20.92
25.43 21.16 22.39
20.17 22.81 22.22
7.73 10.06 9.07
3.18 - 3.18
11.21 13.08 12.10
17.52 23.64 21.11
15.96 23.65 19.14
14.62 24.02 20.08
5.69 11.99 8.58
5.05 8.71 6.85
32.66 21.09 25.38
18.11 29.77 27.66
13.29 14.15 13.91
6.13 12.20 10.44
5.28 8.33 7.19
5.63 18.68 11.57
4.37 11.76 8.94
15.33 23.33 21.69
6.11 18.65 14.90
9.21 25.39 21.90
18.63 32.70 29.01
11.99 39.86 32.13
10.50 13.10 12.42
7.71 49.28 38.69
12.13 20.11 16.66
Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan, BPS, Tahun 2004.
123
Namun berdasarkan tingkat kemiskinan maka provinsi yang mempunyai tingkat
kemiskinan tertinggi terdapat di luar J awa yaitu Provinsi Papua, Maluku, Gorontalo,
NAD, NTT, NTB. Tingkat kemiskinan dari enam provinsi diatas jauh diatas tingkat
kemiskinan Indonesia dengan jumlah penduduk yang hanya sebesar 4.97 juta jiwa .
Sementara pulau J awa yang memiliki luas kurang dari 10 persen wilayah Indonesia harus
menampung penduduk miskin 20.48 juta jiwa penduduk miskin atau 56.67 persen dari
total penduduk di Indonesia. J awa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk
miskin terbesar ketiga di Indonesia setelah J awa Timur dan J awa Tengah. Namun apabila
dilihat dari tingkat kemiskinan J awa Barat memiliki tingkat kemiskinan di bawah tingkat
kemiskinan rata-rata nasional, bahkan merupakan provinsi ketiga di Pulau J awa yang
mempunyai tingkat kemiskinan terendah setelah DKI J akarta dan Banten.
Tingkat kemiskinan di J awa Barat dari tahun ke tahun mengalami penurunan yang
berfluktuatif seiring dengan terjadinya penurunan kemiskinan di Indonesia. Pada waktu
terjadi krisis kemiskinan meningkat tajam baik Indonesia maupun J awa Barat kemudian
menurun kembali dengan penurunan yang relatif kecil. Tingkat kemiskinan di J awa
Barat selalu berada di bawah tingkat kemiskinan Indonesia. Gambar 9 disajikan
perbandingan perkembangan tingkat kemiskinan di J awa Barat dan di Indonesia.
Persebaran penduduk miskin di wilayah Provinsi J awa Barat tidak merata, daerah
kabupaten jumlah penduduk miskin relatif lebih besar dibanding daerah kota. Daerah
yang mempunyai struktur ekonomi berbasis pertanian jumlah penduduk miskin relatif
lebih besar dibanding dengan daerah yang mempunyai struktur ekonomi berbasis
industri dan perdagangan.
124
Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan BPS, 2005.
Gambar 9. Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Indonesia
dan Jawa Barat ( % )
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Persentase
Penduduk
Mi ski n
Indonesi a
Persentase
Penduduk
Mi ski n
Jabar

Kabupaten Cianjur, Indramayu, Kuningan, Majalengka yang dikenal sebagai
sentra penghasil beras di J awa Barat menunjukkan tingkat kemiskinan yang relatif
tinggi dengan laju pengurangan kemiskinan yang relatif lambat. Hal ini perlu mendapat
perhatian bagi pemerintah bagaimana petani-petani di daerah sentra beras, dimana
komodiiti beras telah mengalami levelling off pada peningkatan produksinya bisa
meningkat produktivitasnya. Peningkatan produktivitas petani beras bisa dilakukan selain
melalui peningkatan produktivitas tanaman padi juga perlu diupayakan sumber-sumber
pertumbuhan baru dari sektor tanaman pangan selain padi dan subsektor lain seperti
peternakan dan perikanan melalui usahatani terpadu. Selain itu juga perlu diupayakan
terciptanya nilai tambah bagi petani pada tingkat off farm activities dengan melakukan
kegiatan agribisnis maupun agroindustri pangan. Kota Bekasi, Depok dan Bandung yang
dikenal sebagai daerah industri dan perdagangan menunjukkan tingkat kemiskinan paling
125
kecil di J awa Barat. Berikut disajikan perkembangan dan persebaran jumlah penduduk
miskin di kabupaten/ kota di Wilayah Provinsi J awa Barat.

Tabel 11. Perkembangan dan Keragaan Persentase Penduduk Miskin
menurut Kabupaten / Kota di J awa Barat Tahun 2003 2005
( % )

No
Kabupaten/ Kota PendudukMiskin
Tahun 2003
Penduduk Miskin
Tahun 2004
Penduduk Miskin
Tahun 2005

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.




Kab. Bogor
Kab. Sukabumi
Kab. Cianjur
Kab. Bandung
Kab. Garut
Kab. Tasikmalaya
Kab.Ciamis
Kab. Kuningan
Kab. Cirebon
Kab. Majalengka
Kab. Sumedang
Kab. Indramayu
Kab. Subang
Kab. Purwakarta
Kab. Karawang
Kab. Bekasi
Kota Bogor
Kota Sukabumi
Kota Bandung
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota Depok
J awa Barat

12.54
17.03
18.49
12.53
15.40
16.21
16.22
20.36
19.64
18.89
14.40
18.65
16.59
13.99
14.55
6.61
7.34
8.29
3.51
9.00
3.66
5.62
13.16


12.56
16.32
19.05
12.78
15.48
17.99
15.18
19.50
17.33
17.66
12.82
17.46
16.07
13.09
13.60
6.86
8.22
7.67
3.95
7.76
3.15
4.96
12.70

11.94
14.70
17.36
11.84
15.37
16.14
14.73
18.95
16.59
17.42
11.74
16.49
14.67
12.60
13.28
6.35
7.85
6.16
3.38
7.52
3.04
4.84
12.10
Sumber : BPS J awa Barat, 2005.


Laju pengurangan kemiskinan di J awa Barat berjalan sangat lambat pada masa
implementasi desentralisasi fiskal. Apabila dicermati pada masing- masing kabupaten/
kota di J awa Barat penurunan kemiskinan berjalan sangat fluktuatif yaitu ada yang
126
tingkat kemiskinannya naik kemudian turun namun secara rata-rata berkecenderungan
menurun.

5.5. Kinerja Ketahanan Pangan di Wilayah Propinsi Jawa Barat

Ketahanan pangan adalah keterjaminan akses terhadap kecukupan pangan
sepanjang waktu agar dapat melakukan aktifitas dan hidup sehat. Sedang kerawanan
pangan merupakan kondisi suatu daerah, masyarakat atau rumah tangga yang tingkat
ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan
fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian masyarakat. Ada beberapa aspek
yang menyebabkan terjadinya kerawanan pangan yaitu : (1) aspek produksi, (2) aspek
distribusi, dan (3) aspek konsumsi. Melalui aksesibilitas terhadap pangan akan menjadi
penentu tercapainya konsumsi pangan dan selanjutnya akan mempengaruhi status gizi
masyarakat yang merupakan faktor determinan terhadap derajat kesehatan masyarakat
yang dicerminkan pada ukuran umur harapan hidup.
Ketahanan pangan merupakan satu dari delapan common goals Provinsi J awa
Barat yang pada tahun 2007 difokuskan pada ketahanan pangan fokus beras melalui
sinergitas lintas SKPD, dimana tujuan bersama tersebut merupakan komitmen program
dan kegiatan yang disepakati untuk dikerjakan melalui model pendekatan sinergitas lintas
SKPD Provinsi dengan penggalangan segenap pelaku pembangunan J awa Barat yang
relevan. Sasaran common goals ketahanan pangan fokus beras pada tahun 2007 adalah :
(1) terpenuhinya stok beras regional J awa Barat, (2) tertatanya distribusi dan perdagangan
beras, dan (3) menurunnya tingkat kehilangan pasca panen.
127
Provinsi J awa Barat sebagai daerah produsen beras nomer satu di Indonesia,
menggunakan indikator produksi padi dan beras sebagai salah satu ukuran kinerja
ketahanan pangan. Walaupun banyak terjadi kendala yang salah satunya adalah alih
fungsi lahan sawah yang cukup signifikan, namun produksi padi sawah J awa Barat pada
masa implementasi desentralisasi tahun 2001 2005 terus mengalami peningkatan
dengan laju peningkatan produksi sebesar 2.62 persen yang disebabkan laju luas panen
sebesar 0.92 persen dan laju produktivitas sebesar 1.70 persen. Peningkatan produksi padi
hampir terjadi di seluruh kabupaten/ kota kecuali Kabupaten Bandung, Kota Bogor, Kota
Depok dan Kota Bekasi (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi J awa Barat, 2007).
Gambar 10 menunjukkan perkembangan produksi padi sawah, padi ladang dan padi
sawah +ladang di J awa Barat.

Sumber : Dinas Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2006.
Gambar 10. Produksi Padi Ladang, Padi Sawah, Padi Ladang + Sawah
Tahun 2001 2005 Jawa Barat (Ton)
0
1000000
2000000
3000000
4000000
5000000
6000000
7000000
8000000
9000000
10000000
2001 2002 2003 2004 2005
Produksi
Padi
Ladang
Produksi
Padi
Sawah
Produksi
Padi
Ladang +
Sawah

Peningkatan produksi belum cukup untuk dapat dijadikan ukuran kinerja
ketahanan pangan, tetapi perlu juga diketahui ketersediaan beras yang tersedia untuk
128
dikonsumsi serta jumlah konsumsi beras bagi masyarakat. Berikut ini disajikan
perkembangan produksi beras, ketersediaan beras untuk konsumsi, jumlah konsumsi
beras dan kondisi persediaan daerah.

Tabel 12. Perkembangan Produksi Gabah, Produksi Beras, Ketersedian Beras untuk
Konsumsi, J umlah Konsumsi Beras dan Kondisi Persediaan Beras Daerah


Tahun
Produksi
Padi
(Ton GKG)
Produksi
Beras (Ton)
Ketersediaan
Konsumsi
Beras (Ton)
Total
Konsumsi
Beras (Ton)
Surplus/
Defisit
(Ton)
Rasio
S / K
2001 9 166 872 5 958 466.8 5 362 620.1 4 475 033.5 +887 586.5 1.20
2002 8 776 889 5 704 977.9 5 134480.1 4 557 650.6 +576 829.4 1.13
2003 9 602 302 6 241 496.3 5 617 346.7 4 696 897.4 +920 449.3 1.20
2004 9 787217 6 361 691.1 5 725 522.1 4 795 304.3 +930 217.8 1.19
2005 9 418 572 6 122 071.8 5 509 864.6 4 888 511.3 +621 353.3 1.13
Sumber : Dinas Tanaman Pangan J awa Barat, 2005 dan BPS J awa Barat, 2005.

Pada tahun 2001 produksi padi sawah dan ladang J awa Barat mencapai 9 166 872
ton GKG apabila dikonversi ke beras sebesar 5 958 466.8 ton beras, dengan populasi
penduduk sebanyak 37 291 946 jiwa dan apabila jumlah kebutuhan per kapita sebanyak
120 kg per tahun, maka surplus beras J awa Barat dengan memperhitungkan tercecer dan
benih sebesar 887 586.5 ton beras. Berdasarkan rasio antara ketersediaan beras untuk
konsumsi dengan jumlah konsumsi, pada tahun 2001 di J awa Barat mengalami surplus
beras sebesar 20 persen dari tingkat ketersediaan konsumsi beras. Sebanyak 14
kabupaten mengalami surplus beras sedang sisanya dua kabupaten Kabupaten Bogor dan
Kabupaten Bandung serta semua kota di J awa Barat mengalami defisit beras. Selama
129
tahun 2001 sampai 2005 pada masa implementasi desentralisasi fiskal J awa Barat secara
umum mengalami surplus beras pada kisaran 13 sampai 20 persen.
Produksi palawija di J awa Barat masih di bawah kebutuhan penduduk
berdasarkan norma gizi, dimana pencapaian produksi komoditas jagung baru mencapai
51.83 persen, umbi-umbian 55.36 persen dan kacang-kacangan 19.82 persen (Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Provinsi J awa Barat, 2005). Pada Tabel 13 ditunjukkan
perkembangan potensi sumber pangan non beras yang dihasilkan J awa Barat.

Tabel 13. Perkembangan Produksi Sumber Pangan Palawija di J awa Barat Tahun
2001 2005
(Ton)
Nama Pangan 2001 2002 2003 2004 2005
J agung 464 163 461 930 549 441 587 189 573 263
Kedele 29 790 19 893 29 090 23 712 24 494
Kacang Tanah 66 468 91 867 97 723 100 684 91 817
Kacang Hijau 12 602 11 178 13 950 15 612 13 228
Ubi Kayu 1 800 257 1 661 558 2 074 023 2 054 747 2 044 674
Ubi J alar 367 786 342 794 389 640 390 382 389 043
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi J awa Barat, 2005.

Indikator kinerja ketahanan pangan dari aspek konsumsi secara agregat diukur
dari rata-rata tingkat konsumsi energi dan protein per kapita. Indikator ini memberikan
gambaran kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan gizi, yang ditentukan
secara langsung oleh kemampuan daya beli dan perilaku. Pada Gambar 11 ditunjukkan
bahwa konsumsi energi per kapita per hari penduduk J awa Barat masih belum memenuhi
standar kecukupan gizi yaitu sebesar 2200 kkal /kapita / hari. Perkembangan rata-rata
130
tingkat konsumsi energi per kapita penduduk J awa Barat mengalami penurunan,
penurunan konsumsi energi pada tahun 1996 1999 relatif lebih kecil dibanding
penurunan pada tahun 1999 2005 pada masa desentralisasi fiskal. Namun untuk tingkat
konsumsi protein sudah memenuhi standar kecukupan gizi yaitu sebesar 52 gram per
kapita per hari, walaupun dalam perkembangannya juga mengalami penurunan tetapi
tingkat penurunan tidak sebesar pada penurunan konsumsi energi.
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
1996 1999 2002 2005
Konsumsi
Energi
Konsumsi
Protei n
Sumber : Susenas BPS, berbagai tahun terbitan.
Gambar 11. Perkembangan Persentase Kecukupan Konsumsi
Energi dan Protein per Kapita per Hari
Penduduk Jawa Barat

Pencapaian konsumsi energi per kapita penduduk menurut kabupaten / kota
masih jauh dari Angka Kecukupan Gizi (AKG energi 2 200 Kkal), hanya ada satu kota
Bekasi yang pencapaian konsumsi energi diatas 80 persen AKG dan ada empat
kabupaten/ kota yaitu : Kabupaten. Karawang, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut
dan Kota Bandung yang pencapaian konsumsi berada diatas 70 - 80 persen. Sedang
sisanya merupakan kabupaten/ kota yang mengalami defisit konsumsi energi
(<70 persen AKG). Pencapaian konsumsi protein per kapita seluruh kabupaten/ kota
131
sudah diatas batas 80 persen AKG, bahkan beberapa kabupaten/ kota mecapai diatas 100
persen AKG.
Angka rata-rata konsumsi energi di atas belum memberikan gambaran besarnya
masalah defisit energi pada populasi penduduk. Kabupaten yang mempunyai.proporsi
rumah tangga mengalami defisit konsumsi energi paling tinggi adalah dialami dua
kabupaten, yaitu Majalengka dan Purwakarta. Kabupaten/ kota dengan proporsi rumah
tangga defisit energi sedang sebanyak sembilan kabupaten/kota yaitu : Kabupaten Bogor,
Cianjur, Kuningan, Indramayu, Ciamis serta Kota Bogor, Sukabumi, Depok dan
Tasikmalaya dan sisanya merupakan kabupaten/ kota dengan proporsi rumah tangga
defisit energi rendah.
Berdasarkan data pencapaian konsumsi protein terhadap AKG semua kabupaten/
kota diatas 80 persen, ternayata bila dirinci pada tingkat rumah tangga masih cukup
banyak rumah tangga yang mengalami defisit protein. Kabupaten yang proporsi rumah
tangga mengalami defisit protein tinggi adalah Kabupaten Majalengka, Purwakarta dan
Tasikmalaya. Sedang yang termasuk kategori sedang adalah Kabupaten Bogor, Cianjur,
Kuningan, Indramayu, Bekasi, Kerawang, Subang, Garut, Ciamis, Kota Bogor, Kota
Sukabumi dan Kota Bandung. Sedang sisanya termasuk kabupaten/ kota dengan proporsi
rumah tangga defisit konsumsi protein rendah.
Indikator lain yang mencerminkan penyerapan pangan oleh tubuh adalah status
gizi, dimana status gizi merupakan gambaran kerawanan pangan di tingkat individu.
Rumah tangga dengan ketahanan pangan yang baik, belum menjamin bahwa seluruh
anggota keluarga terlindungi dari status gizi yang baik terlebih untuk anggota keluarga
yang peka terhadap kerawanan pangan seperti ibu hamil dan balita. Prevalensi balita gizi
132
kurang dan buruk merupakan salah satu indikator yang mengambarkan kondisi terjadinya
kerawanan pangan pada anggota masyarakat yang peka terhadap kerawanan pangan.
Pada Tabel 14 ditunjukkan bahwa angka prevalensi gizi kurang dan buruk di J awa Barat
secara umum terjadi kecenderungan meningkat, walaupun ada beberapa kabupaten / kota
yang mengalami penurunan. Angka prevalensi gizi kurang dan buruk terbesar didapat
oleh Kabupaten dan Kota Cirebon yang pada tahun 2005 mencapai seperempat dari
populasi balita yang ada.
Tabel 14. Perkembangan dan Keragaan Prevalensi Balita Gizi Kurang dan Buruk
Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi J awa Barat Tahun 2003 2005
( % )
Kabupaten/ Kota Balita Gizi Buruk
Tahun 2003
Balita Gizi Buruk
Tahun 2004
Balita Gizi Buruk
Tahun 2005
Kab Bogor
Kab Sukabumi
Kab Cianjur
Kab Bandung
Kab Garut
Kab Tasikmalaya
Kab Ciamis
Kab Kuningan
Kab Cirebon
Kab Majalengka
Kab Sumedang
Kab Indramayu
Kab Subang
Kab Purwakarta
Kab Karawang
Kab Bekasi
Kota Bogor
Kota Sukabumi
Kota Bandung
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota Depok
J awa Barat
14.51
15.01
16.61
11.22
12.93
16.14
13.11
12.20
21.54
12.94
11.93
15.92
10.68
9.12
14.18
10.99
11.48
11.67
10.13
18.04
18.05
10.14
13.57

19.70
20.90
23.00
14.90
21.00
14.60
7.70
17.90
24.70
17.30
17.50
19.90
16.60
16.30
22.30
20.50
21.30
17.10
16.20
26.90
18.40
18.90
18.80
16.58
18.24
23.28
15.20
20.18
14.20
8.26
18.21
25.40
19.55
12.50
23.70
18.20
14.26
24.80
18.70
16.85
13.60
12.30
24.20
16.40
12.50
17.64
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi J awa Barat, 2005.
133
Angka kematian bayi merupakan salah satu indikator penyerapan pangan, dimana
angka kematian bayi merupakan indikator yang bisa mencerminkan perubahan status
sosial dan ekonomi. Tingginya angka kematian bayi di suatu daerah bisa disebabkan oleh
beberapa faktor seperti kemiskinan, penyakit infeksi, pendidikan yang rendah, akses ke
pelayanan kebutuhan dasar yang rendah. Angka kematian bayi merupakan jumlah bayi
yang mati dalam usia dibawah satu tahun dari 1000 kelahiran.

Tabel 15. Perkembangan dan Keragaan Angka Kematian Bayi Menurut Kabupaten /
Kota di Wilayah Provinsi J awa Barat Tahun 2003 2005
(J iwa / 1000 Kelahiran Hidup)
Kabupaten/ Kota Angka Kematian
Bayi Tahun 2003
Angka Kematian
Bayi Tahun 2004
Angka Kematian
Bayi Tahun 2005

Kab Bogor
Kab Sukabumi
Kab Cianjur
Kab Bandung
Kab Garut
Kab Tasikmalaya
Kab Ciamis
Kab Kuningan
Kab Cirebon
Kab Majalengka
Kab Sumedang
Kab Indramayu
Kab Subang
Kab Purwakarta
Kab Karawang
Kab Bekasi
Kota Bogor
Kota Sukabumi
Kota Bandung
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota Depok
J awa Barat


53.54
58.67
60.00
40.67
57.01
54.90
56.75
48.77
55.00
55.25
42.37
64.58
47.67
63.41
60.30
51.00
29.00
40.26
36.21
39.33
40.30
44.20
49.96

47.41
51.45
52.10
38.50
56.98
55.50
53.51
48.50
54.70
49.78
41.85
55.64
42.39
57.32
58.50
50.22
28.47
38.96
36.10
37.71
35.54
33.38
46.57


45.85
44.50
54.00
38.76
48.76
53.40
56.70
49.30
52.80
56.40
44.20
66.20
49.45
62.58
60.48
52.60
25.80
41.70
32.30
38.20
34.80
32.40
43.70

Sumber : BPS Provinsi J awa Barat, 2005.
134
Angka harapan hidup merupakan indikator yang dapat menggambarkan dampak
kerawanan pangan yang terjadi di suatu wilayah. Umur harapan hidup dipengaruhi oleh
kondisi kesehatan termasuk status gizi. Seseorang yang sejak lahir hingga usia lanjut
hidup dengan kondisi kesehatan, sosial, ekonomi yang baik lebih berpeluang mencapai
usia hidup yang tinggi. Berikut disajikan perkembangan dan keragaan angka harapan
hidup menurut kabupaten/ kota di J awa Barat.
Tabel 16. Perkembangan dan Keragaan Harapan Hidup Menurut Kabupaten/ Kota di
Provinsi J awa Barat Tahun 2003 2005
( Tahun )
Kabupaten/ Kota Angka Harapan
Hidup 2003
Angka Harapan
Hidup 2004
Angka Harapan
Hidup 2005
Kab Bogor
Kab Sukabumi
Kab Cianjur
Kab Bandung
Kab Garut
Kab Tasikmalaya
Kab Ciamis
Kab Kuningan
Kab Cirebon
Kab Majalengka
Kab Sumedang
Kab Indramayu
Kab Subang
Kab Purwakarta
Kab Karawang
Kab Bekasi
Kota Bogor
Kota Sukabumi
Kota Bandung
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota Depok
J awa Barat

66.10
63.00
64.10
66.80
59.90
66.10
64.00
65.10
63.30
63.50
66.70
63.70
65.60
64.10
62.90
67.00
68.00
66.20
68.80
67.60
68.10
71.80
64.50
67.20
65.10
64.60
68.45
62.30
66.60
65.10
65.90
62.80
67.00
67.80
64.20
66.50
64.80
65.80
68.50
68.40
67.50
70.80
68.20
69.60
71.90
65.70

68.85
65.70
65.65
70.20
63.20
65.35
65.85
66.65
64.10
67.40
67.87
64.08
66.95
65.97
65.08
68.13
71.30
69.10
71.50
70.60
70.80
72.10
66.80
Sumber : BPS Provinsi J awa Barat, 2005.
135
Secara nasional usia harapan hidup telah mengalami peningkatan demikian pula
dengan J awa Barat. Pencapaian angka harapan hidup ternyata tidak harus sejalan dengan
peningkatan ekonomi semata tetapi juga dominan dipengaruhi faktor pendidikan dan
kesehatan. Pencapaian angka harapan hidup di daerah perkotaan relatif lebih tinggi
dibanding daerah perdesaan.

VI. KERAGAAN MODEL DAN PEMBAHASAN

6.1. Analisis Umum Model Dugaan
Dalam bab ini akan disajikan dan dibahas nilai-nilai hasil pendugaan
parameter dari persamaan struktural pada model penelitian yang ada. Dalam
proses spesifikasi model yang digunakan dalam penelitian ini telah mengalami
beberapa kali modifikasi karena ditemukan beberapa hasil dugaan yang tidak
konsisten dengan teori dan beberapa dugaan parameter yang tidak nyata. Sehingga
akhirnya didapatkan model dengan keragaan hasil pendugaan parameter yang cukup
representatif untuk menggambarkan fenomena yang ada.
Nilai koefisien determinasi (R
2
) masing-masing persamaan struktural dalam
model relatif tinggi yaitu berkisar antara 0.53 sampai 0.99. Dengan demikian secara
umum peubah-peubah penjelas yang dimasukkan dalam persamaan struktural dalam
penelitian ini mampu menjelaskan dengan baik keragaman setiap peubah
endogennya, dan semua peubah penjelas tersebut mempunyai parameter dugaan
yang tandanya sesuai dengan harapan teori dan fenomena ekonomi yang ada.
Nilai- nilai statistik F yang pada umumnya cukup tinggi yaitu berkisar antara
12.25 sampai 14705.74, maka dapat diinterprestasikan bahwa variasi peubah-
peubah dalam setiap persamaan struktural secara bersama-sama dapat menjelaskan
dengan baik variasi peubah endogennya masing-masing. Hasil statistik t
menunjukkan bahwa terdapat beberapa peubah penjelas yang secara individual
tidak berpengaruh nyata terhadap peubah endogen apabila menggunakan taraf nyata
sebesar 0.05. Namun dengan taraf nyata yang lebih fleksibel, yaitu menggunakan
taraf nyata yang lebih besar hingga 0.20, maka dapat dilihat bahwa sebagian besar
peubah penjelas dalam setiap persamaan struktural berpengaruh nyata terhadap
peubah endogennya masing-masing.
137
Berdasarkan hasil uji statistik Durbin-h menunjukkan bahwa dari semua
persamaan ada dua persamaan struktural yang tidak dapat ditentukan karena
mempunyai nilai akar yang negatif dan ada empat persamaan struktural yang
ditemukan ada masalah korelasi serial pada taraf nyata 0.05. Menurut Pindyck dan
Rubinfeld (1991), masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi pendugaan
parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi. Dengan
demikian secara umum dapat dikatakan bahwa pendugaan model dalam penelitian
ini cukup representatif menggambarkan fenomena ekonomi kemiskinan dan
ketahanan pangan di J awa Barat.

6.2. Dugaan Parameter Persamaan Struktural
Secara rinci dugaan parameter dari persamaan - persamaaan struktural
dalam model akan dibahas secara mendalam dalam masing- masing persamaan.
6.2.1. Penerimaan Daerah
Penerimaan daerah terdiri dari PAD, dana alokasi, dana bagi hasil dan
penerimaan sah lainnya sedang PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah dan
laba usaha daerah. Hasil pendugaan pada Tabel 17 menunjukkan bahwa faktor-
faktor yang signifikan berpengaruh positif terhadap pajak daerah adalah PDRB,
jumlah penduduk tidak miskin, dummy desentralisasi fiskal dan lag pajak daerah,
sedang jumlah penduduk miskin berpengaruh negatif terhadap pajak daerah.
Dummy desentralisasi fiskal bernilai positif menunjukkan bahwa penerimaan
pajak daerah setelah desentralisasi fiskal secara signifikan bernilai lebih besar, hal
ini menunjukkan bahwa dengan desentralisasi fiskal daerah lebih bisa menggali
potensi penerimaan daerah melalui ekstensifikasi dan intensifikasi pajak daerah
( Sondakh, 1999; Vasques and McNab, 2001; Lin and Liu, 2000; Mahi, 2000;
Ismail 2001; Kerk and Garry, 1997).
138
J umlah penduduk miskin berhubungan negatif dan mempunyai elastisitas yang
elastis dengan penerimaan pajak daerah, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat
miskin selain tidak berpotensi menghasilkan pajak juga justru memerlukan subsidi
hasil pajak dari pemerintah. Hasil analisis menunjukkan apabila jumlah penduduk
miskin berkurang sebesar 10 persen maka penerimaan pajak daerah akan meningkat
sebesar 17 persen. Nilai elastisitas dalam jangka panjang semakin elastis, karena
terjadinya pengaruh multiplier efek sehingga pengaruhnya tidak hanya secara
langsung saja tetapi juga pengaruh tidak langsung. Mengurangi penduduk miskin
mempunyai dampak positif yang luas dalam pembangunan, dampak secara langsung
terhadap pemerintah adalah berupa peningkatan kinerja fiskal melalui penerimaan
potensi pajak dan pengurangan subsidi untuk masyarakat miskin. J umlah penduduk
miskin merupakan salah satu indikator yang digunakan oleh pemerintah pusat untuk
pertimbangan penyaluran dana alokasi (DAU) ke pemerintah daerah, apabila jumlah
penduduk miskin relatif tinggi dalam suatu wilayah menunjukkan bahwa dalam
wilayah tersebut masih membutuhkan banyak dana bantuan untuk subsidi.
PDRB merupakan salah satu indikator kinerja perekonomian suatu daerah,
dimana peningkatan PDRB merupakan indikator adanya peningkatan aktivitas
ekonomi daerah yang merupakan faktor potensi dalam menggali objek pajak.
Dalam penelitian ini PDRB mempunyai elastisitas yang inelastis yaitu sebesar
0.0747 terhadap pajak daerah, artinya apabila PDRB meningkat sebesar 10 persen
maka pajak daerah akan meningkat hanya sebesar 0.7 persen. Kecilnya nilai
elastisitas penerimaan pajak terhadap PDRB menunjukkan bahwa pemerintah daerah
di wilayah penelitian masih belum optimal dalam menggali potensi pajaknya
sehingga peningkatan nilai PDRB sebagai potensi penerimaan pajak tidak responsif
dengan penerimaan aktual pajaknya. Sebagai implementasi otonomi daerah maka
139
perlu dilakukan upaya-upaya fiskal berupa intensifikasi dan ekstensifikasi dalam
penggalian potensi pajak sehingga peningkatan PDRB memberi pengaruh yang
besar pada peningkatan penerimaan pajak daerah namun jangan sampai menurunkan
tingkat investasi daerah. Peubah-peubah penjelas yang digunakan dalam persamaan
pajak daerah mampu menjelaskan variasi yang terjadi dalam penerimaan pajak
sebesar 69. 45 persen.

Tabel 17. Faktor-Faktor Yang Mempempengaruhi Penerimaan Daerah Kabupaten
di Wilayah Provinsi J awa Barat

Persamaan Pajak Daerah
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek J . Panjang
INTERCEP -551.819796 -0.269 0.7880 - -
PDRB 0.187383 1.237 0.2181 0.0747 0.1717 PDRB
J MLTMIS 13.205164 6.036 0.0001 2.2525 11.2077
J umlah penduduk tidak
miskin
J MLMIS -48.345719 -6.098 0.0001 -1.6868 -8.3930 J umlah penduduk miskin
DMDF 6267.430335 4..538 0.0001 - - Dummy desentralisasi
LPJ KDAE 0.799019 6..277 0.0001 - - Lag pajak daerah
F Value Prob>F R-Square Dh
31.458 0.0001 0.694 2..273
Persamaan Dana Alokasi
Parameter T for H0: Elastisitas
Variable
Estimate Parameter=0
Prob >|T|
J . Pendek J . Panjang
Label Variabel
INTERCEP -4374.654926 -0.232 0.8183 - - Intercep
J MLPDK 50.306315 3.276 0.0013 0.4263 0.9159 J umlah penduduk
LUDAE 11.243174 1.295 0.1975 0.1212 0.2604 Luas daerah
J MLMIS 28.696834 2.257 0.0038 0.1824 0.3919
J umlah penduduk
miskin
PAD -4.567846 -1.013 0.2564 - -
Pendapatan asli
DMDF 234633 13.546 0.0001 - -
Dummy desentralisasi
fiscal
LDALOK 0.534633 18.434 0.0001 - - Lag dana alokasi
F Value Prob>F R-Square Dh
138.249 0.0001 0.749 1.695

Temuan dalam studi ini mempunyai implikasi yaitu untuk meningkatkan
penerimaan daerah khususnya penerimaan dari sektor pajak, maka selain harus
140
melakukan peningkatan aktivitas ekonomi daerah melalui peningkatan PDRB yang
tidak kalah penting untuk dilakukan adalah pengurangan jumlah penduduk miskin.
Penduduk miskin hanya akan menjadi beban bagi pemerintah, sehingga
meningkatkan kemandirian bagi penduduk miskin untuk mencukupi kebutuhan
dasarnya akan mengurangi beban untuk subsidi bagi pemerintah. Selanjutnya
kenaikan kesejahteraan bagi penduduk miskin akan menaikkan potensi penerimaan
pemerintah dari sektor pajak, karena tingkat kesejahteran masyarakat sebagai
potensi sumber penerimaan pajak daerah.
Dana alokasi secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah penduduk, luas
daerah, jumlah penduduk miskin, dummy desentralisasi fiskal. Dummy
desentralisasi fiskal bernilai positif menunjukkan bahwa setelah desentralisasi
fiskal telah terjadi kenaikan dana alokasi yang merupakan dana transfer dari
pemerintah pusat. Walaupun pada masa desentralisasi fiskal PAD lebih besar,
tetapi karena pengeluaran juga relatif lebih besar pada masa desentralisasi fiskal
sehingga diperlukan dana alokasi yang lebih besar. Fenomena ini menunjukkan
bahwa dengan desentralisasi fiskal ketergantungan daerah terhadap dana dari
pemerintah pusat semakin besar. Peningkatan PAD sehubungan dengan kebebasan
menggali potensi daerah pada masa desentralisasi fiskal belum bisa menutupi
kebutuhan daerah sehingga masih dibutuhkan dana alokasi yang juga lebih besar
pada masa desentralisasi fiskal. Dengan berjalannya waktu dalam implementasi
desentralisasi fiskal diharapkan penerimaan pemerintah daerah dari PAD akan
semakin besar sehingga dana transfer DAU dari pemerintah pusat akan bisa
semakin dikurangi untuk menuju pada kemandirian fiskal daerah sesuai dengan cita-
cita dari otonomi daerah.
141
PAD berhubungan negatif tidak signifikan terhadap dana alokasi, besar dan
kecilnya PAD akan mempengaruhi perolehan dana alokasi umum dari pemerintah
pusat dimana daerah yang nilai perolehan PADnya relative besar akan mendapat
dana alokasi umum yang relative kecil karena daerah lebih mampu membiayai
pengeluarannya.

6.2.2. Pengeluaran Daerah
Pengeluaran daerah terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran
pembangunan, pengeluaran pembangunan terdiri dari pengeluaran pembangunan
sektor pertanian dan pengeluaran sektor lain. Pengeluaran rutin secara signifikan
dipengaruhi multiple belanja pegawai dan belanja barang, PAD, dana alokasi,
dummy desentralisasi fiskal, dan lag pengeluaran rutin.
Dummy desentralisasi fiskal bernilai positif menunjukkan adanya intersep
yang lebih besar, berarti nilai pengeluaran rutin pada masa desentralisasi fiskal
relatif lebih besar.Tingginya pengeluaran rutin pada masa desentralisasi fiskal
disebabkan banyaknya pegawai pusat yang didaerahkan pada masa desentralisasi
fiskal. Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi pembangunan yang didaerahkan juga membutuhkan pengeluaran rutin
sebagai dana operasional yang relatif lebih besar pada masa desentralisasi fiskal.
Rata-rata dana pengeluaran rutin pada masa sebelum desentralisasi fiskal berkisar
71 persen dari total pengeluaran daerah, sedang pada masa desentralisasi fiskal
meningkat menjadi berkisar sebesar 78 persen dari total pengeluaran daerah.
Peningkatan dalam belanja pegawai dan belanja barang akan diikuti oleh
peningkatan dana pengeluaran rutin tetapi dalam proporsi yang jauh lebih kecil, hal
ini wajar karena keterbatasan anggaran sehingga responsibilitas pengeluaran dana
142
terhadap belanja operasionalnya akan kecil dan pemerintah daerah diharapkan
melakukan efisiensi dalam penggunaan anggaran rutinnya sebagai dana operasional.

Tabel 18. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengeluaran Daerah Kabupaten di
Wilayah Provinsi J awa Barat

Persamaan Pengeluaran Rutin
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek
J .
Panjang
INTERCEP 53437 6.889 0.0001 - - Intercep
MJ PGBB 0.015572 2.065 0.0408 0.0555 0.5393
Multiple belanja pegawai
dan barang
PAD 265780 1.860 0.4260 - - Pendapatan asli daerah
DALOK 564328 3.835 0.0620 0.1652 1.6055 Dana alokasi
DMDF 252609 18.480 0.0001 - -
Dummy desentralisasi
fiscal
LPRUTIN 0.897104 9..362 0.0001 - - Lag pengeluaran rutin
F Value Prob>F R-Square Dh
212.556 0.0001 0.821 2..282


Persamaan Pengeluaran Sektor Pertanian
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek
J .
Panjang
INTERCEP 369.026425 0.666 0.5066 - - Intercep
AREAL 0.010038 2.556 0.0116 0.4632 1.0617 Luas areal tanaman padi
PAD 3.6534 24 3.128 0.0026 0.0634 0.1453 Pendapatan asli daerah
DALOK 0.003198 1..346 0.1806 0.3248 0.7445 Dana alokasi
DMDF 2640.285718 7.640 0.0001 - -
Dummy desentralisasi
fiscal
LPSEKP 0..563788 6..598 0.0001 - -
Lag pengeluaran sektor
pertanian
F Value Prob>F R-Square Dh
38.763 0.0001 0.655 1..846


PAD berhubungan positif dengan pengeluaran rutin tetapi tidak signifikan,
artinya apabila PAD meningkat maka akan meningkatkan penerimaan daerah
sebagai sumber pengeluaran yang digunakan untuk pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan. PAD tidak signifikan terhadap pengeluaran rutin, karena
kontribusi PAD yang relatif kecil dalam penerimaan daerah dan pengeluaran rutin
merupakan pengeluaran yang kontribusinya relatif besar. Dana alokasi berhubungan
143
positif dan signifikan terhadap pengeluaran rutin, karena dana alokasi merupakan
sumber penerimaan terbesar daerah yang bisa digunakan untuk membiayai
pengeluaran operasional daerah sehingga signifikan terhadap pengeluaran rutin.
Pengeluaran pembangunan sektor pertanian secara signifikan dipengaruhi
positif oleh areal tanaman padi, PAD, dana alokasi, dummy desentralisasi fiskal dan
lag pengeluaran sektor pertanian. Areal tanaman padi signifikan mempengaruhi
pengeluaran pembangunan sektor pertanian dengan elastisitas sebesar 0.4632,
artinya apabila areal tanaman padi meningkat 10 persen maka dana pembangunan
sektor pertanian akan naik 4.63 persen. Walaupun nilai kenaikan anggaran tidak
proporsional dengan kenaikan areal tanaman padi, namun hal ini menunjukkan
komitmen pemerintah daerah kabupaten di J awa Barat terhadap usahatani padi,
yaitu dana pembangunan sektor pertanian masih dominan dan lebih diprioritaskan
pada peningkatan produktivitas tanaman padi. Fenomena ini cukup beralasan karena
sebagian besar wilayah kabupaten di J awa Barat mempunyai potensi dan
keunggulan pada produksi padi, sehingga mengantarkan wilayah J awa Barat sebagai
lumbung padi nasional terbesar.
PAD sebagai sumber penerimaan lokal daerah dan dana alokasi sebagai
sumber penerimaan dari pusat merupakan sumber penerimaan daerah berhubungan
positif dan signifikan terhadap pengeluaran pembangunan sektor pertanian.
Peningkatan penerimaan dari PAD dan dana alokasi dari pemerinah pusat akan
meningkatkan pengeluaran daerah untuk pembangunan di sektor pertanian.

6.2.3. PDRB Kabupaten di Provinsi Jawa Barat.
PDRB dalam model penelitian ini dibedakan antara PDRB sektor pertanian
dan PDRB non pertanian. Hasil estimasi PDRB pertanian dipengaruhi positif oleh
144
tenaga kerja sektor pertanian, pengeluaran pembangunan sektor pertanian,
pendapatan penduduk sektor pertanian, dan lag pembagunan sektor pertanian.
Sedang PDRB non pertanian dipengaruhi positif oleh tenaga kerja sektor non
pertanian, pengeluaran pembangunan sektor lain dan pendapatan penduduk non
pertanian, sedang PDRB Pertanian berhubungan positif dengan PDRB Non
Pertanian tetapi tidak signifikan.
Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian berpengaruh positif dengan nilai
elastisitas sebesar 0.7078 artinya apabila jumlah tenaga kerja pada sektor pertanian
meningkat sebesar 10 persen maka PDRB sektor pertanian meningkat sebesar 7
persen. Tenaga kerja merupakan input dalam proses produksi sektor pertanian,
sehingga peningkatan jumlahnya akan memberi pengaruh pada peningkatan
outputnya. Peningkatan PDRB sektor pertanian yang relatif lebih kecil dibanding
peningkatan input tenaga kerja menunjukkan bahwa penambahan input tenaga kerja
pada sektor pertanian tidak elastis. Kurang responsifnya penambahan tenaga kerja
terhadap peningkatan PDRB sektor pertanian, menunjukkan bahwa pada sektor
tersebut penggunaan tenaga kerja relatif berlebih sehingga penambahan jumlah
tenaga kerja tidak memberi respon yang besar pada peningkatan outputnya.
Peningkatan tenaga kerja walaupun berpengaruh pada peningkatan PDRB sebagai
output, tetapi akan menurunkan output per tenaga kerja atau produktivitas tenaga
kerja dalam menghasilkan output. Fenomena ini sesuai dengan kondisi yang ada di
daerah penelitian, bahwa sektor pertanian merupakan sektor padat karya sehingga
peningkatan tenaga kerja akan berpengaruh pada peningkatan PDRB dengan nilai
yang lebih kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat Ikhsan (2001) bahwa pada sektor
pertanian terdapat tenaga kerja yang berlebih karena terjadinya perubahan
struktural yang tidak seimbang. Namun demikian dari semua peubah yang ada
145
tenaga kerja mempunyai kontribusi paling besar dalam peningkatan PDRB sektor
pertanian, untuk itu dalam upaya meningkatkan PDRB pada sektor pertanian
memperbaiki produktivitas tenaga kerja dengan cara memperbaiki kualitas SDM
merupakan pilihan yang perlu dilakukan.
Pengeluaran pembangunan sektor pertanian signifikan berpengaruh positif
pada PDRB sektor pertanian. Peningkatan dana pembangunan pada sektor pertanian
akan meningkatkan investasi pemerintah pada pelayanan publik di sektor pertanian
sehingga akan memberi eksternalitas pada peningkatan PDRB sektor pertanian.
Nilai elastisitas yang kecil sebesar 0.0773 menunjukkan bahwa apabila terjadi
peningkatan dana pembangunan sektor pertanian sebesar 10 persen maka akan
terjadi peningkatan PDRB sektor pertanian hanya sebesar 0.7 persen. Kecilnya
nilai elastisitas ini ada berbagai kemungkinan yang bisa menjadi penyebab
diantaranya adalah : (1) karena dana yang dialokasikan pada sektor pertanian
jumlahnya relatif kecil sehingga dampak yang ditimbulkan terhadap PDRB juga
kecil pengaruhnya; (2) kemungkinan adanya faktor time-lag yang berperan yaitu
pengeluaran pembangunan sektor pertanian tidak langsung pengaruhnya tetapi baru
memiliki pengaruh terhadap PDRB sektor pertanian setelah beberapa tahun
kemudian melalui mekanisme transmisi; (3) kurang tepatnya pemerintah daerah
melakukan stimulus belanja terhadap kebutuhan dalam sektor pertanian sehingga
pengeluaran dana yang ada kurang memberikan pengaruh yang berarti terhadap
PDRB sektor pertanian. Hasil kajian ini berbeda dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Nanga (2006) dengan wilayah kajian di Indonesia dan Pakasi (2005)
dengan wilayah kajian di Sulawesi Utara yang memberikan hasil bahwa pengeluaran
pembangunan sektor pertanian tidak signifikan mempengaruhi PDRB.

146
Tabel 19. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi PDRB Kabupaten di Wilayah
Provinsi J awa Barat
Persamaan PDRB Sektor Pertanian
Parameter T for H0: Elastisitas
Variable
Estimate Parameter=0
Prob >|T|
J . Pendek J . Panjang
Label Variabel

INTERCEP -90.156349 -3.110 0.0023 - - Intercep
TKP 1.399257 15.461 0.0001 0.7078 1.5585 J umlah tenaga kerja pertanian
PSEKP 0.014812 4.452 0.0001 0.0773 0.1702 Pengeluaran sektor pertanian
INCPPI 0.569273 5..580 0.0001 0.3781 0.8325 Pendapatan per kapita petani
AREAL 3.145720 1.013 0.3976 - - Areal tanaman padi

LPDRBP 0.545846 6..324 0.0001 - - Lag PDRB sektor pertanian
F Value Prob>F R-Square Dh
221.056 0.0001 0.865 1..994

Persamaan PDRB Non Pertanian
Parameter T for H0: Elastisitas
Variable
Estimate Parameter=0
Prob >|T|
J . Pendek J . Panjang
Label Variabel

INTERCEP -1918.283489 -13.090 0.0001 - - Intercep
TKNP 5.158899 13.320 0.0001 0.7758 1.4788
J umlah tenaga kerja non
pertanian
PSEKLN 0.003415 3.697 0.0003 0.1043 0.1988 Pengeluaran sektor lainnya
INCNP 338.119562 74.180 0.0001 0.9185 1.7509
Pendapatan / kapita non
pertanian
PDRBP 0.436852 1.020 0.4102 - - PDRB sector pertanian

LPDRBNP 0.4754332 5.250 0.0001 - - Lag PDRB non pertanian
F Value Prob>F R-Square Dh
1963.726 0.0001 0.976 3.096

Pendapatan per kapita sektor pertanian signifikan mempengaruhi PDRB
pertanian, pendapatan yang tinggi pada masyarakat di sektor pertanian akan menjadi
insentif bagi masyarakat di sektor pertanian untuk meningkatkan aktivitas ekonomi
pada sektor tersebut sehingga memberikan peningkatan PDRB di sektor pertanian.
Penyerapan tenaga kerja pada sektor non pertanian berpengeruh positif dengan
nilai elastisitas sebesar 0.7758, hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja sebagai
faktor produksi mempengaruhi PDRB non pertanian tetapi kurang responsif.
Pengeluaran pembangunan sektor non pertanian berpengruh secara nyata
terhadap PDRB sektor non pertanian dengan elastisitas sebesar 0.1043, artinya
apabila pengeluaran pembangunan sektor non pertanian dinaikkan sebesar 10 persen
147
maka PDRB sektor non pertanian akan meningkat sebesar 1.04 persen. Secara
umum baik pada sektor pertanian maupun sektor non pertanian tenaga kerja
mempunyai pengaruh yang dominan dalam pembentukan PDRB, sehingga
penyerapan tenaga kerja dengan dibarengi peningkatan kualitasnya akan memberi
pengaruh yang baik pada peningkatan PDRB.

6.2.4. Produksi Gabah
Faktor-faktor yang signifikan berpengaruh terhadap produksi gabah adalah
harga gabah, permintaan pupuk, permintaan tenaga kerja pada sektor pertanian,
dummy desentralisasi fiskal dan produksi gabah tahun sebelumnya. Sedang dana
pengeluaran sektor pertanian tidak signifikan mempengaruhi produksi gabah.
Harga gabah berpengaruh positif dan signifikan terhadap produksi gabah, nilai
elastisitasnya relatif kecil yaitu sebesar 0.1540. Hasil ini lebih kecil dibanding hasil
penelitian Siregar (1991) elastisitas produksi gabah terhadap harganya sebesar 0.45.
Begitu juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nainggolan dan Suprapto
(1987), Sawit (l994), Hartoyo (1995), Mulyana (1998) bahwa elastisitas produksi
padi terhadap harganya inelastis. Menurut Mulyana (1998) di wilayah J awa dan
Bali, Kalimantan dan Sumatra respons produktivitas terhadap harga gabah lebih
elastis dibanding respons terhadap arealnya dan sebaliknya untuk wilayah Sulawesi
dan wilayah sisa Indonesia respons areal lebih elastis dibanding respons terhadap
produktivitas. Kenaikan harga gabah merupakan insentif bagi petani untuk
berproduksi lebih besar karena harga yang tinggi akan memberi pendapatan yang
lebih besar pada petani (Timmer, 2008). Respons yang kecil produksi gabah
terhadap perubahan harga gabah di wilayah penelitian karena adanya beberapa
kendala, diantaranya adalah keterbatasan areal tanam padi dimana lahan sawah
148
jumlahnya semakin berkurang karena lajunya proses konversi lahan pertanian
khususnya lahan sawah irigasi ( Irawan et al., 2003; Saliem et al., 2002).
J umlah penggunaan pupuk dan tenaga kerja pertanian merupakan input pada
produksi gabah sehigga berhubungan positif dengan outputnya. Input pupuk
mempunyai elastisitas produksi sebesar 0.6970 dan tenaga kerja mempunyai
elastisitas produksi sebesar 0.4417. Pengaruh input pupuk lebih dominan
kontribusinya terhadap produksi gabah dibanding kontribusi input tenaga kerja, hal
ini karena nilai produktivitas marginal pupuk lebih besar. Untuk itu dalam upaya
meningkatkan produksi gabah pemerintah bisa mempengaruhi penggunaan input
pupuk dengan melakukan subsidi harga pupuk maupun menata distribusi pupuk
untuk sampai ke petani secara lebih baik, tepat waktu dan efisien.

Tabel 20. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Gabah Kabupaten di Wilayah
Provinsi J awa Barat

Persamaan Produksi Gabah
Parameter T for H0: Elastisitas
Variable
Estimate Parameter=0
Prob >|T|
J . Pendek J . Panjang
Label Variabel
INTERCEP -191906.027 -3.051 0.0027 - - Intercep
PGAP 0.561906 2..353 0.0056 0.1540 0.2771 Harga gabah

QPUK 0.081642 10.370 0.0001 0.6971 0. 9254 J umlah pupuk
TKP 9.59.734694 7.880 0.0001 0.4417 0.7948
J umlah tenaga kerja
pertanian
PSEKP 5.810158 0.751 0.4537 - -
Pengeluaran sektor
pertanian
DMDF 256025 5..578 0.0001 - - Dummy desentralisasi
LPRODGAB 0.444217 2.686 0.0081 - - Lag produksi gabah
F Value Prob>F R-Square Dh
35.79 0.0001 0.566 0.864

Pengeluaran pembangunan sektor pertanian merupakan stimulus dalam
peningkatan produksi gabah, apabila dana pembangunan sektor pertanian meningkat
maka akan banyak program-program yang diharapkan bisa meningkatkan produksi
gabah terlebih pada daerah sentra usahatani padi. Namun berdasarkan hasil analisis
149
ternyata dana pembangunan sektor pertanian tidak signifikan mempengaruhi
produksi gabah. Produksi gabah lebih dominan dipengaruhi secara langsung pada
penggunaan input yaitu penggunaan pupuk dan tenaga kerja, sedang dana
pengeluaran sektor pertanian pengaruhnya tidak secara langsung tetapi
membutuhkan time-lag melalui mekanisme transmisi yang panjang terhadap
produksi gabah.
Dummy desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan dan bernilai positif
terhadap produksi gabah, hal ini menunjukkan bahwa pada masa desentralisasi fiskal
produksi gabah relatif lebih besar. Hal ini sesuai dengan kondisi yang ada yaitu pada
saat desentralisasi fiskal pemerintah daerah J awa Barat lebih fokus dalam
mengupayakan peningkatan produksi gabah melalui berbagai program dan kegiatan
sesuai dengan rencana strategis yang ditetapkan pemerintah J awa Barat bahwa
ketahanan pangan merupakan salah satu dari common goal pencapaian
pembangunan yang berfokus pada pangan beras (Pemprov J awa Barat, 2007).

6.2.5. Pendapatan Per Kapita Sektor Pertanian
Pendapatan per kapita sektor pertanian dipengaruhi positif secara signifikan
oleh poduksi gabah, tenaga kerja sektor pertanian, lag pendapatan sektor pertanian.,
dan pengeluaran pembangunan sektor lain berpengaruh negatif terhadap pendapatan
sektor pertanian. Sebagai daerah sentra produksi pangan khususnya beras,
pendapatan sektor pertanian dominan dipengaruhi oleh produksi gabah karena
usahatani padi merupakan mata pencaharian pokok sebagian besar penduduk di
daerah penelitian. Nilai elastisitas sebesar 0.2515 menunjukkan bahwa bila produksi
gabah meningkat sebesar 10 persen maka pendapatan per kapita sektor pertanian
akan meningkat sebesar 2.51 persen. Hal ini sesuai dengan kondisi pertanian yang
150
ada pada daerah penelitian bahwa produksi padi bukan merupakan sumber
pendapatan satu-satunya bagi petani di daerah penelitian, tetapi masih ada sumber
pendapatan lain dari subsektor lain pada sektor pertanian.
J umlah keterlibatan penduduk pada sektor pertanian sebagai tenaga kerja akan
mempengaruhi pendapatannya, karena pada sektor pertanian khususnya padi
sebagian besar pemilik juga ikut terlibat sebagai tenaga kerja. Penyerapan tenaga
kerja sektor pertanian mempunyai nilai elastisitas sebesar 0.3793 terhadap
pendapatan per kapita di sektor pertanian. Kurang responsifnya penyerapan tenaga
kerja terhadap pendapatan per kapita, menunjukkan bahwa produktivitas pada sektor
ini relatif rendah sehingga peningkatan penyerapan tenaga kerja kurang dibarengi
dengan peningkatan pendapatan per kapita. Kondisi ini menyebabkan sektor
pertanian menjadi kurang diminati karena kurang bisa memberikan peningkatan
pendapatan, sehingga sektor pertanian menjadi sektor yang termarginalkan dan lebih
didominasi oleh tenaga kerja dengan ketrampilan dan pendidikan yang relatif lebih
rendah.

Tabel 21. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan per Kapita
Sektor Pertanian Kabupaten di Wilayah Provinsi J awa Barat

Persamaan Pendapatan Per Kapita Petani
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek J . Panjang
INTERCEP 159.154332 7.899 0.0001 - - Intercep
PRODGAB 0.000152 4.594 0.0001 0.2515 0.2859 Produksi gabah
PSEKL -0.000459 -4.035 0.0001 -0.0740 -0.0841
Pengeluaran non
pertanian
TKP 0.498065 8.129 0.0001 0.3793 0.4312
J umlah tenaga kerja
pertanian

LINCPPI 0.120290 0.450 0.6533 - -
Lag pendapatan per
kapita petani
F Value Prob>F R-Square Dh
40.505 0.0001 0.548 1.954

151
6.2.6. Tenaga Kerja Sektor Pertanian
Tenaga kerja sektor pertanian dipengaruhi positif oleh angkatan kerja, upah
pada sektor pertanian, areal padi dan lag tenaga kerja sektor pertanian. Angkatan
kerja merupakan jumlah penduduk usia kerja baik yang sedang bekerja maupun
yang tidak bekerja. Peningkatan angkatan kerja diikuti oleh peningkatan penyerapan
tenaga kerja pada sektor pertanian dengan nilai elastisitas sebesar 0.8211. Hal ini
karena sektor pertanian berfungsi sebagai employment of last resort (Ikhsan, 2001;
Soetrino, 1999).
Sebagai employment of last resort maka sektor pertanian dalam menyerap
tenaga kerja seiring terjadinya peningkatan angkatan kerja harus dibarengi dengan
peningkatan ketrampilan dan pendidikan, sehingga peningkatan tenaga kerja tidak
akan menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas per tenaga kerja dari sektor
tersebut.

Tabel 22 . Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Tenaga Kerja Sektor Pertanian
Kabupaten di Wilayah Provinsi J awa Barat

Persamaan Tenaga Kerja Pertanian
Parameter T for H0: Elastisitas
Variable
Estimate Parameter=0
Prob >|T|
J . Pendek J . Panjang
Label Variabel

INTERCEP -10..291493 -0.196 0.8445 - - Intercep
AK 0.000330 8.752 0.0001 0.8211 1.2936 J umlah angkatan kerja
WTKP 0.004909 1.267 0.2073 0.1939 0.3054
Upah tenaga kerja
pertanian
AREAL 0.000050371 0.270 0.7873 - - Luas areal tanaman padi
PSEKP 1..240132 1.620 0.1245 0.1026 0.1616
Pengeluaran sector
pertanian
LTKP 0..365210 2.485 0.0141 - -
Lag jumlah tenaga kerja
pertanian
F Value Prob>F R-Square Dh
25.353 0.0001 0.524 0..824

Penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian bersifat inferior apabila
dibandingkan dengan tenaga kerja di sektor industri maupun sektor lain, maka
mempunyai hubungan positip dengan tingkat upahnya artinya apabila upah naik
152
justru penyerapan meningkat. Selain itu pada sektor pertanian tenaga kerja keluarga
ikut dominan terlibat dalam proses produksi, maka jumlah keterlibatan tenaga kerja
mempunyai hubungan positif dengan tingkat upah. Upah merupakan insentif bagi
tenaga kerja sehingga semakin besar tingkat upah maka akan meningkatkan jumlah
tenaga kerja yang terlibat pada sektor tersebut. Nilai elastisitas sebesar 0.1939
artinya apabila tingkat upah pada sektor pertanian meningkat sebesar 10 persen
maka tenaga kerja pada sektor pertanian akan meningkat sebesar 1.94 persen. Hasil
ini sesuai dengan hasil penelitian Pakasi (2005) bahwa upah pada sektor pertanian
berhubungan positif dengan tenaga kerja pada sektor peranian. Rendahnya respons
peningkatan upah terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, karena pada
sektor pertanian tingkat upah relatif konstan apabila dibanding besarnya penyerapan
tenaga kerja pada sektor tersebut. Peningkatan upah tidak responsif terhadap
penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, penambahan penyerapan tenaga kerja
pada sektor pertanian lebih dominan karena adanya penambahan angkatan kerja
sehingga terpaksa harus kerja pada sektor pertanian daripada disebabkan karena
perubahan dalam peningkatan upah.
Sebagai daerah sentra produksi pangan beras, jumlah tenaga kerja pada sektor
pertanian berhubungan positif dengan luas areal tanaman padi walaupun secara
statistik tidak signifikan. Usahatani padi merupakan matapencaharian pokok
sebagian besar penduduk sehingga besar kecilnya areal tanaman padi akan
mempengaruhi penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian.Tidak signifikan luas
areal terhadap penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian, karena luas areal
tanaman padi relatif konstan pertambahannya dibanding dengan pertambahan tenaga
kerja yang terus bertambah seiring dengan bertambahnya angkatan kerja setiap
tahun.
153
6.2.7. Penggunaan Pupuk
J umlah penggunaan pupuk dipengaruhi positif areal tanaman padi, harga gabah
dan lag pemakaian pupuk, sedang harga pupuk berpengaruh negatif terhadap jumlah
pemakaian pupuk. Elastisitas permintaan pupuk terhadap harganya inelastis sebesar
-0.6015 nilai ini relatif lebih kecil dibandingkan hasil penelitian Siregar (1999)
sebesar -0.97. Harga gabah merupakan insentif bagi petani, karena apabila harga
gabah naik dengan faktor lain konstan maka pendapatan petani naik sehingga petani
terinsentif untuk memproduksi gabah lebih banyak. Dengan kenaikan pendapatan
maka daya beli petani akan meningkat sehingga petani akan mampu membeli input
pupuk yang lebih banyak untuk produksi gabah karena pupuk merupakan input yang
dominan. Nilai elastisitas perubahan harga gabah terhadap permintaan pupuk
sebesar 0.1246, hasil ini lebih kecil bila dibandingkan hasil penelitian Siregar (1999)
sebesar 0.45.

Tabel 23. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan Pupuk Kabupaten di
Wilayah Provinsi J awa Barat
Persamaan Penggunaan Pupuk
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek J . Panjang
INTERCEP 2547265 5.253 0.0001 - - Intercep
AREAL 38.482878 12.554 0.0001 0.9877 1.0931
Luas areal tanaman
padi
PPUK -2665.41062 -5.819 0.0001 -0.6015 -0.7266 Harga pupuk
PGAB 516..228199 1.064 0.2893 0.1246 0.1505 Harga gabah

LQPUK 0.172170 1.382 0.1692 - - Lag jumlah pupuk
F Value Prob>F R-Square Dh
65.118 0.0001 0.6537 2..976

Areal tanaman padi mencerminkan kondisi skala usaha pada usahatani padi
sehingga mempunyai hubungan positif dengan penggunaan pupuk, dimana areal
tanaman padi yang lebih luas juga memerlukan penggunaan pupuk yang lebih
154
banyak. Nilai elastisitas sebesar 0.9877 menunjukkan bahwa apabila areal tanaman
padi meningkat 10 persen maka penggunaan pupuk akan meningkat sebesar 9.88
persen. Hal ini mencerminkan kondisi yang relatif konstan pada penggunaan pupuk
per satuan areal tanaman padi, dimana apabila areal tanaman padi berubah pada
satuan luas tertentu maka akan diikuti oleh penggunaan pupuk dengan satuan
jumlah yang proporsional.

6.2.8. Harga Gabah
Harga gabah dipengaruhi positif oleh pengeluaran pembangunan sektor
pertanian, harga pupuk, upah sektor pertanian, harga beras, dan lag harga gabah.
Harga gabah tidak mengikuti mekanisme pasar sehingga tidak dipengaruhi oleh
produksi gabah, tetapi pemerintah cenderung mengintervensi dengan penerapan
harga dasar gabah (HDG) yang selanjutnya berubah menjadi harga pembelian
pemerintah (HPP). Efektifitas HPP sangat tergantung dari ketersediaan dana yang
disediakan oleh pemerintah dalam mengendalikan harga gabah yaitu diantaranya
kemampuan bulog melakukan stok dengan membeli / menyerap gabah petani
(Simatupang dan Darmorejo, 2003; Simatupang dan Timmer, 2008).
Tabel 24. Faktor-Faktor Yan Mempengaruhi Harga Gabah Kabupaten di Wilayah
Provinsi J awa Barat
Persamaan Harga Gabah
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek J . Panjang
INTERCEP -137.84452 -10.668 0.0001 - - Intercep
PPUK 0.876850 6.768 0.0067 0.4562 0.4715 Harga pupuk
WTKP 0.015005 11.729 0.0001 0.1324 0.1368
Upah tenaga kerja
pertanian
PBRS 0.489051 196.943 0.0001 0.9777 1.0106 Harga beras
PSEKP 0.000055 0.052 0.9588 - -
Pengeluaran sektor
pertanian
LPGAP 0.032548 3.758 0.0003 - - Lag harga gabah
F Value Prob>F R-Square Dh
14705.734 0.0001 0.9977 7.574
155
Harga pupuk berhubungan positif dan signifikan terhadap harga gabah, karena
pupuk merupakan input dominan didapat petani secara tunai sehingga peningkatan
harga input pupuk akan ditransformasikan pada harga outputnya. Elastisitas harga
pupuk terhadap harga gabah inelastis menunjukkan bahwa kenaikan harga pupuk
tidak responsif terhadap perubahan harga gabah sehingga petani akan menanggung
biaya pupuk yang lebih besar apabila terjadi kenaikan harga pupuk karena tidak
diikuti oleh perubahan harga gabah yang seimbang. Harga gabah selalu
mendapatkan intervensi dari pemerintah sehingga kenaikan harga input tidak diikuti
oleh perubahan harga output yang seimbang. Hal ini membuat pendapatan petani
secara riil akan menurun karena perubahan penerimaan tidak seimbang dengan
perubahan biaya dan hal tersebut akan berdampak pada penurunan kesejahteraan
petani. Harga gabah dipengaruhi oleh harga beras berhubungan positif dengan nilai
elastisitas sebesar 0.9777 artinya apabila harga beras naik sebesar 10 persen maka
harga gabah akan naik sebesar 9.78 persen, merupakan perubahan yang mendekati
simetris / proporsional.

6.2.9. Harga Beras
Harga beras berhubungan negatif dengan produksi beras artinya apabila
produksi beras meningkat maka harga beras akan turun, hal ini sesuai dengan
fenomena ekonomi apabila produksi meningkat maka ketersediaan di pasar akan
berlebih sehingga harga akan cenderung turun. Hasil analisis secara statistik tidak
signifikan hal ini disebabkan karena harga beras tidak sepenuhnya dilepas pada
mekanisme pasar tetapi pemerintah selalu melakukan intervensi untuk menjaga
kestabilan harga beras diantaranya adalah : pemerintah akan melakukan operasi
156
pasar murni (OPM) apabila harga beras cenderung naik pada batas aman, dan
pemerintah melakukan stok dan pembelian pada saat panen raya dan harga jatuh.

Tabel 25. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Harga Beras Kabupaten di Wilayah
Provinsi J awa Barat

Persamaan Harga Beras
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek J . Panjang
INTERCEP 1212.870707 5.90812 0.0001 - - Intercep
PRODBRS -0.000154 -0.3923 0.6974 - - Produksi beras
PRUTIN 0.006145 13.215 0.0001 0.4637 2.9131 Pengeluaran rutin
CADBRS -4567..9876 -1.229 03260 - -
Cadangan beras
nasional
LPBRS 0.840819 6.881 0.0001 - - Lag harga beras

F Value Prob>F R-Square Dh
60.379 0.0001 0.6658 2..206

Pengeluaran rutin berpengaruh positif dan signifikan terhadap harga beras,
hal ini terjadi karena komponen dari pengeluaran rutin salah satunya adalah gaji
pegawai. Kenaikan gaji pegawai biasanya diikuti oleh kenaikan harga barang-barang
terutama harga makanan pokok salah satu diantaranya adalah beras. Elastisitas
pengeluaran rutin terhadap harga beras sebesar 0.4637 artinya adalah kenaikan
pengeluaran rutin sebesar 10 persen maka akan menigkatkan harga beras sebesar
4.6 persen.Cadangan beras nasional berhubungan negatif dengan harga beras,
artinya apabila cadangan beras menipis maka harga beras cenderung mengalami
peningkatan. Namun secara statistik tidak signifikan karena cadangan beras
nasional relatif stabil yang dilakukan bulog dengan cara pengelolaan stok dengan
melakukan pembelian gabah petani pada saat panen raya dan bila cadangan
berkurang dan dirasa perlu bulog akan melakukan impor beras untuk menjaga
kestabilan cadangan beras.

157
6.2.10. Konsumsi Beras
Konsumsi beras dipengaruhi negatif oleh harga beras, jumlah penduduk
miskin, dummy desentralisasi fiskal, dan dipengaruhi positif oleh pendapatan per
kapita dan lag konsumsi beras. Harga beras secara signifikan berpengaruh negatif
terhadap konsumsi beras dengan elastisitas sebesar -0.0222 artinya. Kecilnya nilai
elatisitas konsumsi beras terhadap perubahan harga menunjukkan bahwa beras
merupakan makanan pokok di J awa Barat dan belum ada barang substitusinya
yang dekat, perubahan harga hanya sedikit menurunkan konsumsi dan tidak
merubah konsumen beras untuk merubah konsumsinya dengan beralih pada barang
substitusi dari beras.

Tabel 26. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Beras Kabupaten di
Wilayah Provinsi J awa Barat
Persamaan Konsumsi Beras
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek J . Panjang
INTERCEP 14.071878 97.89 0.0001 - - Intercep
PBRS -0.000119 -2.716 0.0073 -0.0222 -0.0337 Harga beras
J MLMIS -0.002361 -6.506 0.0001 -0.0464 -0.0704
J umlah penduduk
miskin
IKAP 0.000021853 1.515 0.1321 0.0032 0.0048 Pendapatan per kapita
DMDF -0.232747 -2.334 0.0210 - -
Dummy
desentralisasi fiscal
LCONBRSI 0.341672 2.835 0.0053 - - Lag konsumsi beras
F Value Prob>F R-Square Dh
18.404 0.0001 0..5818 12..916

Hasil penelitian ini sesuai dengan kajian yang dilakukan Mears et al. (1981),
Teklu dan J hohnson (1988), Suryana dan Rachman (1988), Tabor et al. (1989),
Sudaryanto dan Sayuti (1990), Sawit (1994), bahwa respons permintaan beras
terhadap perubahan harga beras negatif inelatis. Elastisitas bahan makanan pokok
lebih kecil dibanding elastisitas untuk bahan makanan mewah seperti kelompok
158
sayuran, buah-buahan dan minuman. Rendahnya elastisitas harga beras memberi
petunjuk bahwa usaha mempertahankan harga beras yang rendah tidak banyak
berpengaruh terhadap permintaan. Pertumbuhan permintaan beras lebih ditentukan
oleh pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan daripada oleh perubahan
harga.
J umlah penduduk miskin berhubungan negatif dan signifikan dengan
konsumsi beras dengan nilai elatisitas sebesar 0.0464 artinya apabila jumlah
penduduk miskin meningkat sebesar 10 persen maka konsumsi beras akan turun
sebesar 0.46 persen. Hal ini terjadi karena jumlah konsumsi beras per kapita pada
masyarakat miskin cenderung belum tercukupi sesuai kebutuhan, sehingga
peningkatan jumlah penduduk miskin akan menurunkan rata-rata konsumsi
terhadap beras per kapita. Pada masyarakat miskin makanan pokok beras juga masih
lebih banyak disubstitusi dengan pangan lain yang harganya lebih rendah, dengan
demikian maka peningkatan jumlah penduduk miskin maka akan menurunkan
konsumsi beras. Namun demikian nilai elastisitas yang kecil menunjukkan bahwa
beras masih merupakan makanan dominan bagi penduduk miskin di J awa Barat.
Pendapatan per kapita berhubungan positif dengan konsumsi beras, hal ini
menunjukan bahwa beras masih merupakan barang normal sehingga apabila
pendapatan naik maka konsumsi beras akan naik. Fenomena ini menunjukan bahwa
kondisi masyarakat di daerah penelitian rata-rata kenaikan pendapatannya masih
digunakan untuk meningkatkan konsumsi makanan pokok beras sumber
karbohidarat walau dalam proporsi yang kecil yang ditunjukkan dengan nilai
elastisitas yang inelastis yaitu sebesar 0.1321. Hasil ini relatif lebih kecil dibanding
oleh temuan beberapa peneliti yang menemukan elastisitas pendapatan atas
permintan beras berkisar antara 0.25 sampai 0.60. Sudaryanto dan Sayuti ( 1990)
159
menyebutkan bahwa beras merupakan makanan pokok dan mempunyai elastisitas
pendapatan lebih rendah dibanding makanan seperti daging, sayuran,buah-buahan
dan minuman. Mears et al. (1981) menghasilkan berbagai elastisitas permintaan
beras terhadap pendapatan berdasarkan wilayah dan golongan, untuk wilayah Luar
J awa pada golongan masyarakat berpenghasilan rendah desa elastisitas sebesar 1.52,
rendah kota sebesar 0.96, berpenghasilan menengah desa sebesar 0.56, menengah
kota 0.35, berpenghasilan tinggi desa sebesar 0.28 dan berpenghasilan tinggi kota
sebesar 0.03.
Sedang pada wilayah J awa pada golongan masyarakat berpenghasilan rendah
desa sebesar 0.97, rendah kota sebesar 0.37, menengah desa sebesar 0.36, menengah
kota 0.06, tinggi desa 0.13 dan tinggi kota 0.04. Pada wilayah J awa di perkotaan
masyarakat yang tingkat pendapatannya sudah relatif tinggi kenaikan pendapatan
justru akan menurunkan konsumsi beras, karena mereka akan mensubstitusi beras
dengan pangan lain sumber protein, mineral dan vitamin.
Dummy desentralisasi fiskal bernilai negatif menunjukan bahwa pada masa
desentralisasi fiskal rata-rata tingkat konsumsi beras relatif lebih kecil. Turunnya
konsumsi beras pada daerah penelitian pada masa desentralisasi fiskal kemungkinan
disebabkan oleh: (1) turunnya konsumsi beras karena beralih pada makanan yang
lebih baik misalnya tidak hanya sumber karbohidrat tetapi juga sumber protein,
mineral dan zat-zat makanan lain bagi masyarakat golongan yang mampu, dan (2)
turun karena memang jumlah konsumsi turun yang diakibatkan oleh turunnya
kemampuan akses terhadap pangan beras bagi golongan tidak mampu. Namun
apabila dilihat pada nilai elastisitas beras terhadap perubahan pendapatan sebesar
0.13 lebih rendahnya tingkat konsumsi beras pada masa desentralisasi fiskal
160
disebabkan oleh penurunan rata-rata konsumsi beras terutama oleh golongan
masyarakat berpenghasilan rendah atau golongan masyarakat miskin.

6.2.11. Konsumsi Energi
Konsumsi energi dipengaruhi positif oleh konsumsi beras, pendapatan per
kapita, dana kesehatan, dan lag konsumsi energi. Konsumsi energi merupakan
turunan dari konsumsi beras, apabila konsumsi beras meningkat maka konsumsi
energi akan meningkat karena beras merupakan sumber utama karbohidrat yang
merupakan sumber energi. Nilai elastisitas sebesar 0.8552 menunjukan bahwa
apabila konsumsi beras meningkat sebesar 10 persen maka konsumsi energi akan
meningkat sebesar 8.6 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa pola makan
penduduk di daerah penelitian sebagian besar masih didominasi oleh beras sebagai
makanan pokok, sehingga perubahan konsumsi beras dengan konsumsi energi
searah. Nilai elastisitas kurang dari satu menunjukkan bahwa selain beras masih ada
makanan lain sebagai sumber energi di dalam makanan pokok penduduk di daerah
penelitian.
Pendapatan per kapita berhubungan positif dengan konsumsi energi, hal ini
menunjukan bahwa makanan sumber energi merupakan barang normal sehingga
apabila pendapatan naik maka konsumsi energi akan naik. Kondisi masyarakat di
daerah penelitian rata-rata konsumsi energi masih di bawah angka kecukupan gizi
(AKG) sehingga apabila mengalami peningkatan pendapatan maka sebagian dari
pendapatan itu akan digunakan untuk memenuhi konsumsi energi sehingga apabila
pendapatan per kapita meningkat konsumsi energi juga meningkat. Untuk
masyarakat yang tingkat pendapatannya sudah tinggi dan rata-rata konsumsi energi
sudah melebihi standar kecukupan gizi, maka peningkatan pendapatan justru akan
161
menurunkan konsumsi energi. Pada tabel 27 tersaji hasil analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi konsumsi energi.

Tabel 27. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Energi Kabupaten di
Wilayah Provinsi J awa Barat

Persamaan Konsumsi Energi
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek J . Panjang
INTERCEP 312.989317 3..958 0.0001 - - Intercep
CONBRS 141.703236 23.822 0.0001 0.8552 0.9560 Konsumsi beras
IKAP 0.257806 2..515 0.0321 0.1535 0.1716 Pendapatan per kapita
DPKES 0.00066 0.723 0.4708 - - Pengeluaran kesehatan
LCONSENI 0.105435 1.969 0.051 - - Lag konsumsi energi
F Value Prob>F R-Square Dh
243.715 0.0001 0.8403 10.447

Dana kesehatan berhubungan positif tetapi tidak signifikan terhadap konsumsi
energi, peningkatan dana kesehatan akan meningkatkan penduduk untuk akses
terhadap pangan sumber energi. Hal ini terjadi bisa melalui program-program
penyuluhan tentang pentingnya makanan sehat dan seimbang yang diadakan oleh
dinas kesehatan, program makanan tambahan dan program sejenisnya.Variasi
peubah penjelas dapat menjelaskan variasi konsumsi energi sebesar 84.03 persen.


6.2. 12. Konsumsi Protein

Faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi konsumsi protein adalah
konsumsi energi, pendapatan per kapita, dummy desentralasi fiskal, dan konsumsi
protein tahun sebelumnya.Konsumsi energi signifikan berpengaruh positif terhadap
konsumsi protein dengan nilai elastisitas sebesar 0.7827 artinya apabila konsumsi
energi meningkat sebesar 10 persen maka konsumsi protein akan meningkat sebesar
7.8 persen. Makanan pokok penduduk di daerah penelitian mengandung komposisi
162
kandungan energi dan protein yang relatif imbang, sehingga peningkatan dalam
konsumsi energi diikuti oleh peningkatan dalam konsumsi protein. Beras
mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi sebagai sumber energi disamping
juga kandungan proteinnya relatif tinggi.
Pendapatan per kapita signifikan berhubungan positif dengan konsumsi protein
hal ini menunjukkan bahwa protein merupakan barang normal atau merupakan
barang superior dari sisi nilai gizi, sehingga apabila pendapatan naik maka
peningkatan sebagian pendapatan akan digunakan untuk meningkatkan konsumsi
protein. Kondisi masyarakat di daerah penelitian rata-rata konsumsi protein masih di
bawah angka kecukupan gizi (AKG) sehingga apabila mengalami peningkatan
pendapatan maka sebagian dari pendapatan itu akan digunakan untuk memenuhi
konsumsi protein.

Tabel 28. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Protein Kabupaten di
Wilayah Provinsi J awa Barat


Persamaan Konsumsi Protein
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek J . Panjang
INTERCEP -1414..334811 -9.762 0.0001 - - Intercep
CONSENI 0.020636 12.632 0.0001 0.7827 1.5843 Lag konsumsi energi
IKAP 5..257806 2.015 00832 0..3502 0.7088 Pendapatan per kapita
J MLMIS -2.005260 -3.250 0.0001 -0.0258 -0.0522
J umlah penduduk
miskin
DMDF -4.161020 -9.657 0.0001 - - Dummy desentralisasi
LCONPROT 0.505978 5.255 0.0001 - - Lag konsumsi protein
F Value Prob>F R-Square Dh
65.325 0.0001 0.6544 1.824

J umlah penduduk miskin berhubungan negatif dan signifikan dengan konsumsi
protein, hal ini terjadi karena jumlah konsumsi protein per kapita pada masyarakat
miskin cenderung belum tercukupi sesuai kebutuhan, sehingga peningkatan jumlah
163
penduduk miskin akan menurunkan rata-rata konsumsi protein. Pada masyarakat
miskin makanan pokoknya sebagian besar sebagai sumber energi sedang kandungan
proteinnya relatif kurang karena protein merupakan zat gizi yang relatif lebih mahal.
Dummy desentralisasi fiskal bernilai negatif yang menunjukkan pada masa
densentralisasi fiskal konsumsi protein relatif lebih rendah dibanding sebelum
desentralisasi fiskal. Rendahnya konsumsi protein pada masa desentralisasi fiskal
disebabkan karena rendahnya akses masyarakat terutama dari masyarakat golongan
kurang mampu terhadap pangan hal ini juga ditunjukkan bahwa pada masa
desentralisasi fiskal konsumsi beras juga lebih rendah. Kondisi ini patut mendapat
perhatian karena dengan desentralisasi fiskal yang seharusnya memberi pengaruh
kemudahan pada masyarakat untuk bisa mengakses pangan secara seimbang justru
konsumsi protein pada masa desentralisasi fiskal relatif lebih kecil.

6.2. 13. Jumlah Penduduk Miskin
J umlah penduduk miskin dipengaruhi signifikan oleh pengeluaran kesehatan
per penduduk miskin, pendapatan per kapita, jumlah penduduk dan lag jumlah
penduduk miskin. Sedang pengeluaran pembangunan tidak berpengaaruh signifikan
pada jumlah penduduk miskin.
Pengeluaran kesehatan per penduduk miskin berhubungan negatif dengan nilai
elastisitas sebesar -0.1078 artinya apabila jumlah pengeluaran kesehatan per
penduduk miskin meningkat sebesar 10 persen maka jumlah penduduk miskin akan
turun sebesar 1.08 persen. Dana kesehatan bagi penduduk miskin sangat diperlukan,
dan peningkatan kesehatan bagi masyarakat miskin merupakan peningkatan
produktivitasnya yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bigsten (1992) dan ILO (1976)
164
yaitu pendekatan yang cocok untuk pengurangan kemiskinan adalah dengan strategi
kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan), yang
sasarannya adalah peningkatan taraf hidup masyarakat miskin karena apabila
kebutuhan dasar masyarakat miskin terpenuhi maka akan menigkatkan produktivitas
dan pendapataannya.

Tabel 29. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi J umlah Penduduk Miskin Kabupaten
di Wilayah Provinsi J awa Barat

Persamaan jumlah penduduk miskin


Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek J . Panjang
INTERCEP 31.383654 1.405 0.1622 - - Intercep
DPKSMIS -1.813909 -3.225 0.0016 -0.1078 -0.1908
Pengeluaran
kesehatan per
penduduk miskin
IKAP -0.002598 -1.195 0.2341 -0.0192 -0.0341
Pendapatan per
kapita
PPEMB -0.000032 -0.209 0.8346 - -
Pengeluaran
pembangunan
J MLPDK 0.171142 11.952 0.0001 1.0078 1.7831 J umlah penduduk
LJ MLMIS 0.434785 5.172 0.0001 - -
Lag jumlah
penduduk miskin
F Value Prob>F R-Square Dh
55.104 0.0001 0.6679 -


Pendapatan per kapita berhubungan negatif dengan elastisitas sebesar -0.0192
artinya apabila pendapatan per kapita meningkat sebesar 10 persen, maka jumlah
penduduk miskin akan berkurang sebesar 0.2 pesen. Peningkatan pendapatan per
kapita yang diikuti oleh pemerataan pendapatan akan cenderung menurunkan
penduduk miskin, karena masyarakat yang paling bawah tingkat pendapatannya juga
akan ikut terangkat bersamaan dengan peningkatan pendapatan per kapita Tetapi
peningkatan pendapatan per kapita yang tidak diikuti oleh pemerataaan, dimana
penyumbang terbesar dari pendapatan itu hanya beberapa golongan masyarakat
yang mampu justeru akan meningkatkan terjadinya kemiskinan. Nilai elastisitas
dari pendapatan per kapita yang inelastis menujukkan bahwa peningkatan
165
pendapatan tidak sepenuhnya dinikmati oleh golongan masyarakat miskin, tetapi
yang menikmati justru dari golongan masyarakat mampu sehigga peningkatan
pendapatan hanya kecil sekali bisa mengurangi angka kemiskinan.
J umlah penduduk berhubungan positif dengan jumlah penduduk miskin
dengan nilai elastisitas sebesar 1.0078 artinya apabila jumlah penduduk meningkat
sebesar 10 persen maka jumlah penduduk miskin akan meningkat sebesar 10.08
persen.
Peningkatan jumlah penduduk apabila tidak diimbangi oleh peningkatan
pendapatan dan penciptaan lapangan kerja justru menimbulkan beban sehingga akan
menyebabkan terjadinya kemiskinan. Nilai elastisitas yang elastis menunjukkan
bahwa peningkatan jumlah penduduk harus mendapat perhatian karena kenaikan
jumlah penduduk responsif terhadap jumlah kemiskinan. Dengan demikian untuk
mengurangi jumlah penduduk miskin pemerintah daerah harus mengerem
pertumbuhan penduduk dengan mengatur jumlah dan waktu kelahiran terutama bagi
golongan masyarakat tidak mampu dengan menggalakkan program keluarga
berencana (KB).
Pengeluaran pembangunan berhubungan negatif dengan jumlah penduduk
miskin, diharapkan dengan meningkatnya pengeluaran pembangunan maka akan
semakin banyak dana yang tersedia yang bisa digunakan untuk program-program
pengurangan kemiskinan. Namun dalam kenyataannya pengeluaran pembangunan
tidak signifikan mengurangi jumlah penduduk miskin. Hal ini menunjukkan bahwa
pembangunan yang dijalankan di daerah penelitian masih kurang berpihak pada
masyarakat miskin.


166
6.2.14. Prevalensi Angka Anak Gizi Buruk
Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap angka anak gizi buruk
adalah konsumsi protein, pendapatan per kapita dan lag angka gizi buruk. Sedang
jumlah puskesmas, jumlah sekolah dan jumlah buta huruf tidak signifikan terhadap
angka anak gizi buruk.
Konsumsi protein berhubungan negatif dengan elastisitas sebesar -2.6763
artinya apabila konsumsi protein meningkat sebesar 10 persen maka angka gizi
buruk akan turun sebesar 26.76 persen. Protein merupakan sumber gizi yang baik
untuk pertumbuhan, apabila konsumsi protein terpenuhi maka kebutuhan gizi relatif
akan terpenuhi.
Untuk mencegah munculnya penyakit karena kekurangan gizi pada balita
maka dianjurkan terpenuhinya konsumsi protein. Nilai elastisitas yang responsif
maka dalam upaya mengurangi angka anak gizi buruk pemerintah daerah bisa
melakukan program yang mengarahkan penduduk miskin untuk sadar
mengkonsumsi pangan yang seimbang dengan kandungan protein yang tinggi
terutama bagi anak balitanya.
Tabel 30. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prevalensi Angka Anak Gizi
Kurang dan Gizi Buruk Kabupaten di Wilayah Provinsi J awa Barat

Persamaan Anak Gizi Buruk
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek J . Panjang
INTERCEP 3525.48931 9.255 0.0001 - - Intercep
CONPROT -1.006225 -2.938 0.0039 -2.6763 -4.3728 Konsumsi protein
J MLPSM -0.010427 -0.652 0.5155 - - J umlah puskesmas
IKAP -3.025467 -4.255 0.0001 -0.0247 -0.0404 Pendapatan per kapita
J MLSKLH -2.408932 -0.821 0.4351 - - J umlah sekolah
J MLBHRP 0.423356 1.025 0.3621 - -
J umlah penduduk buta
hurup
LAGZBRK 0.387974 3.448 0.0007 - - Lag anak gizi buruk
F Value Prob>F R-Square Dh
23.874 0.0001 0.609 6..962

167
J umlah puskesmas berhubungan negatif dengan angka anak gizi buruk tetapi
tidak berpengaruh signifikan, artinya apabila jumlah puskesmas meningkat
diharapkan angka anak gizi buruk akan turun. Agar jumlah puskesmas berpengaruh
signifikan terhadap penurunan angka anak gizi buruk seharusnya setiap puskesmas
memberi pelayanan kesehatan yang baik terhadap masyarakat miskin dan bersikap
proaktif terhadap program-program yang bertujuan meningkatkan kesehatan
masyarakat miskin. Kondisi yang ada sekarang pelayanan kesehatan di puskesmas
terhadap masyarakat miskin masih kurang, sehingga keberadaan puskesmas tidak
signifikan terhadap penurunan angka anak gizi buruk.
Pendapatan per kapita berhubungan positif dan signifikan terhadap angka gizi
buruk, karena pendapatan yang rendah akan membatasi penduduk untuk bisa akses
terhadap makanan yang bergizi seimbang. Keterbatasan akses pada makanan yang
bergizi dan sehat akan menyebabkan penurunan asupan gizi terutama pada
kelompok penduduk rawan pangan yaitu balita, ibu hamil dan ibu menyusui.
J umlah sekolah berhubungan negatif dengan angka anak gizi buruk tetapi tidak
berpengaruh signifikan, artinya apabila jumlah sekolah meningkat diharapkan
angka anak gizi buruk akan turun karena dengan bertambahnya jumlah sekolah akan
menjangkau semua penduduk untuk bisa akses terhadap pendidikan. Meningkatnya
jumlah penduduk yang bisa akses pada pendidikan akan meningkatkan
pemahamanan masyarakat terhadap pangan yang bergizi seimbang sehingga akan
menurunkan angka gizi buruk.
J umlah penduduk buta huruf berhubungan positif dan tidak signifikan dengan
angka gizi buruk. Penduduk yang buta huruf akan lambat menerima informasi dan
pemahaman tentang makanan yang bergizi, sehingga penurunan angka buta huruf
diharapkan berdampak pada penurunan angka gizi buruk.
168
6.2. 15. Angka Kematian Bayi
Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap angka kematian bayi
adalah angka anak gizi buruk, jumlah penduduk miskin, jumlah bidan, pengeluaran
kesehatan dan pendidikan dan dummy desentralisasi fiskal dan lag angka kematian
bayi. Angka anak gizi buruk berhubungan positif dengan nilai elastisitas sebesar
0.1471 artinya apabila angka gizi buruk turun sebesar 10 persen maka angka
kematian bayi akan turun sebesar 1.47 persen. Angka anak gizi buruk mencerminkan
kondisi status gizi masyarakat yang rawan pangan (balita), kondisi status gizi balita
berhubungan positif dengan tingkat kematian bayi artinya hubungan komplementer
yaitu apabila status gizi balita baik juga diikuti oleh kondisi kesehatan ibu hamil
yang baik sehingga akan berpengaruh yang baik pula pada proses kelahiran bayi.

Tabel 31. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Angka Kematian Bayi Kabupaten
di Wilayah Provinsi J awa Barat

Persamaan Angka Kematian Bayi
Parameter T for H0: Prob >|T| Elastisitas Label Variabel
Variable Estimate Parameter=0 J . Pendek J . Panjang
INTERCEP 48.399147 15.622 0.0001 - - Intercep
AGZBRK 0.395665 4.695 0.0001 0.1471 0.2978 Angka anak gizi buruk
J MLMIS 0.021822 3.886 0.0002 0.0970 0.1598 J umlah penduduk miskin
J MLBDN -0.010886 -1.638 0.1038 -0.0570 -0.0939 J umlah bidan
MDKSPN -2.10E-09 -1.837 0.0684 -0.0040 -0.0066
Multiple pengeluaran
kesehatan dan pendidikan
DMDF -2.399693 -1.777 0.0779 - - Dummy desentralisasi
LAKMTBY 0.392946 3.800 0.0002 - - Lag angka kematian bayi
F Value Prob>F R-Square Dh
12.246 0.0001 0.5508 1.206

J umlah penduduk miskin berhubungan positif dengan angka kematian bayi,
karena penduduk miskin adalah penduduk yang tidak bisa mencukupi kebutuhan
dasarnya yaitu pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Sehingga
169
peluang terjadinya kematian dalam proses kelahiran lebih besar, karena
kemungkinan status gizi yang tidak mendukung, pengetahuan tentang kesehatan
yang kurang juga kondisi kesehatan yang tidak terpenuhi. Nilai elastisitas sebesar
0.0970 artinya adalah apabila jumlah penduduk miskin turun sebesar 10 persen
maka angka kematian bayi akan turun sebesar 0.97 persen.
J umlah bidan berhubungan negatif dengan angka kematian bayi, karena bidan
merupakan tenaga medis yang bertugas dalam persalinan. Semakin besar jumlah
bidan berarti semakin besar tenaga medis yang bertugas dalam persalinan sehingga
akan memperkecil angka kematian bayi dalam angka kelahiran. Setiap kenaikan
jumlah bidan sebesar 10 persen maka akan menurunkan angka kematian bayi
sebesar 0.57 persen.
Dana pengeluaran kesehatan dan pendidikan berhubungan negatif dengan
angka kematian bayi, karena semakin besar dana kesehatan dan pendidikan maka
semakin besar fasilitas yang disediakan pemerintah untuk meningkatkan kesehatan
dan pendidikan sehingga masyarakat akan semakin sadar akan kesehatan yang
akhirnya akan berpengaruh pada angka kematian bayi. Nilai elastisitas sebesar -
0.0040 artinya setiap kenaikan multiple dana kesehatan dan pendidikan sebesar 10
persen maka angka kematian bayi akan turun sebesar 0.04 persen. Kecilnya
pengaruh dari faktor ini kemumgkinan disebabkan karena adanya faktor time-lag
yaitu pengaruhnya tidak secara langsung tetapi baru beberapa tahun kemudian, atau
kemungkinan karena dananya yang relatif kecil sehingga pengaruhnya juga relatif
kecil.
Dummy desentralisasi fiskal bernilai negatif menunjukkan bahwa pada masa
desentralisasi fiskal angka kematian bayi relatif lebih kecil. Kondisi ini
menunjukkan bahwa dengan desentralisasi fiskal telah terjadi pelayanan yang relatif
170
lebih baik terhadap proses persalinan akibat semakin berkembangnya pengetahuan
dan teknologi juga jumlah tenaga medis sehingga angka kematian bayi relatif lebih
kecil.

6.2. 16. Umur Harapan Hidup
Faktor-faktor yang signifikan berpengaruh terhadap umur harapan hidup
adalah konsumsi protein, pengeluaran kesehatan per penduduk miskin, angka
kematian bayi dan lag umur harapan hidup.
Konsumsi protein berhubungan positif dengan angka elastisitas sebesar 0.1123
menunjukkan bahwa apabila tingkat konsumsi protein meningkat sebesar 10 persen
maka umur harapan hidup akan meningkat sebesar 1.12 persen. Protein merupakan
zat gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan mengganti sel-sel yang rusak.
Sehingga apabila tingkat konsumsi protein berkecukupan akan mempengaruhi
kondisi kesehatan konsumen dan kondisi ini akan berpengaruh pada kondisi umur
harapan hidup seseorang.
Pengeluaran kesehatan per penduduk miskin berhubungan positif dengan umur
harapan hidup, pengeluaran kesehatan yang langsung ditujukan oleh penduduk
miskin akan langsung bisa meningkatkan kesehatan masyarakat miskin dan akan
berpengaruh pada umur harapan hidup. Nilai elastisitas sebesar 0.0081 artinya
apabila dana pengeluaran kesehatan per penduduk miskin naik sebesar 10 persen
maka umur harapan hidup akan naik sebesar 0.08 persen. Kecilnya pengaruh dana
tersebut karena adanya faktor time-lag yaitu pengaruhnya tidak langsung tetapi baru
beberapa tahun kemudian.
Angka kematian bayi berhubungan negatif dengan nilai elastisitas sebesar -
0.1353 artinya apabila angka kematian bayi turun sebesar 10 persen maka umur
171
harapan hidup akan meningkat sebesar 1.35 persen. Angka kematian bayi
merupakan salah satu indikator status gizi dari golongan masyarakat rawan gizi,
apabila kondisi ini semakin baik maka akan mempengaruhi kondisi dan kualitas
SDM sehingga dalam jangka panjang akan mempengaruhi kondisi umur harapan
hidup.
Dummy desentralisasi fiskal bernilai positif menunjukkan bahwa kondisi umur
harapan hidup relatif lebih tinggi pada masa desentralisasi fiskal. Artinya
desentralisasi fiskal telah membawa perubahan pada kualitas SDM yang lebih baik
sehingga memberikan angka harapan hidup yang lebih tinggi.


Tabel 32. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Umur Harapan Hidup
Kabupaten di Wilayah Provinsi J awa Barat


Persamaan Usia Harapan Hidup
Elastisitas
Variable
Parameter
Estimate
T for H0:
Parameter=0
Prob >|T|
J . Pendek J . Panjang
Label Variabel
INTERCEP 65.157453 15.870 0.0001 - - Intercep
CONPROT 0.126100 1..917 0.0573 0.1123 0.1739 Konsumsi protein
DPKSMIS 0.033875 3..530 0.0006 0.0081 0.0125
Pengeluaran kesehatan
per penduduk miskin
AKMBY -0.150308 -7.609 0.0001 -0.1353 -0.2095 Angka kematian bayi
DMDF 0.207502 0.576 0.5656 - - Dummy desentralisasi
LUHHDP 0.354258 3.472 0.0007 - - Lag usia harapan hidup
F Value Prob>F R-Square Dh
24.053 0.0001 0.5675 -













VII. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN DAN FAKTOR EKSTERNAL
TERHADAP KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN
DI PROVINSI JAWA BARAT


7.1. Validasi Model

Simulasi dilakukan untuk menganalisis dampak perubahan berbagai skenario
kebijakan dan faktor eksternal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di J awa Barat.
Simulasi historis (ex-post simulation) dilakukan pada periode tahun 1995 2000 periode
sebelum desentralisasi dan tahun 2001 2005 periode masa desentralisasi fiskal, simulasi
dilakukan dengan kebijakan tunggal maupun kebijakan ganda. Sebelum melakukan
simulasi, terlebih dahulu dilakukan validasi model melalui perhitungan uji statistik
U-Theil dengan dekomposisinya UM (bias proporsi), US ( bias varian) dan UC (bias
covarian). Statistik U-Theil digunakan untuk mengevaluasi kemampuan model dalam
analisis simulasi ( Koutsoyiannis, 1977; Sitepu dan Sinaga, 2006). Nilai U-Theil berkisar
antara 0 1, semakin kecil nilai U- Theil menunjukkan bahwa model mempunyai daya
prediksi yang baik untuk melakukan simulasi baik simulasi historis maupun simulasi
peramalan.
Sebagaimana terlihat pada Lampiran 2, dari keseluruhan persamaan dalam model
terdapat 4 persamaan memiliki U-Theil dengan nilai diatas 0.2 namun memiliki UM ( bias
proporsi) dengan nilai nol sehingga mengindikasikan terjadinya bias namun tidak
sistemik, dan selebihnya memiliki nilai U-Theil yang kurang dari 0.2. Hasil validasi ini
menunjukkan bahwa secara umum model yang dibangun memiliki daya prediksi yang baik
untuk melakukan simulasi historis maupun simulasi peramalan ( Koutsoyiannis, 1977).


173
7.2. Simulasi Historis Periode Sebelum Desentralisasi Fiskal Tahun 1995 2000
Simulasi dilakukan secara tunggal maupun ganda dengan perincian sebagai
berikut:
7.2.1. Dampak Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Desentralisasi fiskal memberi kebebasan pada pemerintah daerah dalam menggali
potensi daerah sebagai sumber penerimaanya. Salah satu tolok ukur kemandirian
pemerintah daerah adalah kemampuannya dalam menghasilkan Penerimaan Asli Daerah
(PAD) . Dalam desentralisasi fiskal diharapkan pemerintah daerah bisa meningkatkan PAD
sebagai sumber penerimaannya. Sumber PAD yang kontribusinya paling besar pada
pemerintah daerah kabupaten di J awa Barat adalah pajak daerah dan retribusi daerah.
Selama desentralisasi fiskal telah terjadi kenaikan penerimaan rata-rata berkisar 35 persen
akibat adanya ekstensifikasi dan intensifikasi pajak daerah dan retribusi daerah.
Peningkatan 35 persen terhadap penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah
berpengaruh pada peningkatan PAD sebesar 9.12 persen yang selanjutnya meningkatkan
penerimaan daerah dan pengeluaran daerah baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran
pembangunan. Pengeluaran rutin meningkat sebesar 1.02 persen dan pengeluaran
pembangunan meningkat sebesar 0.56 persen. Peningkatan pengeluaran pembangunan
selanjutnya meningkatkan pengeluaran sektoral termasuk sektor pembangunan pertanian
meningkat sebesar 0.54 persen. Peningkatan pengeluaran sektoral termasuk sektor
pertanian meningkatkan PDRB Pertanian sebesar 0.02 persen dan PDRB sebesar 0.001
persen, kinerja ketahanan pangan (dari sisi produksi konsumsi dan pemanfaatan pangan)
serta menurunkan kemiskinan sebesar 0.0003 persen. Keterbatasan pada model ini tidak
mengakomodasi kinerja perekonomian dari sisi investasi swasta, sehingga dampak dari
174
peningkatan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah hanya dilihat dari sisi
penerimaan pemerintah yang meningkat sedang dampak negatif dari peningkatan
penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang berpengaruh terhadap investasi dan
perekonomian daerah tidak bisa dilihat pengaruhnya.

Tabel 33. Dampak Kenaikan Penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebesar
35 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah
Provinsi J awa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 176 483.0000 177 054.8050 571.8050 0.3240
PAD 10 163.0000 11 094.2865 931.2865 9.1635
PJ KDAE 3 083.0000 4 162.0000 1 079.0500 35.0000
DALOK 92 311.0000 90 169.3848 -2 141.6152 -2.3200
PRUTIN 69 391.0000 70 101.2169 710.2169 1.0235
PPEMB 42 160.0000 42 162.3728 2.3728 0.0056
PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 1 710.0000 1719.2682 9.2682 0.5420
GDAE 111 551.0000 111 719.2682 168.2623 0.1508
KESFIS 64 932.0000 64 629.9886 -302.0114 -0.4651
PDRBP 496.2203 496.3171 0.0968 0.0195
PDRBNP 2 392.0000 2 392.0000 0.0000 0.0000
PDRB 2 888.0000 2 888.0029 0.0029 0.0001
PRODGAB 546 930.0000 547 058.0000 128.0000 0.0234
INCPPI 355.4624 355.4700 0.0076 0.0021
TKP 256.7067 256.7724 0.0657 0.0256
QPUK 5 924 984.0000 5 927 365.8440 2 381.8436 0.0402
PGAB 955.4250 955.6161 0.1911 0.0200
PRODBRS 355 505.0000 355 589.0000 84.0000 0.0236
IKAP 2.1381 2.1381 0.0000 0.0000
PBRS 1 925.0000 1 925.3420 0.3420 0.0177
CONBRS 13.1645 13.1655 0.0010 0.0076
CONSEN 2 178.0000 2 178.2350 0.2350 0.0112
CONPROT 57.4755 57.4764 0.0009 0.0016
J MLMIS 271.1851 271.1840 -0.0011 -0.0004
AGZBRK 25.0052 25.0049 -0.0003 -0.0012
AKMTBY 60.8174 60.8164 -0.0010 -0.0016
UHHDP 63.5673 63.5674 0.0001 0.0002


175
7.2.2. Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin sebesar 10 Persen ke Pengeluaran
Pembangunan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah
Provinsi Jawa Barat

Desentralisasi fiskal berpengaruh pada peningkatan pengeluaran rutin yang cukup
signifikan, pada masa desentralisasi fiskal pengeluaran rutin berkontribusi hamper 80
persen terhadap pengeluaran daerah. Dengan melakukan efisiensi pada pembiayaan
operasional pemerintahan maka pengeluaran rutin bisa dihemat dan penghematan sebesar
10 persen dari pengeluaran rutin tersebut dialokasikan pada pengeluaran pembangunan.

Tabel 34. Dampak Relokasi Pengeluaran Rutin sebesar 10 Persen ke Pengeluaran
Pembangunan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah
Provinsi J awa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 176 483.0000 176 483.0000 0.0000 0.0000
PAD 10 163.0000 10 163.0000 0.0000 0.0000
PJ KDAE 3 083.0000 3 083.0000 0.0000 0.0000
DALOK 92 311.0000 92 311.0000 0.0000 0.0000
PRUTIN 69 391.0000 62 452.0000 6 959.0000 -10.0000
PPEMB 42 160.0000 49 160.7941 7 000.7941 37.3738
PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 1 710.0000 1 795.8675 85.8675 5.0215
GDAE 111 551.0000 111 551.0000 0.0000 0.0000
KESFIS 64 932.0000 64 932.0000 0.0000 0.0000
PDRBP 496.2203 501.4355 5.2152 1.0510
PDRBNP 2 392.0000 2 392.0000 0.0000 0.0000
PDRB 2 888.0000 2 893.9204 5.9204 0.2050
PRODGAB 546 930.0000 548 598.1365 1 668.1365 0.3050
INCPPI 355.4624 355.9000 0.4373 0.1230
TKP 256.7067 257.1303 0.4236 0.1650
QPUK 5 924 984.0000 5 953 601.6730 28 617.6727 0.4830
PGAB 955.4250 955.4460 0.0210 0.0022
PRODBRS 355 505.0000 356 582.1800 1 077.1800 0.3030
IKAP 2.1381 2.1449 0.0070 0.3200
PBRS 1 9 250.0000 19 269.8275 19.8275 0.1030
CONBRS 13.1645 13.1654 0.0009 0.0068
CONSEN 2 178.0000 2 178.0087 0.0087 0.0004
CONPROT 57.4755 57.4760 0.0005 0.0009
J MLMIS 271.1851 271.1802 -0.0049 -0.0018
AGZBRK 25.0052 25.0048 -0.0004 -0.0012
AKMTBY 60.8174 60.8166 -0.0008 -0.0013
UHHDP 63.5673 63.5669 0.0004 0.0007
176
Relokasi pengeluaran rutin sebesar 10 persen meningkatkan pengeluaran
pembangunan sebesar 37.37 persen. Peningkatan pengeluaran pembangunan meningkatkan
pengeluaran sektoral termasuk diantaranya adalah pengeluaran sektor pertanian meningkat
sebesar 5.02 persen sehingga berdampak meningkatkan kinerja perekonomian berupa
PDRB Pertanian 1.05 persen PDRB 0.20 persen pendapatan per kapita 0.32 persen,
meningkatkan kinerja ketahanan pangan baik dari sisi produksi, konsumsi dan
pemanfaatan pangan serta menurunkan kemiskinan sebesar 0.0018 persen. Kebijakan ini
mempunyai pengaruh paling besar pada kinerja fiskal berupa meningkatnya pengeluaran
pembangunan sehingga akan mempengaruhi kinerja perekonomian.

7.2.3. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian 20 Persen terhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Pada skenario ini dilakukan simulasi terhadap kebijakan peningkatan pengeluaran
sektor pertanian sebesar 20 persen. Selama pelaksanaan desentralisasi fiskal proporsi
pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian relatif kecil dan cenderung terabaikan,
padahal sektor pertanian merupakan sektor dimana sebagian besar penduduk terutama di
perdesaan menggantungkan hidupnya.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran sektor pertanian
sebesar 20 persen berpengaruh pada peningkatan PDRB sektor pertanian sebesar 1.2
persen dan peningkatan produksi gabah sebesar 0.4 persen. Hal tersebut menyebabkan
terjadinya peningkatan pendapatan pada sektor pertanian sebesar 0.09 persen dan
pendapatan per kapita sebesar 0.08 persen. Peningkatan pendapatan terutama pada sektor
pertanian menyebabkan terjadinya penurunan jumlah penduduk miskin karena angka
kemiskinan banyak terjadi pada sektor tersebut. Peningkatan pendapatan dan penurunan
177
jumlah penduduk miskin menyebabkan terjadinya peningkatan rata-rata konsumsi beras,
energi dan protein yang merupakan cerminan adanya peningkatan akses pangan dan
diversifikasi pangan dari sumber karbohidrat kepada pangan sumber protein.

Tabel 35. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen
terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi
J awa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 176 483.0000 176 485.0000 2.0000 0.0011
PAD 10 163.0000 10 164.0000 1.0000 0.0098
PJ KDAE 3 083.0000 3 085.0000 2.0000 0.0649
DALOK 92 311.0000 92 310.2615 -0.7384 -0.0008
PRUTIN 69 391.0000 69 394.1919 3.1919 0.0046
PPEMB 42 160.0000 42 160.1080 0.1080 0.0005
PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 1 710.0000 2 052.0000 342.0000 20.0000
GDAE 111 551.0000 111 926.0345 375.0345 0.3362
KESFIS 64 932.0000 64 559.0000 -373.0000 -0.5744
PDRBP 496.2203 501.9607 5.7404 1.1568
PDRBNP 2 392.0000 2 392.0334 0.0335 0.0014
PDRB 2 888.0000 2 894.0012 6.0012 0.2078
PRODGAB 546 930.0000 549 104.0000 2 174.0000 0.3975
INCPP 355.4624 355.7929 0.2605 0.0930
TKP 256.7067 257.4416 0.7349 0.2863
QPUK 5 924 984.0000 5 925 025.4750 41.4748 0.0007
PGAB 955.4250 955.3399 -0.0850 -0.0089
PRODBRS 355 505.0000 356 918.1324 1 413.1324 0.3977
IKAP 2.1381 2.1399 0.0018 0.0842
PBRS 1 925.0000 1 924.0000 -1.0000 -0.0519
CONBRS 13.1645 13.1650 0.0005 0.0040
CONSEN 2 178.0000 2 178.0152 0.0152 0.0007
CONPROT 57.4755 57.4757 0.0002 0.0003
J MLMIS 271.1851 271.1729 -0.0122 -0.0045
AGZBRK 25.0052 25.0049 -0.0003 -0.0012
AKMTBY 60.8174 60.8171 -0.0003 -0.0005
UHHDP 63.5673 63.5674 0.0001 0.0002

178
Hal tersebut berdampak pada penurunan angka gizi buruk dan angka kematian
bayi serta kenaikan umur harapan hidup. Akibat penurunan jumlah penduduk miskin
berdampak pula pada peningkatan penerimaan pajak dan PAD sehingga meningkatkan
penerimaan daerah. Penurunan jumlah penduduk miskin juga mengurangi beban subsidi
yang ditanggung pemerintah sehingga berpotensi pada peningkatan penerimaan daerah.
Peningkatan penerimaan daerah berdampak pada pengurangan kesenjangan fiskal sebesar
0.6 persen, sehingga akan mengurangi beban pemerintah dalam pembiayaan daerah yang
cenderung mengalami defisit. Dengan demikian pengurangan jumlah penduduk miskin dan
peningkatan ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dan individu, akan berdampak
pada kinerja fiskal daerah yang semakin baik karena beban subsidi dari pemerintah bisa
berkurang dan pendapatan dari pajak akan meningkat.
Kinerja fiskal daerah yang baik yang dicerminkan dengan meningkatnya PAD dan
penerimaan daerah serta berkurangnya kesenjangan fiskal akan berpengaruh pada kinerja
perekonomian daerah berupa peningkatan PDRB yang selanjutnya akan meningkatkan
tingkat pendapatan penduduk terutama pada sektor pertanian sehingga kemiskinan
menurun dan ketahanan pangan meningkat. Kecilnya respons kebijakan fiskal peningkatan
pengeluaran sektor pertanian terhadap kemiskinan dan indikator outcome ketahanan
pangan karena pengaruhnya tidak langsung dan harus melalui mekanisme transmisi yang
membutuhkan time lag. Hasil temuan ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh J ayawinata (2005) dengan wilayah kajian Indonesia bahwa respons kebijakan makro
mempunyai pengaruh yang kecil terhadap kinerja ketahanan pangan di tingkat mikro yaitu
rumah tangga dan individu. Lebih lanjut disebutkan kecilnya respons disebabkan adanya
179
mekanisme transmisi dari kebijakan dari tingkat makro ke tingkat mikro sehingga
membutuhkan time lag yang panjang.

7.2.4. Dampak Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Persen dan Dana
Pendidikan sebesar 20 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan
di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Tabel 36. Dampak Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Persen
dan Dana Pendidikan sebesar 20 Persen terhadap Kemiskinan dan
Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi J awa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 176 483.0000 176 484.5883 1.5883 0.0009
PAD 10 163.0000 10 163.1931 0.1931 0.0019
PJ KDAE 3 083.0000 3 083.0370 0.0370 0.0012
DALOK 92 311.0000 92 310.6308 -0.3692 -0.0004
PRUTIN 69 391.0000 69 393.0817 2.0817 0.0030
PPEMB 42 160.0000 42 212.2784 0.0560 0.0012
PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 1 710.0000 1 710.0026 0.0026 0.0000
GDAE 111 551.0000 111 552.3386 1.3386 0.0012
KESFIS 64 932.0000 64 930.9610 -1.0389 -0.0016
PDRBP 496.2203 496.2431 0.0228 0.0046
PDRBNP 2 392.0000 2 392.0000 0.0000 0.0000
PDRB 2 888.0000 2 888.0347 0.0347 0.0012
PRODGAB 546 930.0000 546 975.8342 45.8342 0.0084
INCPP 355.4624 355.6622 0.1998 0.0562
TKP 256.7067 256.7244 0.0177 0.0069
QPUK 5 924 984.0000 5 925 617.973 633.9732 0.0107
PGAB 955.4250 955.4250 0.0000 0.0000
PRODBRS 355 505.0000 355 534.1514 29.1514 0.0082
IKAP 2.1381 2.1384 0.0003 0.0124
PBRS 1 925.0000 1 925.0000 0.0000 0.0000
CONBRS 13.1645 13.1656 0.0011 0.0084
CONSEN 2 178.0000 2 181.3759 3.3759 0.1550
CONPROT 57.4755 57.5362 0.0607 0.1056
J MLMIS 271.1851 271.1840 -0.0011 -0.0004
AGZBRK 25.0052 24.9443 -0.0509 -0.2435
AKMTBY 60.8174 60.7458 -0.0716 -0.1177
UHHDP 63.5673 63.6689 0.1016 0.1598

180
Selama implementasi desentralisasi fiskal telah terjadi penuruna pada kualitas
pelayanan kesehatan dan pendidikan terutama bagi masyarakat golongan miskin.
Penurunan kualitas pelayanan kesehatan dan pendidikan disebabkan adanya perubahan
manajemen dan kelembagaan pada masa transisi pelaksanaan desentralisasi fiskal.
Meningkatnya angka gizi buruk, jumlah penduduk sangat rawan pangan dan angka
putus sekolah merupakan salah satu indikator terjadinya penurunan kualitas pelayanan
kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat. Peningkatan pengeluaran kesehatan dan
pendidikan sebesar 20 persen diharapkan bisa digunakan untuk melakukan revitalisasi
program-program kesehatan dan perbaikan pelayanan pendidikan terutama bagi golongan
penduduk miskin. Peningkatan dana kesehatan dan pendidikan berpengaruh pada
peningkatan konsumsi beras 0.0084 persen. konsumsi energi 0.1550 persen dan konsumsi
protein 0.1056 persen, selanjutnya menurunkan jumlah angka gizi buruk 0.2434 persen dan
angka kematian bayi 0.1177 persen serta meningkatkan umur harapan hidup sebesar
0.1598 persen. Peningkatan dana kesehatan dan pendidikan juga berpengaruh pada
penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 0.0004 persen. Dampak paling besar dari
kebijakan ini adalah terjadinya peningkatan kinerja ketahanan pangan dari sisi konsumsi
pangan dan pemanfaatan pangan berupa derajat kesehatan masyarakat yang diproksi
dengan angka gizi buruk, angka kematian bayi dan umur harapan hidup.

7.2.5. Dampak Peningkatan Harga Pupuk sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan
dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Pupuk merupakan input dominan pada usahatani padi dan berbeda dengan input lain
seperti tenaga kerja dan bibit, pupuk merupakan input yang harus dikeluarkan petani
dengan cara pembelian yang harus menggunakan uang tunai. Sehingga keberadaan pupuk
181
dengan harga yang terjangkau dan sistem tataniaga yang baik sangat berpengaruh besar
terhadap sistem produksi usahatani padi. Pupuk juga merupakan input yang mempunyai
nilai produktivitas marginal paling tinggi dibanding input lain dalam proses produksi padi.
Harga pupuk selalu berkecenderungan mengalami kenaikan sesuai dengan kenaikan pada
proses produksinya.

Tabel 37. Dampak Peningkatan Harga Pupuk sebesar 15 Persen terhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi J awa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 176 483.0000 176 482.4000 -0.6000 -0.00034
PAD 10 163.0000 10 162.0000 -1.0000 -0.00984
PJ KDAE 3 083.0000 3 082.3525 -0.0065 -0.00021
DALOK 92 311.0000 92 311.3692 0.3692 0.00040
PRUTIN 69 391.0000 69 391.1527 0.1527 0.00022
PPEMB 42 160.0000 42 160.0379 0.0379 0.00009
PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.00000
PSEKP 1 710.0000 1 710.0021 0.0021 0.00012
GDAE 111 551.0000 111 551.0223 0.0223 0.00002
KESFIS 64 932.0000 64 932.0909 0.0909 0.00014
PDRBP 496.2203 492.5556 -3.6647 -0.73852
PDRBNP 2 392.0000 2 392.0000 0.0000 0.00000
PDRB 2 888.0000 2 884.9999 -3.0001 -0.10388
PRODGAB 546 930.0000 546 887.6500 -42.3510 -7.74340
INCPPI 355.4624 349.0249 -6.4375 -1.81102
TKP 256.7067 256.0544 -0.6522 -0.25408
QPUK 5 924 984.0000 5 406 239.0000 -518 745.0000 -8.75521
PGAB 955.4250 957.4983 2.0733 0.21700
PRODBRS 355 505.0000 327 976.0000 -27 529.0000 -7.74363
IKAP 2.1381 2.1352 -0.0029 -0.13563
PBRS 1 925.0000 1 929.0000 4.0000 0.20779
CONBRS 13.1645 13.1640 -0.0005 -0.00380
CONSEN 2 178.0000 2 177.8148 -0.1851 -0.00850
CONPROT 57.4755 57.4741 -0.0014 -0.00244
J MLMIS 271.1851 271.1855 0.0004 0.00014
AGZBRK 25.0052 25.0067 0.0015 0.00600
AKMTBY 60.8174 60.8180 0.0006 0.00099
UHHDP 63.5673 63.5670 -0.0003 -0.00047

182
Bahkan ada kecenderungan bahwa trend kenaikan harga pupuk relatif lebih besar
dibanding dengan trend kenaikan harga gabah. Sehingga pemerintah selama ini masih
melakukan subsidi terhadap input pupuk bagi petani. Namun dengan semakin terbatasnya
anggaran yang dimiliki pemerintah maka pemerintah harus selektif dan efisien dalam
penggunaan anggaran termasuk dalam melakukan subsidi pupuk.
Subsidi dilakukan apabila benar-benar dibutuhkan dan memberi manfaat yang besar
bagi masyarakat dibanding dengan biaya subsidi yang dikeluarkan. Pada simulasi ini akan
dilihat bagaimana pengaruhnya apabila harga pupuk mengalami kenaikan sebesar 15
persen dari rata-rata harga yang berlaku sebagai proksi terhadap adanya penghapusan
/pengurangan subsidi pupuk bagi petani. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan
harga pupuk akan menurunkan penggunaan pupuk sebesar 8.76 persen dan hal ini akan
berpengaruh pada penurunan produksi gabah sebesar 7.74 persen dan penurunan PDRB
sektor pertanian sebesar 0.74 persen. Penurunan produksi gabah akan berpengaruh pada
penurunan pendapatan pada sektor pertanian sebesar 1.81 persen dan penurunan
pendapatan per kapita sebesar 0.14 persen. Hal ini akan berpengaruh pada peningkatan
jumlah penduduk miskin sehingga akan berdampak pada penurunan konsumsi beras,
energi, protein akibatnya akan berpengaruh pada peningkatan angka gizi buruk dan angka
kematian bayi yang selanjutnya menurunkan angka umur harapan hidup. Respons
perubahan harga pupuk terhadap produksi gabah memberi pengaruh yang lebih responsif
dibanding pengaruhnya terhadap konsumsi, jumlah kemiskinan serta outcome ketahanan
pangan. Karena perubahan harga pupuk mempengaruhi langsung penggunaan pupuk yang
merupakan input yang nilai produktivitas marginalnya besar pada usahatani padi, sehingga
berdampak langsung terhadap hasil produksi gabah dan pendapatan sektor pertanian.
183
Sedang pengaruh terhadap konsumsi, kemiskinan dan outcome ketahanan pangan selain
pengaruhnya tidak langsung juga masih ada faktor lain yang ikut mempengaruhi faktor-
faktor tersebut, diantaranya tingkat daya beli, pendapatan, pendidikan individu, pelayanan
kesehatan, pelayanan pendidikan, informasi dan sosialisasi dari pemerintah.

7.2.6. Dampak Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan
dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Tabel 38. Dampak Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi J awa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 176 483.0000 176 545.1220 62.1220 0.0352
PAD 10 163.0000 10 163.2845 0.2845 0.0028
PJ KDAE 3 083.0000 3 084.0000 1.0000 0.0324
DALOK 92 311.0000 92 310.6308 -0.3692 -0.0004
PRUTIN 69 391.0000 69 391.9020 0.9020 0.0013
PPEMB 42 160.0000 42 161.1804 1.1804 0.0028
PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 1 710.0000 1 710.0461 0.0461 0.0027
GDAE 111 551.0000 111 555.5735 4.5735 0.0041
KESFIS 64 932.0000 64 911.8062 -20.1938 -0.0311
PDRBP 496.2203 496.7394 0.5191 0.1046
PDRBNP 2 392.0000 2 392.0143 0.0143 0.0006
PDRB 2 888.0000 2 889.0000 1.0000 0.0346
PRODGAB 546 930.0000 552 930.0000 6 000.0000 1.0970
INCPPI 355.4624 356.3743 0.9119 0.2565
TKP 256.7067 257.1798 0.4731 0.1843
QPUK 5 924 984.0000 5 998 471.5770 73.4875 1.2403
PGAB 955.4250 1 098.7387 143.3137 15.0000
PRODBRS 355 505.0000 359 404.0000 3 899.0000 1.0967
IKAP 2.1381 2.1385 0.0004 0.0187
PBRS 1 925.0000 1 926.0000 1.0000 0.0519
CONBRS 13.1645 13.1688 0.0043 0.0326
CONSEN 2 178.0000 2 178.1241 0.1241 0.0057
CONPROT 57.4755 57.4758 0.0003 0.0005
J MLMIS 271.1851 271.1835 -0.0016 -0.0006
AGZBRK 25.0052 25.0050 -0.0002 -0.0008
AKMTBY 60.8174 60.8173 -0.0001 -0.0002
UHHDP 63.5673 63.5675 0.0002 0.0004
184
Kebijakan perberasan dilakukan bertujuan untuk mendorong peningkatan produksi
gabah dan peningkatan pendapatan bagi petani, selain itu juga bertujuan untuk menjamin
pasokan beras sebagai bahan pangan pokok sebagian besar masyarakat dalam jumlah yang
cukup dan harga terjangkau.
Namun yang menjadi permasalahan adalah keberpihakan pemerintah terhadap
kesejahteraan para petani yang tidak maksimal bahkan cenderung terabaikan terutama
sejak segala perangkat kebijakan perberasan dilepaskan. Kebijakan harga dasar gabah
(HDG) telah digantikan oleh kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) yang cenderung
kurang efektif. Kenaikan harga gabah merupakan eksternalitas akibat adanya kebijakan
HPP dari pemerintah pusat. Karena keterbatasan bulog dalam menyerap gabah petani pada
saat panen raya kadang-kadang harga gabah di tingkat petani yang berlaku cenderung
lebih rendah dibanding harga yang direkomendasikan oleh pemerintah yaitu harga
pembelian pemerintah (HPP). Kenaikan harga gabah diharapkan dibarengi oleh terjadinya
proses diversifikasi pangan non beras terutama bagi penduduk berpenghasilan rendah.
Dari hasil simulasi peningkatan harga gabah sebesar 15 persen dari rata-rata harga
gabah yang berlaku menunjukkan adanya pengaruh terhadap peningkatan penggunaan
pupuk sebesar 1.24 persen dan peningkatan produksi gabah sebesar 1.10 persen serta
peningkatan PDRB sektor pertanian sebesar 0.1 persen. Sehingga berpengaruh pada
peningkatan pendapatan petani sebesar 0.26 persen serta meningkatkan pendapatan per
kapita sebesar 0.02 persen. Peningkatan pendapatan per kapita berpengaruh meningkatkan
konsumsi beras, energi dan protein dan menurunkan angka gizi buruk dan angka kematian
bayi serta meningkatkan umur harapan hidup dengan respon yang relatif kecil. Penurunan
jumlah penduduk miskin mengurangi subsidi pemerintah bagi masyarakat miskin dan akan
185
meningkatkan penerimaan dari sektor pajak, sehingga akan meningkatkan PAD dan
penerimaan daerah yang selanjutnya akan meningkatkan kinerja fiskal dengan
berkurangnya kesenjangan fiskal daerah. Peningkatan harga gabah sebaiknya dibarengi
pelaksanaan diversifikasi pangan non beras.

7. 2.7. Peningkatan Harga Pupuk sebesar 15 Persen dan Harga Gabah 15 Prsen
terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Tabel 39. Dampak Peningkatan Harga Pupuk sebesar 15 Persen dan Harga Gabah
sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di
Wilayah Provinsi J awa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 176 483.0000 176 482.4706 -0.5294 -0.0003
PAD 10 163.0000 10 162.4410 -0.5590 -0.0055
PJ KDAE 3 083.0000 3 082.5264 -0.4736 -0.0154
DALOK 92 311.0000 92 321.3388 10.3388 0.0112
PRUTIN 69 391.0000 69 398.6330 7.6330 0.0110
PPEMB 42 160.0000 42 170.1184 10.1184 0.0240
PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 1 710.0000 1 710.0325 0.0325 0.0019
GDAE 111 551.0000 111 551.8924 0.8924 0.0008
KESFIS 64 932.0000 64 933.2337 1.2337 0.0019
PDRBP 496.2203 493.1298 -3.0905 -0.6228
PDRBNP 2 392.0000 2 391.4211 -0.5789 -0.0242
PDRB 2 888.0000 2 884.5509 -3.4491 -0.1194
PRODGAB 546 930.0000 512 269.9520 -34 660.0480 -6.3372
INCPP 355.4624 351.5640 -3.8983 -1.0967
TKP 256.7067 255.9717 -0.7350 -0.2863
QPUK 5 924 984.0000 5 393 957.3090 531 026.6910 -8.9625
PGAB 955.4250 1 098.7388 143.3138 15.0000
PRODBRS 355 505.0000 332 421.2426 -23 083.7574 -6.3371
IKAP 2.1381 2.1359 -0.0023 -0.1056
PBRS 1 925.0000 1 927.0000 2.0000 0.1039
CONBRS 13.1645 13.1640 -0.0005 -0.0038
CONSEN 2 178.0000 2 177.8780 -0.1220 -0.0056
CONPROT 57.4755 57.4738 -0.0017 -0.0030
J MLMIS 271.1851 271.1903 0.0052 0.0019
AGZBRK 25.0052 25.0073 0.0021 0.0083
AKMTBY 60.8174 60.8181 0.0007 0.0012
UHHDP 63.5673 63.5670 -0.0003 -0.0005
186
Adanya trend kenaikan harga pupuk yang lebih tinggi terhadap trend kenaikan
harga gabah. Sehingga kebijakan peningkatan harga gabah biasanya selalu didahului oleh
adanya peningkatan harga pupuk, sehingga insentif yang diberikan pada petani tidak bisa
sampai sebagaimana yang diharapkan. Pada simulasi ini dilakukan kebijakan peningkatan
harga gabah dan harga pupuk secara bersamaan dan secara proporsional.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa adanya kombinasi antara peningkatan harga
gabah dan harga pupuk dengan proporsi yang sama berdampak pada penurunan
penggunaan pupuk sebesar 11.96 persen sehingga menurunkan produksi gabah sebesar
8.38 persen dan PDRB Pertanian sebesar 0.79 persen. Hal ini berdampak pada penurunan
pendapatan pada sektor pertanian sebesar 2.10 persen dan pendapatan per kapita sebesar
0.16 persen. Sehingga meningkatkan jumlah penduduk miskin yang selanjutnya akan
menurunkan konsumsi beras, energi dan protein. Hal ini akan berdampak meningkatkan
angka gizi buruk, angka kematian bayi serta menurunkan umur harapan hidup dengan
respons yang relatif kecil. Kecilnya angka respons tersebut karena panjangnya rangkaian
dari mekanisme transmisi yang harus dilalui oleh suatu kebijakan sehingga memerlukan
time lag yang relatif panjang.
Dari kombinasi kebijakan ini terlihat bahwa insentif dari kenaikan harga output
relatif kurang kuat pengaruhnya terhadap produksi gabah dibanding disinsentif yang
ditimbulkan oleh kenaikan harga input. Hal ini terjadi karena nilai elastisitas perubahan
harga gabah terhadap produksi gabah relatif kecil yaitu hanya sebesar 0.1540, sementara
elastisitas permintaan pupuk terhadap perubahan harga pupuk -0.6015 dan permintaan
pupuk terhadap perubahan harga gabah 0.1246.Elastisitas produksi gabah dari penggunaan
input pupuk sebesar 0.6970.
187
Kebijakan peningkatan harga gabah sebaiknya harus mengakomodasi adanya
perubahan harga input terutama pupuk. Karena apabila kenaikan harga gabah masih belum
bisa mengkompensasi adanya kenaikan harga dari input pupuk, insentif yang diberikan
kepada petani masih belum bisa diterima sesuai dengan yang diharapkan. Kebijakan
peningkatan harga gabah akan tidak efektif meningkatkan produksi gabah dan pendapatan
petani apabila harga pupuk mengikutinya. Untuk itu dalam perhitungan kenaikan harga
gabah, kenaikan harga pupuk harus diperhitungkan dengan baik agar kenaikan pendapatan
petani dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Dalam rangka meningkatkan
produksi gabah instrumen subsidi harga pupuk lebih efektif dilakukan daripada instrumen
subsidi harga gabah.

7.2.8. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen dan
Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan dan
Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Kebijakan fiskal yang berpihak kepada sektor pertanian dengan memberikan
kenaikan sebesar 20 persen yang direspon dengan memberikan kebijakan kenaikan harga
gabah diharapkan memberi pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan petani.
Dengan peningkatan kebijakan pada sektor pertanian akan terjadi peningkatan pada
produksi gabah dan peningkatan produksi ini biasanya akan diikuti oleh turunnya harga
gabah sehingga tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani akan sulit terwujud.
Untuk itu, kenaikan produksi akibat peningkatan pengeluaran sektor pertanian yang
direspon dengan kebijakan harga output diharapkan harga gabah tidak akan jatuh pada
saat terjadi peningkatan produksi sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan petani.
Hasil simulasi menujukkan bahwa kombinasi peningkatan pengeluaran sektor
pertanian dan harga gabah akan memberi dampak pada peningkatan PDRB Pertanian
188
sebesar 1.26 persen yang lebih besar dibanding apabila kebijakan dilakukan secara tunggal.
Begitu juga pengaruhnya terhadap peningkatan produksi gabah relatif lebih besar yaitu
sebesar 1.5 persen.

Tabel 40. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen dan
Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan dan
Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi J awa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 176 483.0000 176 485.0000 2.0000 0.00113
PAD 10 163.0000 10 165.0000 2.0000 0.01968
PJ KDAE 3 083.0000 3 085.0000 2.0000 0.06487
DALOK 92 311.0000 92 310.8892 -0.1108 -0.00012
PRUTIN 69 391.0000 69 578.5515 187.5515 0.27403
PPEMB 42 160.0000 42 197.7205 37.7205 0.08947
PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.00000
PSEKP 1 710.0000 2 052.5000 342.0000 20.00000
GDAE 111 551.0000 111 926.0000 375.0000 0.33617
KESFIS 64 932.0000 64 559.0000 -373.0000 -0.57445
PDRBP 496.2203 502.4802 6.2599 1.26152
PDRBNP 2 392.0000 2 392.2093 0.2093 0.00875
PDRB 2 888.0000 2 895.0000 7.0000 0.24238
PRODGAB 546 930.0000 555 108.0000 8 178.0255 1.49526
INCPPI 355.4624 356.7054 1.2430 0.34969
TKP 256.7067 257.5162 0.8095 0.31535
QPUK 5 924 984.0000 5 998 474.0000 73 490.0000 1.24034
PGAB 955.4250 1 098.5760 143.2560 15.00000
PRODBRS 355 505.0000 360 820.0000 5 315.0130 1.49506
IKAP 2.1381 2.1402 0.0021 0.09822
PBRS 1 925.0000 1 926.0000 1.0000 0.05195
CONBRS 13.1645 13.1650 0.0005 0.00379
CONSEN 2 178.0000 2 178.1142 0.1142 0.00524
CONPROT 57.4755 57.4759 0.0004 0.00070
J MLMIS 271.1851 271.1729 -0.0122 -0.00450
AGZBRK 25.0052 25.0040 -0.0012 -0.00479
AKMTBY 60.8174 60.8154 -0.0020 -0.00328
UHHDP 63.5673 63.5682 0.0009 0.00136


189
Hal tersebut berdampak pada kenaikan pendapatan sektor pertanian sebesar 0.35
persen dan pendapatan per kapita sebesar 0.10 persen. Sehingga meningkatkan konsumsi
beras, energi dan konsumsi protein, serta menurunkan jumlah penduduk miskin, angka gizi
buruk dan angka kematian bayi. Dan pada akhirnya meningkatkan umur harapan hidup,
nilai perubahan tersebut relatif lebih besar dibandingkan apabila kebijakan dilakukan
secara tunggal.

7.2.9. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen dan
Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Persen dan Dana Pendidikan sebesar
20 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi
Jawa Barat

Kebijakan fiskal yang berpihak kepada sektor pertanian dengan memberikan
kenaikan sebesar 20 persen yang dibarengi oleh peningkatan dana kesehatan dan
pendidikan sebesar 20 persen sebagai upaya untuk memperbaiki pelayanan kesehatan dan
pendidikan bagi masyarakat miskin diharapkan akan terjadi penurunan yang signifikan
terhadap tingkat kemiskinan dan meningkatkan kinerja katahanan pangan. Peningkatan
pengeluaran sektor pertanian efektif dalam meningkatkan kinerja ketahanan pangan dari
sisi ketersediaan pangan dan peningkatan dana kesehatan dan pendidikan efektif dalam
meningkatkan kinerja ketahanan pangan dari sisi konsumsi dan pemanfaatan pangan.
Gabungan dari kedua kebijakan tersebut diharapkan memberikan dampak yang saling
melengkapi sehingga akan meningkatkan kinerja ketahanan pangan dari semua subsistem
dari sistem ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan, daya beli, konsumsi serta
pemanfaatan pangan.
Hasil simulasi menujukkan bahwa kombinasi peningkatan pengeluaran sektor
pertanian dan peningkatan dana kesehatan dan pendidikan akan memberi dampak pada
190
peningkatan kinerja perekonomian berupa PDRB Pertanian sebesar 1.46 persen, produksi
gabah sebesar 0.59 persen, peningkatan konsumsi beras 0.0038 persen, energi 0.1797
persen, protein 0.1053 persen, turunnya angka gizi buruk sebesar 0.2407 prsen, angka
kematian bayi 0.1177 persen dan meningkatnya umur harapan hidup sebesar 0.1598 persen
serta menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0.0045 persen.

Tabel 41. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen dan
Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Persen dan Dana Pendidikan sebesar
20 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi
J awa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 176 483.0000 176 485.0000 2.0000 0.00113
PAD 10 163.0000 10 165.0000 2.0000 0.01968
PJ KDAE 3 083.0000 3 085.0000 2.0000 0.06491
DALOK 92 311.0000 92 310.8892 -0.1108 -0.00012
PRUTIN 69 391.0000 69 398.8515 7.8515 0.01032
PPEMB 42 160.0000 42 197.7205 37.7205 0.00047
PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.00000
PSEKP 1 710.0000 2 052.5000 342.0000 20.00000
GDAE 111 551.0000 111 926.0000 375.0000 0.33623
KESFIS 64 932.0000 64 564.0000 -368.0000 -0.56675
PDRBP 496.2203 502.0723 5.8520 1.17932
PDRBNP 2 392.0000 2 392.4093 0.4093 0.01711
PDRB 2 888.0000 2 897.0000 9.0000 0.31163
PRODGAB 546 930.0000 550 180.1258 3 250.1258 0.59425
INCPPI 355.4624 355.8454 0.3830 0.10774
TKP 256.7067 257.5162 0.8095 0.31535
QPUK 5 924 984.0000 5 927 674.0000 2 690.0000 0.48422
PGAB 955.4250 956.8765 1.4515 0.15192
PRODBRS 355 505.0000 357 621.0130 2 116.0130 0.59521
IKAP 2.1381 2.1402 0.0021 0.09822
PBRS 1 925.0000 1 926.0000 1.0000 0.05195
CONBRS 13.1645 13.1650 0.0005 0.00379
CONSEN 2 178.0000 2 181.9142 3.9142 0.17971
CONPROT 57.4755 57.5362 0.0607 0.10561
J MLMIS 271.1851 271.1729 -0.0122 -0.00450
AGZBRK 25.0052 24.9450 -0.0602 -0.24075
AKMTBY 60.8174 60.7458 -0.0716 -0.11773
UHHDP 63.5673 63.6689 0.1016 0.15983
191
7.3. Simulasi Historis Periode Masa Desentralisasi Fiskal Tahun 2001 - 2005
Simulasi historis pada periode desentralisasi fiskal dilakukan pada range waktu
pada tahun 2001 2005. Simulasi dilakukan pada kebijakan tunggal maupun kebijakan
ganda dengan rincian sebagai berikut :

7.3.1. Dampak Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebesar 35 Persen
terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Implementasi desentralisasi fiskal memberi kebebasan pada pemerintah daerah
dalam menggali potensi daerah sebagai sumber penerimaanya. Salah satu tolok ukur
kemandirian daerah adalah Penerimaan Asli Daerah (PAD). Dalam desentralisasi fiskal
diharapkan pemerintah daerah bisa meningkatkan PAD sebagai sumber penerimaannya.
Sumber PAD yang kontribusinya paling besar di daerah kabupaten di J awa Barat adalah
pajak daerah dan retribusi daerah. Selama desentralisasi fiskal telah terjadi kenaikan
penerimaan rata-rata berkisar 35 persen akibat adanya ekstensifikasi dan intensifikasi
pajak daerah dan retribusi daerah. Peningkatan 35 persen terhadap penerimaan pajak
daerah dan retribusi daerah berpengaruh pada peningkatan PAD sebesar 9.12 persen yang
selanjutnya meningkatkan penerimaan daerah dan pengeluaran daerah baik pengeluaran
rutin maupun pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin meningkat sebesar 1.02 persen
dan pengeluaran pembangunan meningkat sebesar 0.08 persen. Peningkatan pengeluaran
pembangunan selanjutnya meningkatkan pengeluaran sektoral termasuk sektor
pembangunan pertanian meningkat sebesar 0.54 persen. Peningkatan pengeluaran sektoral
termasuk sektor pertanian meningkatkan PDRB Pertanian sebesar 0.02 persen dan PDRB
sebesar 0.001 persen, kinerja ketahanan pangan (dari sisi produksi konsumsi dan
pemanfaatan pangan) serta menurunkan kemiskinan sebesar 0.0006 persen. Keterbatasan
192
pada model ini tidak mengakomodasi kinerja perekonomian dari sisi investasi swasta,
sehingga dampak dari peningkatan penerimaan pajak dan retribusi hanya dilihat dari sisi
penerimaan pemerintah yang meningkat sedang dampak negatif dari peningkatan
penerimaan pajak dan retribusi yang berpengaruh terhadap investasi dan perekonomian
daerah tidak bisa dilihat pengaruhnya.
Tabel 42. Dampak Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebesar 35
Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah
Provinsi J awa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 475 152.0000 477 285.4325 2 133.4325 0.4490
PAD 27 839.0000 32 058.4737 4 219.4737 15.1567
PJ KDAE 12 060.0000 16 281.0000 4 221.0000 35.0000
DALOK 282 803.0000 282 900.0000 97.0014 -0.0343
PRUTIN 322 286.0000 327 398.1005 5 112.1005 1.5862
PPEMB 117 005.0000 117 069.5868 64.5868 0.0552
PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 4 142.0000 4 190.2046 48.2046 1.1638
GDAE 439 291.0000 439 327.0219 36.0219 0.0082
KESFIS 35 861.0000 35 856.8760 -4.1240 -0.0115
PDRBP 592.2146 592.4876 0.2730 0.0461
PDRBNP 2 414.0000 2 414.0000 0.0000 0.0000
PDRB 3 007.0000 3 007.0631 0.0631 0.0021
PRODGAB 648 847.0000 649 298.0000 451.0000 0.0695
INCPP 362.2849 362.3820 0.0971 0.0268
TKP 292.6429 293.8275 1.1846 0.4048
QPUK 4 031 705.0000 4 052 125.5860 20 420.5858 0.5065
PGAB 1 552.0000 1 552.0000 0.0000 0.0000
PRODBRS 421 751.0000 422 043.2734 292.2734 0.0693
IKAP 1.9590 1.9590 0.0000 0.0005
PBRS 3 085.0000 3 085.0000 0.0000 0.0000
CONBRS 12.9312 12.9333 0.0021 0.0161
CONSEN 2 149.0000 2 149.0043 0.0043 0.0002
CONPROT 56.6952 56.7013 0.0061 0.0108
J MLMIS 250.6949 250.6939 -0.0010 -0.0004
AGZBRK 17.7094 17.7078 -0.0016 -0.0092
AKMTBY 54.7641 54.7616 -0.0025 -0.0046
UHHDP 65.1320 65.1325 0.0005 0.0008

193
Dampak kebijakan fiskal dari sisi penerimaan dengan meningkatkan penerimaan
pajak dan retribusi responnya sangat kecil terhadap kinerja ketahanan pangan dan
kemiskinan, karena pengaruhnya tidak langsung tetapi melalui mekanisme transmisi.
Berbeda dengan kebijakan dari sisi pengeluaran akan mempengaruhi langsung pada
kinerja ketahanan pangan dan kemiskinan.

7.3.2. Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin sebesar 10 Persen ke Pengeluaran
Pembangunan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah
Provinsi Jawa Barat

Desentralisasi fiskal berpengaruh pada peningkatan pengeluaran rutin yang cukup
signifikan, pada masa desentralisasi fiskal pengeluaran rutin berkontribusi hampir 80
persen terhadap pengeluaran daerah. Dengan melakukan efisiensi pada pembiayaan
operasional pemerintahan maka pengeluaran rutin bisa dihemat dan penghematan sebesar
10 persen dari pengeluaran rutin tersebut dialokasikan pada pengeluaran pembangunan.
Relokasi pengeluaran rutin sebesar 10 persen meningkatkan pengeluaran
pembangunan sebesar 37.37 persen. Peningkatan pengeluaran pembangunan meningkatkan
pengeluaran sektoral termasuk diantaranya adalah pengeluaran sektor pertanian meningkat
sebesar 7.06 persen, sehingga berdampak meningkatkan kinerja perekonomian berupa
PDRB Pertanian 1.25 persen PDRB 0.26 persen pendapatan per kapita 0.35 persen,
meningkatkan kinerja ketahanan pangan baik dari sisi produksi, konsumsi dan
pemanfaatan pangan serta menurunkan kemiskinan sebesar 0.0029 persen. Kebijakan ini
mempunyai pengaruh paling besar pada kinerja fiskal berupa meningkatnya pengeluaran
pembangunan sehingga akan mempengaruhi kinerja perekonomian.

194
Tabel 43. Dampak Relokasi Pengeluaran Rutin sebesar 10 Persen ke Pengeluaran
Pembangunan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah
Provinsi J awa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 475 152.0000 475 152.0000 0.0000 0.0000
PAD 27 839.0000 27 839.0000 0.0000 0.0000
PJ KDAE 12 060.0000 12 060.0000 0.0000 0.0000
DALOK 282 803.0000 282 803.0000 0.0000 0.0000
PRUTIN 322 286.0000 290 057.4000 -32 228.6000 -10.0000
PPEMB 117 005.0000 150 234.3317 33 229.3317 37.3739
PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 4 142.0000 4 434.4347 292. 4347 7.0602
GDAE 439 291.0000 440 397.1347 1 106.1347 0.2518
KESFIS 35 861.0000 35 842.2088 -18.7912 -0.0524
PDRBP 592.2146 599.6232 7.4086 1.2510
PDRBNP 2 414.0000 2414.0121 0.0121 0.0005
PDRB 3 007.0000 3 014.8332 7.8332 0.2605
PRODGAB 648 847.0000 652 501.9552 3 654.9552 0.5633
INCPPI 362.2849 362.7359 0.4510 0.1245
TKP 292.6429 292.7140 0.0711 0.0243
QPUK 4 031 705.0000 4 050 633.855 18 928 .8550 0.4695
PGAB 1 552.0000 1 556.0000 4.0000 0.2577
PRODBRS 421 751.0077 424 130.1051 2 379.0974 0.5641
IKAP 1.9590 1.9659 0.0060 0.3544
PBRS 3 085.0000 3 093.0000 8.0000 0.2526
CONBRS 12.9312 12.9322 0.0010 0.0077
CONSEN 2 149.0000 2 149.0107 0.0107 0.0005
CONPROT 56.6952 56.6957 0.0005 0.0009
J MLMIS 250.6949 250.6877 -0.0072 -0.0029
AGZBRK 17.7094 17.7091 -0.0003 -0.0016
AKMTBY 54.7641 54.7630 -0.0001 -0.0021
UHHDP 65.1320 65.1314 -0.0006 0.0009


7.3.3. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian 20 Persen terhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Pada skenario ini dilakukan simulasi terhadap kebijakan peningkatan pengeluaran
sektor pertanian sebesar 20 persen. Selama ini pengeluaran pemerintah pada sektor
pertanian proporsinya relatif kecil dan cenderung terabaikan, padahal sektor pertanian
195
merupakan sektor dimana sebagian besar penduduk menggantungkan hidupnya dan sektor
pertanian juga merupakan sektor yang mempunyai keterkaitan erat dengan sektor lain.

Tabel 44. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen
terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi
J awa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 475 152.0000 475 157.0000 5.0000 0.0011
PAD 27 839.0000 27 843.0000 4.0000 0.0144
PJ KDAE 12 060.0000 12 064.0000 4.0000 0.0332
DALOK 282 803.0000 282 802.1516 -0.8484 -0.0003
PRUTIN 322 286.0000 322 292.4457 6.4458 0.0020
PPEMB 117 005.0000 117 006.5211 1.5210 0.0013
PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 4 142.0000 4 970.4000 828.4000 20.0000
GDAE 439 291.0000 439 291.8786 0.8786 0.0002
KESFIS 35 861.0000 34 765.9844 -1 077.7306 -3.0053
PDRBP 592.2146 609.0453 16.8307 2.8420
PDRBNP 2 414.0000 2 414.0145 0.0145 0.0006
PDRB 3 007.0000 3 023.0000 16.0000 0.5321
PRODGAB 648 847.0000 655 222.0000 6 375.0000 0.9825
INCPPI 362.2849 363.2540 0.9691 0.2675
TKP 292.6429 293.5916 0.9487 0.3460
QPUK 4 031 705.0000 4 031 834.9850 129.0146 0.0032
PGAB 1 552.0000 1 551.0000 -1.0000 -0.0644
PRODBRS 421 751.0000 425 894.0000 4 143.0000 0.9823
IKAP 1.9590 1.9669 0.0079 0.4033
PBRS 3 085.0000 3 084.0000 -1.0000 -0.0324
CONBRS 12.9312 12.9319 0.0012 0.0095
CONSEN 2 149.0000 2 149.0107 0.0107 0.0005
CONPROT 56.6952 56.6957 0.0005 0.0009
J MLMIS 250.6949 250.6588 -0.0361 -0.0144
AGZBRK 17.7094 17.7089 -0.0005 -0.0028
AKMTBY 54.7641 54.7631 -0.0010 -0.0018
UHHDP 65.1320 65.1322 0.0002 0.0003

Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran sektor pertanian
sebesar 20 persen berpengaruh pada peningkatan PDRB sektor pertanian sebesar 2.84
196
persen dan peningkatan produksi gabah sebesar 0.98 persen. Peningkatan PDRB pertanian
dan produksi gabah menyebabkan terjadinya peningkatan pendapatan pada sektor
pertanian sebesar 0.27 persen dan pendapatan per kapita sebesar 0.4 persen. Peningkatan
pendapatan terutama pada sektor pertanian menyebabkan terjadinya penurunan jumlah
penduduk miskin sebesar 0.01 persen karena angka kemiskinan banyak terjadi pada sektor
tersebut. Peningkatan pendapatan per kapita dan penurunan jumlah penduduk miskin
menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi beras, energi dan protein yang merupakan
cerminan adanya peningkatan akses terhadap pangan. Hal tersebut berdampak pada
penurunan angka gizi buruk dan angka kematian bayi serta kenaikan umur harapan hidup.
Akibat penurunan jumlah penduduk miskin berdampak pula pada peningkatan
penerimaan pajak dan PAD sehingga meningkatkan penerimaan daerah. Penurunan
jumlah penduduk miskin mengurangi beban subsidi yang ditanggung pemerintah dan
berpotensi pada peningkatan penerimaan daerah dari sektor pajak. Peningkatan penerimaan
daerah berdampak pada pengurangan kesenjangan fiskal sebesar 3.05 persen, sehingga
akan mengurangi beban pemerintah dalam pembiayaan daerah yang cenderung mengalami
defisit. Dengan demikian pengurangan jumlah penduduk miskin dan peningkatan
ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dan individu, akan berdampak pada kinerja
fiskal yang semakin baik karena beban subsidi dari pemerintah bisa berkurang dan
pendapatan dari pajak akan meningkat. Kinerja fiskal yang baik yang dicerminkan oleh
meningkatnya penerimaan daerah dan berkurangnya kesenjangan fiskal akan berpengaruh
pada kinerja perekonomian daerah berupa peningkatan PDRB yang selanjutnya akan
meningkatkan tingkat pendapatan penduduk terutama pada sektor pertanian sehingga
kemiskinan menurun dan ketahanan pangan meningkat. Pengaruh ini relatif lebih responsif
197
dibanding simulasi periode sebelum desentralisasi fiskal (1995 2000), hal ini
mengindikasikan bahwa pada periode desentralisasi fiskal (2001 2005) pemerintah
daerah dan masyarakat di J awa Barat lebih respon pada perkembangan sektor pertanian
sehingga dengan simulasi yang sama tetapi lebih memberikan dampak yang relatif lebih
besar. Sesuai dengan harapan dari desentralisasi fiskal, bahwa kebijakan ini diharapkan
lebih bisa menimbulkan efisiensi dalam alokasi sumberdaya sehingga setiap dana
pembangunan yang dikeluarkan akan bisa memberi eksternalitas yang optimal pada
perkembangan perekonomian daerah.

7.3.4. Dampak Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Peresn dan Dana
Pendidikan sebesar 20 Peresn terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan
di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Selama implementasi desentralisasi fiskal telah terjadi penurunan kualitas pada
pelayanan kesehatan dan pendidikan masyarakat terutama bagi masyarakat golongan
miskin. Meningkatnya angka gizi buruk, jumlah penduduk sangat rawan pangan dan angka
putus sekolah merupakan salah satu indikator terjadinya penurunan kualitas pelayanan
kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat. Peningkatan pengeluaran kesehatan dan
pendidikan sebesar 20 persen diharapkan bisa digunakan untuk melakukan revitalisasi
program-program kesehatan dan perbaikan pelayanan pendidikan terutama bagi golongan
penduduk miskin.
Peningkatan dana kesehatan dan pendidikan berpengaruh pada peningkatan
konsumsi beras, energi dan protein, selanjutnya menurunkan jumlah angka gizi buruk dan
angka kematian bayi serta meningkatkan umur harapan hidup. Peningkatan dana kesehatan
dan pendidikan juga berpengaruh pada penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 0.0005
198
persen. Dampak paling besar dari kebijakan ini adalah terjadinya peningkatan kinerja
ketahanan pangan dari sisi konsumsi dan pemanfaatan pangan berupa derajat kesehatan
masyarakat yang diproksi dengan angka gizi buruk, angka kematian bayi dan umur
harapan hidup.
Tabel 45. Dampak Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Persen
dan Dana Pendidikan sebesar 20 Persen terhadap Kemiskinan dan
Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi J awa Barat


Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 475 152.0000 475 156.7515 4.7515 0.0010
PAD 27 839.0000 27 842.3128 3.3128 0.0119
PJ KDAE 12 060.0000 12 062.5567 2.5557 0.0212
DALOK 282 803.0000 282 801.8688 -1.1312 -0.0004
PRUTIN 322 286.0000 322 295.6686 9.6686 0.0030
PPEMB 117 005.0000 117 043.2606 38.2606 0.0327
PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 4 142.0000 4 142.2402 0.2402 0.0058
GDAE 439 291.0000 439 298.9072 7.9072 0.0018
KESFIS 35 861.0000 35 848.2213 -12.5872 -0.0351
PDRBP 592.2146 592.2478 0.0332 0.0056
PDRBNP 2 414.0000 2 414.0121 0.0121 0.0005
PDRB 3 007.0000 3 007.0361 0.0361 0.0012
PRODGAB 648 847.0000 648 901.5031 54.5031 0.0084
INCPPI 362.2849 363.0682 0.7833 0.2162
TKP 292.6429 292.7026 0.0597 0.0204
QPUK 4 031 705.0000 4 034 297.3850 2 592.3863 0.0643
PGAB 1 552.0000 1 552.7838 0.7838 0.0505
PRODBRS 421 751.0000 421 786.8488 35.8488 0.0085
IKAP 1.9590 1.9590 0.0000 0.0000
PBRS 3 084.9210 3 084.9950 0.0740 0.0024
CONBRS 12.9312 12.9472 0.0160 0.1232
CONSEN 2 149.0000 2 149.0370 0.0370 0.1847
CONPROT 56.6952 56.7664 0.0712 0.1256
J MLMIS 250.6949 250.6936 -0.0013 -0.0005
AGZBRK 17.7094 17.6486 -0.0608 -0.3434
AKMTBY 54.7641 54.5901 -0.1740 -0.3177
UHHDP 65.1320 65.3012 0.1692 0.2598


199
7.3.5. Dampak Peningkatan Harga Pupuk sebesar 15 peresn terhadap Kemiskinan
dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Harga pupuk selalu berkecenderungan mengalami kenaikan sesuai dengan kenaikan
pada proses produksinya. Bahkan ada kecenderungan bahwa trend kenaikan harga pupuk
relatif lebih besar dibanding dengan trend kenaikan harga gabah. Bagaimana pengaruhnya
apabila harga pupuk mengalami kenaikan sebesar 15 persen.
Tabel 46. Dampak Peningkatan Harga Pupuk sebesar 15 Persen terhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi J awa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 475 152.0000 475 150.0000 -2.0000 -0.0004
PAD 27 839.0000 27 837.0000 -2.0000 -0.0071
PJ KDAE 12 060.0000 12 058.0000 -2.0000 -0.0165
DALOK 282 803.0000 282 803.2262 0.2262 0.0008
PRUTIN 322 286.0000 322 288.9973 2.9973 0.0009
PPEMB 117 005.0000 117 005.2808 0.2808 0.0002
PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 4 142.0000 4 142.0372 0.0372 0.0009
GDAE 439 291.0000 439 292.4936 1.4936 0.0003
KESFIS 35 861.0000 35 863.0000 2.0000 0.0055
PDRBP 592.2146 584.8056 -7.4090 -1.2511
PDRBNP 2 414.0000 2 413.9952 -0.0048 -0.0002
PDRB 3 007.0000 2 999.0000 -8.0000 -0.2661
PRODGAB 648 847.0000 563 223.0000 -85 624.0000 -13.1963
INCPPI 362.2849 349.2700 -13.0149 -3.5924
TKP 292.6429 292.4568 -0.1861 -0.0636
QPUK 4 031 705.0000 2 982 931.0000 -1 048
774.0000
-26.0131
PGAB 1 552.0000 1 556.0000 4.0000 0.2577
PRODBRS 421 751.0000 366 095.0000 -55 656.0000 -13.1964
IKAP 1.9590 1.9538 -0.0052 -0.2654
PBRS 3 085.0000 3 093.0000 8.0000 0.2593
CONBRS 12.9312 12.9302 -0.0010 -0.0077
CONSEN 2 149.0000 2 148.9888 -0.0112 -0.0005
CONPROT 56.6952 56.6922 -0.0030 -0.0052
J MLMIS 250.6949 250.6956 0.0007 0.0003
AGZBRK 17.7094 17.7124 0.0030 0.0169
AKMTBY 54.7641 54.7653 0.0012 0.0021
UHHDP 65.1320 65.1314 -0.0006 -0.0009
200
Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan harga pupuk akan menurunkan
penggunaan pupuk sebesar 26 persen dan hal ini akan berpengaruh pada penurunan
produksi gabah sebesar 13 persen dan penurunan PDRB sektor pertanian sebesar 7 persen.
Penurunan produksi gabah akan berpengaruh pada penurunan pendapatan pada sektor
pertanian sebesar 3.60 persen dan penurunan pendapatan per kapita sebesar 0.27 persen.
Hal ini akan berpengaruh pada penurunan konsumsi beras, energi dan protein serta
meningkatkan angka gizi buruk dan angka kematian bayi yang selanjutnya berpengaruh
pada penurunan umur harapan hidup. Respon perubahan harga pupuk pada periode
desentralisasi fiskal relatif lebih besar dibanding periode sebelum desentralisasi fiskal.

7.3.6. Dampak Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan
dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Kebijakan perberasan dilakukan bertujuan untuk mendorong peningkatan produksi
gabah dan peningkatan pendapatan bagi petani, selain itu juga bertujuan untuk menjamin
pasokan beras sebagai bahan pangan pokok sebagian besar masyarakat dalam jumlah yang
cukup dan harga terjangkau. Namun yang menjadi permasalahan adalah keberpihakan
pemerintah terhadap kesejahteraan para petani yang tidak maksimal bahkan cenderung
terabaikan terutama sejak segala perangkat kebijakan perberasan dilepaskan. Kebijakan
harga dasar gabah telah digantikan oleh kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) yang
cenderung kurang efektif karena keterbatasan bulog dalam menyerap gabah petani pada
saat panen raya sehingga harga gabah di tingkat petani yang berlaku cenderung lebih
rendah dibanding harga pembelian pemerintah. Untuk itu dalam pelaksanaan desentralisasi
fiskal, diharapkan pemerintah daerah J awa Barat mempunyai keberpihakan terhadap
kesejahteraan petani di daerahnya.
201
Tabel 47. Dampak Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi J awa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 475 152.0000 475 161.5030 9.5030 0.0020
PAD 27 839.0000 27 840.4476 1.4476 0.0052
PJ KDAE 12 060.0000 12 061.2301 1.2301 0.0102
DALOK 282 803.0000 282 801.8688 -1.1312 -0.0004
PRUTIN 322 286.0000 322 290.1897 4.18979 0.0013
PPEMB 117 005.0000 117 006.0530 1.0530 0.0009
PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 4 142.0000 4 142.0166 0.0166 0.0004
GDAE 439 291.0000 439 295.3929 4.3929 0.0010
KESFIS 35 861.0000 35 860.8207 -0.1793 -0.0005
PDRBP 592.2146 594.0066 1.7920 0.3026
PDRBNP 2 414.0000 2 414.0000 0.0000 0.0000
PDRB 3 007.0000 3 008.0000 1.0000 0.0333
PRODGAB 648 847.0000 669 560.1428 20 713.1428 3.1923
INCPPI 362.2849 365.4332 3.1483 0.8690
TKP 292.6429 293.2316 0.5888 0.2012
QPUK 4 031 705.0000 4 285 408.1010 253 703.1005 6.2927
PGAB 1 552.0000 1 784.8000 232.8000 15.0000
PRODBRS 421 751.0000 435 214.1354 13 463.1354 3.1922
IKAP 1.9590 1.9604 0.0014 0.0715
PBRS 3 085.0000 3 087.0000 2.0000 0.0648
CONBRS 12.9312 12.9315 0.0003 0.0023
CONSEN 2 149.0000 2 149.0086 0.0086 0.0004
CONPROT 56.6952 56.6959 0.0007 0.0012
J MLMIS 250.6949 250.6934 -0.0015 -0.0006
AGZBRK 17.7094 17.7086 -0.0008 -0.0045
AKMTBY 54.7641 54.7637 -0.0004 -0.0005
UHHDP 65.1320 65.1322 0.0002 0.0003

Dari hasil simulasi peningkatan harga gabah sebesar 15 persen dari rata-rata harga
gabah yang berlaku menunjukkan adanya pengaruh terhadap peningkatan penggunaan
pupuk sebesar 6.29 persen dan peningkatan produksi gabah sebesar 3.19 persen dan
peningkatan PDRB sektor pertanian sebesar 0.30 persen. Hal tersebut berpengaruh pada
peningkatan pendapatan petani sebesar 0.87 persen serta meningkatkan pendapatan per
kapita sebesar 0.07 persen. Peningkatan pendapatan per kapita berpengaruh meningkatkan
202
konsumsi beras, energi dan protein sehingga berpengaruh pada penurunan angka gizi
buruk dan angka kematian bayi serta meningkatkan umur harapan hidup dengan respon
yang relatif kecil. Respon kebijakan pada periode desentralisasi fiskal (2001 2005)
relatif lebih besar dibanding simulasi periode sebelum desentralisasi fiskal (1995 2000).

7.3.7. Dampak Peningkatan Harga Pupuk Sebesar 15 persen dan Harga Gabah 15
persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi
Jawa Barat

Kebijakan peningkatan harga gabah biasanya selalu didahului oleh adanya
peningkatan harga pupuk, sehingga insentif yang diberikan pada petani tidak bisa sampai
sebagaimana yang diharapkan. Pada simulasi ini akan dilakukan kebijakan peningkatan
harga gabah dan harga pupuk secara bersamaan dengan proporsi peningkatan yang sama.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa adanya kombinasi antara peningkatan harga
gabah dan harga pupuk dengan proporsi yang sama berdampak pada penurunan
penggunaan pupuk sebesar 11.96 persen sehingga menurunkan produksi gabah sebesar
8.38 persen dan PDRB Pertanian sebesar 0.79 persen. Hal ini berdampak pada penurunan
pendapatan sektor pertanian sebesar 2.10 persen dan pendapatan per kapita sebesar 0.16
persen. Sehingga menurunkan konsumsi beras dan konsumsi protein dan meningkatkan
angka gizi buruk, angka kematian bayi serta menurunkan umur harapan hidup. Dampak
simulasi pada periode desentralisasi fiskal relatif lebih besar dibanding pada periode
sebelum desentralisasi fiskal. Respon simulasi pada periode desentralisasi relatif lebih
besar dibanding pada periode sebelum desentralisasi fiskal.




203
Tabel 48. Dampak Peningkatan Harga Pupuk sebesar 15 Persen dan Harga Gabah
sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di
Wilayah Provinsi J awa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 475 152.0000 475 147.7235 -4. 2764 -0.0009
PAD 27 839.0000 27 837.3296 -1.6703 -0.0060
PJ KDAE 12 060.0000 12 059.7226 -0.2774 -0.0023
DALOK 282 803.0000 282 805.8280 2.8280 0.0010
PRUTIN 322 286.0000 322 294.3794 8.3794 0.0026
PPEMB 117 005.0000 117 006.7551 1.7551 0.0015
PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 4 142.0000 4 142.0621 0.0621 0.0015
GDAE 439 291.0000 439 296.7108 5.7108 0.0013
KESFIS 35 861.0000 35 861.6814 1.3269 0.0037
PDRBP 592.2146 587.5195 -4.6951 -0.7928
PDRBNP 2 414.0000 2 413.9926 -0.0007 -0.0003
PDRB 3 007.0000 3 003.0000 -4.0000 -0.1360
PRODGAB 648 847.0000 594 751.3279 -54 095.6721 -8.3372
INCPPI 362.2849 354.6889 -7.5960 -2.0967
TKP 292.6429 292.5405 -0.1024 -0.0350
QPUK 4 031 705.0000 3 549 412.289 -482 292.7106 -11.9625
PGAB 1 552.0000 1 784.8000 232.8000 15.0000
PRODBRS 421 751.0000 386 589.1974 -35 161.8026 -8.3371
IKAP 1.9590 1.9560 -0.0030 -0.1556
PBRS 3 085.0000 3 091.2903 6.2903 0.2039
CONBRS 12.9312 12.9306 -0.0006 -0.0047
CONSEN 2 149.0000 2 148.9656 -0.0344 -0.0016
CONPROT 56.6952 56.6926 -0.0026 -0.0046
J MLMIS 250.6949 250.7014 0.0065 0.0026
AGZBRK 17.7094 17.7111 0.0017 0.0098
AKMTBY 54.7641 54.7650 0.0009 0.0017
UHHDP 65.1320 65.1325 0.0005 0.0008

7.3.8. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian 20 Persen dan
Peningkatan Harga Gabah 15 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan
Pangan di Provinsi Jawa Barat

Kebijakan fiskal yang berpihak kepada sektor pertanian dengan memberikan
kenaikan sebesar 20 persen yang direspon dengan memberikan kebijakan kenaikan harga
gabah diharapkan memberi pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan petani.
204
Dengan peningkatan kebijakan pada sektor pertanian akan terjadi peningkatan pada
produksi gabah dan peningkatan produksi ini biasanya akan diikuti oleh turunnya harga
gabah sehingga tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani akan sulit terwujud dan
terealisasi. Untuk itu, kenaikan produksi akibat peningkatan pengeluaran sektor pertanian
yang direspon dengan kebijakan harga output diharapkan harga gabah tidak akan jatuh
pada saat terjadi peningkatan produksi sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan petani.
Tabel 49. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen dan
Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan dan
Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi J awa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 475 152.0000 475 157.9869 5.9869 0.0012
PAD 27 839.0000 27 844.0000 5.0000 0.0212
PJ KDAE 12 060.0000 12 065.9019 5.9019 0.0712
DALOK 282 803.0000 282 802.3213 -0.6787 -0.0002
PRUTIN 322 286.0000 322 286.0000 27.7811 0.0086
PPEMB 117 005.0000 117 050.9596 45.9596 0.0392
PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 4 142.0000 4 970.4000 828.4000 20.0000
GDAE 439 291.0000 439 555.3653 264.3653 0.0601
KESFIS 35 861.0000 35 484.2192 -376.7808 -1.0506
PDRBP 592.2146 610.8382 18.6236 3.1447
PDRBNP 2 414.0000 2 414.1562 0.1562 0.0064
PDRB 3 007.0000 3 025.0000 18.0000 0.5986
PRODGAB 648 847.0000 675 944.9919 27 097.9919 4.1763
INCPPI 362.2849 366.4038 4.1189 1.1369
TKP 292.6429 293.5286 0.8857 0.3026
QPUK 4 031 705.0000 4 285 406.8910 253 701.8910 6.2926
PGAB 1 552.0000 1 784.8000 232.8000 15.0000
PRODBRS 421 751.0000 439 365.0088 17 614.0088 4.1764
IKAP 1.9590 1.9683 0.0093 0.4747
PBRS 3 085.0000 3 088.0000 3.0000 0.0972
CONBRS 12.9312 12.9316 0.0004 0.0030
CONSEN 2 149.0000 2 149.0864 0.0864 0.0040
CONPROT 56.6952 56.6964 0.00120 0.0021
J MLMIS 250.6949 250.6589 -0.04050 -0.0162
AGZBRK 17.7094 17.7082 -0.00120 -0.0067
AKMTBY 54.7641 54.7628 -0.00130 -0.0023
UHHDP 65.1320 65.1323 0.00030 0.0004
205
Hasil simulasi menujukkan bahwa kombinasi peningkatan pengeluaran sektor
pertanian dan harga gabah akan memberi dampak pada peningkatan PDRB Pertanian
sebesar 3.14 persen yang lebih besar dibanding periode sebelum desentralisasi fiskal.
Begitu juga pengaruhnya terhadap peningkatan produksi gabah relatif lebih besar yaitu
sebesar 4.18 persen. Hal tersebut berdampak pada kenaikan pendapatan sektor pertanian
sebesar 1.14 persen dan pendapatan per kapita sebesar 0.47 persen. Sehingga
meningkatkan konsumsi beras dan konsumsi protein, serta menurunkan jumlah penduduk
miskin, angka gizi buruk dan angka kematian bayi. Dan pada akhirnya meningkatkan umur
harapan hidup, nilai perubahan tersebut relatif lebih besar apabila dibandingkan pada
periode sebelum desentralisasi fiskal. Respon simulasi pada periode desentralisasi relatif
lebih besar dibanding pada periode sebelum desentralisasi fiskal.Hal ini mengindikasikan
bahwa pada periode desentralisasi fiskal telah terjadi proses yang lebih efisien sehingga
dampak kebijakan menjadi lebih signifikan dibanding sebelum desentralisasi fiskal.

7.3.9. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen dan
Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Persen dan Pendidikan sebesar 20
Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Provinsi Jawa Barat

Kebijakan fiskal yang berpihak kepada sektor pertanian dengan memberikan kenaikan
sebesar 20 persen yang dibarengi oleh peningkatan dana kesehatan dan pendidikan sebesar
20 persen sebagai upaya untuk memperbaiki pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi
masyarakat miskin diharapkan akan terjadi penurunan yang signifikan terhadap tingkat
kemiskinan dan meningkatkan kinerja katahanan pangan. Peningkatan pengeluaran sektor
pertanian efektif dalam meningkatkan kinerja ketahanan pangan dari sisi ketersediaan
pangan dan peningkatan dana kesehatan dan pendidikan efektif dalam meningkatkan
206
kinerja ketahanan pangan dari sisi konsumsi dan pemanfaatan pangan. Gabungan dari
kedua kebijakan tersebut diharapkan memberikan dampak yang saling melengkapi
sehingga akan meningkatkan kinerja ketahanan pangan dari semua subsistem dari sistem
ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan, daya beli, konsumsi serta pemanfaatan
pangan.
Tabel 50. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen dan
Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Persen dan Dana Pendidikan sebesar
20 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi
J awa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 475 152.0000 475 157.9869 5.9869 0.0012
PAD 27 839.0000 27 843.0000 4.0000 0.0145
PJ KDAE 12 060.0000 12 064.9019 4.9019 0.0405
DALOK 282 803.0000 282 802.3213 -0.8787 -0.0310
PRUTIN 322 286.0000 322 293.0000 7.7811 0.2414
PPEMB 117 005.0000 117 050.9596 5.9596 0.0392
PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 4 142.0000 4 970.4000 828.5000 20.0000
GDAE 439 291.0000 439 555.3653 0.9653 0.0601
KESFIS 35 861.0000 35 484.2192 -376.7808 -1.0506
PDRBP 592.2146 609.2146 17.2145 2.8716
PDRBNP 2 414.0000 2 414.2562 0.2562 0.0106
PDRB 3 007.0000 3 025.0000 18.0000 0.5986
PRODGAB 648 847.0000 655 347.0000 6 400.0000 0.9864
INCPPI 362.2849 363.4038 1.1189 0.3089
TKP 292.6429 293.6286 0.9857 0.3368
QPUK 4 031 705.0000 4 031 840.8910 135.8910 0.0071
PGAB 1 552.0000 1 551 .8600 -0.1400 -0.0090
PRODBRS 421 751.0000 425 901.0088 4 150.0088 0.9840
IKAP 1.9590 1.9674 0.0084 0.4295
PBRS 3 085.0000 3 082.0000 -3.0000 -0.0972
CONBRS 12.9312 12.9472 0.0160 0.1232
CONSEN 2 149.0000 2 149.0370 0.0370 0.1847
CONPROT 56.6952 56.7664 0.0712 0.1256
J MLMIS 250.6949 250.6553 -0.0396 -0.0158
AGZBRK 17.7094 17.6486 -0.0608 -0.3434
AKMTBY 54.9381 54.7628 -0.1740 -0.3177
UHHDP 65.3012 65.1323 0.1692 0.2598

207
Hasil simulasi menunjukkan bahwa kombinasi peningkatan pengeluaran sektor
pertanian dan peningkatan dana kesehatan dan pendidikan akan memberi dampak pada
peningkatan kinerja perekonomian berupa PDRB Pertanian sebesar 2.8716 persen,
produksi gabah sebesar 0.9864 persen, peningkatan kinerja ketahanan pangan dari sisi
konsumsi yaitu meningkatnya konsumsi beras 0.1232 persen, energi 0.1847 persen, protein
0.1256 persen, turunnya angka gizi buruk sebesar 0.3434 persen, angka kematian bayi
0.3177 persen dan meningkatnya umur harapan hidup sebesar 0.2598 persen serta
menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0.0144 persen.

7.3.10.Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian 20 Persen dan
Peningkatan Dana Kesehatan 20 Persen dan Pendidikan 20 Persen serta
Peningkatan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di
Wilayah Provinsi Jawa Barat

Kombinasi kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian, peningkatan
pengeluaran dana kesehatan dan pendidikan serta diikuti kebijakan peningkatan harga
gabah diharapkan memberikan hasil yang lebih baik terhadap peningkatan kinerja
ketahanan pangan dan penurunan kemiskinan. Dengan peningkatan pengeluaran sektor
pertanian dan peningkatan harga gabah akan memberi stimulus pada peningkatan kinerja
ketahanan pangan pada peningkatan produktivitas terutama pada peningkatan produksi
gabah dan PDRB Pertanian. Peningkatan pengeluaran dana kesehatan dan pendidikan lebih
memberi stimulus pada peningkatan kinerja ketahanan pangan pada peningkatan konsumsi
energi dan protein serta derajat kesehatan masyarakat Dengan dilakukan kombinasi maka
akan terjadi peningkatan yang saling melengkapi sehingga akan meningkatan kinerja
ketahanan pangan pada sisi produksi, konsumsi dan akses serta pemanfaatan pangan.

208
Tabel 51. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen,
Peningkatan Dana Kesehatan dan Pendidikan sebesar 20 Persen,
serta Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan
dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi J awa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)
REVDAE 475 152.0000 475 157.9869 5.9869 0.0012
PAD 27 839.0000 27 843.0000 4.0000 0.0145
PJ KDAE 12 060.0000 12 064.9019 4.9019 0.0405
DALOK 282 803.0000 282 802.3213 -0.8787 -0.0310
PRUTIN 322 286.0000 322 293.0000 7.7811 0.2414
PPEMB 117 005.0000 117 050.9596 5.9596 0.0392
PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000
PSEKP 4 142.0000 4 970.4000 828.5000 20.0000
GDAE 439 291.0000 439 555.3653 0.9653 0.0601
KESFIS 35 861.0000 35 484.2192 -376.7808 -1.0506
PDRBP 592.2146 610.8382 18.6236 3.1447
PDRBNP 2 414.0000 2 414.2562 0.2562 0.0106
PDRB 3 007.0000 3 025.0000 18.0000 0.5986
PRODGAB 648 847.0000 676 172.0000 27 325.0000 4.2113
INCPPI 362.2849 366.5038 4.2189 1.1645
TKP 292.6429 293.6286 0.9857 0.3368
QPUK 4 031 705.0000 4 285 413.8910 253 708.8910 6.2928
PGAB 1 552.0000 1 784 .8000 232.8000 15.0000
PRODBRS 421 751.0000 439 365.0000 17 854.0000 4.2233
IKAP 1.9590 1.9728 0.0138 0.7044
PBRS 3 085.0000 3 088.0000 3.0000 0.0972
CONBRS 12.9312 12.9472 0.0160 0.1232
CONSEN 2 149.0000 2 149.0370 0.0370 0.1847
CONPROT 56.6952 56.7664 0.0712 0.1256
J MLMIS 250.6949 250.5592 -0.1360 -0.0543
AGZBRK 17.7094 17.6486 -0.0608 -0.3434
AKMTBY 54.9381 54.7628 -0.1740 -0.3177
UHHDP 65.3012 65.1323 0.1692 0.2598


7.4. Rekapitulasi Hasil Simulasi Kebijakan Potensial dalam Penurunan Kemiskinan
dan Peningkatan Ketahanan Pangan pada Implementasi Desentralisasi Fiskal di
Wilayah Provinsi Jawa Barat

Dari hasil berbagai simulasi yang dilakukan untuk meningkatkan ketahanan
pangan dan menurunkan kemiskinan dalam konteks desentralisasi fiskal maka didapatkan
209
rekapitulasi hasil beberapa alternatif kebijakan potensial dan strategis untuk
diimplementasikan. Hasil evaluasi kebijakan post ante lebih efektif dilakukan pada
periode desentralisasi fiskal tahun 2001 2005 untuk itu hasil rekapitulasi hanya
menampilkan simulasi periode desentralisasi fiskal tahun 2001 2005. Kebijakan fiskal
dari sisi pengeluaran relatif lebih efektif pengaruhnya terhadap ketahanan pangan dan
penurunan kemiskinan dibanding kebijakan dilakukan dari sisi penerimaan. Kebijakan-
kebijakan yang potensi dan strategis tersebut adalah : (1) kebijakan realokasi pengeluaran
rutin ke pengeluaraan pembangunan, kebijakan ini dilakukan dalam rangka mendapatkan
tambahan sumber dana pembangunan yang terbatas maka perlu melakukan efisiensi
operasional pemerintahan dengan melakukan penghematan biaya rutin yang selanjutnya
disalurkan pada pengeluaran pembangunan, (2) peningkatan pengeluaran sektor pertanian,
merupakan kebijakan fiskal yang berpihak pada sektor pertanian yaitu sektor penghasil
pangan dan menyerap tenaga kerja relatif besar terutama di perdesaan dengan jumlah
penduduk miskin relatif besar, (3) peningkatan pengeluaran kesehatan dan pendidikan,
kebijakan ini efektif meningkatkan ketahanan pangan dari sisi konsumsi dan pemanfaatan
pangan, (4) kebijakan peningkatan harga pupuk dan harga gabah kebijakan ini dilakukan
dalam upaya untuk mengevaluasi efektifitas subsidi harga input dan harga output, (5)
kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian yang dibarengi kebijakan HPP dari
pemerintah pusat, (6) kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian yang dibarengi
peningkatan pengeluaran kesehatan dan pendidikan, dan (7) kombinasi kebijakan
peningkatan pengeluaran sektor pertanian, peningkatan pengeluaran dana kesehatan dan
pendidikan serta peningkatan harga gabah.

210

Tabel 52. Rekapitulasi Hasil Simulasi Kebijakan Potensial dalam Meningkatkan
Ketahanan Pangan dan Menurunkan Kemiskinan di Provinsi J awa Barat
(%)

Peubah Endogen Nilai Dasar S1

S2

S3 S4

S5 S6 S7
KINERJA FISKAL DAERAH :


Penerimaan Fiskal (Milyar Rp) 475152 0.0000 0.0011 0.0010 -0.0009 0.0012 0.0011 0.0012
Pendapatan Asli Daerah
(Milyar Rp)
27839 0.0000 0.0144 0.0119 -0.0060 0.0212 0.0144 0.0145
Pajak Daerah (Milyar Rp) 12060 0.0000 0.0332 0.0212 0.0023 0.0712 0.0332 0.0405
Dana Alokasi Umum (Milyar
Rp)
282803 0.0000 -0.0003 -0.0004 -0.0004 -0.0002 -0.0003 -0.0310
Pengeluaran Rutin (Milyar
Rp)
322286 -10.0000 0.0020 0.0030 0.0010 0.0086 0.0020 0.2414
Pengeluaran Pembangunan
(Milyar Rp)
117005 37.3739 0.0013 0.0327 0.0026 0.0393 0.0013 0.0392
Pembangunan Pertanian
(Milyar Rp)
4142 16.7174 20.0000 0.0058 0.0015 20.0000 20.0000 20.0000
KINERJA PEREKONOMIAN :


PDRBP (Milyar Rp) 592.2146 1.25107 2.8420 0.0056 -0.7928 3.1447 2.8716 3.1447
PDRB (Trilyun Rp) 3007 0.2605 0.5321 0.0012 -0.1360 0.5986 0.5986 0.5986
Pendapatan Per Kapita (J uta
Rp/Th)
1.959 0.3544 0.4033 0.0000 -0.1556 0.4747 0.4295 0.7044
KINERJA KETAHANAN
PANGAN :

Produksi Gabah (Ton) 648847 0.5633 0.9825 0.0084 -8.3372 4.1763 0.9864 4.2113
Produksi Beras (Ton) 421751 0.5641 0.9823 0.0085 -8.3371 4.1764 0.9840 4.2233
Konsumsi Beras (Kg/ Kap/ Bl) 12.9312 0.0077 0.0095 0.1232 -0.0047 0.0031 0.1232 0.1232
Konsumsi Energi (Kkal /
Kap/Hr)
2149 0.0005 0.0005 0.1847 -0.0016 0.0040 0.1847 0.1847
Konsumsi Protein (Gr/ Kap/Hr) 56.6952 0.0009 0.0009 0.1256 -0.0046 0.0021 0.1257 0.1256
Angka Gizi Buruk (%) 17.7094 -0.0016 -0.0028 -0.3434 0.0098 -0.0068 -0.3434 -0.3434
Angka Kematian Bayi
(J iwa/1000)
54.7641 -0.0021 -0.0018 -0.3177 0.0017 -0.0024 -0.3177 -0.3177
Umur Harapan Hidup
(Tahun)
65.132 0.0009 0.0003 0.2598 -0.0008 0.0046 0.2598 0.2598
KEMISKINAN :


J umlah Penduduk Miskin
(Orang)
250.6949 -0.0029 -0.0144 -0.0005 0.0026 -0.0162 -0.0158 -0.0543
Pendapatan Per Kapita
Pertanian( Ribu Rp)
362.2849 0.1245 0.2675 0.2162 -2.0967 1.1370 0.3089 1.1645

Keterangan :
S1 : Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran Pembangunan
S2 : Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian
S3 : Peningkatan Pengeluaran Kesehatanan dan Pendidikan
S4 : Peningkatan Harga Pupuk dan Harga Gabah
S5 : Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Harga Gabah
S6 : Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan
S7 : Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian, Dana Kesehatan, Pendidikan dan Harga Gabah


211
7.5. Ringkasan Hasil
Dari hasil penelitian mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan
dan ketahanan pangan, maka didapat ringkasan hasil penelitian sebagai berikut :
Desentralisasi fiskal di Provinsi J awa Barat secara absolut berpengaruh pada
peningkatan penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah, namun penerimaan terbesar terjadi
pada dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (DAU dan DAK) yang
proporsinya mencapai 68 persen sedang penerimaan dari pos Pendapatan Asli Daerah
(PAD) masih kecil sehingga menimbulkan ketergantungan fiskal yang semakin besar
terhadap pemerintah pusat. Sedang struktur pengeluaran daerah didominasi oleh
pengeluaran rutin yang komponennya mencapai 77 persen, sehingga porsi dana untuk
pembangunan menjadi kecil dan terbatas.
Pada masa desentralisasi fiskal tahun 2001 2005 perekonomian J awa Barat
mengalami pertumbuhan namun tingkat pertumbuhannya lebih rendah daripada
pertumbuhan ekonomi nasional, pada tahun 2006 dan 2007 pertumbuhan ekonomi J awa
Barat mulai berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor industri mempunyai
kontribusi terbesar dalam perekonomian J awa Barat 43.17 persen dengan laju yang relatif
tinggi 6.74 persen, namun pertumbuhan sektor industri kurang mempunyai kaitan yang
kuat dengan pertumbuhan sektor pertanian yang tumbuh sebesar 2.36 persen dengan
kontribusi sebesar 14 persen dengan komponen terbesar pada sub sektor tanaman pangan
yang mencapai 70 persen dari perolehan sektor pertanian. Dari sisi penyerapan tenaga
kerja sektor industri hanya menyerap tenaga kerja sebesar 19.68 persen sementara sektor
pertanian berkontribusi sebesar 33.72 persen.
212
Pada masa desentralisasi fiskal terjadi perlambatan pada laju penurunan jumlah
penduduk miskin dan terjadi peningkatan jumlah penduduk sangat rawan pangan.
Kabupaten-kabupaten yang menjadi sentra produksi beras mempunyai tingkat kemiskinan
yang relatif lebih tinggi dengan laju penurunan jumlah penduduk miskin yang relatif lebih
lambat. Tingkat kemiskinan di J awa Barat selalu lebih rendah dari tingkat kemiskinan
nasional.
Pada masa desentralisasi fiskal terjadi penurunan ketahanan pangan dari sisi
konsumsi yaitu terjadinya penurunan rata-rata konsumsi beras, konsumsi energi dan
konsumsi protein, namun dari sisi produksi dan ketersediaan pangan di J awa Barat selalu
terjadi surplus ketersediaan dan peningkatan produksi beras. Surplus ketersediaan beras
terjadi pada semua kabupaten di J awa Barat kecuali Kabupaten Bandung dan Kabupaten
Bogor, sedang untuk daerah kota semua mengalami defisit ketersediaan beras. Walaupun
terjadi banyak kendala seperti bencana alam, iklim dan alih fungsi lahan sawah yang
signifikan namun produksi padi sawah di J awa Barat pada tahun 2001 2006 terus
mengalami peningkatan dengan laju peningkatan produksi sebesar 2.62 persen yang
disebabkan peningkatan laju luas panen sebesar 0.92 persen dan laju produktivitas sebesar
l.78 persen. Dari sisi pemanfaatan pangan terjadi peningkatan terhadap kinerja ketahanan
pangan (prevalensi gizi kurang dan gizi buruk, angka kematian bayi dan umur harapan
hidup).
Model ekonometrika tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan
ketahanan pangan yang dibangun secara umum telah berhasil dirumuskan dan diestimasi
dengan baik, karena dari semua persamaan struktural yang ada nilai koefisien
determinasinya diatas 50 persen, nilai statistik F pada umumnya cukup tinggi yaitu
213
berkisar antara 12.25 sampai 14705.74. Berdasarkan uji statistik t menunjukkan sebagian
besar peubah penjelas dalam setiap persamaan struktural berpengaruh nyata pada taraf
kepercayan hingga 80 persen terhadap peubah endogennya dan dengan tanda parameter
yang sesuai dengan fenomena atau teori ekonomi.
Kebijakan fiskal berupa peningkatan pengeluaran pada sektor pertanian
berpengaruh signifikan pada peningkatan kinerja perekonomian daerah khususnya berupa
penyerapan tenaga kerja sektor pertanian, PDRB sektor Pertanian, produksi gabah,
pendapatan petani dan pendapatan per kapita. Kinerja perekonomian daerah selanjutnya
secara signifikan mempengaruhi pengurangan jumlah penduduk miskin daerah dan kinerja
ketahanan pangan daerah berupa peningkatan rata-rata konsumsi beras, energi dan protein
per kapita serta outcome katahanan pangan daerah berupa prevalensi gizi buruk, angka
kematian bayi dan umur harapan hidup. J umlah penduduk miskin secara signifikan
mampengaruhi kinerja fiskal daerah berupa penerimaan daerah dari sektor pajak daerah,
dimana penerimaan pajak daerah secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah penduduk
miskin, PDRB dan jumlah penduduk tidak miskin.J umlah penduduk miskin berpengaruh
negatif terhadap penerimaan pajak daerah. Kinerja perekonomian daerah pada sektor
pertanian juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal berupa harga input, harga output
serta upah pada sektor pertanian.
Berdasarkan hasil simulasi historis menunjukkan bahwa kebijakan peningkatan
pajak dan retribusi daerah berpengaruh terhadap penerimaan daerah dan selanjutnya akan
mempengaruhi pengeluaran rutin dan pembangunan, meningkatkan kinerja perekonomian
dan menurunkan kemiskinan. Kebijakan relokasi pengeluaran rutin ke pengeluaran
pembangunan berpengaruh pada kinerja perekonomian, kinerja ketahanan pangan dan
214
menurunkan kemiskinan. Peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pertanian
berdampak pada peningkatan PDRB sektor pertanian, produksi gabah, pendapatan sektor
pertanian, dan pendapatan per kapita. Selanjutnya meningkatkan konsumsi beras, energi
dan protein, kemudian menurunkan jumlah penduduk miskin, angka gizi buruk dan angka
kematian bayi serta meningkatkan umur harapan hidup. Selanjutnya meningkatkan kinerja
fiskal daerah melalui penurunan kesenjangan fiskal, karena penurunan jumlah penduduk
miskin berarti mengurangi beban subsidi pemerintah bagi masyarakat miskin dan
meningkatkan pendapatan dari sektor pajak.
Kebijakan peningkatan harga pupuk berdampak pada penurunan penggunaan
pupuk, penurunan produksi gabah dan penurunan PDRB sektor pertanian. Sehingga
menurunkan pendapatan pada sektor pertanian, pendapatan per kapita, konsumsi beras,
energi dan protein. Meningkatkan angka gizi buruk, angka kematian bayi dan menurunkan
umur harapan hidup. Peningkatan harga pupuk mempunyai dampak yang besar pada
penurunan produksi gabah dan penurunan pendapatan pertanian.
Kebijakan peningkatan harga gabah berdampak pada peningkatan produksi gabah,
penggunaan pupuk, pendapatan sektor pertanian, PDRB Pertanian, pendapatan per kapita,
konsumsi beras, energi dan protein, serta menurunkan angka gizi buruk, angka kematian
bayi dan menurunkan umur harapan hidup. Dampak paling besar dari peningkatan harga
gabah adalah peningkatan produksi gabah yang didahului oleh peningkatan penggunaan
pupuk.
Kebijakan kombinasi peningkatan harga gabah dan harga pupuk dengan proporsi
yang sama memberi dampak pada penurunan penggunaan pupuk sehingga menurunkan
produksi gabah dan PDRB Pertanian. Hal ini berdampak pada penurunan pendapatan
215
sektor pertanian dan pendapatan per kapita, menurunkan konsumsi beras, energi dan
protein serta meningkatkan angka gizi buruk, angka kematian bayi dan menurunkan
umur harapan hidup. Dampak negatif dari peningkatan harga pupuk lebih dominan
dibanding dampak positif dari peningkatan harga gabah.
Kebijakan kombinasi peningkatan pengeluaran sektor pertanian dan peningkatan
harga gabah memberi respon yang lebih besar dibanding apabila kebijakan dilakukan
secara tunggal. Karena dampak peningkatan produksi gabah dari peningkatan pengeluaran
sektor pertanian berpengaruh pada penurunan harga, apabila dibarengi oleh kebijakan
peningkatan harga gabah akan menghilangkan trade off negatif tersebut.
Dengan mengurangi jumlah penduduk miskin dan meningkatkan kondisi kinerja
ketahanan pangan maka akan berpengaruh pada kinerja fiskal yang selanjutnya akan
mempengaruhi kinerja perekonomian selanjutnya berpengaruh pada kinerja ketahanan
pangan dan penurunan kemiskinan. Dampak simulasi mempunyai pengaruh yang lebih
besar pada saat kebijakan dilakukan pada periode desentralisasi fiskal dibanding simulasi
dilakukan pada periode sebelum desentralisasi fiskal.


VIII. KESIMPULAN DAN SARAN


8.1. Kesimpulan
Dari ringkasan hasil penelitian tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap
kemiskinan dan ketahanan pangan di Provinsi J awa Barat, maka dapat disimpulkan sbb:
1. Desentralisasi fiskal di Provinsi J awa Barat berpengaruh pada peningkatan
pembiayaan rutin yang cukup besar dan belum bisa diimbangi oleh peningkatan
pendapatan asli daerah (PAD) yang proporsional sehingga menimbulkan
ketergantungan fiskal pada pemeintah pusat dan menurunkan secara relatif anggaran
pembangunan daerah.
2. Pada masa desentralisasi fiskal di J awa Barat terjadi penurunan kinerja ketahanan
pangan, walaupun secara makro regional produksi gabah terus meningkat,
ketersediaan beras untuk konsumsi daerah surplus namun terjadi penurunan dari sisi
konsumsi berupa rata-rata konsumsi beras, energi dan protein serta terjadi
peningkatan jumlah penduduk sangat rawan pangan dan angka penderita gizi buruk
yang disebabkan oleh penurunan akses pangan terutama pada golongan pendapatan
rendah.
3. Kebijakan fiskal daerah dari sisi penerimaan yaitu dengan meningkatkan sumber-
sumber penerimaan berupa pajak daerah dan retribusi daerah kurang memberi
pengaruh langsung terhadap kinerja ketahanan pangan dan kemiskinan.
4. Peningkatan pengeluaran sektor pertanian berdampak pada peningkatan PDRB
sektor pertanian selanjutnya meningkatkan kinerja ketahanan pangan dan
menurunkan kemiskinan serta meningkatkan kinerja fiskal daerah.
217
5. Peningkatan pengeluaran dana kesehatan dan pendidikan berpengaruh
meningkatkan kinerja ketahanan pangan dari sisi konsumsi dan pemanfaatan pangan
yaitu meningkatkan konsumsi energi dan protein serta menurunkan angka gizi buruk,
angka kematian bayi dan meningkatkan umur harapan hidup.
6. Realokasi pengeluaran rutin ke pengeluaran pembangunan berdampak pada
peningkatan kinerja perekonomian, kinerja ketahanan pangan dan penurunan
kemiskinan serta meningkatkan kinerja fiskal daerah.
7. Kebijakan subsidi input maupun output pada sektor pangan berupa subsidi pupuk
maupun kebijakan harga gabah berupa harga pembelian pemerintah (HPP),
berpengaruh pada peningkatan produksi gabah, peningkatan pendapatan petani,
kinerja perekonomian khususnya sektor pertanian, menurunkan kemiskinan dan
meningkatkan kinerja fiskal daerah.
8. Peningkatan harga gabah dan pupuk secara proporsional berpengaruh pada penurunan
produksi gabah, penggunaan pupuk, pendapatan sektor pertanian, menurunkan
kinerja ketahanan pangan dan meningkatkan kemiskinan serta menurunkan kinerja
fiskal.
9. Kebijakan yang pengaruhnya besar terhadap peningkatan kinerja perekonomian,
peningkatan ketahanan pangan dan penurunan kemiskinan adalah kombinasi
kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian dan peningkatan harga gabah
serta kombinasi peningkatan pengeluaran sektor pertanian dan pengeluaran
pendidikan dan kesehatan.
10. Kebijakan yang paling besar pengaruhnya terhadap peningkatan kinerja
perekonomian, peningkatan ketahanan pangan dan penurunan kemiskinan adalah
218
kombinasi antara kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian, peningkatan
dana kesehatanan dan pendidikan serta peningkatan harga gabah.

8.2. Implikasi Kebijakan
Dari simulasi dan dampak yang ditimbulkan serta dari hasil pembahasan dapat
dihasilkan beberapa implikasi kebijakan dalam pembangunan daerah yang mempunyai
komitmen membangun ketahanan pangan berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan
petani, implikasi kebijakan yang disarankan adalah sebagai berikut :
1. Dalam rangka meningkatkan kinerja perekonomian daerah dan untuk mengatasi
kesenjangan fiskal pada masa desentralisasi fiskal, diharapkan pemerintah daerah
bekerja keras menggali potensi penerimaan dengan melakukan upaya fiskal yang
bisa meningkatkan penerimaan daerah sebagai sumber dana pembangunan tanpa
harus menimbulkan dampak negatif pada perekonomian. Upaya itu bisa dilakukan
dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi dalam penarikan potensi pajak
dan retribusi daerah, memberi stimulus terhadap berkembangnya sektor swasta
dengan memberi pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan iklim usaha
yang kondusif, memfasilitasi berkembangnya sumber-sumber pendanaan mandiri
bagi masyarakat, mengoptimalkan pemanfaatan dana tugas bantuan dan
dekonsentrasi dari pemerintah pusat. Sementara pemerintah pusat diharapkan
menutupi melalui pengalokasian dana alokasi dengan formula yang berkeadilan
dan mendidik supaya tidak menimbulkan kemalasan fiskal dan ketergantungan
bagi pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Dengan memberi insentif
terhadap pemerintah daerah yang berhasil menurunkan kemiskinan dan
219
meningkatkan ketahanan pangan, dan melakukan disinsentif terhadap daerah yang
tidak berhasil menurunkan kemiskinan maupun meningkatkan ketahanan pangan
melalui formula transfer DAU.
2. Terjadi perlambatan laju penurunan jumlah penduduk miskin, peningkatan jumlah
penduduk sangat rawan pangan, penurunan ketahanan pangan dari sisi konsumsi
(beras, energi dan protein) serta meningkatnya angka penderita gizi buruk pada
masa desentralisasi fiskal mengisyaratkan adanya kebijakan yang kurang berpihak
pada masyarakat golongan bawah sehingga menurunkan daya belinya dan
membuat mereka tidak bisa akses terhadap pangan secara sehat. Untuk itu
sebaiknya kebijakan yang dilakukan pada masa desentralisasi fiskal memberi
kesempatan bagi golongan pendapatan rendah untuk bisa akses dalam
pembangunan dengan program padat karya di sektor pertanian pangan.
3. Peningkatan pengeluaran sektor pertanian berdampak meningkatkan kinerja
perekonomian melalui peningkatan PDRB Pertanian dan penyerapan tenaga kerja
sehingga meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan. Untuk itu
dalam keterbatasan dana anggaran pembangunan, pemerintah daerah harus masih
punya keberpihakan pada sektor pertanian karena sektor ini masih merupakan
tempat bergantungnya hidup sebagian besar penduduk.
4. Peningkatan harga pupuk mempunyai dampak negatif yang lebih besar dibanding
dampak positif dari peningkatan harga gabah, untuk itu pemerintah pusat dalam
menetapkan kebijakan harga gabah besaran nilai kenaikan harga gabah harus
mengakomodasi besaran nilai kenaikan harga pupuk agar kebijakan harga yang
dilakukan mencapai sasaran dan efektif meningkatkan kesejahteraan petani.
220
5. Peningkatan harga pupuk mempunyai pengaruh negatif yang besar terhadap
produksi gabah, pendapatan sektor pertanian dan kemiskinan. Untuk itu pemerintah
perlu menjaga kestabilan harga dan ketersediaan pupuk melalui pengawasan
produksi dan distribusinya, sehingga pada waktu diperlukan pupuk tidak
menghilang di pasaran. Bila perlu pemerintah daerah bersama masyarakat ikut
mengawasi peredaran pupuk supaya pupuk bersubsidi sampai pada sasaran/ petani
pangan secara efektif dan efisien.
6. Peningkatan harga gabah berdampak pada peningkatan produksi dan pendapatan
petani serta meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan. Dalam
konteks desentralisasi fiskal, pemerintah daerah bisa mengefektifkan berlakunya
kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) yang dilakukan pemerintah pusat
yang sering tidak berlaku efektif dengan melakukan pembelian dan pengelolaan
stok (cadangan) beras di daerah bekerjasama dengan bulog dan masyarakat dengan
membangun fasilitas penjemuran gabah, gudang penyimpanan, pengembangan resi
gudang. Sehingga pada saat panen raya harga di petani tidak jatuh dan HPP yang
ditetapkan pemerintah pusat bisa berlaku efektif bagi petani.
7. Untuk meningkatkan produksi gabah dan pendapatan petani serta mengurangi
jumlah penduduk miskin, dan meningkatkan ketahanan pangan sebaiknya
pemerintah melakukan kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian yang
dikombinasikan dengan peningkatan harga gabah dengan mengakomodasi adanya
besaran tambahan biaya akibat peningkatan harga pupuk serta dibarengi oleh
peningkatan pengeluaran dana kesehatan dan pendidikan.
221
8. Meningkatnya angka gizi buruk pada era desentralisasi fiskal bisa ditanggulangi
dengan peningkatan dana kesehatan dan pendidikan. Dana tersebut bisa digunakan
untuk melakukan revitalisasi peran puskesmas dan posyandu dalam melakukan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, menggalakan program-program yang
mengarah pada penduduk miskin bisa akses pangan secara sehat dan seimbang
kandungan gizinya terutama bagi kelompok rawan pangan yaitu balita, ibu hamil
dan menyusui dengan memberi makanan tambahan. Mengupayakan pendidikan
gratis bagi golongan penduduk miskin dan menggalakan pelatihan ketrampilan bagi
penduduk miskin di perdesaan agar tercipta kemandirian.
9. Kurang responsifnya kebijakan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin dan
peningkatan outcome kinerja ketahanan pangan, disebabkan panjangnya mata
rantai kebijakan melalui mekanisme transmisi. Untuk meningkatkan respons dari
kebijakan maka sebaiknya sasaran lebih terfokus, sehingga perlu kebijakan yang
bersifat langsung dan produktif yang ditujukan pada masyarakat miskin dan rawan
pangan khususnya pada buruh tani dan petani gurem dengan melakukan program
pendampingan pada bidang usaha pangan.
10. Penyaluran subsidi input maupun output yang langsung bisa dirasakan oleh petani
pangan masih diperlukan, begitu pula pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis
bagi masyarakat miskin juga masih perlu dilakukan dan ditingkatkan. Selain itu
juga perlu dikembangkan kerjasama antara pemerintah dan swasta, dalam upaya
penciptaan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, kompetitif dan
efisien.
222
11. Walaupun tidak terformulasi dalam model, dalam rangka meningkatkan ketahanan
pangan berkelanjutan maka perlu dilakukan perbaikan- perbaikan : pengelolaan tata
ruang wilayah, pengoptimalan penggunaan lahan, perbaikan pola tanam, perbaikan
saluran irigasi, pemeliharaan dan pengoptimalan pemanfaatan waduk sebagai
sumber penyimpan air, pemanfaatan lahan tidur yang selama ini belum tergarap
serta mencegah adanya alih fungsi lahan produktif dan sawah dengan menerbitkan
perda maupun undang-undang.
12. Untuk meningkatkan produksi beras pemerintah daerah perlu mendukung kebijakan
Pemantapan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) yang dilakukan
pemerintah pusat dengan melakukan pengembangan rice centre pada daerah-daerah
sentra produksi beras, pengembangan kawasan estate padi sebagai lembaga bisnis
petani, pengembangan data base padi dan komoditi pangan lain dengan sistem on
line, penataan sebaran komoditi ketahanan pangan di daerah / kabupaten
berdasarkan potensi agroklimat.
13. Pemerintah perlu menumbuh kembangkan kelembagaan usaha ekonomi perdesaan
yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi perdesaan dan terciptanya
kemandirian ekonomi di perdesaan, menjaga harga gabah/ beras yang diterima
petani dalam tingkat yang wajar dan petani bisa mempunyai bargaining dengan
melakukan tunda jual pada saat harga gabah/ beras tidak menguntungkan, dan
menumbuhkan wirausaha baru di bidang perberasan.



223
8.3. Saran Penelitian Lanjutan
Berdasarkan hasil dan implikasi kebijakan ada beberapa hal yang perlu
disarankan untuk penelitian lanjutan, yaitu :
1. Komoditi yang dikaji dalam model ketahanan pangan sebaiknya tidak hanya beras,
tetapi juga perlu dikembangkan dengan komoditi-komoditi pangan penting lainnya.
Selain itu juga perlu dikembangkan penelitian tentang ketahanan pangan di wilayah
lain dengan komoditi pangan unggulan masing-masing daerah, sehingga bisa
memperlancar proses terjadinya diversifikasi pangan daerah di luar pangan beras,
serta bisa menggali potensi-potensi pangan harapan.
2. Karena keterbatasan data, dalam model ini tidak mengakomodasi data tentang
infrastruktur perdesaan, irigasi, konversi lahan pertanian, input bibit dan obat-obatan,
kredit sektor pertanian. Padahal peubah-peubah tersebut punya pengaruh, sebaiknya
penelitian lanjutan dimasukkan dalam model penelitian.
3. Karena keterbatasan data, dalam model ini tidak mengakomodasi sumber-sumber
penerimaan fiskal daerah dari dana dekonsentrasi maupun sumber-sumber
permodalan lain berupa dana pinjaman daerah, dana kerjasama dengan pihak ketiga
yang merupakan hasil upaya fiskal daerah. Padahal sumber penerimaan tersebut
berpengaruhnya terhadap ketahanan pangan dan kemiskinan, pada penelitian lanjutan
disarankan untuk mengakomodasi sumber-sumber penerimaan tersebut sebagai hasil
dari upaya fiskal daerah kedalam model.
4. PDRB sektor pertanian dalam penelitian ini tidak diagregasi berdasarkan
subsektornya, sebaiknya perilakunya dipisah berdasarkan subsektor yaitu subsektor
224
bahan makanan, peternakan, perkebunan, perikanan, dan kehutanan sehingga perilaku
masing-masing subsektor bisa diketahui dan kebijakan yang disarankan lebih fokus.
5. Karena keterbatasan data, pengeluaran dana pembangunan dalam model kurang bisa
dipisahkan secara rinci berdasarkan pengeluaran sektoral maupun subsektoralnya
dalam persamaan perilaku. Penelitian lanjutan perlu dilakukan pemisahan lebih rinci
dalam persamaan perilaku agar bisa diketahui perilakunya masing-masing dan
memperluas pilihan skema kebijakan dengan intrumen fiskal dari sisi pengeluaran.
6. Indikator kemiskinan dalam model penelitian ini diproksi dengan jumlah penduduk
yang berada dibawah garis kemiskinan berdasarkan kriteria BPS, sebaiknya perlu
dikembangkan indikator kemiskinan lain yang lebih luas seperti : kedalaman
kemiskinan, indek kemiskinan dan lain-lain.
7. Indikator kinerja ketahanan pangan dalam model sebaiknya bisa dikembangkan lagi
yang lebih luas baik pada subsistem produksi, distribusi, konsumsi pangan, serta
pada indikator outcome ketahanan pangan, seperti ketersediaan energi, protein,
jumlah penduduk sangat rawan pangan, balita dengan berat badan di bawah standar,
jumlah wanita buta huruf, IPM dan lainnya.







DAFTAR PUSTAKA


Asra, A. 2000. Poverty and Inequality in Indonesia : Estimates, Decomposition and Key
Issues. J ournal of the Asia Fasific Economy, 5(2) : 91 111.

Ariani, M., H.P. Saliem, G.S. Hardono dan T.B. Purwatini.. 2007. Wilayah Rawan
Pangan dan Gizi Kronis di Papua, Kalimantan Barat dan J awa Timur.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen
Pertanian, Bogor.

Adelman, I. and S. Robinson. 1978. Income Distribition Policy in Developing Countries
A Case Study of Korea. Oxford University Press, Oxford.

Alla, A. B. 1981. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Liberty, J ogjakarta.


Arisandi, T. 2000. Peranan DAU dalam Menciptakan Pemerataan dan Keadilan Antar
Daerah. Pemeriksa, 84 : 6 -7.

Badan Bimas Ketahanan Pangan. 2000 2004. Neraca Bahan Makanan Indonesia (1999
2004). Badan Bimas dan Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian,
J akarta.

Badan Ketahanan Pangan.2005a. Kebijakan Umum Pemantapan Ketahanan Pangan
Nasional. Badan Ketahanan Pangan.Departemen Pertanian, J akarta.

______________________.2005b. A Food Insecurity Atlas of Indonesia. Badan
Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian, J akarta.

_____________________.2006. Pedoman Umum Program Aksi Desa Mandiri Pangan.
Badan Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian, J akarta.

Badan Pusat Statistik. 1996. Survey Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statistik,
J akarta.

__________________. 1999. Survey Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statistik,
J akarta.

__________________. 2002. Survey Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statistik,
J akarta.

Badan Pusat Statistik J awa Barat. 2004/ 2005. J awa Barat dalam Angka. Badan Pusat
Statistik Provinsi J awa Barat, Bandung.

226
Baliwati, Y.F. 2001. Model Evaluasi Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Desa
Sukajadi Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor. Disertasi Doktor. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Berg, A. 1981. Malnoutrished People a Policy View, Poverty, and Basic Need. Series
World Bank, Washington.

Bigsten, A.1992. Kemiskinan, Ketimpangan dan Pembangunan. Dalam : Gemmell (Eds).
Ilmu Ekonomi Pembangunan Beberapa Survai. Lembaga Penerbit
Universitas Indonesia, J akarta.

Boediono. 1990. Elastisitas Permintaan untuk Berbagai Barang di Indonesia : Penerapan
Metode Frisch, Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 26(3): 345 -363.

Braun, V. J . and U. Grote. 2002. Does Decentralization Serve the Poor?. In : Ahmad and
Tanzi (Eds). Managing Fiscal Decentralization. Routledge Studies in the
Modern World Economy, London and New York.

Brodjonegoro, B. 2001. Fiscal Decentralization in Indonesia. The Institute of Economics
and Social Research and The Graduate Program of Economics, University
of Indonesia, J akarta.

______________,A.Hendranata dan R.M.Quina. 2001. Model Ekonometrika
Desentralisasi : Analisa Dampak Alokasi SDA dan DAU terhadap
Pemerataan dan Pertumbuhan Ekonomi Antar Daerah. Lembaga
Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat. Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, J akarta.

Capuno, J .J . 2001. Estimating the Income Elasticity of Local Government Revenue and
Expenditure in the Philippines under Decentralization. Paper presented at
The 3nd IRSA International Conference: Indonesia s Sustainable
Development in Decentralization Era. 20 21 Maret 2001, J akarta.

Chenery, H.B., M.S.Ahluwalia, C.L.G.Bell, J .H. Duloy and R. J olly. 1974. Reditribution
with Growth. Oxford University Press, London.

Departemen Dalam Negeri. 2002a. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Tentang
Pemerintahan Daerah. Penerbit Sinar Grafika, J akarta.

______________________. 2002b. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999. Tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Penerbit
Sinar Grafika, J akarta.

227
Departemen Keuangan. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2004. Departemen Keuangan Republik
Indonesia, J akarta.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 2007. Database Tanaman Pangan di Provinsi J awa
Barat. Pemerintah Provinsi J awa Barat, Bandung.

Donalson, L.1984. Economic Development Analysis and Policy. West Publishing
Company, New York.

Dornbusch, R. and S. Fischer. 1989. Makroekonomi. Erlangga, J akarta.

Dorosh, P.A. 2008. Food Price Stabilisation and Food Security : International
Experience. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 44(1): 93 114.

Ebel, R.D. and S. Yilmaz. 2002. On the Measurement and Impact of Fiscal
Decentralization. www.worldbank org/ decentralization.

Ellis, F. 1992. Agricultural Policies in Developing Countries. Cambridge University
Press, New York.

Fane, G. and P. Warr. 2008. Agricultural Protection in Indonesia. Bulletin of Indonesian
Economic Studies, 44(1) : 133 150.

FAO. 1997. Implication of Economic Policy for Food Security. Training Materials for
Agricultural Planing 30, Rome.

Gemmel, N. 1992. Ilmu Ekonomi Pembangunan. Lembaga Penerbit Universitas
Indonesia, J akarta.

Hartono, J . 1999. Teori Ekonomi Mikro Analisis Matematis. Penerbit Andi J ogjakarta,
J ogjakarta.

Hartoyo, S. 1994. Pengaruh Infrastruktur terhadap Penawaran Tanaman Pangan di J awa :
Pendekatan Multi-Input Multi-Output. Disertasi Doktor. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hasibuan, N. 2000. Kemiskinan Struktural di Indonesia : Menembus Lapisan Bawah.
http// www.geogle.com

Henderson, J . M. and R.E. Quandt, 1980. Microeconomic Theory A Mathematical
Approach. McGraw-Hill International Book Company, London.

Herliana, L. 2004. Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian Indonesia : Analisis
Dekomposisi SNSE. Thesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.


228
Ikhsan, M. 2001. Reformasi Kebijakan Ekonomi Beras Nasional. Tim Pengkajian
Kebijakan Perberasan Nasional, Departemen Pertanian, J akarta.

ILO.1976. Employment, Growth, and Basic Needs. ILO, Geneva.

Ilham, N. 2006. Efektivitas Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan dan
Dampaknya pada Stabilitas Ekonomi Makro. Disertasi Doktor. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

International Food Policy Research Institute (IFPRI). 1999. Technical Guides for
Operationality Household Food Security in Development Projects.
International Food Policy Research Institute, Washington D.C.

Irawan.B., B. Winarso dan I. Sadikin. 2003. Analisis Faktor Penyebab Perlambatan
Produksi Komoditas Pangan Utama. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Ismail, M. 2001. Pendapatan Asli Daerah dalam Otonomi Daerah.Tema,2(1): 63 -75,
J akarta.

J ayawinata, A. 2005. Dampak Kebijakan Makroekonomi terhadap Ketahanan Pangan
Nasional. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

J hingan, M.L. 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Raja Grafindo Persada,
J akarta.

Kerk, L. P. and W. Garry. 1997. Does Fiscal Decentralization Lead to Economic
Growth? Brigham Young University Provo. www.worldbank.org/
decentralization.

Kirwan, B.E. and M. McMillan. 2007. Food Aid and Poverty. American J ournal of
Agricultural Economics, 89(5): 1152 -1168.

Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics : An Introductory Exposition of
Econometric Methods. McMillan Press Ltd, London.

Lin, J . Y. and Z. Liu. 2000. Fiscal Decentralization and Economic Growth in China.
Economics Development and Cultural Change, 49 (1) : 1 22.

Mahi, R. 2000. Implikasi Fiskal Kebijakan Desentralisasi. Lembaga Penyelidikan
Ekonomi dan Masyarakat. Universitas Indonesia, J akarta.

Makmun. 2003. Gambaran Kemiskinan dan Action Plan Penangannya. Kajian Ekonomi
dan Keuangan, 7(2): 1 36.


229
Maksum, M. 2005. J angan Lagi J adi Tumbal Pembangunan. Kompas. 16 J uli 2005,
J akarta.

Mangkoesoebroto, G. 2000. Ekonomi Publik. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi,
J ogjakarta.

Mawardi, S. dan S. Sumarto. 2003. Kebijakan Publik yang Memihak Orang Miskin :
Makalah disampaikan pada Pelatihan Fasilitator-Kabupaten dan Koordinator
Regional Prakarsa Pembaruan Tata Pemerintahan Daerah (F-KAB dan KR
P2TPD), 24 Oktober, J ogjakarta.

Maxwell, S. and T.R. Frankenberger. 1992. Household Food Security: Concepts,
Indicators, Measurements : A Technical Review. UNICEF dan IFAD,
NewYork.

McCulloch, N. and C.P. Timmer. 2008. Rice Policy in Indonesia : A Spesial Issue.
Bulletin of Indonesian Economic Studies, 44(1): 33 44.

McCulloch, N. 2008. Rice Price and Poverty in Indonesia. Bulletin of Indonesian
Economic Studies, 44(1): 45 63.

Mears, L. A., A. Rachman and Sakrani, 1981. Income Elasticity of Demand for Rice in
Indonesia. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 39(1) 81 90.

Mier, G.M. 1995. Leading Issues in Economic Development. Sixth Edition. Oxford
University Press Inc, New York.

Mubyarto. 2001. Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis
Ekonomi. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi, J ogjakarta.

Muharminto.1993. Identifikasi Wilayah Miskin dan Alternatif Upaya
Penanggulangannya di Provinsi J awa Timur. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, J akarta.

Mulyana, A. 1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek
Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas : Suatu Analisis Simulasi.
Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Mulyadi, S. 2003. Ekonomi Sumberdaya Manusia dalam Perspektif Pembangunan. Raja
Grafindo Persada, J akarta.

Musgrave, R.A. and B.M.Peggy. 1989. Public Finance in Theory and Practice. McGraw-
Hill Book Company, New York.


230
Nanga, M. 2006. Dampak Transfer Fiskal terhadap Kemiskinan di Indonesia : Suatu Analisis
Simulasi Kebijakan. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

Norton, R.D. 2004. Agricultural Development Policy : Concepts and Experiences. J hon
Wiley and Sons Ltd, England.

Pakasi,C.B.D. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Kabupaten
dan Kota di Provinsi Sulawesi Utara. Disertasi Doktor. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pardede, R. 2004. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pembangunan Ekonomi
Kabupaten Tapanuli Utara dan Kota Medan : Aplikasi Model Input-
Output.Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Pemerintah Provinsi J awa Barat. 2002. Rencana Strategis Pemerintah Provinsi J awa
Barat 2003 2008. Pemerintah Provinsi J awa Barat, Bandung.

___________________________. 2007. Berita Daerah Provinsi J awa Barat Nomor 37
Seri E. Rencana Kerja Pemerintah Daerah Provinsi J awa Barat Tahun
2008. Pemerintah Provinsi J awa Barat, Bandung.

Pogue, T. F. and L.G. Sqontz. 1976. Government and Economic Choice. An Introduction
to Public Finance. Hiughton MillCompany, USA.

Pindyck, R.S. and D.L. Rubienfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forecast.
Mcgraw-Hill International Edition, Singapore.

Rao, M.G. 2000. Poverty Alleviation under Decentralization. www.worldbank org/
decentralization.

Reksohadiprodjo, S. 2001. Ekonomi Publik. Balai Penerbit Fakultas Ekonomi,
J ogjakarta.

Richardson, H.W. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Ekonomi Regional. Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia, J akarta.

Ritonga, A.A. 2002. Kebijakan Pengelolaan Anggaran. Tinjauan dalam Aspek
Pengeluaran Anggaran Negara Tahun 2003. Seminar Ikatan Sarjana
Ekonomi Indonesia. 29 Agustus 2002, J akarta.

Reutlinger, S. 1987. Food Security and Poverty in Developing Countries. In : Gitinger et
al. (Eds). Food Policy Published for the World Bank. The J ohns Hopkins
University Press, Baltimore and London.


231
Roy, B. 1999. Worldwide Trends in Fiscal Decentralization . www.worldbank org/
decentralization.

Saliem, H.P., M. Ariani, Y. Marisa dan T. Bastuti. 2002. Analisis Kerawanan Pangan
Wilayah dalam Perspektif Desentralisasi Pembangunan. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

_________., A. Purwoto, G.S.Hardono, T.B. Purwantini, Y. Supriyatna, Y. Marisa dan
Waluyo. 2004. Manajemen Ketahanan Pangan Era Otonomi Daerah dan
Perum Bulog. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor.

_________., E.M.Lokollo, M. Ariani, T.B. Purwanti dan Y. Marisa. 2005. Analisis
Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga dan Regional. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Balai Penelitian dan
Pengembangan Departemen Pertanian, Bogor.

Sawit, M,H. 1994. Analisa Permintaan Pangan : Bukti Empiris Teori Rumah Tangga
Pertanian. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 42(1): 99 120.

Sayogyo. 1996. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Yayasan Agro
Ekonomika, J ogjakarta.

Selowky, M. 1981. Income Distribution, Basic Needs and Trade-offs withy Growth : The
Case of Semi Industrialized Latin American Countries. World Bank, (9) :
73 92.

Sen , A. K. 1981. Poverty and Famines. An Essay on Entlitements and Deprivation. Basil
Blacwell, Oxford.

_________. 2002. Demokrasi Bisa Memberantas Kemiskinan. Mizan Pustaka, Bandung.

Simanjuntak, R. A. 2001.Kajian Kemampuan Daerah untuk Melakukan Pinjaman di Era
Otonomi Daerah. Makalah Seminar Nasional : Evaluasi Persiapan
Pelaksanaan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah. 6 Februari, J akarta.

_______________. 2002. Transfer Pusat ke Daerah : Konsep dan Praktik di Beberapa
Negara. Dalam Dana Alokasi Umum : Konsep, Hambatan dan Prospek di
Era Otonomi Daerah. Penerbit Kompas, J akarta.

Simatupang. P. 1999. Towards Sustainable Food Security : The Needs for a New
Paradigm. International Seminar Agricultural Sector During Turbelence of
Economic Crisis : Lessons and Future Direction. 17 18 Februari 1999.
Centre for Agro-Socio Economics Research, AARD.


232
_____________ dan S. Darmoredjo. 2003. Produk Domestik Regional Bruto, Harga dan
Kemiskinan : Hipotesis Trickle Down Effect Dikaji Ulang. Ekonomi
dan Keuangan Indonesia, 51(3): 291 324.

______________ and C.P. Timmer. 2008. Indonesian Rice Production : Policies and
Realities. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 44(1) : 65 79.

Sipayung, T. 2000. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi terhadap Sektor Pertanian dalam
Pembangunan Ekonomi Indonesia. Disertasi Doktor. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Siregar, H. 1991. Production Technology in Indonesian Dryland Crop Industry : Multy
Input, Multy-Output Framework. Dissertation Submited in Partial
Fulfilment of the Requirements for the Degree of Master of Economics of
the University of New England. Departement of Agricultural Economics
and Bisnis Management, University of New England, Armidale, NSW.

Sitepu, R.K. dan B.M.Sinaga. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika. : Estimasi, Simulasi
dan Peramalan Menggunakan Program SAS. Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Smoke, P. 2001. Fiscal Decentralization in Developing Countries : A Review of Current
Concepts and Practice. United Nations Research Institute for Social
Development. www.worldbank org/ decentralization.

Soegijoko, S. 1997. Perencanaan Pembangunan di Indonesia. Gramedia Widiasarana
Indonesia, J akarta.

Soehardjo. 1998. Konsep dan Kebijakan Deversifikasi Konsumsi Pangan dalam Rangka
Ketahanan Pangan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. LIPI,
J akarta.

Soetrisno, L. 1999. Pembangunan Pertanian Sebuah Tinjauan Sosiologis. Penerbit
Kanisius, J ogjakarta.

Sondakh, L.W. 1999. Mencari Flatform Otonomi Daerah dalam Krisis Ekonomi.
Makalah dalam Seminar Nasional Otonomi Daerah dan Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah dalam Rangka Pemberdayaan Potensi,
J akarta.

Stiglitz. J .E. 2000. Economics of the Public Sector. W.W. Norton and Company, New
York.


233
Sudaryanto, T. dan R. Sayuti. 1990. Analisa Permintaan Bahan Pangan dengan
Pendekatan Persamaan Sistem. Ekonomi dan Keuangan Indonesia,38(2) :
141 -159.

Sumodiningrat, G.1999. Pemberdayaan Masyarakat dan J aring Pengaman Sosial.
Gramedia Pustaka Utama, J akarta.

Supriatna,T. 1997. Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Humaniora
Utama Press, Bandung.

Suryana, A. 2001. Tantangan dan Kebijakan Ketahanan Pangan. Makalah disampaikan
pada Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat untuk Mencapai
Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi. Departemen Pertanian,
J akarta.

Swasono, F. 2007. Fiscal Decentralization and Economic Growth : Evidence from
Indonesia. Economics and Finance in Indonesia, 5(2): 109 133.

Syahrial, S. 2005. Fiscal Decentralization and Government Size : The Case of Indonesia.
Economics and Finance in Indonesia, 53(2): 117 193.

Tabor, S.R., K. Altemeier and B. Adinugroho. 1989. Foodcrop Demand in Indonesia : A
Systems Approach. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 25(2) : 31
52.

Tim Kordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi J awa Barat. 2006. Kebijakan
Pemerintah Provinsi J awa Barat dalam rangka Kegiatan Penanggulangan
Kemiskinan. Pemerintah Provinsi J awa Barat, Bandung.

Timmer, C.P. 2005. Food Security and Economic Growth : An Asian Perspective. Asian-
Pacific Economic Literature, 19(1): 1 17.

Teklu, T. and S.R. J hohnson. 1988. Demand System for Cross Section Data: Application
to Indonesia. Canadian J ournal of Agricultural Economics 36(1) : 83
101.

Todaro, M.P. 2000. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Edisi Ketujuh. Erlangga,
J akarta.

Ulla, M. 2003. Implikasi Otonomi Daerah terhadap Politik, Hukum dan
Ekonomi.http//www.otoda.co.id/artikel/implikasi otonomi htm (10 J uni
2003).

Vazques, J .M. and R.M. McNab. 2001. Fiscal Decentralization and Economic Growth.
International Studies Program. Working Paper. http:// isp-aysp.gsu.edu.
www.worldbank org/ decentralization.

234

Wahlgenant, M.K. 1984. Conceptual and Functional Form Issues in Estimating Demand
Elasticities for Food. American J ournal of Agricultural Economics, 66(2):
211 215.

Wardhono, A. 2001. Pelaksanaan Otonomi Daerah: Antara Harapan dan Kekhawatiran.
Radar J ember- J awa Pos. 18 April 2001

Wasylenko, M. 1987. Fiscal Decentralization and Economics Development. Public
Budgeting and Finance, 7(2) : 57 71.

Woller, G. M. and P. Kerk. 1998. Fiscal Decentralization and LDC Economic Growth :
An Empirical Investagation. J ournal of Development Studies, 34 (4): 139
148.

Wiranto, T. 2003. Profil Kemiskinan di Perdesaan. Newsletter. Urban and Regional
Development Institute, J akarta.

Yudhoyono, S.B. dan Harniati.2004. Pengurangan Kemiskinan di Indonesia : Mengapa
Tidak Cukup dengan Memacu Pertumbuhan Ekonomi. Cetakan Pertama.
Brighten Press, Bogor.

Yudhoyono,S.B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Sebagai Upaya Mengatasi
Kemiskinan dan Pengangguran : Analisis Ekonomi Politik Kebijakan
Fiskal. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Zhang, T. and H. Zhao, 1997. Fiscal Decentralization : The Composition of Public
Spending and Regional Growth in India. Development Research Group
Working Paper. World Bank, Washington. D.C.

Zhang, T. and H. Zhao. 1998. Fiscal Decentralization : Public Spending and Economic
Growth in China. J ounal of Public Economics, 67(2): 221 240.













236
Lampiran 1. Identifikasi Persamaan Struktural Model Penelitian
Persamaan Struktural K G M Status Identifikasi
Pajak Daerah 74 28 6 Over Identified
Dana Alokasi 74 28 7 Over Identified
Pengeluaran Rutin 74 28 6 Over Identified
Pengeluaran Sektor Pertanian 74 28 6 Over Identified
PDRB Sector Pertanian 74 28 6 Over Identified
PDRB Non Pertanian 74 28 6 Over Identified
Produksi Gabah 74 28 7 Over Identified
Pendapatan Pertanian per Kapita 74 28 5 Over Identified
Tenaga Kerja Pertanian 74 28 6 Over Identified
Penggunaan Pupuk 74 28 5 Over Identified
Harga Gabah 74 28 6 Over Identified
Harga Beras 74 28 5 Over Identified
Konsumsi Beras 74 28 6 Over Identified
Konsumsi Energi 74 28 5 Over Identified
Konsumsi Protein 74 28 6 Over Identified
J umlah Penduduk Miskin 74 28 6 Over Identified
Angka Gizi Buruk 74 28 7 Over Identified
Angka Kematian Bayi 74 28 7 Over Identified
Umur Harapan Hidup 74 28 6 Over Identified














237
Lampiran 2. Perhitungan MSE dan U Theil untuk Validasi Model
Variable N MSE Corr Bias Reg Dist Var Covar U1 U
(R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC)

REVDAE 143 3,975,276,021.00000 0.95300 0.20900 0.00100 0.79000 0.01000 0.78000 0.18600 0.09020
PAD 143 439,025,877.00000 0.78600 0.00000 0.20300 0.67500 0.54000 0.33800 0.55480 0.35030
PJ KDAE 143 57,149,328.00000 0.70600 0.00000 0.00400 0.99600 0.22500 0.77500 0.58320 0.32820
DALOK 143 4,729,229,015.00000 0.86500 0.00000 0.00000 1.00000 0.07200 0.92800 0.30500 0.15620
PRUTIN 143 4,183,112,683.00000 0.90600 0.00000 0.00000 1.00000 0.04900 0.95100 0.27010 0.13760
PPEMB 143 402,342,518.00000 0.98900 0.60400 0.20200 0.19400 0.17300 0.22200 0.23740 0.10780
PSEKLN 143 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000
PSEKP 143 3,816,689.00000 0.67500 0.00000 0.00000 1.00000 0.19400 0.80600 0.50550 0.27130
GDAE 143 4,354,334,394.00000 0.94000 0.05000 0.01500 0.93500 0.00200 0.94800 0.21390 0.10520
KESFIS 143 4,106,000,904.00000 0.53700 0.00000 0.54600 0.40500 0.15100 0.80000 1.04640 0.42450
PDRBP 143 35,897.00000 0.61100 0.00000 0.00000 1.00000 0.23000 0.77000 0.32100 0.16470
PDRBNP 143 453,331.00000 0.98800 0.00000 0.00000 1.00000 0.00600 0.99400 0.13350 0.06700
PDRB 143 396,133.00000 0.99000 0.00000 0.00100 0.99900 0.00100 0.99900 0.11850 0.05930
PRODGAB 143 32,736,700,000.00000 0.67700 0.00000 0.06000 0.94000 0.03300 0.96700 0.28310 0.14280
INCPPI 143 12,576.00000 0.19900 0.00000 0.08800 0.91200 0.23400 0.76600 0.29930 0.15210
TKP 143 7,949.00000 0.65100 0.00000 0.00000 1.00000 0.21100 0.78900 0.30010 0.15350
QPUK 143 2,447,470,000,000.000 0.79100 0.00000 0.00200 0.99800 0.08600 0.91400 0.27590 0.14030
PGAB 143 141,044.00000 0.75000 0.00000 0.00700 0.99300 0.21200 0.78800 0.27890 0.14260
PRODBRS 143 20,967,900,000.00000 0.67700 0.16700 0.00800 0.82600 0.09700 0.73600 0.30210 0.16320
IKAP 143 11,424,385.00000 0.88300 0.00000 0.53200 0.15000 0.68200 0.00000 0.99900 0.39790
PBRS 143 561,619.00000 0.75300 0.00000 0.01300 0.98700 0.23700 0.76300 0.27840 0.14250
CONBRSI 143 0.26296 0.55000 0.01000 0.00000 0.98900 0.26500 0.72400 0.03910 0.01960
CONSENI 143 7,688.00000 0.46400 0.00700 0.00400 0.98800 0.28700 0.70600 0.04030 0.02020
CONPROT 143 6.41036 0.42000 0.00400 0.04300 0.95300 0.17300 0.82300 0.04420 0.02210
J MLMIS 143 4,964.00000 0.81500 0.00400 0.00000 0.99600 0.10500 0.89100 0.24750 0.12480
AGZBRK 143 45.02158 0.61300 0.00100 0.00300 0.99700 0.19100 0.80900 0.28990 0.14740
AKMTBY 143 57.50377 0.48400 0.00000 0.00700 0.99200 0.25300 0.74700 0.12950 0.06490
UHHDP 143 4.10383 0.42100 0.00000 0.03400 0.96500 0.19500 0.80500 0.03150 0.01570











238
Lampiran 3. Hasil Pendugaan Model Desentralisasi Fiskal terhadap
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Jawa Barat




The SAS Syst em

SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on

Model : PJ KDAE
Dependent var i abl e: PJ KDAE PJ KDAE

Anal ysi s of Var i ance

Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F

Model 5 9133463120. 3 1826692624. 1 31. 458 0. 0001
Er r or 137 7955247593. 9 58067500. 686
C Tot al 142 16244156149

Root MSE 7620. 20345 R- Squar e 0. 6942
Dep Mean 7378. 12120 Adj R- SQ 0. 6175
C. V. 103. 28108

Par amet er Est i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label

I NTERCEP 1 - 551. 819796 2048. 453618 - 0. 269 0. 7880 I nt er cep
PDRB 1 0. 187383 0. 151445 1. 237 0. 2181 PDRB
J MLTMI S 1 13. 205164 2. 187758 6. 036 0. 0001 J MLTMI S
J MLMI S 1 - 48. 345719 7. 927990 - 6. 098 0. 0001 J MLMI S
DMDF 1 6267. 430335 1381. 114040 4. 538 0. 0001 DMDF
LPJ KDAE 1 0. 799019 0. 127290 6. 277 0. 0001 LPJ KDAE


Dur bi n- Wat son 1. 034
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 444

239

The SAS Syst em

SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on

Model : DALOK
Dependent var i abl e: DALOK DALOK

Anal ysi s of Var i ance

Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F

Model 6 2. 0178753E12 672625103958 138. 249 0. 0001
Er r or 136 676279749071 4865321935. 8
C Tot al 142 2. 6941551E12

Root MSE 69751. 85973 R- Squar e 0. 7490
Dep Mean 178898. 19463 Adj R- SQ 0. 7436
C. V. 38. 98969

Par amet er Est i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label

I NTERCEP 1 - 4374. 654926 19002 - 0. 230 0. 8183 I nt er cep
J MLPDK 1 50. 306315 15. 354610 3. 276 0. 0013 J MLPDK
LUDAE 1 11. 243174 8. 683085 1. 295 0. 1975 LUDAE
J MLMI S 1 28. 696834 12. 71459 2. 257 0. 0038 J MLMI S
PAD 1 - 4. 567845 4. 50923 - 1. 013 0. 2564 PAD
DMDF 1 234633 12728 13. 546 0. 0001 DMDF
LDALOK 1 0. 534633 0. 029003 18. 434 0. 0001 LDALOK

Dur bi n- Wat son 1. 589
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 198

240

The SAS Syst em

SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on

Model : PRUTI N
Dependent var i abl e: PRUTI N PRUTI N

Anal ysi s of Var i ance

Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F

Model 5 2. 7441958E12 914731921193 212. 556 0. 0001
Er r or 137 598185113664 4303490026. 4
C Tot al 142 3. 3423809E12

Root MSE 65600. 99105 R- Squar e 0. 8210
Dep Mean 184342. 69216 Adj R- SQ 0. 8172
C. V. 35. 58643

Par amet er Est i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label

I NTERCEP 1 53437 7756. 870771 6. 889 0. 0001 I nt er cep
MJ PGBB 1 0. 015572 0. 007541 2. 065 0. 0408 MJ PGBB
PAD 1 265780 142892. 47 1. 860 0. 4260 PAD
DALOK 1 564328 147152. 02 3. 835 0. 0620 DALOK
DMDF 1 252609 13669 18. 480 0. 0001 DMDF
LPRUTI N 1 0. 897104 0. 095822 9. 362 0. 0001 LPRUTI N


Dur bi n- Wat son 0. 894
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 529

241

The SAS Syst em

SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on

Model : PSEKP
Dependent var i abl e: PSEKP PSEKP

Anal ysi s of Var i ance

Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F

Model 5 456608977. 35 152202992. 45 38. 763 0. 0001
Er r or 137 545786522. 71 3926521. 7461
C Tot al 142 1002395500. 1

Root MSE 1981. 54529 R- Squar e 0. 6555
Dep Mean 2815. 86708 Adj R- SQ 0. 6438
C. V. 70. 37070

Par amet er Est i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label

I NTERCEP 1 369. 026425 554. 177745 0. 666 0. 5066 I nt er cep
AREAL 1 0. 010038 0. 003927 2. 556 0. 0116 AREAL
PAD 1 3. 653424 1. 167974 3. 128 0. 0026 PAD
DALOK 1 0. 003198 0. 0023759 1. 346 0. 1806 DALOK
DMDF 1 2640. 285718 345. 603394 7. 640 0. 0001 DMDF
LPSEKP 1 0. 563788 0. 085453 6. 598 0. 0001 LPSEKP


Dur bi n- Wat son 0. 555
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 705

242

The SAS Syst em

SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on

Model : PDRBP
Dependent var i abl e: PDRBP PDRBP

Anal ysi s of Var i ance

Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F

Model 5 7006562. 4151 1751640. 6038 221. 056 0. 0001
Er r or 137 1093508. 1025 7923. 97176
C Tot al 142 8196584. 6024

Root MSE 89. 01669 R- Squar e 0. 8650
Dep Mean 539. 54928 Adj R- SQ 0. 8611
C. V. 16. 49834

Par amet er Est i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label

I NTERCEP 1 - 90. 156349 28. 991079 - 3. 110 0. 0023 I nt er cep
TKP 1 1. 399257 0. 090505 15. 461 0. 0001 TKP
PSEKP 1 0. 014812 0. 003327 4. 452 0. 0001 PSEKP
I NCPPI 1 0. 569273 0. 102020 5. 580 0. 0001 I NCPPI
AREAL 1 3. 145720 3. 105350 1. 013 0. 3976 AREAL
LPDRBP 1 0. 545846 0. 086319 6. 324 0. 0001 LPDRBP


Dur bi n- Wat son 0. 911
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 542

243


The SAS Syst em

SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on

Model : PDRBNP
Dependent var i abl e: PDRBNP PDRBNP

Anal ysi s of Var i ance

Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F

Model 5 2747507582. 0 915835860. 67 1963. 726 0. 0001
Er r or 137 64826346. 991 466376. 59706
C Tot al 142 2812333929. 0

Root MSE 682. 91771 R- Squar e 0. 9769
Dep Mean 2402. 26010 Adj R- SQ 0. 9765
C. V. 28. 42813

Par amet er Est i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label

I NTERCEP 1 - 1918. 283489 146. 541450 - 13. 090 0. 0001 I nt er cep
TKNP 1 5. 158899 0. 387313 13. 320 0. 0001 TKNP
PSEKLN 1 0. 003415 0. 000924 3. 697 0. 0003 PSEKLN
I NCNP 1 338. 119562 4. 558119 74. 180 0. 0001 I NCNP
PDRBP 1 0. 436852 0. 428286 1. 020 0. 4102 PDRBP
LPDRBNP 1 0. 4754332 0. 090558 5. 25 0. 0001 LPDRBNP

Dur bi n- Wat son 0. 846
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 534

244

The SAS Syst em

SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on

Model : PRODGAB
Dependent var i abl e: PRODGAB PRODGAB

Anal ysi s of Var i ance

Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F

Model 6 5. 1132583E12 1. 0226517E12 35. 790 0. 0001
Er r or 136 3. 9145531E12 28573380222
C Tot al 142 8. 123271E12

Root MSE 169036. 62391 R- Squar e 0. 5664
Dep Mean 592949. 37434 Adj R- SQ 0. 5506
C. V. 28. 50777

Par amet er Est i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label

I NTERCEP 1 - 191906 62913 - 3. 050 0. 0027 I nt er cep
PGAP 1 0. 561906 0. 238804 2. 353 0. 0056 PGAP
QPUK 1 0. 081642 0. 007873 10. 370 0. 0001 QPUK
TKP 1 959. 734694 121. 786753 7. 880 0. 0001 TKP
PSEKP 1 5. 810158 7. 731807 0. 751 0. 4537 PSEKP
DMDF 1 256025 45902 5. 578 0. 0001 DMDF
LPRODGAB 1 0. 444217 0. 165397 2. 686 0. 0081 LPRODGAB


Dur bi n- Wat son 0. 548
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 723

245

The SAS Syst em

SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on

Model : I NCPPI
Dependent var i abl e: I NCPPI I NCPPI

Anal ysi s of Var i ance

Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F

Model 4 932418. 79736 233104. 69934 40. 505 0. 0001
Er r or 138 794184. 22770 5754. 95817
C Tot al 142 1707014. 3711

Root MSE 75. 86144 R- Squar e 0. 5480
Dep Mean 358. 33600 Adj R- SQ 0. 5267
C. V. 21. 17048

Par amet er Est i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label

I NTERCEP 1 159. 154332 20. 149576 7. 899 0. 0001 I nt er cep
PRODGAB 1 0. 000152 0. 000033043 4. 594 0. 0001 PRODGAB
PSEKL 1 - 0. 000459 0. 000114 - 4. 035 0. 0001 PSEKL
TKP 1 0. 498065 0. 061274 8. 129 0. 0001 TKP
LI NCPPI 1 0. 120290 0. 267184 0. 450 0. 6533 LI NCPPI


Dur bi n- Wat son 0. 359
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 813

246

The SAS Syst em

SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on

Model : TKP
Dependent var i abl e: TKP TKP

Anal ysi s of Var i ance

Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F

Model 5 835332. 60340 208833. 15085 25. 353 0. 0001
Er r or 137 1136699. 9085 8236. 95586
C Tot al 142 1972032. 5119

Root MSE 90. 75768 R- Squar e 0. 5236
Dep Mean 272. 91634 Adj R- SQ 0. 5069
C. V. 33. 25476

Par amet er Est i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label

I NTERCEP 1 - 10. 291493 52. 375739 - 0. 196 0. 8445 I nt er cep
AK 1 0. 000330 0. 000037686 8. 752 0. 0001 AK
WTKP 1 0. 004909 0. 003875 1. 267 0. 2073 WTKP
AREAL 1 0. 000050371 0. 000186 0. 270 0. 7873 AREAL
PSEKP 1 1. 240132 0. 7655135 1. 620 0. 1245 PSEKP
LTKP 1 0. 365210 0. 146963 2. 485 0. 0141 LTKP


Dur bi n- Wat son 0. 220
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 868

247

The SAS Syst em

SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on

Model : QPUK
Dependent var i abl e: QPUK QPUK

Anal ysi s of Var i ance

Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F

Model 4 6. 0660237E14 1. 5165059E14 65. 118 0. 0001
Er r or 138 3. 2138036E14 2. 3288432E12
C Tot al 142 9. 3287207E14

Root MSE1526054. 79060 R- Squar e 0. 6537
Dep Mean5062106. 07415 Adj R- SQ 0. 6436
C. V. 30. 14664

Par amet er Est i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label

I NTERCEP 1 2547265 484916 5. 253 0. 0001 I nt er cep
AREAL 1 38. 482878 3. 065273 12. 554 0. 0001 AREAL
PPUK 1 - 2665. 410620 458. 027228 - 5. 819 0. 0001 PPUK
PGAB 1 516. 228199 485. 270249 1. 064 0. 2893 PGAB
LQPUK 1 0. 172170 0. 124573 1. 382 0. 1692 LQPUK


Dur bi n- Wat son 0. 541
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 711

248

The SAS Syst em

SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on

Model : PGAB
Dependent var i abl e: PGAB PGAB

Anal ysi s of Var i ance

Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F

Model 5 41148258. 848 10287064. 712 14705. 734 0. 0001
Er r or 137 96534. 79235 699. 52748
C Tot al 142 45796887. 633

Root MSE 26. 44858 R- Squar e 0. 9977
Dep Mean 1221. 95118 Adj R- SQ 0. 9976
C. V. 2. 16445

Par amet er Est i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label

I NTERCEP 1 - 137. 844520 12. 921043 - 10. 668 0. 0001 I nt er cep
PPUK 1 0. 876850 0. 129558 6. 768 0. 0067 PPUK
PSEKP 1 0. 000055959 0. 001082 0. 052 0. 9588 PSEKP
WTKP 1 0. 015005 0. 001279 11. 729 0. 0001 WTKP
PBRS 1 0. 489051 0. 002483 196. 943 0. 0001 PBRS
LPGAB 1 0. 032548 0. 008661 3. 758 0. 0003 LPGAB


Dur bi n- Wat son 0. 740
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 621

249

The SAS Syst em

SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on

Model : PBRS
Dependent var i abl e: PBRS PBRS

Anal ysi s of Var i ance

Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F

Model 4 109206882. 99 36402294. 329 60. 379 0. 0001
Er r or 138 83802001. 224 602892. 09514
C Tot al 142 182836171. 69

Root MSE 776. 46126 R- Squar e 0. 6658
Dep Mean 2442. 85341 Adj R- SQ 0. 6564
C. V. 31. 78501

Par amet er Est i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label

I NTERCEP 1 1212. 870707 205. 300119 5. 908 0. 0001 I nt er cep
PRODBRS 1 - 0. 000154 0. 000395 - 0. 390 0. 6974 PRODBRS
PRUTI N 1 0. 006145 0. 000465 13. 215 0. 0001 PRUTI N
CADBRS 1 - 4567. 9876 3716. 8328 - 1. 229 0. 3260 CADBRS
LPBRS 1 0. 840819 0. 122192 6. 881 0. 0001 LPBRS


Dur bi n- Wat son 0. 631
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 681

250

The SAS Syst em

SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on

Model : CONBRSI
Dependent var i abl e: CONBRSI CONBRSI

Anal ysi s of Var i ance

Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F

Model 5 21. 00505 4. 20101 18. 404 0. 0001
Er r or 137 31. 27209 0. 22826
C Tot al 142 53. 35639

Root MSE 0. 47777 R- Squar e 0. 5818
Dep Mean 13. 11079 Adj R- SQ 0. 5800
C. V. 3. 64409

Par amet er Est i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label

I NTERCEP 1 14. 071878 0. 143752 97. 890 0. 0001 I nt er cep
PBRS 1 - 0. 000119 0. 000043802 - 2. 716 0. 0073 PBRS
J MLMI S 1 - 0. 002361 0. 000363 - 6. 506 0. 0001 J MLMI S
I KAP 1 0. 000021853 0. 000014424 1. 515 0. 1321 I KAP
DMDF 1 - 0. 232747 0. 099716 - 2. 334 0. 0210 DMDF
LCONBRSI 1 0. 341670 0. 120529 2. 835 0. 0053 LCONBRSI


Dur bi n- Wat son 0. 509
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 734

251

The SAS Syst em

SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on

Model : CONSENI
Dependent var i abl e: CONSENI CONSENI

Anal ysi s of Var i ance

Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F

Model 4 760289. 09139 253429. 69713 243. 715 0. 0001
Er r or 138 144540. 87082 1039. 86238
C Tot al 142 1384125. 7421

Root MSE 32. 24690 R- Squar e 0. 8403
Dep Mean 2172. 31877 Adj R- SQ 0. 8368
C. V. 1. 48445

Par amet er Est i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label

I NTERCEP 1 312. 989317 79. 075009 3. 958 0. 0001 I nt er cep
CONBRSI 1 141. 703236 5. 948403 23. 822 0. 0001 CONBRSI
I KAP 1 0. 25780502 0. 102482 2. 515 0. 0321 I KAP
DPKES 1 0. 000660 0. 000913 0. 723 0. 4708 DPKES
LCONSENI 1 0. 105435 0. 053553 1. 969 0. 0510 LCONSENI


Dur bi n- Wat son 0. 658
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 665

252

The SAS Syst em

SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on

Model : CONPROT
Dependent var i abl e: CONPROT CONPROT

Anal ysi s of Var i ance

Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F

Model 5 473. 46551 118. 36638 65. 325 0. 0001
Er r or 137 250. 05191 1. 81197
C Tot al 142 1061. 46847

Root MSE 1. 34609 R- Squar e 0. 6544
Dep Mean 57. 27503 Adj R- SQ 0. 6444
C. V. 2. 35023

Par amet er Est i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label

I NTERCEP 1 - 1414. 334811 144. 886266 - 9. 762 0. 0001 I nt er cep
CONSENI 1 0. 020636 0. 001634 12. 632 0. 0001 CONSENI
I KAP 1 5. 257806 2. 608556 2. 015 0. 0832 I KAP
J MLMI S 1 - 2. 005260 0. 616889 3. 250 0. 0001 J MLMI S
DMDF 1 - 4. 161020 0. 430897 - 9. 657 0. 0001 DMDF
LCONPROT 1 0. 505978 0. 096279 5. 255 0. 0001 LCONPROT


Dur bi n- Wat son 1. 614
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 189

253

The SAS Syst em

SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on

Model : J MLMI S
Dependent var i abl e: J MLMI S J MLMI S

Anal ysi s of Var i ance

Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F

Model 5 1409573. 1312 281914. 62625 55. 104 0. 0001
Er r or 137 700894. 38817 5116. 01743
C Tot al 142 2110835. 6043

Root MSE 71. 52634 R- Squar e 0. 6679
Dep Mean 257. 43083 Adj R- SQ 0. 6558
C. V. 27. 78468

Par amet er Est i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label

I NTERCEP 1 31. 383654 22. 331668 1. 405 0. 1622 I nt er cep
DPKSMI S 1 - 1. 813909 0. 562417 - 3. 225 0. 0016 DPKSMI S
I KAP 1 - 0. 002598 0. 002174 - 1. 195 0. 2341 I KAP
PPEMB 1 - 0. 000032691 0. 000156 - 0. 209 0. 8346 PPEMB
J MLPDK 1 0. 171142 0. 014320 11. 952 0. 0001 J MLPDK
LJ MLMI S 1 0. 434785 0. 084065 5. 172 0. 0001 LJ MLMI S


Dur bi n- Wat son 0. 586
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 703

254

The SAS Syst em

SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on

Model : AGZBRK
Dependent var i abl e: AGZBRK AGZBRK

Anal ysi s of Var i ance

Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F

Model 6 4476. 78032 1119. 19508 23. 874 0. 0001
Er r or 136 6469. 38294 46. 87959
C Tot al 142 10286. 33464

Root MSE 6. 84687 R- Squar e 0. 6090
Dep Mean 21. 53407 Adj R- SQ 0. 5919
C. V. 31. 79551

Par amet er Est i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label

I NTERCEP 1 3525. 489310 380. 911660 9. 255 0. 0001 I nt er cep
CONPROT 1 - 1. 006225 0. 342487 - 2. 938 0. 0039 CONPROT
J MLPSM 1 - 0. 010427 0. 015994 - 0. 652 0. 5155 J MLPSM
I KAP 1 - 3. 025467 0. 711038 - 4. 255 0. 0001 I KAP
J MLSKL 1 - 2. 408932 2. 933070 - 0. 821 0. 4351 J MLSKL
J MLBTHRP 1 0. 423356 0. 413O30 1. 025 0. 3621 J MLBTHRP
LAGZBRK 1 0. 387974 0. 112520 3. 448 0. 0007 LAGZBRK


Dur bi n- Wat son 0. 686
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 653

255

The SAS Syst em

SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on

Model : AKMTBY
Dependent var i abl e: AKMTBY AKMTBY

Anal ysi s of Var i ance

Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F

Model 6 3547. 73749 591. 28958 12. 246 0. 0001
Er r or 136 6566. 76577 48. 28504
C Tot al 142 10654. 73891

Root MSE 6. 94874 R- Squar e 0. 5508
Dep Mean 57. 90782 Adj R- SQ 0. 5221
C. V. 11. 99966

Par amet er Est i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label

I NTERCEP 1 48. 399147 3. 098209 15. 622 0. 0001 I nt er cep
AGZBRK 1 0. 395665 0. 084280 4. 695 0. 0001 AGZBRK
J MLMI S 1 0. 021822 0. 005616 3. 886 0. 0002 J MLMI S
J MLBDN 1 - 0. 010886 0. 006648 - 1. 638 0. 1038 J MLBDN
MDKSPN 1 - 2. 104032E- 9 1. 1453387E- 9 - 1. 837 0. 0684 MDKSPN
DMDF 1 - 2. 399693 1. 350683 - 1. 777 0. 0779 DMDF
LAKMTBY 1 0. 392946 0. 103413 3. 800 0. 0002 LAKMTBY


Dur bi n- Wat son 0. 525
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 735

256

The SAS Syst em

SYSLI N Pr ocedur e
Two- St age Least Squar es Est i mat i on

Model : UHHDP
Dependent var i abl e: UHHDP UHHDP

Anal ysi s of Var i ance

Sumof Mean
Sour ce DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F

Model 5 277. 79126 55. 55825 24. 053 0. 0001
Er r or 137 316. 44975 2. 30985
C Tot al 142 688. 47445

Root MSE 1. 51982 R- Squar e 0. 5675
Dep Mean 64. 32169 Adj R- SQ 0. 5480
C. V. 2. 36284

Par amet er Est i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e
Var i abl e DF Est i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label

I NTERCEP 1 65. 157453 4. 105795 15. 870 0. 0001 I nt er cep
CONPROT 1 0. 126100 0. 065772 1. 917 0. 0573 CONPROT
DPKSMI S 1 0. 033875 0. 009595 3. 530 0. 0006 DPKSMI S
AKMTBY 1 - 0. 150308 0. 019755 - 7. 609 0. 0001 AKMTBY
DMDF 1 0. 207502 0. 360253 0. 576 0. 5656 DMDF
LUHHDP 1 0. 354258 0. 102047 3. 472 0. 0007 LUHHDP


Dur bi n- Wat son 0. 676
( For Number of Obs. ) 143
1st Or der Aut ocor r el at i on 0. 659

Das könnte Ihnen auch gefallen