Sie sind auf Seite 1von 20

1

BRONKITIS
A. DEFINISI
Bronkitis merupakan proses keradangan pada bronkus dengan manifestasi utama
berupa batuk, yang dapat berlangsung secara akut maupun kronis. Proses ini dapat
disebabkan karena perluasan dari proses penyakit yang terjadi dari saluran napas maupun
bawah.
Berdasarkan waktu berlangsungnya penyakit, bronkitis akut berlangsung kurang
dari 6 minggu dengan rata-rata 10-14 hari, sedangkan bronkitis kronis berlangsung lebih
dari 6 minggu. Secara umum keluhan pada bronkitis kronis dan bronkitis akut hampir
sama, hanya saja keluhan pada bronkitis kronis cenderung lebih berat dan lebih lama. Hal
ini dikarenakan pada bronkitis kronis terjadi hipertrofi otot-otot polos dan kelenjar serta
berbagai perubahan pada saluran pernapasan. Secara klinis, bronkitis kronis merupakan
penyakit saluran pernapasan yang ditandai dengan batuk berdahak sedikitnya 3 bulan
dalam setahun selama 2 tahun berturut-turut (Knutson and Braun, 2002).

B. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, belum ada angka morbiditas bronkitis kronis, kecuali di rumah sakit
sentra pendidikan. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat (National Center for Health
Statistics) diperkirakan sekitar 4% dari populasinya didiagnosa bronkitis kronis. Angka
inipun diduga masih di bawah angka morbiditas yang sebenarnya karena bronkitis kronis
yang tidak terdiagnosis. Bronkitis akut merupakan kejadian yang paling umum dalam
pengobatan rawat jalan, berkontribusi terhadap sekitar 2,5 juta kunjungan ke dokter di AS
pada 1998. Di Amerika Serikat, biaya pengobatan untuk bronkitis akut sangat besar;
untuk setiap episode, pasien menerima rata-rata dua resep untuk digunakan 2-3 hari.
Bronkitis kronis dapat dialami oleh semua ras tanpa ada perbedaan. Frekuensi
angka morbiditas bronkitis kronis lebih kerap terjadi pada pria dibanding wanita. Hanya
saja hingga kini belum ada angka perbandingan yang pasti. Usia penderita bronkitis
kronis lebih sering dijumpai di atas 50 tahun.

2

C. ETIOLOGI
Secara umum penyebab bronkitis dapat dibagi berdasarkan faktor lingkungan dan
faktor host/penderita. Penyebab bronkitis berdasarkan faktor lingkungan meliputi polusi
udara, merokok dan infeksi. Infeksi sendiri terbagi menjadi infeksi bakteri
(Staphylococcus, Pertusis, Tuberculosis, mikoplasma), infeksi virus (RSV, Parainfluenza,
Influenza, Adeno) dan infeksi fungi (monilia). Faktor polusi udara meliputi polusi asap
rokok atau uap/gas yang memicu terjadinya bronkitis. Sedangkan faktor penderita
meliputi usia, jenis kelamin, kondisi alergi dan riwayat penyakit paru yang sudah ada
(Setiawati, Makmuri dan Asih, 2006).
Berdasarkan penyebabnya bronkitis dibagi menjadi dua yaitu bronkitis infeksiosa
dan bronkitis iritatif.
1. Bronkitis infeksiosa
Bronkitis infeksiosa disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus, terutama Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia. Serangan bronkitis berulang bisa terjadi pada perokok
dan penderita penyakit paru dan saluran pernapasan menahun. Infeksi berulang bisa
merupakan akibat dari:
Sinusitis kronis
Bronkiektasis
Alergi
Pembesaran amandel dan adenoid pada anak-anak
2. Bronkitis iritatif
Bronkitis iritatif adalah bronkitis yang disebabkan alergi terhadap sesuatu yang dapat
menyebabkan iritasi pada daerah bronkus. Bronkitis iritatif bisa disebabkan oleh
berbagai jenis debu, asap dari asam kuat, amonia, beberapa pelarut organik klorin,
hidrogen sulfida, sulfur dioksida dan bromine, polusi udara yang menyebabkan iritasi
ozon dan nitrogen dioksida, tembakau dan rokok lainnya. Faktor etiologi utama
adalah zat polutan (Rahmadani dan Marlina, 2011).

D. PATOFISIOLOGI
Mekanisme patofisiologik yang bertanggung jawab terhadap bronkitis kronis
sangat kompleks, berawal dari stimulasi toksik pada saluran pernapasan menimbulkan 4
hal yang meliputi inflamasi saluran pernapasan, hipersekresi mukus, disfungsi silia dan
3

stimulasi refleks vagal saling mempengaruhi dan berinteraksi menimbulkan suatu proses
yang sangat kompleks.


Gambar 1. Skema Patofisiologi Bronkitis

Perubahan struktur pada paru menimbulkan perubahan fisiologik yang merupakan
karakteristik bronkitis kronis seperti batuk kronik, produksi sputum, obstruksi saluran
napas, gangguan pertukaran gas, hipertensi pulmonal dan kor-pulmonale.
Akibat perubahan bronkiolus dan alveoli terjadi gangguan pertukaran gas yang
menimbulkan dua masalah serius, yaitu:
1. Aliran darah dan udara ke dinding alveoli yang tidak sesuai (mismatched).
Sebagian tempat pada alveoli terdapat aliran darah yang adekuat tetapi sangat
sedikit aliran udara pada sebagian tempat lain di arah sebaliknya.
2. Performa yang menurun dari pompa respirasi terutama otot-otot respirasi
sehingga terjadi overinflasi dan penyempitan jalan napas, menimbulkan
hipoventilasi dan tidak cukupnya udara ke alveoli menyebabkan CO
2
darah
meningkat dan O
2
dalam darah berkurang.
Temuan utama pada bronkitis adalah hipertropi kelenjar mukosa bronkus dan
peningkatan jumlah sel goblet dengan infiltrasi sel-sel radang dan edema pada mukosa sel
bronkus. Pembentukan mukosa yang meningkat mengakibatkan gejala khas yaitu batuk
produktif. Produksi mukus yang terus menerus mengakibatkan melemahnya aktifitas silia
dan faktor fagositosis dan melemahkan mekanisme pertahanannya sendiri.
4

Pada penyempitan bronkial lebih lanjut terjadi akibat perubahan fibrotik yang terjadi
dalam saluran napas (Rahmadani dan Marlina, 2011).

E. GEJALA
Gejala umum bronkitis akut maupun bronkitis kronis adalah:
Batuk, kadang menjadi batuk mengi
Terdapat sputum yang bening, putih atau hijau-kekuningan
Merasa lelah dan lesu
Demam ringan
Merasa tidak nyaman pada bagian dada (Cunha, 2012; Harms, 2011).
Pada bronkitis akut, batuk terjadi selama beberapa minggu. Seseorang didiagnosis
bronkitis kronis ketika mengalami batuk berdahak selama paling sedikit tiga bulan selama
dua tahun berturut-turut. Pada bronkitis kronis mungkin saja seorang penderita
mengalami bronkitis akut di antara episode kronisnya, dan batuk mungkin saja hilang
namun akan muncul kembali (Harms, 2011).

5


F. PENATALAKSANAAN

Gambar 2. Algoritma Terapi Bronkitis
6

1. TERAPI FARMAKOLOGI
A.Antibiotika
a. Penicilin
Mekanisme kerja antibiotik golongan penisilin adalah dengan perlekatan pada protein
pengikat penisilin yang spesifik (PBPs) yang berlaku sebagai reseptor pada bakteri,
penghambatan sintesis dinding sel dengan menghambat transpeptidasi dari peptidoglikan,
dan pengaktifan enzim autolitik di dalam dinding sel, yang menghasilkan kerusakan
sehingga akibatnya bakteri mati. Antibiotik golongan penisilin yang biasa digunakan
adalah amoksisilin.
Amoksisilin
Indikasi: pengobatan otitis media, sinusitis, dan infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme mencakup infeksi saluran pernafasan atas dan bawah, infeksi kulit, ISK,
profilaksis pada infeksi endokarditis, eradikasi H.pylori
Kontraindikasi: hipersensitif terhadap amoksisilin, penisilin, beta-laktam yang lainnya.
Dosis: bayi<3 bulan:oral: 20-30mg/kg/hari setiap 12 jam. Anak>bulan dan BB<40kg:
oral:20-50kg/kg/hari setiap 8-12 jam. Anak-anak >12 tahun, oral: extended release tablet
775 mg setiap hari. Dewasa:oral;250-500mg setiap 8 jam.
ROTD: sistem syaraf pusat: agitasi, anxietas, sakit kepala, isomnia. Gastointestinal:
diare, kolitis hemorhagic, dan nausea. Darah: agranulosit, anemia, leukopenia,
trombositopenia. Hati: peningkatan ALT, peningkatan AST. Renal: kristaluria.
Interaksi obat: amoksilin dapat meningkatkan level/efek dari metroreksat. Dapat
menurunkan level/efek dari dari vaksin tiphoid.
Farmakokinetik/farmakodinamik: absorbsi, oral: hampir sempurna, distribusi: secara
luas melalui cairan tubuh dan tulang., ikatan protein: 17%-20%, Eksresi: melalui urin.

Nama Obat Amoksisilin / Koamoksiklav
Dosis Dewasa 3x250-500mg / 2x1000mg
Dosis Anak 25-50mg/kg/hari dalam 3 dosis terbagi
Kontraindikasi Alergi terhadap penicillin, amoksisilin.
Efek Samping Obat mual, muntah, diare, anemia hemolitik, thrombocytopenia
Interaksi tetrasiklin dan Kloramfenikol mengurangi aktifitas amoksisilin
Kehamilan -
Monitoring tanda-tanda infeksi, tanda anafilaksis pada dosis pertama. Pada
7

pemakaian jangka panjang monitoring fungsi liver
Perhatian penggunaan jangka panjang dapat memicu superinfeksi
Informasi untuk pasien Obat diminum sampai seluruh obat habis, meskipun kondisi
klinik membaik sebelum obat habis

b. Quinolon
Golongan quinolon merupakan antimikrobial oral memberikan pengaruh yang
dramatis dalam terapi infeksi. Dari prototipe awal yaitu asam nalidiksat berkembang
menjadi asam pipemidat, asam oksolinat, cinoksacin, norfloksacin. Generasi awal
mempunyai peran dalam terapi gram-negatif infeksi saluran kencing. Generasi berikutnya
yaitu generasi kedua terdiri dari pefloksasin, enoksasin, ciprofloksasin, sparfloksasin,
lomefloksasin, fleroksasin dengan spektrum aktifitas yang lebih luas untuk terapi infeksi
community-acquired maupun infeksi nosokomial. Lebih jauh lagi ciprofloksasin,
ofloksasin, peflokasin tersedia sebagai preparat parenteral yang memungkinkan
penggunaannya secara luas baik tunggal maupun kombinasi dengan agen lain.
Mekanisme kerja golongan quinolon secara umum adalah dengan menghambat DNA-
gyrase. Aktifitas antimikroba secara umum meliputi, Enterobacteriaceae, P. aeruginosa,
srtaphylococci, enterococci, streptococci. Aktifitas terhadap bakteri anaerob pada
generasi kedua tidak dimiliki. Demikian pula dengan generasi ketiga quinolon seperti
levofloksasin,gatifloksasin, moksifloksasin. Aktifitas terhadap anaerob seperti B. fragilis,
anaerob lain dan Gram-positif baru muncul pada generasi keempat yaitu trovafloksacin.
Modifikasi struktur quinolon menghasilkan aktifitas terhadap mycobacteria sehingga
digunakan untuk terapi TB yang resisten, lepra, prostatitis kronik, infeksi kutaneus kronik
pada pasien diabetes.
Profil farmakokinetik quinolon sangat mengesankan terutama bioavailabilitas yang
tinggi, waktu paruh eliminasi yang panjang. Sebagai contoh ciprofloksasin memiliki
bioavailabilitas berkisar 50-70%, waktu paruh 3-4 jam, serta konsentrasi puncak sebesar
1,51-2,91 mg/L setelah pemberian dosis 500mg. Sedangkan Ofloksasin memiliki
bioavailabilitas 95-100%, dengan waktu paruh 5-8 jam, serta konsentrasi puncak 2-3mg/L
paska pemberian dosis 400mg. Perbedaan di antara quinolon di samping pada spektrum
aktifitasnya, juga pada profil tolerabilitas, interaksinya dengan teofilin, antasida, H2-
Bloker,antikolinergik, serta profil keamanan secara umum. Resistensi merupakan masalah
yang menghadang golongan quinolon di seluruh dunia karena penggunaan yang luas.
8

Spesies yang dilaporkan banyak yang resisten adalah P. aeruginosa, beberapa
streptococci, Acinetobacter spp, Proteus vulgaris, Serratia spp.
Nama Obat Ciprofloksasin

Dosis Dewasa ISPA bawah: 2 x500-750 mg selama 7-14 hari
Sinusitis akut: 2x500 mg selama 10 hari

Dosis Anak
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap ciprofloksasin atau terhadap
quinolon lain

Efek Samping Obat Alergi: rash
Nefrotoksisitas: Acute Interstitial Nephritis, insiden < 1%


Interaksi Meningkatkan kadar ciklosporin, teofilin, warfarin.
Mengurangi kadar ciprofloksasin bila diberikan bersama
dengan antasida, sukralfat,antineoplastik

Kehamilan C
Monitoring Kadar teofilin, cyclosporine dalam plasma bila
ciprofloksasin dikombinasi kan dengan obat tersebut.


Perhatian Tidak direkomendasikan pada anak<18th karena dapat
menyebabkan atropati pada anak , stimulasi SSP
berupa tremor, konfusi; penggunaan lama dapat
menyebabkan superinfeksi, inflamasi dan atau rupture
tendon. Bila muncul tanda alergi termasuk anafilaksis
segera stop terapi.


c. Makrolida
Eritromisin merupakan prototipe golongan ini sejak ditemukan pertama kali th 1952.
Komponen lain golongan makrolida merupakan derivat sintetik dari eritromisin yang
struktur tambahannya bervariasi antara 14-16 cincin lakton. Derivat makrolida tersebut
terdiri dari spiramysin, midekamisin, roksitromisin, azitromisin dan klaritromisin.
Aktifitas antimikroba golongan makrolida secara umum meliputi Gram positif coccus
seperti Staphylococcus aureus, coagulase-negatif staphylococci, streptococci -hemolitik
9

dan Streptococcus spp. lain,enterococci, H. Influenzae, Neisseria spp, Bordetella spp,
Corynebacterium spp, Chlamydia, Mycoplasma, Rickettsia dan Legionella spp.
Azitromisin memiliki aktifitas yang lebih poten terhadap Gram negatif, volume
distribusi yang lebih luas serta waktu paruh yang lebih panjang. Klaritromisin memiliki
fitur farmakokinetika yang meningkat (waktu paruh plasma lebih panjang, penetrasi ke
jaringan lebih besar) serta peningkatan aktifitas terhadap H. Influenzae, Legionella
pneumophila. Sedangkan roksitromisin memiliki aktifitas setara dengan eritromisin,
namun profil farmakokinetiknya mengalami peningkatan sehingga lebih dipilih untuk
infeksi saluran pernapasan. Hampir semua komponen baru golongan makrolida memiliki
tolerabilitas, profil keamanan lebih baik dibandingkan dengan eritromisin. Lebih jauh lagi
derivat baru tersebut bisa diberikan satu atau dua kali sehari, sehingga dapat
meningkatkan kepatuhan pasien.
Nama Obat Eritromisin
Dosis Dewasa 2-4 x 250-500mg/kg

Dosis Anak bayi dan anak: 30-50 mg/kg terbagi 3-4 dosis. Dosis dapat
dilipat gandakan pada infeksi berat

Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap eritromisin, pasien dengan
riwayat penyakit hati (khusus bagi eritromisin estolat),
gagal hati, penggunaan bersama preparat ergotamine,
cisapride, astemizol


Efek Samping Obat 10-15%: mual, muntah, rasa terbakar pada lambung:
bersifat reversibel, biasanya terjadi setelah 5-7 hari
terapi, insiden
Ototoksisitas: terjadi pada dosis tinggi disertai gagal hati
ataupun ginjal
Cholestatic Jaundice: Umum terjadi pada garam estolat
dari eritromisin.


Interaksi Meningkatkan aritmia bila diberikan dg astemizole,
cisapride, gatifloksasin, moksifloksasin,sparfloksasin,
thioridazine.
Meningkatkan kadar plasma benzodiazepine, alfentanil,
carbamazepin, CCB, clozapin, cilostazol, digoksin,
bromokriptin, statin, teofilin,warfarin,neuromuskulerbloking
Flukonazol meningkatkan kadar plasma klaritromisin

10

Kehamilan B

Monitoring -

Perhatian -
Informasi untuk pasien Diberikan 2 jam sebelum makan atau sesudah makan,
untuk sirup kering simpan di refrigerator setelah
dicampur, buang sisa sirup bila lebih dari 10 hari.


Nama Obat Azitromisin
Dosis Dewasa ISPA: 1x500mg hari pertama, diikuti 1x250mg pada hari kedua
sampai kelima
Dosis Anak Anak> 6 bln:
CAP: 10mg/kg pada hari I diikuti 5mg/kg/hari sekali
sehari sampai hari kelima
Otitis media: 1x30mg/kg;
10mg/kg sekali sehari selama 3 hari
Anak>2th :
Faringitis,Tonsilitis: 12mg/kg/hari selama 5 hari

Kontraindikasi
Efek Samping Obat 1-10%: sakit kepala, rash, diare, mual,muntah

Interaksi Meningkatkan aritmia bila diberikan dg astemizole,
cisapride, gatifloksasin, moksifloksasin,sparfloksasin,
thioridazine.
Meningkatkan kadar plasma benzodiazepine, alfentanil,
carbamazepin, CCB, clozapin, cilostazol, digoksin,
bromokriptin, statin, teofilin,warfarin,neuromuskulerbloking
Flukonazol meningkatkan kadar plasma klaritromisin

Kehamilan B
Monitoring Tanda infeksi, fungsi liver

Perhatian Gunakan secara hati-hati pada pasien dengan riwayat
hepatitis,disfungsi hepar, disfungsi ginjal. Uji efektivitas
dan keamanan belum pernah dilakukan pada bayi < 6
bulan dengan otitis media, CAP atau pada anak < 2
tahun dengan faringitis/tonsillitis.

Informasi untuk pasien Obat diminum bersama makanan untuk mengatasi efek
11

samping terhadap saluran cerna. Jangan minum
antasida bersama obat ini.


Nama Obat Klaritromisin
Dosis Dewasa 2x250-500mg selama 10 -14 hari (ISPA atas)
2x250-500mg selama 7-14 hari (ISPA bawah)

Dosis Anak Anak>6 bln: 15mg/kg/hari dlm 2 dosis terbagi selama 10
hari

Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap eritromisin maupun makrolida
yang lain

Efek Samping Obat 1-10%: sakit kepala, rash, diare,
mual,muntah,meningkatkan BUN, meningkatkan
prothrombin time diare,

Interaksi Meningkatkan aritmia bila diberikan dg astemizole,
cisapride, gatifloksasin, moksifloksasin,sparfloksasin,
thioridazine.
Meningkatkan kadar plasma benzodiazepine, alfentanil,
carbamazepin, CCB, clozapin, cilostazol, digoksin,
bromokriptin, statin, teofilin,warfarin,neuromuskulerbloking
Flukonazol meningkatkan kadar plasma klaritromisin

Kehamilan Ekskresi ke ASI tidak diketahui, gunakan dg hati-hati

Monitoring Tanda infeksi, diare, gangguan sluran cerna.


Perhatian Perlu dilakukan penyesuaian dosis pada pasien gagal
ginjal. Uji efektivitas dan keamanan belum pernah
dilakukan pada bayi< 6 bulan.

Informasi untuk pasien Diminum bersama makanan


Nama Obat Levofloksasin
Dosis Dewasa Eksaserbasi Bronkhitis kronik: 1x500mg selama 5 hari
Sinusitis akut: 1 x500mg selama 10 hari
CAP: 1x500mg selama 7-14 hari
12


Dosis Anak -

Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap levofloksasin maupun
quinolon lain

Efek Samping Obat 3-10%: sakit kepala, pusing,mual, diare, reaksi alergi,
reaksi anafilaktik,angioneurotik oedema,
bronkhospasme, nyeri dada

Interaksi Hindari pemberian bersamaan dg eritromisin,cisapride,
antipsikotik,antidepressant karena akan
memperpanjang kurva QT pada rekaman
EKG.Demikian pula hindari pemberian bersama betabloker,
amiodarone karena menyebabkan
bradikardi.Hindari pemberian bersama insulin, karena
akan merubah kadar glukosa.Meningkatkan perdarahan
bila diberikan bersama warfarin.Meningkatkan kadar
digoksin.

Kehamilan C

Monitoring Evaluasi lekosist & tanda infeksi lainnya, kemungkinan
kristaluria, fungsi organ (ginjal, liver, mata) secara
periodik.


Perhatian Gunakan secara hati-hati pada pasien dengan epilepsi,
karena dapat memperparah kejang; gunakan hati-hati
pada pasien dengan gagal ginjal.

Informasi untuk pasien Obat diminum 1-2 jam sebelum makan. Jangan
diminum bersamaan dengan antasida. Anda dapat
mengalami fotosensitifitas oleh karena itu gunakan
sunscreen, pakaian protektif untuk menghindarinya.
Laporkan bila ada diare, palpitasi, nyeri dada, gangguan
saluran cerna, mata atau kulit menjadi kuning, tremor.


d. Cefalosporin
Merupakan derivat -laktam yang memiliki spektrum aktifitas bervariasi tergantung
generasinya. Saat ini ada empat generasi cefalosporin, seperti tertera pada tabel berikut:
13


Mekanisme kerja golongan cefalosporin sama seperti -laktam lain yaitu berikatan
dengan penicilin protein binding (PBP) yang terletak di dalam maupun permukaan
membran sel sehingga dinding sel bakteri tidak terbentuk yang berdampak pada kematian
bakteri.
Cefotaksim pada generasi tiga memiliki aktifitas yang paling luas di antara
generasinya yaitu mencakup pula Pseudominas aeruginosa, B. Fragilis meskipun lemah.
Cefalosporin yang memiliki aktifitas yang kuat terhadap Pseudominas aeruginosa adalah
ceftazidime setara dengan cephalosporin generasi keempat, namun aksinya terhadap
bakteri Gram positif lemah, sehingga sebaiknya agen ini disimpan untuk mengatasi
infeksi nosokomial yang melibatkan pseudomonas. Spektrum aktifitas generasi keempat
sangat kuat terhadap bakteri Gram positif maupun negatif, bahkan terhadap Pseudominas
aeruginosa sekalipun, namun tidak terhadap B. fragilis.


14

B. Bronkodilator
Bronkodilator mempunyai aksi merelaksasi otot-otot polos pada saluran pernafasan.
Ada tiga jenis bronkodilator yaitu : Simpatomimetika, metilsantin, antikolinergik.
a. Beta 2 agonis (Simpatomimetika)
Obat-obat simpatomimetik merupakan obat yang mempunyai aksi serupa dengan
aktivitas simpatis. Sistem saraf simpatis memegang peranan penting dalam menentukan
ukuran diameter bronkus. Ujung saraf simpatis yang menghasilkan norephinepherin,
epinefrin dan isoproterenol disebut adrenergik (Dipiro, et al., 2008).
Adrenergik memiliki dua reseptor yaitu alfa dan beta. Reseptor beta terdiri beta 1
dan beta 2. Beta 1 adrenergik terdapaat pada jantung, beta 2 adrenergik terdapat pada
kelenjar dan otot halus bronkus. Adrenergic menstimulasi reseptor beta 2 sehingga terjadi
bronkodilatasi (Dipiro, et al., 2008).
Mekanisme obat simpatomimetika adalah melalui stimulus reseptor beta 2 pada
bronkus menyebabkan aktivasi adenil siklase. Enzim ini mengubah ATP menjadi cAMP
dengan pembebasan energi yang digunakan untuk proses-proses dalam sel. Meningkatnya
kadar cAMP dalam sel menghasilkan efek bronkodilatasi Obat-obat simpatomimetika
antara lain salbutamol, salmeterol, epinefrin, terbutalin, isoproterenol, dan metaproterenol
(Dipiro, et al., 2008).
1) Short-Acting 2-Agonists (SABA)

2
agonis merupakan bronkodilator yang efektif. Short-Acting 2-Agonists
merupakan bronkodilator selektif yang diindikasikan untuk penanganan episode
bronkospasmus irregular. Obat ini hanya digunakan jika diperlukan untuk mengatasi
gejala, contoh: albuterol (Dipiro, et al., 2008).
2) Long-Acting 2-Agonists (LABA)
Long-acting inhaled
2
-agonists diindikasikan sebagai terapi untuk tahap 3
sebagai terapi tambahan pada dosis rendah sampai medium dari ICSs dan untuk
tahap 4 dalam kombinasi dengan dosis medium hingga tinggi dari ICSs. (Dipiro, et
al., 2008).
Salbutamol (albuterol)
Dosis dewasa Sehari 3-4 kali 2-4 mg.
Dosis anak Anak > 6 tahun sehari 3-4 kali 2 mg.
Anak 2-6 tahun sehari 3-4 kali 1 mg-2 mg.
Kontra indikasi Tirotoksikosis, hipertiroid, hipersensitif terhadap salbutamol
15

atau simpatomimetik lainnya, dan pengguna beta bloker
Efek samping obat Gemetar, takhikardia, gangguan gastrointestinal
Interaksi Digoxin (salbutamol menurunkan level serum digoxin); diuretic
(salbutamol akan memperburuk penderita hipokalemia); mao
inhibitor (peningkatan efek kardiovaskular); batasi penggunaan
kafein (dapat menyebabkan cns)
Kehamilan Termasuk dalam kategori c
Monitoring
Perhatian Hipertiroidisme, penyakit jantung dan pembuluh darah,
aneurisma, diabetes melitus, glaukoma sudut tertutup. Pasien
yang menggunakan antihipertensi atau anestesi halogen.
Informasi untuk pasien Dikonsumsi pada perut kosong (1 atau 2 jam sebelum/sesudah
makan)

Salmeterol
dosis dewasa 2 kali sehari 2 semprotan.
dosis anak 2 kali sehari 1 semprotan.
kontra indikasi Hipertiroidisme, insufisiensi miokard, aritmia, hipertensi
efek samping obat Serak atau disfonia (gangguan bunyi suara, misal sengau,
parau), iritasi tenggorokan, sakit kepala, kandidiasis mulut dan
tenggorokan, palpitasi (jantung berdebar kencang), gemetar,
bronkhospasme paradoksikal, nyeri sendi.
interaksi penyekat -bloker selektif dan non selektif. Penghambat
CYP450
kehamilan kategori C
monitoring
perhatian Bukan untuk pengobatan gejala-gejala asma akut. Tuberkulosa
paru, gangguan jantung dan pembuluh darah berat, diabetes
melitus, hipokalemia tak diobati, tirotoksikosis. Hamil,
menyusui. Monitor secara teratur kecepatan pertumbuhan anak-
anak pada pengobatan jangka panjang.

Terbutalin
Dosis dewasa Dewasa : 2-3 kali sehari 1-2 tablet.
Dosis anak Anak berusia 7-15 tahun : 2 kali sehari 1 tablet.
Anak berusia 3-7 tahun : 2 kali sehari tablet.
Kontra indikasi Hipertiroidisme, insufisiensi miokard, aritmia, hipertensi.
Efek samping obat Tremor halus terutama tangan, ketegangan saraf, sakit kepala,
vasodilatasi perifer, takikardi (jarang pada pemberian aerosol),
hipokalemia sesudah dosis tinggi, reaksi hipersensitif termasuk
bronkospasma paradoks, urtkaria, dan angio edema. Sedikit rasa
sakit pada tempat injeksi intramuskular
Interaksi Dengan beta blocker (menghambat efek bronkodilatasi)
Kehamilan Termasuk kategori b
Monitoring
Perhatian Hipertiroidisme, diabetes.

16


b. Metilxantin
Teofilin merupakan golongan metil santin yang banyak digunakan, disamping
kafein dan dyphylline. Kafein dan dyphylline kurang poten dibandingkan dengan teofilin.
(Dipiro, et al., 2008).
Obat golongan ini menghambat produksi fosfodiesterase. Dengan penghambatan
ini penguraian cAMP menjadi AMP tidak terjadi sehingga kadat cAMP seluler
meningkat. Peningkatan ini menyebabkan bronkodilatasi. Obat-obat metilsantin antara
lain aminofilin dan teofilin (Dipiro, et al., 2008).
Teofilin
Dosis dewasa 1-2 tablet, 3-4 kali sehari
Dosis anak 1/2-1 tablet, 2 kali sehari
Kontra indikasi infark miokardial
Efek samping obat Kadang-kadang terjadi gangguan saluran pencernaan,
rangsangan berlebihan pada sistem saraf pusat, vertigo, dan
kejang pada dosis tinggi.
Hipersensitifitas.
Interaksi Kadar serum ditingkatkan oleh eritromisin, oleandomisin,
linkomisin, simetidin, dan allopurinol.
Kehamilan Termasuk kategori c
Monitoring
Perhatian Trimester pertama masa hamil.

Aminofilin
Dosis dewasa 1 tablet 2 kali sehari
Dosis anak
Kontra indikasi hipersensitifitas terhadap derivate xantin
Efek samping obat Gangguan saluran pencernaan, takhikardia, berdebar, &
gemetar.
Interaksi klirens Teofilin dikurangi oleh Eritromisin dan makrolida
lainnya, dan Simetidin.
Kehamilan Termasuk kategori c
Monitoring
Perhatian Pasien dengan penyakit jantung berat, hipoksemia (keadaan
kadar oksigen darah yang menurun) parah, gagal jantung
kongestif, penyakit hati, usia lanjut, hipertensi, atau
hipertiroidisme


17

c. Antikolinergik
Pada sel-sel otot polos terdapat keseimbangan antara sistem adrenergik dan
kolinergik. Jika reseptor
2
dari sistem adrenergik terhambat maka sistem kolinergik akan
mendominasi dan menyebabkan bronkokonstriksi. Stimulasi saraf parasimpatis
menyebabkan pelepasan asetilkolin. Asetilkolin pada reseptor muskarinik dari saraf-saraf
kolinergik di otot polos bronkus akan mengaktivasi enzim guanilsiklase untuk mengubah
GTP (Guanosin triphosphate) menjadi cGMP. Fosfodiesterasi kemudian memecah cGMP
menjadi GMP. Peningkatan kadar cGMP akan meningkatan bronkokonstriksi (Dipiro, et
al., 2008).
Mekanisme kerja obat antikolinergik adalah menghambat aksi asetilkolin pada
reseptor muskarinik dengan memblok reseptor muskarinik di otot polos bronki. Aktivitas
saraf adrenergik kemudian menjadi dominan sehingga menimbulkan efek bronkodilatasi.
Obat-obat antikoninergik yang dapat digunakan antara lain ipratropium bromide dan
tiotropium bromida (Dipiro, et al., 2008).
Ipratropium bromida dan tiotropium bromida merupakan inhibitor kompetitif
reseptor muskarinik; zat ini menghasilkan bronkodilatasi hanya pada bronkokonstriksi
yang dimediasi kolinergik. Antikolinergik merupakan bronkodilator efektif tetapi tidak
sekuat agonis
2
(Dipiro, et al., 2008).
Ipratropium bromide
Dosis dewasa 2 semprot 4 kali sehari
Dosis anak
Kontra indikasi Hipersensitifitas terhadap atropine atau derivatnya
Efek samping obat Gemetar pada otot skelet, berdebar, sakit kepala, pusing, gugup,
mulut kering, iritasi tenggorokan, retensi urin.
Interaksi Efek ditingkatkan oleh -adrenergik lainnya, derivat xantin,
antikolinergik, dan kortikosteroid.
Aksi dikurangi oleh -bloker
Kehamilan
Monitoring
Perhatian Kardiomiopati obstruktif hipertrofik, takhiaritmia, infark
miokardial yang baru terjadi, diabetes melitus yang secara
insufisiensi terkontrol, hipertiroidisme, kehamilan & menyusui.



18

Tiotropium bromide
Dosis dewasa 2 semprotan 1x sehari
Dosis anak
Kontra indikasi Hipersensitifitas pada atropine atau derivatnya, seperti
ipratrorium atau oksitropium
Efek samping obat Mulut kering, konstipasi, iritasi lokal dan batuk, takikardi,
kesulitan berkemih dan retensi urin, reaksi hipersensitivitas.
Interaksi Obat antikolinergik
Kehamilan Termasuk kategori c
Monitoring
Perhatian Tidak untuk terapi awal episode akut bronkospasme.
Dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas mendadak.
Glaukoma sudut sempit, hiperplasia prostat atau obstruksi leher
kandung kemih.
Gangguan ginjal sedang sampai dengan berat, hamil dan laktasi.
.
C. MUKOLITIK DAN EKSPEKTORAN
Bronkitis dapat menyebabkan produksi mukus berlebih. Kondisi ini menyebabkan
peningkatan penebalan mukus. Perubahan dan banyaknya mukus sukar dikeluarkan secara
alamiah, sehingga diperluan obat yang dapat memudahkan pengeluaran mukus.
Mukus mengandung glikoprotein, polisakarida, debris sel, dan cairan / eksudat
infeksi. Mukolitik bekerja dengan dengan cara memecah glikoprotein menjadi molekul-
molekul yang lebih kecil sehingga menjadi lebih encer. Mukus yang encer akan medak
dikeluarkan pada saat batuk, contoh mukolitik adalah asetilsistein.
Asetilsistein (Carbosistein)
Indikasi: bronkitis akut, batuk kronis atau akut, antidotum parasetamol.
Kontraindikasi: hipersensitif terhadap asetilsistein.
Dosis: dosis awal 2,25 g per hari dalam dosis terbagi, kemudian 1,5 g per hari dalam
dosis terbagi. Anak-anak (2-5 tahun): 62,5-125 mg 4x/hari, (5-12 tahun) : 250 mg 3x/hari.
Efek samping: pendarahan gastro-intestinal (jarang terjadi), reaksi hipersensitivitas
(ruam dan anafilakskis).

EKSPEKTORAN
Ekspektoran bekerja dengan cara mengencerkan mukus dalam bronkus sehingga mudah
dikeluarkan, salah satu contoh ekspektoran adalah guaifenesin. Guaifenesin bekerja dengan
19

cara mengurangi viskositas dan adhesivitas sputum sehingga meningkatkan efektivitas
mukociliar dalam mengeluarkan sputum dari saluran pernapasan.
Guaifenesin
Indikasi: membantu mengencerkan lendir
Kontraindikasi: hipersensitif terhadap guaifenesin
Dosis: anak-anak (6 bulan-2 tahun) : 25-50 mg tiap 4 jam, maksimal dosis 300 mg/hari;
anak-anak (2-5 tahun) : 50-100 mg tiap 4 jam, maksimal dosis 600 mg/hari; anak-anak (6-
11 tahun) : 100-200 mg tiap 4 jam, dosis maksimal 2,4 g/hari; anak-anak 12 tahun dan
dewasa : 200-400 mg tiap 4 jam, maksimal dosis 2,4 g/hari.
Efek samping: sistem saraf pusat : pusing, kantuk, sakit kepala; dermatologi : ruam;
metabolisme dan sistem endokrin : penurunan level uric acid; gastrointestinal : mual,
muntah,nyeri perut
2. TERAPI NON-FARMAKOLOGI

1. Jika terjadi demam, baringkanlah pasien itu di atas tempat tidur di dalam ruangan yang
agak hangat, dan menjaga suhu dalam kamar itu tetap setabil.
2. Pasien harus berhenti merokok.
3. Kalau timbul kesulitan dalam pernapasan atau dadanya bagian tengah sangat sesak, biarlah
dia menghirup uap air tiga kali sehari.
4. Taruhlah kompres uap di atas dada pasien dua kali sehari, dan taruhlah kompres lembab di
atas dada sepanjang malam sambil menjaga tubuhnya jangan sampai kedinginan.
5. Sekali sehari selama dua hari, rendamlah kakinya di dalam air panas sewaktu mengadakan
pendemahan, Teruslah melakukan pengobatan ini sampai sipasien mengeluarkan kringat
jangan sampai kedinginan.
6. Kalau tidak ada perubahan tertentu selama dua hari, mintalah nasehat dokter. Mungkin dia
akan memberikan resep obat batuk atau obat antibiotika atau sulfa untuk mengatasi
infeksi.
7. Kalau bronchitis itu timbul karena komplikasi penyakit lainmaka sangat pentinglah
memangil dokter.
8. Istirahat yang cukup
9. Minum cukup banyak cairan dan perbaiki nutrisi
10. Rehabilitasi paru-paru secara komprehensif dengan olahraga dan latihan pernafasan
sesuai yang diajarkan tenaga medis.
20

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008, Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK),
http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/copd.pdf, diakses tanggal 18
Maret 2012

Anonim, 2010, Penyakit Paru Obstruktif Kronik,
http://staff.ui.ac.id/internal/140370729/material/Faal-PPOK.pdf, diakses tanggal 18
Maret 2012
American Pharmacist Assosiaciation, 2009, Drug Information Handbook 18th. Ed, Lexi-
Comp Inc., North American, USA.
British National Formulary Organization, 2009, British National Formulary 58, BMJ Group
Tavistock Square, London WC1H 9JP, UK.
Cunha, J.P., 2012, Bronchitis, www.emedicinehealth.com, diakses tanggal 17 Maret 2012
Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., and Posey, L. M., 2008,
Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach, 7
th
edition, McGrawHill, New
York, pp. 139-167.
Harms, R.W., 2011, Bronchitis, www.mayoclinic.com, diakses tanggal 17 Maret 2012
Knutson and Braun, 2002, http://Www.Aafp.Org/Afp/2002/0515/P2039.Html
Ohio State University School Of Medicine And Public Health, Columbus, Ohio
Am Fam Physician. 2002 May 15;65(10):2039-2045, diakses tanggal 17 Maret 2012
Rahmadani, R.Q., dan Marlina, R., 2011, Bronkitis Pada Anak, Akademi Kebidanan Sentral
Padangsidimpuan, Sumatra
Setiawati,L., Makmuri M. S., dan Asih, 2006, Bronkitis,
http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&file
pdf=0&pdf=&html=07110-tlwx284.htm, diakses tanggal 17 Maret 2012
Sutoyo, K.D., 2008, Bronkitis Kronis dan Lingkaran yang tak Berujung Pangkal (Vicious
Circle), http://jurnalrespirologi.org/jurnal/Jan09/File%20dr.%20Titi%20JRI.pdf,
diakses tanggal 18 Maret 2012

Das könnte Ihnen auch gefallen