Sie sind auf Seite 1von 40

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An.

R
DENGAN DIAGNOSA MEDIS HISCHPRUNG DISEASE TIPE
SHORT POST SOAVE PULL THROUGH H12
DI RUANG CENDANA 4
RSUP Dr. SARDJITO YOGYAKARTA
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Keperawatan Anak II

Oleh Kelompok 15 :
Maizan Rahmatina

P07120112064

Putri Pamungkassari

P07120112071

Vinda Astri Permatasari

P07120112080

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
2014

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. R


DENGAN DIAGNOSA MEDIS HISCHPRUNG DISEASE TIPE SHORT
POST SOAVE PULL THROUGH H12
DI RUANG CENDANA 4
RSUP Dr. SARDJITO YOGYAKARTA
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Keperawatan Anak II

Disusun Oleh :
Maizan Rahmatina

P07120112064

Putri Pamungkassari

P07120112071

Vinda Astri Permatasari

P07120112080

Tingkat 3 Reguler B
Telah mendapatkan persetujuan pada tanggal

Oktober 2014

Oleh :

Pembimbing Lapangan,

Pembimbing Pendidikan,
(

BAB I
PENDAHULUAN

A. Definisi
Megakolon Kongenital adalah pembesaran abnormal atau dilatasi
kolon karena tidak adanya sel-sel ganglion myenterik pada usus besar
segmen distal (aganglionosis). Sel-sel ganglion bertanggung jawab atas
kontraksi ritmik yang diperlukan untuk mencerna makanan yang masuk.
Hilangnya fungsi motorik dari segmen ini menyebabkan dilatasi
hypertropik massive kolon proximal yang normal sehingga terjadi kesulitan
defekasi dan feses terakumulasi menyebabkan megakolon. Kondisi ini
dapat segera terlihat setelah lahir, ditandai dengan dengan gagalnya
penundaan pasase awal dari mekonium sehingga terjadi distensi
abdominal, yang disertai dengan muntah dalam waktu 48 jam sampai 72
jam. Pada banyak kasus, segmen aganglionik terdapat pada rektum dan
kolon sigmoid. Ancaman terhadap hidup yang utama pada kelainan ini
adalah terjadinya enterocolitis, dengan gangguan cairan dan elektrolit serta
perforasi pada kolon yang membesar dan tegang atau pada apendiks
dengan peritonitis (Hidayat, 2009).
Hirschprung Disease adalah kelainan kongenital dimana tidak
dijumpainya pleksus Auerbach dan pleksus Meissner pada kolon.
Kemungkinan salah satu etiologi Hirschprung adalah adanya defek pada
migrasi sel neuroblast dalam jalurnya menuju usus bagian distal. Migrasi
neuroblast yang normal dapat terjadi dengan adanya kegagalan neuroblast
dalam

bertahan,

berpoliferase

atau

berdifferensiasi

pada

segmen

aganlionik distal. Distribusi komponen yang tidak proporsional untuk


pertumbuhan dan perkembangan neuronal terjadi pada usus yang
aganglionik. Komponen tersebut adalah fibronektin, laminin, neural cell
adhesion molecul, dan faktor neurotrophic (Kumar, 2007).

B. Epidemiologi
Insiden penyakit hirschprung adalah sekitar 1 diantara 4400 sampai
7000 kelahiran hidup. Rata-rata 1:5000. Dalam kepustakaan disebutkan
lelaki lebih banyak, dengan rasio lelaki 4:1 perempuan, di Jakarta
perbandingan ini adalah 3:1. Untuk penyakit hirschprung segmen panjang
rasio lelaki perempuan adalah 1:1. Tidak terdapat distribusi rasial untuk
penyakit ini. Penyakit ini jarang mengenai bayi dengan riwayat prematuritas
(Lee, 2009).
C. Faktor Resiko
Faktor-faktor resiko yang dapat menimbulkan terkenanya penyakit
hirschprung ialah riwayat keluarga terkena penyakit tersebut, lebih sering
pada pria dairpada wanita dan dapat berhubungan degan penyakit
kongenital lain (Lee, 2009).
D. Patogenesis
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal
colon dan sphincter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu
bagian yang abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal
sehingga bagian yang normal akan
mengalami dilatasi di bagian proksimalnya. Bagian aganglionik selalu
terdapat di bagian distal rectum (Warner, 2004).
Dasar patofisiologi dari hirschprung adalah tidak adanya gelombang
propulsive dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus
internus

yang

disebabkan

aganglionosis,

hipoganglionosis

disganglionosis pada usus besar (Holschneider, 2000).

atau

1. Hipoganglionosis
Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area
hipoganglionosis. Area tersebut dapat juga merupakan terisolasi.
Hipoganglionosis adalah keadaan dimana jumlah sel ganglion kurang
dari 10 kali dari jumlah normal dan kerapatan sel berkurang 5 kali dari
jumlah normal. Pada colon inervasi jumlah plexus myentricus
berkurang 50% dari normal. Hipoganglionosis kadang mengenai
sebagian panjang colon namun ada pula yang mengenai seluruh
colon (Holschneider, 2000).
2. Imaturitas dari sel ganglion
Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali
dengan pemeriksaan LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur
tidak memiliki sitoplasma yang dapat menghasilkan dehidrogenase.
Sehingga tidak terjadi diferensiasi menjadi sel Schwanns dan sel
saraf lainnya. Pematangan dari sel ganglion diketahui dipengaruhi
oleh reaksi succinyldehydrogenase (SDH). Aktivitas enzim ini rendah
pada minggu pertama kehidupan. Pematangan dari sel ganglion
ditentukan oleh reaksi SDH yang memerlukan waktu pematangan
penuh selama 2 sampai 4 tahun. Hipogenesis adalah hubungan
antara imaturitas dan hipoganglionosis (Holschneider, 2000).
3. Kerusakan sel ganglion
Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat
berasal dari vaskular atau nonvaskular. Yang termasuk penyebab
nonvaskular adalah infeksi Trypanosoma cruzi (penyakit Chagas),
defisiensi vitamin B1, infeksi kronis seperti Tuberculosis. Kerusakan
iskemik pada sel ganglion karena aliran darah yang inadekuat, aliran
darah pada segmen tersebut, akibat tindakan pull through secara
Swenson, Duhamel, atau Soave (Holschneider, 2000).
E. Prognosis
Secara umum prognosisnya baik jika gejala obstruksi segera diatasi,
90% pasien dengan penyakit hirschprung yang mendapat tindakan
pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien
yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus
dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari
tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20% (Hidayat, 2009).
F. Patofisiologi

Kongenital

aganglionik

megacolon

menggambarkan

adanya

kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding


submukosa kolon distal. Segmen ganglion hampir selalu ada dalam rectum
dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan
keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong (peristaltik)
dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat
berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang
menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran
cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada megacolon
(Betz, 2002).

G. Pathway
Obstruksi fungsional dengan kelainan patologi utama

Tidak adanya sel sel ganglion saraf parasimpatis pada fleksus


mesenterikus di kolon bagian distal
Persyarafan tidak sempurna pada bagian usus aganglionik
Peristaltic abnormal
meteorismus

konstipasi

Distensi abdomen dg obs.rectum

Menekan
diafragm
a

Anoreksi
a
muntah

Ekspansi
paru me

Perubahan
nutrisi kurang
dari
kebutuhan

Obstruksi fungsional

Perubahan pola eliminas


BAB

Hipertrofi dan dilatasi dinding usus


dengan penimbunan gas dan feses yang
banyak

nyeri

Tidak ada reflek spinter ani yg


terbuka
Stagnansi feses dalam rectum
Perubahan komposisi bakteri dalm
kolon
Pembusukan feses

G3
pemenuhan
oksigen

Diare puradoxal

Keb.oksigen jar.men
Pengeluaran sodium,potasiumdan
cairan >>
sianosi
s

Perfusi jar.
menurun

Potensial komplikasi asidosis


metabolik
Frek BAB >>

hirschprun
g
Pembedahan

Sifat feses
asam
Iritasi
jar.sekitar
stoma

Tidak ada
waktu
absorbsi

Deficit
volum
e
cairan
Resiko
H. Penegakan Diagnosis
kerusakan
1. Anamnesis
integritas
kulit

Ada luka
( diskontinu
itas
jaringan
Resiko
perdaraha
n
Pertahanan
pertama terganggu

colostomi

nyeri

Kurang
pengetahuan

Resiko infeksi

Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya


konstipasi pada neonatus. Gejala konstipasi yang sering ditemukan
adalah terlambatnya mekonium untuk dikeluarkan dalam waktu 48
jam setelah lahir. Tetapi gejala ini biasanya ditemukan pada 6% atau
42% pasien. Gejala lain yang biasanya terdapat adalah: distensi
abdomen, gangguan pasase usus, poor feeding, vomiting. Apabila
penyakit ini terjdi pada neonatus yang berusia lebih tua maka akan
didapatkan kegagalan pertumbuhan. Hal lain yang harus diperhatikan
adalah jika didapatkan periode konstipasi pada neonatus yang diikuti
periode diare yang massif kita harus mencurigai adanya enterokolitis.
Pada bayi yang lebih tua penyakit hirschsprung akan sulit dibedakan
dengan kronik konstipasi dan enkoperesis. Faktor genetik adalah
faktor yang harus diperhatikan pada semua kasus. Pemeriksaan
barium enema akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis.
Akan tetapi apabila barium enema dilakukan pada hari atau minggu
awal kelahiran maka zone transisi akan sulit ditemukan. Penyakit
hirschsprung klasik ditandai dengan adanya gambaran spastic pada
segmen distal intestinal dan dilatasi pada bagian proksimal intestinal
(Ziegler, Azizkhan,Weber, 2003).
Pada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam
pertama kehidupan. Dengan gejala yang timbul: distensi abdomen
dan bilious emesis. Tidak keluarnya mekonium padsa 24 jam pertama
kehidupan merupakan tanda yang signifikan mengarah pada
diagnosis ini. Pada beberapa bayi yang baru lahir dapat timbul diare
yang menunjukkan adanya enterocolitis (Warner, 2004).
Pada anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat
mengalami kesulitan makan, distensi abdomen yang kronis dan ada
riwayat konstipasi. Penyakit hirschsprung dapat juga menunjukkan
gejala lain seperti adanya periode obstipasi, distensi abdomen,
demam, hematochezia dan peritonitis (Warner, 2004).
Kebanyakan anak-anak dengan hirschsprung datang karena
obstruksi intestinal atau konstipasi berat selama periode neonatus.
Gejala kardinalnya yaitu gagalnya pasase mekonium pada 24 jam
pertama kehidupan, distensi abdomen dan muntah. Beratnya gejala

ini dan derajat konstipasi bervariasi antara pasien dan sangat


individual untuk setiap kasus. Beberapa bayi dengan gejala obstruksi
intestinal komplit dan lainnya mengalami beberapa gejala ringan
pada minggu atau bulan pertama kehidupan (Holschneider, 2000).
Beberapa

mengalami

konstipasi

menetap,

mengalami

perubahan pada pola makan, perubahan makan dari ASI menjadi


susu pengganti atau makanan padat. Pasien dengan penyakit
hirschsprung didiagnosis karena adanya riwayat konstipasi, kembung
berat dan perut seperti tong, massa faeses multipel dan sering
dengan enterocolitis, dan dapat terjadi gangguan pertumbuhan.
Gejala dapat hilang namun beberapa waktu kemudian terjadi distensi
abdomen. Pada pemeriksaan colok dubur sphincter ani teraba
hipertonus dan rektum biasanya kosong (Holschneider, 2000).
Umumnya diare ditemukan pada bayi dengan penyakit
hirschsprung yang berumur kurang dari 3 bulan. Harus dipikirkan
pada gejala enterocolitis dimana merupakan komplikasi serius dari
aganglionosis.

Bagaimanapun

hubungan

antara

penyakit

hirschsprung dan enterocolitis masih belum dimengerti. Dimana


beberapa ahli berpendapat bahwa gejala diare sendiri adalah
enterocolitis ringan (Holschneider, 2000).
Enterocolitis terjadi pada 12-58% pada pasien dengan penyakit
hirschsprung. Hal ini karena stasis feses menyebabkan iskemia
mukosal dan invasi bakteri juga translokasi. Disertai perubahan
komponen

musin

dan

pertahanan

mukosa,

perubahan

sel

neuroendokrin, meningkatnya aktivitas prostaglandin E1, infeksi


oleh Clostridium difficile atau Rotavirus. Patogenesisnya masih belum
jelas dan beberapa pasien masih bergejala walaupun telah dilakukan
colostomy. Enterocolitis yang berat dapat berupa toxic megacolon
yang mengancam jiwa. Yang ditandai dengan demam, muntah berisi
empedu, diare yang menyemprot, distensi abdominal, dehidrasi dan
syok. Ulserasi dan nekrosis iskemik pada mukosa yang berganglion
dapat

mengakibatkan

sepsis

dan

perforasi.

Hal

ini

harus

dipertimbangkan pada semua anak dengan enterocolisis necrotican.


Perforasi spontan terjadi pada 3% pasien dengan penyakit

hirschsprung. Ada hubungan erat antara panjang colon yang


aganglion dengan perforasi (Holschneider, 2000).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi abdomen terlihat perut cembung atau membuncit
seluruhnya, didapatkan perut lunak hingga tegang pada palpasi,
bising usus melemah atau jarang. Pada pemeriksaan colok dubur
terasa ujung jari terjepit lumen rektum yang sempit dan sewaktu jari
ditarik keluar maka feses akan menyemprot keluar dalam jumlah
yang banyak dan kemudian kembung pada perut menghilang untuk
sementara (Holschneider, 2000).
3. Pemeriksaan penunjang
Diagnostik utama pada penyakit hirschprung adalah dengan
pemeriksaan:
a. Barium enema
Pada pasien penyakit hirschprung spasme pada distal
rectum memberikan gambaran seperti kaliber/peluru kecil jika
dibandingkan colon sigmoid yang proksimal. Identifikasi zona
transisi

dapat

membantu

diagnosis

penyakit

hirschprung. Segmen aganglion biasanya berukuran normal tapi


bagian proksimal usus yang mempunyai ganglion mengalami
distensi sehingga pada gambaran radiologis terlihat zona
transisi. Dilatasi bagian proksimal usus memerlukan waktu,
mungkin dilatasi yang terjadi ditemukan pada bayi yang baru
lahir. Radiologis konvensional menunjukkan berbagai macam
stadium distensi usus kecil dan besar (Leonidas,Singh,Slovis,
2004).
Ada beberapa tanda dari penyakit Hirschsprung yang
dapat ditemukan pada pemeriksaan barium enema, yang paling
penting adalah zona transisi. Posisi pemeriksaan dari lateral
sangat penting untuk melihat dilatasi dari rektum secara lebih
optimal. Retensi dari barium pada 24 jam dan disertai distensi
dari kolon ada tanda yang penting tapi tidak spesifik.
Enterokolitis pada Hirschsprung dapat didiagnosis dengan foto
polos abdomen yang ditandai dengan adanya kontur irregular

dari kolon yang berdilatasi yang disebabkan oleh oedem,


spasme, ulserase dari dinding intestinal. Perubahan tersebut
dapat terlihat jelas dengan barium enema. Nilai prediksi biopsi
100% penting pada penyakit Hirschsprung jika sel ganglion
ada. Tidak adanya sel ganglion, perlu dipikirkan ada teknik
yang tidak benar dan dilakukan biopsi yang lebih tebal.
Diagnosis radiologi sangat sulit untuk tipe aganglionik yang
long segmen, sering seluruh colon. Tidak ada zona transisi
pada sebagian besar kasus dan kolon mungkin terlihat
normal/dari semula pendek/mungkin mikrokolon. Yang paling
mungkin berkembang dari hari hingga minggu. Pada neonatus
dengan gejala ileus obstruksi yang tidak dapat dijelaska.Biopsi
rectal sebaiknya dilakukan. Penyakit hirschsprung harus
dipikirkan pada semua neonates dengan berbagai bentuk
perforasi spontan dari usus besar/kecil atau semua anak kecil
dengan appendicitis selama 1 tahun (Leonidas, Singh, Slovis,
2004).
b. Anorectal manometry
Anorectal manometry dapat digunakan untuk mendiagnosis
penyakit

hirschsprung,

gejala

yang

ditemukan

adalah

kegagalan relaksasi sphincter ani interna ketika rectum


dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini adalah dapat
segera dilakukan dan pasien bisa langsung pulang karena tidak
dilakukan anestesi umum.Metode ini lebih sering dilakukan
pada pasien yang lebih besar dibandingkan pada neonatus
(Warner, 2004).
c. Biopsy rectal
Biopsy rectal merupakan gold standard untuk mendiagnosis
penyakit hirschprung. Pada bayi baru lahir metode ini dapat
dilakukan dengan morbiditas minimal karena menggunakan
suction khusus untuk biopsy rectum. Untuk pengambilan
sample biasanya diambil 2 cm diatas linea dentate dan juga
mengambil sample yang normal jadi dari yang normal ganglion
hingga

yang

aganglionik.

Metode

ini

biasanya

harus

menggunakan
I.

anestesi

umum

karena

contoh

yang

diambil pada mukosa rectal lebih tebal (Warner, 2004).


Penatalaksanaan
1. Terapi lama
a. Tindakan non bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mencegah
serta komplikasikomplikasi yang mungkin terjadi dan untuk
memperbaiki keadaan umum penderita sampai operasi definitive
dapat dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan pada
stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa dan mencegah terjadinya
overdistensi sehingga akan menghindari terjadinya perforasi
usus serta terjadinya sepsis. Tindakan non bedah yang dapat
dilakukan :
1) Pemasangan pipa nasogastrik
2) Pemasangan pipa rektum
3) Pemberian antibiotik
4) Lavase kolon dengan irigasi cairan
5) Koreksi elektrolit
6) Pengaturan nutrisi
(Warner, 2004).
2. Tindakan bedah
a. Tindakan bedah sementara
Dimaksudkan untuk dekompresi abdomen dengan cara
membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion
normal

bagian

distal.

Tindakan

ini

dimaksudkan

untuk

menghilangkan obstruksi usus dan mencegah terjadinya


enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama kematian
pada penderita penyakit Hirschsprung (Leonidas, 2004).
b. Tindakan bedah definitive :
1) Prosedure Swenson
Prosedure ini merupakan procedure pertama untuk operasi
penyakit Hirschsprung dengan metode pull-through :
a) Prosedure swenson I
Dilakukan pemotongan segmen kolon
aganglionik

direseksi

dan

punctum

rectum

ditinggalkan 2-4 cm dari garis mukokutan kemudian


dilakukan
peritoneal.

anastomosis
Pada

langsung

prosedur

ini,

diluar

rongga

enterokolitis

kemungkinan dapat terjadi akibat spasme punctum


rectum yang ditinggalkan.

b) Prosedure swenson II
Dilakukan pemotongan segmen kolon yang
aganglionik, puntung rektum ditinggalkan 2 cm
di b a g i a n a n t e r i o r d a n 0 , 5 c m d i b a g i a n
posterior

kemudian

langsung

dilakukan

sfingterektomi parsial langsung. Prosedur ini sama


sekali tidak mengurangi spasme sfingter ani dan
tidak

mengurangi

komplikasi

enterokolitis

pasca bedah dan bahkan pada prosedur Swenson


II

kebocoran anastomosis lebih tinggi dibanding

dengan prosedur Swenson I.


Prosedure Swenson dimulai dengan melakukan
biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah
hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat
mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal
rektum diprolapskan melewati saluran anal ke luar
sehingga saluran anal menjadi terbalik. Selanjutnya
dilakukan reperitonealisasi, dan cavum abdomen
ditutup.
2) Prosedure Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956
untuk mengatasi
prosedur

kesulitan

Swenson.

diseksi

Prinsip

dasar

pelvik

pada

prosedur

ini

adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke


arah

anal

melalui

bagian

posterior

rektum

yang

aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang


aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang
ganglionik sehingga membentuk ronggga baru dengan
anastomose. Prosedure Duhamel

memiliki beberapa

kelemahan diantaranya sering menyebabkan stenosis,


inkontinensia

dan

pembentukan

fekaloma

di

dalam

punctum rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang.


Sehingga

dilakukan

Duhamel, diantaranya :
a) Modifikasi Grob

beberapa

modifikasi

prosedure

Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem melalui


sayatan endo anal setinggi 1,5 2,5 cm untuk
mencegah inkontinensia.
b) Modifikasi Talbert dan Ravitch
Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk melakukan
anastomose yang panjang.
c) Modifikasi Ikeda
Dengan cara membuat klem khusus untuk melakukan
anastomose yang terjadi setelah 6 8 hari kemudian.
d) Modifikasi Adang
Kolon ditarik transanal dibiarkan prolaps sementara.
Anastomose dikerjakan secara tidak langsung, yakni
pada hari ke 7 14 paska bedah dengan memotong
kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem. Ke
dua klem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem
lebih dititik beratkan pada fungsi hemostatis.
(Ziegler, 2003).
3. Terapi Farmakologi
a. Penggunaan Laksatif
b. Modifikasi diet
c. Kortikosteroid
d. Obat anti inflamatori
e. Antibiotik spektrum luas, dan
f. Mengkoreksi hemodinamik dengan cairan intravena.
(Ziegler, 2003).
J. Komplikasi
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit
Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis,
enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter. Beberapa hal dicatat sebagai
faktor predisposisi terjadinya penyulit pasca operasi, diantaranya : usia
muda saat operasi, kondisi umum penderita saat operasi, prosedur bedah
yang digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan
cara pemberian antibiotik serta perawatan pasca bedah (Ziegler, 2003).
1. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh
ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi
yang tidak adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan
abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi
pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati. Kartono

mendapatkan angka kebocoran anastomese hingga 7,7% dengan


menggunakan prosedur Swenson, sedangkan apabila dikerjakan
dengan prosedur Duhamel modifikasi hasilnya sangat baik dengan
tak satu kasus pun mengalami kebocoran. Manifestasi klinis yang
terjadi akibat kebocoran anastomose ini beragam. Kebocoran
anastomosis ringan menimbulkan gejala peningkatan suhu tubuh,
terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik, kebocoran berat dapat
terjadi demam tinggi, pelvioperitonitis atau peritonitis umum, sepsis
dan kematian. Apabila dijumpai tanda-tanda dini kebocoran, segera
dibuat kolostomi di segmen proksimal (Ziegler, 2003).
2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh
gangguan penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang
menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah
yang

dipergunakan.

Stenosis

sirkuler

biasanya

disebabkan

komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior


berbentuk oval akibat prosedur Duhamel, sedangkan bila stenosis
memanjang biasanya akibat prosedur Soave. Manifestasi yang terjadi
dapat berupa gangguan defekasi yaitu kecipirit, distensi abdomen,
enterokolitis hingga fistula perianal. Tindakan yang dapat dilakukan
bervariasi, tergantung penyebab stenosis, mulai dari businasi hingga
sfinkterektomi posterior (Ziegler, 2003).
3. Enterokolitis
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan
dapat berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan
kematian akibat enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan
angka 14,5% dan 18,5% masing-masing untuk prosedur Duhamel
modifikasi dan Swenson. Sedangkan angka kematiannya adalah
3,1% untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk prosedur Duhamel
modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan
tanda-tanda enterokolitis adalah :
a.
b.
c.
d.

Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit


Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi
Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari
Pemberian antibiotika yang tepat.

Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung penyebab atau


prosedur operasi yang telah dikerjakan. Businasi pada stenosis,
sfingterotomi posterior untuk spasme spingter ani dapat juga
dilakukan reseksi ulang stenosis. Prosedur Swenson biasanya
disebabkan spinkter ani terlalu ketat sehingga perlu spinkterektomi
posterior. Sedangkan pada prosedur Duhamel modifikasi, penyebab
enterokolitis biasanya adalah pemotongan septum yang tidak
sempurna sehingga perlu dilakukan pemotongan ulang yang lebih
panjang (Ziegler, 2003).
Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih
kecil pada pasien dengan endorektal pull through. Enterokolitis
merupakan penyebab kecacatan dan kematian pada megakolon
kongenital, mekanisme timbulnya enterokolitis menurut Swenson
adalah karena obtruksi parsial. Obtruksi usus pasca bedah
disebabkan oleh stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon
aganglionik yang tersisa masih spastik. Manifestasi klinis enterokolitis
berupa distensi abdomen diikuti tanda obtruksi seperti muntah hijau
atau fekal dan feses keluar eksplosif cair dan berbau busuk.
Enetrokolitis nekrotikan merupakan komplikasi paling parah dapat
terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi. Hal yang sulit pada megakolon
kongenital adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca pull through,
kadang ahli bedah dihadapkan pada konstipasi persisten dan
enterokolitis berulang pasca bedah (Ziegler, 2003).
4. Gangguan Fungsi Sfinkter
Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang
diterima universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling
atau kecipirit merupakan parameter yang sering dipakai peneliti
terdahulu untuk menilai fungsi anorektal pasca operasi, meskipun
secara teoritis hal tersebut tidaklah sama. Kecipirit adalah suatu
keadaan keluarnya feses lewat anus tanpa dapat dikendalikan oleh
penderita, keluarnya sedikit-sedikit dan sering. Untuk menilai kecipirit,
umur dan lamanya pasca operasi sangatlah menentukan (Heikkinen
dkk,1997; Lister,1996; Heij dkk,1995). Swenson memperoleh angka
13,3% terjadinya kecipirit, sedangkan Kleinhaus justru lebih rendah

yakni 3,2% dengan prosedur yang sama. Kartono mendapatkan


angka 1,6% untuk prosedur Swenson dan 0% untuk prosedur
Duhamel modifikasi. Sedangkan prosedur Rehbein juga memberikan
angka 0%.Pembedahan dikatakan berhasilbila penderita dapat
defekasi teratur dan kontinen (Heikken, 1997).

K. Pengkajian
1. Identitas.
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup

bulan dan

merupakan kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau


bersamaan dengan kelainan bawaan lain. Pada segmen aganglionosis
dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan pada anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan.

Sedangkan kelainan yang melebihi

sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus halus ditemukan sama banyak
pada anak laki-laki dan perempuan (Ngastiyah, 1997).
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama.
Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias
yang sering ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar (lebih
dari 24 jam setelah lahir), perut kembung dan muntah berwarna
hijau. Gejala lain adalah muntah dan diare.
b. Riwayat penyakit sekarang.

Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional.


Obstruksi total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan
ketiadaan evakuasi mekonium. Bayi sering mengalami konstipasi,
muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa konstipasi selama
beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus
akut. Namun ada juga yang konstipasi ringan, enterokolitis dengan
diare, distensi abdomen, dan demam. Diare berbau busuk dapat
terjadi.
c. Riwayat penyakit dahulu.
Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya
penyakit Hirschprung
d. Riwayat kehamilan dan kelahiran
1) Prenatal
2) Natal
3) Post natal
e. Riwayat kesehatan keluarga.
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini diturunkan kepada
anaknya.
Riwayat kesehatan lingkungan.
Tidak ada hubungan dengan kesehatan lingkungan.
g. Imunisasi.
Tidak ada imunisasi untuk bayi atau anak dengan penyakit
f.

Hirschsprung.
h. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.
i. Nutrisi.
3. Pemeriksaan fisik.
a. Sistem kardiovaskuler.
Tidak ada kelainan.
b. Sistem pernapasan.
Sesak napas, distres pernapasan.
c. Sistem pencernaan.
Umumnya obstipasi. Perut kembung/perut

tegang,

muntah

berwarna hijau. Pada anak yang lebih besar terdapat diare kronik.
Pada colok anus jari akan merasakan jepitan dan pada waktu ditarik
akan diikuti dengan keluarnya udara dan mekonium atau tinja yang
menyemprot.
d.
Sistem genitourinarius.
e. Sistem saraf.
Tidak ada kelainan.
f. Sistem muskuloskeletal.
Gangguan rasa nyaman.
g. Sistem endokrin.
Tidak ada kelainan.

h. Sistem integumen.
Akral hangat.
i. Sistem pendengaran.
Tidak ada kelainan.
4. Pemeriksaan diagnostik dan hasil.
a. Foto polos abdomen tegak akan terlihat usus-usus melebar atau
terdapat gambaran obstruksi usus rendah.
b. Pemeriksaan dengan barium enema ditemukan daerah transisi,
gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian menyempit,
enterokolitis pada segmen yang melebar dan terdapat retensi
barium setelah 24-48 jam.
c. Biopsi isap, mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa.
d. Biopsi otot rektum, yaitu pengambilan lapisan otot rektum.
e. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin esterase dimana terdapat
peningkatan aktivitas enzim asetilkolin eseterase.
L. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan efek dari insisi.
2. Risiko infeksi berhubungan dengan adanya mikroorganisme yang
masuk melalui insisi daerah pembedahan atau kurang pengetahuan
pasien dalam penatalaksanaan terapeutik pasca pembedahan
3. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi dan
perbaikan bedah

M. Perencanaan Keperawatan Pasca Pembedahan


No
.
1.

Diagnosa
Nyeri
berhubung
an dengan
efek dari
insisi.

Tujuan
Tupan :
Klien
menunjukkan
rasa nyeri
berkurang atau
hilang
Tupen :
Klien akan
menunjukkan
perasaan
nyaman

Asuhan Keperawatan
Intervensi
Mandiri :
Observasi keluhan nyeri, perhatikan
lokasi, intensitas (skala 0-10) dan factor
pemberat atau penghilang

Kaji insisi bedah, perhatikan edema,


atau inflamasi.

Berikan tindakan nyaman misalnya


pijatan punggung (back rub), sentuan,
perubahan posisi, lingkungan tenang
Pertahankan posisi nyaman bagi pasien

2.

Risiko
infeksi
berhubung
an dengan
adanya
mikroorgani
sme yang
masuk

Tupan :
Mengidentifikasi
perilaku untuk
mencegah risiko
infeksi.

Kolaborasi :
Berikan obat sesuai indikasi, misalnya :
analgesic, analgesi dikontrol pasien
(ADP)
Mandiri :
Observasi terhadap tanda/gejala
peritonitis

Tupen :

Kultur terhadap kecurigaan


drainase/sekresi. Kultur baik dari

Rasional

Nyeri insisi bermakna pada pascaoperasi


awal, diperberat oleh gerakan , batuk, distensi
abdomen, mual. Membiarkan pasien rentang
ketidaknyamanan sendiri membantu
mengidentifikasikan intervensi yang tepat dan
mengevaluasi keefektifan analgesic.
Perdarahan pada jaringan, bengkak, inflamasi
local atau terjadinya infeksi dapat
menyebabkan peningkatan nyeri insisi.
Menurunkan tegangan otot, meningkatkan
relaksasi, dan meningkatkan rasa control
Ambulasi mengembalikan organ ke posisi
normal dan meningkatkan kembali fungsi ke
tingkat normal
Menurunkan nyeri, meningkatkan
kenyamanan.
Meskipun persiapan usus dilakukan sebelum
pembedahan elektif, peritonitis dapat terjadi
bila usus terganggu misalnya : rupture
praoperasi, kebocoran anastomosis.
Organisme multiple mungkin ada pada luka
terbuka dan bedah usus, sehingga dapat

3.

melalui
insisi
daerah
pembedah
an atau
kurang
pengetahu
an pasien
dalam
penatalaks
anaan
terapeutik
pasca
pembedah
an
Resiko
gangguan
integritas
kulit
berhubung
an dengan
kolostomi
dan
perbaikan
bedah

Meningkatkan
penyembuhan
pada waktunya.
(tidak ada tanda
infeksi local atau
sistemik)

Tupan :
Mempertahanka
n integritas kulit.
Tupen :
Meningkatkan
penyembuhan
luka tepat pada
waktu tanpa
komplikasi
Perawatan
kolostomi
Drainable :
terbuka
bawahnya,dibers

bagian tengah dan tepi luar luka dan


dapatkan kultur anaerobic sesuai
indikasi
Kolaborasi :
Berikan obat-obatan sesuai indikasi ;
antibiotic, misalnya : cefazoline
(ANCEL)

Mandiri :

Lihat stoma/ area kulit peristomal


pada tiap penggantian kantong.
Bersihkan dengan air dan keringkan.
Catat iritasi, kemerahan.

mengidentifikasi semua organisme yang


terlibat; memungkinkan untuk terapi antibiotic
lebih khusus.

Diberikan secara profilaktik atau menurunkan


jumlah organisme (pada infeksi yang telah
ada sebelumnya); untuk menurunkan
penyebaran dan pertumbuhannya pada
rongga abdomen.

Memantau proses penyembuhan /


keefektifan alat dan mengidentifikasi masalah
pada area, kebutuhan untuk evaluasi/
intervensi lanjut. Mempertahankan
kebersihan/ mengeringkan area untuk
membantu pencegahan kerusakan kulit.
Sesuai dengan penyebuhan edema
pasca operasi (selama 6 minggu pertama )
ukuran kantong dipakai harus tepat sehingga
feses terkumpul sesuai aliran dari ostomi dan
kontak dengan kulit dicegah.
Mencegah trauma pada jaringan stoma
dan melindungi kulit periostomal. Perekatan
area yang adekuat penting untuk

Ukur stoma secara periodic,


misalnya tiap perubahan kantong
selama 6 minggu pertama, kemudian
sebulan sekali selama 6 bulan.

Yakinkan bahwa lubang pada bagian


belakang kantong berperekat sedikitnya
lebih besar 1/8 ukuran stoma dengan

ihkan dari
bawah,lebih
aman
Isi usus
kolostomi.sempa
t kena kulit
,mikroorganisme
menyebabkan
iritasi boo.iritan
dapat kena ..
Peristoma kulit
sekitar
stoma,pembersi
han darah
kolstomi
adekuat.

perekat adekuat menempel pada


kantong.

Berikan pelindung kulit yang efektif,


misalnya wafer stomahesive, karaya
gum, davol atau produk semacamnya.

Kosongkan, irigasi, dan bersihkan


kantong ostomi dengan rutin, gunakan
alat yang tepat.

Sokong kulit sekitar bila menangkat


kantong dengan perlahan. Lakukan
pengangkatan kantong sesuai indikasi,
kemudian cuci dengan baik.
Selidiki keluhan rasa terbakar/ gatal/
melepuh disekitar stoma.

Evaluasi produk perekat dan


kecocokan kantong secara terus
menerus.
Kolaborasi :

Konsul dengan ahli terapi/


enterostomal

Berikan sprei aerosol


kortikosteroid dan bedak nistatin sesuai

mempertahnakan cincin kantong. Perekatan


terlalu kencang menyebabkan iritasi kulit pada
pengangkatan kantong.
Melindungi kulit dari perekat kantong,
meningkatkan perekatan kantong, dan
memudahklan penangkatan kantong bila
perlu.
Penggantian kantong yang sering
mengiritasi kulit dan harus dihindari.
Pengosongan dan pencucian kantong dengan
cairan yang tepat tidak hanya menghilangkan
bakteri dan menyebabkan bau feses dan
flatus, tapi juga membuat kantong menjadi
bau.
Mencegah iritasi jaringan/ kerusakan
sehubungan penarikan kantong.
Indikasi kebocoran feses dengan iritasi
periostomal, atau kemungkinan infeksi
candida yang memerlukan intervensi.
Memberikan kesempatan untuk
pemecahan masalah. Menentukan kebutuhan
intervensi lebih lanjut.
Membantu pemilihan produk yang tepat
untuk kebuthan penyembuhan pasien,
termasuk tipe ostomi, status fisik/mental
Membantu penyembuhan bila terjadi
iritasi priostomal. Produk ini mempunayi efek
samping yang besar dan harus digunakan

indikasi.

dengan jumlah sedikit saja,.

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

I.

PENGKAJIAN
Hari, tanggal
Pukul
Tempat
Metode

: Senin, 27 Oktober 2014


: 11.00 WIB
: Bangsal Cendana 4 RSUP Dr. Sardjito
: Wawancara, studi dokumen, pemeriksaan fisik dan
observasi
: Pasien, keluarga dan dokumen
: 1. Maizan Rahmatina
2. Putri Pamungkassari
3. Vinda Astri Permatasari

Sumber
Oleh

A. IDENTITAS
1. Klien
Nama
Umur
Tempat tanggal lahir
Jenis kelamin
Agama
Alamat
Tanggal masuk RS
No RM
Diagnosa medis

: An. R
: 10 bulan 10 hari
: Yogyakarta, 16 Desember 2013
: Laki-laki
: Islam
: Bumijo, Jetis, Yogyakarta
: 08 Oktober 2014
: 01.66.44.80
: Hirschprung disease tipe short post

SOAVE pull through H12, hipoalbumin


2. Penanggung Jawab
Nama
: Ny. W
Pekerjaan
: Pegawai Swasta
Pendidikan
: SMU
Hubungan dengan pasien
: Ibu

B. RIWAYAT KESEHATAN
1. Alasan masuk rumah sakit
Pasien adalah pasien hirschprung disease post sigmoidektomi usia 1
bulan. Pasien akan dilakukan tindakan operasi lanjutan di RSUP Dr.
Sardjito.
2. Keluhan utama
Ibu pasien mengatakan pasien sering rewel karena kesakitan.
3. Riwayat kesehatan sekarang

Ibu pasien mengatakan pasien perutnya kembung dan sering rewel


karena kesakitan. Ibu pasien mengatakan selalu memberikan pasien
minyak kayu putih di daerah perut pasien apabila pasien kembung.
4. Riwayat kesehatan yang lalu
Ibu pasien mengatakan pasien setelah lahir (dalam 24 jam) tidak dapat
BAB. Setelah diperiksa oleh dokter spesialis, ternyata pasien di diagnosis
menderita penyakit hirschprung. Pasien kemudian dirujuk ke RSUP dan
dilakukan tindakan operasi sigmoidektomi. Dalam jangka waktu 9 bulan,
pasien kemudian dibawa ke RSUP kembali untuk dilakukan tindakan
operasi lanjutan.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Ibu pasien mengatakan kakek pasien pernah mempunyai penyakit usus,
yaitu usus masuk ke usus (invaginasi).
Invaginasi

Pasien

C. POLA KEBIASAAN PASIEN


1. Aspek Fisik Biologis
a. Pola Nutrisi
Sebelum masuk RS, pasien makan 2x sehari dengan menu bubur
siap saji, tidak ada makanan pantangan. Sedangkan selama sakit
pasien makan 2 kali sehari setiap pagi dan sore hari. Mendapatkan
diit bubur saring dan jus putih telur dari RS. Ibu pasien mengatakan
pasien sering menghabiskan satu porsi yang disediakan RS. Ibu
pasien mengatakan pasien bisa minum 800 ml sehari berupa susu
formula yang diberikan melalui dot bayi.
b. Pola Eliminasi

Sebelum masuk RS, pasien BAB melalui stoma. Selama di RS


pasien mulai BAB melalui anus. Pasien menggunakan pampers.
c. Pola Aktivitas
Selama sakit pasien melakukan aktivitasnya dengan dibantu
keluarganya.

Ibu pasien mengatakan pasien melakukan seluruh

aktivitasnya di atas tempat tidur. Ibu pasien mengatakan dalam


melakukan aktivitas, selalu dibantu orang lain. Pasien terbaring di
tempat tidur.

Kemampuan perawatan diri

Makan/minum

Mandi

Toileting

Berpakaian

Mobilitas di tempat tidur

Berpindah

Ambulasi/ROM

Keterangan :
1 : Mandiri
3 : Dibantu orang lain dan alat
2 : Alat bantu
4 : Tergantung total
3 : Dibantu orang lain
d. Pola istirahat dan tidur
Pasien mengatakan sebelum masuk RS pasien tidur 9 jam dari
pukul 21.00 WIB hingga 06.00 WIB, dan sering tidur siang.
Sedangkan selama sakit, pasien tidur >9 jam.
e. Pola Kebersihan Diri
1) Kebersihan kulit
Ibu pasien mengatakan pasien setiap hari selalu dimandikan
dengan cara dilap dengan menggunakan air hangat setiap pagi
dan sore hari.
2) Rambut
Ibu pasien mengatakan sejak dirawat di RS pasien tidak
keramas. Rambut pasien hanya dilap dengan menggunakan
washlap dan air hangat.
3) Telinga

Tidak ada gangguan pendengaran.


4) Gigi dan mulut
Ibu pasien mengatakan gigi pasien baru tumbuh 8 buah. 4
buah di depan atas dan 4 buah di depan bawah. Ibu pasien
mengatakan selalu menggosok gigi pasien 2 kali sehari.

D. PEMERIKSAAN FISIK
1.Keadaan umum : Lemah
a.
Kesadaran
b.
Tanda-tanda vital
Suhu
Nadi
Respirasi
c.Status gizi
BB
TB
LP
LK
LILA
LD
BB/U

: Compos Mentis
: 37,5 C
: 130 x/menit
: 30 x/menit
: 8,5 kg
: 78 cm
: 49 cm
: 46 cm
: 16 cm
: 49 cm
: Gizi Baik

2.Pemeriksaan cephalokaudal
a. Kepala
Bentuk kepala mesochepal. Pasien terlihat menangis dan rewel.
Pasien tampak tidak rileks
b. Mata
Tidak ada gangguan penglihatan. Konjungtiva tidak terlihat anemis.
c. Telinga
Bentuk telinga simetris, tidak ada cairan keluar dari telinga, tidak ada
gangguan pendengaran.
d. Hidung
Tidak ada cairan yang keluar dari hidung. Tidak terlihat pernapasan
cuping hidung.
e. Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak terlihat benjolan.
f. Dada
Paru :

1) Inspeksi :

simetris,

anteriorposterior dan

tidak

terdapat

retraksi.

Perbandingan

transversal 1:1, tidak ada lesi, warna kulit

sama dengan kulit lain.


2) Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
3) Perkusi : terdengar suara sonor
4) Auskultasi : terdengar suara nafas vesikuler.
Jantung :
1) Inspeksi : tidak ada lesi. Warna kulit sama dengan kulit yang lain.
2) Palpasi : tidak ada nyeri tekan
3) Perkusi : terdengar suara redup
4) Auskultasi : S1-S2 murni tunggal, tidak terdapat suara jantung
abnormal.
g. Abdomen
1) Inspeksi
Bentuk simetris.Terlihat luka jahitan sepanjang 15 cm di abdomen
kuadran kiri bawah tidak terlihat infeksi dan perdarahan. Terlihat
distensi abdomen.
2) Palpasi
Tidak teraba benjolan, ada nyeri tekan. Pasien menangis (gelisah)
saat disentuh pada area luka post op.
3) Perkusi
Terdengar timpani.
4) Auskultasi
Peristaltik usus positif. 14x/menit
h. Genetalia
Tidak ada keluhan pada area genetalia.
i. Ekstremitas
1) Ekstremitas atas
Ekstrimitas atas lengkap. Terpasang IVFD threeway 2 jalur, kaen 1B
dan NaCl 0,9% di tangan kiri pasien, terpasang bidai dan restrain,
tidak terlihat plebitis dan rembesan.
2) Ekstremitas bawah
Ekstremitas bawah lengkap. Tidak terlihat bengkak.
E. TERAPI (27 Oktober 2014)
1. Injeksi cefotaxim 2x500 mg
2. Injeksi ranitidin 2x10 mg
3. Metronidazole drip 3x75 mg
4. Paracetamol 6x150 mg
5. IVFD threeway 2 jalur, kaen 1B dan NaCl 0,9%
6. Diit bubur saring dan jus putih telur
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil pemeriksaan darah pada tanggal 25 Oktober 2014
Pemeriksaan
Faal Hati
Albumin

Hasil

Satuan

Nilai Normal

2,4

g/dL

3,4-5

Diabetes
GDS
Elektrolit
Natrium
Kalium
Klorida

73

mg/dL

74-140

137
6,2
103

mmol/l
mmol/l
mmol/l

136-145
3,5-5,1
98-107

2. Hasil pemeriksaan mikrobiologi : Kultur pada tanggal 18 Oktober 2014


Jenis sampel : Darah
Hasil : Negatif / kuman tak tumbuh
3. Hasil pemeriksaan patologi anatomi jaringan kecil pada tanggal 16
Januari 2014
Kesimpulan : Jaringan colon sigmoid proksimal stoma : Jaringan colon
dengan pleksus aurbach tanpa ganglion.
Jaringan colon sigmoid distal stoma : Jaringan colon dengan pleksus
aurbach yang tanpa ganglion.

II.

ANALISA DATA

DATA
DS :
-Keluarga pasien menyatakan pasien rewel karena

MASALAH
Nyeri akut

PENYEBAB
Luka post op.
SOAVE pull

kesakitan
-Ibu pasien mengatakan pasien perutnya kembung

through

DO :
-Pasien menangis (gelisah) saat disentuh pada area luka
post op.
-Pasien tampak tidak rileks
-Pasien terlihat menangis dan rewel
-Terlihat luka jahitan sepanjang 15 cm di abdomen kuadran
kiri bawah
-Terlihat distensi abdomen
-Tanda-tanda vital
Suhu : 37,5 C
Nadi : 130 x/menit
Respirasi : 30 x/menit
DS : DO :

Risiko

Prosedur

infeksi

invasif dan

-Terdapat luka jahitan sepanjang 15 cm pada abdomen kiri

post op.

bagian bawah, tidak terlihat infeksi dan perdarahan

SOAVE pull

-Terpasang IVFD threeway 2 jalur, kaen 1B dan NaCl 0,9%

through

di tangan kiri pasien, tidak terlihat plebitis dan


rembesan
-Hasil pemeriksaan penunjang
Albumin : 2,4 g/dL
-Tanda-tanda vital
Suhu : 37,5 C
Nadi : 130 x/menit
Respirasi : 30 x/menit
DS : DO :
- Terdapat luka jahitan sepanjang 15 cm pada abdomen
kiri bagian bawah, tidak terlihat infeksi dan

Kerusakan

Kerusakan

integritas

permukaan

kulit

kulit : post

perdarahan

op. SOAVE
pull through

III.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif dan post op.
SOAVE pull through ditandai dengan :
DS :
- Keluarga pasien menyatakan pasien rewel karena kesakitan
- Ibu pasien mengatakan pasien perutnya kembung
DO :
-

Pasien menangis (gelisah) saat disentuh pada area luka post op.
Pasien tampak tidak rileks
Pasien terlihat menangis dan rewel
Terlihat luka jahitan sepanjang 15 cm di abdomen kuadran kiri

bawah
Terlihat distensi abdomen
Tanda-tanda vital
Suhu : 37,5 C
Nadi : 130 x/menit
Respirasi : 30 x/menit
2. Nyeri akut berhubungan dengan luka post op. SOAVE pull through
-

ditandai dengan :
DS : DO :
-

Terdapat luka jahitan sepanjang 15 cm pada abdomen kiri bagian

bawah, tidak terlihat infeksi dan perdarahan


Terpasang IVFD threeway 2 jalur, kaen 1B dan NaCl 0,9% di
tangan kiri pasien, tidak terlihat plebitis dan rembesan

Hasil pemeriksaan penunjang


Albumin : 2,4 g/dL
- Tanda-tanda vital
Suhu : 37,5 C
Nadi : 130 x/menit
Respirasi : 30 x/menit
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan

dengan

kerusakan

permukaan kulit : post op. SOAVE pull through ditandai dengan :


DS : DO :
-

Terdapat luka jahitan sepanjang 15 cm pada abdomen kiri bagian


bawah, tidak terlihat infeksi dan perdarahan

IV.

PERENCANAAN KEPERAWATAN

DIAGNOSA
KEPERAWATAN
Risiko infeksi

TUJUAN
Senin, 27 Oktober 2014

PERENCANAAN
INTERVENSI
Senin, 27 Oktober 2014

berhubungan

11.00 WIB

11.00 WIB

dengan prosedur

Setelah dilakukan asuhan

invasif dan post

keperawatan selama 3x24 jam,

op. SOAVE pull

pasien tidak mengalami infeksi

through

dengan kriteria hasil :


1. Tanda-tanda vital dalam batas
normal
2. Tidak ada tanda dan gejala
infeksi
3. Keluarga mengerti mengenai
tanda dan gejala infeksi
Maizan

RASIONAL
Senin, 27 Oktober 2014
11.00 WIB

1. Observasi tanda-tanda vital : N, R, S

1.Mengetahui kondisi pasien dan sebagai

2. Monitor tanda dan gejala infeksi

dasar intervensi selanjutnya


2.Infeksi yang terjadi dapat membahayakan

3. Lakukan perawatan luka dengan prinsip


aseptik
4. Ajarkan keluarga pasien mengenai
tanda dan gejala infeksi
5. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium
(Leukosit)
6. Kelola pemberian antibiotik cefotaxim
2x500 mg dan metronidazole drip 3x75
mg

bagi pasien
3.Luka yang bersih mencegah terjadinya
infeksi
4.Keikutsertaan keluarga dapat membantu
dalam penyembuhan pasien
5.Angka leukosit yang tinggi merupakan
indikator terjadinya infeksi
6.Antibiotik membunuh mikroorganisme
penyebab infeksi
Maizan

Maizan

Nyeri akut

Senin, 27 Oktober 2014

Senin, 27 Oktober 2014

Senin, 27 Oktober 2014

berhubungan

11.00 WIB

11.00 WIB

11.00 WIB

dengan post op.

Setelah dilakukan asuhan

1. Observasi tanda-tanda vital : N, R, S

1.Mengetahui kondisi pasien dan sebagai

SOAVE pull

keperawatan selama 3x24 jam, 2. Observasi reaksi non verbal pasien

through

pasien tidak mengalami nyeri


dengan krieria hasil :
1. Tanda-tanda vital dalam batas
normal
2. Pasien terlihat tidak gelisah
3. Pasien terlihat rileks
Putri

terhadap nyeri
3. Atur posisi pasien senyaman mungkin
4. Lakukan manajemen nyeri : teknik
distraksi
5. Ajarkan ibu pasien memberikan tindakan
kenyamanan pada pasien :

dasar intervensi selanjutnya


2.Mengidentifikasi ketidaknyamanan pasien
akibat nyeri
3.Posisi yang nyaman mengurangi rasa nyeri
4.Teknik distraksi mengalihkan perhatian
pasien terhadap nyeri
5.Membantu pasien agar merasa lebih rileks

menggendong, suara halus, ketenangan


6. Kelola pemberian terapi paracetamol
6.Analgetik mengurangi nyeri secara
6x150 mg

Putri

farmakologik
Putri

Kerusakan

Senin, 27 Oktober 2014

Senin, 27 Oktober 2014

Senin, 27 Oktober 2014

integritas kulit

11.00 WIB

11.00 WIB

11.00 WIB

berhubungan

Setelah dilakukan asuhan

dengan

keperawatan selama 3x24 jam,

kerusakan

integritas kulit pasien kembali

lapisan kulit : post

utuh dengan kriteria hasil :

op. SOAVE pull

1. Perfusi jaringan baik

1. Observasi kondisi luka

1.Indikator penyembuhan luka : karakteristik,

2. Monitor status nutrisi pasien

granulasi, jaringan nekrotik


2.Status nutrisi yang baik mempercepat

3. Lakukan perawatan luka setiap hari

penyembuhan luka pasien


3.Luka yang bersih membantu proses

through

2. Menunjukkan terjadinya
proses penyembuhan luka
3. Keluarga pasien mampu

4. Anjurkan keluarga pasien memandikan


pasien setiap hari dengan air hangat

penyembuhan luka
4.Melembabkan kulit pasien, meningkatkan
kenyamanan, memperlancar peredaran

melindungi kulit dan

darah
dengan diusap
5.Meningkatkan albumin, mempercepat
mempertahankan kelembaban 5. Anjurkan pasien diet TKTP : ekstra putih
penyembuhan luka pasien
kulit pasien
telur
6.Menambah pengetahuan keluarga untuk
Vinda 6. Ajarkan keluarga pasien tentang
membantu penyembuhan luka
perawatan luka
7.Terapi topikal mencegah perluasan luka dan
7. Kelola terapi topikal (Sufratul)
Vinda
mempercepat penyembuhan luka
Vinda

V.

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

DIAGNOSA
KEPERAWATAN
Risiko infeksi
berhubungan
dengan prosedur
invasif dan post
op. SOAVE pull
through

IMPLEMENTASI

EVALUASI

Senin, 27 Oktober 2014

Senin, 27 Oktober 2014

8.30 WIB
1. Mengelola pemberian terapi injeksi
antibiotik cefotaxim 500 mg dan
metronidazole drip 75 mg
2. Memonitor tanda dan gejala infeksi
Putri

08.45 WIB
S:O : Pasien menangis, injeksi cefotaxim 500 mg dan metronidazole 75 mg masuk rute
IV, terpasang infus di tangan kiri kondisi bersih tidak telrihat tanda flebitis maupun
iinfeksi

A : Masalah risiko infeksi teratasi sebagian


P : Monitor vital sign : N, R, S
Putri
Kerusakan

Senin, 27 Oktober 2014

Senin, 27 Oktober 2014

integritas kulit

09.30 WIB

09.45 WIB

berhubungan

1. Mengobservasi kondisi luka, tanda

dengan

S:-

dan gejala infeksi


2. Melakukan perawatan luka
kerusakan
3. Mengelola terapi topikal : Sufratul
Putri
permukaan kulit :

O : Darah (-), kemerahan (-), bengkak (-), pus (-), nekrotik (-) luka jahitan sepanjang

post op. SOAVE

P : Lakukan aff heating sebagian pada 28 Oktober 2014

15 cm, luka bersih tertutup sufratul dan kassa


A : Masalah kerusakan integritas kulit teratasi sebagian
Putri

pull through
Risiko infeksi

Senin, 27 Oktober 2014

Senin, 27 Oktober 2014

berhubungan

11.00 WIB

11.10 WIB

dengan prosedur 1. Memonitor tanda-tanda vital


2. Memonitor tanda dan gejala infeksi
invasif dan post
Vinda
op. SOAVE pull

S:-

through

dan rembesan

O : Suhu : 37,5 C, Nadi : 130 x/menit, Respirasi : 30 x/menit, terpasang IVFD


threeway 2 jalur, kaen 1B dan NaCl 0,9% di tangan kiri pasien, tidak terlihat plebitis
A : Masalah risiko infeksi teratasi sebagian
P : Monitor tanda-tanda vital
Vinda

Risiko infeksi

Selasa , 28 Oktober 2014

Senin, 28 Oktober 2014

berhubungan

08.30 WIB

08.45 WIB

dengan prosedur 1. Mengelola pemberian terapi injeksi

S : Pasien menangis

invasif dan post

O : Pasien menangis kesakitan ketika di injeksi obat, injeksi cefotaxim 500 mg dan

op. SOAVE pull


through

antibiotik Cefotaxim 500 mg


Metronidazole 75 mg
2. Memonitor tanda dan gejala infeksi

metronidazole 75 mg masuk per IV, tidak terjadi hipo, terpasang IVFD threeway 2
jalur, kaen 1B dan NaCl 0,9% di tangan kiri pasien, tidak terlihat plebitis dan rembesan
A : Masalah risiko infeksi teratasi sebagian

Tina

P : Monitor vital sign : N, R, S


Tina

Nyeri akut

Selasa, 28 Oktober 2014

Selasa, 28 Oktober 2014

berhubungan

08.30 WIB

08.45 WIB

dengan post op.

1. Mengelola pemberian terapi injeksi

S : Ibu pasien mengatakan tadi malam pasien tidur dengan nyenyak karena kesakitan

SOAVE pull

Paracetamol 150 mg IV
2. Mengobservasi reaksi non verbal

O : Obat injeksi Paracetamol 150 mg IV sudah masuk, pasien menangis, pasien posisi

through

pasien terhadap nyeri


3. Mengatur posisi pasien senyaman
mungkin
4. Melakukan manajemen nyeri :
teknik distraksi
5. Mengajarkan ibu pasien
memberikan tindakan kenyamanan
pada pasien : menggendong,

tidur telentang, ibu pasien mengelus pasien


A : Masalah nyeri akut teratasi sebagian
P : Lakukan teknik distraksi
Tina

suara halus, ketenangan


Tina
Risiko infeksi

Selasa , 28 Oktober 2014

Senin, 28 Oktober 2014

berhubungan

20.00 WIB

20.15 WIB

dengan prosedur 1. Mengelola pemberian terapi injeksi

S : Pasien menangis

invasif dan post

antibiotik Cefotaxim 500 mg dan

O : Pasien menangis kesakitan ketika di injeksi obat, injeksi cefotaxim 500 mg dan

op. SOAVE pull

Metronidazole 75 mg
2. Memonitor tanda dan gejala infeksi

through

Vinda

metronidazole drip 75 mg masuk per IV, pasien menangis kesakitan, terpasang IVFD
threeway 2 jalur, kaen 1B dan NaCl 0,9% di tangan kiri pasien, tidak terlihat plebitis
dan rembesan
A : Masalah risiko infeksi teratasi sebagian
P : Kelola pemberian terapi injeksi antibiotik cefotaxim 2x500 mg dan metronodazole
3x75 mg
Vinda

Nyeri akut

Selasa, 28 Oktober 2014

Selasa, 28 Oktober 2014

berhubungan

20.00 WIB

20.15 WIB

dengan post op.

1. Mengatur posisi pasien senyaman

S : Pasien menangis

SOAVE pull

mungkin
2. Melakukan manajemen nyeri :

O : Paracetamol drip 150 mg masuk per IV sudah masuk, pasien terlihat menangis

through

teknik distraksi (permainan)


3. Mengelola pemberian terapi injeksi
Paracetamol 150 mg IV

kesakitan, posisi supinasi


A : Nyeri akut teratasi sebagian
P : Kelola pemberian terapi injeksi paracetamol 6x150 mg

Vinda

Vinda

Risiko infeksi

Rabu, 29 Oktober 2014

Rabu, 29 Oktober 2014

berhubungan

05.00 WIB

05.30 WIB

dengan prosedur 1. Mengobservasi tanda-tanda vital :

S : ibu pasien mengatakan sudah paham mengenai tanda dan gejala infeksi

invasif dan post

O : : Suhu : 37,5 C, Nadi : 130 x/menit, Respirasi : 30 x/menit, ibu pasien mampu

op. SOAVE pull


through

N, R, S
2. Memonitor tanda dan gejala infeks
3. Mengajarkan keluarga pasien
mengenai tanda dan gejala infeksi
Tina

mengulangi mengenai penjelasan tentang tanda dan gejala infeksi, tidak terlihat
kemerahan di sekitar balutan.
A : Masalah risiko infeksi teratasi
P : Observasi tanda-tanda vital
Tina

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari kasus asuhan keperawatan pada An.R dengan diagnosa medis
Hirschsprung disease tipe short post SOAVE pull through H12 di bangsal
Cendana 4 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dapat diangkat 3 diagnosa
keperawatan yaitu:
1. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif dan post op. SOAVE
pull through
2. Nyeri akut berhubungan dengan luka post op. SOAVE pull through
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan permukaan
kulit : post op. SOAVE pull through
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diagnosa yang
teratasi ada 2 diagnosa dan yang sebagian teratasi ada 1. Diagnosa
keperawatan yang dapat teratasi adalah:
1. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif dan post op. SOAVE
pull through
Sedangkan diagnosa keperawatan yang teratasi sebagian adalah
1. Nyeri akut berhubungan dengan luka post op. SOAVE pull through, hal ini
dikarenakan pasien masih sering rewel dan tidak rileks, pasien juga masih
dianjurkan untuk kontrol luka post op di poliklinik RSUP Dr. Sardjito.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan permukaan
kulit : post op. SOAVE pull through, dikarenakan masih terdapat luka post
operasi yang belum sembuh total. Pasien juga masih dianjurkan untuk
kontrol luka post op di poliklinik RSUP Dr. Sardjito.

DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cecily L. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik (Mosby's Pediatric.
Nursing Reference). Edisi 3. Jakarta: EGC

Heikken M., Rintala R, Luukonen. 1997. Longterm anal spinchter perfoemance


after surgery for Hirschprungs disease. J Pediatric Surgery
Hidayat, M, Farid Nurmantu, and Burhanuddin Bahar. 2009. Anorectal Function
of Hirschprungs Patients After Definitive Surgery. The Indonesian Journal
of Medicine Science Volume 2 April-June.
Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprungs Disease in: Ashcraft
Pediatric Surgery 3rd edition. W.B. Saunders Company: Philadelphia.
Kumar, Vinay, dkk. 2007. Buku Ajar Patologi . Edisi 7 : Volume 2. Jakarta: EGC.
Lee,

Steven
L.
2005.
Hirschprung
Disease.
http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview.

Available

at:

Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies of
The Gastrointestinal Tract In: Caffeys Pediatric Diagnostic Imaging 10th
edition. Elsevier-Mosby: Philadelphia.
Swenson O, Raffensperger JG. 1990. Hirschsprungs disease. In: Raffensperger
JG, editor. Swensonspediatric surgery. 5th ed. Connecticut: Appleton &
Lange
Swenson O, Raffensperger JG. 2002.
Pediatric

Hisrchprungs Disease : A Review. J

Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND SABISTON


TEXTBOOK of SURGERY. 17th edition. Elsevier-Saunders: Philadelphia
Woosley, John. 2005. Colon-Hirschprungs Disease. Colon, Pathology Slidebox.
University of North Carolina. Avaliable at: http://daveproject.org/colonhirschsprungs-disease/2005-01-28/#path_img.
Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2003. Chapter 56 Hirschsprung
Disease In: Operative PEDIATRIC Surgery. McGraw-Hill: New York

Das könnte Ihnen auch gefallen