Sie sind auf Seite 1von 12

RESUSITASI AWAL PADA SYOK HEMORAGIK

Abstrak
Penanganan primer pada syok hemoragik adalah mencari sumber perdarahan
sesegera mungkin setelah penggantian cairan. Pada CHS (controlled hemorrhagic
shock), dimana sumber perdarahan telah dihentikan, penggantian cairan bertujuan
agar hemodinamik normal. Pada UCHS (uncontrolled hemorrhagic shock) dengan
perdarahan yang berhenti sementara karena hipotensi, vasokonstriksi dan faktor
pembekuan, maka penggantian cairan bertujuan untuk memperbaiki pulsasi nadi atau
mengoptimalkan tekanan darah menjadi 80 mmHg dengan 250 mL ringer laktat
(resusitasi hipotensi). Jika waktu evakuasi kurang dari 1 jam (biasanya pada trauma),
evakuasi segera ke fasilitas bedah dilakukan setelah penanganan jalan napas dan
pernapasan (A, B) terjamin. Agar waktu tidak terbuang percuma karena pemasangan
infus intravena. Jika evakuasi diperkirakan lebih dari 1 jam maka pemasangan infus
intravena dan terapi cairan dilakukan sebelum evakuasi.
Pada syok hemoragik, cairan kristaloid dan transfusi darah diberikan
sebelum dan selama di rumah sakit. Sebelum di rumah sakit ada empat jenis cairan
yang dapat diberikan : kristaloid, koloid, salin hipertonis dan darah yang kaya
oksigen. Pada syok hemoragik yang tidak stabil atau tidak berrespon, pembedahan
harus dilakukan sesegera mungkin untuk mengontrol sumber perdarahan.
Syok hemoragik didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana terjadi penurunan
perfusi ke organ-organ vital sehingga pengangkutan oksigen dan nutrisi tidak adekuat
untuk jaringan normal dan fungsi seluler. Pada akhir abad 19 dan awal abad 20
pengetahuan tentang patofisiologi syok sangat pesat perkembangannya. Claude
Bernard berpendapat bahwa organisme berusaha agar tetap konstan atau milieu
interie walaupun keadaan eksetrnal sangat mempengaruhi.
Walter B. Cannon menyatakan bahwa homeostatis adalah mempertahankan
keseimbangan lingkungan internal dan diakui sebagai pernyataan awal bahwa

11

hipotensi yang disengaja dapat menurunkan perdarahan internal pada hemoragik tidak
terkontrol sebelum perdarahan dapat diatasi.
Pada tahun 1934, Alfred Blalock mengemukakan empat kategori syok :
hipovolemi, vasogenis (septik), kardiogenik dan syok neurogenik. Syok hipovolemik
umumnya disebabkan oleh hilangnya volume darah sirkulasi hingga hilangnya
komponen darah (syok hemoragik), plasma, cairan interstitial atau kombinasinya.
Pada tahun 1947 Winggers melakukan percobaan pada hewan bahwa syok
hemoragik terkontrol dengan mengambil dan memberi darah ke dalam reservoar
untuk mempertahankan level hipotensi. Model klasik ini digunakan oleh G. Tom
Shires di tahun 1960an dan 1970an untuk mendemonstrasikan terjadinya defisit
cairan ekstraseluler pada syok hemoragik berat yang umumnya menjadi penyerta
tersendiri dari vascular refill. Hanya dengan infus ringer laktat dan darah yang dapat
mengganti defisit ECF, mengganti sel darah merah, volume plasma dan ECF.
Berdasarkan data ini, kemudian diperdebatkan tentang

bagaimana dengan

peningkatan kardiak output dan penghantaran oksigen untuk mempertahankan perfusi


mikrosirkulasi dan oksigenasi, yang resikonya meningkat pada pasien dengan
perdarahan dan trauma pada hemoragik hipotensi yang mungkin akan segera
menerima sejumlah besar cairan.
Resusitasi cairan besar-besaran terjadi saat perang Vietnam dimana sel darah
merah, plasma dan kristaloid diperbolehkan pada pasien yang sebelumnya menderita
syok hemoragik agar dapat bertahan. Gagal ginjal kadang menjadi masalah klinik,
fungsi organ vital menjadi lebih baik tetapi fulminant pulmonary failure DaNang
Lung atau ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) muncul lebih cepat
menyebabkan kematian setelah perdarahan berat.
Keterangan tambahan dari percobaan ini bahwa pemanjangan periode pada
perdarahan dengan hipotensi yang bersamaan dengan trauma mikrosirkulasi dan
ditandai oleh kehilangan cairan ekstraseluler yang hanya dapat dikoreksi dengan
kristaloid isotonis dengan volume 2-3 kali dari perkiraan jumlah darah yang hilang.
Ini menjadi dasar yang sekarang diakui sebagai dogma 3 banding 1 untuk

11

penanganan syok hemorhagik yang diadaptasi dari ATLS untuk penanganan trauma
pada umumnya. Hal ini direkomendasikan sebagai penanganan awal syok hemoragik,
penanganan primer perdarahan eksternal dan penanganan dengan kristaloid intravena
2000 ml melalui kateter bore-hole yang besar.
Meskipun sekarang praktek ini, masih dilakukan uji klinis dan percobaan pada
hewan untuk UCHS. Dan telah diobservasi percobaan lebih lanjut dapat
meningkatkan tekanan darah hingga normal dengan pemberian cairan resusitasi pada
UCHS yang segera menyebabkan adanya peningkatan perdarahan dari pembuluh
darah yang cidera, dekompensasi hemodinamik dan peningkatan mortalitas, Jika
dibandingkan dengan tanpa pemberian cairan resusitasi atau resusitasi hipotensif
(permissive hypotension).
Perbedaan mendasar pada respon hemodinamik antara CHS dimana sumber
perdarahan telah dihentikan dan UCHS dimana perdarahan sementara berhenti karena
hipotensi, vasokontstriksi, dan faktor pembekuan yang menjadi pedoman dasar untuk
resusitasi cairan dalam kecelakan pada masyarakat sipil maupun militer.
Pada CHS dimana sumber perdarahan eksternal sudah dihentikan demikian
pula pada UCHS dimana perdarahan sementara berhenti karena hipotensi, jika
evakuasi diperkirakan kurang dari 1 jam (biasanya pada trauma) evakuasi segera ke
fasilitas bedah dilakukan setelah penanganan jalan napas dan pernapasan (A, B)
terjamin. Agar waktu tidak terbuang percuma karena pemasangan infus intravena
sebelum evakuasi tetapi infus dapat dimulai bila sampai pada fasilitas medis yang
memadai.
Jika evakuasi diperkirakan lebih dari 1 jam maka pemasangan infus intra vena
dan terapi cairan dilakukan sebelum evakuasi.
Resusitasi cairan pada CHS bertujuan untuk menormalkan hemodinamik, ini
berbeda dengan UCHS dimana homeostasi tidak dapat selalu dicapai dan harus segera
dirujuk ke fasilitas bedah sebgai salah satu tahap penanganan lanjut setelah jalan
napas dan pernapasan sudah terjamin. Jika transportasi tidak memadai maka terapi
cairan dapat dimulai selama evakuasi.

11

Menurut Petunjuk dari Israel Defens Forces (IDF) resusitasi cairan pada
CHS bertujuan untuk menormalkan hemodinamik, ini berbeda dengan UCHS dimana
prinsip resusitasi untuk hipotensi adalah operasi dan penanganan dimulai ketika salah
satu dari tiga parameter dibawah ini ditemukan :
a.

Perubahan kesadaran

b.

Pulsasi nadi tidak dapat dipalpasi

c.

Tekanan darah sistol turun hingga dibawah 80 mmhg


Terapi cairan, tidak otomatis termasuk penanganan awal secara langsung

dengan pemberian infus ringer laktat sebanyak 2000 ml yang direkomendasikan


menurut ATLS tetapi diberikan berulang dimulai dari 250 ml berturut-turut hingga
tekanan darah sisstol 80 mmhg, pulsasi nadi mulai teraba atau sudah sadar kembali.
Pada beberapa penelitian telah dibuktrikan bahwa prognosis kerusakan otak
tergantung pada perfusi serebral. Selain itu dikatakan bahwa trauma sistem saraf
pusat dengan terapi cairan sesuai syok hemoragik bertujuan untuk meningkatkan
tekanan darah sistol sampai 100 mmHg.
Pemberian infus cairan yang terlalu cepat untuk mencapai hemodinamik
normal tidak dianjurkan pada UCHS karena dapat memicu perdarahan baru (pop
the clot). Resusitasi cairan yang masif tidak memberi cukup waktu sampai
dilakukan intervensi bedah. Bila perkiraan waktu menuju fasilitas medis yang
memadai lebih dari 1 jam, maka evaluasi hemodinamik dilakukan setiap 15 menit,
dan jika tekanan darah sistol turun hingga di bawah 80 mmHg, pulasasi nadi tidak
teraba atau kesadaran menurun, maka dilakukan infus ringer laktat 250 ml untuk
mempertahankan tekanan darah.
Jenis-jenis Cairan Infus
Infus kristalod dan transfusi darah adalah penanganan sebelum dan ketika di
rumah sakit pada syok hemoragik berat. Darah dibutuhkan untuk mengganti pengikat
oksigen yang hilang dalam darah tetapi biasanya tidak memungkinkan dilakukan

11

sebelum di rumah sakit karena dibutuhkan pendingin dan pencatatan. Saat sebelum di
rumah sakit ada 4 jenis cairan untuk penanganan syok hemoragik.
1. Kristaloid
Ringer laktat umumnya digunakan untuk pemakaian luas dan terbatas sebagai
resusitasi cairan pada syok hemoragik. Larutan ini aman dan murah serta cepat
mengembalikan keseimbangan cairan ekstraseluler, memperbaiki defisit cairan
ekstraseluler yang bersamaan dengan kehilangan darah. Karena keseimbangan garam
yang terlarut dalam cairan ekstraseluler harus dipertahankan, maka dibutuhkan cairan
dalam jumlah besar agar resusitasi adekuat, sehingga dapat menurunkan tekanan
onkotik intravaskuler. Walaupun kristaloid sudah rutin digunakan pada pasien dengan
kehilangan darah yang akut, beberapa penelitian masih mempertanyakan pengaruh
dari efek regimen resusitasi terhadap aspek respon imun pada syok hemoragik. Hal
ini dilakukan oleh Rhee dan kawan-kawan, bahwa ringer laktat menyebabkan
eksaserbasi aktifitas netrofil superoksida dan daya lekat netrofil meningkat. Selain itu
juga ditemukan bahwa ditemukan bahwa resusitasi cairan kristaloid yang tergesa-gesa
diikuti oleh meningkatnya aktifasi sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF. Keuntungan
paling signifikan dari pemakaian ringer laktat adalah menghasilkan bikarbonat
sebagai hasil dari metabolisme laktat menjadi CO2 dan H2O dan tidak seperti
bikarbonat larutan ringer laktat mempresipitasi kalsium bila dipakai sebagai infus
intravena.
2. Koloid
Pemakainan koloid bertujuan untuk memelihara dan mempertahankan
kompartemen intravaskuler yang telah dianjurkan untuk menangani syok hemoragik.
Ada beberapa koloid yang diteliti dalam uji klinis termasuk albumin, HES (Hydroxyl
Ethyl Starch) dan dekstran. Karena koloid dapat dengan cepat mengembalikan
kompartemen intravaskuler, hanya sedikit total volume yang diperlukan untuk
memperbaiki stabilitas hemodinamik dibandingkan dengan kristaloid. Bagaimanapun

11

koloid lebih mahal, dapat mengikat dan menurunkan kalsium serum yang telah
terionisasi, menurunkan kadar imunoglobulin dalam sirkulasi dan lebih lanjut dapat
mengkompensasi defisit cairan ekstraseluler dibanding menyimpannya. Angka yang
ditunjukan dari hasil penelitian dan uji klinis, telah membandingkan resusitasi dengan
koloid dan kristaloid. Tidak ada bukti klinis bahwa resusitasi yang tepat dengan
cairan garam fisiologis mengakibatkan efek yang membahayakan fungsi paru sebagai
parameter hemodinamik. Koloid tidak memberikan efek protektif pada fungsi paru
setelah resusitasi, meskipun cairan koloid memproteksi ekspansi intravaskuler lebih
besar secara transient setiap unitnya bila dibandingkan dengan kristaloid. Koloid
lebih direkomendasikan pada militer karena perhatian yang besar menganggap
resusitasi pada perdarahan menitik baratkan pada berat dan jumlah kristaloid yang
harus di bawa ke daerah peperangan oleh petugas kesehatan. Berdasarkan hal tersebut
ringer laktat dibawa ke garis depan membutuhkan transportasi yang besar dan harus
tetap dilakukan untuk resusitasi prajurit di medan perang. Sebagai tambahan, pasien
dengan syok hemoragik di medan perang sering mengalami dehidrasi, yang sering
menjadi masalah tambahan bagi keberhasilan resusitasi.
3. Larutan Hipertonis
Uji klinis dan penelitian telah menurunkan bahwa salin hipertonis (5 ml/kg
NaCL 7,5%) dengan atau tanpa dekstran efektif untuk resusitasi awal. Larutan
hipertonis memperbaiki aliran darah mikrovaskuler, mengontrol tekanan intrakranial,
stabilisasi tekanan arteri dan kardiak output dengan volume kecil. Tanpa mengganggu
fungsi imunitas. Berdasarkan keamanan dan efesiensi dari salin hipertonis dengan
segala kemudahannya, volume yang terbatas dapat dibawa serta di medan perang, dan
relatif murah. Komite untuk perang pada institut kedokteran berkesimpulan bahwa
cairan resusitasi awal untuk perdarahan di medan perang adalah 250 ml bolus dengan
7,5% salin hipertonis melalui infus yang cepat. Jalur sistemik dapat dicapai dengan
jarum intraosseus atau melalui akses intravena. Ini sangat mudah walaupun telah
menjadi tantangan pada uji klinis untuk UCHS. Uji klinis meta-analisis dari

11

penanganan dengan salin hipertonis pada syok hemoragik karena trauma


memperlihatkan peningkatan tekanan darah dan kardiak output tetapi tidak
memperlihatkan hasil yang signifikan dalam kesembuhan. Percobaan pada hewan
dengan penanganan salin hipertonis pada UCHS akibat kerusakan pembuluh darah
besar berakibat pada peningkatan perdarahan yang berasal dari pembuluh darah yang
rusak, kompensasi hemodinamik dan kematian meningkat. Pada UCHS akibat
kerusakan organ padat (kerusakan lien masif), salin hipertonis memperbaiki
hemodinamik tetapi tidak meningkatkan aliran darah dari organ padat yang rusak.
4. Subtitusi darah kaya oksigen
Resusitasi cairan efektif bila kapasitas penghantar oksigen diperbaiki tanpa
adanya masalah penghancuran, kompatibilitas, dan penularan penyakit yang
menyertai transfusi darah. Subtitusi darah kaya oksigen umumnya dibagi menjadi dua
tipe : fluorokarbon pembawa oksigen yang berbahan sintetik dan stroma bebas yang
berikatan atau produk hemoglobin non-human. Emulsi fluorokarbon sangat mudah
dihasilkan, memiliki waktu paruh yang panjang dan infeksi minimal atau efek
imunologisnya rendah. Kerugian potensial yang dimiliki termasuk pengambilan FiO2
yang tinggi, dan plasma klirens yang cepat. Hemoglobin sebagai pengikat oksigen
sangat penting untuk meningkatkan kapasitas penghantar oksigen, mempengaruhi
tekanan onkotik dan memperpanjang waktu paruh. Kerugian lain termasuk waktu
paruh plasma menjadi pendek, berpotensi toksik untuk ginjal, efek hipersensitivitas,
dan potensial berefek pada imunitas. Percobaan klinis lebih lanjut yaitu untuk
menemukan dosis optimal yang stabil, efektifitas, aman dan efek keluarannya yang
diindikasikan sebelum ada pengganti darah kaya oksigen diaplikasikan secara rutin
pada praktek klinik.
Setelah proses oksigenasi dan volume sirkulasi diperbaiki, evaluasi ulang
terhadap kondisi klinis dilakukan secara berurutan. Tanda-tanda vital, status mental,
pengeluaran urin, dan pengisian kapiler (capillary refill) harus segera dinilai secara
bertahap selama resusitasi. Dimulai dengan pemantauan terpusat yang diindikasikan

11

saat ini, apabila respon pada resusitasi awal kurang dari yang diharapankan atau
kehilangan darah masih berlangsung. Darah harus menggambarkan keadaan
hematologi, koagulasi, elektrolit dan status metabolik. Gangguan elektrolit dan
metabolik demikian pula dengan defesiensi koagulasi harus dikoreksi. Gas darah
arteri harus diperoleh untuk menentukan oksigenasi telah adekuat. Manajemen dalam
pertukaran oksigenasi, ventilasi pH, keseimbangan cairan dan elektrolit diperlukan
segera yang menjadi dasar evaluasi klinik dan ukuran laboratorium. Komponen darah
juga dapat dipakai pada keadaan ini untuk menggantikan defesiensi yang ditemukan.
Kebanyakan kasus syok hemoragik tidak berespon pada manajemen cairan
seperti pada pasien trauma dengan perdarahan yang masih berlangsung atau yang
mengalami disfungsi miokard. Sebagai stabilitas awal adalah pengambilan tempat,
perhatian harus segera diarahkan untuk menghentikan perdarahan. Perbaikan yang
cepat pada tekanan darah normal tanpa disertai penghentian perdarahan internal akan
mempertinggi jumlah kehilangan darah serta mengikatkan aliran darah dan
memperlambat faktor koagulasi pada daerah yang cidera. Hipotensi ringan sampai
sedang menyebabkan faktor pembekuan cepat terjadi dan memperlambat perdarahan
pada pembuluh darah yang cidera (resusitasi hipotensi). Hemodinamik menjadi tidak
stabil pada korban kecelakaan sehingga harus segera dioperasi dan sumber
perdarahan harus segera ditemukan dan dihentikan.

11

TINJAUAN PUSTAKA
1. Bernard C: Lecons sur les phenomenes de la cummuns aux animauxet aux
vegetaux. Paris: JB Ballieve; 1879:4.
2. Cannon WB, Frasen J, Cowel EM: The preventive treatment of wound shock.
JAMA 1918, 70:618.
3. Blalock A: Principle of Surgical Care, Shock, and other Problems. St. Louis;
Mosby; 1940.
4. Wiggers CJ: Experimental hemorrhagic shock. In Physiology of Shock. New
York: commonwealth; 1950:121-132.
5. Bacter CR, Canizaro PC, Shires GT: Fluid resuscitation of hemorrhagic shock.
Postgrad Med 1970, 48:95-99
6. American College of Surgeons Committee on Trauma In Advanced Trauma Life
Support (ATLS)Course for Physicians. American College of Surgeons; 1997:87106.
7. Kaweski SM, Sise MJ, Virgilio RW, et al.: The effect of prehospital fluids on
survival in trauma patients. J Trauma 1990, 30:1215-1218.
8. Bickell WH, Wall MJ Jr, Pepe PE, et al.: Immediate versus delayed fluid
resuscitation for hypotensive patients with penetrating torso injuries. N Engl J
Med 1994, 331:1105-1109.
9. Gross D, Landau EH, Assalia A, Krausz MM: Is hypertonic saline safe in
"uncontrolled" hemorrhagic shock? J Trauma 1988, 28:751-756.

11

10. Bickell WH, Bruttig SP, Wade CE: Hemodynamic response to abdominal
aortotomy in anesthetized swine. Circ Shock 1989, 28:321-332.
11. Solomonov E, Hirsh M, Yahiya A, Krausz MM: The effect of vigorous fluid
resuscitation in uncontrolled hemorrhagic shock following massive splenic injury.
Crit Care Med 2000, 28:749-754.
12. Gross D, Landau EH, Klin B, Krausz MM: Treatment of uncontrolled
hemorrhagic shock with hypertonic saline solution. Surg Gynecol Obstet 1990,
170:106-112.
13. Bickell WH, Bruttig SP, Millnamow GA, O'Benar J, Wade CE: The detrimental
effects of intravenous crystalloids after aortotomy in swine. Surgery 1991,
110:529-536.
14. Krausz MM, Bar Ziv M, Rabinovici R, Gross D: "Scoop and run" or stabilize
hemorrhagic shock with normal saline or small-volume hypertonic saline? J
Trauma 1992, 33:6-10.
15. Kowalenko T, Stern SA, Dronen SC, Wang x: Improved outcome with
hypotensive resuscitation of uncontrolled hemorrhagic shock in a swine model. J
Trauma 1992, 33:349-353.
16. Dronen SC, Stern SA, Wang X, Stanley M: A comparison of the response of nearfatal acute hemorrhage with and without a vascular injury to rapid volume
expansion. Am J Emerg Med 1993, 11:331-335.
17. Krausz MM: Fluid resuscitation strategies in the Israeli Army. J Trauma 2003,
54:S39-S42.

11

18. Blumenfeld A, Melamed E, Kalmovich B, et al.: Prehospital fluid resuscitation in


trauma: the IDF-MC Consensus Panel Summary. J Israeli Milit Med 2004, 1:610.
19. The Brain Trauma foundation, The American Association of Neurological
Surgeons, The Joint Section on Neurotrauma and Critical Care. Resuscitation of
blood pressure and oxygenation. J Neurotrauma 2000, 17:471-482.
20. Rhee PD, Burris C, Kaufman M, Picoulis M, Austin B, Ling G, Harviel D:
Lactated Ringer's solution causes neutrophil activation after hemorrhagic shock. J
Trauma 1998, 44:313-319.
21. Hierholzer CB, Harbrecht JM, Menezes J: Essential role of nitric oxide in the
initiation of the inflammatory response after hemorrhagic shock. J Exp Med 1998,
187:917-924.
22. Choi PTL, Yip G, Quinoez LG, et al.: Crystalloids vs colloids in fluid
resuscitation: A systematic review. Crit Care Med 1999, 27:200-221.
23. Schierhout G, Robert I: Fluid resuscitation with colloid or crystalloid solutions in
critically ill patients: A systematic review of randomized trials. Brit Med J 1998,
316:961-964.
24. Nolan J: Fluid resuscitation for the trauma patient. Resuscitation 2001, 48:57-69.
25. Holcroft JW, Vassar MJ, Turner JE, Derlet RW, Kramer GC: 3% NaCl and 7.5%
NaCl/dextran 70 in the resuscitation of severely injured patients. Ann Surg 1987,
206:279-288.

11

26. Wade CE, Kramer GC, Grady JJ, Fabian T, Younes RN: Efficacy of hypertonic
7.5% saline and 6% dextran-70 in treating trauma: A meta-analysis of controlled
clinical studies. Surgery 1997, 122:609-616.
27. Angle N, Hoyt DB, Coimbra R, Liu F, Herdon-Remaleius C, Loomis W, Junger
WG: Hypertonic saline resuscitation diminished lung injury by suppressing
neutrophil activation after hemorrhagic shock. Shock 1988, 9:164-170.
28. Longnecker DE, Baxt WG, Fratantoni JC, et al.: Protocols of Care at the Site of
Injury. In Fluid Resuscitation. State of the Science for Treating Combat
Casualties and Civilian injuries. Institute of Medicine Committee on Fluid
Resuscitation for Combat Casualties. National Academy Press, Washington DC;
97-137.

11

Das könnte Ihnen auch gefallen