Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kejahatan seksual merupakan suatu masalah serius, terutama bagi kaum
perempuan, walaupun laki-laki baik anak maupun dewasa juga beresiko menjadi
korbannya.1 Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal. Kejahatan ini
dapat ditemukan di seluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat, tidak memandang
usia maupun jenis kelamin. Besarnya insiden yang dilaporkan di setiap negara
berbeda-beda. Sebuah penelitian di Amerika Serikat pada tahun 2006 (National
Violence against Women Survey/NVAWS) melaporkan bahwa 17,6% dari responden
wanita dan 3% dari responden pria pernah mengalami kekerasan seksual, beberapa di
antaranya bahkan lebih dari satu kali sepanjang hidup mereka. Dari jumlah tersebut
hanya sekitar 25% yang pernah membuat laporan polisi.2
Disinyalir pelaporan kasus-kasus kejahatan seksual lebih sedikit dibandingkan
kenyataan sebenarnya, dengan alasan takut, atau korban merasa kejahatan seksual
adalah aib, atau rasa tidak percaya dengan penyidik atau penyedia jasa pelayanan
kesehatan. Ditambah
Tujuan Penulisan
Refrat ini bertujuan membahas pemeriksaan forensik pada kasus perkosaan
dan pencabulan
1.3
Metode Penulisan
Metode penulisan refrat ini adalah metode kepustakaan dengan merujuk pada
berbagai literatur
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perkosaan
2.1.1 Definisi
Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri,
memaksa, merampas, atau membawa pergi.7 Tindak perkosaan dalam kosa kata
bahasa Indonesia berasal dari kata perkosaan yang berarti menundukkan dengan
kekerasan, memaksa dengan kekerasan atau menggagahi. Pengertian tindak pidana
perkosaan tersebut mempunyai makna yang luas yang tidak hanya terjadi pada
hubungan sexual (sexual intercouse) tetapi dapat terjadi dalam bentuk lain seperti
pelanggaran hak asasi manusia yang lainnya.4
Menurut Soetardjo Wignjo Soebroto, yang dimaksud dengan perkosaan adalah
suatu usaha melampiaskan nafsu seksual seorang laki-laki terhadap seorang
perempuan yang menurut moral atau hukum yang berlaku adalah melanggar. Dalam
pengertian demikian bahwa apa yang dimaksud perkosaan di satu pihak dapat dilihat
sebagai suatu perbuatan (yaitu perbuatan seorang secara paksa hendak melampiaskan
nafsu seksualnya) dan di lain pihak dapat dilihat sebagai suatu peristiwa pelanggaran
norma serta tertib sosial.4
Berdasarkan pengertian Pemerkosaan tersebut diatas, menunjukkan bahwa
Pemerkosaan merupakan bentuk perbuatan pemaksaan kehendak laki-laki terhadap
perempuan yang berkaitan atau ditujukan pada pelampiasan nafsu seksual. Perbuatan
ini dengan sendirinya baik secara moral maupun hukum melanggar norma kesopanan
dan norma kesusilaan di masyarakat.4
2.1.2 Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan Dalam KUHP
Visum et Repertum
Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran
Forensik, biasanya dikenal dengan nama Visum. Visum berasal dari bahasa Latin,
bentuk tunggalnya adalah visa. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata
visum atau visa berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan
dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan,
sedangkan Repertum berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari
pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara etimologi visum et repertum adalah apa
yang dilihat dan diketemukan.
Berdasarkan ketentuan hukum acara pidana Indonesia, khususnya KUHAP
tidak diberikan pengaturan secara eksplisit mengenai pengertian visum et repertum.
Satu-satunya ketentuan perundangan yang memberikan pengertian mengenai visum
et repertum yaitu Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350. Disebutkan dalam ketentuan
Staatsblad tersebut bahwa : Visum et Repertum adalah laporan tertulis untuk
kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat
oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan
barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan
pengetahuannya yang sebaik-baiknya. Abdul Munim Idris memberikan pengertian
visum et repertum sebagai berikut : Suatu laporan tertulis dari dokter yang telah
disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang
diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna
kepentingan peradilan.
Dari pengertian visum et repertum tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa
visum et repertum adalah keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan ditemukan
dalam melakukan pemeriksaan barang bukti guna kepentingan peradilan. Jadi dalam
hal ini visum et repertum merupakan kesaksian tertulis dalam proses peradilan.
Menurut pendapat Tjan Han Tjong, visum et repertum merupakan suatu hal yang
penting dalam pembuktian karena menggantikan sepenuhnya corpus delicti (tanda
bukti). Seperti diketahui dalam suatu perkara pidana yang menyangkut perusakan
tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka tubuh si korban
merupakan corpus delicti.
2.4.
penetrasi (penis) kedalam vagina dan atau anus/oral dan membuktikan adanya
ejakulasi atau adanya air mani didalam vagina/anus. Pembuktian ini memerlukan
waktu yang sangat singkat antara kejadian dengan pemeriksaan/pengambilan barang
bukti.3 Setiap pemeriksaan korban perkosaan untuk kepentingan pengadilan harus
berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik yang berwenang. Korban juga harus
diantar oleh polisi penyidik sehingga keutuhan dan originalitas barang bukti dapat
terjamin.
Secara umum tujuan pemeriksaan korban kekerasan seksual adalah untuk :
-
Melakukan identifikasi
Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan, dan waktu terjadinya, bila
mungkin;
Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan, termasuk tanda intoksikasi
seluruh bagian tubuh korban, tidak hanya terhadap daerah kelamin saja.
Catat dan dokumentasikan semua temuan, termasuk temuan negatif
setelah kejadian,
Adanya penetrasi dan sampai mana (parsial atau komplit),
When:
-
Tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor, dan
Apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.
Where:
-
Who:
- Apakah pelaku dikenal oleh korban atau tidak,
- Jumlah pelaku,
- Usia pelaku, dan
- Hubungan antara pelaku dengan korban
2. Pemeriksaan Fisik
Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakan prinsip top-to-toe. Artinya,
pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala sampai ke
ujung kaki. Pelaksanaan pemeriksaan fisik juga harus memperhatikan keadaan umum
korban. Apabila korban tidak sadar atau keadaan umumnya buruk, maka pemeriksaan
untuk pembuatan visum dapat ditunda dan dokter fokus untuk life-saving terlebih
dahulu.2
Pemeriksaan fisik berupa pemeriksaan fisik umum dan khusus, pemeriksaan
umum meliputi :
-
Keadaan Umum :
rambut pubis)
Jika pada baju ada bercak mani (kaku), bila mungkin pakaian diminta,
10
Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait dengan
tindakan kekerasan seksual yang diakui korban, prosedurnya meliputi : 2,6
-
Posisi litotomi
Periksa daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada
11
Labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada
Vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir;
Serviks dan porsio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah melahirkan
12
13
dengan selaput dara yang sebelumnya telah robek lama, korban diperiksa sudah lama,
korban yang memiliki selaput dara elastis, penetrasi yang tidak lengkap.3
14
Pakaian yang dipakai korban saat kejadian; diperiksa lapis demi lapis untuk
mencari adanya trace evidence yang mungkin berasal dari pelaku, seperti
darah dan bercak mani, atau dari tempat kejadian, misalnya bercak tanah atau
daun-daun kering;
Rambut pubis; yaitu dengan menggunting rambut pubis yang menggumpal
korban;
Swab; dapat diambil dari bercak yang diduga bercak mani atau air liur dari
kulit sekitar vulva, vulva, vestibulum, vagina, forniks poste-rior, kulit bekas
gigitan atau ciuman, rongga mulut (pada seks oral), atau lipatan-lipatan anus
15
kuantitatif aktifitas fosfatase asam per 2 cm2 bercak, daapt ditentukan apakah bercak
tersebut mani atau bukan. Aktifitas 25 U.K.A per 1cc ekstrak yang diperoleh 1 cm2
bercak dianggap spesifik sebagai bercak mani
2. Reaksi Berberio
Prinsip reaksi ini adalah menentukan adanya spermin dalam semen. Spermin yang
terkandung pada cairan mani akan beraksi dengan larutan asam pikrat jenuh
membentuk kristal spermin pikrat.Bercak diekstraksi dengan sedikit aquades. Ekstrak
diletakkan pada kaca objek, biarkan mengering, tutup dengan kaca penutup. Reagen
diteteskan dengan pipet di bawah kaca penutup.
Interpretasi : hasil positif memperlihatkan adanya kristal spermin pikrat yang
kekuning-kuningan atau coklat berbentuk jarum dengan ujung tumpul.
3. Reaksi Florence
Dasar reaksi adalah untuk menemukan adanya kholin. Bila terdapat bercak mani,
tampak kristal kholin-peryodida berwarna coklat, berbentuk jarum dengan ujung
terbelah.
b. Pemeriksaan Spermatozoa
1. Tanpa pewarnaan / pemeriksaan langsung
Pemeriksaan ini berguna untuk melihat apakah terdapat spermatozoa yang
bergerak.
Pemeriksaan
motilitas
spermatozoa
ini
paling
bermakna
untuk
16
3. Pewarnaan Baecchi
Prinsip kerja nya yaitu asam fukhsin dan metilen biru merupakan zat warna dasar
dengan kromogen bermuatan positif. Asam nukleat pada kepala spermatozoa dan
komponen sel tertentu pada ekor membawa muatan negatif, maka akan berikatan
secara kuat dengan kromogen kationik tadi. Sehingga terjadi pewarnaan pada kepala
spermatozoa.
17
lugol
Pemeriksaan sekret uretra
Dalam populasi 85% golongan sekretor yang dalam cairan tubuh (cairan
mani, keringat,liur) mengandung golongan darah. Jika bersetubuh dan
ada
DNA mitochondria
(mt-DNA).
Ketika
ejakulasi
yang
ketentuan yang berlaku. Hal ini lebih penting apabila sampel akan dikirim ke
laboratorium dan tidak diperiksa oleh dokter sendiri.3
2.5.
Tindak Lanjut 3
Setelah pemeriksaan forensik terhadap korban selesai, dilakukan tindak lanjut
baik dari aspek hukum maupun medis. Dari segi hukum, tindak lanjut pada umumnya
berupa pembuatan visum et repertum sesuai SPV dari penyidik polisi. Bagian-bagian
yang terkandung dalam visum et repertum terdiri dari kata-kata Pro Justisia, bagian
pendahuluan, bagian pemberitaan, kesimpulan, dan penutup. Apabila korban belum
melapor ke polisi sehingga belum ada SPV, hasil pemeriksaan dapat diminta oleh
korban secara tertulis. Hasil pemeriksaan tersebut dapat dituangkan dalam bentuk
surat keterangan medis. Secara umum, surat keterangan medis mengandung bagianbagian yang sama dengan visum et repertum, kecuali bagian Pro Justisia. Dalam
visum maupun surat keterangan medis, semua temuan dipaparkan dalam bahasa
18
Indonesia yang sederhana dan dapat dimengerti orang awam, hindari penggunaan
terminologi medis.
Seorang korban kekerasan seksual sering tidak hanya membutuhkan layanan
pemeriksaan untuk pembuatan visum et repertum, tapi juga tindak lanjut medis.
Tindak lanjut medis dapat mencakup penatalaksanaan psikiatrik dan penatalaksanaan
bidang obstetri-ginekologi. Tidak jarang seorang korban kekerasan seksual
mengalami trauma psikis sehingga membutuhkan terapi atau konseling psikiatrik.
Terapi tersebut dapat membantu korban mengatasi trauma psikis yang dialaminya
sehingga tidak berkepanjangan dan korban dapat melanjutkan hidupnya seoptimal
mungkin. Dalam bidang obstetri-ginekologi, korban kekerasan seksual mungkin
memerlukan tindakan pencegahan kehamilan serta pencegahan atau terapi penyakit
menular seksual. Apabila sudah terjadi kehamilan, korban mungkin membutuhkan
perawatan kehamilan atau terminasi kehamil-an sesuai ketentuan undang-undang.
Sangat penting bagi dokter untuk melakukan koordinasi dengan pihak-pihak
terkait. Koordinasi yang baik diperlukan antara dokter pemeriksa dengan dokter yang
memberikan tata laksana lanjutan agar korban mendapatkan perawatan yang
diperlukan. Selain itu, dokter juga harus menjalin kerjasama yang baik dengan pihak
polisi penyidik agar hasil pemeriksaan dokter dapat bermanfaat bagi pengungkapan
kasus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Syaifuddin, M. Ardhian Syaifuddin , Yuli Budningsih. An Overview Of
Sexual Violance Victims Based On A Consensual Actat The Integrated Crisis
19
2.
3.
4.
5.
6.
Padang, ____________ 20
VISUM ET REPERTUM
No : ___________________________
20
Dokter pemeriksa
21