Sie sind auf Seite 1von 16

Pembelajaran Pra Berhitung

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pelajaran matematika atau berhitung untuk sebagian siswa dianggap pelajaran yang sulit dan
menakutkan. Matematika menjadi sulit karena mungkin siswa tersebut belum siap atau ada faktor lain
yang berkaitan dengan cara guru matematika mengajar atau ada masalah intrinsik dalam diri siswa,
misalnya ada gangguan konsentrasi, gangguan persepsi dan lain-lain. Selain itu, sudah menjadi sifat ilmu
matematila bahwa di dalam proses keterampilan matematika atau berhitung itu membutuhkan
kemampuan kognitif untuk berpikir logis dan analitis, ... sehinga bagi yang bermasalah dalam
kemampaun kognitifnya maka akan mengalami masalah ketika belajar matematika atau berhitung
(Runtukahu, 1996:86).
Keterampilan matematika atau berhitung tetap harus dipelajari oleh setiap anak agar menjadi bekal
hidupnya di masa depan, sebab tidak bisa dipungkiri bahwa hampir dalam setiap kehidupan manusia
membutuhkan kemampuan berhitung. Melalui keterampilan berhitung diharapkan anak mampu
memecahkan persoalan-persoalan dalam kehidupan nyata yang membutuhkan keterampilan
matematika atau berhitung.
Bagi anak-anak tunagrahita sedang, mereka juga perlu belajar berhitung. Namun tentunya pelajaran
berhitung yang disampaikan kepada anak tunagrahita sedang berbeda dengan pelajaran matematika
atau berhitung pada umumnya. Menurut Amin (1995:124) bahwa:
Perbedaan materi pelajaran ini di dasari oleh adanya hambatan kognitif yang dimiliki oleh anak
tunagrahita sedang, sehingga materi berhitung bagi mereka lebih kongkrit berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari dan lebih bermakna bagi kehidupannya.

Diharapkan materi pelajaran berhitung bagi anak tunagrahita sedang lebih kongkrit dan sesuai dengan
kebutuhannya. Jika sesuai dengan hal itu maka mereka pun dapat mengikuti pelajaran berhitung dengan
baik. Sebagaimana dinyatakan oleh Astati (2001:8) bahwa Anak tunagrahita sedang hampir tidak dapat
mempelajari pelajaran yang sifatnya akademik. Akan tetapi mereka ada yang dapat menulis, berhitung,
dan membaca secara sosial.
Konsekuensi dari hal di atas dibutuhkan kreatifitas guru dalam menentukan materi pelajaran berhitung
bagi anak tunagrahita sedang. Guru harus mencari materi-materi yang dapat memperkuat konsep
berhitung terutama keterampilan pra syarat atau keterampilan pra berhitung. Mustahil bagi setiap
anak dapat menguasai keterampilan berhitung apabila belum menguasai keterampilan pra syarat atau
pra berhitungnya (Mercer dan Mercer, 1989:188).
Menurut Piaget (Mercer dan Mercer, 1989:188) Keterampilan pra berhitung meliputi ketrampilan
klasifikasi, seriasi, korespondensi, konservasi.
Keterampilan pra berhitung sangat penting dikuasai sejak awal, ... kerena akan menjadi pondasi untuk
menguasai tahap berikutnya (Mercer dan Mercer, 1989:189). Guru harus mengajarkan materi pra
berhitung terlebih dahulu sebelum mengajarkan konsep bilangan dan perhitungan.
Guru bagi anak tunagrahita sedang sering mengeluh kesulitan mengajarkan berhitung pada anak
didiknya. Mereka mengatakan sulit sekali siswanya itu memahami konsep lambang bilangan 1, 2, dan
seterusnya.
Ternyata kesulitan itu terjadi karena ada beberapa keterampilan pra berhitung yang belum dikuasai oleh
anak tunagrahita sedang, sementara itu konsep lambang bilangan sudah termasuk pada pengajaran
pada tahap setelah pra berhitung. Maka guru akan kesulitan mengajarkan konsep lambang bilangan itu.
Kondisi seperti itulah yang banyak terjadi di lapangan. Guru kurang memahami tahapan pembelajaran
dalam berhitung, pada hal tahapan itu perlu dilalui seingga guru dapat dengan mudah menyampaikan
materi dan anak/siswa pun dapat dengan mudah memahami materi yang disampaikan gurunya.
Proses pengajaran pra berhitung penting bagi anak agar mampu menguasai keterampilan berhitung
pada tingkat berikutnya. Misalnya, anak tidak akan bisa penjumlahan apa bila keterampilan pra syarat
berhitungnya belum terpenuhi. Berdasarkan masalah-masalah tersebut makalah ini bermaksud
mengkaji lebih jauh bagaimana pengajaran pra berhitung untuk anak tunagrahita sedang.

B. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam makalah ini dibatasi oleh topik-topik sebagai berikut:
1. Konsep dasar anak tunagrahita sedang
2. Kemampuan pra berhitung anak tunagrahita sedang
3. Konsep dasar pra berhitung
4. Pengajaran pra berhitung bagi anak tunagrahita sedang
C. Rumusan Masalah
Masalah utama dalam makalah ini adalah: Bagaimanakah pengajaran pra berhitung bagi anak
tunagrahita sedang.
Untuk menjawab masalah utama tersebut maka permasalahan yang diajukan dalam makalah ini
meliputi:
1. Bagaimana konsep dasar anak tunagrahita sedang?
2. Bagaimana kemampuan pra berhitung anak tunagrahita sedang?
3. Bagaimana konsep dasar pra berhitung?
4. Bagaimana seharusnya pengajaran pra berhitung bagi anak tunagrahita sedang?
D. Tujuan
Tujuan utama dari makalah ini adalah menjelaskan pengajaran pra berhitung bagi anak tunagrahita
sedang.
Secara khusus tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Memberikan gambaran tentang konsep dasar anak tunagrahita sedang ditinjau dari pengertian,
hambatan, dan kebutuhan belajarnya.
2. Menjelaskan pengertian pra berhitung, meliputi klasifikasi, mengurutkan dan seriasi, korespondensi,
serta konservasi.
3. Memberikan gambaran kemampuan pra berhitung anak tunagrahita sedang.
4. Memberikan gambaran pengajaran pra berhitung bagi anak tunagrahita sedang, mulai dari
perumusan tujuan, materi, metode, alat/media, pembelajaran, dan evaluasi.
E. Manfaat
Naskah ini diharapkan dapat memberi manfaat, sebagai berikut:
1. Manfaat Praktis
Dapat dijadikan salah satu acuan bagi guru dalam mengembangkan materi pelajaran berhitung sesuai
dengan kebutuhan anak tunagrahita sedang.
2. Manfaat teoritis
Dapat memperkaya khasanah keilmuan pendidikan luar biasa, khususnya dalam kaitan pembelajaran
pra berhitung pada anak tunagrahita sedang.
BAB II
PEMBELAJARAN PRA BERHITUNG
PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG
A. Konsep Dasar anak Tunagrahita Sedang
1. Pengertian
Menurut AAMD (American Association on Mental Deficiency) (Wardani et.al, 2007:6) yang dirumuskan
oleh Grossman tentang anak tunagrahita mendefinisikan sebagai berikut, Mental retardation refers to
significantly subaverage general intellectual functioning resulting in or adaptive behavior and
manifested during the developmental period. Terjemahan bebasnya, ketunagrahitaan mengacu pada
fungsi intelektual umum yang secara nyata (signifikan) berada di bawah rata-rata (normal) bersamaan
dengan kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian diri dan semua ini berlangsung (termanifestasi)
pada masa perkembangannya.
AAMD juga mengemukakan klasifikasi tunagrahita (Wardani et. al, 2007:6) sebagai berikut;
1) Mild mental retardation (tunagrahita ringan) dengan IQ: 70 - 55; 2) Moderate mental retardation
(tunagrahita sedang) dengan IQ: 55 - 40; 3) Severe mental retardation (tunagrahita IQ-nya 40 - 25 ); 4)
Profound mental retardation (sangat berat) dengan IQ: 25 ke bawah.

Berkenaan dengan anak tunagrahita sedang (moderate mental retardation), menurut AAMD (Amin,
1995:22):
Mereka yang termasuk dalam kelompok ini memiliki hambatan dalam kecerdasan, adaptasi sosial,
bermasalah dalam pemeliharaan diri, bermasalah dalam belajar, serta dalam pekerjaan. Namun
demikian mereka masih mempunyai kemampuan untuk berkembang dalam bidang akademik dasar,
penyesuaian sosial, dan kemampuan bekerja.

2. Hambatan
Hambatan yang dimiliki oleh anak tunagrahita sedang dapat meliputi hambatan dalam pemeliharaan
diri, penyesuaian diri, kesulitan dalam belajar dan ... kesulitan dalam pekerjaan (Astati, 2001:11).
a. Hambatan dalam pemeliharaan diri
Anak tunagrahita sedang kesulitan dalam mengurus diri. Misalnya bagaimana cara makan-minum,
berpakaian, menjaga kebersihan diri, keselamatan, dan lain-lain.
b. Masalah penyesuaian diri
Astati (2001:12) menyatakan Anak tunagrahita sedang cenderung tidak dapat menyesuaikan diri
dengan orang di sekitarnya. Oleh sebab itu mereka harus dibiasakan untuk bergaul dengan orang lain di
luar anggota keluarganya dan sering mengadakan orientasi lingkungan.
c. Kesulitan dalam belajar dan pekerjaan
Berhubung kecerdasan anak tunagrahita sedang sangat terbatas, tentu akan mengakibatkan adanya
kesulitan dalam belajar. Namun, dengan latihan yang rutin terutama dalam hal-hal yang sifatnya non
akademik dan sederhana, mereka masih dapat dilatih dan dapat melakukannya dengan baik.
3. Kebutuhan
Pada dasarnya penyandang tunagrahita memiliki kebutuhan yang sama dengan anak-anak pada
umumnya, tetapi karena keterbatasan yang dimilikinya mengakibatkan mereka mengalami kesulitan
dalam memenuhi kebutuhannya. Astati (2001:12) menjelaskan kebutuhan yang dimaksud antara lain
adalah Kebutuhan fisik, kebutuhan akan penghargaan, rasa aman, rasa percaya diri, komunikasi,
disiplin, berkelompok, kebutuhan akan pendidikan dan pekerjaan.
Selain kebutuhan-kebutuhan itu, anak tunagrahita sedang juga Membutuhkan kehidupan beragama,
bersosialisasi, perlindungan hukum, dan kebutuhan dasar lainnya (Sunardi dan Sugiarmin, 2006:45).
Jadi pada dasarnya anak tunagrahita sedang memiliki kebutuhan yang sama, mulai dari kebutuhan dasar
hingga kebutuhan yang bersifat tambahan/pelengkap. Hanya saja, mereka ini ketergentungan pada
lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan ini sangat tinggi.
B. Kemampuan Pra Berhitung Pada Anak Tunagrahita Sedang
Guru seyogianya memiliki pernahaman yang komprehensif tentang hambatan belajar anak tunagrahita
sedang, terutama berkaitan dengan hambatan belajar berhitung. Hal pertama yang harus dilakukan
adalah memahami hambatan belajar. Hambatan belajar ini berkaitan dengan aspek keterampilan pra
berhitung yang akan menjadi pra-syarat untuk dapat belajar matematika (Rochyadi dan Alimin,
2003:47).
Bentuk hambatan belajar yang berkaitan dengan keterampilan berhitung meliputi semua aspek
keterampilan berhitung, mulai dari pengenalan konsep bilangan dan lambang bilangan hingga operasi
hitungan.
Anak tunagrahita sedang mengalami kesulitan pada semua aspek keterampilan berhitung disebabkan
kecerdasannya yang sangat terbatas sehingga mereka kesulitan untuk mempelajari hal-hal yang bersifat
akademik, diantaranya keterampilan berhitung.
Meskipun mereka mengalami hambatan dalam keterampilan berhitung, anak tunagrahita sedang masih
dapat dikembangkan potensi/kemampuan berhitungnya melalui penguasaan keterampilan pra
berhitung.
C. Pembelajaran Pra Berhitung
Pembelajaran pra berhitung dalam makalah ini berdasarkan pendapat Piaget (Mercer dan Mercer,
1989:188) bahwa Pembelajaran pra berhitung meliputi klasifikasi, seriasi, korespondensi, dan
konservasi.
1. Klasifikasi
Piaget (Mercer dan Mercer, 1989:188) mengatakan bahwa:
Klasifikasi adalah satu dari banyak kegiatan-kegiatan intelektual dasar yang harus dikuasai sebelum
belajar bilangan. Klasifikasi melibatkan hubungan persamaan, perbedaan, dan pengkategorisasian
(categorizing) obyek menurut sifat-sifat khususnya. Sifat khusus ini dapat berupa warna, bentuk, ukuran,
dan berat.

Copeland (Mercer dan Mercer, 1989:190) mengatakan bahwa Banyak anak-anak yang menguasai
keterampilan pengklasifikasian pada usia 5-7 tahun.
Klasifikasi dapat mencakup: (a) mengelompokan berdasarkan warna, yaitu mengelompokkan dua
warna, mengelompokkan tiga warna serta mengelompokkan empat warna, dan seterusnya; (b)
mengelompokan berdasarkan bentuk yaitu mengelompokkan bentuk lingkaran, bentuk segitiga, bentuk
segiempat serta bentuk segipanjang, dan sebagainya; (c) mengelompokan berdasarkan ukuran, yaitu
mengelompokan objek ukuran kecil, obyek yang sedang dan obyek yang besar.

Contoh mengelompokkan warna:
Kelompokkanlah bintang warna hijau!

Contoh mengelompokkan bentuk (mengelompokkan bentuk bintang)

Contoh mengelompokkan berdasarkan ukuran (mengelompokkan balok yang berukuran lebih kecil)

Anak pada umumnya menguasai klasifikasi pada usia 5-7 tahun, namun pada anak tunagrahita sedang
pencapaiannya pada usia yang lebih tua dari itu. Anak tunagrahita sedang lebih lambat menguasai
konsep klaisifkiasi ini karena hambatan mental yang dimilikinya. Pada tahapan awal mereka hanya
mampu membedakan 2 bentuk atau dua warna, itu pun dengan perdebdan yang sangat ekstrim. Pada
tahap ini mereka belum bisa menyebutkan nama bentuk atau warna yang harus dikelompokkan
tersebut.
2. Mengurutkan (Ordering) dan Seriasi
Mengurutkan (ordering) adalah kemampuan mengurutkan obyek berdasarkan tipe atau pola tertentu
sehingga ada pemetaan hubungan dari urutan. Misalnya, (a) anak mengurutkan pola X O X O X -
.... (b) mengurutkan obyek berdasarkan pola warna: mengurutkan 3 pola warna dan mengurutkan 4
pola warna,
Contoh:

..........
(c) mengurutkan obyek berdasarkan pola bentuk, contohnya mengurutkan 3 pola bentuk dan
mengurutkan pola 4 bentuk.

...................
Sedangkan seriasi adalah Menyusun obyek berdasarkan ukurannya mulai dari yang terendah sampai
yang paling tinggi atau dari yang terkecil sampai yang terbesar (Homdijah, 2004:193).
Contoh:
Ordering dan seriasi menjadi aspek pra berhitung karena berkaitan dengan sifat bilangan dalam
aritmatika/berhitung yang memiliki sifat keteraturan yang disusun secara terpola dan berurut. Buktinya,
yaitu bilangan itu di susun mulai dari nilai yang terkecil sampai yang terbesar: 1 kemudian 2, setelah 2, 3
dan seterusnya (1, 2, 3, 4, dan seterusnya). Urutan bilangan itu pun berseri. Satu seri terdiri dari sepuluh
bilangan dan disusun dari yang terkecil sampai yang terbesar. Misalnya, 1 sampai 10, 11 sampai 20 dan
seterusnya.
Tahapan ini merupakan tahapan yang lebih rumit dibandingkan tahapan sebelumnya. Jika anak
tunagrahita sedang belum menguasai tahapan klaisifikasi maka tahapan ordering dan seriasi akan sulit
untuk dikuasai. Tahap awal ordering bagi anak tungrahita sedang adalah dengan mengurutkan benda
kongrit yang jumlah tiak terlalu banyak dan perbedaannya harus ekstrim.
3. Korespondensi
Pengertian korespondensi menurut Mercer dan Mercer (1989:189) adalah:
Keterampilan memahami bahwa jumlah satu set obyek pada suatu tempat adalah sama banyaknya
dengan satu set obyek pada tempat yang lain tanpa menghiraukan karakteristik obyek tersebut.

Contoh pada aspek ini misalnya; (a) anak menilai jumlah obyek yang sama tapi ukuran obyek itu
berbeda (10 biji kancing kecil dalam satu gelas dengan 10 biji kancing besar dalam gelas yang lain); (b)
menilai jumlah dua obyek yang berbeda (2 pensil dengan 2 pulpen ); (c) menghubungkan antara isi/nilai
dengan lambang bilangan (gambar satu telur dihubungkan dengan lambang bilangan 1, gambar 5 buah
apel dihubungkan dengan lambang bilangan 5).
Keterkaitan aspek korespondensi dengan keterampilan berhitung adalah menanamkan konsep pada
anak bahwa adanya hubungan antara isi/nilai dengan lambang bilangan, sehingga anak mampu
menghubungkan antara isi dan lambang bilangan. Meskipun lambang bilangan itu ditulis besar-besar
tetapi isi/nilainya tetap. Lambang bilangan 1 artinya memiliki isi/nilai satu. Oleh karena itu dalam
korespondensi ini pun anak dilibatkan dalam aktifitas menghubungkan antara lambang bilangan dengan
isi/nilainya.
Bagi anak tunagrhita sedang dalam menilai jumlah obyek yang sama tapi ukuran obyek itu berbeda
maka pada tahap awal mereka harus mampu menunjukkan jumlah obyek yang lebih banyak atau
sebaliknya.
4. Konservasi
Konservasi adalah Banyaknya obyek dalam satu tempat atau satu kelompok akan tetap konstan
meskipun letaknya berubah (Mercer dan Mercer, 1989:189).
Copeland (Mercer dan Mercer, 1989:189) menyatakan bahwa konservasi mencakup:
(a) konservasi isi, yaitu konservasi isi tentang air (posisi vertikal) dan konservasi isi tentang air pada dua
tempat yang berbeda, dan (b) konservasi jumlah yaitu sejumlah obyek dalam suatu set tetap sama
meskipun jarak objek itu direnggangkan atau dirapatkan.
Tahapan ini merupakan tahapan yang paling rumit dan tahapan yang paling tinggi. Anak tunagrahita
akan mampu menguasai tahapan inii jika obyek yang digunakan benar-benar ekstrim perbedaannya.
D. Pembelajaran Pra Berhitung Pada Anak Tunagrahita Sedang
1. Asesmen
Asesmen adalah proses yang sistimatis dalam mengumpulkan data seseorang anak yang berfungsi
untuk melihat kemampuan dan kesulitan yang dihadapi seseorang saat itu. Mengumpulkan informasi
yang relevan, sabagai bahan untuk menentukan apa yang sesungguhnya dibutuhkan, dan menerapkan
seluruh proses pembuatan keputusan tersebut (Mcloughlin dan Lewis, 1986:3).
Jadi asesmen adalah proses pengumpulan data untuk mengetahui kemampuan dan hambatan dalam
pembelajaran anak, sehingga dari data tersebut dapat diambil keputusan untuk menentukan program
pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak.
Asesmen ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan asesmen formal dan asesmen informal.
Asesmen formal adalah asesmen dengan menggunakan tes standar yang sudah disusun sedemikian rupa
oleh para ahli sehingga memiliki standar tertentu, sedangkan Tes informal adalah penilaian dengan
menganalisis hasil pekerjaan siswa atau dengan tes buatan guru (Mercer dan Mercer, 1989:154).
Asesmen yang disusun informal sangat baik dilakukan oleh guru karena guru dapat menerapkannya
sesuai kurikulum dan guru akan lebih memahami anak.
Contoh asesmen:
a. Kalisifikasi:
1) Simpan bola yang berwarna merah ke dalam keranjang merah dan bola berwarna hijau ke dalam
keranjang hijau.
2) Pisahkah bola-bola kecil dengan bola-bola besar.

b. Seriasi dan ordering
1) Urutkan balok yang paling besar sampai yang paling kecil!
2) Susunlah seperti contoh
............
c. Korespondensi
1) Mana yang lebih banyak?
2) mana yang lebih sedikit?
3) Mana yang paling besar?
4) Mana yang paling kecil?
2. Merencanakan program pembelajaran
Di dalam merencakan program pembelejaran pra berhitung ini guru menentukan tujuan, materi,
metode, dan evaluasi.
a. Tujuan
Tujuan pembelajaran harus mempertimbangkan kebutuhan anak. Tujuan pembelajaran harus
dirumuskan dengan menggunakan kata operasional sehingga kemajuan anak dapat diukur.
b. Materi
Materi yang disusun harus mendukung tercapainya tujuan yang telah dirumuskan, sesuai dengan
kebutuhan anak, bermakna bagi kehidupan anak tunagrahita sedang. Materi disusun dari yang mudah
menuju yang sulit.
c. Metoda
Di dalam pembelajaran bagi anak tunagrahita sebaiknya menggunakan metoda demonstrasi dan tanya
jawab. Melalui contoh kongkrit anak tunagrahita akan lebih mudah memahami materi yang
disampaikan.
d. Evaluasi
Evaluasi harus berpedoman pada tujuan pembelajaran. Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui
kemajuan belajar siswa dan efektifitas pembelajaran. Bentuk evaluasi bagi pembelajaran pra berhitung
ini adalah tes kinerja.
e. Alat/media pembelajaran
Gunakanlah alat/media pembelajaran yang sesuai materi, menarik, murah dan mudah didapat.
3. Pelaksanaan Pembelajaran
Di bawah ini akan diuraikan contoh-contoh kegiatan pembelajaran pra berhitung bagi anak tunagrahita
sedang.
a. Klasifikasi
1) Tujuan:
Anak/siswa mampu mengelompokkan bentuk geometri (lingkaran, bujur sangkar dan segitiga).
2) Materi: Mengelompokkan bentuk lingkaran dan segitiga.
3) Alat/media pembelajaran: bentuk-bentuk geometri
(lingkaran, bujur sangkar dan segitiga).
4) Kegiatan Pembelajaran:
Guru menyiapkan beberapa macam bentuk geometri, seperti lingkaran, bujur sangkar, dan segitiga
dalam berbagai bentuk, ukuran dan warna.
Kegiatan Klasifikasi
Guru memperlihatkan beberapa macam benda geometri, seperti lingkaran, bujur sangkar dan segitiga
dalam berbagai bentuk, ukuran dan warna. Kemudian anak disuruh untuk mengelompokkan bentuk-
bentuk geometri tersebut.
(a) Guru Kumpulkan benda-benda ini menurut bentuknya
(b) Guru Kumpulkan benda-benda ini menurut ukurannya
(c) Guru Kumpulkan benda-benda ini menurut warnannya
(d) Guru Apakah warna benda ini sama dengan warna benda ini ? (Guru memperlihatkan dua
benda yang sama bentuknya namun berbeda baik warna dan ukurannya, kemudian apabila anak
menjawab tidak maka pertanyaan dapat dikembangkan untuk mencari warna yang sama dengan
warna-warna yang ditanyakan namun dengan menggunakan benda-benda lain)
(e) Guru Apakah benda ini sama bentuknya dengan benda ini? (Guru memperlihatkan dua benda
yang tidak sama bentuknya tetapi memiliki warna sama . Apabila anak menjawab tidak maka
pertanyaan dapat dikembangkan.caranya membandingkan bentuk yang pertama dengan bentuk yang
lebih besar atau lebih kecil dan juga bentuk yang sama dengan benda yang pertama
(f) Guru dapat mengembangkan dengan pertanyaan yang senada dengan pertanyaan /d/ dan /e/.
b. Seriasi dan Ordering
1) Tujuan:
Anak/siswa mampu mengurutkan dari yang paling pendek ke yang paling panjang dan dari yang paling
kecil ke yang paling besar.
2) Materi: - Mengurutkan dari yang paling pendek ke yang paling panjang.
- Mengurutkan dari yang paling kecil ke yang paling besar.
3) Alat/media pembelajaran: lidi dan kancing
4) Kegiatan Pembelajaran:
Kegiatan Menyeri :
(a) Guru menyediakan sejumlah lidi yang sama. Setiap lidi memiliki ukuran yang berbeda. Kemudian
anak diminta untuk menyusun lidi itu dari yang terpendek sampai yang terpanjang.
(b) Guru Menyediakan kancing, tiap kancing memiliki ukuran yang berbeda . Kemudian anak diminta
untuk menyusun kancing-kancing tersebut menurut ukurannya (dari yang terkecil sampai yang
terbesar, atau dari yangterbesar sampai yang terkecil)
Kegiatan ordering:
Guru meminta anak untuk melakukan kegiatan seperti di bawah ini:
(a) Bermain pola dengan bentuk geometri
(b) Mengurutkan pola berikut ini
X O X O X - ...
.........
c. Korespondensi
1) Tujuan:
Anak/siswa mampu menghubungkan dengan bentuk yang sesuai.
2) Materi: - Menghubungkan gambar dengan bentuk nyata.
- Menghubungkan antara jumlah benda dengan ukuran benda.
3) Alat/Media pembelajaran: kartu gambar,benda kongkrit, miniatur, dan lain-lain.
4) Kegiatan Pembelajaran:
Kegiatan Korespondensi
(a) Sediakan dua gelas , kemudian sediakan satu kancing kecil dan satu kancing yang besar. Masukan
kancing yang kecil ke dalam gelas, kemudian anak diminta nemasukan kancing yang besar ke dalam
gelas, Kemudian tanyakan apakah jumlah kancing-kancing dalam kedua gelas tadi sama.
(b) Sediakan Sejumlah pensil dan buku, kemudian anak diminta untuk menyimpan satu pensil di atas
satu buku
(c) Sediakan kartu bridge dan kartu domino, kemudian anak diminta mencocokan kartu domino
dengan kartu bridge sesuai dengan angka yang ditunjukan oleh tiap kartu .
(d) Anak laki-laki diminta berpasangan dengan perempuan.
(e) Sediakan gambar bentuk geometri, sediakan bentuk-bentuk geometri yang sesuai dengan gambar-
gambar (lingkaran, bujur sangkar, persegi panjang, segitiga, jajaran genjang, belah ketupat. Anak
diminta mencocokan gambar dengan bentukbentuk geometri yang telah disediakan tadi.
(f) Lakukan kegiatan yang menghubungkan lambang bilangan dengan isi/nilainya, misalnya anak
diminta menarik garis dari gambar tiga butir telur ke lambang bilangan yang sesuai. Perhatikan contoh di
bawah ini: Tariklah garis ke gambar yang jumlahnya sesuai!
Atau
d. Konservasi
1) Konservasi isi( conservation of quantity)
a) Tujuan:
Anak/siswa mampu memahami konsep jumlah/isi benda tidak berubah meskipun wadah atau
tempatnya berbeda.
b) Materi: Isi/jumlah tidak berubah
c) Alat/Media pembelajaran: gelas dan air
d) Kegiatan Pembelajaran:
Kegiatan
Sediakan dua buah gelas yang tinggi dan satu gelas yang pendek, isi tiap gelas yang tinggi dengan air
yang sama banyaknya (di hadapan anak) kemudian pindahkan isi pada gelas yang satu kedalam
mangkok.
Guru Apakah air didalam gelas yang tinggi sama banyaknya dengan air yang ada dalam gelas yang
pendek
2). Konservasi jumlah (Conservation of number)
a) Tujuan:
Anak/siswa memahami perubahan posisi tidak merubah nilai
b) Materi: Posisi dan nilai
c) Alat/Media pembelajaran: lidi dan kancing
d) Kegiatan Pembelajaran:
Kegiatan
Sediakan beberapa kancing kemudian susun kancing itu seperti berikut
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Sumber: Homdijah (2004:198).
Jelaskan kepada anak bahwa meskipun posisinya berbeda-beda tetapi jumlah atau ukuranya tetap sama.
e. Evaluasi
Evaluasi harus berpedoman pada tujuan pembelajaran. Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui
kemajuan belajar siswa dan efektifitas pembelajaran. Bentuk evaluasi bagi pembelajaran pra berhitung
ini adalah tes kinerja.
Evaluasi dilakukan dengan cara mengamati dan menilai langsung pekerjaan anak pada setiap tahap
pembelajaran.
Contoh evaluasi:
1. Klasifikasi
a) Kumpulkan/kelompkkan benda ini berdasarkan warna!
b) Kumpulkan benda-benda ini berdasarkan bentuknya!
2. Ordering dan seriasi
a) Urutkanlah mulai dari yang paling pendek hingga yang paling panjang
b) Lengkapilah pola berikut ini!
......................


...................

3. Korespondensi
Tariklah garis ke gambar yang sesuai jumlahnya!
4. Konservasi
Apakah air didalam gelas yang tinggi sama banyaknya dengan air yang ada dalam gelas yang pendek?
Apakah jumlah kancing yang di atas sama dengan jumlah kancing yang ada di bawah?
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya maka dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa
anak tunagrahita sedang masih mampu belajar berhitung yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari
dan menyangkut langsung dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Pembelajaran berhitung bagi anak pada umumnya sudah dianggap sulit apalagi oleh anak tunagrahita
sedang, oleh karena itu dibutuhkan suatu pembelajaran yang bertahap mulai dari pra berhitung sebagai
dasar bagi penguasaan keterampilan berhitung. Melalui pembelajaran pra berhitung, anak tungrahita
sedang akan memperoleh pengalaman nyata sehingga akan tertanam konsep berhitung pada diri
mereka bahwa berhitung itu penting dan berguna bagi kehidupannya.
B. Saran
Melalui saran-saran di bawah ini diharapkan dapat membantu semua pihak dalam rangka meningkatkan
kemampuan pra berhitung anak tunagrahita sedang. Adapun sara-sarannya sebagai berikut:
1. Sebelum melakukan pembelajaran pra berhitung harus dilakukan asesmen terlebih dahulu, agar
diperoleh informasi yang berkaitan dengan kemampuan awal anak dalam pra berhitung.
2. Sumber material atau alat peraga dapat menggunaka benda-benda yang ada di sekitar kita. Guru
dapat membuat alat peraga dari kaleng bekas atau kardus bekas sepat untuk dibuat bentuk-bentuk
geometri (kotak/kubus, silinder, kerucut). Guru juga dapat memanfaatkan biji-bijian yang beri warna
sebagai alat untuk materi mengelompokkan warna atau membilang.
3. Peran orangtua di rumah diharapkan dapat turut terlibat dalam pembelajaran pra berhitung ini.
Orangtua di rumah dapat membimbing anaknya dengan cara mengulang materi pra berhitung yang
diberikan di sekolah. Orangtua menjalin komunikasi dengan guru kelas mengenai perkembangan
kemampuan pra berhitung anaknya dan sekaligus menanyakan cara-cara mengajarkan pra berhitung di
sekolah supaya sejalan dengan cara belajar yag dilakukan di rumah.
4. Semua pihak (guru, orangtua, sekolah) harus aktif dan kreatif dalam mencari jalan keluar tentang
permasalahan berhitung bagi anak tunagrahita sedang ini. Peran aktif guru dan sekolah dapat berupa
kegiatan Kelompok Kerja Guru (KKG) antar sekolah, khususnya Sekolah Luar Biasa (SLB). Dalam kegiatan
itu guru dapat membahas permasalahan belajar yang dialami oleh anak tunagrahita sedang. Peran aktif
orangtua, diantaranya menjalin komunikasi dengan guru dan sekolah untuk membicarakan
perkembangan anaknya serta membangun kerjasama melalui organisasi Persatuan Orangtua Murid dan
Guru (POMG).
DAFTAR PUSTAKA
Alimin, Z. (1996). Pengajaran Remedial Berhitung Pada Anak Berkesulitan Belajar Di Sekolah Dasar.
Makalah Seminar dan Lokakarya Lembaga Penelitian UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Amin, M. (1995). Ortopedagogik Anak Tunagrahita. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud PPTG.
Astati. (2001). Persiapan Pekerjaan Penyandang Tunagrahita. Bandung: C.V. Pendawa
Homdijah, O. (2004). Asesmen Pra-Berhitung Bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Jurnal Jassi Anakku. 3.
(2). 192-199.
McLoughlin-James, A. and Lewis-Rena, B. (1986). Assessing Special Students (second ed.). Ohio USA:
Merril Publishing Company A Bell & Howell Company.
Mercer & Mercer. (1989) Teaching Students with Learning Problems. Third edition. Ohio, USA: Merrill
Publishing Company.
Rochyadi, E. dan Alimin, Z. (2003) Pengembangan Program Pembelajaran Individual Bagi anak
tunagrahita. Jakarta: Depdiknas.
Runtukahu, T. (1996). Pembelajaran Matematika Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Depdikbud Dirjen Dikti:
Jakarta.
Sunardi dan Sunaryo. (2006). Intervensi Dini Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Dirjen Dikti.
Universitas Pendidikan Indonesia. (2007). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI.
Wardani, I.G.A.K., Hernawati, T., Astati. (2007). Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Universitas
Terbuka.

Das könnte Ihnen auch gefallen