Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Oleh:
Asri Sukawati Putri
G99122020
Periode 24 Maret 2014 5 April 2014
Pembimbing:
dr. Ardana Tri A., M.Si., Sp.An
BAB I
PENDAHULUAN
Emboli air ketuban atau Amniotic Fluid Embolism (AFE) merupakan suatu
sindrom katastrofik yang terjadi selama kehamilan dan persalinan atau segera setelah
melahirkan. AFE juga merupakan penyebab penting kematian maternal di Negaranegara berkembang. AFE memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi,
namun laporan terakhir menunjukan bahwa angka kematian maternal akibat AFE
telah menurun (Moore and Baldisseri, 2005). Pendataan insiden AFE sebenarnya
tidak jelas karena sulitnya sindrom ini untuk dideteksi. Patofisiologi AFE sampai
sekarang masih belum jelas. AFE terjadi akibat kerusakan pada barrier antara sirkulasi
maternal dan cairan amnion. Dua proses berbeda yang mengancam nyawa terjadi
secara simultan atau sebagai suatu sebab-akibat yaitu kolaps-kardiorespiratorik dan
koagulopati (Toy, 2009).
Gejala klinik AFE umumnya terjadi selama kehamilan dan persalinan atau
dalam periode segera setelah persalinan. Sebagian besar kasus terjadi selama
persalinan, namun dapat pula terjadi sebelum persalinan, atau setelah kelahiran bayi.
Sekitar 25% pasien akan meninggal dalam onset 1 jam. Manifestasi klinik AFE yang
klasik adalah onset dyspnea, kegagalan respiratorik, dan hipotensi yang diikuti dengan
kolaps kardiovaskuler, disseminated intravascular coagulation (DIC), dan kematian
AFE masih sangat kurang dimengerti dan mayoritas didiagnosis secara eksklusi
(Dedhia and Mushambi, 2007; Toy, 2009).
Penatalaksanaan AFE masih tetap berupa terapi suportif, bukan kausatif dan
terfokus pada stabilisasi system cardiopulmonal secara cepat. Tujuan terpenting dari
terapi AFE adalah untuk mencegah terjadinya hipoksia tambahan dan mengakibatkan
kegagalan fungsi organ. Prognosis dan mortalitas AFE telah membaik secra signifikan
dengan diagnosis awal dan penanganan resusitasi secara cepat dan tepat. Namun,
sampai saat ini emboli air ketuban masih menjadi penyebab kematian pertama pasca
persalinan, serta tetap sebagai kegawatdaruratan obstetric yabg fatal dan tidak dapat
dicegah (Toy,2009).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Amnion
Cairan amnion merupakan pelindung dan bantalan untuk proteksi
sekaligus menunjang pertumbuhan dan perkembangan janin ke segala arah
dengan seimbang. Jumlah cairan amnion selama kehamilan sangat
bervariasi dan ditentukan oleh mekanisme yang mengatur produksi dan
pengambilan cairan amnion oleh janin. Sampai kehamilan 20 minggu
cairan amnion terutama diproduksi melalui transudasi plasma maternal
melalui khorioamnion atau transudasi dari kulit janin saat permeabilitasnya
tinggi waktu pembentukan keratinisasi. Sebagian lainnya, cairan amnion
dibentuk pada lempeng khorionik, talipusat, paru, ginjal, dan saluran
pencernaan. Paru janin mengeluarkan cairan sekitar 300-400cc/hari karena
terdapat aktifitas pengeluaran klorida menuju lumen paru yang diikuti air.
Menjelang aterm, pengeluaran cairan paru berkurang sebagai tanda
maturitasnya (Cunningham, 2006).
Ginjal melalui pengeluaran urin merupakan komponen penting
dalam menentukan jumlah cairan ketuban. Jumlah urin yang dikeluarkan
janin 400-1200 cc/hari dan bersifat hipotonik. Variasi pengeluaran urin
dan cairan paru janin dapat dipengaruhi oleh beberapa hormon diantaranya
arginin vasopresin, arterial natriuretic factor, angiotensin II, aldosteron,
dan prostaglandin. Regulasi cairan amnion sampai kehamilan 20 minggu
terjadi melalui selaput amnion, kulit, lempeng khorionik, tali pusat, paru,
dan saluran pencernaan. Setelah kehamilan 20 minggu, jumlah cairan
amnion terutama ditentukan oleh produksi melalui ginjal dan pengambilan
melalui saluran pencernaan melalui proses menelan (Cunningham, 2006).
Kandungan air pada cairan ketuban mencapai 98%. Cairan amnion
memiliki berat jenis sekitar 1007-1008, memiliki pH 7,2, berwarna putih
dan mengandung bahan organik sehingga keruh, berbau khas (amis).
Bahan organik pada cairan amnion terdiri dari rambut, lanugo, sel epitel
yang lepas, verniks kaseosa dan protein albumin sekitar 2,5%, selain itu
C. Epidemiologi
Insidensi terjadinya AFE sebenarnya tidak diketahui secara pasti
akibat ketidakakuratan pelaporan kematian maternal, kurangnya data dari
kasus-kasus nonfatal, dan fakta bahwa AFE sulit untuk dideteksi dan tetap
merupakan diagnosis eksklusi. Pervelensi AFE di Amerika yaitu 1:80.000100.000. Sedangkan di Asia Tenggara angka kejadiannya mencapai
1:27.000 persalinan. Hampir 90 persen ibu yang mengalami emboli akan
berakhir dengan kematian, walau pertolongan sudah dilakukan sesegera
mungkin. Peluang hidup ibu yang mengalami emboli hanya 5% dan 75%
ibu yang hidup mengalami kecacatan (Dedhia and Mushambi, 2007).
D. Patogenesis
Pathogenesis AFE sampai saat ini masih belum jelas. AFE terjadi
karena rusaknya barrier antara sirkulasi maternal dengan cairan amion.
Mekanisme masuknya cairan amnion ke aliran darah sistemik ibu dapat
terjadi melalui pecahnya selaput ketuban, rupture uteri, atau pecahnya
pembuluh darah serviks. Cairan ketuban tersebut terdiri dari sel-sel kulit,
lanugo dan rambut kepala, prostaglandin, zinc coproporphyrin, dan
metabolit asam arakhidonat. Menurut Clark, manifestasi klinis dari AFE
timbul akibat adanya antigen dari fetus yang menstimulasi terjadinya
reaksi imun yang hamper mirip dengan reaksi anafilaksis (Toy, 2009;
Moore and Baldisseri, 2005).
Clark menyatakan tiga fase pathogenesis AFE yaitu :
1. Fase 1: Air ketuban dan sel-sel janin memasuki sirkulasi maternal dan
menginduksi reaksi imun yang menyebabkan spasme arteri pulmonalis
dan diikuti terjadinya hipertensi pulmonal. Akibatnya terjadi
peningkatan tekanan di ventrikel kanan dan disfungsi ventrikel kanan,
dan pada akhirnya dapat menyebabkan hipoksemia dan hipotensi yang
berhubungan dengan kerusakan miokard dan disfungsi kapiler.
Terpaparnya arteri pulmonalis oleh cairan amnion mengakibatkan
terjadinya bronkospasme sehingga mengganggu pernafasan dan dapat
menyebabkan sianosis. Hipotensi yang terjadi juga dapat menyebabkan
syok. Fase ini terjadi dalam 30 menit.
2. Fase 2: fase ini terjadi jika fase 1 tidak ditangani, terjadi kegagalan
jantung kiri dan edema paru. Adanya mediator inflamasi memicu
terjadinya DIC sehingga terjadi perdarahan massif dan atonia uteri.
Proses
koagulopati
ini
dicetuskan
oleh
beberapa
komponen
adanya
fenomena
emboli
pada
hewan
dengan
F. Gejala Klinik
Perjalanan klinis AFE tidak dapat diprediksi. Meskipun sebagian
besar kasus terjadi saat onset persalinan, beberapa insiden terjadi di luar
persalinan. Beberapa kasus telah dilaporkan terjadi pada periode postpartum lambat, setelah kelahiran seksio cesarean, amniocentesis, abruptio
plasenta, atau dengan aborsi terapeutik. Beberapa kasus juga berhubungan
dengan trauma abdominal, cervical suture removal, ruptur uterus, atau
intrapartum amnioinfusion (Moore and Baldisseri, 2005) .
Manifestasi klasik AFE digambarkan sebagai dyspnea yang tibatiba, dan tidak terduga, kegagalan respiratorik, hipotensi yang diikuti oleh
kolaps kardiovaskular, DIC dan kematian. Menurut Morgan, gejala klinik
distress pernafasan terjadi pada 51% pasien, hipotensi 27%, abnormalitas
koagulopati 12%, dan kejang 10%. Analisis Clarkes national registry
(1995) menunjukkan gejala klinik AFE yang terjadi sebelum persalinan
adalah kejang (30%), dyspnea (27%), bradikardi fetal (17%), dan hipotensi
(13%). Gejala klinik AFE yang terjadi setelah persalinan, 54%
menunjukkan koagulopati yang mengakibatkan perdarahan postpartum
(Dedhia and Mushambi, 2007; Gei et.al, 2003).
Jika pasien bertahan hidup melewati fase kardiorespiratorik, 40%50% akan masuk ke dalam fase kedua, yang dikarakteristik oleh
koagulopati, perdarahan, dan syok. Pada fase kedua, gagal jantung kiri
merupakan tanda yang jelas dan yang paling sering dilaporkan.
Peningkatan tekanan kapiler pulmonal dan central venous pressure
merupakan karakteristik edema pulmonal. Pada fase ketiga, gejala akut
telah dilewati dan kerusakan terhadap sistim otak, paru-paru, dan ginjal
telah terjadi. Pasien meninggal akibat kerusakan otak dan paru-paru berat.
Infeksi dan kegagalan multi organ dapat menyebabkan kematian (Toy,
2009; Dedhia and Mushambi, 2007) .
Namun, sebelum onset tanda dan gejala maternal, perubahan inisial
pada pola denyut jantung janin lebih dulu terlihat. Perubahan ini terjadi
karena penurunan perfusi uterus yang mengakibatkan penurunan aliran
darah plasenta akibat hipotensi maternal. Cadangan fetal yang diperlukan
G. Diagnosis
Pengenalan dan diagnosis AFE dengan segera sangat penting untuk
memperbaiki prognosis maternal dan fetal. Sampai saat ini, diagnosis pasti
AFE dibuat hanya setelah otopsi maternal menunjukkan adanya sel
skuamous, lanugo, atau material fetal dan air ketuban lainnya di dalam
vaskulatur arterial pulmonal. Meskipun data laboratorium mungkin
menunjukkan kemungkinan AFE, tidak ada hasil laboratorium atau tanda
klinis yang dapat digunakan untuk mendiagnosis AFE (Moore and
Baldisseri, 2005).
Dengan demikian, yang bisa dilakukan adalah diagnosis klinis.
Karena secara garis besar air ketuban menyerbu pembuluh darah paruparu, maka amat penting untuk mengamati gejala klinis si ibu. Apakah ia
mengalami sesak napas, wajah kebiruan, terjadi gangguan sirkulasi
jantung, tensi darah mendadak turun, bahkan berhenti, dan atau adanya
H. Penatalaksanaan
Terapi untuk AFE tidak bersifat kausatif, tetapi suportif dan
terfokus pada stabilisasi jantung dan paru ibu. Kebanyakan pasien akan
dirawat di Intensive Care Unit (ICU) setelah dilakukan stabilisasi inisial.
Tujuan utama terapi adalah menghindari terjadinya hipoksia berkelanjutan
normal
maternal.
meningkatkan
oksigenasi,
Strategi
mendukung
penanganannya
sirkulasi,
dan
adalah
mengoreksi
AFE maka terapi standar untuk menangani atoni uteri juga harus
disiapkan, seperti obat-obatan uterotinika ataupun persiapan histerektomi
jika perdarahan tidak dapat dihentikan (Moore and Baldisseri, 2005).
Apabila AFE terjadi sebelum ibu melahirkan dan terjadi henti
jantung, maka harus dilakukan resusitasi kardiopulmonal dan kompresi
dada dengan memposisikan uterus ke sisi kiri untuk menghindari kompresi
pada aorta dan vena cava inferior, agar tidak mengganggu aliran darah
vena ke jantung. Pada kondisi ini fetus dalam bahaya sejak onset AFE
terjadi akibat krisis kardiopulmonal maternal. Dengan demikian, segera
setelah kondisi ibu stabil, kelahiran bayi harus segera dilakukan. Jika
resusitasi ibu tidak berhasil, emergency bedside seksio cesarea diperlukan
untuk menyelamatkan janin. Semakin segera fetus dilahirkan setelah
maternal cardiopulmonary arrest maka semakin baik prognosis fetus.
Kelahiran fetus meningkatkan kesempatan akan prognosis yang baik untuk
ibu karena beban uterus gravid pada vena cava inferior berkurang sehingga
dapat mengurangi penurunan tekanan darah sistemik (Dedhia and
Mushambi, 2007).
Namun, bagi ibu yang hemodinamikanya tidak stabil, tetapi belum
mengalami henti jantung, pelaksanaan seksio caesaria justru dapat
membahayakan kondisi ibu (Dedhia and Mushambi, 2007).
Jika pasien dapat bertahan, beberapa organ tubuh lainnya mungkin
telah
mengalami
gangguan
fungsi
sehingga
harus
dilakukan
I. Prognosis
Pasien dengan AFE memiliki prognosis yang buruk. Sampai saat
ini, AFE tidak dapat diprediksi maupun dicegah. AFE tetap menjadi salah
satu komplikasi kehamilan yang paling ditakuti dan yang paling lethal.
Prognosis dan mortalitas AFE telah membaik secara signifikan dengan
diagnosis dan penanganan resusitasi yang cepat dan tepat. Meskipun
mortalitas telah menurun, morbiditas tetap tinggi dengan sequel yang
berat, terutama kerusakan neurologis. Kunci agar prognosis yang baik
adalah identifikasi pasien dengan risiko tinggi AFE (Moore and Baldisseri,
2005).
Pada beberapa kasus, kematian tidak dapat dihindari meskipun
dengan
penanganan
yang
cepat
dan
tepat.
Meskipun
terdapat
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham, Gary. 2006. Obstrerti Williams alih bahasa: Huriawati Hartono. Jakarta.
EGC.
Mieczyslaw and Waldemar. 2012. A new approach to the pathomechanism of
amniotic fluid embolism: unknown role of amniotic cells in the induction of
disseminated intravascular coagulation. Asian Pacific Journal of
Reproduction. Available from: http://www.apjr.net/Issues/201204/PDF/18.pdf.
Moore J dan Baldisseri M. 2005. Amniotic Fluid Embolism. University of Pittsburgh
Medical Center. University of Pittsburgh Medical Center. Avilable from:
http://ape.med.miami.edu/doc/resident%20web%20site%20articles/afe/afe%2
0review%202005.pdf.
Toy, Harun. 2009. Amniotic Fluid embolism. Harran University Medical Faculty
Department of Gynecology and Obstetric Turkey. Available from:
http://www.bioline.org.br/pdf?gm09024
Dedhia dan Mushambi. 2007. Amniotic fluid embolism. Management and Trustees of
the
British
Journal
of
Anaesthesia.
Available
from:
http://ceaccp.oxfordjournals.org/content/7/5/152.full
Gei AF., Vadhera RB., Hanskin GD. 2003. Embolism during pregnancy: thrombus,
air,and amniotic f luid. Anesthesiology Clinic of North America. Available
from:http://ape.med.miami.edu/Doc/Resident%20Web%20Site%20Articles/C
oagulation/embolism%20during%20preg,%20thrombus,%20air,%20amniotic
%20fluid%202003.pdf
Mieczyslaw. 2011. Amniotic fluid embolism: literature review and an integrated
concept of pathomechanism. Open Journal of Obstetrics and Gynecology.
Available from:
http://www.scirp.org/journal/PaperDownload.aspx?DOI=10.4236/ojog.2011.1
4034