Sie sind auf Seite 1von 16

RINITIS MEDIKAMENTOSA

( Tengku Nurshahril, Mardelina )

I.

PENDAHULUAN
Rinitis adalah keadaan dimana inflamasi pada membran mukosa hidung sehingga

timbul gejala menyerupai flu seperti bersin-bersin, hidung gatal, tersumbat dan berair.
Berdasarkan penyebabnya rinitis dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu rinitis alergi dan
rinitis non-alergi. Rinitis non-alergi merupakan rinitis yang disebabkan oleh faktor pemicu
tertentu yang bukan merupakan allergen. Rinitis non-alergi dapat dibagi menjadi rinitis
vasomotor, rinitis medikamentosa dan rinitis struktural. [ 1,2 ]
Rinitis medikamentosa dikenal juga dengan rebound rhinitis atau rinitis kimia karena
menggambarkan kongesti mukosa hidung yang diakibatkan penggunaan vasokontriksi topikal
yang berlebihan. Obat-obatan lain yang bisa mempengaruhi keseimbangan vasomotor adalah
antagonis -adrenoreseptor oral, inhibitor fosfodiester, kontrasepsi pil, dan antihipertensi.
Tetapi mekanisme terjadinya kongesti antara vasokontriktor hidung dengan obat-obat di atas
berbeda sehingga istilah rinitis medikamentosa hanya digunakan untuk rinitis yang
disebabkan oleh penggunaan vasokontiktor topikal sedangkan yang disebabkan oleh obatobat oral dinamakan rhinitis yang dicetuskan oleh obat (drug-induced rhinitis). [ 1,2,3 ]
Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan sehingga
dalam penggunaan vasokontriktor topikal harus berhati-hati. Vasokontriktor hidung diisolasi
pertama kali pada tahun 1887 dari ma-huang yaitu tanaman yang mengandung ephedrin dan
digunakan sebagai vasokontriktor topikal pada mukosa hidung dalam bentuk inhalasi,
minyak, semprot dan tetes. Vasokontriktor topikal yang digunakan sebaiknya yang isotonik
dengan sekret yang normal, pH antara 6,3 sampai 6,5 serta pemakaiannya tidak lebih dari
satu minggu sehingga rinitis medikamentosa dapat dicegah. [ 1,2,3 ]
Rinitis medikamentosa merupakan salah satu kelainan hidung non alergi yang dapat
mengganggu dan membuat penderita datang berobat ke dokter. Oleh karena itu pada makalah
ini akan dibahas tentang patofisiologi, gejala, pemeriksaan dan penatalaksanaan dari rinitis
medikamentosa. [1,2,3]

II.

DEFINISI
Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung yang berupa gangguan respons
1

normal vasomotor. Kelainan ini merupakan akibat dari pemakaian vasokontriktor topikal
seperti obat tetes hidung atau obat semprot hidung dalam waktu lama dan berlebihan,
sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Istilah rinitis mendikamentosa ini
pertama kali dikenalkan oleh Lake pada tahun 1946. [1,2,3,4,5]
III.

ANATOMI HIDUNG

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:


1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsumnasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala
nasi, 5) hidung luar; dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri 1) tulang hidung (os nasal), 2) prosesus frontalis os
maksila, dan 3) prosesus nasalis os frontal; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari
beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut
juga sebagai kartilago alar mayor, dan 4) tepi anterior kartilago septum. [ 4,6,7 ]
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares
anterior, disebut vetibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. [ 4,6,7 ]
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3) krista
nasalis os maksila, dan 4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela. Septum dilapisi oleh mukosa hidung. [ 4,6,7 ]
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah
konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya
rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid. [ 4,6,7 ]
2

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius
dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid
anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. [ 4,6,7 ]
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis
merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa =
saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga
hidung dibentuk oleh os sfenoid. [ 4,6,7 ]

Gambar 1. Anatomi hidung


( Dikutip dari kepustakaan 6 )

Kompleks ostiomeatal (KOM )


Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang
dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk
3

KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger
nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi
dan drenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior
dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan
patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait. [ 4 ]
Vaskularisasi hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga hidung
mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a. palatina
mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmid anterior, a. labialis superior dan a.
palatine mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (littles area). Pleksus kiesesselbach
letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak. Vena-vena hidung mempunyai nama
yang sama dan brjalan berdampingan denga arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena
dihidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya
penyeabaran infeksi sampai ke intrakranial. [ 4,6,8 ]

Gambar 2. Vaskularisasi hidung


( Dikutip dari kepustakaan 6 )

Gambar 3. Vaskularisasi hidung


( Dikutip dari kepustakaan 8 )

Persarafan hidung
5

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. Etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n. Nasosiliaris, yang berasal dari n. Oftalmikus (N. V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut
saraf simpatis dari m. Petrosus superfisialis mayor profundus. Ganglion sfenopalatina terletak
di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. Fungsi penghidupan berasal dari
n. Olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidup pada mukosa olfaktorius
di daerah sepertiga atas hidung. [ 4,6 ]

Gambar 4. Persarafan hidung


( Dikutip dari kepustakaan 8 )

Mukosa hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernapasan (mukosa olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar
rongga hidung dan permukaaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai
silis ( ciliated peudostratified collumner epithelium ) dan di antaranya terdapat sel-sel goblet.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertia berlapis
semu tidak bersilia (pseudostratified collumner non ciliated epithelium) epitelnya dibentuk
oleh tiga macam sel, yaitu sel, penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah
6

mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara
mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menadi sel epitel skuamosa.
Dalam keadaan normal mukosa respratori berwarna merah muda dan selalu basah karena
diliputi oleh palut lender (mucous blanket) pada permukaannya. Di bawah epitel terdapat
tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan
limfoid. Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yangkhas. Arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan
longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahab pada anyaman kapiler perglanduler dan sub
epitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang
besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya
sinusoid mempunyai sfingter oto. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke
pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venaula. Dengan susunan demikian mukosa hidung
menyerupai jaringan kavernosa yang erektil, yang mudah mengmbangkan dan mengerut.
Vasodilatasi dan vasosonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom. [ 4,6,8 ]
Sistem transpor mukosilier
Sistem transport mukosilier merupakan system pertahanan aktif rongga hidung
terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara.
Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir. Palut
lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada pada epitel dan kelenjar seromusinosa
subnukosa. Bagian bawah dari palut lender terdiri dari cairan serosa sedangkan bagian
permukaan banyak mengandung protein plasma seperti albumin, IgG, IgM dan faktor
komplemen. Sedangkan cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhi bitor lekoprotease
sekretorik, dan IgA sekretorik (s-IgA). [ 4 ]
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting untuk pertahanan lokal yang
bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisma dari jaringan
dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan IgG beraksi didalam
mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajang dengan antigen banteri. Pada sinus
maksila, sistem transpor mukosilier menggerakkan sekret sepanjang dinding anterior, medial,
posterior dan lateral serta atap rongga sinus membentuk gambaran serta atap rongga sinus
membentuk gambaran halo atau bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setinggi ostium
secret akan lebih kental tetapi drenasenya lebih cepat untuk mencegah tekanan negatif dan
berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak akan menghentikan atau
7

mengubah transport, dan sekret akan melewati mukosa yang rusak terebut. Tetapi jika sekret
lebih kental, sekret akan terhenti pada mukosa yang mengalami defek. [ 4 ]
Gerakan sistem transpor mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral.
Sekret akan berjalan menuju septum interfrontal, kemudian keatap, dinding lateral dan bagian
inferior dari dinding anterior dan posteror menuju area frontal. Gerakan spiral menuju ke
ostiumnya terjadi pada sinus sphenoid, sedangkan pada sinus etmoid terjadi gerakan
rectilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau gerakan spiral jika ostium terdapat pada
salah dindingnya. [ 4 ]
Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transprort mukosilier. Rute pertama
merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila dan etmoid anterior. Secret ini biasanya
bergabung di dekat infundibulum etmoid selanjutnya berjalalan menuju tepi bebas prosesus
unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior menuju nasofaring melewati bagian
antero inferior orifisium tuba eustachius. Transpor aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan
epitel skuamosa pada nasofaring, selanjutnya jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi
dan proses menelan. [ 4 ]
Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sphenoid yang
bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju naso faring pada bagian posterosuperior
orifisium tuba eustachius. Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum akan
bergabung dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior dari tuba eustachius. Sekret pada
septum akan berjalan vertical kea rah bawah terlebih dahulu kemudian ke belakang dan
menyatu di bagian inferior tuba eustachius. [ 4 ]
IV.

FISIOLOGI HIDUNG
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis

hidung dan sinus paranasal adalah: 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, humikifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanise inunologik lokal; 2) fungsi pengidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan
reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk
resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran tuara sendiri melalui
kondukdi tulang; 4) fungsi static dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5)
refleks nasal. [ 4,6,7 ]
Fungsi respirasi
8

Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem repirasi melalui nares anterior, lalu
naik ke atas stinggi konka media dan kemudian turun ke bawah kearah nasorafing. Aliran
udara di hidung ini benbentuk lingkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan menglami
humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hamper jenuh oleh uap air, sehingga
terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin
akan terjadi sebaliknya. Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat
celcius. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. [ 4,6,7 ]
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di
hidung oleh: a) rambut (vibrissae) pada vesti bulum nasi, b) silis, c) palut lender. Debu dan
bakteri akan melekat pada palut lender dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan
dengan refleks bersin. [ 4,6,7,9 ]
Fungsi penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indera penghidu dan pencecep dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pencecep adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa
manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal
dari cuka dan asam jawa. [ 4,6,7,9 ]
Fungsi fonetik
Resonasi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan bernyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonasi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau (rinolalia). Hidung membantu pembentukkan konsonan nasal (m, n, ng), rongga
mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara. [ 4,6,7,9 ]

Gambar 5. Sistem olfaktoris


( Dikutip dari kepustakaan 7)

V.

ETIOLOGI
Penyakit rinitis medikamentosa disebabkan oleh pemakaian obat sistemis yang

bersifat sebagai antagonis adreno-reseptor alfa seperti anti hipertensi dan psikosedatif .
Selain itu aspirin, derivat ergot, pil kontrasepsi , dan anti cholinesterasi yang digunakan
secara berlebihan juga dapat menyebabkan gangguan hidung. Obat vasokonstriktor topikal
sebaiknya isotonik dengan sekret hidung yang normal, dengan pH antara 6,3 dan 6,5, serta
pemakaiannya tidak lebih dari satu minggu. Jika tidak, akan terjadi kerusakan pada mukosa
hidung berupa:[4,10]
1. Silia rusak
2. Sel goblet berubah ukurannya
3. Membran basal menebal
4. Pembuluh darah melebar

5. Stroma tampak edema


6. Hipersekresi kelenjar mukus
7. Lapisan submukosa menebal
8. Lapisan periostium menebal

10

Antihipertensi

Phosphodiesterase type 5

Hormon

inhibitors
Amiloride

Sildenafil

Angiotensin-

Tadalafil

converting enzyme

Vardenafil

Estrogen
Eksogenous
Pil kontrasepsi

inhibitors
-blockers
Chlorothiazide
Clonidine
Hydralazine
Hydrochlorothiazide
Prazosin
Reserpine
Anti-nyeri
Aspirin
NSAIDs

Psikotropik
Chlordiazepoxideamitriptyline

Lain- lain
Kokain
Gabapentin

Chlorpromazine
Risperidone
Thioridazine

Tabel 1 : Obat yang menyebabkan Drug-Induced Rhinitis


( Dikutip dari kepustakaan 1 )

11

Dekongestan

Imidazolines

Simpatomimetik :
Amfetamin

Klonidin

Benzedrine

Naphazolin

Kafein

Oxymetazolin

Ephedrin

Xylometazolin

Mescalin
Phenylephrin
Phenylpropanolamin
Pseudoephedrin

Tabel 2 : Dekongestan yang menyebabkan Rhinitis Medikamentosa


( Dikutip dari kepustakaan 1 )

VI.

PATOFISIOLOGI
Mukosa hidung merupakan organ yang amat peka terhadap rangsangan atau iritan

sehingga harus berhati hati dalam mengkonsumsi obat vasokonstriksi topikal dari golongan
simptomatik yang dapat mengakibatkan terganggunya siklus nasal dan akan berfungsi
kembali dengan menghentikan pemakaian obat. Pemakaian vasokonstriktor topikal yang
berulang dalam waktu lama, akan mengakibatkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound
dilatation) setelah vasokonstriksi, sehingga menimbulkan terjadinya obstruksi atau
penyumbatan. Dengan adanya gejala obstruksi hidung ini menyebabkan pasien lebih sering
dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut sehingga efek vasokonstriksi berkurang, pH
hidung berubah dan aktivitas silia terganggu, sedangkan efek balik akan menyebabkan
obstruksi hidung lebih hebat dari keluhan sebelumnya. Bila pemakaian obat diteruskan akan
menyebabkan dilatasi dan kongesti jaringan. Kemudian terjadi pertambahan mukosa jaringan
dan rangsangan selsel mukoid, sehingga sumbatan akan menetap dengan produksi sekret
yang berlebihan. [ 4 ]
12

Selain itu, terdapat juga hipotesis bahwa rhinitis medikamentosa terjadi sebagai akibat
berkurangnya produksi nor-epinefrin simpatetik endogen menerusi jalur umpan balik negatif.
Dengan penggunaan dekongestan dalam jangka waktu yang lama, saraf simpatetik tidak bisa
berfungsi untuk mempertahankan vasokonstriksi karena pelepasan nor-epinefrin yang
ditekan. [ 4 ]
VII.

MANIFESTASI KLINIS
Keluhan utama pasien adalah hidung tersumbat secara terus menerus tanpa

mengeluarkan sekret. Penampakan pada pemeriksaan fisis bagi rhinitis medikamentosa tidak
jauh bedanya dengan infeksi atau rhinitis alergi. Mukosa hidung

kelihatan kemerahan

( beefy-red ) dengan area bercak pendarahan dan sekret yang minimal atau udem. Selain itu
juga, mukosanya bisa tampak pucat dan udem, juga bisa menjadi atrofi dan berkrusta
disebabkan penggunaan dekongestan hidung dalan jangka waktu yang lama. [ 1,2,3,4,5 ]
VIII. DIAGNOSIS
Kriteria bagi diagnosis Rhinitis Medikamentosa adalah :- [ 1,2 3,4,5,11 ]
i.
ii.
iii.

Riwayat pemakaian vasokontriktor topikal seperti obat tetes hidung atau obat semprot
hidung dalam waktu lama dan berlebihan.
Obstruksi hidung yang berterusan ( kronik ) tanpa pengeluaran sekret atau bersin.
Ditemukan mukosa hidung yang menebal pada pemeriksaan fisis.
Rhinitis medikamentosa sering terjadi disebabkan oleh kondisi medis lainnya yang

menyebabkan penggunaan dekongestan. Jadi, penting untuk menjalankan beberapa


pemeriksaan lainnya untuk mengidentifikasi kondisi medis lainnya yang berpotensi untuk
diobati. Di antara pemeriksaannya adalah uji tusuk bagi pasien yang mempunyai riwayat
rhinitis alergi, uji aspirin bagi pasien yang mempunyai trias ASA dan pemeriksaan rinoskopi
untuk mengidentifikasi deviasi septal, abnormalitas struktur anatomi dan juga polip hidung.

1,2 3,4 ]

IX.

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding untuk Rinitis Medikamentosa adalah :- [ 1,3, 12 ]


i.

Rinitis Alergi

ii.

Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) Rhinitis

iii.

Polip Nasi
13

iv.

Rinitis Non-Alergi

v.

Rhinosinusitis

X.

PENATALAKSANAAN
Jika rinitis medikamentosa dikenalpasti akibat penggunaan dekongentan topikal,

maka pasien harus dinasihatkan agar segera dihentikan penggunaannya. Pasien juga harus
diberi edukasi mengenai keluhan yang dialami dan diberikan pengobatan alternatif lainnya
bagi menggantikan obat yang menyebabkan terjadinya sumbatan hidung pada pasien. [ 2,3,5,13 ]
Penghentian penggunaan secara mendadak dapat menyebabkan rebound swelling dan
kongesti. Beberapa obat telah dikenalpasti bagi mengatasi masalah ini yaitu dengan
menggunakan Cromolyn, sedatif / hipnotik, semprotan hidung yang menggunakan larutan
saline. Adenosin trifosfat oral, obat tetes deksametason dan obat tetes triamcinolon juga
membantu dalam usaha menyembuhkan pasien. [ 2 3,5,14,15 ]
Menurut penelitian, kombinasi antihistamin oral dengan dekongestan bersama
penggunaan deksametason intranasal juga direkomendasikan buat pengobatan rhinitis
medikamentosa. Pada penelitian lainnya, injeksi kortikosteroid ( triamsinolone asetat 20 mg
pada turbinasi anterior juga mampu mengurangkan kongesti hidung. Glukokortikosteroid
intranasal ( semprotan deksametason sodium fosfat / budesonide ). [ 2,3,5,14,15 ]
XI.

KOMPLIKASI
Hampir semua pasien

pada akhirnya bisa menghentikan penggunaan obat tetes

hidung dengan penyembuhan sempurna. Pada pasien yang tidak bisa menghentikan
penggunaannya, menurut penelitian dapat terjadi hiperplasia menetap yang memerlukan
intervensi yang bervariasi dari elektrokauter submukosa atau kryoterapi untuk mengurangkan
destruksi turbinasi melalui penggunaan laser dan reseksi bedah. Komplikasi lainnya yang
dapat terjadi adalah seperti perforasi septum, rinitis atropi dan infeksi sinus. [ 1 ]
XII.

PROGNOSIS
Penelitian menunjukkan bahwa hampir semua pasien bisa menghentikan penggunaan

obat tetes hidung dan akhirnya menunjukkan penyembuhan yang sempurna. Bagi yang tetap
menggunakan obat tersebut, fenomena kongesti rebound ini akan tetap berlangsung selagi
pasien tidak menghentikan pengobatan tersebut. [ 1 ]
14

DAFTAR PUSTAKA

1.

Ramer J.T, Bailen E, Lockey R.F. Rhinitis Medikamentosa, Allergy Clinical


Immunology Journal, Volume 16(3), 2006 : 148-155.
15

2.

Lockey R.F,ed. Rhinitis Medicamentosa and Stuffy Nose, Allergy Clinical Immunology
Journal, Volume 118, 2006 : 1017-1018.

3.

Kushnir N.M, Kaliner M.A, eds. Rhinitis Medikamentosa [ online ]. 2011. [ cited 2011
October 25 ]. Available from URL: http://www.medscape.com

4.

Efiaty A.S, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna D.R, eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung dan tenggorok, Kepala dan Leher, Edisi Keenam. Jakarta : FKUI ; 2007. p. 137139.

5.

Black M.J, Remsen K.A, eds. Rhinitis Medicamentosa, Canadian Medical Journal,
Volume 122, 2005 : 881-884.

6.

Dhingra P.L, Dhingra S, eds. Diseases of Ear, Nose & Throat, 5 th Edition. New Delhi :
Elsevier; 2011. p. 180-184

7.

Tortora G.J, Derrickson B, eds. Principles of Anatomy and Physiology, 11th Edition.
New York : Wiley; 2006. p. 847-850

8.

Netter F.H, ed. Atlas of Human Anatomy, 4t Edition. New York : Elsevier; 2006. p. 3236

9.

Dhillon R.S, East C.A, eds. Ear, Nose and Throat and Head and Neck Surgery. 2 nd
Esition. London : Churchill Livingstone; 2000. p. 30-32

10.

Lalwani A.K,ed. Currrent Diagnosis and Treatment, Otolaryngology Head and Neck
Surgery. New York : McGrawHill; 2008. p. 264-272

11.

Michael J, Burton S. Rhinitis, Allergy Clinical Immunology Journal, Volume 108


Number 5, 2006 : S171- S196

12.

Quillen D.M, Feller D.B,eds. Diagnosing Rhinitis : Allergic vs Non-Allergic, American


Family Physician Journal, Volume 73 Number 9, May 2006 : 1583-1591.

13.

Michel J.L, Robson M.S, eds. Primary Care Otolaryngology, 3 rd Edition. New York :
American Academy Foundation; 2011. p. 60-69

14.

Mcquay R.M, Sandler A.S. Rhinitis Medicamentosa [ online ] 2009. [ cited 2011
october 25 ]. Available from URL: http://www.rhinostat.com

15.

Efiaty A.S, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna D.R, eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung dan tenggorok, Kepala dan Leher, Edisi Keenam. Jakarta : FKUI ; 2007. p. 137139

16.

Graf P, Enerdal J, Hallen H, eds. Ten Days Use of Oxymetazoline Nasal Spray with or
without Benzalkonium Chloride in Patients with Vasomotor Rhinitis, Arch Otolaryngol
Neck Surg. 1999; 125: 1128-1132
16

Das könnte Ihnen auch gefallen