Sie sind auf Seite 1von 34

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 2
BAB II LAPORAN KASUS.3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 9
DEFINISI.....................................................................................................

HAID DAN SIKLUSNYA..........................................................................

FISIOLOGI HAID......................................................................................

10

PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSIONAL .......................................

13

BAB IV KESIMPULAN & PEMBAHASAN KASUS ......................................... 34


DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
Menstruasi adalah siklus discharge fisiologik darah dan jaringan mukosa melalui vagina
dari uterus yang tidak hamil, dibawah kendali hormonal dan berulang secara normal, biasanya
interval sekitar empat minggu (28 hari) tanpa adanya kehamilan selama periode reproduktif pada
wanita dan beberapa spesies primata. Discharge dari menstruasi terdiri dari cairan jaringan (2040%,), darah (50 80 %), dan fragmen-fragmen endometrium. Menstruasi terjadi dengan selang
waktu 21 35 hari (dihitung dari hari pertama keluarnya darah menstruasi hingga hari pertama
berikutnya.
Menstruasi dapat dianggap normal bila terjadi dalam rentang waktu 21 35 hari, lamanya
perdarahan kurang dari 7 hari, dan jika jumlah darah yang hilang tidak melebihi 80 cc. Jika tidak
demikian maka seseorang dianggap mengalami gangguan dalam menstruasi. Gangguan
menstruasi paling umum terjadi pada awal dan akhir masa reproduksi, yaitu dibawah usia 19
tahun dan di atas usia 39 tahun .
Cakir, et al (2007) dalam penelitiannya di Turki menemukan bahwa dismenorea
merupakan gangguan menstruasi dengan prevalensi terbesar (89,5%), diikuti ketidakteraturan
menstruasi (31,2%), serta perpanjangan durasi menstruasi (5,3%). Pada pengkajian terhadap
penelitian- penelitian lain didapatkan prevalensi dismenorea bervariasi antara 15,8-89,5%,
dengan prevalensi tertinggi pada remaja.7 Mengenai gangguan lainnya, Bieniasz, et al (2007)
dari Wroclaw Medical University mendapatkan prevalensi amenorea primer sebanyak 5,3%,
amenorea sekunder 18,4%, oligomenorea 50%, polimenorea 10,5%, dan gangguan campuran
sebanyak 15,8%. Dalam penelitian Yassin (2012) di Alexandria, persentasi remaja putri yang
mengalami polimenorea adalah 6,8%, oligomenorea adalah 8,4%, menoragia adalah 2,5% dan
hipomenorea adalah 12,4%.
Dalam RISKESDAS (2010) dinyatakan bahwa persentase perempuan usia 10-59 tahun di
Sulawesi Selatan yang mengalami haid tidak teratur sebesar 14,5%. Lebih rinci lagi, sebanyak
11,7% remaja berusia 15-19 tahun di Indonesia mengalami haid tidak teratur dan sebanyak
14,9% perempuan yang tinggal di daerah perkotaan di Indonesia mengalami haid tidak teratur.

BAB II
LAPORAN KASUS

II.1. IDENTITAS PASIEN


Nama

: Nn. JD

Jenis kelamin

: Perempuan

Usia

: 17 tahun

Alamat

: Swadaya V

Agama

: Islam

Tanggal masuk RS

: 18 Desember 2014 pukul 19.10 WIB

II.2. SUBJECTIVE

Keluhan utama:
Haid banyak dan memanjang

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien mengeluh haid yang banyak dan memanjang. Pasien terakhir haid bulan Juni 2014

(lupa tanggal), haid sejak November belum berhenti. Pasien mengaku haidnya tidak teratur. Pada
haid kali ini, pasien perlu ganti pembalut sebanyak 4 kali dalam sehari dengan pembalut yang
berukuran besar. Dua hari terakhir SMRS, keluar darah berupa gumpalan kehitaman, dan sudah
berupa flek-flek saja. Sudah tidak ada perdarahan aktif.
Pasien juga mengeluhkan bila berjalan jantung berdebar-debar dan menurut ibu pasien,
pasien semakin terlihat pucat selama mens ini.
Keluhan keputihan, benjolan yang dirasa di perut bagian bawah dan vagina, disangkal.
Buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan. Penurunan berat badan disangkal.

Riwayat penyakit dahulu:


o Hipertensi
o DM
o Jantung
o Trauma

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
3

o Operasi
: disangkal
o Penyakit Kandungan : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


o Hipertensi
: disangkal
o DM
: disangkal
o Jantung
: disangkal
o Penyakit Kandungan : ibu pernah terkena kista

Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah diobati

Riwayat Menstruasi
Menarche usia 10 tahun. Pasien biasa menstruasi tidak teratur, tidak slalu setiap bulan,
atau bahkan dapat 2x sebulan. Bila haid, selalu banyak, yaitu dengan ganti pembalut besar
3x. Keluhan nyeri perut, pusing, lemas saat haid disangkal.

Riwayat Sosial (Pekerjaan)


Pasien merupakan pelajar SMA kelas III.

II.3. OBJECTIVE
Status Generalis
Keadaan Umum

: Baik, tampak agak pucat.

Kesadaran/GCS

: E4V5M6

Vital Sign

Tekanan darah : 90/70mmHg


Nadi
: 89 kali/menit
Suhu
: 36,5 C
Pernafasan
: 16 kali/menit

Status Interna
Kepala, Wajah, Leher:
-

Kedua konjungtiva tampak anemis


Tidak terlihat ikterik pada kedua sklera kanan dan kiri
Pupil bulat, isokor
Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening
4

Thoraks:
-

Jantung :
o Inspeksi
o Palpasi
o Perkusi
o Auskultasi
Paru :
o Inspeksi
o Palpasi
o Perkusi
o Auskultasi

: Iktus kordis tidak terlihat


: Iktus kordis tidak teraba
: Redup
: BJ II > BJ I regular, tidak terdapat gallop dan murmur
: Simetris, terdapat jejas pada dada kanan
: Fremitus taktil kanan < kiri
: Redup pada paru kanan, Sonor pada paru kiri
: Nafas vesikuler (+/+), rhonki (+/-), wheezing (-/-).

Abdomen:
-

Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi

: Simetris, tidak terdapat jejas


: Bising usus normal terdengar di seluruh kuadran abdomen
: Soefl, tidak terdapat ascites, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
: Timpani

Ekstremitas:
-

Tidak ada edema


Tidak terdapat sianosis (CRT<2)
Akral hangat

Status Ginekologi
I : v/u tenang
Io & VT : (tidak dilakukan)
RT : massa adnexa -/-, parametrium lemas +/+, cavum douglas tidak menonjol
USG
Uterus antefleksi
Ukuran: 53,3 x 80,8 x 223,5 mm
Ovarium kanan 39 x 36
Ovarium kiri 27,5 x 43
Tidak tampak massa adnexa
II.4. ASSESSMENT
Anemia e.c AUB e.c siklus anovulatoar dd/ ovarian dysfunction
5

II.5. PLANNING
PLANNING DIAGNOSTIK
Cek:

Darah Lengkap
Urin Lengkap
GDS
BT/CT
Feritin
Analisa Hb

PLANNING TERAPI
Transfusi hingga Hb 10 g/dl
Asam Mefenamat 3 x 500 mg p.o
Asam Tranexamat 3 x 1000 mg I.V
*bila perdarahan aktif, perhitungan EEK

HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM (tgl 18-12-2014)


Parameter

Hasil

Nilai rujukan

6.23

5 10 (ribu/mm3)

Netrofil

50.8

50 -70 %

Limfosit

34.8

25 - 40 %

Monosit

9.3

2 -8 %

Eosinofil

4.3

24%

0.8

01%

4.0
16
2.95
54.6
13.6
24.8
21.2
434

12 - 16 g/dL
35 47 %
3.6 5.8 juta/L
80 100 fL
26 34 pg
32 36 %
11.5 14.5 %
150 440 ribu/mm3

Leukosit
Hitung Jenis

Basofil
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
MCV
MCH
MCHC
RDW-CV
Trombosit

HEMOSTASIS
Fibrinogen
Fibrinogen

305

200 400 mg/dl

Control
PT-INR

217.0

200 350 mg/dL

Masa Prothrombin (PT)

13.6

10 14 detik

INR

1.10

0.83 1.15

Control
APTT

13.3

12 15 detik

APTT OS

30.9

26 40 detik

Control

35.1

26 37 detik

KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium (Na)

141.0

135 145 mmol/L

Kalium (K)

3.80

3.5 5.5 mmol/L

Klorida (Cl)
Albumin
SGOT
SGPT
Ureum
Kreatinin

105.0
4.2
14
20
27
0.7

98 109 mmol/L
3.4 5 g/dL
0 37 U/L
0 40 U/L
20 40 mg/dL
0.8 1.5 mg/dL

URINE LENGKAP (Kimia dan Mikoroskopis urin) -> hasil dalam batas normal
EDUKASI
-

Menjelaskan penyakit dan prognosis.


Tidak boleh banyak pengunjung

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Gangguan haid adalah kumpulan gejala yang timbul pada seorang wanita pada saat
mengalami menstruasi dimana keadaan-keadaan tersebut mengakibatkan terganggunya proses
aktifitas sehari-hari atau mengakibatkan adanya gangguan psikologis yang bisa menimbulkan
kecemasan dan kekhawatiran dari seorang wanita.
B. HAID dan SIKLUSNYA
Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan
(deskuamasi) endometrium. Panjang siklus haid adalah jarak antara tanggal mulainya haid yang
lalu dan mulainya haid berikutnya. Hari mulainya perdarahan dinamakan hari pertama siklus,
karena jam mulainya haid tidak diperhitungkan dan tepatnya waktu keluar haid dari ostium uteri
eksternum tidak dapat diketahui, maka panjang siklus mengandung kesalahan kurang lebih satu
hari. Panjang siklus haid yang normal atau dianggap sebagai siklus haid klasik ialah 28 hari
namun variasinya cukup luas. Panjang siklus yang biasa pada manusia ialah 25-32 hari dan kirakira 97% wanita yang berovulasi siklus haidnya berkisar antara 18-42 hari. Jika siklusnya kurang
dari 18 hari atau lebih dari 42 hari dan tidak teratur biasanya siklusnya tidak berovulasi
(anovulatoar). Lama haid biasanya antara 3-5 hari, ada yang 1-2 hari diikuti darah sedikit-sedikit
kemudian, dan ada yang sampai 7-8 hari. Jumlah darah yang keluar rata-rata 33,2 16 cc. Pada
wanita yang lebih tua biasanya darah yang keluar lebih banyak. Pada wanita dengan anemia
defisiensi besi jumlah darah haidnya juga lebih banyak. Jumlah darah haid lebih dari 80 cc
dianggap patologik. Darah haid tidak membeku disebabkan karena kandungan fibrinolisin
8

didalamnya. Kebanyakan wanita tidak merasakan gejala-gejala pada waktu haid, tetapi sebagian
kecil merasa berat dipanggul atau merasa nyeri (dismenorea). Usia gadis remaja pada waktu
pertama kalinya mendapat haid (menarche) bervariasi lebar, yaitu antara 10-16 tahun, tetapi rataratanya 12,5 tahun. Statistik menunjukkan menarche dipengaruhi faktor keturunan, keadaan gizi,
dan kesehatan umum. Menarche terjadi ditengah-tengah masa pubertas, yaitu masa peralihan
anak-anak kedewasa. Sesudah masa pubertas, wanita memasuki masa reproduksi, yaitu masa
dimana ia dapat memperoleh keturunan. Masa reproduksi ini berlangsung 30-40 tahun dan
berakhir pada masa mati haid atau baki (menopause).
FISIOLOGI HAID
Peran Hormonal dalam Haid
Proses ovulasi perlu ada kerjasama antara korteks serebri, hipotalamus, hipofisis,
ovarium, glandula tiroid, glandula suprarenal, dan kelenjar-kelenjar endokrin lain. Yang
memegang peranan penting ialah poros hipotalamus, hipofisis dan ovarium (hipotalamichipofisis-ovarian axis). Menurut teori humoral yang dianut saat ini, hipotalamus mengawasi
sekresi hormone gonadotropin oleh adenohipofisis melalui sekresi neurohormon yang
disalurkan ke sel-sel adenohipofisis lewat sirkulasi portal yang khusus. Hipotalamus
menghasilkan faktor yang telah dapat diisolasi dan disebut Gonadotropin Releasing
Hormone (GnRH) karena dapat merangsang pelepasan Lutenizing Hormone (LH) dan
Follicel Stimulating Hormone (FSH) dari hipofisis. Releasing Hormone (RH) disebut
Releasing Factor.

Siklus menstruasi normal pada manusia dapat dibagi menjadi dua segmen : siklus
ovarium dan siklus uterus. Siklus ovarium lebih lanjut dibagi menjadi fase follikular dan
9

fase luteal, mengingat siklus uterus juga dibagi sesuai fase proliferasi dan sekresi. Siklus
ovarium digolongkan seperti :
a. Fase follikuler: pada fase ini terjadi umpan balik hormonal yang menyebabkan
maturisasi follikel pada pertengahan siklus yang dipersiapkan untuk ovulasi.
Lama fase folikuler ini kurang lebih 10-14 hari.
b. Fase luteal: yaitu fase waktu dari awal ovulasi sampai awal menstruasi, dengan
waktu kurang lebih 14 hari.
Siklus Ovarium
Sejak lahir terdapat banyak folikel primordial di dalam kapsul ovarium. Tiap-tiap
folikel mengandung ovum imatur. Pada permulaan setiap daur, beberapa folikel membesar
dan terbentuk suatu rongga di sekitar ovum (pembentukan antrum). Biasanya satu folikel
dari salah satu ovarium mulai tumbuh cepat pada sekitar hari keenam dan menjadi folikel
dominan, sementara yang lain mengalami atresia yang melibatkan proses apoptosis. Selama
perkembangan folikel, sewaktu oosit primer sedang melaksanakan sintesis dan menyimpan
berbagai bahan untuk digunakan kemudian jika dibuahi, terjadi perubahan perubahan
penting di sel sel yang mengelilingi oosit reaktif sebagai persiapan untuk pelepasan telur
dari ovarium. Pertama, selapis sel-sel granulosa di folikel primer berproliferasi untuk
membentuk beberapa lapisan mengelilingi oosit. Sel sel granulosa ini mengeluarkan bahan
kental mirip-gel yang membungkus oosit dan memisahkannya dari sel-sel granulosa di
sekitarnya (zona pelusida) Saat yang sama, sel sel jaringan ikat khusus di ovarium di tepi
folikel yang sedang tumbuh berproliferasi dan berdiferensiasi untuk membentuk sel teka
pada bagian luarnya. Sel teka dan granulosa disebut sel folikel yang berfungsi
mensekresikan estrogen dimana estradiol merupakan estrogen utama dari ovarium. Sebagian
dari estrogen disekresikan ke darah dan sebagian berkumpul pada cairan antrum. Oosit
mencapai ukuran maksimum pada saat antrum terbentuk, dan pada hari ke -14 terbentuklah
folikel de Graaf. Folikel de Graaf pecah pada hari ke-14 dan terjadilah proses ovulasi. Ovum
segera diambil oleh fimbrie untuk disalurkan menuju uterus dan vagina.
Korpus yang pecah segera terisi darah (folikel rubrum/korpus hemoragikum.
Perdarahan ringan ke rongga abdomen terjadang menimbulkan iritasi peritoneum sehingga
terjadi nyeri abdomen bawah yang berlangsung singkat (mittelschamerz). Sel teka dan
granulosa kembali berproliferasi dan bekuan darah dengan cepat diganti oleh sel luteal yang
kaya lemak dan berwarna kekuningan, membentuk korpus luteum dimana saat ini siklus
10

ovarium telah mencapai fase luteal pada daur haid. Bila terjadi kehamilan korpus luteum
akan bertahan dan biasanya tidak terjadi lagi periode haid sampai setelah melahirkan. Bila
tidak terjadi kehamilan, korpus luteum mulai mengalami degenerasi sekitar 4 hari sebelum
haid yang berikutnya (hari ke 24)
Pada manusia, selama perkembangan janin, ovarium mengandung lebih dari 7 juta
folikel primordial. Namun, banyak yang mengalami atresia sebelum lahir dan yang lain
menghilang setelah lahir. Pada saat lahir, terdapat 2 juta ovum, namun 50 % mengalami
atresia. Proses atresia tetap terjadi hingga pada saat pubertas berjumlah 300.000 di kedua
ovarium dan hanya sekitar 500 ovum yang mencapai kematangan selama masa reproduksi
normal.
Siklus Uterus
Pada akhir menstruasi, semua lapisan endometrium kecuali lapisan dalam telah
terlepas. Kemudian terbentuk kembali endometrium baru di bawah pengaruh estrogen dari
folikel yang sedang tumbuh. Ketebalan endometrium cepat meningkat dari hari ke-5 sampai
ke-14 daur haid. Seiring dengan peningkatan ketebalan, kelenjar uterus tertarik keluar
sehingga memanjang, namun kelenjar tersebut tidak menjadi berkelok-kelok atau
mengeluarkan secret. Perubahan endometrium ini disebut fase proliferatif atau fase
praovulasi atau folikular. Setelah ovulasi , vaskularisasi endometrium menjadi agak sembab
dibawah pengaruh estrogen dan progesterone dari korpus luteum. Kelenjar mulai bergelung
dan berkelok-kelok, serta mulai menyekresikan cairan jernih yang disebut sebagai fase
sekretorik atau luteal. Pada akhir fase luteal, endometrium, seperti hipofisis anterior,
menghasilkan prolactin, namun fungsi endometrium ini tidak diketahui.
Endometrium diperdarahi oleh dua jenis arteri dimana 2/3 endometrium yang terlepas
saat haid (stratum fungsional) dipasok oleh arteri spiralis sedangkan bagian dalam yang
tidak terlepas (stratum basal) diperdarahi oleh arteri basilaris. Pada saat korpus luteum
mengalami regresi, pasokan hormon untuk endometrium terhenti. Endometrium menjadi
lebih tipis, menambah gulungan arteri spiralis. Fokus nekrosis kemudian bermunculan di
endometrium kemudian bersatu. Selain itu, terjadi spasme dan degenerasi dinding arteri
spiralis, yang menyebabkan timbulnya bercak perdarahan yang kemudian menyatu dan dan
menghasilkan darah haid. Vasospasme mungkin disebabkan oleh prostaglandin yang
dilepaskan secara lokal.

11

Efek Umpan Balik


Garis putus putus menandakan efek inhibisi sedangkan gari hitam pada menandakan
eksitasi. Perlu diperhatikan bahwa kadar esterogen
dalam darah dalam jumlah sedang dan konstan
menimbulkan efek umpan balik negative pada sekresi
LH, sedangkan selama siklus, peningkatan kadar
esterogen menimbulkan efek umpan balik positif dan
merangsang sekresi LH. Bila kadar progesterone
dalam darah tinggi, efek umpan balik positif
esterogen akan terhambat. Perlu dipahami juga
sebagai tambahan, wanita yang tidak menyusui
bayinya biasanya mendapat periode haid pertamanya 6 minggu setelah persalinan tetapi
pada wanita yang menyusui secara teratur mengalami amenorea selama 25 30 minggu.
Menyusui merangsang prolactin dimana prolactin akan memberikan feedback negative
kepada sekresi GnRH.
C. DYSFUNCTIONAL UTERINE BLEEDING (DUB)
Dysfunctional uterine bleeding (DUB) / perdarahan uterus disfungsional (PUD) adalah
perdarahan abnormal yang dapat terjadi di dalam maupun di luar siklus menstruasi karena
gangguan fungsi mekanisme pengaturan hormon (aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium) dan
tanpa disertai kelainan organ, hematologi, dan kehamilan.
Perdarahan uterus abnormal yang terjadi tanpa kelainan pada saluran reproduksi,
penyakit medis tertentu atau kehamilan (Himpunan Endokrinologi-Reproduksi dan Fertilitas
Indonesia dan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2007). Perdarahan uterus
disfungsional (DUB) adalah adalah perdarahan yang tidak berkaitan dengan anatomi dan
kelainan sistemik yang mendasari. (Maria Creatsas and George K. Creatsas, 2014).
Perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap umur antara menarche dan
menopause. Tetapi kelainan ini lebih sering dijumpai sewaktu masa permulaan dan akhir
fungsi ovarium. Sekitar 2/3 wanita yang mengalami perdarahan disfungsional berumur
diatas 40 tahun. Sebetulnya dalam praktek banyak dijumpai perdarahan disfungsional dalam
masa pubertas, akan tetapi keadaan ini biasanya dapat sembuh sendiri, dan jarang diperlukan
perawatan dirumah sakit.

12

Secara epidemiologi, di Amerika Serikat DUB adalah salah satu masalah ginekologi
tersering. Diperkirakan setiap tahun nya, 5% perempuan berusia 30-49 tahun akan
berkonsultasi ke dokter untuk pengobatan menorrhagia. Sekitar 30% dari semua wanita
melaporkan telah terdiagnosis menorrhagia. Morbiditas dan mortalitas berhubungan dengan
jumlah kehilangan darah pada saat menstruasi, yang dapat menyebabkan syok hemoragik.
(Amir Estephan, MD. 2012)
B.1. Faktor Penyebab
Perdarahan uterus disfungsional (DUB) diyakini disebabkan oleh gangguan
mekanisme hormonal, tetapi pada poin tersebut tidak didapatkan penyebab yang spesifik,
sehingga sampai saat ini penyebab DUB belum diketahui secara pasti. DUB perlu dibedakan
dengan perdarahan bukan haid yang penyebabnya adalah gangguan atau kelainan pada
organ yang bermanifestasi keluarnya darah pervaginam yang bukan haid. Beberapa kondisi
yang menyebabkan perdarahan bukan haid, antara lain:
Endokrin

Infeksi

Obat-obatan

Lesi struktural

Penyakit Cushing

Chlamidia

Agen hormonal

Adenomyosis

Hiperprolaktinemi
a
Hipertiroidisme

Gonorrhea
PID

Pil kontrasepsi dosis


rendah
OAINS

Coagulopathies

inkomplit
Komplikasi

akuminata

kehamilan

Norplant

Endometriosis

Obesitas
Penyakit polikistik

Mini pill

Kanker endomertial

Tamoxifen

Trauma

ovarium prematur
Polip servikal atau

ektopik
Abortus

Kondiloma

Menopause

ovarium
Kegagalan

Kehamilan
Kehamilan

Warfarin

uterin

B.2. Patofisiologi
13

Perdarahan uterus disfungsional dapat terjadi pada siklus ovulasi maupun pada siklus
anovulasi
- Siklus ovulasi adalah perdarahan teratur dan banyak terutama pada tiga hari pertama
siklus haid. Penyebab perdarahan adalah terganggunya mekanisme hemostasis lokal di
-

endometrium.
Siklus anovulasi adalah perdarahan tidak teratur dan siklus haid memanjang disebabkan
oleh gangguanpada poros hipothalamus-hipofisis-ovarium. Adanya siklus anovulasi
menyebabkan efek estrogen tidak terlawan (unopposed estrogen) terhadap endometrium.
Proliferasi endometrium terjadi secara berlebihan hingga tidak mendapat aliran darah

yang cukup kemudian mengalami iskemia dan dilepaskan dari stratum basal.
Efek samping penggunaan kontrasepsi dimaksudkan dosis estrogen yang rendah dalam
kandungan pil kontrasepsi kombinasi (PKK) menyebabkan integritas endometrium tidak
mampu dipertahankan. Progestin menyebabkan endometrium mengalami atrofi. Kedua
kondisi ini dapat menyebabkan perdarahan bercak. Sedangkan pada pengguna alat
kontrasepsidalam rahim (AKDR) kebanyakan perdarahan terjadi karena endometritis

DUB Pada Siklus Anovulatoar


Pada keadaan anovulasi korpus luteum tidak terbentuk, akibatnya siklus haid
dipengaruhi oleh hormon estrogen yang berlebihan dan kurangnya hormon progesteron.
Penyebab pasti dari perdarahan dengan siklus anovulatoar ini belum diketahui, beberapa

1.

kemungkinan yang terjadi adalah :


Perdarahan pada masa menarche, biasanya keadaan ini dihubungkan dengan belum

2.

matangnya fungsi hipotalamus dan hipofisis.


Perdarahan pada masa reproduksi sering disebabkan karena gangguan di hipotalamus

3.

sehingga terjadi lonjakan kadar LH sehingga tidak terjadi ovulasi.


Perdarahan yang terjadi pada masa premenopause sering disebabkan karena kegagalan
ovarium dalam menerima rangsangan hormon gonadotropin.
-

DUB Pada Siklus Ovulatoar


Perdarahan yang terjadi pada siklus ovulatoar berbeda dari perdarahan pada suatu haid

yang normal, dan hal ini dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu :
1. Perdarahan Pada Pertengahan Siklus
Perdarahan yang terjadi biasanya sedikit, singkat dan dijumpai pada pertengahan
siklus. Penyebabnya adalah rendahnya kadar estrogen.
2. Perdarahan Akibat Gangguan Pelepasan Endometrium.

14

Perdarahan yang terjadi biasanya banyak dan memanjang. Keadaan ini disebabkan
oleh adanya korpus luteum persisten dan kadar estrogen rendah sedangkan progesteron terus
terbentuk.
3. Perdarahan Bercak (Spotting) Pra Haid Dan Pasca Haid.
Perdarahan ini disebabkan oleh insufisiensi korpus luteum, sedangkan pada masa
pasca haid disebabkan oleh defisiensi estrogen, sehingga regenerasi endometrium terganggu.
-

DUB pada keadaan folikel persisten


Keadaan ini sering dijumpai pada masa pra menopause dan jarang terjadi pada masa
reproduksi. Pada keadaan ini endometrium secara menetap dipengaruhi oleh estrogen,
sehingga terjadi hiperplasia endometrium, yang bervariasi dari pertumbuhan yang ringan
sampai berlebihan.
Terdapat 3 jenis hiperplasia endometrium yaitu : tipe simpleks, tipe kistik, dan tipe
atipik. Secara histopatologis akan ditemukan penambahan endometrium dari kelenjar
maupun stromanya. Keadaan ini sering menyebabkan keganasan endometrium, sehingga
memerlukan penanganan yang seksama, setelah folikel tidak mampu lagi membentuk
estrogen maka terjadi perdarahan lepas estrogen. Gambaran klinis pada kelainan jenis ini
biasanya mula-mula berupa haid biasa, kemudian terjadi perdarahan sedikit dan selanjutnya
akan diikuti perdarahan yang makin banyak terus menerus disertai gumpalan.
Gangguan perdarahan pada perdarahan uterus disfungsional dapat berupa gangguan
panjang siklus, gangguan jumlah dan lamanya perdarahan berlangsung, dan gangguan
keteraturan.
1. Gangguan panjang siklus umumnya akibat disfungsi hipotalamus dan dapat berupa :
Oligomenorrhoe, yaitu haid jarang, siklus panjang, siklus haid lebih dari 35 hari.
Polymenorrhoe, yaitu haid sering datang, siklus pendek, kurang dari 21 hari.
2. Gangguan jumlah dan lama perdarahan dapat berupa :
Hypomenorrhoe, yaitu haid yang disertai perdarahan yang ringan dan

berlangsung hanya beberapa jam sampai 1- 2 hari saja.


Hypermenorrhoe (menorrhoe), yaitu haid yang teratur tetapi jumlah darahnya

banyak.
Metrorrhagi, yaitu perdarahan yang tidak teratur dan tidak ada hubungan dengan

haid.
Menometorrhagi, yaitu perdarahan yang berlangsung lebih lama dari 14 hari.

Keadaan lain yang terjadi pada penderita DUB adalah meningkatnya aktifitas
fibrinolitik pada endometrium. Terjadi peningkatan kadar prostaglandin yaitu PGF2, PGE2
15

dan prostasiklin (prostasiklin mengakibatkan relaksasi dinding pembuluh darah dan


berlawanan dengan aktivitas agregasi trombosit sehingga terjadi perdarahan yang lebih
banyak. Peningkatan rasio PGF2, PGE2, mengakibatkan vasodilatasi, relaksasi miometrium
dan menurunnya agregasi trombosit sehingga kehilangan darah haid lebih banyak. Makin
tinggi rasio PGF2

PGE2, terjadinya menoragi dan menometroragi akan meningkat.

Perdarahan uterus disfungsional bervariasi antara tiga kelompok umur yaitu masa remaja,
usia reproduksi dan premenopause. Perdarahan pada kelompok remaja dan premenopause
biasanya akibat anovulasi kronik, sedangkan pada kelompok usia reproduksi perdarahan
terjadi walaupun siklus haid ovulatoar.
Secara sederhana dapat disimpulkan, gangguan perdarahan uterus terjadi karena
persistensi folikel yang tidak pecah sehingga tidak terjadi ovulasi dan pembentukan korpus
luteum. Sehingga terjadinya pola perdarahan uterus disfungsional, yaitu dengan tanda
sebagai berikut:
a. Perdarahan uterus abnormal yang terjadi tanpa kelainan pada saluran reproduksi,
medis tertentu atau kehamilan. Diagnosis DUB ditegakkan per ekslusionam.
b. Perdarahan akut dan banyak merupakan perdarahan menstruasi dengan jumlah darah
haid > 1 tampon per jam dan atau disertai dengan gangguan hipovolemik.
c. Perdarahan ireguler meliputi metroragia, menometroragia, oligomenore
d. Perdarahan haid yang lama (> 12 hari), perdarahan antara 2 siklus haid dan pola
perdarahan lain yang ireguler. Pasien usia perimenars yang mengalami gangguan haid
tidak dimasukkan dalam kelompok ini karena kelainan ini terjadi akibat belum
matangnya poros hipothalamus hipofisis ovarium.
e. Menoragia merupakan perdarahan menstruasi dengan jumlah darah haid > 80 cc
atau lamanya > 7 hari pada siklus yang teratur. Bila perdarahannya terjadi > 12 hari
harus dipertimbangkan termasuk dalam perdarahan ireguler.
f. Perdarahan karena efek samping kontrasepsi dapat terjadi pada pengguna PKK,
suntikan depo medroksi progesteron asetat (DMPA) atau AKDR. Perdarahan pada
pengguna PKK dan suntikan DMPA kebanyakan terjadi karena proses perdarahan
sela. Infeksi Chlamydia atau Neisseria juga dapat menyebabkan perdarahan pada
pengguna PKK. Sedangkan pada pengguna AKDR kebanyakan perdarahan terjadi
karena endometritis.

16

B.3. Klasifikasi
a. Perdarahan Uterus Disfungsional pada Usia Remaja
Etiologinya diperkirakan karena disfungsi dari mekanisme kerja hipotalamus
hipofisis yang mengakibatkan anovulasi sekunder. Pada masa ini ovarium masih belum
berfungsi dengan baik dan pada remaja yang mengalami perdarahan disfungsional sistem
mekanisme siklus feedback yang normal belum mencapai kematangan. Kenaikan kadar
estrogen tidak menyebabkan penurunan produksi FSH dan oleh karena itu produksi estrogen
berjalan terus dan bertambah banyak. Kadar estrogen yang berfluktuasi dan berlangsung
tanpa keseimbangan progesteron mengakibatkan pertumbuhan endometrium yang
berlebihan dan tidak teratur diikuti oleh pelepasan yang tidak beraturan dari lapisan-lapisan
endometrium sehingga terjadi perdarahan yang beragam baik dalam hal jumlah dan lamanya
maupun dalam hal frekuensi atau panjang siklusnya.
b. Perdarahan Uterus Disfungsional pada Masa Reproduksi
Ada tiga macam perdarahan disfungsional sebagai berikut :
1) Perdarahan teratur siklusnya namun jumlahnya melebihi

daripada

biasa

(hypermenorrhoe), terjadi pada masa haid, yang mana hal itu sendiri biasa teratur atau
tidak. Perdarahan semacam ini sering terjadi dan haidnya biasanya anovulasi. Biasanya
17

90% disebabkan oleh lesi organik dan kadang-kadang bisa terjadi pada ketegangan
psikologi dan pada pemeriksaan histologi endometrium menunjukkan tanda-tanda
pengaruh gestagen yang tidak cukup.
2) Perdarahan berulang atau intermitten yang terjadi di luar siklus haid, misalnya terjadi
pada masa pertengahan antara dua masa haid atau dalam fase post menstruasi. Yang
pertama disebabkan penurunan kadar estrogen akibat peristiwa ovulasi dan perubahan
fungsi folikel de Graff menjadi korpus luteum, dan pada yang kedua disebabkan oleh
involusio yang terlambat atau persistensi dari korpus luteum yang terus menghasilkan
progesteron walaupun dalam kadar yang lebih rendah beberapa hari setelah proses
degenerasi pada endometrium dimulai sehingga perdarahan endometrium yang terjadi
bisa banyak sekali.Hypermenorrhoe yang demikian bisa juga terjadi disebabkan produksi
progesteron yang tidak mencukupi oleh korpus luteum dan perdarahan telah dimulai
hingga beberapa hari sebelum haid (perdarahan premenstruasi).
3) Yang jarang adalah episode perdarahan yang cukup banyak yang terjadi pada sembarang
waktu dalam siklus haid dan tidak disertai ovulasi. Penyebabnya belum jelas, tetapi
keadaan kongesti lokal dalam pelvis misalnya oleh karena kurang gerak badan,
rangsangan seksual yang tidak memuaskan. Akibat disharmoni dan ketidakbahagiaan
pernikahan dan pengaruh psikologis, semuanya dapat menjadi faktor predisposisi bagi
terjadinya disfungsi ovarium yang pada akhirnya bisa menyebabkan produksi estrogen
terganggu sedemikian rupa dan jauh melebihi kadar ambang proliferasi. Kadar estrogen
yang jauh daripada kadar ambang ini bisa menyebabkan perdarahan pada endometrium.
c. Perdarahan Uterus Disfungsional pada Masa Menjelang Menopause
Beberapa tahun menjelang menopause fungsi ovarium mengalami kemunduran
karena secara histologi di dalam korteks ovarium hanya tersisa sedikit jumlah folikel
primordial yang resisten terhadap gonadotropin. Sekalipun terus terangsang oleh
gonadotropin akan tetapi folikel tersebut tidak akan mampu menghasilkan jumlah estrogen
yang cukup. Kekurangan estrogen yang berkelanjutan pada akhirnya akan menuju pada
kemunduran peristiwa-peristiwa yang fungsinya bergantung pada kecukupan estrogen
seperti ovulasi, menstruasi, kekuatan jaringan vagina dan vulva. Masa ini dikenal dengan
masa klimaterium. Dalam periode ini timbullah gejala-gejala kekurangan estrogen seperti
hypermenorrhoe dan haid yang tidak teratur. Namun, tidak semua wanita akan mengalami
kekurangan estrogen dalam masa ini bahkan sebaliknya dapat juga mengalami kelebihan
18

estrogen bebas yang beredar, karena dalam masa ini terjadi kekurangan globulin pengikat
hormon kelamin sementara kelenjar adrenal masih tetap menghasilkan estrogen.
B. 4. Gambaran Klinis
a. Perdarahan Ovulatoar
Perdarahan ini kurang lebih 10% dari perdarahan uterus disfungsional dengan siklus
pendek (polimenore) atau panjang (oligomenore). Untuk menegakkan diagnosis perdarahan
ovulatoar, perlu dilakukan kerokan pada masa haid. Jika karena perdarahan yang lama dan siklus
haid tidak dapat dikenali lagi, maka kadang kadang bentuk kurve suhu badan basal dapat
menolong. Jika sudah dipastikan bahwa perdarahan berasal dari endometrium jenis sekresi tanpa
adanya sebab organik, maka harus dipikirkan sebagai etiologinya adalah:
1. Korpus luteum persisten; dalam hal ini dijumpai perdarahan kadang-kadang bersamaan
dengan ovarium yang membesar. Sindrom ini harus dibedakan dengan kehamilan ektopik
karena riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan panggul sering menunjukkan banyak
persamaan antara keduanya. Korpus luteum yang persisten dapat pula menyebabkan
pelepasan endometrium tidak teratur. Diagnosis ini dapat dibuat dengan kerokan
yangtepat pada waktunya, yakni menurut Mc Lennon, pada harei ke-4 mulainya
perdarahan. Pada waktu ini dijumpai endometrium dalam tipe sekresi disamping tipe nonsekresi.
2. Insufisiensi korpus luteum dapat menyebabkan premenstrual spotting, menoragia, dan
polimenore. Dasarnya ialah kurangnya progesteron yang disebabkan oleh gangguan LH
releasing factor. Diagnosis dibuat apabila hasil biopsy endometrial dalam fase luteal tidak
cocok dengan gambaran endometrium yang seharusnya didapat pada hari siklus haid
yang bersangkutan.
3. Apopleksia uteri; pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya pembuluh darah
dalam uterus.
4. Kelainan darah, seperti anemia, purpura trombositopenik, dan gangguan dalam
mekanisme pembekuan darah.
Ovulasi abnormal ( DUB ovulatori ) terjadi pada 15 20 % pasien DUB dan mereka memiliki
endometrium sekretori yang menunjukkan adanya ovulasi, setidaknya intermitten jika tidak
reguler. Pasien ovulatori dengan perdarahan abnormal lebih sering memiliki patologi organik
19

yang mendasari, dengan demikian mereka bukan pasien DUB sejati menurut definisi tersebut.
Secara umum, DUB ovulator sulit untuk diobati secara medis. Karakteristik DUB bervariasi,
mulai dari perdarahan banyak tapi jarang, hingga spotting atau perdarahan yang terus menerus.
b. Perdarahan Anovulatoar
Stimulasi dengan estrogen menyebabkan timbulnya penebalan endometrium. Dengan
menurunnya kadar estrogen dibawah tingkat tertentu, timbul perdarahan yang kadang-kadang
bersifat siklis, dan kadang-kadang tidak teratur sama sekali. Fluktuasi kadar estrogen ada sangkut
pautnya dengan jumlah folikel yang pada suatu waktu fungsional aktif. Folikel-folikel ini
mengeluarkan estrogen sebelum atresia, kemudian diganti dengan folikel-folikel baru.
Endometrium dibawah pengaruh estrogen tumbuh terus dan dari endometrium yang mula-mula
proliferatif dapat terjadi endometrium yang bersifat hiperplastik kistik. Jika gambaran tersebut
dijumpai pada sediaan yang diperoleh dengan kerokan, dapat diambil kesimpulan bahwa
perdarahan bersifat anovulatoar. Perdarahan ini paling sering pada masa pubertas dan masa
premenopause. Pada masa pubertas setelah menarche, perdarahan tidak normal disebabkan oleh
gangguan atau terlambatnya proses maturasi pada hipotalamus dengan akibat adanya pembuatan
Releasing Factor dan hormon gonadotropin yang tidak sempurna. Pada wanita dalam masa
pramenopause proses terhentinya fungsi ovarium tidak selalu berjalan lancar.
Bila pada masa pubertas kemungkinan kecil untuk menjadi ganas kecil sekali dan ada
harapan bahwa lambat laun keadaan manjadi normal dan keadaan menjadi siklus ovulatoar. Pada
wanita premenopause mutlak dilakukan kerokan untuk menentukan ada tidaknya tumor ganas.
Perdarahan disfungsioanl dapat dijumpai pada penderita-penderita dengan penyakit metabolic,
penyakit endokrin, penyakit darah, penyakit umum yang menahun, tumor-tumor ovarium dan
sebagainya. Stress dalam kehidupan sehari-hari, dan pemakaian obat penenang terlalu lama dapat
menyebabkan perdarahan ovulatoar. Biasanya kelainan dalam perdarahan ini hanya bersifat
sementara saja.
Anovulasi kronik adalah penyebab DUB yang paling sering. Keadaan anovulasi kronik
akibat stimulasi estrogen terhadap endometrium yang terus-menerus yang menimbulkan
pelepasan irreguler dan perdarahan. Anovulasi sering terjadi pada gadis premenarche. Stimulasi
estrogen yang lama dapat menimbulkan pertumbuhan endometrium yang melebihi suplai
darahnya dan terjadi perkembangan kelenjar, stroma, dan pembuluh darah endometrium yang
20

tidak sinkron. Setiap kegagalan produksi progesteron juga dapat mempengaruhi kelenjar, stroma,
dan pembuluh darah endometrium.
B.5. Diagnosis Banding
Kelainan organik genitalia seperti mioma uteri terutama mioma submukosa, polip
endometrium, endometriosis, salpingo-oophoritis, ca serviks dan sebagainya.
1. Penyakit penyakit atau konstitusional seperti infeksi akut, sirosis hepatitis, hipertensi,
penyakit kardiovaskular, trombositopeni, gangguan pembekuan darah atau terapi
antikoagulansia, tumor-tumor pada sistem limfe, hematopoiesis, dan retikuler.
2. Kontrasepsi baik hormonal maupun mekanik seperti alat kontrasepsi dalam rahim.
3. Hormone replacement therapy khususnya pemakaian estrogen pada pengobatan pasca
menopouse.
4. Gangguan psikosomatis seperti disharmoni dalam pernikahan dan ketidakpuasan seksual.
B.6. Penegakkan Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pertama kali dilakukan untuk menilai stabilitas keadaan hemodinamik,
selanjutnya dilakukan pemeriksaan untuk:
Menilai:
Indeks massa tubuh (IMT > 27 termasuk obesitas)
Tanda-tanda hiperandrogen
Pembesaran kelenjar tiroid atau manifestasi hipo / hipertiroid
Galaktorea (kelainan hiperprolaktinemia)
Gangguan lapang pandang (karena adenoma hipofisis)
Menyingkirkan:

Kehamilan, kehamilan ektopik, abortus, penyakit trofoblas

Servisitis, endometritis

Polip dan mioma uteri

Keganasan serviks dan uterus

Hiperplasia endometrium
21

Gangguan pembekuan darah

Langkah diagnostik perdarahan uterus disfungsional


1) Perdarahan uterus abnormal didefinisikan sebagai setiap perubahan yang terjadi
dalam frekuensi, jumlah dan lama perdarahan menstruasi. Perdarahan uterus
abnormal meliputi DUB dan perdarahan lain yang disebabkan oleh kelainan
organik.
2)

Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh untuk menyingkirkan


diagnosis diferensial perdarahan uterus abnormal.

3) Pada wanita usia reproduksi, kehamilan merupakan kelainan pertama yang harus
disingkirkan. Perdarahan yang terjadi dalam kehamilan dapat disebabkan oleh
abortus, kehamilan ektopik atau penyakit trofoblas gestasional.
4) Penyebab iatrogenik yang dapat menyebabkan perdarahan uterus abnormal antara
lain penggunaan obat-obatan golongan antikoagulan, sitostatika, hormonal, anti
psikotik, dan suplemen.
5) Setelah kehamilan dan penyebab iatrogenik disingkirkan langkah selanjutnya
6) adalah melakukan evaluasi terhadap kelainan sistemik meliputi fungsi tiroid,
fungsi hemostasis, dan fungsi hepar. Pemeriksaan hormon tiroid dan

fungsi

hemostasis perlu dilakukan bila pada anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan
gejala dan tanda yang mendukung. Bila terdapat galaktorea maka perlu dilakukan
pemeriksaan

terhadap

hormon

prolaktin

untuk

menyingkirkan

kejadian

hiperprolaktinemia.
7)

Bila tidak terdapat kelainan sistemik, maka langkah selanjutnya adalah


melakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan pada saluran reproduksi.
Perlu ditanyakan adanya riwayat hasil pemeriksaan pap smear yang abnormal
atau riwayat operasi ginekologi sebelumnya. Kelainan pada saluran reproduks
yang harus dipikirkan adalah servisitis, endometritis, polip, mioma uteri,
adenomiosis, keganasan serviks dan uterus serta hiperplasia endometrium.

8) Bila tidak terdapat kelainan sistemik dan saluran reproduksi maka gangguan haid
yang terjadi digolongkan dalam perdarahan uterus disfungsional (DUB).

22

9)

Bila terdapat kelainan pada saluran reproduksi dilakukan pemeriksaan dan


penanganan lebih lanjut sesuai dengan fasilitas.

10) Pada kelainan displasia serviks perlu dilakukan pemeriksaan kolposkopi untuk
menentukan tata laksana lebih lanjut.
11) Bila dijumpai polip endoserviks dapat dilakukan polipektomi.
12) Bila dijumpai massa di uterus dan adneksa perlu dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut

dengan

USG

transvaginal

atau

saline

infusion

sonography

(SIS).Ultrasonografi transvaginal merupakan lini pertama untuk mendeteksi


kelainan pada kavum uteri.Sedangkan tindakan SIS diperlukan bila penilaian
dengan USG transvaginal belum jelas.
13) Bila dijumpai massa di saluran reproduksi maka dilanjutkan dengan tata laksana
operatif.
14) Diagnosis infeksi ditegakkan bila pada pemeriksaan bimanual uterus teraba kaku
dan nyeri. Pada kondisi ini dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan Chlamydia
dan Neisseria. Pengobatan yang direkomendasikan adalah doksisiklin 2 x 100 mg
selama 10 hari.
Prinsip penegakkan diagnosis perdarahan uterus disfungsional (DUB) yang dipakai para
pakar saat ini adalah suatu keadaan yang ditandai dengan perdarahan banyak, berulang dan
berlangsung lama. Perdarahan tersebut berasal dari uterus namun bukan disebabkan oleh
penyakit organ dalam panggul, penyakit sistemis ataupun kehamilan. Oleh karena itu diagnosis
DUB ditegakkan dengan menyingkirkan diagnosis bandingnya. Kebanyakan (90%) perdarahan
yang terjadi akibat anovulasi. Dapat dikatakan bahwa dengan batasan mana pun yang dipakai
etiologi DUB adalah multifaktorial; sulit didefinisikan secara jelas.
Pembuatan anamnesis yang cermat juga penting untuk penegakkan diagnosis. Perlu
ditanyakan bagaimana mulainya perdarahan, apakah didahului oleh siklus yang pendek atau
oligomenore/amenore, sifat perdarahan (banyak atau sedikit, sakit atau tidak), lama perdarahan
dan sebagainya. Pada pemeriksaan umum perlu diperhatikan tanda tanda yang menunjuk pada
penyakit metabolik endokrin, penyakit menahun, dan lain lain. Pada pemeriksaan ginekologi
perlu dilihat apakah ada kelainan kelainan organik yang menyebabkan perdarahan abnormal
(polip, ulkus, tumor,dll). Abnormalitas pada pemeriksaan pelvis harus diperiksa dengan USG dan
laparoskopi jika diperlukan. Perdarahan siklik ( reguler ) didahului oleh tanda premenstruasi
23

(mastalgia, kenaikan berat badan karena meningkatnya cairan tubuh, perubahan mood, atau kram
abdomen) lebih cenderung bersifat ovulatori. Sedangkan, perdarahan lama yang terjadi dengan
interval tidak teratur setelah mengalami amenore berbulan bulan, kemungkinan bersifat
anovulatori.
Peningkatan suhu basal tubuh ( 0,3 0,6 C ), peningkatan kadar progesteron serum ( > 3
ng/ ml ) dan atau perubahan sekretorik pada endometrium yang terlihat pada biopsi yang
dilakukan saat onset perdarahan, semuanya merupakan bukti ovulasi.
Pada wanita masa pubertas umumnya tidak perlu dilakukan kerokan guna pembuatan
diagnosis. Pada wanita usia 20-40 tahun kemungkinan besar ialah kehamilan terganggu, polip,
mioma submukosum, dan lain lain. Disini kerokan dilakukan apabila tidak mengganggu
kehamilan. Pada wanita dalam masa pramenopause, kerokan dilakukan untuk memastikan ada
tidaknya tumor. Pasien berusia dibawah 40 tahun memiliki resiko yang sangat rendah mengalami
karsinoma endometrium, jadi pemeriksaan patologi endometrium tidaklah merupakan keharusan.
Pengobatan medis dapat digunakan sebagai pengobatan lini pertama dimana penyelidikan secara
invasif dilakukan hanya jika simptom menetap. Resiko karsinoma endometrium pada pasien
DUB premenopause adalah sekitar 1 persen. Jadi, pengambilan sampel endometrium penting
dilakukan.
Peristiwa kehamilan merupakan keadaan yang harus dipikirkan pertama kali bila seorang
wanita pada masa reproduksi datang dengan keluhan perdarahan uterus abnormal. Harus
ditanyakan pada penderita tersebut mengenai pola siklus haid, penggunaan kontrasepsi dan
aktivitas seksualnya. Harus dilakukan pemeriksaan bimanual (apakah terdapat pembesaran
uterus), pemeriksaan -hCG serta ultrasonografi panggul untuk menyingkirkan kemungkinan
adanya kehamilan atau kelainan yang terkait dengan kehamilan.Selanjutnya, harus diteliti lebih
jauh penyebab perdarahan uterus abnormal yang bersifat iatrogenik.
Bila kehamilan atau penyebab iatrogenik sudah disingkirkan maka harus dilakukan
evaluasi sistemik khususnya mengenai kelenjar tiroid, kelainan hematologi, kelainan hepar,
kelainan adrenal dan hipotalamus. Ketidakteraturan haid seringkali berhubungan baik dengan
hipotiroid (23.4%) maupun dengan hipertiroid (21.5%). Pemeriksaan fungsi tiroid dapat
membantu dokter untuk menegakkan diagnosis.

24

B.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terhadap DUB dapat dilaksanakan dengan pemberian obat-obatan atau
dengan pembedahan/operasi. Cara pengelolaannya tergantung dari : usia penderita, jumlah
perdarahan, keadaan umum dan keberhasilan terapi yang diberikan sebelumnya.
Sebelum memberikan terapi atau pengobatan terhadap pasien, perlu diperhatikan faktorfaktor berikut :
1. Usia pasien.
2. Perdarahan kuantitas, durasi
3. Kemungkinan kondisi patologik organik (kehamilan, tumor, infeksi, penyakit sistemik).
4. Keinginan hamil di kemudian hari.
25

Pemeriksaan Penunjang

Keterangan:
aPTT = activated partial tromboplastin time, BT-CT = bleeding time-clotting time,
DHEAS = dehidroepiandrosterone sulfat, D&K = dilatasi dan kuretase, FT4 = free T4, Hb =
hemoglobin, PT = protrombin time, TSH = thyroid stimulating hormone, USG= ultrasonografi,
SIS = saline infusion sonography, IVA = inspeksi visual asam asetat
Strategi Penatalaksanaan Pada DUB
Usia (tahun)

Dilatasi

dan

Kuretase Konservatif

atau histeroskopi
Di bawah 20

Jarang,
perdarahan

hanya
berat

(hormon, Histerektomi

anti prostaglandin, atau


anti fibrinolitik)
jika Selalu, jika perdarahan Tidak pernah
atau berulang atau berat

20-39

tidak responsif
(masih Selalu,
tetapi

ingin

punya dihindari jika perdarahan dilatasi dan kuretase atau jika

anak)

dapat Upaya pertama setelah Jarang,

teratur dan biopsi serta histeroskopi

hanya

pengobatan
26

pemeriksaan normal
40

dan

(tidak

konservatif

lebih Wajib pada seluruh kasus Temporer


ingin tanpa penundaan

punya anak)

menolak

dan

gagal
jika Upaya pertama

histerektomi, jika perdarahan

menopause iminen

berulang

Medikamentosa
Hormonal
(A). Estrogen
Sediaan ini digunakan pada kejadian perdarahan akut yang banyak. Sediaan yang digunakan
adalah EEK, dengan dosis 2.5 mg per oral 4x1 dalam waktu 48 jam. Pemberian EEK dosis tinggi
tersebut dapat disertai dengan pemberian obat anti emetik seperti promethazine 25 mg per oral
atau intra muskular setiap 4-6 jam sesuai dengan kebutuhan. Mekanisme kerja obat ini belum
jelas, kemungkinan aktivitasnya tidak terkait langsung dengan endometrium. Obat ini bekerja
untuk memicu vasospasme pembuluh kapiler dengan cara mempengaruhi kadar fibrinogen,
faktor IV, faktor X, proses agregasi trombosit dan permeabilitas pembuluh kapiler. Pembentukan
reseptor progesteron akan meningkat sehingga diharapkan pengobatan selanjutnya dengan
menggunakan progestin akan lebih baik. Efek samping berupa gejala akibat efek estrogen yang
berlebihan seperti perdarahan uterus, mastodinia dan retensi cairan.
(B). PKK
Perdarahan haid berkurang pada penggunaan pil kontrasepsi kombinasi akibat endometrium yang
atrofi. Dosis yang dianjurkan pada saat perdarahan akut adalah memberikan 4 x 1 tablet selama 4
hari, dilanjutkan dengan 3 x 1 tablet selama 3 hari, dilanjutkan dengan 2 x 1 tablet selama 2 hari,
dan selanjutnya 1 x 1 tablet selama 3 minggu. Selanjutnya bebas pil selama 7 hari, kemudian
dilanjutkan dengan pemberian pil kontrasepsi kombinasi paling tidak selama 3 bulan. Apabila
pengobatannya ditujukan untuk menghentikan haid, maka obat tersebut dapat diberikan secara
kontinyu, namun dianjurkan setiap 3-4 bulan dapat dibuat perdarahan lucut. Efek samping dapat
berupa perubahan mood, sakit kepala, mual, retensi cairan, payudara tegang, deep vein
thrombosis, stroke dan serangan jantung.
(C). Progestin
27

Obat ini akan bekerja menghambat penambahan reseptor estrogen serta akan mengaktifkan
enzim 17-hidroksi steroid dehidrogenase pada sel-sel endometrium, sehingga estradiol akan
dikonversi menjadi estron yang efek biologisnya lebih rendah dibandingkan dengan estradiol.
Meski demikian penggunaan progestin yang lama dapat memicu efek anti mitotik yang
mengakibatkan terjadinya atrofi endometrium. Progestin dapat diberikan secara siklik maupun
kontinyu. Pemberian siklik diberikan selama 14 hari kemudian stop selama 14 hari, begitu
berulang-ulang tanpa memperhatikan pola perdarahannya. Apabila perdarahan terjadi pada saat
sedang mengkonsumsi progestin, maka dosis progestin dapat dinaikkan. Selanjutnya hitung hari
pertama perdarahan tadi sebagai hari pertama, dan selanjutnya progestin diminum sampai hari ke
14. Pemberian progestin secara siklik dapat menggantikan pemberian pil kontrasepsi kombinasi
apabila terdapat kontra-indikasi (misalkan : hipersensitivitas, kelainan pembekuan darah, riwayat
stroke, riwayat penyakit jantung koroner atau infark miokard, kecurigaan keganasan payudara
ataupun genital, riwayat penyakit kuning akibat kolestasis, kanker hati). Sediaan progestin yang
dapat diberikan antara lain MPA 1 x 10 mg, noretisteron asetat dengan dosis 2-3 x 5 mg,
didrogesteron 2 x 5 mg atau nomegestrol asetat 1 x 5 mg selama 10 hari per siklus. Apabila
pasien mengalami perdarahan pada saat kunjungan, dosis progestin dapat dinaikkan setiap 2 hari
hingga perdarahan berhenti. Pemberian dilanjutkan untuk 14 hari dan kemudian berhenti selama
14 hari, demikian selanjutnya berganti-ganti. Pemberian progestin secara kontinyu dapat
dilakukan apabila tujuannya untuk
membuat amenorea.
Terdapat beberapa pilihan, yaitu :
-

Pemberian progestin oral : MPA 10-20 mg per hari

Pemberian DMPA setiap 12 minggu

Penggunaan LNG IUS

Efek samping : peningkatan berat badan, perdarahan bercak, rasa begah, payudara
tegang, sakit kepala, jerawat dan timbul perasaan depresi.
(D). Androgen
Danazol adalah suatu sintetik isoxazol yang berasal dari turunan 17a-etinil testosteron. Obat
tersebut memiliki efek androgenik yang berfungsi untuk menekan produksi estradiol dari
ovarium, serta memiliki efek langsung terhadap reseptor estrogen di endometrium dan di luar

28

endometrium. Pemberian dosis tinggi 200 mg atau lebih per hari dapat dipergunakan untuk
mengobati DUB.
Efek samping : peningkatan berat badan, kulit berminyak, jerawat, perubahan suara.
(E). Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH) agonist
Obat ini bekerja dengan cara mengurangi konsentrasi reseptor GnRH pada hipofisis melalui
mekanisme down regulation terhadap reseptor dan efek pasca reseptor, yang akan mengakibatkan
hambatan pada penglepasan hormon gonadotropin.
Non-Hormonal
(A). Asam Traneksamat
Obat ini bersifat inhibitor kompetitif pada aktivasi plasminogen. Plasminogen akan diubah
menjadi plasmin yang berfungsi untuk memecah fibrin menjadi fibrin degradation products
(FDPs). Oleh karena itu obat ini berfungsi sebagai agen anti fibrinolitik. Obat ini akan
menghambat faktor-faktor yang memicu terjadinya pembekuan darah, namun tidak akan
menimbulkan kejadian trombosis. Efek samping: gangguan pencernaan, diare dan sakit kepala.
(B). Anti inflamasi non steroid (AINS)
Kadar prostaglandin pada endometrium penderita gangguan haid akan meningkat. AINS
ditujukan untuk menekan pembentukan siklooksigenase,dan akan menurunkan kadar
prostaglandin pada endometrium. AINS dapat mengurangi jumlah darah haid hingga 20-50
persen. Pemberian AINS dapat dimulai sejak haid hari pertama dan
dapat diberikan untuk 5 hari atau hingga haid berhenti. Efek samping: gangguan pencernaan,
diare,

perburukan

asma

pada

penderita

yang

sensitif,

ulkus

peptikum

hingga

kemungkinanterjadinya perdarahan dan peritonitis


Operatif
Tindakan operatif dilaksanakan bila terapi konservatif gagal, tindakan operatif ini bukan
saja sebagai terapi tetapi juga dibutuhkan untuk diagnosis.

Dilatasi dan Kuretase (D&K)


Tujuan dari D&K pada kasus DUB adalah menghilangkan jaringan yang akan berproliferasi sehingga akan berfungsi normal. Walaupun demikian D&K merupakan upaya kuratif
29

pada sebagian kecil penderita dengan DUB yang kronis. Yang harus diingat bahwa prosedur ini
hanya menghilangkan efek dari penyakit dan bukan menangani secara kausatif. Pada
perdarahanyang akut D&K cukup cepat dan efektif dalam menghentikan perdarahan dan
menjaga hemodinamik, sehingga untuk wanita usia > 35 tahun D&K dapat memberikan
informasi ada atau tidaknya displasia. Oleh karena itu D&K dapat diterapkan pada penderita
dengan perdarahan akut, hipopolemi dan usia tua.
Ablasi Endometrium
Tujuan dari cara ini adalah untuk menghancurkan sebagian atau seluruh lapisan basal dari
endometrium. Dapat terjadi infertilitas, oleh karena itu cara ini diterapkan pada wanita yang
mempunyai cukup anak. Tindakan ablasi dilakukan pada penderita rawat jalan dengan
fotovaporasi endometrium, reseksi dengan menggunakan cutting loop atau roller-ball dengan
menggunakan histeroskop. Terapi supresif diberikan untuk mengurangi perdarahan, mengurangi
kejadian ablasi terlalu dalam sampai ke miometrium dan memperbaiki lapang pandang pada saat
ablasi. Supresi pasca-operasi juga dilakukan untuk mengontrol perdarahan pasca-operasi. Angka
kegagalan rendah yaitu kurang dari 90%. Jika perdarahan tidak berhenti dipertimbangkan untuk
melakukan histerektomi.
Histerektomi
Tindakan histerektomi dilakukan pada penderita yang mengalami perdarahan hebat yang
berulang atau pada kegagalan tindakan ablasi endometrium. Dahulu histerektomi lebih sering
dilakukan, tetapi dengan keberhasilan terapi medikamentosa dan tindakan operatif pada
penderita rawat jalan seperti ablasi maka insidensi histerektomi menurun pada wanita muda.
Akan tetapi apabila histerektomi merupakan pilihan utama, terapi supresif pre operatif dilakukan
untuk mengurangi perdarahan dan lebih memudahkan prosedur.
Preparat hormonal yang digunakan untuk terapi supresif ablasi endometrium dan
histerektomi tertera di bawah ini.
B.8. Prognosis
Prognosis dari kasus-kasus DUB belum jelas dapat dikemukakan karena informasi yang
jelas mengenai hal tersebut masih sangat sedikit dan belum didasarkan pada penilaian jumlah
30

keluarnya perdarahan secara objektif. Suatu DUB yang terjadi satu periode pada masa remaja
mungkin mempunyai prognosis yang lebib baik dibandingkan dengan DUB dengan beberapa
episoda, terutama dikaitkan dengan kemungkinan terjadinya perubahan pola haid yang persisten
(30-80%), seringnya dilakukan kuretase (40-55%), anemi (30%), perlunya terapi hormonal
(40%), kemungkinan terjadinya infertilitas (45-55%), laparotomi untuk kista ovarium (10-30%)
atau bahkan terjadinya karsinoma endometrium jika keadaan DUB tersebut tidak ditangani
secara adequat (1-2%) (Southam, 1959; Southam & Richart, 1966). Prognosis ini jelas akan
sangat buruk jika terjadi hipertropi glandular kistik, sehingga jika seorang remaja datang dengan
DUB yang berulang,kuretase merupakan suatu indikasi atau tindakan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Prognosis DUB pada kelompok usia pertengahan reproduksi cukup baik walaupun belum
ada bukti-bukti yang akurat. Di beberapa negara banyak wanita dalam usia ini menjalani
tindakan histerektomi. Dari data yang dilaporkan tampak bahwa prognosis jangka panjang DUB
anovulatoar pada masa akhir reproduksi kurang baik/buruk sebagai akibat sering terjadinya
rekurensi.

BAB III
KESIMPULAN PEMBAHASAN KASUS
31

Pasien Ny. JD, 17 tahun datang dengan keluhan haid yang memanjang dan jumlah yang
banyak. Pasien sudah 1 bulan haid dengan ganti pembalut besar hingga 4x/hari. Pasien tidak
mengeluhkan rasa lemas atau pusing, hanya pasien sering merasa jantungnya berdebar-debar
setiap berjalan, dan berhenti bila pasien sedang diam atau istirahat. Namun dari pemeriksaan
fisik dapat ditemukan tanda-tanda anemia yaitu konjungtiva yang pucat. Pemeriksaan
laboratorium pun dilaksanakan untuk memastikan anemia yang dialami pasien.
Pemeriksaan Hemoglobin menunjukkan Hb yang rendah yaitu 4.0. Dengan demikian
tatalaksana transfusi darah dipilih hingga target Hb mencapai nilai 10. Analisa Hb pun dilakukan:
Tanggal
18/12/2014
20/12/2014
21/12/2014

Nilai Hb
4.0
9.2
12.4

Pada pasien ini, dengan gejala yang ditunjukkan, didiagnosa dengan Anemia e.c DUB
e.c siklus anovulatoar dd/ ovarian dysfunction. Dengan alasan sebagai berikut:
1. Durasi menstruasi yang lama hingga 4 minggu
2. Jumlah menstruasi yang banyak (ganti pembalut besar hingga 4 x)
3. Perdarahan ini terjadi pada usia muda (17 tahun) dimana DUB siklus anovulatoar
lebih sering terjadi sesuai dengan pembahasan sebelumnya:
DUB Pada Siklus Anovulatoar
Pada keadaan anovulasi korpus luteum tidak terbentuk, akibatnya siklus haid
dipengaruhi oleh hormon estrogen yang berlebihan dan kurangnya hormon
progesteron. Penyebab pasti dari perdarahan dengan siklus anovulatoar ini belum
diketahui, beberapa kemungkinan yang terjadi adalah :

Perdarahan pada masa menarche, biasanya keadaan ini dihubungkan


dengan belum matangnya fungsi hipotalamus dan hipofisis.

Perdarahan pada masa reproduksi sering disebabkan karena gangguan di


hipotalamus sehingga terjadi lonjakan kadar LH sehingga tidak terjadi
ovulasi.

Perdarahan yang terjadi pada masa premenopause sering disebabkan


karena kegagalan ovarium dalam menerima rangsangan hormon
gonadotropin.
32

DAFTAR PUSTAKA

Guyton, C. A. & Hall, J.E. Female Physiology Before Pregnancy and Female Hormones. In:
Textbook of Medical Physiology. 11 th. 2006

33

Chen, B. and Giudice, L. (1998). Dysfunctional uterine bleeding. Western journal of medicine,
169(5), p.280.
Creatsas, M. and Creatsas, G. (2014). Dysfunctional uterine bleeding during
adolescence.Springer, pp.9--14.
Johnson, M.D., Ph.D, B. (2001). DYSFUNCTIONAL UTERINE BLEEDING. [online] University
Student Health Services. Available
at:http://www.eric.vcu.edu/home/resources/whh/VIIIbDYSFUNCTIONAL_UTERINE_
BLEEDING.pdf
Mochtar, Rustam.1998. Sinopsis Obstetri Jilid II. Jakarta: EGC.
Prawirohardjo, Sarwono : Ilmu kandungan edisi 2. Jakarta: Yayasan Bina pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. EGC-Jakarta. 2005
Sherwood L. 2008. Human Physiology, From Cells to Systems. 7th ed. Belmont : Brooks-Cole

34

Das könnte Ihnen auch gefallen