0 Bewertungen0% fanden dieses Dokument nützlich (0 Abstimmungen)
759 Ansichten7 Seiten
Obat-obatan antikolinergik seperti atropin dan skopalamin berfungsi sebagai antagonis kompetitif terhadap reseptor kolinergik muskarinik untuk menghambat efek neurotransmitter asetilkolin. Obat-obatan ini memiliki berbagai efek seperti relaksasi otot pernafasan, menurunkan sekresi kelenjar dan menurunkan aktivitas usus dan kandung kemih. Mekanisme kerjanya adalah dengan berikatan pada reseptor muskar
Obat-obatan antikolinergik seperti atropin dan skopalamin berfungsi sebagai antagonis kompetitif terhadap reseptor kolinergik muskarinik untuk menghambat efek neurotransmitter asetilkolin. Obat-obatan ini memiliki berbagai efek seperti relaksasi otot pernafasan, menurunkan sekresi kelenjar dan menurunkan aktivitas usus dan kandung kemih. Mekanisme kerjanya adalah dengan berikatan pada reseptor muskar
Obat-obatan antikolinergik seperti atropin dan skopalamin berfungsi sebagai antagonis kompetitif terhadap reseptor kolinergik muskarinik untuk menghambat efek neurotransmitter asetilkolin. Obat-obatan ini memiliki berbagai efek seperti relaksasi otot pernafasan, menurunkan sekresi kelenjar dan menurunkan aktivitas usus dan kandung kemih. Mekanisme kerjanya adalah dengan berikatan pada reseptor muskar
Obat-obatan antikolinergik secara kompetitif mempunyai efek antagonis
terhadap neurotransmitter asetilkolin pada post ganglionik kolinergik yang ditandai sebagai reseptor muskarinik. Reseptor kolinergik muskarinik terdapat di jantung, kelenjar saliva, dan otot-otot polos dari saluran cerna dan saluran kemih. Asetilkolin juga termasuk neurotransmitter pada reseptor nikotinik post ganglionik yang berlokasi di neuromuskular junnction (NMJ) dan ganglia autonom. Berbeda efeknya pada reseptor muskarinik, dosis biasa dari obat antikolinergik memberikan efek sedikit atau tidak ada efek sama sekali pada reseptor nikotinik kolinergik. Dengan demikian, obat-obat antikolinergik dapat dipertimbangkan untuk menjadi selektif anti muskarinik. Obat-obat antikolinergik seperti atropin dan scopalamine merupakan alkaloid dari tumbuh-tumbuhan belladonna. Semisintetik kongeners dari alkaloid belladonna, digambarkan sebagai glikopirolat, biasanya merupakan derivat- derivat amonium kuaterner. Derivat-derivat amonium kuaterner ini lebih poten daripada senyawa induk sehubungan dengan efek-efek antikolinergik perifer, tetapi mereka memiliki aktivitas CNS yang kurang karena penetrasi ke otak yang buruk. Hubungan antara struktur dan aktivitas Obat-obat antikolinergik (atropin dan scopalamine) merupakan ester yang dibentuk dari kombinasi antara asam mandolic dan basa organik (tropine, scopine atau N-methylated yang merupakan derivat dari atropin). Secara struktur, obat- obat ini menyerupai kokain dan atropin, faktanya, mempunyai efek analgesik yang lemah. Atropin dan Scopalamine terdari dari campuran bagian-bagian yang sama dari isomer dextrorotatory dan levorotatory tetapi mempunyai efek antikolinergik karena berhubungan dengan bentuk levorotatory. Obat-obatan sintetik antikolinergik seperti glikopirolat terdiri dari asam mandelic dan asam tropic. Seperti asetilkolin, obat-obat antikolinergik terdiri dari bagian kation yang mampu berikatan dengan reseptor kolinergik muskarinik. Mekanisme Kerja Obat-obatan antikolinergik berikatan secara reversibel dengan reseptor- reseptor kolinergik muskarinik dan kemudian menghambat jalur masuk dari neurotransmitter asetilkolin. Berbeda efeknya dengan asetilkolin, ikatan antara obat antikolinergik dengan reseptor muskarinik tidak menyebabkan perubahan membran dan berhubungan dengan inhibisi dari adenylate cyclase atau perubahan permeabilitas kalsium yang akan menyebabkan respon-respon kolinergik. Secara antagonis kompetitif, efek dari obat-obat antikolinergik bisa diatasi dengan peningkatan konsentrasi asetilkolin pada reseptor muskarinik. Kloning molekul telah menunjukkan 5 subtipe yang berbeda dari reseptor kolinergik muskarinik yang ditandai dengan M1 sampai M5, dengan tiap-tiap subtipe dikode oleh gen-gen seluler yang berbeda. Terdapat distribusi jaringan yang berbeda terhadap masing-masing subtipe ini, dengan reseptor M2 yang terdapat di paru-paru dan jantung dan reseptor M3 pada CNS, otot-otot polos dan jaringan-jaringan kelenjar. Reseptor M4 dan M5 pada CNS. Obat-obat antikolinergik membuat relaksasi pernafasan dengan menghambat reseptor-reseptor muskarinik M2 dan M3 pada otot polos saluran pernafasan. Pelepasan asetilkolin dari saraf-saraf parasimpatis meningkat sewaktu eksaserbasi asma dan intubasi endotrakea. Reseptor M3 pada bronkial menyebabkan bronkokonstriksi yang diinduksi akibat efek agonis dari muskarinik. Dimana reseptor M2 mengantagonis reseptor beta-adrenergik sehingga menyebabkan bronkodilatasi melalui inhibisi terhadap aktivitas adenylyl cyclase. Vasodilatasi vaskular disebabkan oleh asetilkolin yang dimediasi secara predominan oleh reseptor M3 yang berlokasi pada permukaan luminal sel-sel endotel. Stimulasi dari reseptor-reseptor ini diikuti oleh pelepasan nitric oxide dan vasodilatasi. Reseptor M3 pada jantung berlokasi di jaringan-jaringan konduksi jantung, seperti nodus SA dan nodus AV dan serat purkinje, tetapi sangat jarang berada di otot-otot ventrikel. Hipoksia kronik meningkatkan densitas reseptor M2 pada ventrikel jantung. Terdapat bukti bahwa edrophonium berikatan dengan reseptor M2 dan M3 secara nonselektif dan berperan sebagai antagonis kompetitif terhadap asetilkolin. Reseptor muskarinik merupakan contoh reseptor-reseptor G protein- coupled yang juga bergantung kepada second-messenger coupling. Reseptor- reseptor M1,M3, dan M5 mengaktivasi protein G, menyebabkan stimulasi phospolipase C dan mobilisasi kalsium. Reseptor-reseptor M2 dan M4 mengaktivasi protein G yang menyebabkan inhibisi adenylyl cyclase dan inhibisi terhadap calcium channel. Bukti adanya efek terhadap reseptor kolinergik muskarinik berdasarkan pada sensitivitas potensi dari obat-obat antikolinergik. Sebagai contoh, reseptor kolinergik muskarinik (reseptor M3) yang mengontrol sekresi saliva dan bronkial diinhibisi oleh dosis rendah dari obat-obat antikolinergik yang diperlukan untuk menginhibisi reseptor-reseptor yang meningkatkan efek asetilkolin pada jantung dan mata (reseptor M2). Bahkan dosis yang lebih tinggi pada obat-obat antikolinergik menginhibisi efek kolinergik dari saluran pencernaan dan saluran kemih, yang menyebabkan pengurangan tonus dan motilitas dari usus dan mengurangi miksi. Tetapi tetap saja dosis tinggi dari obat- obat antikolinergik diperlukan untuk menginhibisi sekresi gastric pada ion-ion hidrogen (reseptor M1). Sebagai hasilnya, dosis antikolinergik yang menginhibisi sekresi gastric pada ion hidrogen selalu mempengaruhi sekresi saliva, denyut jantung, akomodasi mata, dan miksi. Urutan efek terhadap aktivasi dari reseptor kolinergik muskarinik sama untuk semua obat antikolinergik. Contoh perbedaan potensi antikolinergik diantara obat-obatnya, scopalamine mempunyai efek okular dan antisialagogue yang lebih bagus daripada atropin. Dosis intramuskular untuk efek antisialagogue 10-20 ug/kg untuk atropin dan 5-8 ug/kg untuk glikopirolat dan sekitar 5 ug/kg untuk scopalamine. Atropin mempunyai efek antikolinergik yang lebih baik pada jantung, otot polos bronkial dan saluran pencernaan dibandingkan dengan scopalamine. Glikopirolat meningkatkan konsumsi metabolisme oksigen, dimana atropin tidak mempunyai efek dan scopalamine mempunyai efek menurunkan. Atropin, scopalamine dan glikopirolat tidak dibedakan diantara reseptor- reseptor M1,M2, dan M3, kecuali mereka berperan sebagai selektif antagonis kompetitif terhadap asetilkolin pada semua reseptor muskarinik. Dapat dibayangkan bahwa obat antikolinergik mampu berperan sebagai selektif antagonis pada subtipe tertentu dari reseptor muskarinik yang membuat respon fisiologis unik seperti sekresi ion hidrogen pada sel-sel parietal gaster. Selektif antagonis terhadap reseptor M2, jika bisa, akan sangat berguna untuk pencegahan dan pengobatan bradikardia akibat stimulasi parasimpatis nervous system. Bukti bahwa obat-obat antikolinergik bukan sepenuhnya antagonis reseptor kolinergik muskarinik adalah melalui observasi terhadap dosis kecil atropin, scopalamine dan glikopirolat yang menyebabkan perlambatan denyut jantung. Spekulasi sebelumnya bahwa perlambatan denyut jantung setelah administrasi atropin yang mengakibatkan reflek sentral vagal tidak didukung oleh adanya perlambatan denyut jantung akibat respon masuknya obat glikopirolat, yang dimana tidak gampang menembus sawar darah otak. Walaupun, perlambatan denyut jantung sepertinya akibat dari adanya blok terhadap reseptor M1 pada presipnatik ujung saraf vagus, dimana biasanya memberikan feedback negatif terhadap pelepasan asetilkolin. Efek ini meningkatkan pelepasan asetilkolin yang melampaui efek blok muskarinik pada reseptor M2 pada nodus SA. Atropin tidak mempunyai efek pada denyut jantung. Sebagai tambahan, efek tidak langsung dari obat-obat antikolinergik dapat terjadi akibat adanya gangguan terhadap obat-obat ini yang ditandai dengan inhibisi terhadap pelepasan norepinephrine endogen. Efek tidak langsung ini dapat bermanifestasi sebagai efek simpatometik dari atropin. Farmakokinetik Absorbsi oral yang larut lemak dari obat-obat antikolinergik tidak cukup diprediksi sebagai rekomendasi dari administrasi oral pada perioperative. Administrasi intramuskular atau intravena paling sering digunakan. Atropin intravena mempunyai onset kerja sekitar 1 menit dan mempunyai durasi kerja 30- 60 menit, dimana IV glikopirolat mempunyai onset kerja (2-3 menit) dan mempunyai durasi kerja yang sama dengan atropin. Atropin dan Scopalamine adalah amin yang larut lemak yang gampang berpenetrasi ke sawar darah otak. Sebaliknya glikopirolat mempunyai kemampuan yang lemah untuk berpenetrasi ke sawar darah otak untuk menghasilkan efek CNS. Absorbsi glikopirolat setelah injeksi IM sangat cepat (konsentrasi plasma maksimum dalam 16 menit) dan sebanding dengan atropin. Eliminasi glikopirolat dari plasma lebih cepat dibandingkan dengan atropin (eliminasi half-time sekitar 1,25 jam pada glikopirolat dibanding 2,3 jam pada atropin), dan sekitar 80% dari glikopirolat diekskresi tetap sama pada urin. Bentuk dari tropine dan asam tropic menggambarkan hidrolisis metabolit inaktif dari atropin. Jumlah minimal dari atropin biasanya dihancurkan pada plasma manusia, sedangkan beberapa hewan, diantaranya kelinci, mempunyai enzim plasma yang spesifik, atropine esterase, yang mampu menghidrolisis atropin. Sebaliknya, scopalamine dihancurkan hampir seluruhnya di dalam tubuh, dengan hanya sekitar 1% bentuknya tetap sama pada urin. Eliminasi glikopirolat pada plasma sangat memanjang pada pasien-pasien uremik dibandingkan dengan pasien-pasien yang tidak uremik. Manfaat Klinis Obat-obat antikolinergik digunakan dalam berbagai macam kondisi klinis dan situasi. Akan tetapi, kurangnya selektivitas obat-obat ini membuat sulit untuk mendapatkan respon terapi yang diinginkan tanpa adanya efek samping obat. Penggunaan yang paling penting dari obat-obat antikolinergik pada pasca operasi adalah sebagai : a) obat pasca operasi b) terapi bradikardia dan c) kombinasi dengan obat-obat anticholinesterase sebagai antagonis terhadap obat-obat yang memblok neuromuscular yang nondepolarisasi. Penggunaan yang lebih jarang dari obat-obat antikolinergik meliputi : a) bronkodilatasi b) relaksasi otot polos ureter dan empedu c) produksi midriasis dan cicloplegia d) antagonis sekresi ion hidrogen gaster oleh sel parietal e) pencegahan mual yang dicetuskan oleh pergerakan. Obat pascaoperasi Atropin dimasukkan secara IM sebelum pemberian anastesi adalah untuk melindungi jantung dari refleks vagal dan sebagai pencegahan sekresi saliva secara berlebih. Saat ini inhalasi dan injeksi dari obat-obat anastesi tidak berhubungan dengan efek-efek ini dan tidak wajib untuk memberikan obat-obat antikolinergik sebagai obat pascaoperasi. Ketika obat antikolinergik diberikan sebagai obat pasca terapi, efek yang paling diingankan adalah sebagai sedasi atau efek antisialagogue. Obat-obat antikolinergik pada dosis tradisional yang digunakan sebagai obat pascaoperasi pada orang dewasa tidak mempengaruhi pH atau volume cairan lambung. Pasien dengan glaukoma membutuhkan pertimbangan khusus dalam menggunakan obat antikolinergik sebgai obat pascaoperasi. Sebagai contohnya, efek midriasis dari scopalamine lebih besar daripada atropin, memperingatkan pemberian scopalamine pada pasien-pasien dengan glaukoma. Atropin 0,4 mg IM atai 1 mg IV, diberikan sebagai obat antikolinergik tampaknya aman karena efeknya sedikit atau tidak ada pada ukuran pupil. Glikopirolat mempunyai efek yang lebih sedikit pada ukuran pupil dari semua obat antikolinergik sebagai obat pascaoperasi. Atropin dan scopalamine dapat melewati plasenta, tetapi denyut jantung fetus tidak berubah secara signifikan setelah pemberian IV. Sedasi Scopalamine merupakan pilihan ketika sedasi merupakan tujuan dalam pemberian obat antikolinergik sebagai obat pascaoperasi. Memang, scopalamine sekitar 100x lebih poten daripada atropin dalam mengurangi sistem aktivasi retikular. Scopalamine, sebagai tambahan untuk menekan korteks serebri, juga mempengaruhi area lain di dalam otak, menyebabkan amnesia. Dosis tipikal untuk scopalamine (0,3 0,5 mg IM) biasanya menyebabkan sedasi, dimana dosis yang sama pada atropin menghasilkan efek CNS yang minimal. Namun demikian, atropin telah dihubungkan sebagai peningkatan kejadian defisit memori setelah anestesi dibandingkan dengan glikopirolat. Selanjutnya, efek 30 menit pertama setelah pemberhentian anestesi menjadi lama akibat pemberian gabungan atropin- neostigmine tetapi bukan pada glikopirolat-neostigmine, yang digunakan sebagai antagonis terhadap efek obat nondepolarisasi blok neuromuskular. Scopalamine juga sangat meningkatkan efek sedatif dari pemberian obat secara bersamaan, terutama opiod dan benzodiazepine. Memang, kombinasi dari morfin dan scopalamine difavoritkan oleh kebanyakan anestesiolog karena efek sedasinya sebagai obat pascaoperasi. Glikopirolat, dimana tidak gampang melewati sawar darah otak, tidak memiliki efek sedasi. Kadang-kadang, efek terhadap CNS dari obat antikolinergik, terutama scopalamine, menyebabkan gejala yang berkisar dari gejala kegelisahan sampai somnolen. Gejala-gejala ini, lebih sering terjadi pada pasien-pasien yang tua dan harus dipertimbangkan bahwa akan terjadi agitasi atau perlambatan bangun sewaktu anastesi pada periode pascaoperasi. Anastesi inhalasi dapat memberikan efek obat antikolinergik pada CNS, menyebabkan peningkatan kejadian somnolen atau gejala kegelisahan pada pasien post operasi. Physotigmine efektif dalam menghilangkan gejala gelisah dan somnolen karena efek tersier dari obat-obat amine antikolinergik terhadap CNS. Efek antisialagogue Scopalamine diperkirakan tiga kali lebih poten dibandingkan dengan atropin.