I. TUJUAN 1. Mampu melakukan percobaan farmakologi untuk melihat efek antikoagulansia terhadap waktu koagulasi darah (penjedalan darah, blood cotting) 2. Mampu melakukan percobaan dengan hewan laboratorium untuk melihat efek obat-obat-obat yang dapat menurunkan tekanan darah secara in vivo
II. DASAR TEORI a. Waktu Koagulasi Darah Dalam sistem sirkulasi darah merupakan bagian penting yaitu dalam transport oksigen. Darah terdiri dari bagian cair dan padat, bagian cair yaitu berupa plasma darah dan serum. Bagian padatnya yaitu sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan keping darah (trombosit). Volume darah secara keseluruhan adalah satu per dua belas berat badan atau kira-kira lima liter. Sekitar 55% adalah plasma darah, sedang 45% sisanya terdiri dari sel darah (Pearce, 2006) Darah mempunyai banyak fungsi dalam tubuh. Fungsi utama darah dalam sirkulasi adalah sebagai media transportasi, pengaturan suhu, pemeliharaan keseimbangan cairan, serta keseimbangan basa eritrosit selama hidupnya tetap berada dalam tubuh. Sel darah merah mampu mengangkut secara efektif tanpa meninggalkan fungsinya di dalam jaringan, sedang keberadaannya dalam darah, hanya melintas saja (Kimball, 1983). Bila pembuluh darah dipotong atau dirobek, sangat penting untuk menghentikan keluarnya darah dari sistem sebelum berakhir dengan kegoncangan atau kematian. Pemadatan atau pembekuan darah mampu menghentikan semua perdarahan ini kecuali pada pembuluh darah yang rusak, keping darah melekat pada permukaan dalam dinding pembuluh tersebut. Pembuluh darah dan sel-sel darah rusak di daerah ini melepaskan bahan bersifat lemak yang diaktifkan oleh protein-protein tertentu (faktor pembekuan) di dalam darah membentuk tromboplastin. Dengan adanya ion kalsium dan faktor pembeku tambahan protombin (suatu globulin serum yang di buat terus menerus oleh hati) menjadi trombin (Kimball, 1983). Peristiwa penjedalan daah (koagulasi darah) adalah sebuah proses yang normal terjadi yang merupakan bagian dari mekanisme proses homeostasis (mempertahankan keadaan tubuh dalam normal). Koagulasi darah dapat terjadi apabila ada perlukaan, yang berarti apabila darah berkoagulasi maka perdarahan yang terjadi akan berhenti. Akan tetapi koagulasi darah juga terjadi secara spontan sewaktu darah mengalir di dalam pembuluh darah dengan sebab yang belum dapat dijelaskan. Pada keadaan yang terakhir ini, jendalan darah yang terbentuk disebut thrombus (thrombi), dapat menyumbat aliran darah apabila terjadi pada arteriola atau venula (pembuluh darah yang sempit). Penyumbatan aliran darah tersebut akan menjadi persoalan yang serius apabila menyangkut pasokan darah pada organ-organ vital seperti otak (terjadi stroke) dan otot jantung (infarct miocard). Atas dasar kondisi patologis tersebut maka pemakaian antikoagulan dalam terapi menjadi sangat bermakna. Koagulasi darah sendiri merupakan proses yang berjalan melalui berbagai tahap (cascade) dan melibatkan berbagai factor indogen. Faktor-faktor tersebut antara lain faktor VII, IX, X dan protrombin (faktor II). Disamping faktor-faktor tersebut yang umumnya protein atau polipeptida dibutuhkan pula vitamin K dan ion Ca.
Faktor-faktor pembekuan darah Berikut ini adalah faktor-faktor pembekuan pada darah : Faktor I : fibrinogen Faktor II : protrombin Faktor III : tromboplastin Faktor IV : Kalsium Faktor V : proaccelerin labile factor Faktor VII : proconvertin Faktor VIII : faktor antihemofili FaktorIX : komponenplasma tromboplastin Faktor X : faktor stuart Faktor XI : faktor antihemofili C Faktor XII : faktor Hageman Faktor XIII : faktor fibrin-stabilizing (Guyton, 2006) Pembentukan bekuan darah a. Mekanisme ekstrinsik Pembekuan darah dimulai dari faktor eksternal pembuluh darah itu sendiri. 1. Tromboplastin (membran lipoprotein) yang dilepas oleh sel-sel jaringan yang rusak mengaktivasi protrombin (protein plasma) dengan bantuan ion kalsium untuk mengubah trombin 2. Trombin mengubah fibrinogen yang dapat larut, menjadi fibrin yang tidak dapat larut. Benang-benang fibrin membentuk bekuan atau jaring-jaring fibrin yang menangkap sel darah merah dan trombosit serta menutup aliran darah melalui pembuluh yang rusak. b. Mekanisme intrinsik untuk pembekuan darah berlangsung dengan cara yang sederhana daripada cara yang dijelaskan di atas. Mekanisme ini melibatkan 13 faktor pembekuan yang hanya ditemukan dalam plasma darah. Setiap faktor protein berada dalam kondisi tidak aktif, bila salah satu diaktifkan, aktivitas enzimnya akan mengaktivasi faktor selanjutnya dalam rangkaian. Dengan demikian akan terjadi suatu rangkaian reaksi (cascade of reaction) untuk membentuk bekuan (Sloane, 1995).
(Tjay dan Rahardja, 2007) Ada beberapa kelompok senyawa/obat yang mempengaruhi koagulasi daag dengan beberapa mekanisme bebeda. Kelompok senyawa yang pertama disebut dengan antikoagulansia. Antikoagulansia adalah zat-zat yang dapat mencegah pembekuan darah dengan jalan menghambat pembentukan fibrin (Tjay dan Rahardja, 2007). Kelompok senyawa ini diwakili oleh heparin dan warfarin. Heparin adalah sebuah glikosaminoglikan yang bersifat asam, dapat menghambat koagulasi darah dengan meningkatkan pembentukan kompleks antitrombin III (sebuah inhibitor protease) dengan trombin, sehingga trombin tidak mampu mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Heparin aktif secara in vivo maupun in vitro, tetapi durasi aksinya sangat pendek. Warfarin adalah derivat kumarin dan strukturnya mirip vitamin K. Warfarin mampu mencegah koagulasi darah dengan menghambat reduktase vitamin K sehingga -karboksilasi residu glutamate dari protrombin terhambat dan menghasilkan faktor VII, IX, X dan protrombin yang inaktif. Warfain hanya aktif secara in vivo. Kelompok senyawa yang kedua adalah senyawa-senyawa yang bersifat fibrinolitik (melisis fibrin). Obat-obat ini berdaya melarutkan gumpalan darah yang terbentuk beberapa jam sebelumnya. Caranya ialah dengan mengaktivasi sistem fibrinolitis tubuh melalui stimulasi perubahan plasminogen menjadi plasmin. Plasmin ini memecahkan jaringan fibrin dari trombus (Tjay dan Rahardja, 2007). Contoh dari kelompok senyawa ini adalah streptokinase, alteplase, dan reteplase. Streptokinase bukan sebuah enzim, mampu membentuk kompleks dengan plasminogen dan kompleks ini mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Alteplase adalah aktivator plasminogen hasil rekombinasi DNA (recombinant-tissue plasminogen activator = rt- PA). Selektvitas kelompok senyawa ini dalam menghambat koagulasi darah adalah berdasarkan perbedaan keberadaan inhibitor plasmin di dalam sirkulasi dengan yang ada di dalam trombi. Di dalam sirkulasi, kadar inhibitor plasmin sangat tinggi sedang di dalam trombi kadar inhibitor plasmin sangat rendah. Kelompok senyawa penghambat koagulasi yang ketiga adalah kelompok yang disebut antiplatelet seperti aspirin, klopidogrel, tirofiban, aptifibatide, abciximab, dan dipyridamole. Zat-zat ini berkhasiat menghindarkan terbentuk dan berkembangnya Mekanisme pembekuan darah trombi dengan jalan menghambat penggumpalannya (Tjay dan Rahardja, 2007). Senyawa ini efektif mencegah terjadinya trombosis di arteri. Sedang antikoagulan tidak efektif mengatasi trombosis di arteri. Hal ini dikarenakan trombi yang terbentuk pada darah yang mengalir cepat, seperti di arteri, tersusun atas banyak platelet dan sedikit fibrin. Di dalam arteri yang atheromatous, plak yang terbentuk memiliki inti besar yang kaya lipid dan dibungkus kapsul berserabut tipis. Kapsul ini gampang pecah dan apabila pecah maka kolagen subendotelial akan terbuka dan mengaktifkan platelet dan beragregasi. Pecahnya kapsul plak dan terbukanya kolagen subendotelial ini akan melepaskan tromboksan A2 (TXA2), ADP, dan 5-hidroksitriptamin (5-HT) yang akan memacu lebih agregasi platelet. TXA2 ini adalah induktor kuat terjadinya agregasi platelet. Klopidogrel mencegah agregasi platelet dengan cara memblok secara irreversible efek ADP pada platelet.Aspirin merupakan bagian dari kelompok obat nonsteroidal antiinflamatory drugs (NSAID). Aspirin juga mempunyai efek antiplatelet dengan menghambat sintesis TXA2 oleh enzim siklooksigenase. Dalam dunia pengobatan, senyawa/obat yang mampu menghambat koagulasi darah ini sering digunakan pada pasien-pasien yang dalam masa recovery dari serangan stroke, atau pada pasien-pasien yang mempunyai risiko infarct myocard karena terjadinya trombus pada arteri yang memasok darah ke otak atau ke otot jantung. Heparin biasanya diberikan secara injeksi sub kutan atau intravena. Efek samping utama dari heparin adalah pendarahan. Oleh karena durasi efeknya yang singkat, perdarahan yang terjadi dapat diatasi dengan menghentikan pemberian heparin. Bila dianggap perlu, dapat dinetralkan efeknya degan injeksi intavena protamin, sebuah peptida basa. Warfarin dapat diberikan peroral karena dapat diabsorbsi dengan baik di saluran pencernaan. Onsetnya lambat, tetapi juga mempunyai waktu paro biologik yang panjang (40 jam) dan membutuhkan waktu hingga 5 hari untuk nilai prothrombine time kembali normal setelah pemberian warfarin dihentikan.
b. Antihipertensi Hipertensi adalah tekanan darah arteri rata-ratanya lebih besar dari kisaran atas normal yang telah ditetapkan. Tekanan darah arteri rata-rata lebih besar 110 mmHg (normal adalah sekitar 90 mmHg) dikategorikan hipertensif. Tingkat tekanan darah arteri rata-rata ini terjadi jika tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg dan tekanan sistolik lebih dari 135 mmHg. Pada hipertensi parah, tekanan darah arteri rata-rata dapat mencapai 150 170 mmHg, dengan tekanan diastolik setinggi 130 mmHg, dan tekanan sistolik mencapai 250 mmHg (Guyton, 2006). Secara umum, batasan nilai- nilai ini berlaku untuk orang dewasa yang berumur antara 20-65 tahun. Pada anak kecil, peningkatan tekanan darah sampai 160/110 mmHg (misalnya pada glumerulonefitis akut) dapat menyebabkan hipertensi dipercepat. Sebaliknya, pada individu yang berumur 70-an kemungkinan besar tidak ada kerusakan arteriol yang nyata dengan tekanan darah 220/1120 mmHg. Hipertensi dibagi menjadi dua kategori yaitu hipertensi primer (esensial) dan sekunder. Sekitar 90-95% kasus dikategorikan sebagai hipertensi primer yang berarti tekanan darah tinggi tanpa penyebab pasti. Hipertensi primer merupakan hasil dari interaksi kompleks gen dan faktor lingkungan. Sisanya 5-10% dikategorikan sebagai hipertensi sekunder yang disebabkan kondisi lain yang mempengaruhi ginjal, hati, arteri dan sistem endokrin. Penyakit pada ginjal merupakan penyebab hipertensi sekunder yang paling banyak ditemui (OBrien, 2007). Secara farmakologis, pengobatan hipertensi berdasarkan pada tiga tujuan utama ialah mengurangi volume cairan tubuh dan sekaligus mengurangi volume darah, mengurangi tahanan pembuluh darah perifer, dan menurunkan curah jantung (cardiac output). Senyawa obat yang mampu menurunkan tekanan darah biasanya digunakan untuk pengobatan hipertensi. Obat-obat yang mampu mengurangi volume cairan tubuh adalah golongan diuretika. Diuretika menghasilkan peningkatan aliran urin (diuresis) dengan menghambat reabsorpsi natrium dan air dari tubulus ginjal. Hal ini menyebabkan penurunan volume cairan dan menurunkan tekanan darah. Enam kategori yang efektif untuk menghilangkan air dan natrium adalah (1) tiasid dan seperti-tiasid, (2) diuretik kuat, (3) hemat kalium, (4) penghambat anhidrase karbonik, (5) osmotik, dan (6) merkurial. Diuretik kuat dan hemat kalium merupakan diuretik yang paling sering diresepkan untuk penyakit hipertensi dan payah jantung kongestif. Contoh dari obat golongan ini adalah furosemid, klortiazid, dan lain-lain (Kee, 1993). Obat-obat yang mampu mengurangi tahanan pembuluh daah perifer biasanya mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah tersebut. Oleh sebab itu, golongan obat ini sering disebut sebagai vasodilatator. Terdapat tiga cara kerja vasodilatator. Golongan pertama adalah obat-obat yang mampu menghambat kanal ion kalsium (Ca) atau sering disebut Calcium Channel Blocker (CCB). CCB menghambat masuknya kalsium ke dalam sel. Obat-obat ini menyebabkan penurunan afterload. Tonus dan kontraksi vaskular sebagian besar ditentukan oleh ketersediaan kalsium ekstrasel. Bila masuknya kalsium ke dalam sel-sel otot polos arteri dihambat, pembuluh akan berdilatasi. Kategori obat antihipertensi ini disebut juga antagonis kalsium. Ini akan membatasi penyempitan arteri, memungkinkan aliran darah yang lebih lancar untuk menurunkan golongan darah (Stringer, 2006). Contoh obat dari golongan ini adalah nifedipin dan amlodipin. Golongan kedua vasodilatator adalah yang bekerja menghambat enzim pengubah angiotensin atau Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI). Angiotensin Converting Enzyme (ACE) yang dikenal juga sebagai peptidildipeptida hidrolase atau peptidil dipeptidase, mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II yang merupakan suatu vasokonstriktor poten dan stimulator sekresi aldosteron. Aldosteron meningkatkan retensi natrium dan air serta ekskresi kalium. Hal ini menyebabkan peningkatan volume vaskular dan peningkatan resistensi vaskular perifer. Pemblokan sistem angiotensin II menyebabkan penurunan kadar vasokonstriktor ini dalam sirkulasi, yang menyebabkan penurunan tekanan darah (yaitu afterload). ACEI juga mengurangi aldosteron, yang menyebabkan kehilangan air net. Hal ini menambah penurunan afterload (Stringer, 2006). Contoh obat dari golongan ini adalah captopril dan lisinopril. Obat-obat golongan inhibitor ACE terutama berguna untuk penanganan hipertensi yang disebabkan oleh kenaikan kadar renin. Karena tidak mempengaruhi kadar glukosa, Inhibitor ACE juga berguna untuk pengobatan penderita diabetes yang mengalami hipertensi. Efek samping obat-obatan ini adalah sakit kepala, pusing, nyeri abdomen, kebingungan, gagal ginjal, dan impotensi. Inhibitor ACE juga dapat menyebabkan batuk karena mendegradasi bradikinin (Stringer, 2006).
Sistem renin-angiotensin-aldosteron. (Stringer, 2006) Golongan ketiga vasodilatator adalah obat yang mampu memblok reseptor angiotensin. Obat golongan ini merupakan obat golongan baru yang menganggu pengikatan angiotensin II pada reseptor angiotensin II. Obat-obat ini memblok pengikatan angiotensin II pada reseptor AT 1 . Hal ini menghalangi angiotensin II untuk mengeluarkan sifat vasokonstriksi dan eksresi aldosteron. Hasil dari aksi ini akan menurunkan tekanan darah. Oleh karena itu, kerjanya sangat mirip dengan kerja inhibitor ACE yang memblok pembentukan angiotensin II. Senyawa golongan ini tidak menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II ataupun menyebabkan perusakan bradikinin sehingga tidak menimbulkan batuk (Stringer, 2006). Contoh obat dari golongan ketiga ini adalah losartan dan valsartan. Golongan obat lain yang sering digunakan adalah golongan penghambat adrenergik. Obat-obat ini dapat bekerja sentral di pusat vasomotor pada batang otak, di perifer pada pelapasan katekolamin neuron, atau menyekat reseptor atau atau keduanya (Gray, 2002). Agonis menyebabkan vasokonstriksi dan antagonis menyebabkan vasodilatasi. Penggunaan blocker menyebabkan hipotensi postural, terutama setelah dosis pertama. Antagonis mampu mengurangi curah jantung dengan cara menghambat reseptor -adrenergik, terutama reseptor 1. Penghambat ( blocker) berkompetisi dengan katekolamin untuk dua reseptor -adrenergik. Reseptor 1 terutama berlokasi di miokardium dan mempengaruhi kecepatan nodus sinioatrial dan kecepatan konduksi nodus atrioventricular, dan reseptor 2 terutama berada di bronkus dan otot polos pembuluh darah. Penghambat beraksi pada sistem kardiovaskular untuk memperlambat denyut jantung, mengurangi tekanan darah, dan mengurangi kontraktilitas jantung mengakibatkan berkurangnya beban kerja jantung, konsumsi oksigen miokard, serta memperpanjang waktu pengisian diastolik dan perfusi koroner (Jeremias, 2010). Bloker sangat berguna untuk penderita angina atau penderita migrain. Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah propranolol, acebutolol, metoprolol, dan praktolol. Diantara obat-obat penekan reseptor - adrenergik ini ada yang tidak/kurang selektif karena dapat menekan reseptor 1 maupun reseptor 2. Propranolol merupakan -blocker nonkardioselektrif dan tidak memiliki aktivitas simpatik intrinsik. Nonkardioselektif berarti obat tersebut menghambat baik reseptor 1 maupun reseptor 2. Oleh karena itu, obat -blocker nonkardioselektif akan menghambat bronkodilatasi dan menghambat glikolisis dan glukoneogenesis yang seharusnya terjadi pada saat hipoglikemia. Obat -blocker nonkardioselektif tidak boleh diberikan pada orang penderita asma bronkial. Obat-obat -blocker yang kardioselektif adalah metoprolol, acebutolol, atenolol, dan bisoprolol.