Sie sind auf Seite 1von 10

3

TINJAUAN PUSTAKA
1. Pasteurellosis
Pasteurellosis adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
Pasteurella yang merupakan bakteri anaerobik fakultatif (bakteri yang mampu
bertahan hidup tanpa oksigen dan tetap berfungsi diberbagai kondisi).
Pasteurella termasuk ke dalam Ordo Pasteurellales yang Familinya adalah
Pasteurellaceae. Ada 4 spesies lagi dari genus Pasteurella ini, diantaranya
adalah Pasteurella multocida, Pasteurella haemolytica, Pasteurella
pneumotropica sama Pasteurella ureae. Pasteurella multocida dan
Mannheimia haemolytica (Pasteurella haemolytica) adalah dua spesies
Pasteurella yang sering dituding terlibat dalam berbagai penyakit Pasteurellosis
baik secara bersama sama maupun sendiri sendiri. Kebanyakan penyakit ini
disebarkan oleh anjing dan kucing. Tidak menutup kemungkinan kambing,
kuda, biri-biri, tikus, hamster, babi, serigala dan jenis-jenis unggas pun juga
bisa menularkan penyakit ini. Walaupun bakteri ini termasuk flora normal di
dalam tubuh, tapi bisa berubah jadi penyakit yang cukup ganas juga. Bakteri ini
hidup di daerah nasofaring dan gingival termasuk kucing dan anjing. Saat
menimbulkan gigitan, bakteri ini bisa saja ikut berpindah ke tubuh manusia.
Penyebaran Pasteurellosis selain masalah gizi buruk juga bisa melalui
kontak langsung antara ternak yang terinfeksi dengan ternak sehat, melalui
pakan dan minum yang terkontaminasi kotoran dari hidung dan mulut ternak
yang terinfeksi dan factor factor predisposisi (kecenderungan dari sesuatu dapat
menimbulkan penyakit) seperti; Kandang yang terlalu padat juga ikut
mempermudah penyebaran, debu dan polusi yang ditimbulkan oleh asap
knalpot kendaraan dapat merusak lapisan didinding trachea (tenggorokan) yang
pada giliran akan dijadikan tempat melekatnya bakteri, kotoran ternak yang
dibiarkan menumpuk ikut andil dalam memperkaya bakteri dipeternakan,
ventilasi didalam kandang yang kurang pengaturannya (musim dingin
kedinginan musim panas kepanasan), pasar ternak dimana tempat
bergerombolnya ternak dari berbagai tempat, saat ternak berada dalam


4

kendaraan pengangkut dan percampuran ternak dipeternakan penggemukan
dimana ternak datang dari berbagai peternakan. Selain itu juga penularan dapat
terjadi melalui gigitan hewan terutama kucing. Infeksi juga dapat terjadi
melalui inhalasi.

Pasteurella haemolytica
Seleim, 2003, menyatakan bahwa pengamatan secara morfologi tidak
dapat digunakan untuk membedakan antara P. multocida dengan
P.haemolytica, kecuali jika dilakukan uji biokimia. Hasil uji biokimia dapat
dikonfirmasikan dengan ciri-ciri masing-masing bakteri sehingga dapat dilihat
perbedaan antara kedua bakteri.

(Quinn et al, 2004)
Adanya perbedaan antara kedua bakteri tersebut disebabkan antara lain
P. multocida penyebab penyakit menular yang serius seperti kolera unggas,
sapi hemoragik septikemia dan rinitis atrofi babi, sedangkan P. haemolytica
adalah agen causative pasteurellosis pneumonia, sehingga dengan
kekhususannya menyebabkan P. multocida berbeda P. haemolytica, meski
masih termasuk dalam spesies yang sama.



5



(Quinn et al, 2007)
Mannheimia haemolytica (sebelumnya Pasteurella haemolytica) adalah agen
penyebab yang paling umum pasteurellosis pneumonia, septicemia dan mastitis
dan dianggap sebagai salah satu patogen yang paling penting dari domba, sapi dan
kambing (Gilmour, 2003).

(Quinn et al, 2004)



6

2. Ancylostoma caninum
Cacing ankilostoma berukuran 10 20 mm dan yang dewasa biasanya
ditemukan melekat pada mukosa usus halus anjing. Daur hidup cacing
tambang bersifat langsung,tanpa hospes perantara. Cacing dewasa hidup dari
menghisap darah di usus halus. Cacing selalu berpindah-pindah dalam
menusuk mukosa usus hingga meninggalkan luka-luka yang pendarahannya
berlangsung lama karena cacing tersebut menghasilkan toksin anti koagulasi
darah (Subronto, 2006).
Satu sampai dua hari setelah dibebaskan di dalam tinja, di tempat
yang lembab atau basah telur akan menetas dan terbebaslah larva stadium
pertama. Setelah 1 minggu akan terbentuk larva infektif, atau stadium
ketiga dan siap menginfeksi hewan yang rentan (Subronto, 2006).

Spesies Ukuran cacing (mm)
Ancylostoma caninum Jantan: 10 12
Betina : 15 18
Ancylostoma braziliense Jantan: 6 8
Betina : 7 10
(Subronto, 2006)
Infeksi melalui hospes paratenik
Larva yang berada di dalam tubuh hewan yang bertindak sebagai
hospes paratenik, misalnya mencit, dapat menginfeksi anjing bila hospes
paratenik dikonsumsi olehnya.
Patogenesis
Cacing kait merupakan salah satu dari penyebab penyakit paling
penting kematian dari anak anjing. Pengaruh cacing tesebut terutama
kehilangan darah. Anak anjing muda sangat rentan terhadap cacing tambang,
karena pada umur 2 4 minggu persediaan Fe akan merosot yang disebabkan
makanan utama anak anjing adalah air susu yang memang sangat kecil
kandungan Fe-nya. Anak anjing yang terinfeksi berat segera mengalami


7

anemia akut. Anemia yang terjadi adalah anemia normositik normokromik
akut yang akan melanjut menjadi anemia mikrositik hipokromik
Tiap ekor cacing dewasa A. caninum dapat menyebabkan kehilangan
darah 0,05-0,2 ml/hari, A. braziliense 0,001 ml dan U. stenocephala 0,0003
ml. Akibatnya persentase darah yang dikeluarkan bersama tinja sangat tinggi.
Bila terdapat sejumlah besar cacing kait, maka tinja kelihatan kehitam-
hitaman karena darah mengering dan airnya yang tercampur dengan tinja
tersebut berubah menjadi berwarna merah (Levine, 1994).
Infeksi anjing oleh A. braziliense dan U. stenocephala tidak
mengakibatkan pendarahan hebat seperti pada infeksi oleh A. caninum.
Infeksi kedua spesies tersebut lebih banyak ditandai oleh hipoproteinemia,
radang usus dan atropi parsial villi interstinales. Hilangnya villi usus halus
juga dialami oleh anjing yang terinfeksi A. caninum dan mengakibatkan
gangguan absorbsi sari makanan. Darah menunjukkan kemampuan koagulasi
yang rendah dan perhitungan sel darah merah turun hingga 1,5 juta per mm
(Dunn, 1978).
Gejala klinis
Darah yang mencucur segera tercampur tinja dan menyebabkan
melena. Tinja bersifat lunak, berwarna gelap. Gejala anemia dapat dilihat dari
pucatnya selaput lendir mata, vagina, mulut maupun dari kulit terutama di
daerah perut. Bila penyakit berlangsung kronis maka induk semang
mengalami dehidrasi, lemah, kurus, dan konjungtiva pucat karena anemia
(Subronto, 2006).

3. Rhipichepalus sanguineus
Klasifikasi
Menurut Williams et al. (1985) klasifikasi caplak anjing adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Animalia


8

Filum : Arthropoda
Subfilum : Chelicerata
Kelas : Arachnida
Subkelas : Acari
Ordo : Parasitiformes
Subordo : Metastigmata
Superfamili : Ixodoidae
Famili : Ixodidae
Genus : Rhipicephalus
Spesies : Rhipicephalus sanguineus

Berdasarkan ada atau tidaknya skutum pada punggung caplak
diklasifikasikan menjadi 2 yaitu caplak keras dan caplak lunak. Pada famili
Ixodidae terdapat skutum pada semua stadium sedangkan pada famili
Argasidae tidak ada skutum pada semua stadium. Rhipicephalus sanguineus
adalah caplak coklat pada anjing atau disebut brown dog tick karena berwarna
coklat kemerahan. Caplak ini disebut sebagai caplak sejati dan memiliki
metamorfosis yang tidak lengkap (Levine, 1985).
Morfologi
Tubuh caplak ditutupi oleh tegumen yang terdiri atas kutikula luar dan
selapis epitel yang mensekresikan kutikula yang mengeras dan memiliki
perisai. Bagian eksternal utama caplak adalah kapitulum (gnathosoma),
idiosoma dan kaki.
Kapitulum adalah bagian mulut keseluruhan yang terletak pada
anterior dari tubuh caplak terdiri dari basis capituli yang mengadakan
persendian dengan tubuh, pedipalpus, chelicerae, dan gigi hypostome. Basis
kapitulum pada caplak betina berbentuk hexagonal. Pedipalpus terdiri dari
empat sampai enam ruas, kadang mengalami modifikasi sebagai suatu ibu jari
dan cakar. Chelicera terletak pada dorsal dari aspek kapitulum. Sepasang
chelisera terdiri atas satu digit dorsal yang tidak dapat digerakkan dan satu


9

digit ventral yang dapat digerakkan. Fungsi dari chelisera adalah untuk
membuat sayatan pada jaringan induk semang pada saat menempel
(Sonenshine et al. 2002 dalam Mullen dan Durden 2002).
Hypostome berbentuk seperti gada yang memiliki gerigi atau kait yang
berfungsi untuk memperkuat pertautan caplak pada tubuh induk semangnya.
Hypostoma caplak menonjol dan bergerigi apabila dibandingkan dengan
hypostoma tungau (Noble & Noble 1989). Idiosoma merupakan bagian tubuh
caplak tempat terdapatnya kaki. Masing-masing kaki dibagi kedalam enam
segmen yaitu coxa, trochanter, femur, patella (genu), tibia dan tarsus. Bagian
coxae sangat sedikit bisa digerakkan sedangkan bagian lain dapat digerakkan.
Pada stadium larva dapat dengan mudah dikenali dengan adanya tiga pasang
kaki sedangkan pada stadium nimpa dan dewasa memiliki empat pasang kaki
(Sonenshine et al. 2002 dalam Mullen dan Durden 2002).



Gambar (a) caplak betina dan (b) caplak jantan (Pereira, 2001)

Caplak jantan memiliki bentuk oval, berwarna coklat dan biasanya
terlihat aktif diantara rambut mantel. Pada tubuh caplak betina biasanya
terdapat bekas spot yang panjangnya kira-kira 12 mm dan berwarna biru
keabu-abuan saat tidak makan. Warna berubah menjadi merah gelap pada saat
caplak kenyang menghisap darah (Seddon, 1968). Caplak betina memiliki
skutum yang menutupi separuh dorsal bagian anterior dari tubuhnya,
sedangkan caplak jantan skutum menutupi seluruh bagian dorsal permukaan
(a) (b)


10

tubuh sehingga mengakibatkan tubuh tidak elastis untuk mengembang pada
saat menghisap darah (Noble & Noble 1989).
Siklus hidup
Rhipicephalus merupakan caplak yang berinduk semang tiga yaitu
dalam setiap siklus hidupnya dari telur, larva, nimfa dan dewasa
membutuhkan 3 induk semang. Masing-masing stadium caplak harus berada
dalam tubuh induk semang, biasanya induk semangnya adalah anjing dan
sering pada anjing yang sama (Lord 2001). Akan tetapi stadium larva dapat
hidup pada kelinci dan stadium nimfa dapat hidup pada hewan lain yaitu
domba, sapi dan anjing (Astyawati 2002).
Caplak betina yang sudah kenyang menghisap darah akan terlihat
menggembung dan akan berjalan sampai menemukan tempat yang sesuai
untuk bertelur. Dalam sekali bertelur dapat mencapai 2000-4000 butir telur.
Lord (2001) menyatakan caplak betina mampu bertelur sampai 5000 butir
telur. Caplak betina akan mati setelah bertelur dan tergantung pada temperatur
serta kelembaban telur akan menetas pada 19-60 hari (Yates, 1992). Dalam
waktu 17 sampai 30 hari telur akan menetas menjadi larva. Larva akan
mengalami pergantian kulit (moulting) sebelum menjadi nimfa dan dewasa
(Subronto 2006).

4. Ctenocepalides canis

Klasifikasi dari Ctenocepalides canis adalah sebagai berikut:
Divisio : Animalia
Subdivisio : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Siphonaptera
Famili : Pulicidae
Genus : Ctenocephalides
Spesies : C. canis
Ctenocephalides canis adalah jenis kutu (Siphonaptera) yang tinggal
terutama pada anjing. Meskipun kutu memakan darah anjing dan kucing,


11

mereka kadang-kadang menggigit manusia. Kutu anjing dapat hidup tanpa
makanan selama beberapa bulan, tetapi kutu betina harus mencari makan
darah sebelum mereka dapat menghasilkan telur. Kutu dapat berkembang biak
sekitar 4000 telur pada bulu anjing. Kutu anjing hidup dalam empat tahapan
siklus: Embrio, Larva, Pupa, dan Imago (dewasa) . Siklus hidup keseluruhan
dari telur menjadi dewasa membutuhkan dari dua hingga tiga minggu.
Mulut kutu anjing disesuaikan untuk menusuk kulit dan menghisap
darah. Kutu anjing adalah parasit eksternal, hidup dengan hematophagi dari
darah anjing. Anjing sering mengalami gatal parah di seluruh area yang kutu
mungkin berada. Kutu tidak memiliki sayap dan tubuh mereka sulit diratakan
dari sisinya serta memiliki rambut dan duri, hal ini yang membuatnya mudah
bagi kutu untuk merambat melalui bulu Anjing maupun Kucing. Mereka
memiliki kaki belakang yang relatif lama untuk melompat.
Pada anjing yang bermasalah dengan kutu, diawali dengan gigitan
terutama di daerah seperti leher, kepala, dan sekitar ekor. Kutu biasanya
berkonsentrasi di daerah tersebut. Hal ini tak henti-hentinya menggaruk dan
menggigit dapat menyebabkan kulit anjing untuk menjadi merah dan
meradang. Iritasi pada kulit anjing yang merah dan meradang
Air liur kutu merangsang dermatisasi pada anjing secara berlebihan. Intensitas
menggaruk dan menggigit anjing pada badannya menyebabkan anjing
kehilangan bulu atau rontok, mendapatkan bintik botak, spot menunjukkan
panas akibat iritasi ekstrim, dan mengembangkan infeksi yang menghasilkan
kulit yang bau.
Mencegah dan mengendalikan kutu anjing adalah suatu proses dan
bertahap. Pencegahan dalam kasus kutu kadang-kadang bisa menjadi hal yang
sulit, tetapi adalah cara yang paling efektif untuk memastikan anjing tidak
akan mendapatkan kembali terinfeksi. Kebersihan dan ketidak-lembaban
lingkungan sekitar menjadi hal yang sangat penting untuk menghindari
terjangkitnya parasit dan perkembangbiakan kutu. Setiap kutu pada hewan
peliharaan tersebut kemungkinan telah meletakkan telur di lingkungan sekitar.



12

5. Heterodoxus spiniger
Heterodoxus spiniger merupakan kutu penggigit pada anjing yang masuk
dalam subordo Amblycera. Pada subordo Ablycera, antenna terletak pada
celah di sisi kepala sehingga tidak kelihatan mempunyai palpus maksilaris
(Sumartono dan Prastowo, 1997)


6. Gambaran darah normal anjing

Pemeriksaan Unit Standar*

Eritrosit (10
6
/l) 5,5 8,5
Hemoglobin (g/dl) 12 18
PCV (%) 37 55
MCV (fl) 60 77
MCH (pg) 22,5 26,5
MCHC (%) 32 36
Leukosit (10
3
/l) 6.000 17.000
Neutrofil
(mature)
(R) %
(A)10
3
/l

3000 11.500
Limfosit (R)%
(A)10
3
/ l

1000 4800
Monosit (R)%
(A)10
3
/l

150 1350
Eosinofil (R)%
(A)10
3
/l

100 1250
Basofil (R)%
(A)10
3
/l
Rare
TPP (g/dl) 5,1 7,8
Fibrinogen (g/dl) 1 4
(Thorn, 2010)

Das könnte Ihnen auch gefallen