Sie sind auf Seite 1von 1

BERITA TERKINI

BERITA TERKINI

Suplemen Asam Lemak Omega-3


Meningkatkan Respon Trombosit
terhadap Klopidogrel

Infeksi community-acquired MRSA


M

RSA (methicillin resistant Staphylococcus


aureus) merupakan patogen yang sering dijumpai di tempat perawatan kesehatan dan
masyarakat. Infeksi MRSA berkaitan dengan
tempat perawatan kesehatan didefinisikan
sebagai infeksi akibat pajanan dari rumah
sakit, fasilitas rehabilitasi atau rumah rawat
(nursing home), pusat dialisis, kateter vena
sentral, paramedis. Pajanan lain di luar tempat
perawatan kesehatan dianggap sebagai infeksi
yang didapat dari masyarakat (community
acquired MRSA/CA MRSA).
Pada tahun 2005, hampir separuh (47,9%)
infeksi karena S. aureus di seluruh negara,
resisten methicillin (MRSA). MRSA merupakan
penyebab infeksi kulit dan jaringan lunak yang
paling sering mengakibatkan pasien memerlukan perawatan gawat darurat. Infeksi CA
MRSA dapat rekuren; angka rekurensinya bervariasi tergantung populasi yang diteliti. Sebuah
studi cohort menyebutkan angka rekurensi
sebesar 15% sementara studi prospektif pada
pasien dengan HIV angka rekurensinya 30%.

Banyak data mengenai pencegahan infeksi


MRSA tetapi metode optimalnya belum diketahui jelas. Para ahli merekomendasikan cara
mencegah penyebaran MRSA dengan dekolonisasi (upaya eliminasi karier/pembawa MRSA
dengan mengendalikan infeksi dan/atau penggunaan antibiotik) pasien yang berisiko. Faktor
risiko terjadinya MRSA antara lain : anak usia <
2 tahun, para atlit, pengguna obat, hubungan
intim antara pria dengan pria, personel militer,
tinggal di tempat dengan sanitasi jelek, dokter
hewan serta peternak babi dan pemelihara
hewan, pasien infeksi kulit dan jaringan lunak,
pasien pneumonia berat, riwayat kolonisasi
atau infeksi CA MRSA, riwayat konsumsi antibiotik tahun sebelumnya terutama quinolone
atau macrolide.

dan clindamycin. Kedua antibiotik ini menjadi


pilihan karena aktivitas in vitro-nya, bioavailabilitasnya yang tinggi dan penetrasi ke dalam
jaringan yang baik.

Vancomycin merupakan drug of choice untuk


terapi CA-MRSA di rumah sakit namun, keterbatasannya adalah tidak tersedianya sediaan oral
yang biasa diberikan pada pasien rawat jalan.
Antibiotik alternatif untuk pasien rawat jalan adalah
trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX)

Pasien yang tidak mendapatkan prosedur insisi


dan drainase mengalami kegagalan 2 kali lebih
besar (57% dibandingkan 29%, p<0,001).
Angka kegagalan pada pasien yang mendapatkan prosedur insisi dan drainase dengan antibiotik adalah 25% dibandingkan dengan tanpa
antibiotik sebesar 60% (p=0,03). Bila pasien
yang tidak mendapat prosedur insisi dan drainase dikeluarkan, maka tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok TMP-SMX
dan clindamycin.

Studi cohort dilakukan oleh Frei dkk. pada 149


pasien rawat jalan dengan infeksi kulit dan
jaringan lunak pada periode 1 Juli-31 Desember
2006. Sebagian besar pasien tersebut mendapat terapi antibiotik. Antibiotik yang banyak diresepkan adalah TMP-SMX (58%), clindamycin
(23%) dan cephalexin (6%). Pasien mendapatkan TMP-SMX double-strength, 2 kali sehari
atau clindamycin 300 mg tiap 6 jam. Sebagian
besar pasien juga mendapat intervensi tambahan yaitu prosedur insisi dan drainase dengan
atau tanpa tambahan antibiotik.

Studi ini menyimpulkan bahwa prosedur insisi


dan drainase serta pemberian antibiotik ternyata penting dalam penatalaksanaan infeksi
kulit yang disebabkan CA MRSA. Angka kegagalan terapi TMP-SMX atau clindamycin sama.
Studi ini dilakukan di satu regio geografi dan
karena tidak semua regio di negara memiliki pola
kepekaan yang sama, studi berikutnya sebaiknya mencakup berbagai regio. (HLI)

REFERENSI
1. Miller LG, Geffen D. Managing an elusive pathogen: How
can MRSA be contained? Clin Infect Dis 2010; 13(3): 1-8.
2. Frei CR, et al. Trimethoprim-sulfamethoxazole or clindamycin
for community- associated MRSA (CA MRSA) skin infections.
J Am Board 2010; 23: 714-19.
3. Nathwani D, et al. Guidelines for UK practice for the diagnosis
and management of methicillin-resistant Staphylococcus
aureus (MRSA) infections presenting in the community.
Journal of Antimicrobial Chemotherapy 2008; 61: 976-94.

CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011

117

enelitian OMEGA-PCI (Omega-3 fatty acids


after PCI to modify responsiveness to dual antiplatelet therapy) memperlihatkan bahwa asam
lemak omega-3 bermanfaat meningkatkan
respon trombosit terhadap klopidogrel setelah
tindakan PCI pada pasien-pasien yang resisten
terhadap terapi klopidogrel. Penelitian dr
Grzegorz Gajosn dkk. dari John Paul II Hospital, Krakw, Polandia ini telah dipublikasikan
dalam Journal of the American College of
Cardiology April 2010.
The American Heart Association (AHA) telah
mendukung pemberian asam lemak omega-3
sebagai pencegahan sekunder kejadian
kardiovaskular pada pasien penyakit jantung
koroner. Rekomendasi ini diberikan berdasarkan pada manfaat omega-3 terhadap kardiovaskular dan kemampuannya menurunkan
kadar trigliserida darah. Dari penelitian lain
diketahui bahwa asam lemak omega-3 dapat
menurunkan tekanan darah, memiliki efek
antiplatelet, antitrombotik dan relatif aman
karena tidak disertai dengan peningkatan
risiko perdarahan. Namun hingga kini belum
ada penelitian manfaat asam lemak omega-3
sebagai terapi tambahan pada pasien yang
telah diterapi antiplatelet ganda (klopidogrel
plus aspirin).
Penelitian OMEGA-PCI merupakan penelitian
acak, kontrol plasebo, melibatkan 63 pasien
yang telah menjalani PCI dan diterapi dengan
antiplatelet ganda (klopidogrel 600 mg sebagai
loading dose, dilanjutkan dengan 75 mg klopidogrel sehari plus aspirin 75 mg sehari).
Pasien-pasien ini secara acak diberikan suplemen omega-3 1 gram/hari (n=33) atau plasebo
(n=30) selama 1 bulan. Melalui pemeriksaan,
25-40% pasien ternyata resisten terhadap
klopidogrel. Fungsi trombosit diuji dengan 2
cara, yaitu dengan light-transmission aggregometry dan dengan vasodilator-stimulated
phosphoprotein (VASP) pada baseline, 12 jam
sesudah baseline, tiga hingga lima hari sesudah
baseline dan 30 hari setelah baseline. Hasil
akhir primer (primary end point) penelitian ini
adalah P2Y12 reactivity index (PRI) 30 hari
setelah baseline.

118

Hasil akhir sekunder (secondary end points) di


antaranya adalah pemeriksaan PRI pada masa
yang lebih awal (<30 hari sesudah baseline)
dan agregrasi trombosit maksimal yang terjadi
selama penelitian berlangsung.
Setelah 1 bulan, hasil penelitian menunjukkan
bahwa PRI kelompok terapi omega-3 lebih
rendah 40,6% (P < 0.0005) dibandingkan pada
saat baseline, dan kelompok terapi plasebo
lebih rendah 26,2% (P < 0.0005) dibandingkan
dengan baseline. Pada perbandingan langsung,
PRI kelompok omega-3 22% lebih rendah dibandingkan dengan kelompok plasebo. (p=0,020).
Agregrasi trombosit maksimum yang diinduksi
menggunakan adenosine difosfat 5 dan 20
mol/L juga lebih rendah pada kelompok
omega-3: 13.2% (p=0,026) dibandingkan
dengan kelompok plasebo (9,8%; p=0,029).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dr.
Grzegorz mengatakan bahwa pemberian
omega-3 bersama klopidogrel merupakan
salah satu strategi terapi yang relatif aman
dibandingkan dengan penggunaan antiplatelet terbaru (prasugrel dan ticagrelor), karena
risiko perdarahan tampaknya tidak menjadi
masalah. Dr. Dominick J. Angiolillo, dari the
University of Florida College of Medicine,
Florida, Amerika Serikat, menekankan bahwa
hasil penelitian ini memang meyakinkan
namun masih sangat dini untuk mempromosikan suplemen asam lemak omega-3 sebagai
terapi baru yang disamakan dengan
obat-obat antiplatelet lainnya, yang telah diuji
secara klinis.

Kini berlangsung sebuah penelitian efek penambahan omega-3 pada pasien yang diterapi
dengan antiplatelet ganda, menyusul pemasangan DES dan/atau dengan sindrom koroner
akut. Pasien-pasien dalam penelitian ini resisten
terhadap klopidogrel. Sementara menunggu
hasil penelitian tersebut, dr. Grzegorz menganjurkan agar klinisi memberikan suplemen asam
lemak omega-3, sesuai guideline AHA/ACC
dan ESC, terutama pada pasien dengan kadar
trigliserida tinggi atau setelah infark miokard,
serta pada pasien gagal jantung kongestif.
Simpulan:
Asam lemak omega-3 bermanfaat meningkatkan respon trombosit terhadap klopidogrel setelah tindakan PCI pada pasien
yang resisten klopidogrel
Walau efektifitas pemberian omega-3 perlu
dikonfirmasi melalui penelitian yang lebih
besar, hingga kini para klinisi direkomendasikan untuk terus memberikan suplemen
asam lemak omega-3, sesuai guideline AHA/
ACC dan ESC, terutama pada pasien dengan
kadar trigliserida tinggi atau pada pasien
dengan kejadian kardiovaskular. (YYA)
REFERENSI
1. Campo G, Valgimigli M, Gemmati D, Percoco G, Catozzi L,Frangione
A, et al. Poor Responsiveness to Clopidogrel: Drug-Specific or ClassEffect Mechanism? Evidence From a Clopidogrel-to-Ticlopidine Crossover
Study. J Am Coll Cardiol 2007; 50: 1132-7.
2. Gajos G, Rostoff P, Undas A, et al. Effects of polyunsaturated omega-3
fatty acids on responsiveness to dual antiplatelet therapy in patients
undergoing percutaneous coronary intervention. The OMEGA-PCI
(OMEGA-3 fatty acids after PCI to modify responsiveness to dual antiplatelet therapy) study. J Am Coll Cardiol 2010; 55:1671-1678.
3. Lee JH, OKeefe JH, Lavie CJ, Marchioli R, Harris WS. Omega-3 Fatty
Acids for Cardioprotection. Mayo Clin Proc. 2008; 83(3): 324-32.
4. Medscape Cardiology. Could Omega-3 Fatty Acids Help in Tackling
Clopidogrel Resistance? [cited 2010 May 17]. Available from: http: //www.
medscape.com/viewarticle/720119
5. Tctmd. Omega-3 Fatty Acids Improve Response to Dual Antiplatelet
Therapy. [cited 2010 May 17]. Available from: http://www.tctmd.com/
show.aspx?id=89528

Kelompok Omega-3 (= 33)

Kelompok Plasebo (n = 30)

Nilai P

43.4 20.1

55.8 17.2

0.020

MPA (5 mol/L ADP), %

43.5 9.4

50.2 12.2

0.026

MPA (20 mol/L ADP) %

50.8 7.8

56.3 11.5

0.029

MPA (0.5 mmol/L


Arachidonic Acid), %

1.3 1.4

2.1 2.3

0.094

PRI (%)

Tabel 1. Perbandingan efek antiplatelet antara omega-3 dengan plasebo. ; PRI P2Y12 Reactivity Index;
MPA= maximal platelet aggregation; ADP= adenosine diphosphate
CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011

Das könnte Ihnen auch gefallen