Sie sind auf Seite 1von 12

a.

Kanker serviks
Kanker leher rahim (serviks) atau karsinoma serviks uterus merupakan kanker pembunuh
wanita nomor dua di dunia setelah kanker payudara. DiIndonesia, kanker leher rahim bahkan
menduduki peringkat pertama. Kanker serviks yang sudah masuk ke stadium lanjut sering
menyebabkan kematian dalam jangka waktu relatif cepat.Kanker serviks uterus adalah keganasan
yang paling sering ditemukan dikalangan wanita. Penyakit ini merupakan proses perubahan dari
suatu epithelium yang normal sampai menjadi Ca invasive yang memberikan gejala dan merupakan
proses yang perlahan-lahan dan mengambil waktu bertahun-tahun.
Serviks atau leher rahim/mulut rahim merupakan bagian ujung bawah rahim yang menonjol
ke liang sanggama (vagina). Kanker serviks berkembang secara bertahap, tetapi progresif. Proses
terjadinya kanker ini dimulai dengan sel yang mengalami mutasi lalu berkembang menjadi sel
displastik sehingga terjadi kelainan epitel yang disebut displasia. Dimulai dari displasia ringan,
dysplasia sedang, displasia berat, dan akhirnya menjadi karsinoma in-situ (KIS), kemudian
berkembang lagi menjadi karsinoma invasif. Tingkat displasia dan KIS dikenal juga sebagai tingkat
pra-kanker. Dari displasia menjadi karsinoma in-situ diperlukan waktu 1-7 tahun, sedangkan
karsinoma in-situ menjadi karsinoma invasif berkisar 3-20 tahun.Kanker ini 99,7% disebabkan oleh
human papilloma virus (HPV) onkogenik, yang menyerang leher rahim.
Berawal terjadi pada leher rahim,apabila telah memasuki tahap lanjut, kanker ini bisa
menyebar ke organ-organlain di seluruh tubuh penderita.
b. Klasifikasi Kanker Serviks
Ada beberapa klasifikasi tapi yang paling banyak penganutnya adalah yang dibuat oleh IFGO
(International Federation of Ginekoloi and Obstetrics) yaitu sebagai berikut :
Stage 0 : Casrsinoma insitu = Ca intra epithelial = Ca preinvasif.
Stage 1 : Ca terbatas pada cerviks.
Stage 1 a : Disertai invasi daro stoma (preclinical-Ca) yang hanya diketahui secara histology.
Stage 1 b : Semua kasus-kasus lainnya dari stage 1.
Stage 2 : Sudah menjalar keluar serviks tapi belum sampai ke panggul,telah mengenai dinding vagina
tapi tidak melebihi 2/3 bagian proximal.
Stage 3 : Sudah sampai dinding panggung dan sepertiga bagian bawah vagina
Stage 4 : Sudah mengenai organ-organ yang lain
c. Gejala Klinis Kanker Serviks
Tidak khas pada stadium dini. Sering hanya sebagai fluos dengan sedikit darah, pendarahan
pastkoital atau perdarahan pervagina yang disangka sebagai perpanjangan waktu haid. Pada stadium
lanjut baru terlihat tanda-tanda yang lebih khas, baik berupa perdarahan yang hebat (terutama dalam

bentuk eksofitik),fluor albus yang berbau dan rasa sakit yang sangat hebat.Pada fase prakanker, sering
tidak ada gejala atau tanda-tanda yang khas.Namun, kadang bisa ditemukan gejala-gejala sebagai
berikut:
1) Keputihan atau keluar cairan encer dari vagina. Getah yang keluar dari vagina ini makin lama
akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan
2) Perdarahan setelah sanggama (post coital bleeding) yang kemudian berlanjut menjadi perdarahan
yang abnormal.
3) imbulnya perdarahan setelah masa menopause.
4) Pada fase invasif dapat keluar cairan berwarna kekuning-kuningan, berbaudan dapat bercampur
dengan darah.
5) Timbul gejala-gejala anemia bila terjadi perdarahan kronis.
6) Timbul nyeri panggul (pelvis) atau di perut bagian bawah bila ada radang panggul. Bila nyeri
terjadi di daerah pinggang ke bawah, kemungkinan terjadi hidronefrosis. Selain itu, bisa juga
timbul nyeri di tempat-tempat lainnya.
7) Pada stadium lanjut, badan menjadi kurus kering karena kurang gizi, edema kaki, timbul iritasi
kandung kencing dan poros usus besar bagian bawah (rectum), terbentuknya fistel vesiko vaginal
atau rekto vaginal, atau timbul gejala-gejala akibat metastasis jauh.
d. Faktor Penyebab dan Faktor Resiko Kanker Serviks
1) Faktor Penyebab
HPV (Human Papiloma Virus) merupakan penyebab terbanyak. Sebagai tambahan perokok
sigaret telah ditemukan sebagai penyebab juga.Wanita perokok mengandung konsentrat
nikotin dan kotinin didalam serviks mereka yang merusak sel. Laki-laki perokok juga terdapat
konsetrat bahan inipada sekret genitalnya, dan dapat memenuhi servik selama intercourse.
Defisiensi beberapa nutrisional dapat juga menyebabkan servikal displasia.National Cancer
Institute merekomendasikan bahwa wanita sebaiknya mengkonsumsi lima kali buah-buahan
segar dan sayuran setiap hari. Jika anda tidak dapat melakukan ini, pertimbangkan konsumsi
multivitamin dengan antioksi dan seperti vitamin E atau beta karoten setiap hari.
2) Faktor Resiko
a) Pola hubungan seksual
Studi epidemiologi mengungkapkan bahwa resiko terjangkit kanker serviks meningkat
seiring meningkatnya jumlah pasangan.aktifitas seksual yang dimulai pada usia dini, yaitu
kurang dari 20 tahun,juga dapat dijadikan sebagai factor resiko terjadinya kanke servks.
Hal ini diduga ada hubungannya dengan belum matangnya daerah transformas pada usia

tesebut bila sering terekspos. Frekuensi hubungana seksual juga berpengaruh pada lebih
tingginya resiko pada usia tersebut, tetapi tidak pada kelompok usia lebih tua.
b) Paritas
Kanker serviks sering dijumpai pada wanita yan sering melahirkan.Semakin sering
melahirkan,maka semain besar resiko terjamgkit kanker serviks. Pemelitian di Amerika
Latin menunjukkan hubungan antara resiko dengan multiparitas setelah dikontrol dengan
infeksi HPV.
c) Merokok
Beberapa peneitian menunukan hubungan yang kuat antara merokok dengan kanker
serviks, bahkan setelah dikontrol dengan variable konfounding seperti pola hubungana
seksual. Penemuan lain memperlihatkan ditemukannya nikotin pada cairan serviks wanita
perokok dan bersama-sama dengan kasinogen yang telah ada selanjutnya mendoron
pertumbuhan ke arah kanker.
d) Kontrasepsi oral
Penelitian secara perspektif mendapatkan bahwa peningkatan insiden kanker serviks
dipengaruhi oleh lama pemakaian kontrasepsi oral. Penelitian tersebut juga mendapatkan
bahwa semua kejadian kanker serviks invasive terdapat pada pengguna kontrasepsi oral.
Penelitian lain mendapatkan bahwa insiden kanker setelah 10 tahun pemakaian 4 kali lebih
tinggidaripada bukan pengguna kontrasepsi oral. Namun penelitian serupa menyimpulkan
bahwa aktifitas seksual merupakan confounding yang erat kaitannya dengan hal
tersebut.WHO mereview berbagai peneltian yang menghubungkan penggunaan kontrasepsi
oral dengan risko terjadinya kanker serviks,menyimpulkan bahwa sulit untuk
menginterpretasikan hubungan tersebut mengingat bahwa lama penggunaan kontraseps oral
berinteraksi dengan factor lain khususnya pola kebiasaan seksual dalam mempengaruhi
resiko kanker serviks. Selain itu, adanya kemungkinan bahwa wanita yangmenggunakan
kontrasepsi oral lain lebih sering melakukan pemeriksaansmera serviks,sehingga displasia
dan karsinoma in situ nampak lebihfrekuen pada kelompok tersebut. Diperlukan kehatihatian dalam menginterpretasikan asosiasi antara lama penggunaan kontrasepsi oraldengan
resiko kanker serviks karena adanya bias dan faktor confounding.
b)

Defisiensi gizi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa defisiensi zat gizi tertentu seperti betakaroten dan
vitamin A serta asam folat, berhubungna dengan peningkatan resiko terhadap displasia
ringan dan sedang.. Namun sampai saat ini tidak ada indikasi bahwa perbaikan defisensi gizi
tersebutakan menurunkan resiko.

c)

Sosial ekonomi
Studi secara deskrptif maupun analitik menunjukkan hubungan yang kuat antara kejadian
kanker serviks dengan tingkat social ekonomi yang rendah. Hal ini juga diperkuat oleh
penelitian yang menunjukkan bahwa infeksi HPV lebih prevalen pada wanita dengan
tingkat pendidkan dan pendapatan rendah. Faktor defisiensi nutrisi, multilaritas dan
kebersihan genitalia juga diduga berhubungan dengan masalah tersebut.

d)

Pasangan seksual

e)

Peranan pasangan seksual dari penderita kanker serviks mulai menjadi bahan yang menarik
untuk diteliti. Penggunaan kondom yang frekuen ternyata memberi resiko yang rendah
terhadap terjadinya kanker serviks. Rendahnya kebersihan genetalia yang dikaitkan dengan
sirkumsisi juga menjadi pembahasan panjang terhadap kejadian kanker serviks.Jumlah
pasangan ganda selain istri juga merupakan factor resiko yang lain.

e. Pengobatan untuk Kanker Serviks


Pemilihan pengobatan untuk kanker serviks tergantung kepada lokasi danukuran tumor, stadium
penyakit, usia, keadaan umum penderita dan rencanapenderita untuk hamil lagi.
1) Pembedahan
Pada karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan servikspaling luar), seluruh
kanker seringkali dapat diangkat dengan bantuan pisaubedah ataupun melalui LEEP. Dengan
pengobatan tersebut, penderita masihbisa memiliki anak. Karena kanker bisa kembali kambuh,
dianjurkan untukmenjalani pemeriksaan ulang dan Pap smear setiap 3 bulan selama 1
tahunpertama dan selanjutnya setiap 6 bulan. Jika penderita tidak memiliki rencanauntuk hamil
lagi, dianjurkan untuk menjalani histerektomi. Pada kanker invasif,dilakukan histerektomi dan
pengangkatan struktur di sekitarnya (prosedur in disebut histerektomi radikal) serta kelenjar getah
bening. Pada wanita muda, ovarium (indung telur) yang normal dan masih berfungsi tidak
diangkat.
2) Terapi penyinaran
Terapi penyinaran (radioterapi) efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih
terbatas pada daerah panggul. Pada radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi untuk merusak
sel-sel kanker dan menghentikanpertumbuhannya. Ada 2 macam radioterapi, yaitu :
Radiasi eksternal : sinar berasar dari sebuah mesin besar Penderita tidak perlu dirawat di
rumah sakit, penyinaran biasanya dilakukansebanyak 5 hari/minggu selama 5-6 minggu.
Radiasi internal: zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul dimasukkanlangsung ke
dalam serviks.Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari dan selama itu penderita dirawat dirumah

sakit. Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali selama 1-2 minggu.Efek samping dari terapi
penyinaran adalah :
a) Iritasi rektum dan vagina
b) Kerusakan kandung kemih dan rectum
c) Ovarium berhenti berfungsi.
3) .Kemoterapi
Jika kanker telah menyebar ke luar panggul, kadang dianjurkan untukmenjalani
kemoterapi. Pada kemoterapi digunakan obat-obatan untukmembunuh sel-sel kanker. Obat antikanker bisa diberikan melalui suntikan
Intravena atau melalui mulut. Kemoterapi diberikan dalam suatu siklus, artinya suatu
periode pengobatan diselingi dengan periode pemulihan, lalu dilakukan pengobatan, diselingi
denga pemulihan, begitu seterusnya.4. Terapi biologis Pada terapi biologis digunakan zat-zat
untuk memperbaiki system kekebalan tubuh dalam melawan penyakit. Terapi biologis dilakukan
pada kanker yang telah menyebar ke bagian tubuh lainnya. Yang paling seringdigunakan adalah
interferon, yang bisa dikombinasikan dengan kemoterapi.
f. Pencegahan dan Penanganan Kanker Serviks
Pengendalian kinder serviks dengan pencegahan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier Strategi kesehatan masyarakat
dalam mencegah kematian karena kanker serviks antara lain adalah dengan pencegahan primer dan
pencegaan sekunder.
1) Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan kegiatan uang dapat dilakukan oleh setiap orang untuk
menghindari diri dari faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya kanker serviks. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara menekankan perilaku hidup sehat untuk mengurangi atau
menghindari faktor resiko sepertikawin muda, pasangan seksual ganda dan lain-lain. Selain itu
jugapencegahan primer dapat dilakukan dengan imuisasi HPV pada kelompokmasyarakat
2) Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder kanker serviks dilakukan dengan deteksi dinidan skrining
kanker serviks yang bertujuan untuk menemukan kasus-kasuskanker serviks secara dibni
sehingga kemungkinan penyembuhan dapat ditingkatkan. Perkembangan kanker serviks
memerlukan waktu yang lama.Dari prainvasif ke invasive memerlukan waktu sekitar 10 tahun
atau lebih.Pemeriksaan sitologi merupakan metode sederhana dan sensitive untuk mendeteksi
karsinoa pra invasive.

Bila diobati dengan baik, karsinoma prainvasive mempunyai tingkat penyembuhan


mendekati 100%. Diagnosa kasus pada fase invasive hanya memiliki tingkat ketahanan sekitar
35%. Program skrining dengan pemeriksaan sitologi dikenal dengan Pap mear test dan telah
dilakukan di Negara-negara maju. Pencegahan dengan pap smear terbuki mampu menurunkan
tingkat kematian akibat kanker serviks 50-60%dalamkurun waktu 20 tahun (WHO,1986).
1. Metode skrining lesi prakanker serviks
Ada beberapa metode skrining yang dapat digunakan, tergantung dari ketersediaan
sumber daya. Metode skrining yang baik memiliki beberapa persyaratan, yaitu akurat, dapat
diulang kembali (reproducible), murah, mudah dikerjakan dan ditindak-lanjuti, akseptabel, serta
aman. Beberapa metode yang diakui WHO adalah sebagai berikut:

a. Metode Sitologi
1) Tes Pap konvensional
Pap atau pemeriksaan sitologi diperkenalkan oleh Dr. George Papanicolau
sejak tahun 1943. Sejak tes ini dikenal luas, kejadian kanker leher rahim di
negara-negara maju menurun drastis. Pemeriksaan ini merupakan suatu prosedur
pemeriksaan yang mudah,murah, aman, dan non-invasif. Beberapa penulis
melaporkan sensitivitas pemeriksaan ini berkisar antara 78-93%, tetapi
pemeriksaan ini tak luput dari hasil positif palsu sekitar 16-37% dan negatif palsu
7-40% Sebagian besar kesalahan tersebut disebabkan oleh pengambilan sediaan
yang tidak adekuat, kesalahan dalam proses pembuatan sediaan dan kesalahan
interpretasi.
2) Pemeriksaan sitologi cairan (Liquid-base cytology/LBC)
Dikenal juga dengan Thin Prep atau monolayer. Tujuan metode ini adalah
mengurangi hasil negatif palsu dari pemeriksaan Tes Pap konvensional dengan
cara optimalisasi teknik koleksi dan preparasi sel. Pada pemeriksaan metode ini
sel dikoleksi dengan sikat khusus yang dicelupkan ke dalam tabung yang sudah
berisi larutan fiksasi. Keuntungan penggunaan teknik monolayer ini adalah sel
abnormal lebih tersebar dan mudah tertangkap dengan fiksasi monolayer sehingga
mudah dikenali. Kerugiannya adalah butuh waktu yang cukup lama untuk
pengolahan slide dan biaya yang lebih mahal.
b. Metode pemeriksaan DNA-HPV
Deteksi DNA HPV dapat dilakukan dengan metode hibridisasi berbagai cara
mulai dari cara Southern Blot yang dianggap sebagai baku emas, filter in situ, Dot

Blot, hibridisasi in situ yang memerlukan jaringan biopsi, atau dengan cara
pembesaran, seperti pada PCR (Polymerase Chain Reaction) yang amat sensitif.
c. Metode inspeksi visual
1) Inspeksi visual dengan lugol iodin (VILI)
2) Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA)
Selain dua metode visual ini, dikenal juga metode visual kolposkopi dan
servikografi. Setiap metode skrining mempunyai sensitifitas dan spesifisitas berbeda.
Sampai saat ini belum ada metode yang ideal dimana sensitivitas dan spesifisitas
100% (absolut). Oleh karena itu, dalam pemeriksaan skrining, setiap wanita harus
mendapat penjelasan dahulu (informed consent)
Metode Iva
Di negara maju, skrining secara luas dengan metode pemeriksaan sitologi tes
Pap telah menunjukkan hasil yang efektif dalam menurunkan insidens kanker leher
rahim. Namun di negara-negara berkembang yang hanya memiliki sumber daya
terbatas, skrining hanya menjangkau sebagian kecil perempuan saja, terutama di
daerah perkotaan. Ada beberapa kelemahan tes Pap diantaranya keterbatasan jumlah
laboratorium sitologi dan tenaga sitoteknologi terlatih, sehingga menyebabkan hasil
tes Pap baru didapat dalam rentang waktu yang relatif lama (berkisar 1 hari- 1 bulan).
Skrining dengan metode tes Pap memerlukan tenaga ahli, sistem transportasi,
komunikasi dan tindak lanjut (follow-up) yang belum dapat dipenuhi oleh negaranegara berkembang. Hanya sebagian kecil dari perempuan yang menjalani dan
mendapatkan hasil tes.
Pap juga menjalani evaluasi dan pengobatan yang semestinya bila ditemukan
abnormalitas. Sebagai konsekuensinya, angka insidens kanker leher rahim tetap tinggi
dan kebanyakan pasien datang pada stadium lanjut. Masalah yang berkembang akibat
keterbatasan metode tes Pap inilah yang mendorong banyak penelitian untuk mencari
metode alternatif skrining kanker leher rahim. Salah satu metode yang dianggap dapat
dijadikan alternatif adalah metode inspeksi visual dengan asam asetat (IVA).
Efektivitas IVA sudah di teliti oleh banyak peneliti. Walaupun demikian
perbandingan masing-masing penelitian tentang IVA agak sulit dievaluasi karena
perbedaan protokol dan populasi. Secara umum dapat dikatakan bahwa sensitivitas
IVA untuk mendeteksi High Grade SIL berkisar 60-90 %., sehingga dapat dikatakan
bahwa sensitifitas IVA setara dengan sitologi walaupun spesifisitasnya lebih rendah.

Metode IVA memberi peluang dilakukannya skrining secara luas di tempattempat yang memiliki sumberdaya terbatas, karena metode ini memungkinkan
diketahuinya hasil dengan segera dan terutama karena hasil skrining dapat segera
ditindaklanjuti. Metode satu kali kunjungan (single visit approach) dengan melakukan
skrining metode IVA dan tindakan bedah krio untuk temuan lesi prakanker (see and
treat) memberikan peluang untuk peningkatan cakupan deteksi dini kanker leher
rahim, sekaligus mengobati lesi prakanker.
Dasar Pemeriksaan IVA
Pemeriksaan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah pemeriksaan
yang pemeriksanya (dokter/bidan/paramedis) mengamati leher rahim yang telah diberi
asam asetat/asam cuka 3-5% secara inspekulo dan dilihat dengan penglihatan mata
telanjang.
Pemeriksaan IVA pertama kali diperkenalkan oleh Hinselman (1925) dengan
cara memulas leher rahim dengan kapas yang telah dicelupkan dalam asam asetat 35%. Pemberian asam asetat itu akan mempengaruhi epitel abnormal, bahkan juga
akan meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler yang bersifat
hipertonik ini akan menarik cairan dari intraseluler sehingga membran akan kolaps
dan jarak antar sel akan semakin dekat. Sebagai akibatnya, jika permukaan epitel
mendapat sinar, sinar tersebut tidak akan diteruskan ke stroma, tetapi dipantulkan
keluar sehingga permukaan epitel abnormal akan berwarna putih, disebut juga epitel
putih (acetowhite).
Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan akan berwarna putih juga
setelah pemulasan dengan asam asetat tetapi dengan intensitas yang kurang dan cepat
menghilang. Hal ini membedakannya dengan proses prakanker yang epitel putihnya
lebih tajam dan lebih lama menghilang karena asam asetat berpenetrasi lebih dalam
sehingga terjadi koagulasi protein lebih banyak. Jika makin putih dan makin jelas,
main tinggi derajat kelainan jaringannya.58 Dibutuhkan 1-2 menit untuk dapat
melihat perubahan-perubahan pada epitel. Leher rahim yang diberi 5% larutan asam
asetat akan berespons lebih cepat daripada 3% larutan tersebut. Efek akan menghilang
sekitar 50-60 detik sehingga dengan pemberian asam asetat akan didapatkan hasil
gambaran leher rahim yang normal (merah homogen) dan bercak putih (mencurigakan
displasia). Lesi yang tampak sebelum aplikasi larutan asam asetat bukan merupakan
epitel putih, tetapi disebut leukoplakia; biasanya disebabkan oleh proses keratosis.
Teknik Pemeriksaan IVA dan Interpretasi

Prinsip metode IVA adalah melihat perubahan warna menjadi putih


(acetowhite) pada lesi prakanker jaringan ektoserviks rahim yang diolesi larutan asam
asetoasetat (asam cuka). Bila ditemukan lesi makroskopis yang dicurigai kanker,
pengolesan asam asetat tidak dilakukan namun segera dirujuk ke sarana yang lebih
lengkap. Perempuan yang sudah menopause tidak direkomendasikan menjalani
skrining dengan metode IVA karena zona transisional leher rahim pada kelompok ini
biasanya berada pada endoserviks rahim dalam kanalis servikalis sehingga tidak bisa
dilihat dengan inspeksi spekulum.
Perempuan yang akan diskrining berada dalam posisi litotomi, kemudian
dengan spekulum dan penerangan yang cukup, dilakukan inspeksi terhadap kondisi
leher rahimnya. Setiap abnormalitas yang ditemukan, bila ada, dicatat. Kemudian
leher rahim dioles dengan larutan asam asetat 3-5% dan didiamkan selama kurang
lebih 1-2 menit. Setelah itu dilihat hasilnya. Leher rahim yang normal akan tetap
berwarna merah muda, sementara hasil positif bila ditemukan area, plak atau ulkus
yang berwarna putih.
Lesi prakanker ringan/jinak (NIS 1) menunjukkan lesi putih pucat yang bisa
berbatasan dengan sambungan skuamokolumnar. Lesi yang lebih parah (NIS 2-3
seterusnya) menunjukkan lesi putih tebal dengan batas yang tegas, dimana salah satu
tepinya selalu berbatasan dengan sambungan skuamokolumnar (SSK). Beberapa
kategori temuan IVA tampak seperti tabel berikut :
Kategori Temuan IVA
1. Normal

Licin, merah muda, bentuk porsio normal

2. Infeksi

servisitis (inflamasi, hiperemis) banyak fluor ektropion


polip

3. Positif IVA

plak putih epitel acetowhite (bercak putih)

4.Kanker leher Rahim

pertumbuhan seperti bunga kol pertumbuhan mudah


berdarah

Kategori Temuan IVA


1. Negatif

- tak ada lesi bercak putih (acetowhite lesion) - bercak


putih pada polip endoservikal atau kista nabothi - garis
putih mirip lesi acetowhite pada sambungan
skuamokolumnar

2. Positif 1 (+)

- samar, transparan, tidak jelas, terdapat lesi bercak putih


yang ireguler pada serviks - lesi bercak putih yang tegas,
membentuk sudut (angular), geographic acetowhite
lessions yang terletak jauh dari sambungan
skuamokolumnar

3. Positif 2 (++)

- lesi acetowhite yang buram, padat dan berbatas jelas


sampai ke
sambungan skuamokolumnar - lesi acetowhite yang luas,
circumorificial, berbatas tegas, tebal dan padat pertumbuhan pada leher rahim menjadi acetowhite

Baku emas untuk penegakan diagnosis lesi prakanker leher rahim adalah
biopsi yang dipandu oleh kolposkopi. Apabila hasil skrining positif, perempuan yang
diskrining menjalani prosedur selanjutnya yaitu konfirmasi untuk penegakan
diagnosis melalui biopsi yang dipandu oleh kolposkopi. Setelah itu baru dilakukan
pengobatan lesi prakanker. Ada beberapa cara yang dapat digunakan yaitu kuretase
endoservikal, krioterapi, atau loop electrosurgical excision procedure (LEEP), laser,
konisasi, sampai histerektomi simpel. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
2008)
Sasaran skrining
Sasaran peserta skrining merupakan salah satu hal pening yang perlu
direncanakan dalam melakukan deteksi dini kanker, supaya skrining yang
dilaksanakan terprogram dan terorganisasi dengan baik, tepat sasaran dan efektif,
terutama berkaitan dengan sumber daya yang terbatas.
WHO mengindikasikan skrining dilakukan pada kelompok berikut
a) Setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah menjalani
tes Pap sebelumnya, atau pernah mengalami tes Pap 3 tahun sebelumnya atau
lebih.
b) Perempuan yang ditemukan lesi abnormal pada pemeriksaan tes Pap sebelumnya
c) Perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan pasca
sanggama atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda dan gejala
abnormal lainnya

d) Perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada leher rahimnya


Interval skrining
WHO merekomendasikan,
a) Bila skrining hanya mungkin dilakukan 1 kali seumur hidup maka sebaiknya
dilakukan pada perempuan antara usia 35-45 tahun.
b) Untuk perempuan usia 25-49 tahun, bila sumber daya memungkinkan, skrining
hendaknya dilakukan 3 tahun sekali.
c) Untuk perempuan dengan usia diatas 50 tahun, cukup dilakukan 5 tahun sekali
d) Bila 2 kali berturut-turut hasil skrining sebelumnya negatif, perempuan usia diatas
65 tahun, tidak perlu menjalani skrining.
e) Tidak semua perempuan direkomendasikan melakukan skrining setahun sekali .
(WHO, 2006)
2. pemeriksaaan genekologi
a.

Memastikan adanya pendamping selama melakukan pemeriksaan

b.

Menyiapkan alat-alat yang dipergunaka:handscoen, toilet vulva (kapas+desinfektan),


speculum(sinus dan graves) dan pinset anatomis+kapas steril, klem ovari

c.

Meminta pasien untuk BAK terlebih dahulu, kemudian mempersiapkan pasien


dalam posisi litotomi

d.

Cuci tangan dan menggunakan handscoen dengan aseptik,

e.

Inspeksi bagian vulva

f.

Lakukantoilet vulva dan perineum secara sistemik, dari sentral ke perifer.Usapan


daerah anus harus dilakukan paling akhir

g.

Inspeksi secara sistematis (mons pubis, labium mayus kanan kiri, perineum dan
anus).Selamainspeksi jangan memegang dengan sarung tangan yang steril.

h.

Mempersiapkan spekulum yang sesuai ukuran dengan keadaan yang akan diperiksa
dan periksa sekrupnya. Basahi speculum dengan lubrikan/kapas yang sudah
direndam dalm desinfektan.

i.

Ibu jari dan jari telunjuk tangan kiri pemeriksa membuka bagian labium minus dari
arah mons pubis(atas) sehingga introitus vagina terlihat jelas. Spekulum dalam
keadaan tertutup dipegang dengan tangan kanan, kemudian masukkan secara
perlahan-lahan kedua daun speculum dalam keadaan posisi miring hingga kira-kira
2/3 dari panjang liang vagina.Setelah mencapai 2/3 panjang liang vagina, speculum

diputar perlahan sehingga posisi daun speculum mendatar. Setelah mendatar,


speculum dipegang dengan tangan kiri. Daun speculum dibuka dengan cara
menekan pembuka speculum dengan ibu jari tangan kiri secara perlahan , sehingga
serviks uteri dapat terlihat. Speculum difiksasi
j.

Mengamati serviks uteri dan urefisium uteri eksternum dengan seksama. Perhatikan
kelainan-kelainan yang ada.

k.

Mengeluarkan speculum dengan mengendorkan sekrup pengunci dan aturlah bukaan


speculum yang sesuai sambil menarik sedikit speculum. Putarlah kembali speculum
90 derajat sehingga daun speculum dalam posisi miring sambil mengatur bukaan
daun speculum dengan tangan kiri.

l.

Meletakkan alat-alat yang telah dipergunakan kembali ke tempatnya

m. Melakukan

pemeriksaan

bimanual

dengan

menggunakan

jari,

jari

telunjukdanjaritengah. Dengan tangan kiri sambilmemegangsuprapubis. Palpasi


vagina sampai fornix, cervix, adnexa.
n.

Membersiksan daerah vulva dengan cairan fisiologis.

DAFTAR PUSTAKA

Chorba T, Tau G, Irwin KL. Sexually Transmitted Diseases: chapter 20. Urologic Diseases in
America
Crowley, L.V., 2001, An Introduction to Human Disease Pathology and Pathophysiology
Correlations, 426, Jones and Barlett Publishers Inc., Mississauga
Depkes.

2011.
Pelayanan
Kesehatan
Reproduksi.
diakses
dari
http://www.pppl.depkes.go.id/asset/download/IMS_dan_ISR_pada_Pelayanan_Ke
sehatan_Reproduksi.pdf pada tanggal 29 November 2012

Djuanda A.2007. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke lima; Penyakit Kelamin, Daili SF.
Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2007

Das könnte Ihnen auch gefallen