Sie sind auf Seite 1von 6

Acute kidney injury (AKI)

1. Pendahuluan
Acute kidney injury (AKI), yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal akut (GGA, acute renal
failure [ARF]) merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi yang dalam 15 tahun terakhir
menunjukkan peningkatan insidens.1 Beberapa laporan dunia menunjukkan insidens yang bervariasi antara
0,5-0,9% pada komunitas, 0,7-18% pada pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga 20% pada pasien yang
dirawat di unit perawatan intensif (ICU), dengan angka kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia berkisar
25% hingga 80%.
2. Definisi dan Kriteria Diagnosis
Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi glomerulus
(LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa
metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal (AKI klasik) atau
tidak normal (acute on chronic kidney disease). Dahulu, hal di atas disebut sebagai gagal ginjal akut dan
tidak ada definisi operasional yang seragam, sehingga parameter dan batas parameter gagal ginjal akut yang
digunakan berbeda-beda pada berbagai kepustakaan.
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan
intensivis di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah
renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian
istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal.
ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3 kategori
(berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan
beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggam-barkan prognosis gangguan ginjal, seperti
yang terlihat pada tabel 1.

Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN), sebuah kolaborasi nefrolog dan intensivis
internasional, mengajukan modifikasi atas kriteria RIFLE. Dengan beberapa modifikasi, kategori R, I, dan F
pada kriteria RIFLE secara berurutan adalah sesuai dengan kriteria AKIN tahap 1, 2, dan 3. Kategori LE pada
kriteria RIFLE menggambarkan hasil klinis (outcome) sehingga tidak dimasukkan dalam tahapan.6,7
Klasifikasi AKI menurut AKIN dapat dilihat pada tabel 2.

Sebuah penelitian yang bertujuan membandingkan kemanfaatan modifikasi yang dilakukan oleh AKIN
terhadap kriteria RIFLE gagal menunjukkan peningkatan sensitivitas, dan kemampuan prediksi klasifikasi
AKIN dibandingkan dengan kriteria RIFLE.8
3. Klasifikasi Etiologi
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni
1. Penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim
ginjal (AKI prarenal,~55%)
2. Penyakit

yang secara langsung menyebabkan gangguan

pada parenkim ginjal (AKI

renal/intrinsik,~40%)
3. Penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian
penyebab AKI sangat tergantung dari tempat terjadinya AKI.

Tabel 3. Klasifikasi Penyebab AKI (Dimodifikasi)


AKI Prarenal
I. Hipovolemia
- Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia,
obstruksi usus
- Kehilangan darah
- Kehilangan cairan ke luar tubuh
Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui saluran kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis
osmotik), melalui kulit (luka bakar)
II. Penurunan curah jantung
- Penyebab miokard: infark, kardiomiopati
- Penyebab perikard: tamponade
- Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal
- Aritmia
- Penyebab katup jantung
III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik
- Penurunan resistensi vaskular perifer
Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan (contoh: barbiturat), vasodilator (nitrat,
antihipertensi)

- Vasokonstriksi ginjal
Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus, amphotericin B
- Hipoperfusi ginjal lokal
Stenosis a.renalis, hipertensi maligna
IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal
- Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen
Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi kronik, PGK (penyakit ginjal kronik), hipertensi
maligna), penurunan prostaglandin (penggunaan OAINS, COX-2 inhibi tor), vasokonstriksi arteriol aferen
(sepsis, hiperkalsemia, sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus, radiokontras)
- Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen
- Penggunaan penyekat ACE, ARB
- Stenosis a. renalis
V. Sindrom hiperviskositas
- Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia
AKI Renal/intrinsik
I. Obstruksi renovaskular
- Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli, diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis
(trombosis, kompresi)
II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal
- Glomerulonefritis, vaskulitis
III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)
- Iskemia (serupa AKI prarenal)
- Toksin
- Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi, pelarut organik, asetaminofen), endogen
(rabdomiolisis, hemo-lisis, asam urat, oksalat, mieloma)
IV. Nefritis interstitial
- Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bakteri, viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia,
sarkoidosis), idiopatik
V. Obstruksi dan deposisi intratubular
- Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat, sulfonamida
VI. Rejeksi alograf ginjal
AKI Pascarenal
I. Obstruksi ureter
- Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi eksternal
II. Obstruksi leher kandung kemih

- Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, keganasan, darah


III. Obstruksi uretra
- Striktur, katup kongenital, fimosis

Pada sebuah studi di ICU sebuah rumah sakit di Bandung selama pengamatan tahun 2005-2006,
didapatkan penyebab AKI (dengan dialisis) terbanyak adalah sepsis (42%), disusul dengan gagal jantung
(28%), AKI pada penyakit ginjal kronik (PGK) (8%), luka bakar dan gastroenteritis akut (masing-masing
3%).
Pendekatan Diagnosis
Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang telah dipaparkan di atas,
pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut memang merupakan AKI atau merupakan suatu
keadaan akut pada PGK. Beberapa patokan umum yang dapat membedakan kedua keadaan ini antara lain
riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI, pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK)
dan perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI) dan ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya
dapat dipakai. Misalnya, ginjal umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal
bahkan membesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik. Upaya pendekatan
diagnosis harus pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI, dan penentuan komplikasi.
Pemeriksaan Klinis
Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan berat badan dan
perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS, penyekat ACE dan ARB. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous
pressure (JVP), penurunan turgor kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik dan hipertensi
portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya
pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan
dengan data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin,
hemoglobin, asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang
menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna. AKI pascarenal
dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra atau suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal,
kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan
obstruksi ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran
prostat pada pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat. Kandung
kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan disfungsi saraf otonom.

Tata Laksana Anestesi pada AKI


Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan pada tahap apa AKI
ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi (kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat
dilakukan adalah tata laksana optimal penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI
berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah prarenal/hipovolemia, terapi sepsis,
penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan menghindari penggunaan zat nefrotoksik.
Pemantauan asupan dan pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin. Selama tahap poliuria (tahap
pemeliharaan dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup berarti,
sehingga pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit harus dilakukan secara
cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara ketat dengan pedoman volume urin yang diukur secara
serial, serta elektrolit urin dan serum.
Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin
Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama berpuluhpuluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial. Obat-obatan tersebut antara lain
diuretik, manitol, dan dopamin.
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada peng-gunaan diuretik sebagai bagian dari tata laksana
AKI adalah:
1.

Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam keadaan dehidrasi.

Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan isotonik
250-300 cc dalam 15-30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.
2.

Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI pascarenal.

Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika manfaat tidak terlihat, dosis dapat
digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20
mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak
berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih
lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas.
Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler sehingga dapat
digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria. Namun kegunaan manitol ini tidak
terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik,
menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul

pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat
meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien.22,23
Dopamin dosis rendah (0,5-3 g/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tata laksana AKI, melalui
kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran
darah ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan
vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat
perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik
antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat tergantung dari
keadaan klinis secara umum yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah
(seperti hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya
dalam dunia nyata tidak ada dopamin dosis renal seperti yang tertulis pada literatur. Dalam penelitian
dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan
efek samping serius seperti iskemia miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangren digiti,
dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons
selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan penggunaannya untuk
menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok,
sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal.17,24,25 Obat-obatan lain
seperti agonis selektif DA1 (fenoldopam) dalam proses pembuktian lanjut dengan uji klinis multisenter
untuk penggunaannya dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis adenosin tidak terbukti efektif pada tata
laksana AKI.25

Das könnte Ihnen auch gefallen