Sie sind auf Seite 1von 47

BAB III

HEAT TREATMENT

3.1. PENDAHULUAN
3.1.1. LATAR BELAKANG
Pada era globalisasi ini yang penuh dengan pembangunan di sector industri
serta bidang-bidang lainnya, tentunya pembangunan itu membutuhkan suatu
bahan logam yang cukup baik , entah itu sifat fisik maupun mekanisnya.
Namun sifat fisik maupun mekanik dari logam tidaklah dengan mudah
ditemukan .Oleh karena itu, perlu diberikan terlebih dahulu suatu perlakuan
khusus, sehingga dapat menghasilkan suatu logam yang sesuai dengan yang
diinginkan .
Heat Treatment (perlakuan panas) adalah salah satu proses untuk
mengubah struktur logam dengan jalan memanaskan specimen pada elektrik
terance (tungku) pada temperature rekristalisasi selama periode waktu tertentu
kemudian didinginkan pada media pendingin seperti udara, air, air garam, oli dan
solar yang masing-masing mempunyai kerapatan pendinginan yang berbeda-beda.

3.1.2. TUJUAN PRAKTIKUM


1.Membandingkan material hasil heat treatment untuk mendapatkan sifat mekanik
material yang diinginkan dengan melakukan proses heat treatment dengan baik
tidak dari aspek kekerasannya.
2.Untuk mengetahui pengaruh perlakuan panas terhadap sifat fisik dan sifat
mekanik khususnya pada baja.
3.Menjelaskan prosedur proses heat Treatment

3.1.3. MANFAAT
a. Bagi Praktikan
Mengetahui

langkah

pengujian

perlakuaan

panas,

untuk

mendapatkan sifat logam yang diinginkan


Mengetahui media pendingin yang tepat untk memperoleh
kekerasan

b. Bagi Industri
Dengan perlakuan panas dapat diketahui sifat-sifat logam untuk
diterapkan pada bidang industri tertentu, terutama padad
pemilihan bahan dan produnya.

3.2. DASAR TEORI


3.2.1. PENGERTIAN HEAT TREATMENT
Heat Treatment ( perlakuan panas ) adalah salah satu proses untuk
mengubah struktur logam dengan jalan memanaskan specimen pada elektrik
terance ( tungku ) pada temperature rekristalisasi selama periode waktu tertentu
kemudian didinginkan pada media pendingin seperti udara, air, air faram, oli dan
solar yang masing-masing mempunyai kerapatan pendinginan yang berbedabeda.
Sifat-sifat logam yang terutama sifat mekanik yang sangat dipengaruhi
oleh struktur mikrologam disamping posisi kimianya, contohnya suatu logam
atau paduan akan mempunyai sifat mekanis yang berbeda-beda struktur
mikronya diubah. Dengan adanya pemanasan atau pendinginan dengan
kecepatan tertentu maka bahan-bahan logam dan paduan memperlihatkan
perubahan strukturnya.
Perlakuan panas adalah proses kombinasi antara proses pemanasan aatu
pendinginan dari suatu logam atau paduannya dalam keadaan padat untuk
mendaratkan sifat-sifat tertentu. Untuk mendapatkan hal ini maka kecepatan
pendinginan dan batas temperature sangat menetukan.

3.2.3. JENIS JENIS HEAT TREATMENT


Heat Treatment terdiri atas dua proses utama, yaitu:
1). Hardening
Hardening adalah proses pemanasan baja sampai suhu di daerah atau di
atas daerah kritis disusul dengan pendinginan yang cepat. Untuk proses ini
dilakukan dengan input panas dan transfer panas dalam waktu pendek.
Tujuan hardening untuk merubah struktur baja sedemikian rupa sehingga
diperoleh struktur martensit yang keras. Hardening dibagi menjadi 2 yaitu :

1.1. Surface hardening


Sifat-sifat dalam logam dapat digabungkan dengan pengerasan
permukaan dengan cara pemanasan seluruh komponen atau sebagian pada
bagian permukaan komponen. Secara garis besar surface hardening dapat
dibagi menjadi dua macam, yaitu surface hardening dengan penambahan zat
atau tanpa penambahan zat.

1.1.1.

Dengan Penambahan Zat, yang meliputi empat cara yaitu :

A. Karburasi (Caburizing)
Karburasi adalah cara pengerasan agar baja yang memiliki kadar karbon
rendah menjadi keras pada lapisan luar atau memiliki kadar karbon tinggi pada
lapisan luarnya. Biasanya suhu pada proses karburasi adalah 1700o F. Setelah
proses pendinginan maka pada permukaan baja dapat dilihat dengan mikroskop
bahwa terdapat bagian-bagian hypereutektoid, zona yang terdiri dari perlit
dengan jaringan sementit yang putih, diikuti zona eutektoid, hanya terdiri dari
perlit, dan terakhir adalah zone hypoeutektoid, yang terdiri dari perlit dan ferrit,
dimana jumlah ferrit meningkat hingga pusat dicapai. Karburasi sendiri terdiri
dari beragam cara antara lain karburasi padat, karburasi cair dan karburasi gas.

Gambar 3.1. Hubungan Kekerasan dan Kadar Karbon untuk


Proses Karburasi
(Sumber: Rajan T.V., C.P. Sharma dan Ashok Sharma. Heat Treatment Principles
And Techniques. Halaman 154)

B. Nitriding
Menitrid adalah suatu proses pengerasan permukaan dalam hal ini baja
paduan special dipanaskan untuk waktu yang lama dalam suatu atmosfer dari gas
nitrogen. Baja dipanaskan samapi 510oC dalam lingkungan gas ammonia.
Nitride yang diserap oleh logam akan membentuk nitride yang keras yang
tersebar rata pada permukaan logam. Proses nitriding adalah proses pengerasan
permukaan, disini digunakan bahan dan suhu pemansan yang berlainan. Logam
dipanaskan sampai sekitar 5100C didalam lingkungan gas ammonia selama
beberapa waktu. Nitrogen yang diserap oleh logam membentuk nitrida yang
keras yang tersebar merata pada permukaan logam. Telah dibuat logam paduan
khusus untuk proses ini. Suhu pemanasan berkisar antara 4950 5650C.
Pada nitriding cair (liquid nitriding) digunakan garam sianida cair
sedang suhunya dipertahankan di daerah transformasi. Penyerapan nitrogen lebih
mudah sedang karbon yang menyerap lebih sedikit dibandingkan dengan proses
cyaniding atau karburasi. Dapat mencapai ketebalan 0.03 0.3 mm.

Gambar 3.2. Proses Nitriding


( http://info.lu.farmingdale.edu/depts/met/met205/index.html )

Gb 3.3. Dapur Nitriding


(Sumber: Rajan T.V., C.P. Sharma dan Ashok Sharma. Heat Treatment
Principles And Technique. Halaman 163)

C. Nitrocarburizing
Nitrocarburizing adalah variasi dari proses nitriding. Ini adalah proses
difusi termokimia mana nitrogen, karbon, dan untuk tingkat yang sangat kecil,
atom oksigen berdifusi ke permukaan bagian baja, membentuk lapisan senyawa
pada permukaan, dan lapisan difusi. Nitrocarburizing adalah variasi kasus
dangkal dari proses nitriding. Keuntungan dari proses ini termasuk kemampuan
untuk mengeraskan bahan yang tidak prehardened, suhu relatif rendah dari
proses yang meminimalkan distorsi, dan biaya relatif rendah dibandingkan
dengan proses karburasi kasus pengerasan atau lainnya. Proses ini dilakukan

terutama untuk memberikan perlawanan anti-aus pada lapisan permukaan dan


untuk

meningkatkan

ketahanan

lelah.

Keuntungan tambahan adalah bahwa nitrocarburizing dapat diterapkan untuk


bahan yang sama seperti yang nitriding, serta bahan-bahan murni dan tidak
dicampur, di mana ketahanan aus yang baik dan beberapa peningkatan
ketahanan lelah yang diperlukan dengan biaya rendah. Hal ini banyak digunakan
untuk stamping, sebagai alternatif untuk pelapisan keras atau bahkan
carbonitriding.
D. Boronizing
Boronizing adalah salah satu metode surface hardening baru. Ada dua
macam tehnik boronizing, yaitu dengan boronizing padat dan gas. Untuk
boronizing padat, komponen ditempatkan di dalam kotak tahan panas dan
dicampur dengan butiran atau pasta boron karbida atau senyawa boron lain
dengan tambahan katalis pada suhu 900-1000C. Boron berdifusi ke dalam dan
membentuk lapisan besi borid (FeB dan Fe2B). Pada permukaan paling luar
akan terbentuk lapisan FeB dan pada bagian dalamnya terbentuk fase Fe2B.
Lapisan borid sangat keras, kekerasannya dapat mencapai lebih dari 1500 VPN.
Lapisan ini memiliki resistansi tinggi, dan digunakan untuk kompenen traktor,
cetakan drop forging, dan jig buses.

1.1.2.

Tanpa Penambahan Zat

A. Flame hardening (Pengerasan nyala) :


Flame Hardening dilakukan dengan menyemburkan api intensitas tinggi ke
permukaan bendakerja, biasanya dengan api dari brander oxyacetylene, sehingga
sebelum panas sempat menjalar ke bagian dalam bagian permukaan sudah mencapai
temperatur austenitising, kemudian segera dicelup (quench) ke dalam air atau oli.
Dengan demikian di bagian permukaan terbentuk lapisan martensit, sedang dibagian
dalam tetap seperti semula. Baja yang akan diflame Hardening harus memiliki
hardenability yang memadai, kadar karbonnya 0,30 0,50 %. Kekerasan lapisan
terutama tergantung pada kadar karbon dari bajanya sedang tebal lapisan tergantung

pada seberapa tebal bagian permukaan yang mengalami pemanasan sampai menjadi
austenit dan didinginkan dengan cara dicelup.
Proses ini terdiri dari pengerasan permukaan dengan memanaskan suatu benda
itu di atas suhu transformasi menggunakan intensitas tinggi api dari kompor yang
didesain khusus dan kemudian semakin pendinginan dalam air, minyak atau sintetis
cocok quenchant. Kedalaman lapisan mengeras dapat berkisar antara 1 hingga 10 mm.
Seorang cukup tingkat keterampilan dan pemahaman yang diperlukan untuk proses dan
tergantung pada kerumitan bagian yang akan mengeras, sejumlah besar variabel yang
perlu diperiksa sebelum pekerjaan harus dilanjutkan.

Dasar pengerasan nyala adalah sama dengan pengerasan konduksi, yaitu


pemanasan yang cepat disusul dengan pencelupan permukaan. Tebal lapisan
yang mengeras tergantung pada kemampuan pengerasan bahan, karena selama
proses pengerasan tidak ada penambahan unsur-unsur lainnya. Pemanasan
dilakukan dengan nyala oksi asetilen yang dibiarkan memanasi pemanasan
logam sampai mencapai suhu kritis. Pada alat dipasangkan pula aliran air
pendingin sehingga setelah suhu yang diinginkan tercapai langsung disemprot
dengan air..Tebal lapisan yang keras tergantung pada waktu pemanasan nyala.

Gambar 3.4. Flame Hardening


(Sumber: Rajan T.V., C.P. Sharma dan Ashok Sharma .Heat Treatment
Principles And Techniques. Halaman 166)

Metode yang umum dilaksanakan pada flame hardening adalah:


1). Pengerasan stasioner : baik nyala maupun benda yang akan dikeraskan
keduanya berada dalam keadaan diam, pengerasan bersifat setempat.
2). Pengerasan progresif : Nyala bergerak menuju ke benda yang diam; metode
ini berguna untuk mengeraskan bagian yang luas, contohnya gigi dari roda gigi
yang besar.

B. Pengerasan induksi
Pemanasan induksi memberikan hasil yang cukup baik pada
pengerasan permukaan krukas dan sejenis yang harus tahan aus. Berbeda
dengan pengerasan permukaan biasa, disini susunan kimia baja tidak
berubah karena pemanasan berlangsung sangat cepat dan pencelupan
permukaan tidak berpengaruh atas bagian dalamnya. Pengerasan yang
diperoleh melalui pengerasan induksi sama dengan pemanasan biasa dan
tergantung pada kadar karbon. Bolk induksi

yang berfungsi sebagai

kumparan primer transformator ditempatkan di sekeliling benda yang akan


dipanaskan. Arus berfrekuensi tinggi yang melalui blok ini akan
menimbulkan arus induksi pada permukaan benda. Panas ditimbulkan oleh
arus eddy induksi dan kehilangan histerisis pada permukaan logam. Bila baja
dipanaskan sampai pada daerah krisis atas, efek pemanasan akibat
kehilangan tersebut akan berkurang sehingga kemungkinan terjadinya
pemanasan lebih dapat dihindarkan. Blok inductor yang mengelilingi
permukaan yang dipanaskan dengan saluran air yang berlubang-lubang
halus. Setelah baja dipanaskan sampai suhu yang tepat, disemprotkan air
sehingga terjadi proses pencelupan.

Gambar 3.5.Pengerasan Induksi


(Sumber: Rajan T.V., C.P. Sharma dan Ashok Sharma. Heat Treatment
Principles And Technique. Halaman 169 (gbr.atas) dan
www.info.lu.farmingdale.edu (gbr.bawah))

Kelebihan dari kekerasan induksi : kecepatan untuk memanaskan


baja sampai kedalaman 3,2 mm dan hanya diperlukan beberapa
detik saja. Bisa digunakan pada material yang tipis.
Kekurangan dari kekerasan induksi : hanya digunakan pada baja
yang mempunyai kadar nitrogen dan karbon rendah yang
harganya mahal. Selain itu kekerasan yang diinginkan tergantung
pada kandungan karbon material tersebut.

1.2. Quenching
Adalah proses pendinginan setelah mengalami pemanasan. Medium
Quenching dapat berupa oli, air, garam dan lain-lain sesuai dengan
material

yang di quenching. Dimana kondisi

quenching sangat

mempengaruhi tingkat kekerasan, dan quenching yang prosesnya paling


cepatlah

yang

menghasilkan

kekerasan

tertinggi.Ada

tiga

tahap

pendinginan :

a. Vapor-Blanket Cooling Stage


Tahap pertama, suhu logam sangat tinggi sehingga medium quenching
menguap pada permukaan logam.
b. Vapor-Transport Cooling Stage
Proses ini dimulai ketika logam didinginkan pada suhu uap air dar film tidak
stabil. Permukaan logam basah oleh medium quenching dan titik didih.yang
tinggi.Tahapan ini merupakan proses pendinginan yang paling cepat.
c. Liquid Cooling Stage
Proses ini dimulai ketika suhu permukaan logam mencapai titik didih.
Tahapan ini merupakan proses yang paling lambat.

Menurut media pendinginannya, quenching dapat dibagi menjadi 8 :


1. Quenching air
Air adalah media yang paling banyak digunakan untuk quenching,
karena biayanya yang murah, dan mudah digunakan serta pendinginannya
cepat. Air khususnya digunakan pada baja karbon rendah yang memerlukan
penurunan temperatur dengan cepat dengan tujuan untuk memperoleh
kekerasan dan kekuatan yang baik. Air memberikan pendinginan yang
sangat cepat. Hal tersebut menyebabkan tegangan dalam, distorsi dan
retakan. Air yang baik untuk medium quenching adalah yang memiliki suhu
ruangan.

Gambar 3.6. Quenching dengan Media Air


(sumber : laboratorium metalurgi fisik UNDIP)
2. Quenching dengan media oli
Oli sebagai media pendingin lebih lembut bila dibandingkan dengan air.
Digunakan pada material yang kritis, antara lain material yang mempunyai
bagian tipis atau ujung yang tajam. Contohnya silet cukur, pegas, pisau.
Karena oli lebih lembut, maka kemungkinan adanya tegangan dalam, distorsi
dan retakan lebih kecil. Oeh karena itu medium oli tidak menghasilkan baja
yang sekeras dan sekuat baja yang dihasilkan oleh media air. Quenching
dengan media oli akan efektif jika dipanaskan pada suhu antara 300 C sampai
660 C.

Gambar 3.7. Quenching dengan Media Oli


Sumber: www.coutelcutlery.com

3. Quenching dengan media udara yang dipercepat


Quenching dengan media udara lebih lambat bila dibandingkan dengan
media oli ataupun air. Material yang panas ditempatkan pada screen.
Kemudian udara dingin dengan kecepatan tinggi dialirkan dari bawah
melalui screen dan material panas. Udara mendinginkan material panas lebih
lambat daripada medium air dan oli. Hal tersebut merupakan keuntungan
sekaligus kerugian. Karena pendinginan yang lambat kemungkinan adanya
tegangan dalam, distorsi dan retakan lebih sedikit. Bagaimanapun, karena
pendinginan yang lambat, maka kekuatan dan kekerasan yang diperoleh
tidak akan setinggi logam paduan yang digunakan pada baja. Meskipun
demikian pendinginan udara pada umumnya digunakan pada baja yang
mempunyai kandungan paduan yang tinggi.

Gambar 3.8. Quenching dengan Media Udara


(Sumber: Rajan T.V., C.P. Sharma dan Ashok Sharma. Heat Treatment Principles And
Technique. Halaman 120)

4. Quenching dengan media salt baths


Ini merupakan proses terbaik untuk tool stells yang mempunyai
kemampukerasan yang baik. Keuntungannya : temperatur yang dihasilkan
merata, tidak ada oxidasi, carburasi, atau decarburasi yang berbahaya selama
proses pendinginan, menyerap panas secara merata dari benda kerja, proses
hardening dapat dipilih.
5. Quenching dengan Brine
Pada umumnya medium yang digunakan mengandung 5-10 % Sodium
Klorida dalam brine. Efek yang dihasilkan oleh quenching dengan media

brine mirip dengan pendinginan melalui media air. Brine akan mendinginkan
material sedikit lebih cepat daripada air, dan proses quenching akan berjalan
sedikit lebih cepat, sehingga menghasilkan baja lebih keras daripada melalui
media air. Bahkan quenching dengan media brine ini adalah yang
menghasilkan baja terkeras diantara yang lainnya. Hal tersebut disebabkan
karena titik didihnya lebih tinggi daripada air sehingga brine tidak mudah
panas dan mendinginkan baja lebih cepat dan lebih keras.

Gambar 3.9.Quenching dengan Media Brine


Sumber: www.monroeccce.du

6. Quenching dengan medium minyak terlarut.


Medium ini menghasilkan material yang lebih lunak dari yang dihasilkan
oleh quenching dengan larutan garam dan air tersirkulasi.
7. Polymer Quench
Polymer Quench pendinginannya berada diantara air dan oli, kecepatan
pendinginan dapat terpengaruh oleh variasi komponen dalam campuranyang mana tersusun atas air dan glycol polimer.
Polymer Quench berkemampuan untuk menghasilkan benda kerja
dengan tingkat korosi yang rendah dari pada air dan resiko kebakaran yang
rendah dari pada oli
Tapi hasil yang demikian hanya akan diperoleh bila komposisi kimia
material quench selalu konstant.

Gambar3.10. Polymer Quench


Sumber: www.beautifuliron.com

8. Cryogenic Quench
Cryogenic atau deep freezing bertujuan untuk memastikan bahwa tidak
ada austenit yang tertahan selama Quenching.

Sesuai dengan diagram medium pendinginan, urut-urutan media pendingin


berdasarkan kemampuan menghasilkan kekerasan tertinggi adalah :

air dengan 10% sodium chloride (brine)

air yang mengalir (disemprotkan dengan tekanan tinggi).

larutan garam

oli + air

oli

udara.

Gambar 3.11. Kurva Quenching Dengan Berbagai Media


(Sumber: www.rpdrc.com )

2). Softening
Softening adalah proses pemanasan diikuti pendinginan secara perlahanlahan (untuk baja karbon tinggi).
Meliputi proses:
2.1. Annealing
Annealing adalah pemanasan pada suhu yang cukup tinggi (antara 50F
di atas AC

dan 15F dibawah AC 1 ) agar tejadi austenisasi sempurna,

menahannya pada temperatur tersebut untuk waktu tertentu dan didinginkan


pada suhu AC

kamar secara perlahan lahan. Tujuan dari anneling adalah

sebagai berikut:

Mengurangi kekerasan material

Menghilangkan tegangan sisa

Memperbaiki keuletan

Memperbaiki ukuran butir

Memperbaiki ketangguhan

Ada beberapa macam annealing yaitu:


2.1.1 Full annealing
Digunakan untuk baja karbon rendah, baja karbon sedang yang akan
dimesin atau yang akan dikenakan deformasi plastis selama proses
pembentukan. Paduan dipanaskan pada suhu 15 sampai 40 derajat celcius

di atas batas atas titik kritis dan didinginkan pada temperatur kamar.
Hasilnya struktur mikro butir lebih kecil dan seragam.

Gambar 3.12. Annealing


(Sumber: www.rpdrc.com )

2.1.2. Partial Annealing


Baja dipanaskan diantara temperatur kritis bawah dan temperatur
kritis atas. Kemudian didinginkan secara perlahan dan didapat struktur
perlit dan sementit. Proses ini lebih mahal daripada full annealing
sehingga hanya digunakan untuk baja hypoeutectoid.

2.1.3. Stress Relief Annealing,


Proses ini dilakukan untuk menghilangkan tegangan internal dari
sebuah logam yang telah ditentukan untuk pengerjaan pendinginan (cold
working) atau proses pengerjaan pengerasan. Stress relief adalah sebuah
proses heat treatment dengan suhu 1000 12000 F yang digunakan
untuk menghilangkan tegangan internal (internal straince) tanpa
mengurangi kekuatan suatu material secara signifikan. Proses ini
digunakan pada situasi dimana pengawasan dimensional secara ketat
diperlukan dalam proses penempaan, proses pengecoran, dll.

2.1.4. Spheroidizing
Merupakan proses annealing yang digunakan untuk baja karbon
tinggi. Tujuannya adalah meningkatkan ketangguhan baja yang rapuh.
Struktur ini meningkatkan ketangguhan baja yang rapuh. Langkah
Spherodizing adalah memanaskan bahan hingga temperatur tepat di
bawah garis ferrit austenit ( garis dibawah garis austenit sementit )
dibawah 7270C. Struktur ini meningkatkan kemampuan mekanis dalam
proses pemotongan, meningkatkan ketahanan terhadap goresan. Struktur
mikro yang terbentuk adalah Spheroidite.

Gambar 3.13. Grafik Temperatur Spheroidizing


(Sumber: Rajan T.V., C.P. Sharma dan Ashok Sharma. Heat Treatment
Principles And Techniques. Halaman 106)

2.2. Normalizing
Salah satu proses perlakuan panas yang bertujuan untuk
menghaluskan butiran kristal

(mengurangi ukuran butiran kristal).

Temperatur normalizing, 55-85C di atas temperatur kritis ( fasa


austenite ), proses diakhiri dengan pendinginan udara. Hasilnya struktur

pearlite yang bagus dengan kelebihan ferrite dan cementite. Tingkat


kelunakan material tergantung pada kondisi ambient dari pendinginan.

Gambar 3.14. Diagram Normalizing


(Sumber : Rajan T.V ., C.P. Sharma dan Ashok Sharma. Heat Treatment Principles
And Technique.Halaman 99)

2.3. Tempering
Adalah pemanasan kembali antara 100- 400C yang berfungsi untuk
menurunkan kekerasan apabila kekerasan yang diperoleh dari proses
hardening terlalu tinggi dari yang dikehendaki.
Dalam proses tempering ini atom-atom karbon akan dikeluarkan dari larutan
dan struktur akan berganti menjadi suatu campuran fasa-fasa ferit dan
sementit yang stabil.
Untuk proses quencing setelah hardening dilakukan secara mendadak,
sedangkan setelah tempering pendinginan dilakukan dengan udara. Proses
pendinginan ini jelas akan berakibat berubahnya struktur logam yang
diquench.

Gambar 3.15. Hubungan antara


Suhu dengan Waktu Tempering
(Sumber : Rajan T.V ., C.P. Sharma dan Ashok Sharma. Heat Treatment Principles
And Techniques. Halaman 114)

2.3.1. Tempering konvensional


Tempering dimungkinkan oleh karena struktur martensit tidak stabil.
Temper pada suhu rendah antara 150 sampai 200oC tidak akan menghasilkan
kekerasan berarti, karena pemanasan akan menghilangkan tegangan dalam lebih
dulu. Jika suhu temper meningkat, martensit terurai dengan cepat

Gambar 3.16.Struktur Mikro Besi Karbon dan Besi dari Diagram Fasa
(Lawrence H. Van Vlack, Ilmu dan Teknologi Bahan)

Penjelasan untuk gambar 4.26. dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3.1
Proses Tarnsformasi untuk Baja

Proses

Tujuan
Pelunakan

Celup

Pengerasan

Terputus

daerah stabil
Celup yang lebih cepat
daripada CRm
Celup

Pengerasan tanpa retak

disusul

+ karbida

Martensit

dengan

pendinginan lambat dari

Martensit

Ms ke Mf
Pengerasan tanpa

Austemper

Fasa

Pendinginan lambat dari

Anil

Celup

Prosedur

Celup

disusul

pembentukan martensit transformasi


rapuh

dengan
isotermal

+ karbida

diatas Ms

Peningkatan
Temper

ketangguhan

Pemanasan

(biasanya dengan

martensit

ulang

dari

+ karbida

pelunakan minimal)
(Lawrence H. Van Vlack, Ilmu dan Teknologi Bahan)

Tempering dibagi dalam beberapa bagian, yaitu:


a.

Tempering suhu rendah (150-300 C)

Tujuannya untuk mengurangi tegangan kerut dan kerapuhan baja. Digunakan pada
alat kerja yang tak mengalami beban berat seperti alat potong dan mata bor kaca.

b.

Tempering suhu menengah (300-500 C)

Tujuannya menambah keuletan dan sedikit mengurangi kekerasan. Digunakan


pada alat kerja yanga mengalami beban berat seperti palu, pahat dan pegas.
c.

Tempering suhu tinggi (500-650 C)

Tujuannya untuk memberikan daya keuletan yang besar dan kekerasannya


menjadi lebih rendah. Digunakan pada roda gigi, poros, batang penggerak.
3.2.3. JENIS JENIS TUNGKU PEMANAS
A. Car bottom furnace
Mobil keluar dari tungku dan dapat dimuat atau dibongkar dengan
bagian diobati. Metode pemanasan mungkin baik resistensi listrik atau bahan
bakar / gas. Tungku bawah mobil yang cocok untuk berbagai perlakuan panas

Gambar 3.17. Car bottom furnace


(sumber : http://www.bombayharbor.com)
B.Belt type furnace
Tungku jenis ini memiliki lonceng pemanas vertikal bergerak dan
stasioner bawah dengan bagian yang dirawat. Metode pemanasan mungkin baik
resistensi listrik atau bahan bakar / gas.Tungku jenis Bell yang cocok untuk anil
strip digulung dan perawatan panas lainnya termasuk operasi di atmosfer
terkendali.

Gambar 3.18. Belt type furnace


(sumber : http://www.alhern-martin.com/furnaces/56/56inch2.jpg)

C.

Vertical pit furnace


Tungku jenis ini digunakan untuk pengobatan panas poros seperti

bagian (generator rotor, rotor turbin uap) yang dimuat secara vertikal melalui
bagian atas tungku.Metode pemanasan mungkin baik resistensi listrik atau bahan
bakar / gas.

Gambar 3.19. Vertical pit furnace


(sumber : http://www. wisoven.com)
D.

Roller Furnace
Tungku jenis ini telah rol baja tahan panas memindahkan bagian

melalui tabung panjang seperti tungku.Metode pemanasan mungkin baik listrik

atau bahan bakar / gas. Tungku Roller cocok untuk perlakuan panas lembaran,
tabung dan bagian panjang lainnya.

Gambar 3.20 Roller Furnace


(sumber : http://www.premierfurnace.com/images/roller_hearth_furnace_large.jpg)
E. Pusher Furnace
Tungku jenis ini memiliki pendorong terletak di ujung tungku dan
memindahkan bagian-bagian melalui tungku. Metode pemanasan mungkin baik
listrik atau bahan bakar / gas. Tungku Pendorong umumnya digunakan untuk
pemanasan bagian sebelum deformasi panas.

Gambar 3.21 Pusher Furnace


(sumber:http://www.wisoven.com/sites/default/files/imagecache/category_list_image/S
olutionTreat_Pusher3_lg_4.jpg)

3.2.4. APLIKASI DALAM BIDANG INDUSTRI


Aplikasi Heat Treatment pada Pembuatan kaca anti Peluru

Kaca antipeluru merupakan kemampuan kaca untuk menahan peluru yang


menembus bidang ini. Dengan komponen yang terdapat dalam kaca antipeluru,
proyektil yang ditembakkan ke arah kaca dapat tertahan sehingga tidak mengenai
sasaran tembak yang berada di balik kaca. Bahan-bahan penangkal antipeluru dapat
dikomposisikan ke dalam kaca dan tidak mengurangi karakteristik fisik kaca pada
umumnya, yaitu bening dan transparan.
Kaca antipeluru diciptakan agar kaca standar dapat memiliki ketahanan yang
lebih kuat pada benda-benda tumpul. Jenis kaca yang digunakan biasanya memiliki
ketebalan 70 sampai 75 milimeter. Sebelum menjadi pelengkap mobil pribadi, kaca
antipeluru telah digunakan pada kendaraan tempur sejak Perang Dunia II. Saat itu, kaca
yang digunakan memiliki ketebalan 100 sampai 120 milimeter.
Pada dasarnya, kaca antipeluru tidak berbeda dengan kaca pada umumnya.
Intinya, kaca antipeluru merupakan kaca biasa yang dilapisi dengan dengan
polycarbonate.
Kaca dan polycarbonate merupakan komponen pokok dalam susunan kaca antipeluru.
Kaca sendiri merupakan lapisan tembus pandang sedangkan polycarbonate sebagai
lapisan yang melindungi serpihan kaca. Sehingga, kaca yang retak terkena tembakan,
ledakan, atau pukulan keras tidak hancur lebur mengenai orang.
Tapi retakan tersebut tertahan di dalam kaca karena ada polycarbonate yang
menahannya. Selain dua komponen tersebut, kaca antipeluru sendiri tersusun dari
berbagai lapisan. Sebab kaca ini merupakan sistem kaca yang berlapis-lapis. Proses

pembuatannya sendiri menggunakan cara pemanasan dan pendingan supaya kaca


menjadi lebih kuat.
Polikarbonat adalah kelompok tertentu polimer termoplastik. Mereka dapat
dengan mudah bekerja, dibentuk, dan thermoformed; karena itu, plastik ini sangat
banyak digunakan dalam industri kimia modern. Fitur menarik mereka (suhu
perlawanan, dampak perlawanan dan optiknya) posisi mereka di antara plastik dan
rekayasa komoditas plastic

Kaca yang telah dilapisi protective interlayer atau polyvinyl butyral


(PVB) dapat tahan terhadap tegangan tinggi, karena material ini dilapisi dengan
banyak lapisan. Sebagai contoh, tiga lapisan kaca, dua lapisan PVB, empat
lapisan kaca, tiga lapisan PVB dan seterusnya. Material ini dapat tahan terhadap
peluru atau bom. Ini dikarenakan material tersebut memiliki lapisan PVB yang
tahan terhadap tegangan.
Saat kaca terkena peluru, material ini dapat pecah namun peluru tidak dapat
tembus. Sebab kaca telah mengalami tempered glass yaitu kaca yang telah
mengalami heat treatment supaya lebih keras dan pecahan kacanya lebih halus
dan tidak melukai penumpang. Selain itu, PVB dapat menjadi dekorasi, karena
PVB memiliki berbagai warna dan motif.
Banyaknya lapisan yang digunakan dalam pembuatan kaca antipeluru
membuat lapisan kaca ini menjadi tebal. Ketebalan kaca dapat mencapai empat

sentimeter. Bahkan, pada mobil limusin Presiden Amerika Serikat ke-44, Barack
Obama, ketebalan kaca mobilnya lebih dari 12 sentimeter. Sementara kekuatan
kaca antipeluru ditentukan melalui suatu standar. Dengan demikian, kekuatan
kaca dapat diukur.
Ada beberapa level untuk menentukan kekuatan kaca. Berdasarkan
standar ukuran dari National Institute of Justice yang berasal dari Amerika
Serikat, terdapat ukuran kekuatan kaca mulai dari level satu sampai dengan level
delapan. Kekuatan tersebut akan diukur dengan peluru yang mengenai kaca.
Jenis peluru, kecepatan, dan jumlah peluru yang ditembakkan menjadi acuan
ketahanan suatu kaca.
Jarak, Berat, dan Kecepatan , Sebagai contoh, pada level II A kaca akan
dapat mengkis peluru berkaliber 9 milimeter yang memiliki berat 8 gram dengan
kecepatan luncur dari senapan 341 meter per detik dari proyektil atau senapan.
Dalam satu percobaan, peluru ini ditembakkan dalam jarak lima meter.
Hasil yang diperoleh peluru tidak menembus pada kaca. Kekuatan kaca
ini akan jadi berbeda jika ditembakkan dengan peluru pada kekuatan level III A.
Kaca dengan kekuatan IIA ditembak dengan peluru IIIA yang berjenis 9
milimeter dengan berat 8,2 gram pada kecepatan tembak 436 meter per detik.
Maka, peluru tersebut akan dapat menembus kaca dan serpihannya dapat
mengenai penumpang di dalam mobil.
Untuk menguji kaca antipeluru, penembakan dilakukan pada jarak lima
meter dan dilakukan pada enam kali tembakan pada level I sampai III A. Dalam
percobaan, tembakan tidak diarahkan pada titik yang sama melainkan diarahkan
pada titik lain. Sementara, jarak antara satu titik tembakan dengan titik yang lain
sejauh dua inci atau 5,1 milimeter. Sebab kalau tembakan diarahkan pada satu
titik pada kaca yang ditembak sebanyak enam kali, tentu saja peluru akan
menembus kaca. Pada Level di atas III A atau III dan IV, jarak uji tembakan 15
meter karena pada tahap ini kecepatan peluru umumnya lebih besar sekitar 850
meter per detik. Di samping itu, berat peluru lebih tinggi sekitar sembilan
sampai dengan 10 gram. Namun, berbeda dengan level di bawahnya, uji tembak
pada peluru level empat hanya dilakukan sekali. Selain daripada itu, teknik uji

kaca antipeluru lainnya adalah dengan mengarahkan tembakan secara lurus pada
kaca. Arah tembakan semacam ini memiliki kekuatan yang lebih besar
dibandingkan jika tembakan diarahkan secara miring. Jika dengan cara uji
seperti ini peluru tidak tembus pada kaca, maka tembakan yang dilakukan dalam
posisi miring tidak akan menembus kaca. Sebab umumnya tembakan yang
dilakukan oleh pelaku kriminal dilakukan dengan arah yang tidak lurus.
Sumber : http://archive.kaskus.us/thread/2891523

3.3. METODOLOGI PENELITIAN


3.3.1. Bahan Percobaan
Bahan yang digunakan dalam praktikum heat treatment ini adalah :
a. Besi cor non perlakuan
b. Besi cor perlakuan panas dengan pendinginan udara
c. Besi cor perlakuan panas dengan pendinginan air
d. Besi cor perlakuan panas dengan pendinginan oli
e. Baja ST-40 non-perlakuan
f. Baja ST-60 non-perlakuan
g. Baja ST-40 perlakuan panas dengan pendinginan udara
h. Baja ST-60 perlakuan panas dengan pendinginan udara
i. Baja ST-40 perlakuan panas dengan pendinginan air
j. Baja ST-60 perlakuan panas dengan pendinginan air
k. Baja ST-40 perlakuan panas dengan pendinginan oli
l. Baja ST-60 perlakuan panas dengan pendinginan oli
3.3.2. PERALATAN PERCOBAAN
Peralatan yang digunakan dalam praktikum heat treatment adalah :
a. Sebuah perangkat Furnace Chamber HOFFMANN TYPE KL

Gambar 3.22. Furnace Chamber HOFFMANN TYPE KL.


(sumber : laboratorium metalurgi fisik UNDIP)

Gambar 3.23. Panel control Furnace Chamber HOFMANN TYPE KL


(sumber : laboratorium metalurgi fisik UNDIP)

Spesifikasi alat Chamber Hofman;


a.

Tipe KL

b. Tahun pembuatan 1991


c. Temperatur Alat 20 - 900
d. Waktu mulai penundaan 0 9999 menit
e. Ramp End, Skip , 4 - 700C/h
f. Dwell 0-9999 menit
g. Pendinginan skip 4 -700C
h. End 0-9999 menit ditahan

Keterangan :
1. Display
adalah layar yang yang digunakan untuk menampilkan keterangan suhu,
kecepatan pemanasan, waktu penahanan, maupun kecepatan pendinginan.
2. Unit
Bagian yang menunjukkan satuan-satuan dari angka-angka yang ditampilkan
pada bagian display.
3. Program Number
Program number merupakan untuk tiap program yang ada dalam mesin
tersebut.
4. Heating Program
Diagram pemanasan dimana pada diagram tersebut terlihat adanya kenaikan
suhu dan penahanan suhu.
A Mengontrol waktu tunggu yang telah disimpan samapi memulai proses
pemanasan.
B, D, F Mesin pemanas memanasi dg kecepatan yang telah disimpan, dapat
dipilih dari 4oC 700oC.
C, E, G, I Suhu tidak merubah waktu tunggu.
H Mesin pemanas menurunkan suhu dengan kecepatan normal

5. Relais
Indikator untuk mengontrol sirkulasi udara luar mesin, nilai magnetik, dan
penghubungnya
6. Program Button

Adalah tombol untuk memilih-milih program yamg dinginkan, yang


selanjutnya akan ditampilkan pada layar program number (3).
7. Segment Button
Tombol yang digunakan untuk memindahkan tahapan-tahapan suhu

yang

dapat dilihat pada diagram pemanasan.


8. Up/down button
Tombol untuk menaikkan atau menurunkan suhu, kecepatan pemanasan
seperti yang ditampilkan pada display (1).
9. Key Button
Adalah tombol untuk mengunci bila kita menginginkan program tersebut
menjadi salah satu program dalam mesin.

10. Relais button


Untuk mengontrol sirkulasi udara luar mesin, nilai magnetik, dan
penghubungnya.
11. Comsumption button
Untuk mengetahui energi pemakaian pada proses pemanasan sejak dimulai
program dan ditampilkan pada display
12. Start stop button
Tombol untuk memulai jalannya program dan menghentikannya

b.

Rockwell Hardness Tester HR 150A

Dial indicator

penetrator

pengatur pembebanan

Anvil

handle pelepas

handle pembeban

handwell

Gambar 3.24. Rockwell Hardness Tester Model HR-150A


(sumber : laboratorium metalurgi fisik UNDIP)

c. Mesin ampelas/ grinding

Gambar 3.25 Mesin ampelas/ grinding


(sumber : laboratorium metalurgi fisik UNDIP)

d. Vernier caliper

Gambar 3.26 Vernier Calliper


(sumber : laboratorium metalurgi fisik UNDIP)

e. Media pendingin

Air

Udara

Oli

3.3.3. LANGKAH PERCOBAAN


1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan dipakai dalam praktikum heat
treatment.
2. Memasukkan spesimen ke dalam Furnace Chamber sampai temperatur
9000 C dan ditahan selama 10 menit.
T= 900 C/h, t=10 m
v= 300 C/h
T= 600 C, t= 15 m
v= 300 C/h
v= 300 C/h
T=300 C, t=15 m
v= 300C/h
T=24 C

T= 24 C

Jika ingin memanaskan benda uji sampai suhu 30oC dengan kecepatan 300oC lh
dan waktu 5 , tekan tombol program maka angka 1 muncul lalu tekan segmen pada
pilihan suhu yang akan dicapai pertama .Masukan angka 600oC Tekan tombol segmen
pada pilihan ke 4batas masukan angka 300oC/h. Tekan segmen pada pilihan lama
penahan 5s . Tekan tombol segmen pada pilihan pencapaian suhu ke 5 masukan 900oC
Tekan segmen pada pilihan kecepatan bakar.Masukkan angka 300oC/h segmen pada
pilihan lama pembakaran masukkan angka 5 tekan tombol segmen pada suhu
pendinginan masukan angka 50oC. Lalu tekan tombol kunci lalu tekan steel.

3. Mendinginkan spesimen dengan media pendingin


4. Melakukan pengampelasan sampai spesimen rata

5. Menguji kekerasan spesimen dengan Rockwell Hardness Tester model HR


150A .
6. Mengulangi uji kekerasannya sampai tiga kali
7. Mengulangi uji kekerasan untuk spesimen lain.
8. Membandingkan pada spesimen yang sama untuk media pendingin yang
berbeda.

3.3.4. DIAGRAM ALIR PERCOBAAN


Mulai

Menyiapkan material yang akan diheat treatment


(Baja ST-40, Baja ST 60 dan Besi cor)

Menyiapkan material yang akan diheat-tretman


(Baja ST-40 dan Baja ST-60)

Memasukkan material ke
dalam Chambeer hoffman

Menghidupkan Chamber Hoffman

Membuat program untuk


treatment

poroses heat-

Memasukkan program yang digunakan


dengan memperkirakan waktu,
kecepatan bakar dan waktu penahanan

No
Mengecek Program

Yes

Menjalankan program dengan menekan tombol start

Menunggu sampai waktu burning selesai

Menekan tombol stop untuk menghentikan pemanasan

Mengeluarkan material dari chamber hofmann

Selesai

3.4. DATA PERCOBAAN

Berikut adalah data nilai kekerasan yang diperoleh :


a.

No

Material Non Perlakuan


HRA
Baja ST 40

Baja ST 60

Besi Cor

1
2
3
Rata-rata

b. Material Perlakuan
- Perlakuan panas dengan pendinginan udara
No

HRA
Baja ST 40

Baja ST 60

Besi Cor

1
2
3
Rata-rata

Perlakuan panas dengan pendinginan air


No

HRA
Baja ST 40

1
2
3
Rata-rata

Baja ST 60

Besi Cor

- Perlakuan panas dengan pendinginan oli


No

HRA
Baja ST 40

Baja ST 60

Besi Cor

1
2
3
Rata-rata

A. Baja ST 40
No

Jarak (mm)

B. Baja ST 60
Kekerasan

No

Jarak (mm)

Kekerasan

39,3

57,5

41,2

54,5

39,1

54,5

12

39,5

12

57

15

38,9

15

56,5

18

30,5

18

52,5

21

35,8

21

54,5

24

38,0

24

50,5

27

39,8

27

54,5

10

30

39,5

10

30

44

11

33

38,3

11

33

53,5

12

36

37,7

12

36

54

13

39

35

13

39

50,5

14

42

33,5

14

42

47

15

45

29

15

45

50,5

3.4.2. Analisa Data


Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan pada baja ST-40 dan baja
ST-60 dengan pendinginan air didapatkan hasil perhitungan kekerasan material
uji maka dapat dibuat beberapa analisa, sebagai berikut:
a. Dalam proses perlakuan panas ( heat treatment ) material uji, baik itu baja
ST-40 maupun baja ST-60 dilakukan dengan cara yang sama yaitu dilakukan
dengan memanaskan material uji hingga mencapai suhu 900C kemudian
ditahan kurang lebih selama 1 jam agar panas dapat diserap secara merata
pada seluruh material uji. Namun dalam proses pendinginannya, kedua
bahan tersebut mengalami proses pendinginan dengan dua metode, yaitu
dengan pendinginan air dan pendinginan dengan udara.
Tabel 3.2. Perbandingan berbagai sifat baja ST-40 dan ST-60 setelah proses
Heat Treatment:
Perlakuan Panas Baja ST-40

Baja ST-60

Pendinginan

Paling

rendah

kekerasannya

bila Paling rendah kekerasannya

Udara

disbandingkan dengan non perlakuan bila dibandingkan dengan


dan pendinginan air tetapi keuletannya ST-60 non perlakuan dan
paling besar bila dibandingkan dengan pendinginan

udara

tapi

baja ST-40 non perlakuan maupun keuletannya paling besar


medium air.

dibandingkan dengan ST40 non perlakuan maupun


pendinginan air

Pendinginan air

Bersifat

paling

keras

bila Kekerasannya lebih besar

dibandingkan dengan baja ST-40 non bila dibandingkan dengan


perlakuan dan pendinginan udara, ST-60 pendinginan udara,
tetapi paling getas jika dibandingkan tapi keuletannya lebih besar
dengan

baja

ST-40

dengan

non baja ST-60 non perlakuan.

perlakuan maupun pendinginan air.

Pendinginan

Tingkat kekerasannya terletak antara Tingkat

minyak pelumas material yang berpendingin air dan ber terletak


pendingin udara.

kekerasannya
antara

material

yang berpendingin air dan


ber pendingin udara.

Gambar 3.27. Diagaram Fasa Proses Heat Treatment Yang Terjadi


(Sumber: William Callister, Material Science and Engineering, hal 296)

Gambar 3.28. Diagaram TTT Proses Heat Treatment Yang Terjadi


(Sumber:Van Vlack L.H, Ilmu dan Teknologi Bahan, hal 92)

b. Dari hasil percobaan didapatkan hasil bahwa pendinginan dengan air


menghasilkan tingkat kekerasan material yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pendinginan dengan udara. Hal ini disebabkan karena

proses

pendinginan dengan media pendinginan air terjadi sangat cepat karena


dilakukan secara mendadak sehingga terbentuk struktur martensit yang lebih
keras, karena martensit itu sendiri merupakan butiran yang berbentuk jarum
dan mempunyai sifat yang sangat keras dan tidak stabil. Struktur kristal dari
martensit bukan BCC (Body Centered Cubic) melainkan BCT (Body
Centered Tetragonal).

Gambar 3.29. Struktur Kristal BCT ( Body Centered Tetragonal )


Struktur ikatan martensit tersebut dikarenakan kehadiran dari karbon
yang terjebak ditengah-tengah struktur kristal. Karena pendinginan yang
cepat, maka atom-atom logam tidak mengalami transformasi secara
difusi. Dengan pendinginan yang sangat cepat maka tidak akan ada
waktu bagi austenit untuk berubah maupun menjadi ferrit. Sedangkan
pada pendinginan udara yang merupakan jenis proses quenching,
prosesnya berlangsung sangat lambat sehingga austenit berubah menjadi
perlit maupun ferrit yang lunak.

c. Baja ST-40 merupakan baja karbon rendah dengan kadar C + 0,3 %. Pada
diagram fasa Fe C dibawah, letak ST 40 pada garis warna merah. Sehingga
perubahan fase selama proses heat treatment dapat dilihat pada diagram
tersebut. Baja ST- 60 merupakan baja karbon sedang dengan kandungan C
antara 0,3 0,65 % pada diagram fasa dibawah letaknya antara garis merah
dan biru sehingga perubahan fase pada waktu heat treatment dapat dilihat pada
diagram fase Fe C dibawah.

Gambar 3.30..Letak Baja ST-40 dan ST-60 dalam Diagram fasa Fe C


(Sumber : Callister, Materials Science and Engineering 4th ,hal 270)

Gambar 3.31. Representasi Struktur Mikro Baja ST-40 dan ST-60


dalam Proses Heat Treatment
(Sumber: Callister, Materials Science and Engineering 4th ,hal 275)

d. Dari hasil perhitungan data percobaan, pada baja ST 60 yang mengalami


pendinginan media air tingkat kekerasannya lebih besar jika dibandingkan
dengan udara. Berdasarkan nilai kekerasannya (HR) tingkat kekerasan baja
ST-60 dapat diurutkan sebagai berikut :
Baja dengan perlakuan pendinginan air >Baja dengan perlakuan udara
Sedangkan pada baja ST-40 hasilnya berbeda, dimana tingkat kekerasan
(HR) nya dapat diurutkan sebagai berikut :
Baja dengan perlakuan pendinginan air > Baja dengan perlakuan
pendinginan udara. Hal ini menyimpang dari teori yang ada, seharusnya
nilai kekerasannya pendinginan air > pendinginan udara, karena pada
saat pendinginan dengan air akan menyebabkan kadar karbon pada fasa
austenit tidak mengalami perubahan difusi sehingga terperangkap pada
kisi dan terbentuk martensit yang bersifat keras dan kuat. Pada
pendinginan udara karena lebih lambat, tidak terbentuk martensit tetapi
50% bainit dan 50%perlit yang lebih lunak dari martensit.
Perbedaan hasil ini disebabkan karena :
1.) Kemungkinan kurang ratanya dan halusnya permukaan material yang
mengalami pengujian sehingga distribusi gaya yang diterima specimen

material uji tidak merata sehingga nilai kekerasan material yang


diperoleh kurang teliti.
2.) Kemungkinan struktur mikro dari material uji yang tidak merata
sehingga kekerasannya terpengaruh karena nilai kekerasan material akan
terpengaruh oleh adanya tegangan sisa. Oleh karena itu jarak antara
diameter indentor yang satu dengan yang lain harus minimal 3 ( tiga )
kali diameter indentor.
3.) Beban mayor yang diterapkan pada saat uji keras selalu sama untuk
semua material, sehingga hasilnya kurang akurat.
4.) Pada pengukuran ke-14 dengan panjang pengukuran sebesar 2.6 mm dan
hasil pengujian kekerasan mengalami peningkatan, hasil tersebut tidak
sesuai dengan teori. Peningkatan kekerasan material tersebut bisa
dikarenakan pada saat pendinginan dengan air, air yang disemprotkan
mengenai bagian atas spesimen uji sehingga pendinginannya tidak
merata.
3.5. PENUTUP
3.5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan dan analisa data, dapat disimpulkan
beberapa hal yaitu :
a. Heat treatment adalah proses pendinginan dan pemanasan yang terkontrol
terhadap logam, yang disesuaikan dengan tujuan pemakaiannya.
b. Tujuan dari Heat treament antara lain :
1.) Untuk mempersiapkan material untuk pengolahan berikutnya.
2.) Mempermudah proses machining.
3.) Untuk mengurangi kebutuhan daya pembentukan dan energi.
4.) Memperbaiki sifat keuletan material dan kekuatan material
5.) Meningkatkan kekerasan dan tegangan tarik material
c. Pendinginan yang cepat akan meningkatkan kekerasan sedangkan
pendinginan lambat kekerasannya kurang optimal.
d. Proses-proses dalam Heat treatment pada suatu material antara lain :
1.) Untuk memperbaiki sifat kekerasan material ( hardening ) :

a.) Surface Hardening


(1) Dengan penambahan zat
(a.) Karburasi
(b.) Nitriding
(c.) Karbonitriding
(d.) Sianiding
(2) Tanpa Penambahan Zat
(a.) Flame Hardening
(b.) Induction Hardening
(c.) Laser and Electron Beam Hardening

b.) Quenching

2.) Untuk memperbaiki sifat keuletan material ( softening ) :


a.) Anneling
b.) Normalizing
c.) Tempering
e. Kesalahan perhitungan nilai kekerasan material uji terjadi karena :
1.) Kurang telitinya praktikan dalam melakukan percobaan dan dalam
pembacaan nilai kekerasan material
2.) Tidak halusnya permukaan material uji
3.) Ketidakrataan antara kedua permukaan material uji

3.5.2. Saran
a. Pada setiap spesimen material uji hendaknya diberi tanda untuk
membedakan perlakuan yang telah diberikan pada spesimen tersebut agar
tidak terjadi kesalahan atau tertukarnya material uji.

b. Saat melakukan percobaan hendaknya dilakukan dengan teliti dan seksama


agar didapatkan hasil yang benar dan valid.
c. Hendaknya dalam melakukan percobaan, waktu dan temperature material
saat percobaan diperhatikan dengan seksama.
d. Pada saat pendinginan dengan air usahakan air jangan mengenai bagian
atas spesimen agar proses pendinginan merata.
e. Saat melakukan pengujian kekerasaan hendakntya dilakukan dengan
ketelitian yang tinggi.
f. Setelah selesai melakukan praktikum sebaiknya mesin dan alat alat yang
digunakan dibersihkan dan diletakan pada tempat yang seharusnya.

DAFTAR PUSTAKA
(Sumber: Rajan T.V., C.P. Sharma dan Ashok Sharma. Heat Treatment Principles And
Techniques. Halaman 154)
( http://info.lu.farmingdale.edu/depts/met/met205/index.html )
(Sumber: Rajan T.V., C.P. Sharma dan Ashok Sharma. Heat Treatment Principles And
Technique. Halaman 163)
(Sumber: Rajan T.V., C.P. Sharma dan Ashok Sharma .Heat Treatment Principles And
Techniques. Halaman 166)
(Sumber: Rajan T.V., C.P. Sharma dan Ashok Sharma. Heat Treatment Principles And
Technique. Halaman 169 (gbr.atas) dan www.info.lu.farmingdale.edu (gbr.bawah))
(Sumber: Rajan T.V., C.P. Sharma dan Ashok Sharma. Heat Treatment Principles And
Technique. Halaman 120)
(Sumber: Rajan T.V., C.P. Sharma dan Ashok Sharma. Heat Treatment Principles And
Techniques. Halaman 106)
(Sumber : Rajan T.V ., C.P. Sharma dan Ashok Sharma. Heat Treatment Principles And
Technique.Halaman 99)
(Sumber : Rajan T.V ., C.P. Sharma dan Ashok Sharma. Heat Treatment Principles And
Techniques. Halaman 114)
(Lawrence H. Van Vlack, Ilmu dan Teknologi Bahan)

(sumber : http://www.bombayharbor.com)
(sumber : http://www.alhern-martin.com/furnaces)
(sumber : http://www. wisoven.com)
(sumber : http://www.premierfurnace.com/images/roller_hearth_furnace_large.jpg)
(sumber:http://www.wisoven.com/sites/default/files/imagecache/category_list_image/S
olutionTreat_Pusher3_lg_4.jpg)
Sumber : http://archive.kaskus.us/thread/2891523
(Sumber: William Callister, Material Science and Engineering, hal 296)
(Sumber:Van Vlack L.H, Ilmu dan Teknologi Bahan, hal 92)
(Sumber : Callister, Materials Science and Engineering 4th ,hal 270)
(Sumber: Callister, Materials Science and Engineering 4th ,hal 275)

Das könnte Ihnen auch gefallen