Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Gumpalan awan putih melayang malas di angkasa yang biru cerah. Sebuah mata
bercahaya terik menghangatkan lembut kehidupan alam di bawahnya. Pepohonan
berdahan kurus namun kokoh tumbuh lebat di kaki bukit kecil. Bukit yang perutnya
dipenuhi bedengan sawah bertingkat yang indah bangunannya. Sungai kecil yang
mengalir ceria membelit pinggang bukit kecil tersebut, bagai ikat pinggang hadiah
dewata.
Angin berlari lari kecil di atas hamparan padi padi yang mulai menguning. Rumput
rumput kurus itu merunduk runduk tertunduk. Sangat bijak, seolah sang angin adalah
bocah umur 5 tahun yang bermain tak becus dihadapan sang kakek. Bicara soal bocah,
seorang sedang berdiri mematung di jalan setapak becek dekat sungai kecil jernih
yang mengairi sawah sawah haus dari atas bukit. Matanya yang polos dan kepalanya
yang plontos menghiasi wajahnya yang melongo bodoh menonton seorang pemuda
yang dengan binal bergulat dengan lumpur.
"Mas, mas kerjakan apa sih?" Rasa ingin tahu sudah menggelitiknya setengah mati.
Pemuda berkulit warna tanah itu mengusap dahinya yang penuh peluh. Lumpur
lembut melukis dahinya seketika. Si bocah tertawa kecil melihatnya.
"Mas sedang ngeruk liat, dik.." Jawab si pemuda seadanya. Tubuhnya yang
bertelanjang dada memamerkan postur yang kokoh namun tidak kekar penuh otot.
Hanya lengannya saja yang dihiasi daging keras menggelembung.
"Untuk?" Tambah si bocah tambah ingin tahu.
"Untuk buat batu bata, dik.." Jawab si pemuda sabar di sela sela cangkulannya.
"Ooh..mas kerja untuk meneer kompeni toh..." Celetuk si bocah. Si pemuda tertegun
mendengar balasan si bocah. Pasti orang tuanya yang memberi tahunya tentang
kompeni. Tidak mungkin anak bau kencur sepertinya tahu tentang belanda dan semua
kebusukannya.
"Mau bagaimana lagi, dik..Mas butuh makan.." Tanggap si pemuda mencoba
meluruskan. Si bocah mengangguk angguk sok paham sambil celingak celinguk
memasati tiap gorekan lumpur.
Si pemuda mandi lumpur. Mengapa tidak. Dia bekerja di bagian seram sungai kecil
yang indah tadi. Penuh dengan endapan endapan tanah lembut alot dan air berlumpur.
Pemuda itu sebenarnya bekerja dengan lima orang lain yang lebih tua di pojok lain
sungai dekat situ. Namun entah mengapa sang bocah ingusan itu lebih tertarik dengan
si kakak langsing namun tinggi.
"Mas mukanya aneh ya.." Celetuk si bocah sambil mengamati wajah si mas.
"Ada sesuatu di muka mas, dik?" Balas si pemuda heran. Pertanyaan polos anak kecil
itu seolah mencuri perhatiannya sedikit.
"Bukan mas.." Jawab si anak. "Hidung mas kok cetha tenan!" Ungkap si bocah gendut
itu. "Mata mas juga aneh..kok biru..hahaha" tambahnya dengan nada yang mengejek.
Si pemuda tadi terpincut emosinya. Meski lawan bicaranya anak kecil, dia tahu. Pasti
orang tua keparat bocah itu yang mengajarinya di kala tidurnya. Si pemuda alih alih
membabit si bocah dengan segumpal lumpur jorok dingin, malah menghela nafas dan
mengayunkan tangannya.
"Wis lah dik..pindah sana! Nanti kamu dicari mbokmu!" Usirnya agak membentak
dengan tangan yang menggertak melempar lumpur ke wajah si bocah. Si bocah
membelalak takut. Ia memilih kabur daripada mengotori baju yang baru dicuci
mboknya.
Pemuda tadi mengeruk seonggok tanah berair untuk terakhir kalinya dan menaruhnya
ke dalam gerobak kayu di pinggir sungai. Tampak perasaan lega tersirat di air
mukanya. Syukurlah, aku bisa makan hari ini, benaknya.
Perjalanan dari lumbung lumpur ke desa tidak jauh, namun melelelahkan jika sebuah
gerobak kayu berisi 7 karung liat ikut mbonceng. Si pemuda yang sudah banjir
keringat itu menggerutu dalam hatinya setiap langkah kaki yang ia jejakkan. Kapan
sampai, kapan sampai. Begitu setiap hari.
Sampailah ia di desa kecil tak bernama. Walau warga setempat menyebutnya
Watuapi. Menurut si pemuda, nama itu alakadarnya saja diciptakan. Lantaran di desa
ini didirikan pos pemanggangan batu bata milik kompeni belanda. Sebut saja
pengalihan pendapatan berdagang supaya uang tidak terbuang sia sia.
Desa ini kecil bukan karena penduduknya yang sedikit. Kecil karena luas wilayahnya
saja. Desa Watuapi bermukim di pinggiran hutan yang disebut Jelatayudha. Dibanding
area perumahan warga, desa ini lebih luas di bagian persawahan dan peternakan lokal.
Tidak lupa pemanggangan batu bata. Meski kecil, warga desa ini terbilang makmur
sentosa.
Pasalnya mereka tinggal di rumah rumah panggung tinggi yang muat untuk 3
keturunan. Pekerjaan para warga tak jauh jauh dari bertani, beternak, berburu.
"Andai saja aku punya perkakas berburu.." Khayal si pemuda tadi sambil menggeret
gerobaknya. "Aku ndak perlu malu lagi dengan gaweanku ini..Duitnya pun lebih
banyak dari ini..." Katanya setengah berbisik. Sampailah ia di lokasi pemanggangan.
Tempat itu berdiri dipinggiran desa, jauh dari permukiman penduduk. Mungkin
karena asap hitam mengepul yang menghiasi langit yang mengatapinya atau karena
panas membara dari api yang terus berkobar, sehingga tempat ini dijauhi. Namun bagi
si pemuda kurus atletis yang mengomel terus dari tadi itu, tempat ini lumbung
uangnya.
Tampak 4 orang pekerja lain sedang menyerok lumpur lumpur lembut ke dalam
tungku pemanggangan yang terbuat dari batu bata itu sendiri. Bergabunglah pemuda
tadi, mulai menyerok.
Tidak ada yang menyapanya. Tidak ada yang saling menyapa. Hanya terus menyerok
sampai tuntas.
Si pemuda ikut terdiam disetiap serokan lumpur yang masuk ke dalam tungku.
Tatapannya menerawang api pembakaran yang menari nari penuh gairah bagai penari
telanjang yang berkeringat. Tampak rona kerendahan diri bercampur kemurungan di
wajahnya. Sesekali ia melirik ke arah pekerja lain, berharap ada yang menyapanya.
Percuma. Hanya suara serokan, deru api yang memanggang, dan seruan gagak sepuluh
menit sekali yang didengarnya.
Matahari menggantung sepenuhnya dilangit. Sengatan panasnya seolah ikut ikutan
membakar suasana. Si pemuda mengusap peluhnya untuk kesekian kalinya. Akhirnya.
Selesai mengisi selusin cetakan kecil yang terdapat di dalam tungku, selesailah juga
tugas pemuda itu. Sedikit lega rasanya. Ia menaruh cangkulnya ke dalam gerobak
miliknya dan berjalan mendekati mandor pengawas yang sedari tadi mencuri lihat
pekerjaan anak buahnya.
Si mandor penampilannya tidak ada yang spesial. Sama seperti warga lain, hanya saja
ia mengenakan caping rotan berwarna malam, menandakan ia pemimpin buruh buruh
ini. Digenggamannya sudah ada sekantung logam. Boleh jadi itu upah untuk
bawahannya.
"Lelah?" Tanya si mandor dengan nada mengejek kepada buruh buruh yang berjalan
mendekatinya.
"Taulah sendiri, kau mas.." Gubris salah seorang buruh ketus.
"Ya, mana upahku, mas!" Tambah buruh lain disebelahnya.
Si mandor menghela nafas, sebelum akhirnya tersenyum sinis. Seolah ia menikmati
ini. Melihat orang orang kesulitan datang kepadanya. Seolah ia itu Tuhan.
Si pemuda hanya diam tertunduk. Ada hasrat ingin ikut nimbrung, namun ia takut
dipukuli semua orang.
Buruh buruh itu berbaris dengan rapi. Setiap orang diberi 2 buah logam bermata uang
gulden milik belanda. Logam yang seolah menjadi air penyegaran untuk hari ini.
Tibalah giliran pemuda kurus menerima upahnya.
Soebromo sesungguhnya tidak pernah takut ketinggian. Ia hanya takut akan jatuhnya
saja. Jatuh perih menghujam bumi. Namun Soebromo sudah berlatih. Kala ia jatuh, ia
sudah siap dengan kedua telapak tangannya yang menyambut permukaan tanah keras
itu, dan seraya menggulingkan tubuhnya kedepan dengan tengkuk leher kurusnya
sebagai poros. Dengan cekatan, ia pun kembali keatas kedua kakinya. Rahinya banjir
keringat.
Dua ekor burung hitam berjambul terlihat terbang bebas diantara dahan dahan rindang
dan saling bercengkerama. Burung hitam yang lebih besar sesekali berseru manja
kepada lawannya. Ekor burung-burung itu sepasang jumlahnya dan gemulai
panjangnya. Sungguh indah ciptaan Dewata, itu yang ada di benak Soebromo yang
berjalan santai sambil melihat pemandangan hutan. Tiba tiba terdengar suara geraman
kecil. Suara yang hanya bisa ditangkap oleh Soebromo sendiri. Bunyi perutnya.
Ternyata ia mulai merasa lapar. Soebromo bersiul ke arah kedua burung hitam,
bermaksud pamitan. Dua burung hitam berjambul itu menghilang jauh ke dalam
hutan, sambil berbalas seruan.
Tiupan angin dari utara mendorong Soebromo untuk melangkahkan kakinya lebih
cepat menuju desa. Tampak awan ireng lemu, begitu sebutan warga sekitar,
melayang malas menuju ke arah desa Watuapi. Soebromo lantas bergegas ke gerbang
desa. Soebromo berlari kecil melewati pos penjagaan yang dijaga dua pemuda tambun
yang berpakaian hitam emas. Mereka berdua terkulai santai setengah terjaga sambil
mengipasi rahi mereka dengan kain kulit sapi. Warga sekitar memanggil mereka
centeng desa, para penjaga keadilan di desa. Paling tidak begitu hierarkinya.
Soebromo hanya mengamati mereka sepintas, dan berlalu pergi. Dari kejauhan,
gerombolan rekan kerja Soebromo terseok seok kelelahan habis berjalan jauh dari
puncak bukit lewat jalan biasa yang seperti ular.
Jalanan utama desa terbentang dari gerbang utama sampai ke Balai desa. Tidak ada
istilah pintu keluar resmi di desa ini. Pasalnya, semua rumah penduduk dan tempat
tempat umum berbatasan langsung dengan hutan Jelatayudha. Tidak ada sistem pagar
pelindung desa. Dari awal desa ini memang tersembunyi karena pabrik Batu bata yang
berharga. Hanya Kompeni dan warga desa asli yang tahu jalan menuju sini. Hal inilah
yang membuat bajing bajing loncat, istilah untuk perampok hutan, menjadikan tempat
ini pos singgah, dengan catatan tidak membuat rusuh atau tindak kejahatan di desa
ini.
Jadi kalau berpapasan dengan para perampok di warung atau di toko perkakas, ya
biasa aja. nasihat ibu Soebromo dahulu kala. Kita pasti aman disini..Asalken kamu
nurut apa kata simbok dan kata Pakne Kepala Desa.. lanjut kata ibunya.
Keramaian peradaban disekujur jalan utama tak terelakan. Mulai dari peternak
berjenggot putih yang menjajakan kambing ternakannya, sampai bajing yang
menyamar sebagai pedagang keliling yang menjajakan perhiasan supel hasi
rampokannya dari desa di timur. Entah mengapa Soebromo merasa kesepian di tengah
keriuhan ini. Dengan gontai ia melewati sekelompok warga yang dengan seru
berjualbeli, dan seolah hantu, Soebromo tak disapa seorang pun di tengah lautan orang
itu. Tak satupun yang ia kenal, atau yang ia mau kenal. Atau orang mau mengenalnya.
Sampailah Soebromo di depan warung nasi sederhana namun rapi dan terawat.
Dinding luar dalamnya tersusun oleh beberapa gelondong kayu yang dikokohkan
sedemikian rupa, sehingga membentuk dinding. Atapnya terbuat dari jerami kering
yang dengan sempurna dibentuk seperti prisma.
Duduklah Soebromo di kursi yang mejanya kosong, agak dekat dapur. Seorang
pelayan wanita mendekatinya.
Mau pesan apa kang? tanya wanita itu sopan sambil agak membungkuk,
memperlihatkan buah dadanya yang besar dan montok. Rambut wanita itu disanggul
rapi, dan ia memakai balutan kain yang hanya menutupi separuh payudaranya
kebawah. Soebromo tanpa sengaja menatap ke arah dua buah benda menakjubkan itu,
dan agak terpaku lama.
Kang? tanya wanita itu lagi. Soebromo terbangun dari khayalan mesumnya yang
baru saja terbentuk. Oh.. iya Lastri..saya pesan tempeh goreng sama nasi... timpal
Soebromo sambil tersenyum. Wanita bernama Lastri itu pun membalas senyuman dan
berbalik. Bokongnya yang aduhai nan kencang bergoyang goyang seraya ia berjalan.
Soebromo masih belum mengalihkan pandangannya.
Lastri, wanita cantik nan bertubuh indah di desa Watuapi. Anak juragan warung nasi
setempat. Satu tahun lebih tua dari Soebromo. Kecantikannya dan tubuhnya menjadi
pemandangan indah para pemuda dan bapak bapak desa. Namun tidak ada yang berani
macam macam dengannya, tak terkecuali Soebromo. Bapak Lastri memiliki adik laki
laki yang menikahi putri Mandor kebun Kompeni di Dieng. Jadi setiap ada yang
macam macam, orang itu bisa musnah keesokan harinya.
Soebromo. Yah, mungkin hari ini adalah hari paling sial diantara hari harinya yang
juga sial.
Ayah si Lastri ternyata hari ini sedang panas hati. Ia pun tanpa sengaja melihat adegan
Soebromo tadi yang mengamati tubuh putrinya dengan mulut menganga. Ia pun
berjalan mendekati meja Soebromo.
Woi, bocah! seru ayah Lastri sambil menggebrak meja makan Soebromo. Soebromo
pun terkejut.
Ada apa, mas Tjahaja? tanya Soebromo. Matanya yang berwarna laut menampilkan
perasaan cemas.
Mas Tjahaja yang tambah panas menampar gelas minuman Soebromo ke lantai. Opo
maksud kowe liat liat tetek anakku? bentak pria paruh baya dengan penutup kepala
lusuh itu. Mau laku mesum kowe?! tambahnya lagi sambil menggebrak meja sekali
lagi.
Soebromo pun menggaruk garuk rambutnya, dan dengan perlahan berdiri dari tempat
duduknya. Saya tidak berniat apa apa toh mas..Saya cuma senyum wae.. papar
Soebromo dengan sopan sambil menekankan setiap kata katanya.
Sontak, Mas Tjahaja mencengkeram baju Soebromo dan membantingnya ke lantai
dengan satu tangan. Benar benar dengan kuat.
Soebromo meringis. Dadanya duluan menghantam keras lantai kayu. Nafas Soebromo
menjadi nyeri dan sesak tak karuan. 2 orang yang dari tadi menonton keributan
beranjak dari kursi mereka dan memanggil pertolongan. 5 orang dari luar lantas
masuk ke dalam.
Soebromo mengangkat tubuhnya untuk bersimpuh. Namun Mas Tjahaja keburu
menendang kuat perutnya sampai ia tergeletak lagi. Soebromo mendengus kesakitan.
Kali ini darah terbatuk dari mulutnya.
Masih kuat kowe? letup Mas Tjahaja sambil mengusap mulutnya. Kali ini pak tua
itu mencengkeram kedua pundak Soebromo dan menghantamkan wajah pemuda sial
itu ke sudut meja dengan membabi buta. Bibir bawah Soebromo pecah dan tersirat
luka yang terlukis sampai ke dagu sebelah kanan.
Ampun, mas..Ampun... mohon Soebromo yang matanya mulai menitikkan air mata
kesakitan. Mas Tjahaja memukul perut pemuda itu sekali lagi sebelum
menjatuhkannya lagi. Mas Tjahaja menarik kerah baju Soebromo dan menyeretnya
keluar warung. Kejadian memalukan itu ditonton oleh kurang lebih selusin warga desa
yang antusias mencari tahu keributan. Bahkan terlihat beberapa bocah cilik
menertawakan pemuda yang babak belur disiksa itu.
Di luar, seolah Soebromo belum selesai dihajar. Mas Tjahaja melempar badan lemas
pemuda itu ke arah tumpukan kandang ayam yang dijual oleh pengrajin setempat.
Soebromo menggeliat sakit tak karuan seraya tulang punggungnya membentur balok
balok kayu yang kasar itu. Mas Tjahaja meludah ke arah tubuh menyedihkan itu.
Kowe kalo mau macem macem sama anakku, ndak perlu aku panggil iparku
Kompeni kesini. Katanya setengah berteriak. Aku wae cukup mbunuh kamu
tambahnya angkuh. Mas Tjahaja pun melengos kembali masuk ke warungnya.
Sementara Soebromo, terguling ganjil ditengah kerumunan yang tidak seorang pun
mendekatinya. Air matanya mengalir deras. Sangat deras.
Sepasang centeng desa tambun yang tiga puluh menit tadi malas malasan di gerbang,
dengan muka yang masih malas menuju ke tempat perkara. Satu dari mereka yang
bertubuh lebih besar sedikit menjinjing dengan mudahnya tubuh Soebromo yang tak
sadarkan diri. Sementara yang lain yang rambutnya dicukur pinggirnya saja, bergerak
mengusir warga warga yang menonton untuk kembali bekerja. Soebromo dibawa ke
sebuah lapangan kecil yang letaknya paling tersudut di desa. Dia dijatuhkan seperti itu
saja disana.
Dewa, kita letakkan disini saja? tanya si badan besar ke yang satunya.
Ya, Kula. Dan kita siram dia dengan air sumur biar dia bangun. Jawab centeng
bernama Dewa yang rambutnya tercukur pinggirnya itu.
Iya, betul. Lalu kita suruh dia bayar. Hahaha.. timpal Kula dengan polosnya.
Beberapa saat, Kula sudah mengambil dua ember kayu berisi air sumur yang dingin.
Dewa memukul belakang kepala Kula.
Hey bodoh, kau kira kita mau memandikan lembu, apa? tegur Dewa dengan keras.
Ooh..kalau begitu satunya untukku saja. Katanya dengan muka bodoh. Langsung, ia
memandikan dirinya sendiri dengan ember penuh air tersebut.
Kenapalah kau memberiku rekan kerja yang sedemikian bodoh, ya Dewata? bisik
Dewa sambil menutup wajahnya.
Dewa kemudian mengguyur Soebromo dengan air di ember satunya. Soebromo sontak
melotot dan berteriak kecil.
Puaaah..dingin!!! katanya sambil berlutut dan mengusap-usap wajahnya.
Sudah bangun, kau bocah mesum? tegur Dewa sambil melipat tangannya.
Me..mesum..? Tunggu kalian salah paham.. bela Soebromo.
I...iya! Ttt..tak usah b..bbbohong! Kkkau iii..ini memalukan tahu! tambah Kula
sambil terbata bata karena kedinginan.
Soebromo mengernyitkan dahinya. Ia memegang perut sebelah kirinya. Kemudian ia
memegang wajahnya. Ia merasa nyeri di sekujur tubuhnnya seperti terbakar.
Kamu bayar saja atas apa yang kamu lakukan, dik! pinta Dewa tanpa basa basi lagi.
Uhh...bayar berapa, mas? balas Soebromo juga tanpa basa basi. Ia sudah tak tahan
dengan cedera yang dialaminya dan bermaksud langsung diselesaikannya.
Kami mau 5 gulden! seloroh Kula yang sudah tak lagi kedinginan. Soebromo
membelalak.
5 gulden..? Saya ndak punya uang sebanyak itu, mas.. katanya sambil menekan
perut kirinya. Saya cuma punya...2 gulden.. tambahnya setengah berbisik.
2 gulden?! Apa apaan itu! bentak Kula. Ya sudah! Kemarikan uang recehan mu
itu! lanjutnya sambil menengadah tangannya yang besar.
Soebromo menyerahkan semua uang makannya untuk hari ini. Dengan setengah hati
ia menaruh sepasang keping logam itu ditelapak Kula dan Dewa. Mereka berdua
sedikit tersenyum simpul.
Yo wis..sana pergi kamu! Sebelum kami siksa juga disini! ancam Kula sambil
seolah mau memukul Soebromo. Soebromo pun menyeret kakinya meninggalkan
lapangan laknat itu.
Soebromo berjalan perlahan sambil mengabaikan bisikan bisikan busuk warga desa
yang dia lewati. Hingga sampailah dia kepada sebuah rumah. Sebenarnya tidak bisa
dibilang rumah, dan lebih bagus dibilang kotak kayu dengan matras didalamnya.
Kotak dengan atap jerami layu inilah yang dinamakan rumah bagi Soebromo. Ukuran
bilik tersebut tiga meter kali 2 meter. Di dalamnya hanya terdapat sebuah matras dari
anyaman rotan yang sudah buluk dan sebuah kotak kayu berisi semua jenis barang.
Rumah ini dilengkapi semuah jendela berupa lubang berbentuk segitiga yang
berukuran wajah Soebromo.
Di dalam Soebromo mengambil sepotong kain dari kotak serbagunanya. Ia kemudian
setengah berlari menuju ke sumur terbengkalai tepat dibelakang rumahnya itu.
Soebromo dengan perlahan menimba air yang nyaris kering di sumur itu. Ia tidak bisa
cepat-cepat. Setiap tarikan terasa seperti besi panas yang menusuk rusuknya.
Soebromo duduk sejenak, dengan ember berisi sedikit air disebelahnya. Soebromo
mendesah. Ia mengusap beberapa titik air mata yang turun dari pelupuk matanya.
Untuk apalah aku dilahirkan.. gumamnya tanpa sadar.
Tiba-tiba terdengar suara gadis dari kejauhan yang menangkap pendengarannya. Suara
yang familier. Suara dari gadis yang membuatnya babak belur tadi. Suara Lastri.
Bromo! seru Lastri sambil mengangkat sedikit kain yang menutupi pahanya.
Maklum, tanah disekitarnya agak becek. Soebromo beranjak dari duduk merenungnya
dan berdiri setengah tegap, menyambut Lastri.
Mbak Lastri, kenapa mbak kesini! Saya ndak mau kita berdua kena masalah lagi...
tegas Soebromo kalap. Ia sungguh trauma.
Ora opo opo, Kang Bromo. Lastri kali ini mengenakan selendang yang menutupi
setengah dada keatas. Saya kesini mau membantu membersihkan luka akang..
jelasnya dengan halus. Soebromo antara mau dan takut untuk menerima tawarannya.
Mbak Lastri, sungguh, saya mohon maaf bertindak lancang tadi.. pinta Soebromo
khilaf. Saya ndak bermaksud apa apa dan ndak mikir apa apa soal...mbak.. jelasnya
agak terbata-bata. Bingung mau bilang apa.
Sudah, toh kang. Saya ndak apa apa..Dasar memang bapak lagi jelek sifatnya hari ini.
Pelanggan sedang sedikit minggu ini.. cerah Lastri mengenai amarah babi buta
bapaknya. Soebromo masih sejak tadi menunduk malu.
Ya sudah kalau begitu..Akang buka bajunya. Biar Lastri bersihkan lukanya.
Perintah Lastri pelan. Jantung Soebromo berdegup kencang. Ia merasa sangat gugup
mengenai hal ini. Umur 20 tahun memang masa-masa semangat yang menggebugebu. Ia sadar semua bisa terjadi.
Bu..buka baju kata mbak? perjelas Soebromo seolah polos. Dia menikmati ini.
Iya, kang.. balas Lastri mulai tak sabar.
Segeralah, Soebromo melepaskan baju tak berlengannya. Tampak tubuh atletis yang
mengkilap karena keringat. Dada bidang Soebromo membuat Lastri sedikit tertegun.
Namun semua kekaguman itu berubah ngeri setelah melihat dua luka lebam yang
terlukis di tubuh pemuda itu. Satu bercak ungu kehitaman di rusuk kiri, satu lagi
bercak biru kemerahan di perut sebelah kanan. Tak lupa, luka koyak di bibir bawah
yang masih sedikit mengucur darah dari situ.
Lastri mengeluarkan semangkuk salep alami dari kantung kulit yang dibawanya. Ia
mengoleskan salep itu ke lebam Soebromo. Soebromo meringis kesakitan begitu salep
berwarna jingga itu menyentuh kulitnya.
Ndak apa apa, kang...Ini salep buatan Nyai Risning..kata beliau prajurit yang terluka
dikasih ini.. jelas Lastri tentang obatnya itu. Soebromo mengangguk pelan sambil
memejamkan matanya kesakitan.
Kemudian, Lastri lanjut membersihkan luka koyak di bibir Soebromo. Ia mengambil
kain tadi dan merendamnya dengan air yang dicampur salep miliknya. Dengan rata,
dibersihkannya luka tersebut. Soebromo kali ini menjerit agak keras.
Waaaa! Sakit mbaak! rengek Soebromo nyaring. Lastri hanya diam sambil terus
mengolesnya.
Selang beberapa waktu yang dipenuhi suara jeritan dan ringisan, Soebromo menjadi
lebih tenang. Mereka berdua duduk beristirahat di atas batu kali besar dekat sungai
kecil di belakang.
Kang, ingat ndak waktu kecil dulu. Kita sering main ke Sungai tempat akang
sekarang nggawe? tanya Lastri sambil melihat kearah langit.
Masih, lah. Setiap gawe, saya selalu teringat dengan kenangan itu, mbak.. jawab
Soebromo sambil sedikit merapat ke arah Lastri. Lastri hanya tersenyum.
Kang, walaupun warga desa seperti itu sama akang...Lastri.. gumam Lastri setengah
berbisik. Tapi Soebromo menangkap jelas gumaman gadis cantik itu.
Kenapa, mbak..? balas Soebromo pelan.
Lastri...tetap berada di pihak akang.. lanjutnya terbata bata. Wajah Lastri memerah
semerah batu bata yang baru dipanggang.
Soebromo tertegun. Desiran darah tubuhnya begitu deras. Soebromo memegang
tangan Lastri dengan ragu ragu. Gemericik air sungai kecil mengisi keheningan sore
itu.
Soebromo mendekatkan bibirnya ke arah Lastri. Lastri menyadari pergerakan
Soebromo sedikit terkejut, namun ia mengerti. Lastri menyiapkan mentalnya. Ia
merasa siap.
Lastri... Soebromo berbisik seraya makin mendekat.
Kang Bromo... degup jantung Lastri begitu hebat. Peluh jatuh ke dadanya yang
montok yang sudah basah karena keringat. Bibir berisi Lastri sudah siap.
Namun mulut Soebromo bukan mengincar bibir merah Lastri, namun telinganya. Ia
berbisik.
Saya ndak perlu didukung, mbak..Saya sudah mati sejak 15 tahun yang lalu..
Lastri sontak terkejut dan menutup mulutnya. Ia menunduk malu, dan terburu buru
berdiri. Ia mengusap dahinya yang berkeringat, dan membereskan barang barangnya.
Soebromo masih terduduk diam dengan tatapan kosong ke arah langit.
Sebelum Lastri beranjak pergi, ia memegang pundak Soebromo. Pemuda itu menoleh
kebelakang.
Akang ndak perlu terus terusan menyalahkan diri akang sendiri.. Lastri pun berlari
pergi. Terlihat air mata jatuh dari matanya.
SATU SETENGAH
Waktu lampau, di suatu tempat.
Bibirnya yang merah pucat terus komat kamit tidak jelas. Kumisnya yang berwarna
emas pun ikut menari karenanya. Pria paruh baya berpostur sedikit bungkuk itu sudah
tidak sabar. Ia memilin milin benang biru yang menggantung di lengan kemejanya.
Pria paruh baya dengan rambut emas kelimis itu duduk gelisah di ujung meja panjang
yang membentang di dalam ruangan berdinding marmer abu-abu itu. Ruangan itu
diterangi lampu chandelier yang dikirim dari negeri Inggris, dan sebuah lukisan
naturalisme tergantung rapi di dekat jendela. Di dekat pajangan vas di salah satu sudut
ruangan, terdapat sepasang orang pribumi berkulit coklat bertubuh kurus sedang
membersih-bersihkan tempat mereka berpijak. Wajah mereka penuh keringat, dan
kebencian, namun juga ketakutan, yang mereka projeksikan dengan paksa lewat
senyum hangat ke pria berwibawa yang mungkin majikannya itu. Tetap saja. Pria itu
masih tidak sabar.
Simeone!!! Oh, Simeone!! serunya dengan logat Belanda yang terasa.
Dari pintu coklat besar yang letaknya sejajar dengan tempat si pria itu duduk, keluar
seorang pemuda bertubuh kurus berseragam jingga lengkap. Pemuda itu dengan
tergesa-gesa menjinjing Senapan panjangnya sambil membetulkan topi tingginya. Dua
orang ajudannya mengikutinya dari belakang.
Ma..maaf, tuan..Babu bodoh yang aku pekerjakan sungguh tidak bisa diajari! Apa
maksudnya membersihkan sepatu perangku dengan... jelas pemuda tentara bernama
Simeone itu sambil terbata-bata dalam bahasa Belanda.
CUKUP, BODOH!! potong pria tidak sabar itu. Simeone tertunduk ketakutan.
Begitu pula dua ajudannya yang juga kelihatan bodoh.
Kesabaranku sudah menipis, bocah..Begitu juga dengan waktuku! Waktu hidup
kalian semua!! letupnya dengan meledak-ledak. Pria kelimis itu tak lagi memilin
benang dengan gugup. Alih-alih, ia sekarang memainkan palu besi berukuran kepalan
tangan yang dari tadi tergeletak diam di atas meja.
Tuan Pietercon-zoon sebentar lagi akan sampai di Batavia!! Dan aku belum
menyelesaikan perintahnya?? Persetan dengan kalian semua! Jika aku dihukum mati,
arwahku akan membunuh kalian!! letupnya meracau sambil berjalan mondar mandir.
Simeone sesekali melirik kearah bosnya yang pemarah itu, dan memberanikan diri
untuk mencairkan suasana.
Van Brunt melambaikan tanganya ke pribumi satu lagi yang temannya tewas tersebut.
Ia semula terkejut akan jadi korban selanjutnya. Namun, Van Brunt menyuruhnya
untuk membersihkan mayat pribumi temannya tersebut serta meja pertemuan miliknya
itu. Van Brunt bahkan memberikannya upah agar kerjanya cepat.
Simeone, tanpa basa-basi, langsung pamit meninggalkan ruangan. Dengan segera Ia
memerintahkan anak buahnya bersiap-siap perbekalan dan lain-lain.
Sebelum meninggalkan markas, ia menghentikan sebentar langkah anak buahnya.
Hey, kalian dengarkan aku! Pokoknya sesampai di desa itu, kita langsung hadapi
kepala desanya! tegas Simeone sambil berusaha menghapus kejadian horor sepuluh
menit yang lalu.
Jika yang bersangkutan tidak mau kompromi. Tidak ada cara lain, rekan-rekanku
sayang. Tambahnya.
Musnahkan tanpa sisa.
DUA
Waktu fana, puncak pohon Sriwani.